TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALANG PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Mansur Nursiah Moh. Yunus Ashar Ridwan Abstrak - TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALANG PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTA

  

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALANG PERKAWINAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

Mansur

  

Nursiah Moh. Yunus

Ashar Ridwan

Abstrak

  

Untuk melakukan perkawinan harus memenuhi persyaratan yang di tetapakn agama

serta mereka yang ditentukan oleh hukum perkawinan. Jika perkawinan sudah

dilakukan tetapi tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, dapat diajukan dalam

penelitian ini adalah bagaimana konsekuensi hukum dari pembatalan perkawinan

yang telah diputuskan oleh pengadilang Agama metode penelitian yamg di gunakan

dalam skripsi ini adalah penelitian pendekatan normatif hukum yang dilakukan oleh

studi literatur kualitatif yuridis maka kesimpulan adalah dedukatif. Dari hasil

penelitian dapat di simpulkan bahwa pembatalan perkawinan yang dimulai dari

putusan pengadilan telah mengikat berlaku hukum dari saat perkawinan, pembatalan

keputusanan perkawinan tidak berlaku surut untuk anak-anak yang lahir dari

perkawinan dan masyarakat.

  Kata kunci : Perkawinan, pembatalan, undang-undang no 1 tahun 1974

  Membentuk keluarga yang bahagia rapat

I. PENDAHULUAN

  hubungan dengan keturunan, yang pula

A. LATAR BELAKANG

  merupakan tujuan perkawinan, Sebagai negara yang berdasarkan pemeliharaan dan pendidikan menjadi pancasila, dimana sila yang pertamanya

  1 hak dan kewajiban orang tua.

  ialah ketuhanan yang maha esa, maka Kesejahtraan dan kebahagiaan perkawinan mempuyai hubungan yang hidup bersama menentukan kesejahtraan erat sekali dengan agama/kerohanian dan kebahagiaan masyarakat dan negara, sehinga perkawinan bukan saja 1 mempuyai peranan yang penting.

  Penjelasan pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebaliknya rusak dan kacau hidup bersama yang bernama keluarga ini akan menimbulkan rusak dan kacaunya bangunan masyarakat. Mengigat peranan yang di miliki dalam hidup bersama itu sangat penting bagi tegak dan sejahtranya masyarakat, maka negara membutuhkan tata tertib dan kaidah- kaidah yang mengatur hidup bersama ini. Peraturan-peraturan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan yaitu hidup bersama dari seorang laki- laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk peraturan tersebut. Tata tertib kidah- kaidah inilah yang berlaku di Indonesia yang dalam bentuk konkriknya disebut hukum perkawinan atau istilah lain yang sama maksudnya telah berlaku sejak dahulu sampai sekarang.

  yang disebut Undang-undang Pokok Perkawinan, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya ditulis UU perkawinan) yang di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 2 Soeharjo soimin, hukum orang dan

  keluarga (edisi revisi) , sinar grafika, Jakarta,2004,hlm,3.

  menyatakan : perkawinan ialah ikatan lahir bating antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Maka dengan demikian kalau dilihat ayat (1) dari pasal 2 UU perkawinan: perkawina adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.

  3 Apabila dalam melaksanakan

  perkawinan tidak memenuhi syarat- syarat sahnya perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat di batalkan. Pembatalan perkawinan, berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah atau dianggap tidak pernah ada. Menurut Undang-Undang Perkawinan, pengaturan secara menyeluruh mengenai pembatalan perkawinan terdapat dalam

2 Dalam suatu undang-undang

  Pasal 22 sampai dengan Pasal 28, dan peraturan pelaksanaannya hanya menentukan tentang pembatalan perkawinan seperti tersebut dalam Pasal 27 dan Pasal 28. 3 Ibid.,hlm.4. Pembatalan perkawinan, selain dikarenakan perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, dapat disebabkan pula karena perkawinan dilangsungkan dengan menggunakan wali nikah yang tidak sah sebagaimana yang telah diatur dalam

  Pasal 26 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali- nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suamiatau istri.

  Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan dengan putusan Pengadilan. Dengan adanya putusan Pengadilan yang membatalkan perkawinan, maka perkawinan yang telah terjadi dianggap tidak pernah ada. Meskipun perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, tidak serta merta menghilangkan akibat hikum dalam perkawinan yang pernah dilaksanakan . Menurut soedarjo soimin : pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang terjadi dengan tampa memenuhi syarat- syarat sesuai undang-undang,pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah,akibatnya ialah perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.

  4 Bagi perkawinan yang

  dilangsunkan secara Islam pembatalan perkawinan lebih lanjut dimuat dalam

  Pasal 27 Peraturan Mentri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 Yang menyatakan: „‟apabila perkawinan telah dilangsunkan kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakaha atau peraturan perundang undangan tentang perkawinan, pengadilan agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yamg berkepentingan, Dengan demikian suatu perkawinan dapat di batalkan demi hukum dan bisa di batalkan oleh pengadilan. Perihal pembatalan perkawinan dalam Undnag-Undang No 1 Tahun 1974 peraturan termuat dalam bab 4 Muklis Marwan dan thoyib

  mangkupranoto,hukum islam II,Surakarta, buana cipta, 1986,hal 2. VI, pada pasal 22 sampai pasal 28 yang diatur lebih lanjut dalam perturan pelaksaan peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dalam bab VI dan 38.

  Di dalam pasal 22 UU No.1/1974 dinyatakan dengan tegas: ‟‟perkawinan dapat di batalkan apabila, para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.‟‟didalam penjelasannya,kata „‟dapat‟‟ dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal,bagaimana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti

  nietigverklaard , sedangkan absolute nietig adalah pembatalan mutlak.

  undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi relative nietig. Dengan 5 Amir Nuruddin dan A.A. Tarigan.

  Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan , Jakarta, Prenada Kencana, 2004, hal.54.

  demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan- aturan tertentu. Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.

  Selain dari pada yang telah dikemukakan di atas, pembatalan perkawinan juga mempunyai arti yang sangat penting, hal tersebut dikarenakan dari perkawinan yang dibatalkan akan berdampak bukan hanya bagi pasangan perkawinan saja namun juga berdampak bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan perkawinan tersebut, seperti harta benda dalam perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 UU Perkawinan. Apabila pembatalan dilakukan setelah mempunyai keturunan

5 Istilah dapat dibatalkan dalam

  atau anak maka berdampak pula pada Indonesia, yaitu Undang-undang No.1 anak yang dilahirkan dari suatu Tahun 1974 tentang perkawinan. perkawinan yang dibatalkan

  B. RUMUSAN MASALAH

  sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Berdasarkan latar belakang di ayat (1) dan Pasal 46 ayat(1) UU atas maka dapat diuraikan yang menjadi Perkawinan. Dalam hal mengambil suatu pokok permasalahan dari penelitian ini keputusan, Hakim Pengadilan Agama adalah : sudah seharusnya mempunyai

  1. Bagaimana tata cara pertimbangan-pertimbangan dalam permohonan pembatalan memutuskan perkara pembatalan perkawinanan ? perkawinan yang ditanganinya.

  2. Bagaimana akibat hukum Pembatalan perkawinan terhadap permohonan mempunyai dasar hukum yang tegas pembatalan perkawinan ? dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 1

  II. PEMBAHASAN

  Tahun 1974 tentang perkawinan. Suatu

  A. Tata Cara Permohonan

  perkawinan dapat di batalkan apabila Pembatalan Perkawinan para pihak tidak memenuhi syarat-syarat

  1. Pengajuan gugatan

  untuk melangsungkan perkawinan. Permohonan pembatalan suatu Barang siapa karena perkawinan masih perkawinan diajukan oleh pihak-pihak terikat dirinya dengan salah satu dari yang berhak mengajukan kepada kedua belah pihak dan atas dasar masih pengadilan yang daerah hukumnya adanya perkawinan dapat mengajukan meliputi tempat berlangsunganya pembatalan perkawinan yang baru, perkawinan, atau di tempat kedua suami- dengan tidak mengurangi ketentuan istri, suami atau istri.

  pasal 1 ayat (2) dan pasal 4. Hal tersebut

  2. Pemanggilan

  menunjukkan kuatnya dasar hukum Pemanggilan terhadap para pihak pembatalan perkawinan dalam undang- ataupun kuasanya dilakukan setiap undang perkawinan yang berlaku di kaliakan diadakan persidangan.

  Pemanggilan tersebut dilakukan oleh juru sita bagi Pengadilan Negeri dan petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama bagi Pengadilan Agama. Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, apabila tidak dapat dijumpai,pemanggilan dapat disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya. Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya, selambat- lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka, dan kepada tergugat harus pula dilampiri salinan surat gugatan.

  Selain pemanggilan dengan cara tersebut di atas, dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di pengadilan dan mengumumkan melalui 1 (satu) atau beberapa surat kabar atau media lain yang ditetapkan oleh pengadilan yang dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Apabila tergugat bertempat tinggal di luar negeri, panggilan disampaikan oleh pengadilan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

  3. Persidangan

  Persidangan untuk memeriksa gugatan pembatalan perkawinan harus dilakukan oleh pengadilan selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat gugatan dikepaniteraan. Dalam menetapkan hari sidang itu, perlu sekali diperhatikan tenggang waktu antara pemanggilan dan diterimanya panggilan itu oleh yang berkepentingan.

  Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat tinggal di luar negeri,persidangan ditetapkan sekurang- kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan pembatalan perkawinan itu. Para pihak yang berperkara yakni suami dan istri dapat mengaha diri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya, dengan membawa akta nikah dan surat keterangan lainnya yang diperlukan.

  Apabila telah dilakukan pemanggilan yang sepatutnya, tapi tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka gugatan itu dapat diterima tampa hadirnya tergugat,kecuali kalau gugatan tersebut tampa hak atau tidak beralasan. Pemeriksaan perkara gugatan pembatalan perkawinan dilakukan pada sidang tertutup.

  Sebelum dan selama perkara gugatan belum diputuskan pengadilan harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara. Apabila tercapai suatu perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan pembatalan perkawinan yang baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu tercapainya perdamaian.

  Ketentuan tentang perdamaian ini memang sangat layak dan penting dimuat dalam gugatan pembatalan perkawinan ini,karena memang apabila mungkin supaya pembatalan perkawinan tersebut tidak terjadi. Di samping itu dalam acara perdata usaha mendamaikan oleh pengadilan terhadap yang berperkara juga diatur dan merupakan hal yang penting.

  6

  5. Putusan

  Meskipun pemeriksaan gugatan pembatalan perkawinan dilakukan dalam sidang tertutup, tetapi pengucapan putusannya harus dilakukan dalam sidang terbuka. Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

4. Perdamaian

  Demikianlah tata cara gugatan pembatalan perkawinan yang berdasarkan pada ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam hal putusan yang diberikan oleh Pengadilan Agama, dalam Pasal 36 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah pembatalan perkawinan diputuskan, menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan 6 K.Wantjik Saleh, Hukum

  Perkawinan Indonesia , Ghalia

  Indonesia, Jakarta, 1980,

  hlm. 50 . hukum tetap itu kepada Pengadilan pengukuhan keputusan Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan. Agama oleh Pengadilan Negeri.

  Dengan berlakunya Undang- Sebaliknya untuk memantapkan Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang kemandirian Peradilan Agama oleh Peradilan Agama pada Tanggal 29 Undang-undang ini diadakan Juru September 1989,pengukuhan putusan Sita,sehingga Pengadilan Agama dapat Pengadilan Agama oleh Pengadilan melaksanakan keputusannya sendiri, dan Negeri yang terdapat dalam ketentuan tugas-tugas kepaniteraan dan Undang-undang Perkawinan, tidak kesekretariatan tidak terganggu oleh diberlakukan lagi. Hal tersebut dapat tugas-tugas kejurusitaan

  ”. Oleh karena dilihat dalam penjelasan umum Undang- itu, segala keputusan Pengadilan Agama Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang termasuk dalam masalah pembatalan Peradilan Agama angka 6 yaitu : “ perkawinan tidak dibutuhkan adanya Peradilan Agama adalah salah satu dari pengukuhan dari Pengadilan Negeri. empat lingkungan peradilan negara yang

  B. Akibat Hukum Pembatalan

  dijamin kemerdekaannya dalam Perkawinan menjalankan tugasnya sebagaimana yang Mengenai akibat hukum diatur dalam Undang-Undang Tentang pembatalan perkawinan terhadap Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan putusan pembatalan perkawinan di

  Pengadilan Agama mencakup 3 (tiga) Kehakiman”. Peradilan Agama yang hal penting, yaitu : kewenangannya mengadili perkara-

  1. Hubungan suami isteri;

  perkara tertentu dan mengenai golongan Akibat hukum rakyat tertentu, yaitu mereka yang pembatalan perkawinan terhadap beragama Islam, sejajar dengan hubungan suami isteri adalah peradilan yang lain. Oleh karena itu, hal- putusnya hubungan suami istri hal yang dapat mengurangi kedudukan- tersebut,karena setelah putusan kedudukan Peradilan Agama oleh Pengadilan mempunyai kekuatan Undang-undang ini dihapus, seperti hukum tetap maka perkawinan batal sejak saat berlangsungnya perkawinan, oleh karena itu perkawinan dianggap tidak pernah ada. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

  Pasangan suami istri yang telah dibatalkan perkawinannya dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat atau tidaknya untuk dilakukan perkawinannya kembali dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak diatur secara tegas. Namun, sudah tentu untuk melakukan perkawinan harus mematuhi syarat-syarat perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai Perkawinan.

  Boleh tidaknya menikah kembali didasarkan pada 3 (tiga) hal : pertama dilihat dari segi penyebab batalnya perkawinan, apabila perkawinan itu batal karena melanggar syarat-syarat perkawinan berupa larangan menikah,untuk selama-lamanya maka mereka tidak dapat menikah kembali meskipun berkehendak untuk melakukan pernikahan kembali. Kedua, pihak yang perkawinannya dinyatakan batal, dapat menikah kembali, tentunya harus secara sah memenuhi syarat-syarat perkawinan baik menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun menurut Hukum Islam.

  Apabila syarat-syarat perkawinan yang dilanggar berkenaan dengan larangan menikah yang bersifat sementara waktu saja, dan keduanya berkehendak, maka keduanya dapat menikah kembali. Ketiga, meskipun mereka dapat menikah kembali karenahanya menyangkut larangan menikah yang sementara waktu, namun apabila keduanya atau salah satu dari keduanya tidak berkehendak, maka tidak dapat menikah kembali. Terhadap pihak-pihak yang menikah kembali pembatalan perkawinan tidak membawa akibat apapun.

2. Terhadap kedudukan anak

  Selain berakibat pada putusnya hubunngan suami istri batalnya perkawinan juga membawa akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap kedudukan anak, maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai isi Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

  Dalam Pasal 42 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatas mempunyai dua penafsiran, pertama bahwa pasal tersebut mempunyai makna bahwa anak yang sah menurut Undang- Undang tersebut adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Walaupun adanya anak itu terjadinya sebelum atau diluar perkawinan yang sah asalkan anak itu lahir setelah perkawinan sah berlangsung antara pria dan wanita yang menyebabkan terjadinya anak itu maupun antara wanita dan pria yang bukan bapak biologis dari anak itu,maka anak tersebut tetap sebagai anak yang sah. Kemudian makna yang kedua bahwa anak yang sah adalah anak sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan kata lain bahwa anak yang sah anak yang terjadinya sungguh-sungguh akibat dari hubungan perkawinan yang sah. Dalam hal ini anak tersebut lahir setelah adanya perkawinan dari seorang pria dan wanita.

  Dengan demikian kata “atau” dalam Pasal 42 Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 mempunyai makna yang berbeda satu sama lain. Dari uraian mengenai maksud dari Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat diketahui bahwa perkawinan yang sah merupakan penentu dari sah atau tidaknya seorang anak. Untuk itu akan diuraikan terlebih dahulu mengenai syaratnya perkawinan.

  Berdasarkan Pasal

  42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menegaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dengan demikia nuntuk orang yang beragama Islam,sahnya perkawinan dilaksanakan berdasarkan Hukum Islam. Oleh karena itu, apabila perkawinan dilaksanakan dengan melanggar Hukum Islam, maka perkawinannya tidak sah.

  Selanjutnya, sahnya perkawinan menurut Hukum Islam ialah apabila perkawinan itu secara sah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Dengan demikian, dasar dari sahnya perkawinan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah hukum agama masing-masing sebaliknya apabila perkawinan dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun Hukum Islam, maka perkawinan tidak sah,sehingga dapat dibatalkan.

  Hal tersebut di atas, sesuai dengan Pasal 22 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hukum positif yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak menghendaki anak yang tidak berdosa menjadi korban perbuatan orang tuanya karenanya memberikan pengecualian terhadap anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang tidak sah. Maka,terhadap anak yang terlahir akibat perkawinan yang tidak sah tetap memiliki hubungan hukum dengan orang tuanya. Mengenai kedudukan anak akibat dari adanya pembatalan perkawinan,Pasal 28 ayat (2) huruf (a) Undang-undang Nomor

  1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak - anak. Batalnya perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum dengan kedua orang tuanya meskipun hubungan perkawinan orang tuanya putus. Anak tersebut berhak mewaris terhadap orang tuanya dan kedua orangtua memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak tersebut.

  Kedua penafsiran di atas, tafsiran kedualah yang selama ini dipergunakan sebagai pertimbangan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan anak,dimana perkawinan kedua orang tuanya dibatalkan oleh Putusan Pengadilan. Hal tersebut mengacu pada Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

  7

  3. Terhadap harta bersama

  Akibat hukum dari batalnya perkawinan terhadap harta bersama terdapat dalam

  Pasal 28 Ayat (2) huruf b Undang -Undang Nomor

  1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 7 Wibowo Reksopradoto, Hukum

  Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan Putusnya Perkawinan,

  I‟tikad Baik, Semarang, 1978,

  Hlm. 25-28 yang menyatakan bahwa suami atau istri yang bertindak dengan i‟tikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

  • – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing- masing.

  Dari Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor

  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat ditafsirkan bahwa terhadap suami istri yang bertindak dengan itikad baik dalam arti tidak ada unsur kesengajaan untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar hukum yang berlaku,sehingga walaupun perkawinan itu dibatalkan oleh Pengadilan karena tidak memenuhi syarat - syarat perkawinan maka tetap ada pembagian harta bersama.

  Pembagian harta bersama sesuai dengan pembagian harta bersama karena perceraian. Mengenai pengaturan harta bersama akibat dari batalnya perkawinan lebih lanjut diatur dalam Pasal 37 Undang

  Berdasarkan penjelasan

  Pasal 37 Undang-Undang Nomor

  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan “hukumnya” masing – masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum - hukum lainnya. Mengingat Pengadilan Agama menangani perkara bagi orang yang beragama Islam maka pengaturan harta bersama akibat dari pembatalan perkawinan menggunakan Hukum Islam.

  Menurut hukum Islam harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri adalah terpisah satu dengan yang lainnya yakni harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh setelah mereka terikat dalam hubungan perkawinan. Terpisahnya harta milik suami dan harta milik istri tersebut memberi hak yang sama bagi suami dan istri untuk mengatur sesuai dengan kebijaksanaan masing-masing.

  Pembagian harta bersama diserahkan kepada masing - masing pihak sesuai dengan kesepakatan masing

  • – masing pihak. Mengenai pembagian harta bersama maka harta bersama harus dibagi secara berimbang. Berimbang disini maksudnya adalah sejauh mana masing
  • – masing pihak memasukkan jasa dan usahanya dalam menghasilkan harta bersama tersebut. Jadi apabila harta bersama itu diperoleh lebih banyak karena usaha suami maka suami memperoleh bagian lebih banyak dan apabila harta tersebut lebih banyak diperoeh karena usaha istri maka bagian istri lebih banyak.

  Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akan nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut pasal 22 undang-undang perkawinan. Namun, bila rukun yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan : Pertama, pelanggaran prosudural perkawinan.

  Contonya, tidak terpenuhinya syarat- syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosudural lainnya.

  Kedua , pelanggaran terhadapa materi

  perkawinan. Contonya, perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami dan istri.

  Jadi, aturan-aturan perkawinan yang secara garis besar termuat di dalam rukun dan syarat-syaratnya merupakan pagar yang membatasi setiap orang untuk melakukan perkawinan terlarang. Seorang laki-laki yang akan menikah dengan seorang perempuan terlebih

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

  dahulu harus memeriksa apakah antara dirinya dan perempuan itu terdapat factor- faktor penghalang (muwani‟) atau tidak, rukun dan syaratnya terpenuhi dan urusan administrative yang lengkap. Disamping itu posisi saksi menjadi sangat menentukan.

  B. Saran

  Dalam rangka mencegah terjadinya pembatalan perkawinan seperti halnya perkara tersebut, maka hendaknya pegawai pencatat perkawinan (Kantor Urusan Agama) benar-benar meneliti kebenaran identitas dari para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA

  Amir Nuruddin dan A.A. Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi KritisPerkembangan , Jakarta, Prenada Kencana, 2004, hal.54. K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm. 50. Muklis Marwan dan thoyib mangkupranoto,hukum islam II,Surakarta, buana cipta, 1986,hal 2. Penjelasan pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Soeharjo soimin, hukum orang dan keluarga (edisi revisi), sinar grafika, Jakarta,2004,hlm,3. Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal

  dan Putusnya Perkawinan, I‟tikad Baik, Semarang, 1978, Hlm. 25-28

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS DISPENSASI PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 10 16

ANALISIS YURIDIS EKSISTENSI PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 6 56

ANALISIS YURIDIS HAK ISTRI KEDUA ATAS HARTA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 7 16

KAJIAN YURIDIS PENOLAKAN PELAKSANAAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 4 14

KAJIAN YURIDIS PENOLAKAN PELAKSANAAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 3 18

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBERIAN DISPENSASI PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 3 18

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBERIAN DISPENSASI PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penetapan Pengadilan Agama Jember No. 23/Pdt.P/2010/PA.Jr)

0 3 16

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA SKRIPSI

0 0 10

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

0 0 35

PELAKSANAAN PERKAWINAN TERHADAP NIKAH MUT’AH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM SKRIPSI

0 0 10