INSPIRASI SEMAKIN HARI SEMAKIN SEMANGAT

INSPIRASI SEMAKIN HARI SEMAKIN SEMANGAT:
SUBJECTIVE WELL-BEING PADA LANSIA YANG AKTIF DALAM KEGIATAN AGAMA
BUDDHA NICHIREN SHOSHU
Margaretta Sugiarto
Faculty of Psychology
Universitas Surabaya
Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya pemahaman mengenai subjective
well-being pada lansia dan religiusitas dalam komunitas agama Timur.
Informan penelitian adalah lansia yang aktif dalam kelompok Inspirasi, yaitu
umat lansia dalam agama Buddha Nichiren Shoshu Surabaya. Hasil yang
didapatkan adalah dengan melaksanakan prinsip shin-gyo-gaku (percaya,
pelaksanaan, dan belajar), lansia dapat memaknai krisis yang terjadi pada
dirinya sebagai suatu bentuk karma. Berdasarkan konsep shoho-jissho (suasana
adalah saya), lansia memaknai suatu peristiwa sebagai sebab yang diperbuat di
masa lalu, yang mengundang jodoh tertentu, sehingga mengakibatkan
terjadinya peristiwa tersebut (sebab-jodoh-akibat). Pada akhirnya pemaknaan
ini membawa lansia pada subjective well-being yang memampukan mereka
untuk menjalani kesehariannya dengan produktif dan bahagia.
Kata kunci: subjective well-being, lansia, Buddha, Nichiren Shoshu, karma
Tercapainya kondisi well-being dapat
dipengaruhi oleh banyak hal. Eddington &

Shuman (2005) menerangkan faktor
perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan,
penghasilan,
pernikahan,
kesehatan,
kepuasan kerja, agama, kesenangan, life
events, dan kompetensi, sebagai faktorfaktor yang berkorelasi dengan subjective
well-being. Banyak penelitian besar
menunjukkan bahwa subjective well-being
berkorelasi secara signifikan dengan agama
(Ellison; Ellison, Gay, & Glass; Pollner;
Poloma & Pendleton dalam Eddington &
Shuman, 2005). Agama membuat perbedaan
dalam hidup seseorang: menyediakan
jaringan sosial, memengaruhi kesehatan
fisik dan mental, kehadiran di sekolah, dan
mengurangi aktivitas merusak (Lehrer
dalam Clark & Lelkes, 2005). Beberapa
penelitian terkini menemukan bahwa
aktivitas religius, yaitu kehadiran di gereja,

berdoa dan keyakinan, yaitu keyakinan
religius, serta kekuatan hubungan dengan
Tuhan berhubungan secara positif dengan
subjective well-being, dengan mengontrol
variabel
demografik,
seperti
usia,

penghasilan, dan status pernikahan (Argyle,
Luttmer; Diener et al. dalam Clark &
Lelkes, 2005). Ellison menyimpulkan bahwa
suatu variabel religiusitas menjelaskan 5-7%
dari variasi pada kepuasan hidup (Clark &
Lelkes, 2005). Dari berbagai penelitian ini,
dapat dikatakan agama dan religiusitas
memengaruhi kesehatan mental, terutama
subjective well-being, melalui berbagai cara.
Semua penelitian di atas berfokus
pada subjective well-being dan religiusitas

pada masa dewasa di segala usia, sehingga
menyulitkan generalisasi pada lanjut usia
(lansia). Lansia yang telah mengalami
penurunan dalam banyak hal seperti
penurunan fungsi fisik dan mental, memiliki
dinamika yang berbeda dengan orang
dewasa, oleh sebab itu, diperlukan adanya
penelitian mengenai subjective well-being
dan religiusitas yang lebih mendalam
terhadap lansia.
Selama ini, penelitian-penelitian di
negara-negara Barat mengenai subjective
well-being dan religiusitas lebih banyak
terkonsentrasi pada komunitas agama
Yahudi-Kristen. Untuk memahami konsep
1

2

kebahagiaan

dan
well-being
secara
menyeluruh, diperlukan penelitian pada
komunitas yang unik, dalam hal ini
komunitas agama Timur. Hal ini disebabkan
konsep dan pengertian dibentuk oleh budaya
(Bruner dalam Lu, 2001). Perbedaan antara
budaya Timur dan Barat tentunya
memberikan pemaknaan yang berbeda, yang
dapat memberikan pengertian berbeda dari
hasil-hasil penelitian selama ini.
Komunitas agama Timur yang hendak
diteliti adalah komunitas agama Buddha
Nichiren Shoshu, yang berada di bawah
naungan Majelis Niciren Syosyu Buddha
Dharma Indonesia (MNSBDI) atau disebut
juga BDI. Ada tiga hal yang mendasari
peneliti memilih subjek amatan di BDI.
Pertama, peneliti memiliki agama yang

sama, sehingga akan memudahkan peneliti
dalam memahami dan menghayati ajaran
sekte, yang juga mendasari kecenderungan
umatnya berperilaku. Kedua, oleh karena
telah menjadi anggota dalam sekte tersebut,
peneliti memperkirakan tidak mengalami
kendala berarti dalam melakukan penelitian.
Ketiga, peneliti menemukan keunikan
tersendiri dalam kegiatan yang diadakan
lansia BDI. Keunikan ini terletak pada jenis
kegiatan yang dilakukan lansia BDI, yaitu
tidak hanya sembahyang tetapi juga
menyentuh pelaksanaan secara profan. Hal
ini disebabkan adanya konsep menjalankan
pertapaan dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga umat tidak hanya melakukan
sembahyang, tetapi juga didorong untuk
turut aktif dalam kegiatan yang diadakan
vihara.
Bagian lansia di BDI diberi nama

Inspirasi. Pemberian nama ini tidak lepas
dari fenomena yang dirasakan para
pemimpin BDI, bahwa lansia di BDI kurang
memiliki semangat hidup sehingga terkesan
tidak bahagia. Akhirnya, agar para lansia
dapat ”bangkit” dan menjadi inspirasi bagi
generasi muda, nama Inspirasi dipakai oleh
bagian lansia MNSBDI. Untuk mendukung
cita-cita tersebut, kegiatan lansia di vihara
tidak hanya berdoa, melainkan juga ada
kegiatan berkumpul dengan sesama umat,

yang dinamakan pertemuan rutin. Dalam
pertemuan ini, yang dibahas tidak hanya
seputar ajaran agama, tetapi juga sharing
mengenai kehidupan sehari-hari. Kelompok
lansia ini juga memiliki slogan sendiri.
Slogannya adalah ”Inspirasi semakin hari
semakin semangat”. Bila ada pertemuan,
MC yang membawakan acara akan

mengajak para lansia untuk meneriakkan
slogan dengan keras.
Praktik pertapaan utama yang
diajarkan Nichiren Daishonin kepada muridmuridnya adalah penyebutan Daimoku1 dan
melaksanakan Gongyo2. Di samping itu,
Nichiren menulis berbagai surat berisi
petunjuk kepada murid-muridnya untuk
mengatasi permasalahan yang mereka
hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Suratsurat yang disebut Gosyo itu, hingga saat ini
masih tersimpan dengan baik di Kuil Pusat
Sekte Nichiren Shoshu di Taiseki-Ji, Jepang
(Yayasan Amerta, 1994).
Dalam Buddhisme Nichiren, Shinjin
atau hati kepercayaan merupakan konsep
keimanan. Dalam ajaran Nichiren Shoshu
shinjin tidak bisa hanya menjalankan
gongyo-daimoku
di
rumah
tanpa

menjalankan ajaran dalam kehidupan seharihari. Tiga hal yaitu percaya (shin),
pelaksanaan (gyo), dan belajar (gaku) saling
berhubungan. Shin berarti yakin terhadap
Gohonzon3. Ini merupakan aspek afektif
1

Daimoku adalah menyebutkan Mantera Agung
Nammyohorengekyo berulang-ulang.
2
Gongyo secara harafiah adalah pelaksanaan yang
tekun, gongyo dilakukan dengan membaca dua bab
terpenting dalam Saddharma-pundarika sutra, yaitu
Bab kedua Upaya Kausalya dan Bab keenam belas
Panjang Usia Sang Tathagata. Gongyo dilaksanakan
dua kali dalam sehari, yaitu pagi dan sore. Dapat
dikatakan gongyo adalah bentuk meditasi dari aliran
Nichiren Shoshu.
Ketika gongyo, di samping
membaca Saddharma-Pundarika Sutra, umat juga
menyebut daimoku kepada Gohonzon sambil

memfokuskan diri pada huruf kanji China ”Myo”
(hukum gaib) di tengah-tengah Gohonzon (Yayasan
Amerta, 1994).
3
Gohonzon: Mandala pusaka pemujaan Nichiren
Shoshu. Nichiren Daishonin mewariskan Dharma
Nammyohorengekyo dalam wujud pusaka-pemujaan
untuk diberikan pada umat manusia Masa Akhir
Dharma. Wujudnya berupa lembaran kertas yang

3

dalam keberagamaan Nichiren Shoshu.
Aspek behavioral, yaitu gyo, berarti
menyebut
Nammyohorengekyo
dan
melaksanakan gongyo dua kali sehari, dan
mengajarkan hal yang sama kepada orang
lain. Kemudian aspek kognitif yaitu gaku

berarti membaca tulisan Nichiren Daishonin
(gosyo)
dan
mempraktekkan
dalam
kehidupan sehari-hari. Di antara ketiga hal
ini, shin adalah yang paling mendasar untuk
pencapaian kesadaran Buddha. Shin
meningkatkan gyo dan gaku; gyo dan gaku
membantu memperdalam shinjin (hati
kepercayaan).
Tujuan shinjin adalah pencapaian
kesadaran Buddha dalam badan apa adanya
(Sokushin
Jobutsu).
Pandita
Keiko
Senosoenoto menjelaskan bahwa Jobutsu
(mencapai kesadaran Buddha) terletak
dalam jiwa manusia. Apa yang ada dalam

jiwa akan tampak nyata (tecermin) dalam
lingkungan sekitar. Jadi semua hal yang
terjadi pada diri merupakan cerminan
suasana dalam jiwa. Gembira atau tidak,
semua bersumber dari dalam jiwa, bukan
bergantung pada suasana dari luar diri.
Untuk itu, apa pun yang kita alami, individu
harus bisa merasakan terima kasih. Bila bisa
berperilaku demikian, barulah bisa mencapai
Sokushin Jobutsu (Renny, 2009).
Tujuan kedua dari shinjin adalah
kosenrufu. Kosenrufu adalah penyebaran
Hukum Agung dari Buddha Nichiren
Daishonin ke seluruh dunia. Umat Nichiren
Shoshu percaya dengan menyebarluaskan
ajaran Nichiren Daishonin ke seluruh dunia
dapat
menyelamatkan
dunia
dari
penderitaan.
Metodologi
Informan penelitian ini adalah para
lansia yang aktif dalam kegiatan lansia di
Sekte Nichiren Shoshu, khususnya daerah
Surabaya. Spesifikasi ini diperlukan sebab
penelitian ini bertujuan mencari proses
ditulisi dengan menggunakan tinta sumi. Di tengah
Gohonzon tertera aksara ’NammyohorengekyoNichiren’.

terjadinya subjective well-being pada lansia
ditinjau dari keaktifan mereka dalam
kegiatan keagamaan. Keaktifan ini dapat
dilihat dari 1) frekuensi partisipasi informan
dalam kegiatan di vihara; 2) frekuensi
informan melakukan gongyo-daimoku; serta
3) partisipasi informan dalam tim kerja
dalam organisasi BDI. Kedua informan telah
memeluk Nichiren Shoshu dalam jangka
waktu yang lama, lebih dari 30 tahun.
Informan pertama adalah Bu Kirin (BK),
seorang lansia yang telah aktif menjalankan
agama Nichiren Shoshu sejak 1978. Saat ini,
Bu Kirin masih tetap aktif dalam tim kerja
lansia. Informan kedua adalah Pak Chan
(PC), seorang pandita yang saat ini juga
menjabat sebagai ketua kegiatan lansia. Pak
Chan menganut agama Nichiren Shoshu
sejak 1977.
Penelitian ini menggunakan metode
wawancara
mendalam
dengan
menggabungkan antara pendekatan dengan
pedoman umum dan pendekatan dengan
pertanyaan mengenai tingkah laku spesifik
yang dialami informan. Data wawancara
dikumpulkan dalam bentuk transkrip
wawancara yang dituliskan kata per kata
atau verbatim. Proses wawancara dilakukan
dengan sarana perekam dengan seizin
informan.
Metode analisis data yang dilakukan
adalah analisis induktif. Prosesnya dimulai
dengan
wawancara,
yang
akan
memunculkan tema-tema, kategori-kategori
dan pola hubungan di antara kategorikategori
tersebut
(Patton
dalam
Poerwandari, 2001). Hasil wawancara para
informan ditranskripkan dan kemudian
dianalisis. Dalam penelitian ini, alat
analisisnya
adalah
menulis
untuk
menemukan pola, logika, dan makna
berkaitan dengan kegiatan keagamaan yang
dapat mendukung munculnya subjective
well-being pada lansia.
Hasil dan Pembahasan
Menjalankan keaktifan dalam susunan
BDI merupakan bentuk penerapan konsep

4

gyo atau pelaksanaan dalam shinjin. Baik
Bu Kirin maupun Pak Chan aktif dalam
berorganisasi. Bentuk keaktifan keduanya
tidak hanya berupa menghadiri pertemuan,
tetapi juga kesediaan untuk mengambil
tanggung jawab sebagai pengurus dalam
komunitas. Bu Kirin pernah menjabat
sebagai ketua Dharmasala dan ketua daerah,
sedangkan Pak Chan hingga saat ini
merupakan ketua Inspirasi. Aktif dalam
kegiatan yang diadakan dalam komunitas
BDI adalah salah satu wahana dalam
menerapkan ajaran-ajaran Nichiren Shoshu,
seperti konsep maitri karuna4, ichinen
sanzen5, sokushin jobutsu, dan cinta tanah
air.
Proses keberagamaan pada Bu Kirin
dan Pak Chan tidak terlepas dari pemaknaan
yang dilakukan terhadap nilai-nilai ajaran
yang dihayati oleh keduanya. Konsep makna
sangat luas dan didefinisikan secara berbeda
oleh ahli-ahli yang menelitinya. Park &
Folkman dalam Compton & Hoffman
(2013) menyatakan makna adalah persepsi
terhadap arti. Makna memberikan arti pada
hidup, dan dibandingkan institusi lainnya,
agama menawarkan perspektif yang lebih
luas terhadap hidup manusia dan
menjelaskan mengapa suatu peristiwa yang
tidak diharapkan terjadi. Yalom; dan Park
menawarkan konsep makna kosmik atau
makna global, yaitu pertanyaan tentang
apakah hidup secara umum, atau paling
tidak hidup manusia, cocok dengan pola
koheren secara keseluruhan. Lebih lanjut
Park & Folkman mendefinisikan makna
kosmik
sebagai
pencarian
untuk
4

Maitri Karuna: atau cinta universal. Konsep
mencabut akar penderitaan serta memberikan
kebahagiaan pada orang lain.
5
Ichinen Sanzen: Tiga ribu dunia (sanzen) tercakup
dalam sekejap kehidupan (ichinen) yang dialami
dalam pikiran individu. Konsep yang menjelaskan
semua bentuk kehidupan mengandung jiwa Buddha
dengan segala aspek kehidupan lainnya. Ini diuraikan
dengan ajaran tentang sepuluh kondisi jiwa atau
pikiran, yaitu Sepuluh Dunia. Lebih lanjut, prinsip
saling ketercakupan membuatnya menjadi 100 dunia,
yang mewujud melalui prinsip sepuluh faktor dan
tiga alam, yang menjadikan 3000 dunia.

mempertahankan keyakinan, tujuan-tujuan
bernilai, dan rasa akan keteraturan dan
koherensi untuk eksistensi. Makna kosmik
’berpusat pada apa yang dirasakan sebagai
yang suci’ (Compton & Hoffman, 2013).
Frankl dalam Koeswara (1992)
orientasi pada makna dapat membawa
manusia kepada konfrontasi dengan makna.
Orientasi pada makna menunjuk pada
manusia itu apa, sedangkan konfrontasi
dengan makna menunjuk pada manusia itu
seharusnya bagaimana atau menjadi apa.
Ketika orientasi pada makna berubah
menjadi konfrontasi dengan makna, individu
berkembang dan mencapai kematangan,
sehingga kebebasannya berubah menjadi
kebertanggungjawaban.
Individu
bertanggung jawab atas realisasi nilai-nilai
dan pemenuhan makna yang spesifik bagi
kehidupan pribadi atau keberadaan dirinya.
Baik Bu Kirin maupun Pak Chan
memaknai kesulitan atau penderitaan dalam
hidup (makna situasional) sebagai karma
yang harus dijalani. Karma atau Hukum
Sebab-Jodoh-Akibat merupakan makna
global baik bagi Bu Kirin maupun Pak
Chan. Sikap religius dapat menarik elemenelemen kehidupan yang berlainan ke arah
yang konsisten. Park & Folkman
menyatakan bahwa menciptakan makna
adalah proses mengurangi jarak antara
situasi yang dihadapi dengan makna global.
Armstrong (2012), menyatakan bahwa
karma mengikat manusia kepada lingkaran
kebangkitan kembali tak berujung dalam
rangkaian kehidupan yang sarat derita,
namun bila individu mampu mengubah
perilaku egoisnya, maka individu akan
mampu mengubah nasib. Lebih lanjut
Armstrong menuliskan bahwa satu-satunya
yang berharga bagi penganut Buddha adalah
hidup dengan cara baik; jika ini diupayakan,
maka penganut Buddha akan menemukan
bahwa dharma itu benar.
Pemahaman
bahwa
penderitaan
sebagai sesuatu yang harus dijalani
mendorong Bu Kirin dan Pak Chan untuk
lebih giat dalam keberagamaan, yaitu
dengan tekun gongyo-daimoku dan aktif

5

dalam kegiatan-kegiatan di vihara. Gongyodaimoku terutama merupakan kegiatan yang
tidak terpisahkan dari kehidupan Bu Kirin
dan Pak Chan.
Lebih lanjut pemaknaan merupakan
prediktor penting dalam well-being yang
tinggi (Park; Steger dalam Compton &
Hoffman, 2013). Hasil-hasil penelitian juga
menyatakan bahwa hubungan antara
keduanya bersifat resiprokal, yaitu besarnya
pemaknaan meningkatkan well-being, dan
meningkatnya emosi positif membuat
individu merasa hidupnya lebih bermakna
(King, dkk dalam Compton & Hoffman,
2013).
Bagaimanapun dampak pemaknaan
terhadap well-being tergantung pada kondisi
individu, masih dalam tahap mencari
pemaknaan atau sudah nyaman dengan
pemaknaan yang dilakukan. Baik Bu Kirin
dan Pak Chan telah mencapai pemaknaan
yang tetap; bahwa permasalahan yang
terjadi merupakan hasil karma masa lampau.
Lebih lanjut sifat dan perilaku keduanya-lah
yang mengundang jodoh buruk, sehingga
karma mewujud dalam bentuk akibat
(permasalahan). Mampu menyadari dan
menerima penderitaan sebagai karma
dikatakan sebagai konsep shoho-jissho atau
”suasana adalah saya”, yang nantinya akan
menuntun individu mencapai kesadaran
Buddha sekejap-sekejap dalam badan apa
adanya (sokushin jobutsu).
Tujuan umat perlu berjuang dalam
pelaksanaan shinjin ialah membentuk
kondisi kehidupan kekuatan spiritual yang
benar-benar
tak
dapat
dihancurkan,

kebijaksanaan
dan
kedamaian
yang
berdasarkan Dunia Buddha (Butsu). Jobutsu
berarti menjadi (berada di dunia) Buddha
atau ”yang tercerahkan”.
Dalam Buddhisme secara umum,
kondisi pencerahan dialami oleh individu
yang mengalami Nirvana. Nirvana terjadi
ketika individu mampu mengobservasi
proses-proses psikologis yang terjadi pada
dirinya tanpa keterikatan. Mengalami
Nirvana adalah lepas dari segala kebutuhan
dan
nafsu
yang
didasarkan
pada
keserakahan, kemarahan, dan delusi.
Individu yang mengalami Nirvana akan
merasakan emosi positif. Lebih lanjut biksu
dan peneliti Walpola Rahula menyatakan
bahwa ”dia yang menyadari Kebenaran,
Nirvana, adalah makhluk paling bahagia di
dunia... Dia gembira, bebas dari kecemasan,
tenang, dan damai... penuh akan cinta
universal, belas kasih, kebaikan, simpati,
pengertian dan toleransi” (Compton &
Hoffman, 2013).
Pembahasan mengenai jobutsu tak
bisa dilepaskan dari konsep ichinen sanzen,
yaitu konsep tiga ribu dunia (sanzen)
tercakup dalam sekejap kehidupan (ichinen)
yang dialami dalam pikiran individu.
Konsep ini menjelaskan semua bentuk
kehidupan mengandung jiwa Buddha
dengan segala aspek kehidupan lainnya. Ini
diuraikan dengan ajaran tentang sepuluh
kondisi jiwa atau pikiran, yaitu Sepuluh
Dunia (Jikkai). Kesepuluh dunia dan faktor
mental yang menjadi ciri khas masingmasing dunia dijabarkan dalam Tabel 1.

6

Tabel 1
Sepuluh Dunia dan Faktor Mental yang Menyertai
No.
Dunia
Faktor Mental
a. Dunia Neraka (Jigoku)
Marah-benci; Keputusasaan.
b.

Dunia Kelaparan (Gaki)

Serakah; Ketidakpuasan.

c.

Dunia Kebinatangan (Chikuso)

Ketakutan.

d.

Dunia Kemarahan (Shura)

Superioritas; Prasangka;
Kecemburuan

e.

Dunia Manusia atau Ketenangan (Nin)

Rasionalitas; Kesabaran;
Ketenangan.

f.

Dunia Surga (Ten)

Kegembiraan.

g.

Dunia Sravaka atau Dunia Belajar
(Shomon)

Keingintahuan (teoritis);
Pemahaman.

h.

Dunia Pratekyabuddha atau Dunia
Realisasi Diri (Engaku)

Pengetahuan intuitif yang
mendalam dan memuaskan diri.

i.

Dunia Bodhisattva (Bosatsu)

Kepedulian; Belas kasih (Maitri
Karuna)

j.

Dunia Buddha (Butsu)

Kebijaksanaan; Kedamaian;
Ketenangan tak tergoyahkan;
Maitri karuna.

Sekilas konsep Sepuluh Dunia mirip
dengan konsep mengenai emosi dan mood
dalam psikologi Barat. Emosi adalah
perasaan terfokus yang muncul dan
menghilang secara cepat sebagai respon
terhadap kejadian di lingkungan sekitar.
Sebaliknya, mood lebih bersifat menetap
sekalipun terjadi perubahan-perubahan kecil
dari waktu ke waktu. Morris dalam
Compton & Hoffman, 2013, menyatakan
mood menyediakan sistem pengamatan
berkelanjutan yang memberikan informasi
kejadian-kejadian yang sedang berlangsung
mengenai seberapa baik individu menangani
suatu kejadian.
Akan tetapi konsep Sepuluh Dunia
tidak hanya semata-mata mengenai emosi
dan mood, melainkan juga mengenai
kecenderungan (sifat) manusia. Sekalipun

setiap manusia terlahir dengan Sepuluh
Dunia saling mencakupi, setiap orang
memiliki kecenderungan pada dunia (state
of mind) tertentu. Contohnya individu yang
berada dalam Dunia Kelaparan cenderung
bersifat serakah dan tidak pernah puas. Yang
menentukan bahagia atau tidaknya manusia
adalah perasaan. Perasaan ini yang
menentukan cara individu berpikir, bicara,
dan
berperilaku,
yang
kemudian
menentukan baik atau buruknya karma yang
diperbuat (Senosoenoto, 2013).
Proses pencapaian well-being pada Bu
Kirin dan Pak Chan, di samping keaktifan
dalam kegiatan agama juga dipengaruhi oleh
proses pemaknaan terhadap berbagai
peristiwa yang dialami. Kedua hal ini
membawa lansia mencapai subjective wellbeing yang dapat dilihat dari dimensi

7

psychological well-being, emotional wellbeing, dan social well-being. Pembahasan
mengenai proses ini dapat dilihat lebih
lanjut pada Gambar 1.
Aspek-aspek psychological well-being
adalah self-acceptance, personal growth,
positive
relationships,
autonomy,
environmental mastery, dan purpose in life.
Self-acceptance
berhubungan
dengan
kemampuan menyadari aspek-aspek dalam
diri, baik positif maupun negatif. Bu Kirin
tadinya berpikir bahwa dirinya selalu benar,
sehingga bersikap keras terhadap orang lain.
Tadinya Bu Kirin berpikir bukan dirinya
yang keras, melainkan orang lain. Melalui
pemaknaan yang dilakukannya Bu Kirin
menyadari perlakuan keras dari orang lain
merupakan cerminan sifatnya (karma).
Dengan menyadari bahwa permasalahan
yang ada merupakan karma, Bu Kirin dapat
menerima sifat kerasnya sebagai bagian dari
dirinya. Demikian pula, Pak Chan memiliki
sifat serupa, yang diakuinya sebagai sifat
sombong dan keras hati. Melalui pemaknaan
terhadap peristiwa yang terjadi, Pak Chan
menerima sifat sombong ini sebagai
kelemahan yang harus diperbaiki.
Personal growth adalah kapasitas
untuk tumbuh dan mengembangkan potensi.
Pemahaman bahwa setiap manusia memiliki
Dunia Buddha dalam dirinya, membuat Bu
Kirin dan Pak Chan merasa mampu untuk
mencapai sokushin jobutsu. Sokushin
jobutsu berlangsung sekejap-sekejap, namun
dengan tekun menjalankan ajaran, Bu Kirin
dan Pak Chan merasa dapat menumbuhkan
kondisi ini lebih sering.
Aspek positive relationships berkaitan
dengan keaktifan dalam komunitas agama,
yang tidak hanya berperan sebagai sarana
pembelajaran, tetapi juga sebagai dukungan
sosial. Dimensi ini ditandai dengan
hubungan yang hangat dengan orang lain
dan kepedulian terhadap orang lain. Dalam
hal ini, pada Bu Kirin terutama lebih
nampak. Bu Kirin merasa hubungannya
dengan umat lain lebih hangat dibandingkan
dengan
keluarga
sendiri.
Sekalipun
hubungannya dengan menantu kurang baik,

Bu Kirin tetap berupaya untuk mengajak
menantunya berkomunikasi. Sebaliknya
pada Pak Chan, dimensi ini ditandai oleh
kepeduliannya pada mantan menantu, yang
baginya tetap menantu sekalipun sudah
bercerai. Pak Chan mengungkapkan
kesediaannya untuk membantu bila mantan
menantunya membutuhkan sesuatu.
Aspek keempat, autonomy, merupakan
ketetapan diri dan kemampuan untuk
mengatur perilaku dari dalam diri. Dengan
pemaknaan shoho-jissho, Pak Chan dan Bu
Kirin merasa bahwa kebahagiaan ditentukan
oleh pikiran dan perilaku mereka sendiri.
Keduanya berusaha untuk tidak terpengaruh
situasi atau permasalahan yang terjadi. Hal
ini dapat tampak jelas pada Bu Kirin yang
tidak membiarkan perlakuan menantu
memengaruhi kesehariannya secara negatif.
Aspek keempat juga berhubungan
dengan aspek kelima, environmental
mastery. Aspek ini berhubungan dengan
adanya kemampuan untuk memilih situasi
dan lingkungan untuk mencapai tujuan.
Individu memiliki perasaan bahwa dirinya
memegang kendali atas situasi yang terjadi.
Dalam dua peristiwa buruk yang
menimpanya, Pak Chan merasa dirinya juga
turut memiliki andil dalam peristiwa
tersebut. Sebagai akibatnya, Pak Chan
merasa bahwa hanya dirinya-lah yang
mampu mengubah situasi menjadi lebih
baik.
Aspek terakhir, purpose in life,
merupakan rasa akan tujuan dan makna
dalam hidup. Pemaknaan yang dilakukan Bu
Kirin dan Pak Chan membawa keduanya
pada
tujuan
yang
sama,
yaitu
mencapaiAspek terakhir, purpose in life,
merupakan rasa akan tujuan dan makna
kebuddhaan (jobutsu). Kondisi ini terutama
ditandai oleh adanya maitri karuna, atau
cinta universal. Dasar utama maitri karuna
adalah
mencabut
penderitaan
dan
memberikan kebahagiaan pada orang lain,
dengan menumbuhkan jiwa Buddha pada
orang tersebut. Manifestasi maitri karuna
adalah kosenrufu.

8

Pada Pak Chan, penderitaan dimaknai
sebagai sesuatu yang harus dijalani dan
cambuk baginya untuk semakin sungguhsungguh dalam melaksanakan kosenrufu.
Dalam hal ini, wadah yang dipilih Pak Chan
adalah memajukan komunitas Inspirasi.
Pada Bu Kirin, kosenrufu terutama ingin
diwujudkan dalam bentuk rumah nenek.
Bagi Bu Kirin, rumah nenek ini bukan
hanya sebagai wujud terima kasih pada
lingkungan sekitar, tetapi juga sebagai
sarana menanam bibit Buddha.
Kemudian dimensi emotional wellbeing dalam penelitian ini terpenuhi melalui
konsep Sepuluh Dunia. Hal ini karena
sebagai suatu kondisi pikiran atau mental,
konsep Sepuluh Dunia menjabarkan
mengenai kondisi emosional individu
menurut pandangan Buddhisme.
Secara umum, positive affect diwakili
oleh Dunia Manusia (Nin), Dunia Surga
(Ten), Dunia Belajar (Shomon), Dunia
Pratekyabuddha
(Engaku),
Dunia
Bodhisattva (Bosatsu), dan Dunia Buddha
(Butsu). Keenam dunia ini mewakili adanya
kondisi yang mengindikasikan antusiasme,
kegembiraan, dan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, Empat Dunia Buruk, yaitu
Dunia Neraka (Jigoku), Dunia Kelaparan
(Gaki), Dunia Kebinatangan (Chikuso), dan
Dunia Kemarahan (Shura) merupakan
negative affect yang menandakan bahwa
hidup ini tidak menyenangkan. Negative
affect ditandai dengan adanya perasaan
sedih, tanpa harapan, gelisah, dan apapun
tidak berguna (Keyes & Waterman, 2003).
Hal ini karena jobutsu atau kesadaran
Buddha dapat dicapai dengan memerhatikan
atau mengobservasi pada kejadian-kejadian
yang terjadi di sekitar individu tersebut
(being mindfull). Mindfulness adalah
memerhatikan pada pengalaman yang
sedang terjadi pada diri dengan cara yang
terbuka dan fleksibel (Compton & Hoffman,
2013). Dalam meditasi mindfulness gayaBuddhis secara umum terdapat tiga elemen
penting: intensi, atensi, dan sikap (Shapiro
& Carlson dalam Compton & Hoffman
2013). Intensi adalah komitmen dan

dedikasi terhadap praktek meditasi. Dalam
penelitian ini, praktek meditasi adalah
gongyo-daimoku. Atensi merujuk pada
mengamati isi dari pengalaman yang terjadi.
Sikap merujuk pada bagaimana individu
mengamati pengalaman tersebut.
Dengan konsep ini, lansia mampu
mengamati pengalaman yang terjadi pada
saat itu juga. Contohnya Bu Kirin, pada saat
disentak
oleh
menantunya
mampu
mengamati bahwa menantunya mungkin
tidak enak hati, sehingga tidak balas marahmarah pada menantunya.
Life satisfaction adalah rasa puas dan
damai yang disebabkan oleh perbedaan kecil
antara keinginan dan kebutuhan dengan
pencapaian,
sedangkan
happiness
merupakan perasaan dan pengalaman akan
kesenangan, kepuasan, dan kegembiraan
(Keyes & Waterman, 2003). Sementara life
satisfaction lebih mengarah pada aspek
kognitif, happiness lebih merupakan aspek
afektif.
Bu Kirin menyatakan bahwa secara
umum dirinya merasa puas dan aman dalam
menjalani kesehariannya. Bagi Bu Kirin,
yang penting dirinya mau tahu sendiri
kekurangannya. Sebaliknya, Pak Chan
masih merasa kurang puas, namun alih-alih
terhadap lingkungan sekitar, ketidakpuasan
ini lebih didasari oleh kesadaran bahwa
dirinya belum mampu mencapai Dunia
Buddha.
Dimensi terakhir, social well-being
terpenuhi melalui interaksi lansia dengan
komunitas Inspirasi dan lingkungan
sekitarnya. Aspek social acceptance
merupakan sikap positif dan menerima
orang lain, sekalipun terkadang orang lain
bersikap kompleks dan membingungkan.
Dalam interaksi kesehariannya dengan
menantu, Bu Kirin tetap mencoba menjalin
komunikasi
sekalipun
tanggapan
menantunya
kurang
menyenangkan.
Demikian pula Pak Chan yang tetap
bersedia menerima mantan menantunya
sekalipun sudah bercerai dari anaknya.
Aspek social actualization merupakan
evaluasi atas potensi masyarakat dan

9

lingkungan sekitar. Dalam hal ini individu
peduli dan percaya bahwa masyarakat
bergerak menuju arah yang positif. Baik Bu
Kirin maupun Pak Chan peduli pada
lingkungan sekitar. Komunitas Inspirasi
yang diikuti keduanya menyatakan bahwa
lansia pun dapat membuat lingkungan lebih
baik, dengan jargon ”Inspirasi semakin hari
semakin semangat”. Bu Kirin merasa
kawan-kawan satu komunitasnya lebih
hangat dan mendukungnya. Pak Chan
berpendapat tetangga sekitarnya yang
merupakan warga suku lain dapat
memberikan rasa aman dan melindungi
tokonya.
Dalam social contribution, individu
merasa bahwa dirinya memiliki sesuatu
yang berguna bagi masyarakat. Lebih lanjut
individu merasa kesehariannya dihargai oleh
komunitasnya. Baik Bu Kirin maupun Pak
Chan aktif dalam berbagai kegiatan BDI.
Bagi Pak Chan, dirinya dapat berguna bagi
komunitas BDI dengan cara menjalankan
keaktifan dan mengajak lansia lainnya untuk
ikut kegiatan BDI. Bu Kirin juga merasa
bahwa
dirinya
dapat
memberikan
sumbangsih kepada masyarakat melalui
impiannya membuka rumah nenek.
Aspek social coherence berkaitan
dengan kepedulian dan minat terhadap
masyarakat dan konteks. Dalam aspek ini,
lansia didorong untuk menaruh minat pada
lingkungan sekitar, tidak hanya pada dirinya
sendiri. Aspek ini ditunjang melalui
pertemuan-pertemuan yang diadakan tiap
bulannya. Dalam pertemuan-pertemuan
tersebut, lansia dapat mendengarkan
pengalaman dari lansia lainnya. Hal ini akan
menumbuhkan minat lansia pada hal-hal
yang terjadi pada kawan-kawannya. Baik
Pak Chan maupun Bu Kirin menyatakan
bahwa keduanya belajar banyak dari
pertemuan-pertemuan tersebut. Pelajaran
tersebut adalah pengalaman yang dialami
dan cara orang lain menghadapinya. Oleh
karenanya
keduanya
menganggap
pertemuan sebagai hal yang penting.
Social integration ditandai oleh
adanya perasaan menjadi bagian dari

komunitas, merasa didukung, dan berbagi
kesamaan dengan komunitasnya. Dengan
bergabung dengan komunitas agama yang
sama, lansia memperoleh dukungan sosial.
Di samping itu, dengan menjadi bagian dari
tim kerja, Bu Kirin dan Pak Chan merasa
menjadi bagian dari komunitasnya, yang
juga turut menjaga keberlangsungan
komunitasnya. Hal ini nampak pada Bu
Kirin,
yang
merasa
mendapatkan
kehangatan dari umat lainnya dan juga pada
saat terjadi konflik, dirinya tidak mundur
dengan alasan ingin menjaga suasana dalam
komunitas.
Simpulan dan Saran
Konsep well-being dalam Nichiren
Shoshu
berupa
konsep
jobutsu
(kebuddhaan), yang dapat dicapai sekejapsekejap dalam badan apa adanya (sokushin
jobutsu). Konsep ini berhubungan erat
dengan konsep ichinen sanzen, yaitu tiga
ribu dunia (sanzen) tercakup dalam sekejap
kehidupan (ichinen) yang dialami dalam
pikiran individu. Menurut konsep ini,
terdapat sepuluh dunia yang saling
mencakupi, termasuk di dalamnya Dunia
Buddha. Setiap orang memiliki Dunia
Buddha dan karenanya memiliki potensi
untuk mencapai sokushin jobutsu.
Proses pencapaian subjective wellbeing dapat ditinjau melalui dimensidimensi psychological well-being, emotional
well-being,
dan
social
well-being.
Berdasarkan teori ini, kedua subjek dapat
dikatakan memiliki well-being yang cukup
tinggi, dilihat dari terpenuhinya aspek-aspek
pyschological well-being, emotional wellbeing, dan social well-being.
Untuk
penelitian
berikutnya
disarankan selain umat yang pernah
menjabat, seyogyanya umat biasa juga
disertakan sebagai subjek penelitian. Hal ini
untuk
menambah
kekayaan
data
fenomenologis.
.

10

Daftar Pustaka
Alwisol.
(2004).
Psikologi
kepribadian edisi revisi. Malang: UMM
Press.
Anesaki, M. (1966). Nichiren the
buddhist prophet. USA: Harvard University
Press.
Ardelt, M. (2003). Effect of religion
and purpose in life on elders’ subjective
well-being and attitudes toward death.
Journal of Religious Gerontolog, 14(4), 5577.
Argyle, M. (2000). Psychology and
religion. London: Routledge.
Armstrong, K. (2012. Sejarah tuhan:
kisah 4.000 tahun pencarian tuhan dalam
agama-agama manusia. Bandung: Mizan
Pustaka.
Assagioli, R. (1967). Psychosomatic
medicine and bio-synthesis. Makalah
disampaikan
pada
International
Psychosomatic Week, Roma.
Bee, H. L. (1996). The journey of
adulthood third edition. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Billups, A. Ichinen sanzen the jewel of
buddhism. Diakses 21 April 2010, dari
http://www.proudblackbuddhist.org/ichinen
_sanzen_the_jewel_of_budd.htm
Bungin, H. M. B. (2007). Penelitian
kualitatif: Komunikasi, ekonomi, kebijakan
publik, dan ilmu sosial lainnya. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Clark, A., & Lelkes, O. (2005).
Deliver us from evil: Religion as insurance.
Papers on Economics of Religion from
Department of Economic Theory and
Economic History of the University of
Granada, 6(3).
Compton, W. C. (2005). An
introduction to positive psychology.
Belmont, CA, USA: Thomson Wadsworth.
Compton, W. C., & Hoffman, E.
(2013). Positive psychology: the science of
happiness and flourishing 2nd edition,
international edition. USA: Wadsworth
Cengage Learning.

Daaleman, T.P., & Frey, B.B. (2004).
The spirituality index of well-being: A new
instrument for health-related-quality-of-life
research. Annals of Family Medicine: 2(5),
499-503.
Diener, E., Lucas, R.E., & Oishi, S.
(2002). Subjective Well-Being. In C. R.
Snyder and S. J. Lopez (Ed.),
The
Handbook of Positive Psychology (pg. 6373). New York: Oxford University Press.
Diener, E. & Scollon, C. (2003).
Subjective well-being is desirable, but not
the summum bonum. Makalah disampaikan
pada
University
of
Minnesota
Interdiciplinary Workshop on Well-Being,
University of Minnesota, Minneapolis.
Eddington, N., Shuman, R. (2005).
Subjective well-being (happiness). San
Diego:. Continuing Psychology Education,
Inc.
Feist, J. & Feist, G. J. (2008). Theories
of personalities 7th edition. USA: McGrawHill.
Hammersley, M.. & Atkinson, P.
(2007). Etnography: Principles in practice
third edition. London: Routledge Taylor and
Francis Group.
Hooyer, W. J., & Roodin, P. A.
(2003). Adult development and aging, fifth
edition. New York: McGraw-Hill.
Hurlock, E. B. (1980). Developmental
psychology: A life span approach. New
Delhi: Tata McGraw-Hill.
Keishi, M. (2007). Buddhisme
esoterik: Benang merah kesamaan budaya
Jepang
dan
Indonesia.
Makalah
disampaikan
pada
Seminar
Umum
Buddhisme Esoterik (Tantra; Vajrayana):
Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang
dan Indonesia, Bali.
Keyes, C. L. M., & Waterman, M. B.
(2003). Dimensions of Well-Being and
Mental Health In Adulthood. In M.
Bornstein, L. Davidson, C. L. M. Keyes, and
K. Moore (Ed.), Well-Being: Positive
Development Throughout the Life Course
(pg. 477-497). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

11

Koeswara, E. (1992). Logoterapi:
psikoterapi viktor frankl. Yogyakarta:
Kanisius.
Krause, N. (2002). Church-based
social support and health in old age:
Exploring variations by race. Journal of
Gerontology, Nov 2002, 57(B), S332-S347.
Lavric, M., Flere, S. (2008). The Role
of Culture in the Relationship Between
Religiosity and Psychological Well-being. J
Relig Health, 2008, (47), 164-175.
Lu, Luo. (2001). Understanding
happiness: A look into the Chinese folk
psychology. Journal of Happiness Studies 2,
2001, 407-432.
Mokhlis, S. (2009). Relevancy and
Measurement of Religiosity in Consumer
Behavior Research. International Bussiness
Research, Jul 2009, (2)3, 75-84.
Moleong, L. J. (2007). Metodologi
penelitian kualitatif. Bandung: Penerbit
Rosdakarya.
Myers, D.G. (2008). Religion and
human flourishing. Dalam Michael Eid &
Randy J. Larsen (Ed.), The science of
subjective well-being (hlm.323-343). New
York: The Guilford Press.
Nelson, J. M. (2009). Psychology,
religion, and spirituality. New York:
Springer.
Nichiren Shoshu. (2003). Nichiren
shoshu basics of practice. California:
Nichiren Shoshu Temple.
Poerwandari,
E.
K.
(2001).
Pendekatan kualitatif untuk penelitian
perilaku manusia. Jakarta: LPSP3.
Ong, Anthony D. & Bergeman, C.S.
(2010). The Socioemotional basis of
resilience in later life. Dalam Prem S. Fry &
Corey L.M. Keyes (Ed.), New frontiers in
resilient aging: life-strengths and well-being
in late life (hlm. 239-257). UK: Cambridge
University Press.
Renny. (2008, Agustus). Kosenrufu.
Prajna Pundarika, hlm.42-43.
Renny. (2009, November). Soku Syin
Jobutsu. Prajna Pundarika, hlm. 42-43.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is
everything, or is it? Explorations on the

meaning of psychological well-being.
Journal of Personality and Social
Psychology,57(6), 1069-1081.
Santrock, J. W. (2002). Life-span
development: perkembangan masa hidup
Jilid 2 (A. Chusairi & J. Damanik, Pengalih
bhs.). Jakarta: Erlangga.
Senosoenoto, K. (2013, Februari).
Tiga
kecenderungan
buruk.
Prajna
Pundarika, hlm. 42-43.
Skaff, M. M. (2007). Sense of control
and health: a dynamic duo in aging process.
Dalam Carolyn M. Aldwin, Crystal L. Park,
& Avron Spiro III (Ed.), Handbook of health
psychology and aging (hlm.186-209). New
York: The Guilford Press.
Storch, J.A., Storch, J.B., Welsh, E., &
Okun, A. (2002). Religiosity and depression
in intercollegiate athletes. College Student
Journal, December 2002. Retrieved 9
November
2009
from
http://findarticles.com/p/articles/mi_m0FCR
/is_4_36/ai_96619958/
Subandi. (1993). A psychological
study of religious transformation among
moslems who practise dzikir tawakal. Tesis,
tidak diterbitkan, Queensland University of
Technology, Brisbane – Australia.
Wilkes, R.E., Burnett, J.J., & Howell,
R.D. (1986). On the meaning
and
measurement of religiosity in consumer
research. Journal of the Academy of
Marketing Science, Vol. 14, No. 1,47-56.
Takahashi, S. (2007, Juli). Perihal
Karma. Prajna Pundarika, hlm. 6.
Yayasan Amerta. (1994). Wahana
kehendak buddha: 30 tahun agama buddha
nichiren syosyu di Indonesia. Jakarta:
Wanandar, R., Dharmasaputra, M., Mulia,
E., Dharmasurya, D., Pradana, A. T.

12

Social
Integration

Social
Contribution

Social
Coherence

Social
Well-Being

Social
Acceptance

Self-Acceptance:
Penerimaan terhadap
karma

Social
Actualization

Personal Growth:
Sokushin Jobutsu

Afektif:
Percaya (Shin)

Positive
Relationships:
Berusaha menjaga
relasi positif

Behavioral:
Pelaksanaan (Gyo)
Shinjin

Pribadi: Gongyodaimoku)

Meaning Making
Membawa pada

Subjective
Well-Being

Psychological
Well-Being

Sosial: keseharian dan
kegiatan di Susunan
Kognitif:
Belajar (Gaku)

Emotional
Well-Being

Positive & Negative
Affect:
10 Dunia
Life satisfaction &
Happiness

Gambar 1. Proses tercapainya subjective well-being pada lansia BDI

Autonomy:
Shoho-Jissho
(Suasana adalah
Saya)
Environmental
mastery:
mampu mengontrol
situasi
Purpose in Life:
Maitri Karuna