Kerusakan Jaringan Histopatologi Akibat kerusakan
Tugas Mata Kuliah KWID
Filsafat Ilmu
KERUSAKAN JARINGAN HISTOPATOLOGI
AKIBAT FIKSASI FORMALIN 10%
Oleh:
dr. Indah Yunalda
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
PATOLOGI ANATOMI PENDIDIKAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA/ RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2016
KERUSAKAN JARINGAN HISTOPATOLOGI
AKIBAT FIKSASI FORMALIN 10%
I.
Pendahuluan
Histoteknik adalah metode atau cara/proses untuk mengolah jaringan dari spesimen
tertentu melalui suatu rangkaian proses hingga menjadi sajian yang siap untuk diamati atau
dianalisis. Setelah jaringan atau organ tubuh dari penderita diangkat, jaringan tersebut akan
diolah hingga nantinya dapat diperiksa dibawah mikroskop dan ditentukan diagnosisnya.
Adapun rangkaian daripada pembuatan sajian histologi yaitu: fiksasi (fixation), dehidrasi
(dehydration), kliring (clearing), impregnasi, penanaman di dalam blok (embedding),
pewarnaan (staining), perekatan (mounting), dan pelabelan (labelling). Semua proses diatas
hendaknya dilakukan sebaik mungkin karena tiap proses akan menentukan baik buruknya
spesimen yang akan kita buat.
Dari berbagai tahap pengolahan jaringan, fiksasi merupakan tindakan pertama dan
sangat menentukan keberhasilan tahap selanjutnya dari pemrosesan jaringan. Tindakan ini
bersifat irreversibel, artinya jika kesalahan terjadi pada proses ini maka tidak dapat diperbaiki
dan akhirnya akan menghasilkan sediaan yang buruk. Selain harus dilakukan dengan cara
yang benar, dalam proses fiksasi juga harus memperhatikan jenis cairan fiksasi yang akan
digunakan.
Di sentra-sentra kesehatan selama bertahun-tahun, cairan formalin 10% merupakan
pilihan utama dalam fiksasi jaringan. Namun ternyata penggunanaanya memberikan dampak
yang negatif bagi sel-sel yang diawetkan sehingga cukup sulit untuk menentukan diagnosis
yang tepat karena tidak menunjukkan gambaran yang sebenarnya. Untuk mengatasi hal ini
maka diperlukan cairan fiksasi yang tidak bersifat toksik bagi sel sehingga nantinya diagnosis
pun dapat ditegakkan secara akurat. Saat ini cairan formalin buffer 10% merupakan cairan
yang dipilih untuk menggantikan formalin 10%. Penggunaan cairan ini dipilih karena selain
murah, mudah didapat, dan memberikan hasil fiksasi yang cukup baik.
II. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kenapa formalin 10% dapat
merusak jaringan histopatologi yang difiksasi dengan cairan ini. Serta memilih cairan fiksasi
yang tepat agar diperoleh hasil fiksasi yang baik sehingga dapat diperoleh diagnosis yang
tepat.
III. Pembahasan
Fiksasi adalah proses pengawetan jaringan biologis dan mencegah proses autolisis
atau proses pembusukan di dalam sel. Tujuan dari proses ini adalah mengawetkan jaringan
sehingga jaringan secara permanen mirip sedekat mungkin dengan keadaan saat hidup,
mempertahankan struktur sel atau jaringan, serta memadatkan atau mengeraskan jaringan
sehingga mudah dipotong.
Fiksasi merupakan langkah awal sekaligus penentu keberhasilan untuk tahap
selanjutnya dalam proses pengolahan jaringan. Adapun cara fiksasi yang benar diantaranya
adalah sesegera mungkin memasukkan jaringan yang telah diangkat dari tubuh untuk
dimasukkan ke dalam cairan fiksasi. Volume dari cairan fiksasi sebaiknya 15 sampai 20 kali
volume jaringan. Untuk jaringan yang kecil dapat langsung dimasukkan ke dalam pot yang
telah berisi cairan fiksasi kemudian ditutup rapat, sedangkan untuk jaringan yang besar dibuat
potongan sejajar terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi
cairan fiksasi. Hal ini dimaksudkan agar cairan fiksasi dapat memfiksasi jaringan secara
merata sehingga proses autolisis dan pembusukan jaringan dapat dihindari.
Di dalam proses fiksasi ini, banyak sekali cairan yang dapat digunakan untuk
mengawetkan jaringan, baik itu yang terdiri dari satu macam cairan kimia ataupun campuran
dari beberapa macam bahan kimia. Adapun contoh cairan fiksasi yang terdiri atas satu macam
bahan kimia yaitu formaldehid, etil alkohol, asam asetat, asam kromat, asam pikrat,
potassium dikromat, ossium tetraklorida, acetone, dan merkuri klorida. Sedangkan cairan
fiksasi yang terdiri dari campuran dari beberapa macam bahan kimia adalah larutan zenker,
larutan bouin, dan larutan karnoy.
Dalam pemilihan cairan fiksasi hal utama yang perlu diingat adalah kegunaan atau
tujuan pemeriksaan dari jaringan itu sendiri. Misalnya untuk memeriksa jaringan sitopatologi
usapan vagina, setelah dibuat apusan spesimen langsung difiksasi dengan alkohol 95%.
Untuk cairan serosa seperti cairan pleura dan cairan peritoneal difiksasi dengan alkohol 50%.
Dan cairan fiksasi yang dipilih untuk pemeriksaan histopatologi yang umumnya dipakai
adalah formalin buffer 10%.
Formalin adalah larutan pekat formaldehid yang dipasarkan dan mengandung
formaldehid 40%. Formaldehid yang memiliki struktur senyawa CH2O merupakan gas yang
mudah larut di dalam air sampai konsentrasi 40%. Larutan ini memiliki sifat tidak berwarna,
jernih, bau menusuk dan korosif, uap merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan
jika disimpan di tempat yang dingin dapat menjadi keruh. Disimpan dalam wadah tertutup,
terlindung dari cahaya dengan suhu penyimpanan di atas 200c.
Walaupun banyak orang menyamakan antara formalin 10% dengan formalin buffer
10%, namun keduanya adalah larutan yang berbeda. Formalin 10% sendiri merupakan
campuran dari formaldehid 40% dan aquadest dengan perbandingan 1: 9. Sedangkan pada
formalin buffer 10% yang memiliki pH 7, tersusun atas formaldehid 40% (100cc), aquadest
(900cc), sodium dihidrogen fosfat monohidrat (4 gram), dan disodium hidrogen fosfat
anhidrat (6.5 gram).
Formalin 10% terutama terdapat dalam bentuk polimer dari formaldehid. Bentuk ini
tidak dapat digunakan untuk fiksasi, yang dapat digunakan adalah bentuk monomernya.
Untuk menghasilkan formalin dalam bentuk monomer diperlukan waktu, keculai bila pH
larutan dibuat netral atau sedikit alkalis, karena kecepatan depolarisasi tergantung pada pH.
Jadi jangan pernah menggunakan formalin 10% yang baru dibuat karena jaringan akan
membusuk sebelum terfiksasi dengan baik. Selain itu formalin bersifat asam karena
mengandung asam formiat akibat oksidasi formaldehid. Oleh sebab itu larutan formalin 10%
harus dibuat netral atau sedikit alkalis dengan menambahkan larutan dapar fosfat dengan pH
7.2 sebagai pelarut, atau dengan menambahkan kalsium asetat. Selain itu penggunaan
formalin 10% dapat menyebabkan terbentuknya pigmen formalin (acid formaldehyde
haematin), yaitu akibat interaksi antara larutan formalin ber-pH asam dengan hemoglobin
atau produknya. Pigmen formalin sering dijumpai pada organ-organ yang mengandung
banyak darah seperti hati, limpa, dan sumsum tulang.
Karena beberapa kekurangan diatas, maka saat ini formalin 10% tidak lagi digunakan
dalam fiksasi jaringan histopatolgi dan kemudian dipilihlah formalin buffer 10% sebagai gold
standart dalam fiksasi jaringan. Selain karena pH yang mendekati normal, pigmen formalin
yang terbentuk akibat interaksi antara pH asam dengan hemoglobin atau produknya dapat
dicegah. Harga yang murah, mudah didapat, daya tembus atau penetrasi ke dalam jaringan
yang kuat serta dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama menambah kelebihan dari
cairan fiksasi ini.
IV. Kesimpulan
Dalam proses pengolahan jaringan histopatologi, fiksasi merupakan langkah awal dan
penentu keberhasilan dari proses pengolahan jaringan selanjutnya. Jika dalam tahap ini terjadi
kesalahan, maka tidak akan dapat diperbaiki lagi (irreversible) dan akan memberikan hasil
pemeriksaan atau sediaan yang tidak baik. Walaupun banyak sekali cairan yang dapat
digunakan sebagai cairan fiksasi, namun golongan formaldehid lah yang seringkali digunakan
dalam proses ini. Dan yang menjadi gold standart atau cairan fiksasi pilihan adalah cairan
formalin buffer 10%.
V. Daftar Pustaka
Dr.Zulham, M.Biomed.Penuntun Pratikum Histoteknik Biomedik.Departeman Histoteknik
FKUSU
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2003.Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Kanker
Paru di Indonesia
Filsafat Ilmu
KERUSAKAN JARINGAN HISTOPATOLOGI
AKIBAT FIKSASI FORMALIN 10%
Oleh:
dr. Indah Yunalda
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
PATOLOGI ANATOMI PENDIDIKAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA/ RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2016
KERUSAKAN JARINGAN HISTOPATOLOGI
AKIBAT FIKSASI FORMALIN 10%
I.
Pendahuluan
Histoteknik adalah metode atau cara/proses untuk mengolah jaringan dari spesimen
tertentu melalui suatu rangkaian proses hingga menjadi sajian yang siap untuk diamati atau
dianalisis. Setelah jaringan atau organ tubuh dari penderita diangkat, jaringan tersebut akan
diolah hingga nantinya dapat diperiksa dibawah mikroskop dan ditentukan diagnosisnya.
Adapun rangkaian daripada pembuatan sajian histologi yaitu: fiksasi (fixation), dehidrasi
(dehydration), kliring (clearing), impregnasi, penanaman di dalam blok (embedding),
pewarnaan (staining), perekatan (mounting), dan pelabelan (labelling). Semua proses diatas
hendaknya dilakukan sebaik mungkin karena tiap proses akan menentukan baik buruknya
spesimen yang akan kita buat.
Dari berbagai tahap pengolahan jaringan, fiksasi merupakan tindakan pertama dan
sangat menentukan keberhasilan tahap selanjutnya dari pemrosesan jaringan. Tindakan ini
bersifat irreversibel, artinya jika kesalahan terjadi pada proses ini maka tidak dapat diperbaiki
dan akhirnya akan menghasilkan sediaan yang buruk. Selain harus dilakukan dengan cara
yang benar, dalam proses fiksasi juga harus memperhatikan jenis cairan fiksasi yang akan
digunakan.
Di sentra-sentra kesehatan selama bertahun-tahun, cairan formalin 10% merupakan
pilihan utama dalam fiksasi jaringan. Namun ternyata penggunanaanya memberikan dampak
yang negatif bagi sel-sel yang diawetkan sehingga cukup sulit untuk menentukan diagnosis
yang tepat karena tidak menunjukkan gambaran yang sebenarnya. Untuk mengatasi hal ini
maka diperlukan cairan fiksasi yang tidak bersifat toksik bagi sel sehingga nantinya diagnosis
pun dapat ditegakkan secara akurat. Saat ini cairan formalin buffer 10% merupakan cairan
yang dipilih untuk menggantikan formalin 10%. Penggunaan cairan ini dipilih karena selain
murah, mudah didapat, dan memberikan hasil fiksasi yang cukup baik.
II. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kenapa formalin 10% dapat
merusak jaringan histopatologi yang difiksasi dengan cairan ini. Serta memilih cairan fiksasi
yang tepat agar diperoleh hasil fiksasi yang baik sehingga dapat diperoleh diagnosis yang
tepat.
III. Pembahasan
Fiksasi adalah proses pengawetan jaringan biologis dan mencegah proses autolisis
atau proses pembusukan di dalam sel. Tujuan dari proses ini adalah mengawetkan jaringan
sehingga jaringan secara permanen mirip sedekat mungkin dengan keadaan saat hidup,
mempertahankan struktur sel atau jaringan, serta memadatkan atau mengeraskan jaringan
sehingga mudah dipotong.
Fiksasi merupakan langkah awal sekaligus penentu keberhasilan untuk tahap
selanjutnya dalam proses pengolahan jaringan. Adapun cara fiksasi yang benar diantaranya
adalah sesegera mungkin memasukkan jaringan yang telah diangkat dari tubuh untuk
dimasukkan ke dalam cairan fiksasi. Volume dari cairan fiksasi sebaiknya 15 sampai 20 kali
volume jaringan. Untuk jaringan yang kecil dapat langsung dimasukkan ke dalam pot yang
telah berisi cairan fiksasi kemudian ditutup rapat, sedangkan untuk jaringan yang besar dibuat
potongan sejajar terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi
cairan fiksasi. Hal ini dimaksudkan agar cairan fiksasi dapat memfiksasi jaringan secara
merata sehingga proses autolisis dan pembusukan jaringan dapat dihindari.
Di dalam proses fiksasi ini, banyak sekali cairan yang dapat digunakan untuk
mengawetkan jaringan, baik itu yang terdiri dari satu macam cairan kimia ataupun campuran
dari beberapa macam bahan kimia. Adapun contoh cairan fiksasi yang terdiri atas satu macam
bahan kimia yaitu formaldehid, etil alkohol, asam asetat, asam kromat, asam pikrat,
potassium dikromat, ossium tetraklorida, acetone, dan merkuri klorida. Sedangkan cairan
fiksasi yang terdiri dari campuran dari beberapa macam bahan kimia adalah larutan zenker,
larutan bouin, dan larutan karnoy.
Dalam pemilihan cairan fiksasi hal utama yang perlu diingat adalah kegunaan atau
tujuan pemeriksaan dari jaringan itu sendiri. Misalnya untuk memeriksa jaringan sitopatologi
usapan vagina, setelah dibuat apusan spesimen langsung difiksasi dengan alkohol 95%.
Untuk cairan serosa seperti cairan pleura dan cairan peritoneal difiksasi dengan alkohol 50%.
Dan cairan fiksasi yang dipilih untuk pemeriksaan histopatologi yang umumnya dipakai
adalah formalin buffer 10%.
Formalin adalah larutan pekat formaldehid yang dipasarkan dan mengandung
formaldehid 40%. Formaldehid yang memiliki struktur senyawa CH2O merupakan gas yang
mudah larut di dalam air sampai konsentrasi 40%. Larutan ini memiliki sifat tidak berwarna,
jernih, bau menusuk dan korosif, uap merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan
jika disimpan di tempat yang dingin dapat menjadi keruh. Disimpan dalam wadah tertutup,
terlindung dari cahaya dengan suhu penyimpanan di atas 200c.
Walaupun banyak orang menyamakan antara formalin 10% dengan formalin buffer
10%, namun keduanya adalah larutan yang berbeda. Formalin 10% sendiri merupakan
campuran dari formaldehid 40% dan aquadest dengan perbandingan 1: 9. Sedangkan pada
formalin buffer 10% yang memiliki pH 7, tersusun atas formaldehid 40% (100cc), aquadest
(900cc), sodium dihidrogen fosfat monohidrat (4 gram), dan disodium hidrogen fosfat
anhidrat (6.5 gram).
Formalin 10% terutama terdapat dalam bentuk polimer dari formaldehid. Bentuk ini
tidak dapat digunakan untuk fiksasi, yang dapat digunakan adalah bentuk monomernya.
Untuk menghasilkan formalin dalam bentuk monomer diperlukan waktu, keculai bila pH
larutan dibuat netral atau sedikit alkalis, karena kecepatan depolarisasi tergantung pada pH.
Jadi jangan pernah menggunakan formalin 10% yang baru dibuat karena jaringan akan
membusuk sebelum terfiksasi dengan baik. Selain itu formalin bersifat asam karena
mengandung asam formiat akibat oksidasi formaldehid. Oleh sebab itu larutan formalin 10%
harus dibuat netral atau sedikit alkalis dengan menambahkan larutan dapar fosfat dengan pH
7.2 sebagai pelarut, atau dengan menambahkan kalsium asetat. Selain itu penggunaan
formalin 10% dapat menyebabkan terbentuknya pigmen formalin (acid formaldehyde
haematin), yaitu akibat interaksi antara larutan formalin ber-pH asam dengan hemoglobin
atau produknya. Pigmen formalin sering dijumpai pada organ-organ yang mengandung
banyak darah seperti hati, limpa, dan sumsum tulang.
Karena beberapa kekurangan diatas, maka saat ini formalin 10% tidak lagi digunakan
dalam fiksasi jaringan histopatolgi dan kemudian dipilihlah formalin buffer 10% sebagai gold
standart dalam fiksasi jaringan. Selain karena pH yang mendekati normal, pigmen formalin
yang terbentuk akibat interaksi antara pH asam dengan hemoglobin atau produknya dapat
dicegah. Harga yang murah, mudah didapat, daya tembus atau penetrasi ke dalam jaringan
yang kuat serta dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama menambah kelebihan dari
cairan fiksasi ini.
IV. Kesimpulan
Dalam proses pengolahan jaringan histopatologi, fiksasi merupakan langkah awal dan
penentu keberhasilan dari proses pengolahan jaringan selanjutnya. Jika dalam tahap ini terjadi
kesalahan, maka tidak akan dapat diperbaiki lagi (irreversible) dan akan memberikan hasil
pemeriksaan atau sediaan yang tidak baik. Walaupun banyak sekali cairan yang dapat
digunakan sebagai cairan fiksasi, namun golongan formaldehid lah yang seringkali digunakan
dalam proses ini. Dan yang menjadi gold standart atau cairan fiksasi pilihan adalah cairan
formalin buffer 10%.
V. Daftar Pustaka
Dr.Zulham, M.Biomed.Penuntun Pratikum Histoteknik Biomedik.Departeman Histoteknik
FKUSU
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2003.Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Kanker
Paru di Indonesia