KEBHINNEKAAN, DEMOKRASI DAN HAK- HAK WARGA NEGARA (2)

  Bilingual Newsletter Editorial .................. 1 Fokus ...................... 3 Fitur ...................... 18 Kronik ..................... 21 Refleksi .................... 30 Agenda .................... 32

  Elga Sarapung, Wiwin Siti Aminah, Wening Fikriyati Setting/ Layout

  Twitter @dian_interfidei

  Facebook Institut DIAN/Interfidei

  E-mail dianinterfidei@yahoo.com

  Institut DIAN/ Interfidei Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia. Phone.:0274-880149. Fax.:0274- 887864

  Eko Putro Mardianto, Fita Andriani Diterbitkan oleh

  Margareta E. Widyaningrum Keuangan

  Ryo Emanuel Dokumentasi

  Wiwin Siti Aminah Tim Redaksi

  1 EDITORIAL

Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia

  Penanggung Jawab Elga Sarapung Pemimpin Redaksi

  The 2014 General Election brings out a lot of new incidents which enrich Indonesian history. Among those incidents, there is the fact that there were only two Presidential pairings who had highly contrasting characters and backgrounds. There is also the great enthusiasm, support, and participation from the people, especially the youth. On top of that, there is also the phenomenon in which massive volunteer groups started to emerge in most parts of Indonesia. All this shows the great desire of the Indonesian people to have a leader who is pro-people, closer to the people, and can change the state of the Indonesian people to the better in all aspects of life, especially those with regards to the fulfillment of people's rights as

  Presidential Election was done simultaneously throughout the whole regions in Indonesia on 9 July 2014. The election of Joko Widodo (JOKOWI) as the President and Jusuf Kalla (JK) as the Vice President of Indonesia for the year 2014 to 2019 has left the people with many stories ranging from those which are e x c i t i n g , t h o s e w h i c h a r e disappointing, those which are heart- breaking, to those which are revolting.

  T h e 2 0 1 4 d e m o c r a t i c celebration is over. The direct

  DEMOCRACY, AND THE RIGHTS OF THE CITIZEN (2)

  

Pilpres kali ini sungguh

diwarnai oleh banyak hal yang b e l u m p e r n a h t e r j a d i sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Pertama pilpres langsung kali ini hanya diikuti oleh dua pasangan yang memiliki karakter dan latarbelakang yang sangat kontras. Kedua, pilpres kali diikuti dengan antusiasme yang sangat besar dan dukungan yang luar biasa, khususnya dari kalangan anak muda. Munculnya DIVERSITY,

  P esta demokrasi tahun

2014 telah usai. Pemi-

lihan Presidan dan Wakil Presiden sudah dilaksanakan secara langsung dan serempak di seluruh wilayah tanah air pada 9 Juli lalu. Terpilihnya Joko Widodo (JOKOWI) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014- 2019 menyisakan banyak cerita, dari cerita yang menggembira- kan, mengecewakan, menyedih- kan sampai memuakkan.

  KEBHINNEKAAN, DEMOKRASI DAN HAK- HAK WARGA NEGARA (2)

  Website http: /www.interfidei.or.id /

  Interfidei newsletter Editorial Indonesian citizens. fenomena kelompok relawan (khususnya untuk pasangan Jokowi-JK) yang massif di hampir

  Such high expectations, of course, cannot necessarily be realized by having new leaders. Yet, they seluruh wilayah Indonesia menunjukkan adanya have to be accompanied by adequate support from the keinginan yang besar dari rakyat untuk legislative and judiciary institutions. Above all, the mendapatkan pemimpin yang pro-rakyat, yang support of the people is the most critical in the realization of these expectations. With this, the dekat dengan rakyat dan dapat mengubah government can function well and the changes will be keadaan rakyat Indonesia menjadi lebih baik di immediately experienced by the people of Indonesia. segala bidang kehidupan. Dengan terpilihnya

  In this year's second edition, we deliver the same pasangan Jokowi-JK, rakyat Indonesia semakin theme as the previous edition. Two papers will present mempunyai harapan besar akan terjadi the different dynamics of the experiences from the last Presidential Election; they are the one in South Sulawesi perubahan tersebut. and the one in West Sumatra. As for the profile in this edition, we are presenting the profile of Lembaga

  Selamat membaca dan salam demokrasi! Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR, Institute of People for Education and Advocacy), South Sulawesi.

  Happy reading and Viva Democracy!

  2

  Interfidei newsletter Focus

  PILPRES 2014: 2014 PRESIDENTIAL ELECTION: BETWEEN THE LIGHT and THE ANTARA TERANG dan GELAP DARK OF DEMOCRACY

  DEMOKRASI By Abdul Karim Oleh Abdul Karim

  Executive Director of LAPAR South Sulawesi Direktur Eksekutif LAPAR Sulsel he 2014 presidential election ilpres 2014 memberi banyak has provided many lessons pelajaran yang harus kita petik. learnt. Some people have

  Kemenangan Jokowi-JK pada T regarded the victory of Jokowi-JK as

  P pilpres itu oleh sebahagian kalangan the political victory of people power. disebut sebagai kemenangan politik

  It even perceived as the awakening of massa rakyat. Bahkan, kemenangan

Jokowi-JK seringkali dipersepsi sebagai the second reformation in Indonesia.

kebangkitan "reformasi kedua" negeri Some scholars seen this as the

ini. Kaum terpelajar menyebutnya, increasing of political awareness of bahwa kemenangan itu menandakan the people, because choosing kesadaran politik warga mengalami

  Prabowo Subianto-Hatta Radjasa kemajuan. Sebab mendukung pasangan considered as supporting violator of

  Prabowo Subianto-Hatta Radjasa sama human rights, authoritarian and halnya mendukung pemerintahan military oriented government. In pelanggar HAM, otoriter, dan tentu saja addition, the nation had being militeristik. Bangsa ini punya trauma traumatized by the Soeharto regime. kegagalan dipimpin tokoh militer

  For more than three decades, Soeharto through his mendiang Soeharto. Selama tiga dasawarsa lebih, political New Order development has failed in almost

  Soeharto melalui politik pembangunan Orde Baru-nya all lines yet has successfully produced corrupt terbukti gagal di hampir semua lini. Bahkan, rezim itu politicians. sukses mendidik-membesarkan pemimpin-pemimpin korup di negeri ini.

  All the people in this country seem to be frustrated Seluruh rakyat di negeri ini nampaknya frustrasi by the situation of the state - nation in the last ten years. dengan situasi negara-berbangsa sepuluh tahun terakhir.

  Rampant corruption in government institutions and Korupsi yang merajalela baik di tubuh institusi political parties, the increasing number of poverty, as pemerintahan, maupun di tubuh Parpol, hingga ke lapis well as an on going inter-religious violence had bawah, kemiskinan yang semakin meningkat secara coloring this nation in the past ten years. SBY-led kualitatif, hingga kekerasan antar umat beragama regime additionally leaves some extreme failures. senantiasa mewarnai bangsa ini dalam sepuluh tahun terakhir. Rezim yang dipimpin SBY pun mengesankan

  Therefore, the people have waited the presence of kegagalan yang teramat sangat. the country's future leader like Jokowi. The figure's

  Karena itu, kehadiran sosok calon pemimpin negeri leadership track record has no doubt proven; starting as seperti Jokowi menjadi penantian bagi masyarakat. Track the mayor of Solo for two periods, then the Governor of record kepemimpinan putra asal Solo, Jawa Tengah ini

  Jakarta until he was formally elected as the president in tak diragukan; mulai ketika ia memimpin kota Solo dua

  2014. All in all Jokowi has shown his leadership periode, lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga integrity and quality as a down to earth leader. menjadi Capres 2014 ini--ia telah menunjukkan kualitas kepemimpinan dengan penuh pelayanan dan integritas

  With the blusukan leadership style, Jokowi has tinggi. successfully established an interactional relationship with the people. The style that finally attracts people's

  Dengan metode kepemimpinan blusukan, Jokowi sympathy, as if they feel the man is part of them. The mampu menarik simpati rakyat negeri ini. Sebab dengan

  3 people has found the missed leader, who do more action rather than those who merely talking.

  In spite of it all, it is important to reflect the presidential elections' processes on July 9th 2014. How was the democracy's quality of the presidential election? Are these processes valued the high quality of democracy or just a mere queasy democracy? Political Volunteers and The Politics of Volunteers

  First of all, it is interesting to point out the phenomenon of " volunteers " in the 2014 presidential election. A number of volunteers' groups supporting Jokowi to be a candidate of president have been spread in several provinces long before Jokowi officially pointed as a presidential candidate. It is after the official announcement of candidacy; the volunteers had increasingly growing like mushrooms. Never before in the history of the republic there was a movement based on a massive voluntarism such as the 2014 presidential election. In fact, perhaps, there are only two in the world: The Jokowi's and the Obama's presidential election of 2008. Furthermore, even the issues of sectarianism were structurally, systematically, and massively mobilized, it failed to kick Jokowi down. He still elected as the 7th president of the Republic of Indonesia (Teuku Kemal Fasya ; 2014).

  The proliferation of volunteers can be pointed out as a new political phenomenon of the republic post- independence after 1945. In the Old Order era, there were a number of political volunteers who monitored the electoral process. However, these volunteers formed by political parties and indeed they were members of the parties. In contrast, the volunteers of Jokowi, came from a wide range of community, in fact, some of them were non-partisans of the parties that nominate Jokowi-JK. Uniquely, these volunteers worked massively utilizing cyberspace and the real world.

  In the New Order era, similarly, the presence of volunteers chamber had sealed by the political regime. This due to the New Order regime limited the space for political activists. Accordingly, there was no room for freedom of speech at all levels. Volunteers' politics can only grow in a climate of open democracy. It is precisely why the volunteers of Jokowi may flourish. They were living in an open democratic space in spite of the poor quality of democracy.

  In the New Order era, additionally, there seems no praktek blusukan yang dipopulerkannya itu, ia menunjukkan wajah kepemimpinan yang melayani dengan penuh integritas. Ini pun menunjukkan bahwa rakyat negari ini merindukan pelayanan, bukan pidato tanpa . Terlepas dari itu semua, kita tetap penting action merefleksikan proses-proses Pemilu Pilpres 2014 pada 9 Juli lalu. Bagaimana kualitas demokrasi Pilpres Juli 2014 lalu? Apakah proses-proses itu bisa didefinisikan sebagai praktek demokrasi yang berkualitas tinggi, atau justeru proses itu tetap hanya sebagai prosedur-prosedur demokrasi semata? Relawan Politik dan Politik Relawan

  Pertama-tama mari kita simak fenomena "relawan" dalam pilpres 2014 ini. Jauh sebelum Jokowi resmi menjadi calon presiden berpasangan JK, di beberapa propinsi telah terbentuk paguyuban relawan yang mendorong/mendukung Jokowi maju sebagai capres. Ketika Jokowi resmi menjadi capres, "relawan" makin bertumbuh bak jamur. Belum pernah dalam sejarah republik ada gerakan yang berbasis kepada kesukarelaan ( ) sedemikian besarnya seperti Pilpres 2014 voluntarism lalu. Mungkin di dunia hanya ada dua, setelah Obama pada Pilpres 2008. Bahkan isu sektarianisme yang dimobilisasi secara terstruktur, sistematis, dan massif tak berhasil meninju KO Jokowi. Ia tetap terpilih sebagai presiden RI ketujuh (Teuku Kemal Fasya; 2014).

  Menjamurnya relawan bisa ditandai sebagai fenomena politik baru pasca kemerdekaan republik ini 1945 silam. Di era kepemimpinan Orde Lama memang terdapat sejumlah relawan politik yang misalnya bekerja memantau proses pemilu. Tetapi mereka adalah relawan bentukan partai politik saat itu yang direkrut dari dalam tubuh partai politik. Berbeda dengan relawan dalam konteks Jokowi ini, mereka mendeklarasikan diri atau komunitasnya sebagai relawan, dan sebahagian besar bukan berasal dari kader partai politik pengusung Jokowi-JK. Uniknya, relawan ini berselancar di dunia maya dan dunia nyata.

  Sementara di zaman Orde Baru, ruang hadirnya relawan-relawan politik ditutup rapat oleh rezim yang berkuasa. Ini terjadi sebab rezim Orde Baru memang tak memberi kesempatan bertumbuhnya aktivis-aktivis politik yang berbeda pandangan dengan rezim di segala level. Demokrasi benar-benar terpasung. Relawan politik hanya bisa tumbuh dalam iklim demokrasi yang terbuka. Aspek itu pulalah yang memungkinkan mengapa relawan-relawan Jokowi tumbuh subur. Sebab mereka hadir dalam ruang demokrasi yang terbuka kendatipun kualitas demokrasi secara objektif masih sangat mencemaskan.

  Dibandingkan dengan era Orde Baru, kita tak menemukan relawan yang sama. Sebab di zaman gelap Fokus

4 Interfidei newsletter

  5 Focus Interfidei newsletter such kind of volunteers. Public matters mostly separated from political affairs. It was political technocracy practiced at the time; the politics governed by a handful of political technicians, namely the activists of political parties. Politics is not the affairs of the people, but the affairs of political parties and elites.

  For more than thirty-two years, some important lessons on strengthening democracy learned.

  The presence of political volunteers, who has played important roles in winning Jokowi-JK, has also changing the rigid, tense, and clumsy styles of political practices as we have seen in the past ten years. Politics embraced by these volunteers, was a politics of command good. There were no identity barriers. There were no boundaries of ethnicity, religion, or social class. They came from all walks of life. They were united under the banner of "Jokowi- JK winning volunteers". In this context, hence, the presence of "political volunteers” reflected "unity in diversity" of political practices.

  Tracing back to 2014, how some groups of people from different backgrounds and communities declared themselves as Jokowi-JK volunteers; thousands people gathered during the presidential election campaign in Gelora Bung Karno, and thousands of them crowded the inauguration of the new president on the 20th of October in Senayan. Again, these colorful backgrounds of volunteers gave a pave to Jokowi to be elected as the seventh president of the republic.

  Accordingly, it may say that the social status differences of political volunteers are not an issue in of the diversity. The diversity, indeed, is the strength of democracy, as well as a significant factor of social and political stability. Additionally, it may be noted that the 2014 presidential election had a strong political legitimacy compare to both 2004 and 2009 elections. In 2014, the political volunteers participated not only in the voting booth, but also since the beginning of the presidential candidacy.

  Procedure of Democracy In the 2014 presidential election, despite of the political and social supports from Jokowi's volunteers was very significant, yet some figures show that the substance of democracy was weaker than the procedural of democracy.

  The nomination of Jokowi-JK carried by PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, and PKPI had indeed meet the itu, urusan politik dijauhkan dari perkara masyarakat kebanyakan. Yang berkembang saat itu adalah teknokrasi politik; politik diatur oleh segelintir teknisi politik, yakni pegiat partai politik. Politik bukan urusan rakyat, tetapi urusan partai politik dan sejumlah elit. Selama lebih dari tiga puluh dua tahun, kita mendapatkan pelajaran penting dalam kerangka memperkuat demokrasi.

  Kehadiran relawan politik ini juga mampu mencairkan praktek politik beku, kikuk, dan menegangkan, sebagaimana yang kita saksikan dalam sepuluh tahun terakhir. Relawan dalam konteks ini menjadikan politik sebagai ajang kegembiraan bersama. Tak ada sekat-sekat perbedaan identitas. Tak ada batas- batas etnik, agama, suku, kelas sosial, latar belakang kehidupan, dan profesi dalam relawan. Mereka menyatu dalam nafas yang sama; "relawan pemenangan Jokowi- JK". Di sini kemudian kita temukan bahwa kehadiran "relawan politik" pada intinya mencerminkan "ke- bhinekaan yang solid" dalam politik. Komunitas relawan berperan penting dalam memenangkan Jokowi-JK.

  Lihatlah kembali misalnya, bagaimana sekelompok warga dari berbagai latar belakang mendeklarasikan diri dan komunitasnya mendorong dan memenangkan Jokowi sebagai presiden ke tujuh republik ini. Saat kampanye pilpres misalnya, di lapangan Gelora Bung Karno, ribuan massa berkumpul menantikan Jokowi. Yang terbaru, saat momentum pelantikan Jokowi-JK sebagai presiden/wakil presiden pada 20 Oktober lalu, ratusan ribu massa berkumpul di Senayan menanti Jokowi-JK. Mereka berasal dari latar belakang dan profesi.

  Dengan demikian, sebuah pelajaran penting pantas didengungkan di sini bahwa keragaman status sosial dalam politik relawan tidak menjadi persoalan dalam kebhinekaan kita. Dan fenomena ini pun menunjukkan bahwa kebhinekaan adalah kekuatan demokrasi, serta sebagai potensi sosial politik yang cukup signifikan.

  Dan fenomena ini barangkali bisa didefinisikan sebagai tanda bahwa pilpres 2014 ini memiliki legitimasi politik yang kuat dibanding pilpres 2004 dan pilpres 2009. Sebab partisipasi relawan politik bukan hanya di bilik suara, tetapi sejak awal (sebelum Jokowi maju sebagai capres) mereka sudah bertumbuh di mana-mana, meneriakkan agar Jokowi maju sebagai Capres.

  Prosedur Demokrasi Meskipun dukungan sosial politik dari relawan politik Jokowi dalam pilpres 2014 ini sangat signifikan, tetapi itu tidak dapat serta merta disimpulkan bahwa pilpres kali ini telah bergerak di ranah substansi demokrasi. Sebab, sejumlah pemandangan juga menunjukkan bahwa pilpres 2014 ini hanya kuat di ranah prosedural demokrasi dam kosong melompong di ranah

  Fokus substansi.

  Jokowi-JK yang diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI telah menunjukkan bahwa pencalonan mereka memang memenuhi posedur demokrasi. Kampanye pun ditunaikan keduanya bersama parpol pengusung dan tim suksesnya. KPU dan Bawaslu hadir sebagai penyelenggara dan pengawas setiap tahapan- tahapan pilpres. Kesemua aspek ini merupakan prosedur- prosedur formal demokrasi.

  Tetapi di lapis masyarakat, pilpres dimaknai tak lebih sebagai rutinitas lima tahun di negeri ini. Sebagai rutinitas, tentu saja harus dimeriahkan. Rakyat lantas dimobilisasi untuk memeriahkan rutinitas itu dengan cara merekrutnya sebagai tim sukses, memobilisasi mereka saat kampanye dan sebagainya. Selebihnya, rakyat dimobilisasi hadir di TPS. Kita yang menyaksikan fenomena itu lantas berteori, bahwa fenomena itu menunjukkan proses demokrasi sedang berlangsung.

  Padahal, tanpa disadari cara-cara seperti itu justeru menempatkan rakyat sebagai 'objek', bukan sebagai 'subjek demokrasi'. Masyarakat memang terlibat dalam kemeriahan pilpres, tetapi sesungguhnya mereka tak lebih sebagai objek. Mereka terlibat bukan karena kesadaran atau tanpa penalaran demokrasi, melainkan karena “dimobilisasi” atau “diinstruksikan”. Pada titik ini, pilpres gagal diselami sebagai proses demokrasi untuk mempertegas “kedaulatan”.

  Adapun masyarakat yang saban hari memang nampak mengenal/akrab dengan kontestan-kontestan pilpres itu disebabkan oleh begitu aktifnya media massa mewartakan dinamika pilpres. Setiap hari, tontonan tentang pilpres disimak melalui TV ataupun media cetak. Tetapi—sekali lagi—ini pun tidak mencerminkan kuatnya kesadaran/penalaran demokrasi warga. Jadi, pengetahuan masyarakat bawah tentang kontestan pilpres disebabkan oleh dinamika pilpres persis seperti infortaiment yang senantiasa diputar di stasiun televisi. Bukan karena keberhasilan parpol pengusung atau tim sukses membangun kesadaran demokrasi warga.

  Ancaman Kebhinekaan Kampanye negatif cukup produktif dilancarkan oleh kontestan pilpres. Kampanye negatif inilah yang menyuburkan potensi-potensi terselubung penggunaan i s u S A R A d a l a m m o m e n t u m p i l p r e s .

  Matamassa.org—sebuah situs yang melakukan monitoring pemilu pilpres bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menemukan penggunaan isu SARA dalam pilpres lalu paling banyak menyerang kubu pasangan Jokowi-JK. Menurut Kordiantor Matamassa.org, Muhammad Irham, bahwa serangan SARA kepada Jokowi terjadi sebanyak 69 kali. procedures of democracy: The campaign accomplished by both political parties and success teams. KPU and BAWASLU presented as organizers and supervisors in each stages of the election.

  The society, additionally, interpreted the election just merely a routine five years democratic party. As a routine, of course, the party should be enlivened. People then mobilized to enliven the routines and recruited as a campaign successful team. Moreover, they were mobilized and instructed to present at the polling stations. Thus, in this context, we are witnessing the phenomenon of the processes of democracy.

  In fact, such ways has precisely located the people as 'objects' and not as 'subject of democracy'. The society for sure has involved in a festive of presidential elections, but in fact they seemingly nothing yet solely as objects of democracy. Their involvement was not because of their consciousness but because of "mobilized" or "instructed". At this point, the election failed to be understood as a democratic process to reinforce "sovereignty".

  Nowadays, Some people seem to understand and familiar with the electoral contestants and political issues. In fact, their understanding was mostly resulted from media mass consumption. Every time each day, some audiovisual media as well as social media proclaimed the issues of democracy including the election news. But - once again - it does not reflects or shows the strength of consciousness / reasoning on democratic of the people; The grass root understanding of presidential election contestants resulted from massive exposed to the medias, and not because of the success of political parties at building awareness of democracy. The TV indeed has successfully shaping people's mind with a timeless broadcasting of the dynamic of presidential election just like how an infotainment ever played on TV.

  Threats to Diversity The election contestants had productively practiced negative campaign. This campaign had raised some hidden potentials of racial issues in the election momentum. - a site that

  Matamassa.org monitors the presidential election together with the Alliance of Independent Journalists (AJI ) Jakarta found the most use of racial issues campaign attacked Jokowi-JK. According to coordinator, Matamassa.org Muhammad Irham that the racial attacks on Jokowi

6 Interfidei newsletter

  • Narasi di atas bisa kita letakkan sebagai cermin dalam Pilpres kali ini. Setidaknya dapat kita maknai bahwa pilpres yang berlangsung damai tahun ini, berjalan sesuai prosedur formalnya—bukanlah petunjuk dasar bahwa demokrasi di negeri ini berpores dalam situasi terang benderang. Melainkan, sisi-sisi gelap demokrasi tetap saja hadir—termasuk di dalamnya adalah ancaman terhadap 'kebhinekaan' kita yang diserang dengan menggunakan isu SARA.

  7 Interfidei newsletter Sementara kubu Prabowo-Hatta Radjasa diserang dengan kampanye hitam ( ).

  Kompas.com, 23/7/2014 Temuan mungkin tidak seberapa matamassa.org bila dibandingkan dengan fakta yang terjadi sebenarnya.

  Intinya, penggunaan isu SARA dalam pilpres lalu memang secara kuantitatif tidak nampak dengan mata telanjang. Namun, desas-desus isu itu senantiasa terhembus di ruang-ruang sosial masyarakat.

  Dalam sebuah kesempatan, di kota Makassar, saya mendengar desas-desus isu SARA dalam momentum kampanye pilpres lalu. Di atas kursi antrian tukang cukur, siang itu datang seorang lelaki paruh baya mengenakan songkok haji berbincang dengan sang tukang cukur. Ia seolah membawa berita penting. “Kalau Jokowi-JK yang terpilih jadi presiden, maka posisi menteri agama akan diduduki oleh kelompok Syi'ah”, katanya pada sang tukang cukur. Mendengar itu, sang tukang cukur hanya tersenyum kecut, entah masuk di akalnya atau tidak.

  Di kesempatan lain, seorang rekan tim sukses Prabowo-Hatta tingkat kecamatan bercerita. Ia menceritakan kedatangan seorang tamu yang merupakan pengurus salah satu Ormas Islam di kota Makassar yang menemuinya di sekretariat pemenangan Prabowo-Hatta. “Saya datang bukan hendak menjadi pengurus parpol anda, tetapi saya datang untuk menyatakan dukungan politik untuk pasangan Parabowo-Hatta. Kami akan mendukung keduanya. Alasannya, sebab bila Jokowi-JK menang maka Islam akan rusak”, kata sang tamu.

  Desas-desus dan kejadian kecil seperti itu menunjukkan bahwa dalam momentum politik, isu SARA senantiasa digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Kendatipun secara makro isu SARA tak nyaring bunyinya, tetapi di lapis sosial bawah, isu SARA senantiasa berhembus di telinga masyarakat. Kita khawatir bila hembusan isu SARA seperti itu menggerakkan masyarakat ke arah tindakan destruktif dan anarkis hingga menyerang kelompok-kelompok sosial lainnya yang kebetulan berbeda identitas agama dan etniknya. Ini yang berbahaya.

  ® side occurred 69 times. While Prabowo -Hatta Rajasa side attacked with black campaigns (Kompas.com, 07.23.2014 ).

  Matamassa.org findings may be nothing compared to the facts that actually happened. In reality, the use of racial issues in the last election could not be quantitatively seen with the naked eyes. However, some rumors were there, blown through the social spaces.

  In one occasion, in the city of Makassar, I heard rumors of racial issues in the last momentum of election campaign. That afternoon, at the top of the queue barber chair, came a middle-aged man wearing a skullcap Hajj spoke to the barber. He seemed to bring important news. "If Jokowi - JK were elected as President, the position of minister of religion will be occupied by the Shiite group", he said to the barber. Hearing that, the barber just smiled wryly, I had no clue how the information perceived.

  On another occasion, a fellow of a district level team of Prabowo-Hatta's campaign told a story. He said about the arrival of a guest who is an Islamic Organizations board in Makassar whom he met at the secretariat winning Prabowo - Hatta. "I came not for asking a position in your political party, but I came to express my political support for Parabowo - Hatta couple. We will support both of them. The reason is, if Jokowi - JK win then Islam will be ruined," said the guest.

  Rumors and fishy smell events like that shows that in the political momentum, racial issues had been constantly used for the benefit of power. Although racial issues were not clearly exposed in a macro level, yet in the lower social layers, racial issues had been constantly blown through the people's ears. It will be horrible if the racial issues campaign drive people toward destructive and anarchic actions to attack other social groups who happen to embrace different religious and ethnic identities. This is dangerous.

  Finally, the above narrative can be seen as a mirror of this time presidential election. We could interpret that the election, which took place peacefully this year, went according to formal procedures - the democracy in this country is in the process toward the bright situations. The dark side of democracy, unfortunately, is still present - including the threat to ' diversity ' that attacked by using racial issues.®

  Focus

  Interfidei newsletter Fokus PEMILU “ DAN “ AND ” IN BADUNSANAK BADUNSANAK BASIARAK

  THE GENERAL ELECTION: BASIARAK”: BUILDING HARMONY IN A MEMBANGUN HARMONISASI DI RIVALRY TENGAH KONTESTASI

  Oleh: Muhammad Taufik by Muhammad Taufik Lecture of Sociology in IAIN Imam Bonjol Padang Pengajar Sosiologi di IAIN Imam Bonjol Padang

  Direktur Riset Revolt Institute Research Director of Revolt Institute

Direktur Riset Pusat Kajian Etnisitas dan Konflik Research Director of the Center of Ethnicity and

Universitas Negeri Padang Conflict,Padang State University

  Pegiat Jaringan Antar Iman Activist of Inter Religion Network

  elanggang pemilu telah usai.

  he general election is over. The

  Parade kontestasi periode 2014

  2014 democracy parade has

  sudah menemukan muaranya

  ended its journey,resulting the G

  dengan telah terpilihnya anggota

  T elected legislative members and

  legislatif dan presiden. Dinamika pemilu

  president. The dynamics of the 2014's

  legislatif dan presiden pada tahun 2014

  legislative and presidential election

  ini menunjukan frekuensi yang cukup tajam, namun hal ini tidak sampai pada shows how the competition has gone disintegrasi bangsa, meskipun

  with so much heat, yet it was not i n d i k a s i n ya s un g g u h t e r l i ha t . enough to cause disintegration. The

  Kematangan budaya politik masyarakat

  maturity of society's political culture

  dan ter(di)kendalinya hasrat para politisi

  and the political contestants' urge

  menjadi salah satu kunci kedamaian

  which were under control became the

  tersebut. Sama halnya dengan beberapa

  one of the keys for such an inhibited

  daerah lain, di Sumatera Barat, juga

  process. As in any other places, West

  melalui perhelatan akbar politik ini

  Sumatra also underwent this political

  dengan damai, nyaris tanpa konflik yang

  event in peace, without any harmful

  berarti. Gesekan antar pendukung dan

  conflict. The friction between

  kelompok tidak begitu kentara dan meruncing apalagi berujung kepada

  advocatesand groups was not so

  tindakan anarkis. Pertanyaannya apa

  obvious or critical, it had no chance to

  yang melatar belakangi damainya

  result in anarchy. This leads to a

  pemilu di Sumatera Barat (Sumbar)?

  question about the reason behind the peaceful process of

  Tulisan dibawah ini akan berusaha unuk menjawab beberapa

  election in West Sumatra. The analysis below will answer

  pertanyaan diatas, terutama bagaimana pemilu di Sumatera

  the question by providing details about the nonviolence

  Barat berjalan dengan damai, tanpa diskriminasi dan toleran?

  election, with no discrimination and full of tolerance,in West

  Kemudian bagaimana masyarakat Sumbar (Minang) dalam

  Sumatra,and how the people of West Sumatra (Minang)

  memahami politik kontestasi yang sedang berlangsung saat

  comprehend the politics of rivalry which is in progress at the

  sekarang? moment.

  “Mencari Akar?” “Seeking for the Root?”

  Mayoritas penduduk Sumatera Barat beretnis Minangkabau. Dalam kontek ini penulis ingin menekankan

  The majority of West Sumatrans is the Minangkabau

  pada pembacaan politik masyarakat Minangkabau melalui

  ethnicity. In this context, the writer intends to emphasize on

  penghampiran kebudayaan. Karenanya pembacaan perilaku

  the political interpretation of Minangkabau society from the

  politik tentu saja tidak hanya melulu dihampiri dalam

  cultural point of view, since the interpretation of political

  pendekatan politik an sich, pendekatan kebudayaan, sosiologis

  behavior is not always limited to the an sich politics

  dan antropologis menjadi penting juga dalam mendalami

  approach. Cultural, sociological, and antropological

  bagaimana sesungguhnya masyarakat hidup berdampingan

  approaches are also important to explore how people live

  dengan struktur lain diluar struktur mereka sendiri dalam hal

  alongsidea foreign structure – in this case, politics. This

  8

  9 Interfidei newsletter Focus point of view is expected to present a new meaning. The cultural aspect is believed to have a specific characteristic which is the mankind's fulfilment toward their environment as well as their effort to sustain their viability in accordance to the circumstance they think as best (Susanto, 1999: 123).

  It is what we call as an innate moral authority. This moral authority presupposes that everyone in a society has something called the “innate morality” far before they are affected by other social influences, including religion that came afterward. In comply with Hikam (1999 chapter 7), it means that there are some moral preferences outside the social traditions and customs.

  This kind of morality should encourage the development of moral regulations. To be precise, this moral authority takes part in the realms of belief where there are certain applicable ethical norms in a society that work as the legitimate foundation for a social process. That element does not only expose the symbolic aspect but deep inside there is also an evident cultural rationalization. In brief, it is the moral authority that is related to the ideas or values embraced by the society in their world view. In turns, such moral authority will affect the political behavior in West Sumatra (Minangkabau), since ignoring one's cultural identity means obliterating their origin. Whether it is realized or not, the modernization approach and the presence of country in the development process is feared to generate dependent mankinds who abandon their cultural creativity and wisdom in conservatism. Such beings are those who celebrate superficiality, yet eluding profundity.

  The absence of patron-client politics Patron-client relationship is understood as an alliance between two individuals with different status of power and resources who find each other beneficial. In short, this relationship occurs when an individual with a higher social economical status, the patron, uses his influence and resource to provide protection, profit, or both for other individual with a lower status, the client. This client, in return, offers support and assistance including personal service to that person. The absence of patron-client relationship in Minangkabau is displayed from the Minang's comprehension about leader, power, truth, and opposition that synergize in contradiction and balance.

  Firstly, for a Minang, the position of a leader is within a reachable distance from his follower. This construction is unlike other cultures which interpret a leader as someone who is untouchable. A proverb says that a leader is only one step ahead and one level above. It demonstrates the adjacency of a leader and his followers. When a leader is one level above, he is still within reach. When he is one step ahead, he is not hard to confront. For Minangkabausociety, a leader is not sacred nor absolute, yet approachable. This understanding highlights that a leader or an entity of power cannot necessarily make use of his people for his own purpose nor for absolut obedience and fanatism toward

  ini politik. Penghampiran ini diharapkan mampu memberikan resonansi baru. Hal ini diyakini bahwa Unsur kultur memiliki ciri yang khas yaitu penyelesaian manusia terhadap lingkungan hidupnya serta usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai dengan keadaan yang menurut pengelamannya adalah yang terbaik (Susanto, 1999:123). Itulah yang dimaksud dengan otoritas moral alamiah. Otoritas moral ini menganadaikan bahwa setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang bisa disebut sebagai "moralitas alamiah," yang sudah ada jauh sebelum adanya pengaruh- pengaruh sosial lainya, termasuk agama yang faktanya datang kemudian. Artinya, mengikuti arus Hikam (1999 bab 7), menjelaskan bahwa di sini ada beberapa preferensi moral tidak semata-mata merupakan konsekuensi dari kebiasaan dan kondisi sosial.

  Moralitas semacam ini sebaliknya memberikan dorongan bagi terjadinya perkembangan aturan-aturan moral. Lebih tepatnya, otoritas moral ini bermain dalam ruang-ruang keyakinan bahwa terdapat norma etik tertentu yang berlaku dalam suatu masyarakat yang digunakan sebagai landasan legitimasi untuk dilakukannya proses sosial. Unsur terebut bukan hanya sekedar menunjukan aspek simbolik, namun didalamnya memiliki rasionalisasi budaya yang jelas. Ikhitisarnya, itulah otoritas moral yang berkait dengan ide-ide atau nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dalam world viewnya. Pada gilirannya otoritas moral itu akan mempengaruhi tindakannya realitas alam politik di Sumbar (Minangkabau). Karena mengabaikan identitas kultural berarti menghilangkan keasalian. Disadari atau tidak pendekatan modernisasi dan Negara dalam pembangunan dikhawatirkan tetap menyisakan manusia-manusia yang tergantung, dan mencampakan kearifan dan kreatifitas kultural dalam kekolotan. Itulah manusia yang merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman.

  Tidak adanya politik patron-klien

  Patron-klien bisa difahami, mengkitu Lande dan Scott adalah hubungan aliansi dua pribadi yang tidak sama, kekuasaan status atau sumber daya yang masing-masing menemukan suatu hal yang berguna sebagai anggota unggul seperti aliansi yang disebut pelindung dan kliennya disebut inferior. Artinya bahwa hubungan dimana seorang individu yang lebih tinggi sosial ekonomis statusnya menggunakan pengaruh sendiri dan sumber daya untuk menyediakan perlindungan atau keuntungan atau keduanya untuk orang dari status yang lebih rendah atau klien yang pada bagiannya membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk layanan pribadi kepada orang tersebut. Tidak adanya politik patron-klien ini bisa dilacak bagaimana orang minangkabau dalam memahami yaitu pemimpin, kekuasaan, kebenaran dan oposisi yang bergumul antara pertentangan dan perimbangan.

  Pertama, bagi orang Minangkabau pemimpin dengan yang dipimpinnya berada pada jarak yang tersentuh (dekat).

  Hal ini berbeda dengan budaya lain yang memahami pemimpin sesutu yang tidak tersentuh. Dalam pepatah dikhabarkan bahwa “pemimpin itu didahulukan selangkah,

  ditinggikan serating”. Ini menandakan kedekatan antara

  pemimpin dengan yang dipimpin. Kalau pun dia tinggi, tingginya masih bisa dijangkau karena jarakanya yang

  Berdasarkan pembacaan di atas, terpahami bahwa bentuk

  Kedua, bagaimana orang Minangkabau memandang

  tunduk pada penghulu, penghulu tunduk pada alur dan patut, alur dan patut tunduk kepada yang kebenaran,kebenaran berdiri sendiri

  mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka alua jo patuik, alua jo patuik barajo ka nan bana, kabanaran badiri sandirinyo/ keponakan tunduk pada mamak (paman), mamak

  besar jangan melenda,kalau cerdik jangan menjual. Karena kekuasaan berpusat pada suatu kebenaran, tidak berpusat pada diri yang memiliki kekuasaan: kamanakan barajo kamamak,

  rambuik jan putuih, kok gadang jan malendo, kok cadiak jan manjua/tepung jangan terserak, rambut jangan putus, kalau

  tidak bisa diselesaikan, tak keruh yang tidak bisa dijernihkan Jelaslah bahwa posisi pemimpin atau kekuasan cukup penting dan sangat berarti bagi orang Minangkabau. Ia akan bertindak atas nama keseimbangan dan keadilan; tidak ada merasa diskiriminatif atau dirugikan: tapuang jan taserak,

  tak salasai, tak ado karuah nan tak janiah/tak ada kusut yang

  kebenaran dan kekuasaan. Dan bagaimana posisi yang diambil ketika tidak bertemunya kemufakatan (konflik)? Dalam banyak literatur diungkapkan bahwasanya kekuasaan yang mutlak tidak pernah ditemukan dalam tradisi Minangkabau. Hukum yang tertinggi bagi orang Minangkabau adalah kebenaran. Dalam masyarakat Minangkabau tidak ditemukan dan tidak menerima kekuasan yang represif dan menindas atau kekuasaan yang berbuat sewenang-wenangnya. Karena pemimpin bagi masyarakat Minangkabau adalah tumbuhnya ditanam, tingginya disokong, besarnya dipelihara. Jadi tidak ada sistem yang diktator atau feodalistik tumbuh dalam masyarakat Minangkabau. Karena pemimpin akan diposisikan sebagai pengambil keputusan dengan kejernihan dan penjelasan bukan keputusan yang menukik: tak ado kusuik nan

  rumah karena sendi, rusak sendi rumah binasa, kuat bangsa karena budi, budi rusak hancurlah bangsa.

  Interfidei newsletter Fokus himself. Even so, this leniency has a an impact toward social stability in the society because anarchy commonly happens in the presence of friction between the followers or the clients of each leader or patron. In Minangkabau, the term for power is (the posession of power). However, 'gadang' people with are powerful because they are given the gadang power: – a leader is strong pangulu itu gadangnyodilambuak because his people choose him, – – a tumbuahnya ditanam leader is strong because his people nurture him. When the leader is unjust, there is another local proverb that describes that: Ingek-ingek, kok nan dibawah nan ka maimpok, kok tirih datang dari bawah– keep in mind, if a pressure comes from under, that's where thedestruction comes from.

  Kuaik rumah karano sandi, Rusak sandi rumah binaso, Kuaik bangso karano budi, Budi rusak hancualah bangso/ kuat

  yang dibawah akan menghimpit, jika bocor dari bawah. Oleh sebab itu agar bisa bertahan, lanjut Nasroen (1957:148) pemimpin dan masyarakat itu mesti hidup berdasarkan budi, serasa, , mengakui adanya kepentingan tenggang-manenggang bersama, dapat merasakan perasaan orang lain atau dalam bahasa Idrus Hakimi (1978:34) masyarakat yang bermoral.

  ka maimpok, kok tirih datang dari bawah/ingat-ingat, jikalau

  seranting. Kalau pun ia didahulukan selangkah berarti masih bisa . tegasnya bagi masyarakat Minang pemimpin ditackling tidaklah sesuatu yang sakral, absolut dan tidak tergapai. Pemahaman ini mentasrihkan bahwa pemimpin atau kekuasaan tidak serta merta bisa memanfaatkan rakyatnya untuk kepentingan mereka sendiri atau kepatuhan absolut dan fanatisme terhadap diri mereka. Kelonggaran ini berkonsekuensi pada stabilitas sosial dalam masyarakat karena disadari prilaku politik anarkis jamak terjadi karena adanya gese ka n antara pe ngikut/ kl ien ma sing-masing patron/pemimpin. Artinya kekuasaan difahami orang 'gadang' (memiliki kekuasaan), tetapi orang gadang itu besarnya karena dibesarkan: /besar penghulu pangulu itu gadangnyo dilambuak itu karena dibesarkan, /tumbuhnya tumbuahnya ditanam karena ditanam karena kalau pemimpinya zalim makan pepatah adata mengatakan Ingek-ingek, kok nan dibawah nan

  It is obvious that the position of a leader or power is significant and meaningful in Minangkabau. It is a being that reacts in the name of harmony and justice. By so, no one will ever feel discriminated or wronged: tapuang jan taserak, rambuik jan putuih, kok gadang jan malendo, kok cadiak jan manjua (there should not be scattered flour, there should not be breaking hair, you should not be arrogant if you are great, and you should not be deceitful if you are smart) – put yourself together, do not let the situation controls you.In Minangkabau, power is centralized on justice, not on the entity who holds the power: kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka alua jo patuik, alua jo patuik barajo ka nan bana, kabanaran badiri sandirinyo (a nephew obeys his aunt and uncle, the aunt