HAK POLITIK WARGA MORO-MORO KABUPATEN MESUJI PROVINSI LAMPUNG

(1)

(Skripsi)

Oleh

EFRIAL RULIANDI SILALAHI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

Oleh

EFRIAL RULIANDI SILALAHI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan Srata Satu (S-1) Pada Bagian Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28D ayat (4) disebutkan bahwa salah satu hak warga negara adalah hak untuk mempergunakan suaranya sebagai Warga Negara Indonesia. Pengaturan hak untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia1 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentangPengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights).2

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana berdemokrasi bagi warga negara dan merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konsitusi, yaitu hak atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD 1945

yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya”, dan “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan

1

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia(TLNRI) Nomor 3886.

2


(4)

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” serta

prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).

Pemilu secara langsung adalah sebuah ihtiar demokrasi dengan harapan mampu mendekatkan partisipasi politik rakyat terhadap pilihan-pilihan akan pemimpin yang dikehendaki. Pemilu secara langsung telah melengkapi prosedur demokrasi yang seyogyanya dapat berjalan dengan akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan. Sebagai tonggak baru berdemokrasi, memberikan optimisme akan terpilihnya calon-calon yang sesuai dengan keinginan rakyatnya, karena disinilah rakyat secara langsung memberikan pilihannya tanpa diwakili.

Juan J. Linzdan Alfred Stepan mengungkapkan bahwa konsolidasi demokrasi bukan hanya mempersyaratkan dilangsungkannya pemilu yang bebas dan berjalannya mekanisme pasar. Salah satu syaratnya ialah adanya masyarakat sipil yang otonom dan diberikan jaminan-jaminan hukum untuk berorganisasi dan menyatakan pendapat.3 Namun disisi yang lain ketika praktek demokrasi dilaksanakan acap kali dijumpai kekecewaan-kekecewaan masyarakat. Salah satu contoh faktual adalah banyaknya pemilih yang hilang hak memilihnya karena tidak terdaftar didalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).4 Hal ini senada dengan pendapat Harold Cold yang menyatakan ….Indonesia’s political system still fell short of ideal democratic

3

Satya Arinanto,Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 372.

4

Bhayu, Memilih Atau Tidak Memilih dalam Pemilihan Umum Adalah Hak Setiap Warga Negara,


(5)

standards but it progress towards democratization had been enormous.5 Dalam konstalasi demikian, kemudian mengkonklusikan kekecewaan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilihan secara langsung sebagai sebuah persengketaan yang memerlukan kepastian hukum. Sehingga payung hukum yang menjamin semua persengketaan didalam pelaksanaan pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung bisa diselesaikan dengan sebaik dan seadil mungkin menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi.

Sebagaimana yang dikemukakan Kofi A. Annan, dalam Global Values The United Nations and the Rule of Law in the 21stCentury, Institute Of Southeast Asian Studies, Singapore, 2000:6 “Semua negara, tetapi khususnya negara kecil, memiliki sebuah perhatian dalam pemeliharaan ketertiban internasional yang berdasarkan sesuatu yang

lebih baik daripada peribahasa kejam yaitu ‘kekuatan adalah hak’. Pada kenyataannya

asas-asas umum dari hukum yang memberikan hak yang sama bagi yang lemah maupun bagi orang yang berkuasa”.

Peranan lembaga yudikatif sangat diperlukan dalam menyelesaikan sengketa pemilu. Karena salah satu tuntutan reformasi adalah terciptanya negara hukum yang demokratis, menempatkan hukum pada posisi yang tertinggi yang harus dipatuhi setiap warga negara. Jika ada permasalahan maka keputusan hukumlah yang menjadi pedoman tertinggi yang harus dijalankan. Salah satu bentuk putusan hukum adalah

5

Satya Arinanto, Politik Hukum 3, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 356

6


(6)

putusan pengadilan.7 Mahkamah Konstitusi menyatakan hak untuk memilih telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara.8 Hak konstitusional itu tidak boleh dihambat oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif. Banyak kalangan mengungkapkan buruknya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan KPU. Diantaranya mengungkapkan adanya jutaan pemilih yang namanya tidak tercantum dalam DPT sehingga potensial kehilangan hak pilih.9

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden10 Pasal 28 dan 111 ayat (1) yang menyebabkan seorang warga negara kehilangan hak memilih ketika tidak mendaftar sebagai pemilih atau tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah sangat tidak adil. Di satu sisi, memberikan kewajiban untuk mendaftar semua warga yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah pernah kawin kepada penyelenggara pemilu. Namun, disisi lain, bila penyelenggara pemilu lalai mendaftar seorang warga negara yang telah memiliki hak memilih, warga negara yang bersangkutan kehilangan hak memilihnya. Kesalahan atau kelalaian penyelenggara pemilu ditimpakan akibatnya kepada warga negara.

Salah satu permasalahan negara dengan melakukan pengabaian hak politik warga Moro-Moro oleh pemerintah daerah untuk ikut serta memilih pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Kabupaten Mesuji. Pemerintah Pusat melalui Irjen

7

Refli Harun, Pemilu Pro(hak)Rakyat, Kompas, 1 Juli 2009. 8

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU/VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD Tahun 1945.

9

Refli Harun,Menegakkan Hak Pemilih, Kompas, 6 Juli 2009. 10


(7)

Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri pun lepas tangan atas persoalan tersebut.11Sebuah kasus unik dan multi-koflik di hutan kawasan sehingga masyarakat tidak dapat diberikan hak politiknya. Sedangkan peraturan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah menyatakan pengabaian hak pilih akan terjadi apabila umur pemilih belum genap 17 tahun, bukan mengabaikan hak politk warga negara yang tinggal di tanah register.

Dengan hilangnya hak memilih, secara tidak langsung negara telah melanggar

hak-hak asasi manusia berupa hak-hak untuk dipilih dan hak-hak untuk memilih…The government seemed ready to adopt some kind of human right policy, despite the fact that many

suspected the government’s sincerity.12

B. Rumusan Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

a. Apakah yang dimaksud dengan hak politik menurut UUD Tahun 1945? b. Apakah yang dimaksud dengan hak politik warga Moro-Moro?

c. Bagaimana mekanisme penghilangan hak pilih?

11

Yusdiyanto,Hak Pilih Warga Moro-Moro Sebagai Constitusional Right,Lampung Post, 21 Maret 2011.

12

Satya Arinanto,Politik Hukum 2, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 211.


(8)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini yaitu Bidang Hukum Tata Negara khususnya mengenai Pemenuhan Hak Politik Warga Moro-Moro dalam penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

a. Mengetahui hak politik menurut UUD Tahun 1945. b. Mengetahui hak-hak politik warga Moro-Moro. c. Mengetahui mekanisme penghilangan hak pilih.

2. Manfaat Penulisan

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumbangsih pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan pemenuhan hak politik warga Moro-Moro dalam penyelenggaraan pemilukada Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung.

b. Secara praktis, dapat lebih memantapkan penguasaan fungsi keilmuan yang dipelajari mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas Lampung, sedangkan bagi perguruan tinggi, hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang berguna untuk dijadikan acuan bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hak Konstitusional

Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 sebagai hukum yang tertinggi (The Supremacy of Law) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan, pengakuan dan penjaminan akan hak-hak dasar warga negara. Dari berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari; (a) anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum, (b) jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, (c) peradilan yang bebas dan mandiri, dan (d) pertanggung-jawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.13

Perubahan Kedua UUD Tahun 1945 pada tahun 2000 mengenai ketentuan hak asasi manusia dan hak-hak warga negara dalam UUD Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD

13


(10)

Tahun 1945 setelah Perubahan Kedua termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Karena itu, perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Republik Indonesia sangat lengkap dan menjadikan UUD Tahun 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

Pasal-pasal tentang hak asasi manusia itu sendiri, terutama yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, untuk memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara lengkap dan historis, ketiga instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat dalam satu kontinum.14

Setelah Perubahan Kedua UUD, keseluruhan materi ketentuan hak-hak asasi manusia dalam UUD Tahun 1945, yang apabila digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan hak asasi manusia, dapat kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan. Diantara keempat kelompok hak asasi manusia tersebut, terdapat hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights, yaitu Hak untuk hidup; Hak untuk tidak disiksa; Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani; Hak

14


(11)

beragama; Hak untuk tidak diperbudak; Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Dalam upaya penegakan hak-hak konstitusional di Indonesia, dibutuhkan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana penegakan hak-hak konstitusional tersebut dikategorikan menjadi dua bagian yakni: Sarana yang berbentuk institusi atau kelembagaan seperti lahirnya Lembaga advokasi tentang HAM yang dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional HAM Perempuan dan institusi lainnya. Dan sarana yang berbentuk peraturan atau undang-undang, seperti adanya beberapa pasal dalam Konstitusi UUD 1945 yang memuat tentang HAM. Diantaranya UU Nomor 39 Tahun 1999, Keppres Nomor 50 Tahun 1993, Keppres Nomor 129 Tahun 1998, Keppres Nomor 181 Tahun 1998 dan Inpres Nomor 26 Tahun 1996, kesemua perangkat hukum tersebut merupakan sarana pendukung perlindungan HAM.

Perlindungan dan penegakan hak-hak konstitusional merupakan kewajiban semua pihak, termasuk warga negara. Hak konstitusional tidak hanya mencakup mengenai hak, tetapi terkait pula mengenai kewajiban, yaitu kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai hak konstitusional orang lain. Setiap hak konstitusional seseorang akan menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Sehingga terdapat pembatasan dan larangan dalam pelaksanaan perlindungan hak asasi konstitusional Pembatasan yang ditetapkan melalui undang-undang dimaksudkan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan


(12)

yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.

Secara garis besar, konstitusi memuat tiga hal, yaitu pengakuan hak konstitusional, struktur ketatanegaraan yang mendasarkan dan pemisahan atau permbatasan kekuasaan. Selain itu dalam konstitusi juga harus terdapat pasal mengenai perubahan konstitusi. Hanc Marseveen sebagaimana dikutip oleh Soetandyo Wignyosoebroto menyebutkan bahwa konstitusi harus dapat menjawab persoalan pokok, yaitu:15

1. Apakakah konstitusi merupakan hukum dasar suatu negara?

2. Apakah konstitusi merupakan sekumpulan aturan dasar yang menetapkan lembaga-lembaga penting negara?

3. Apakah konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya?

4. Apakah konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban warga negara dan pemerintah?

5. Apakah konstitusi harus dapat membatasi dan mengatur kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya. Konstitusi merupakan ideologi elit penguasa?

6. Serta apakah konstitusi menentukan hubungan materiil antara negara dengan masyarakat?

Menurut J.G Steenbeek bahwa konstitusi berisi tiga alasan yang menjadi hal pokok, yaitu:16 Pertama, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga negaranya. Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental. Dan ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental, dan menurut Miriam Budiardjo bahwa setiap UUD

15

Soetandyo Wignyono,Hak-Hak Asasi Manusia Konstitusionalisme: Hubungan Antara Masyarakat dan Negara, dalam Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, Elsam-HuMa. 2002. hlm. 47.

16

Sri Soemantri,Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,Bandung, Penerbit Alumni, 1987. hlm. 51.


(13)

memuat ketentuan-ketentuan tentang:17 Pertama, organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya. Kedua, memuat tentang hak asasi manusia. Ketiga, prosedur mengubah UUD. Keempat, ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.

Hak Konstitusional (constitutional rights) dapat diartikan sebagai hak asasi manusia yang telah tercantum dengan tegas dalam UUD Tahun 1945, sehingga juga telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara. Perbedaan antara hak konstitusional dengan hak legal, bahwa hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD Tahun 1945, sedangkan hak-hak hukum(legal right)

timbul berdasarkan jaminan Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya(subordinate legislations).18

Secara tersurat UUD Tahun 1945 dan UU HAM19 memuat bahwa negara harus memenuhi hak konstitusional setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan

17

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998. hlm. 101.

18

Jimly Asshidiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2,Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hlm. 134.

19

Pasal 2; Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Pasal 5 Ayat (3); Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Pasal 27 Ayat (1); Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.


(14)

hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum. Makna tersebut menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur hak-hak konstitusional bagi warga negara, seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum, sebab pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran konstitusional.20

Menurut Jimly Assidiqie hak konstitusional yang diatur UUD Tahun 1945 dapat terbagi ke dalam beberapa kelompok.21

1. Kelompok yang pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yaitu, Bahwa setiap orang berhak-hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya; setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan; setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan; setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; setiap orang bebas untuk memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani; setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan; setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; setiap orang berhak atas status kewarganegaraan; setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya; setiap orang berhak memperoleh suaka politik; serta setiap orang berhak bebas dari segala

Pasal 40; Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Pasal 41 Ayat (1); Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara untuh.

Pasal 43 Ayat (1); Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan Umum berdasarkan persamaan hak melalui pemilihan umum yang langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

20

Pasal 25 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (International Covenant Civil and Political Rights1966).

21

Jimly Assidiqie,Hukum Tata Negara dan Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum dan HAM , Cetakan kedua, Jakarta, Konstitusi Press, 2005. hlm. 220-223.


(15)

bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

2. Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yaitu bahwa setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai; setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat; setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik; setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan; setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan; setiap orang berhak untuk mempunyai hak milik pribadi, setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat; setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi; setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran; setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfat dari ilmu pengetahuan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia; Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa; Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.

3. Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yaitu bahwa1 setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama; Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional; Hak khusus yang melepat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum; Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara untuk perkembangan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya; Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam; Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat; Serta kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksud untuk menyetarakan tingkat. Perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam diskriminasi.

4. Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab negara dan kewajiban asasi manusia yaitu bahwa Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib


(16)

tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis; Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia; serta untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.

Hak-hak dan kebebasan tersebut ada yang tercantum dalam UUD Tahun 1945 dan ada pula yang tercantum hanya dalam undang-undang tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki

constitutional importance” yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam UUD Tahun 194522. Sesuai dengan prinsip kontrak sosial (social contract), maka setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendiri bertimbal-balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya.

B. Hak Memilih

Hak pilih warga negara dalam Pemilu adalah salah satu substansi terpenting dalam perkembangan demokrasi, sebagai bukti adanya eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Pemilihan Umum sebagai lembaga sekaligus praktik politik menjadi sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus sebagai sarana artikulasi kepentingan warga negara untuk menentukan wakil-wakilnya.23

22

Ibid., hlm. 224. 23

Syamsuddin Haris, dkk., Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998. hlm. 49.


(17)

Pemilu menjadi implementasi atas berdirinya tonggak pemerintahan yang elemen-elemen di dalamnya dibangun oleh rakyat, sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Amerika SerikatAbraham Lincoln.24 Lincoln menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep ini menyimpulkan bahwa yang dibangun dalam sistem demokrasi menghasilkan suatu pandangan akan tidak adanya jalan yang paling tepat untuk menunjukkan eksistensi dan kedaulatan rakyat kecuali melalui ajang Pemilihan Umum.

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, tujuan pemilihan umum adalah: (1) memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib; (2) untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; (3) dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara.25 Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, tujuan penyelenggaraan pemilihan umum ada 4 (empat), yaitu: (1) Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; (2) Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; (3) Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; (4) Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan daerah otonom. Seperti yang pernah

24

Saripudin Bebyl,Tata Negara, Bandung, Gramedia Pustaka Utama, 2003. hlm. 32. 25

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,Cetakan ketujuh, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1998, hlm. 328-329.


(18)

dikatakanGeorge Sorensenbahwa demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat.26Inti dari demokrasi politik adalah kompetensi, partisipasi, serta kebebasan sipil politik.27 Karena itu, konsepsi demokrasi harus mendapatkan atribut tambahan dari waktu ke

waktu seperti “welfare democracy, people’s democracy, participatory democracy,

social democracydan sebagainya.28

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratik (kedaulatan rakyat), transparan, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan dalam demokratisasi lokal, yakni tidak sekedar distribusi kekuasaan antar tingkat pemerintahan secara vertikal.

Hak memilih dan dipilih secara konstitusional masuk dalam hak warga negara yang secara tersirat diatur dalam Pancasila pada sila keempat ”Kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dan UUD Tahun 1945 memuat pengakuan hak politik warga negara mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3); Konkritisasi dari ketentuan-ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan dibawahnya. Sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundangan-perundangan

26

George Sorensen,Demokrasi dan Demokratisasi Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah,Yogyakarta, Pustaka Pelajar , 2003. hlm. 38.

27

Ibid., hlm. 39. 28

Titik Triwulan Tutik,Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2006. hlm. 220.


(19)

di Indonesia.29 UU tentang HAM turut memberikan pengakuan kepada warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan dalam hal hak memilih dan dipilih. Pasal 25 Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak setiap warganegara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.

Sinyalemen pemilihan kepala daerah ditinjau dari sudut pandang ketatanegaraan dan pemerintah akan membuahkan suatu kondisi: pertama, pemilihan kepala daerah akan menghasilkan pemerintahan daerah yang mempunyai legitimasi langsung dari masyarakat, dimana Pemda mempunyai pertanggungjawaban publik dan akuntabilitas yang tidak akan semena-mena menyeleweng; kedua, iklim menumbuhkan kondisi daerah menemui momentumnya. Dalam arti bahwa peran kepala daerah yang didukung penuh akan mampu membawa katalisator konstruktif bagi kemajuan masyarakat; ketiga, pemilihan kepala daerah secara esensial akan mendukung demokratisasi lokal, yaitu masa depan kehidupan masyarakat di daerah menjadi cerah akibat terbukanya ruang publik melalaui partisipatif proaktif masyarakat.30

Untuk dapat memilih dalam pemilu, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut Pada waktu pendaftaran, pemilih sudah genap 17 tahun atau sudah kawin; Pemilih terdaftar sebagai pemilih; Pemilih nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;

29

LNRI Tahun 2004 Nomor 53, TLNRI Nomor 4389. 30

Titik Triwulan Tutik,Pokok-Pokok Hukum Tata Negara,Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2006. hlm. 220.


(20)

Pemilih tidak sedang menjalani hukuman pidana kurungan yang diancam hukuman 5 tahun atau lebih; serta Pemilih tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan. Sedangkan untuk dapat dipilih dalam pemilu, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun keatas dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Dapat berbahasa Indonesia, cakap membaca dan menulis, berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau berpengetahuan yang sederajat, dan berpengalaman dibidang kemasyarakatan; Setia kepada Pancasila dan UUD Tahun 1945; Bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atas organisasi terlarang lainnya; Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; Terdaftar dalam daftar calon; serta Bertempat tinggal dalam wilayah RI yang dibuktikan dengan KTP atau keterangan dari lurah/kepala desa tentang alamatnya yang tetap.31

UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Peraturan KPU No. 10 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan Daftar Pemilu menyebutkan Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah atau pernah kawin. Berdasarkan Peraturan KPU, KPU Kabupaten/Kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. Pasal 5 Peraturan KPU No. 10 Tahun 2008 memuat daftar pemilih yang dimaksud sekurang-kurangnya memuat nomor induk

31


(21)

kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.

Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan mengisyaratkan KTP adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia sedangkan Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia.32

Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa Instansi Pelaksana wajib melakukan pendataan penduduk rentan administrasi kependudukan yang meliputi penduduk korban bencana alam, penduduk korban bencana sosial, orang terlantar, dan komunitas terpencil. Pasal 25 ayat (2) pendataan rentan administrasi kependudukan dapat dilakukan di tempat sementara. Pasal 25 ayat (3) bahwa hasil pendataan digunakan sebagai dasar penertiban surat keterangan kependudukan untuk penduduk rentan administrasi kependudukan.

32


(22)

C. Sejarah Konflik Kawasan Hutan Register

Konflik pertanahan seringkali dikaitkan dengan isi dan tata-laksana hukum agraria nasional yang dinilai tidak konsisten dalam pelaksanaannya, saling tumpang tindih, dan penuh dengan conflict of interst baik antar masyarakat dengan negara, masyarakat dengan pemilik modal, maupun antar departemen dalam pemerintahan.33 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA) adalah salah satu produk terbaik sepanjang sejarah hukum di Indonesia. Undang-undang tersebut secara eksplisit menyatakan keberpihakannya pada rakyat kecil. Landasan filosofi dan semangat yang sangat jelas mencerminkan sistem masyarakat yang dicita-citakan. Namun dalam kenyataannya undang-undang tersebut tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan. Bahkan perjalanannya mengalami distorsi akibat kebijakan baru pemerintah yang tidak sejalan dengan prinsip UUPA. Artinya, ada faktor-faktor eksternal lain yang lebih kuat yang mempengaruhi pelaksanaan sebuah undang-undang. Setidaknya ada 2 faktor yang sangat berpengaruh dalam menciptakan konflik-konflik pertanahan selama ini. Kedua faktor tersebut adalah: (1) Pilihan paradigma dan strategi pembangunan sosial-ekonomi. (2) Pilihan terhadap sistem politik suatu negara. Hukum dalam perspektif ini merupakan variabel dependen dari kedua faktor di atas. Jadi sangat keliru apabila upaya penyelesaian sengketa pertanahan hanya didasarkan pada memperbaiki perangkat hukum yang ada.

33

Yusuf Napiri, dkk, Kepastian Yang Harus Dijaga, Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan. Bogor. 2006, hlm. 5.


(23)

Hukum adalah produk dari sebuah sistem politik dan sistem politik adalah produk dari paradigma pembangunan sosial-ekonomi yang dipilih.34

Karakteristik konflik atau sengketa tanah sendiri merupakan konflik antar sektor dengan dominasi masalah terletak antarsektor pertanian dan industri. Akibat konflik tersebut keluarga petani tidak mempunyai tempat tinggal dan harus hidup berpindah-pindah. Dari tahun ke tahun, ketimpangan struktur agraria akibat monopoli atas sumber-sumber agraria telah menyebabkan kemerosotan dan keterbelakangan kehidupan kaum tani Indonesia di semua aspek, mulai aspek sosial-ekonomi, politik, dan budaya. Bahwa selama puluhan tahun telah terjadi proses penyempitan lahan pertanian petani seiring dengan lepasnya penguasaan/pemilikan tanahnya lewat berbagai cara yang mendorong pada proses pemiskinan petani.35

Wilayah konflik di kawasan hutan Register 45 meliputi,36Desa Talang Batu, meliputi Dusun Talang Gunung, Pelita Jaya, dan Dusun Tanjung Harapan. Desa ini berdiri tahun 1918 seluas 9.600 Ha. Desa ini tidak termasuk kawasan hutan register 45 sebagaimana dimaksud Besluit Residen Lampung Distric No. 249 pada 12 April 1940, karena merupakan lahan usaha masyarakat. Mayoritas masyarakat desa ini sudah diusir sejak tahun 1987 sejak dilakukan penetapan tata batas penambahan areal HTI menjadi 43.100 Ha. Terkait dengan itu, ada kebijakan Menteri Kehutanan yang mengijinkan masyarakat untuk meng-enclave kawasan tersebut khusus untuk prasarana umum dan pemukiman, tetapi tidak untuk perkebunan. Tetapi masyarakat

34

Ibid.,hlm. 6. 35

Ibid.,hlm. 7. 36


(24)

menolak dan tetap menuntut pengembalian lahan seluas 9.600 Ha yang dimasukkan kedalam kawasan register 45 karena merupakan hak miliknya.

Desa Labuhan Batin, Desa ini merupakan desa asli sejak tahun 1906 seluas 2.600 Ha, dan tidak termasuk kawasan register 45, karena juga merupakan lahan usaha masyarakat yang dikecualikan oleh Besluit Residen Lampung Distric No. 249 tahun 1940 dan SK Menteri Kehutanan No. 688/Kpts-II/1991. Hingga sekarang masyarakat desa ini terus berjuang supaya tanahnya dikeluarkan dari kawasan register 45.

Masyarakat adat Sway Umbu, Simpang D, Masyarakat adat terusir dari kawasan ini, dan menduduki kembali tanahnya di register 45 setelah reformasi dengan membawa masyarakat penggarap. Masyarakat ini memberikan kuasa hukum kepada LSM PEKAT untuk mewakili kepentingannya. Mengklaim tanahnya seluas 2.900 Ha dan pernah membawa kasus sengketa tanah ke pengadilan negeri Menggala tetapi kalah oleh pengadilan.

Masyarakat Moro-Moro Way Serdang, Masyarakat Moro – Moro masuk ke register 45 bersamaan dengan situasi krisis ekonomi 1997-1999. Mayoritas adalah masyarakat transmigrasi dari etnis Jawa dan Bali yang terusir dari kawasan hutan Gunung Balak Kabupaten Lampung Timur. Selama 14 tahun di register 45 mereka telah membentuk lima daerah setingkat dusun yang menjadi pusat pemukiman warga di Moro-Moro, yakni Moroseneng, Morodadi, Morodewe, Sukamakmur, dan Simpang Asahan. Dan di daerah ini sudah berdiri sekolah TK, SD dan SMP yang dibiayai secara swadaya oleh masyarakat.


(25)

Konflik antara warga Moro-Moro dengan PT Silva Inhutani selaku pemegang izin pengelolaan lahan dari Kementerian Kehutanan, akibat kawasan hutan tanaman industrinya dijadikan lahan garapan dan pemukiman warga.37 Tim Gabungan Perlindungan Hutan Provinsi Lampung yang terdiri dari Polisi Daerah Lampung, Kejaksaan Tinggi, TNI, Dinas Kehutanan dan Pemerintah Daerah Tulang Bawang melakukan penggusuran di kawasan pemukiman Simpang D, Nanasan Kecamatan Sungai Buaya.

Secara umum para penggarap yang berada di areal Register 45 terdiri dari tiga etnis, yaitu Jawa, Bali serta Lampung. Sebagian dari penggarap berasal dari kawasan transmigrasi. Pindah dan membuka areal garapan di Register 45 karena lahan di daerah asal transmigrasi sudah tidak mencukupi. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan Register 45 tidak dapat lagi dikeluarkan izin garapan kepada warga. Lahan alternatif yang dikehendaki warga Moro-Moro sebagai tempat relokasi sulit diwujudkan, itu dikarenakan minimnya ketersediaan kawasan hutan di Provinsi Lampung.

Peringatan penertiban kawasan register 45 sudah dilakukan sejak tahun 2006. Saat itu pihak Kapolres Tulang Bawang melalui surat No.B/56/I/2006 meminta semua warga untuk meninggalkan kawasan register 45. Sebelumnya pada 14 Desember 2005, PT. Silva Inhutani telah melaporkan adanya perambah di kawasan hutan tanaman industri tersebut. Pihak kepolisian memberikan tenggat waktu kepada warga hingga 18

37

Majalah Berita Teknokra Unila, Moro-Moro Menanti Kepastian!, Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Teknokra Unila, Juni-Agustus, Bandar Lampung, 2011. hlm. 21.


(26)

Januari 2006. Kawasan pemukiman akan ditertibkan dan dikembalikan fungsinya sebagai hutan industri PT.Silva. namun masyarakat menolak, dan tetap memilih untuk tinggal dan bercocok tanam di kawasan tersebut.38

Pihak Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang (sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Mesuji) menggelar rapat koordinasi penertiban hutan tanaman industri. Hasilnya Pemkab Tulang Bawang akan mengusulkan peninjauan kembali kepada Kementerian Kehutanan perihal izin pengelolaan kawasan register 45 yang diklaim PT.Silva nencapai luas 43.100 hektar itu.

Medio 1999, masyarakat Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kecamatan Way Serdang menuntut klaim lahan kepada Gubernur Lampung, warga tidak terima kawasan ketiga kampong tersebut masuk ke dalam register 45 sungai buaya. Karena bila merujuk pada Besluit Residen Lampung Distrik No.249, luas kawasan register 45 hanyalah 33.500 hektar. Selain itu kawasan perkampungan juga sudah dibangun berbagai fasilitas umum seperti sekolah, dan tempat-tempat ibadah.

Tabel 1.1

Berbagai Fasilitas yang Dibangun Secara Swadaya oleh Masyarakat: Sekolah Rumah

Ibadah

Gapura Pasar Balai

Pertemuan

Lapangan OlahRaga

38


(27)

TK = 2 Buah (Moro Dewe, Moro Seneng

Masjid = 4 Buah (Moro Seneng 1 buah, Moro Dewe 2buah,Suka Makmur 1buah) 11buah (dikelompok kan) 1 buah (Moro Seneng) 2 Buah (Moro Seneng dan Suka Makmur) 3 buah (Moro Seneng, Moro Dewe, Suka Makmur) SD = 3

Buah (Suka Makmur ,MoroSe neng, Moro Dewe)

Mushola = 12 buah (Moro Seneng 4buah, Moro Dewe 4buah, Suka Makmur 2buah, Moro Dadi 2buah). SMP = 1Buah (Moro Seneng)

Pura = 3 buah (Asahan 1buah, Moro Seneng 1buah, Moro Dadi 1 buah, Suka Makmur 1buah)

Gereja = 3 buah (Moro Seneng 1buah, Suka Makmur 1buah, Moro Dadi 1buah)

Sumber: PPMWS (Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang)

Akhir 2011, masyarakat penggarap di Desa Moro Dewe dan Moro Seneng menggelar dialog dengan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Bupati Tulang Bawang dan Kepolisian. Dalam pertemuan itu Bupati Tulang Bawang tidak melarang aktivitas warga sepanjang tidak merusak hutan dan asset perusahaan. Masyarakat menyatakan


(28)

keinginannya untuk meninggalkan kawasan dengan syarat dicarikan alternatif tempat untuk relokasi. Namun pengharapan itu tidak kunjung mendapat respon dari pihak PT.Silva Inhutani maupun pemerintah.

Pada tanggal 18 Februari 2006, Kapolres Tulang Bawang kembali mengultimatum masyarakat penggarap lahan register 45 untuk meninggalkan kawasan. Pihak kepolisian mengancam akan melakukan pemaksaan dan mengancam siapa pun yang tidak menaati penertiban.Menanggapi situasi itu, pihak Megowpak (dianggap sebagai tetua adat) mengumpulkan warga di Simpang D Nanasan Kecamatan Way Serdang. Namun hingga hari eksekusi penggusuran pada 20 Februari tiba, pihak Megowpak yang diharapkan warga bisa memberikan arahan, justru tidak hadir. Dalam eksekusi hari itu, pihak kepolisian dan keamanan PT.Silva berhasil merobohkan 74 rumah warga. Pihak kepolisian juga mengumumkan setelah penggusuran di Nanasan, dua bulan berikutnya penggusuran dilanjutkan ke wilayah Moro-Moro.

PT. Silva Inhutani Lampung sebagai pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri pertama kali mendapat izin pengelolaan kawasan register pada tahun 1991 dengan luas lahan 32.600 hektar. Pada tahun 1994, PT. Silva berdasarkan rekomendasi Gubernur Lampung dan Dirjen Pengusahaan Hutan mendapat perluasan lahan 10.500 hektar sehingga luas lahan seluruhnya menjadi 43.100 hektar. PT. Silva Inhutani diberi konsesi (izin hak pengolahan) selama 45 tahun.

PT. Silva saat itu mendapat izin pengolahan dari Kementerian Kehutanan melalui Surat Keputusan No.93/Kpts-II/1997. Dalam surat keputusan tersebut disebutkan


(29)

bahwa PT. Silva berkewajiban melakukan penataan batas areal kerja selambat-lambatnya dua tahun sejak izin dikeluarkan. PT. Silva diminta membuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) selambat-lambatnya 18 bulan, membuat Rencana Kerja Tahunan, membangun sarana dan prasarana yang diperlukan. PT. Silva juga harus melakukan penanaman sedikitnya sepersepuluh dari luas lahan dalam waktu lima tahun. Namun sejak 1999, tepat setelah dua tahun SK Menteri Kehutanan dikeluarkan, kegiatan operasional PT. Silva terhenti akibat krisis moneter yang melanda Indonesia. Ternyata PT. Silva tidak sepenuhnya menjalankan mandate konsesi. PT. Silva baru mengolah lahan sekitar 25 ribu hektar, yang ditanami pohon Akasia dan Sonokeling. Sisa lahan itu umumnya tidak terawat dengan baik, sebagian lain sudah dijadikan lahan perkebunan singkong dan pemukiman warga.

Melihat itu, Kementerian Kehutanan melalui SK. No.9983/Kpts-II/2002 mencabut izin pengolahan PT. Silva yang dinilai tidak layak membangun hutan tanaman industri baik secara teknis maupun finansial. PT. Silva juga tidak pernah menyerahkan rencana kerja tahunan sejak izin pengolahan diberikan pada 1999. Kondisi ini pula yang dimanfaatkan warga pendatang untuk berinisiatif membuka lahan yang dianggap tak berpemilik itu. Warga menganggap PT Silva tidak mampu mengelola lahan dengan banyaknya lahan yang ditelantarkan. PT. Silva ternyata kembali mengajukan permohonan izin pengolahan hutan industri kepada pihak Kementerian Kehutanan. Permohonan itu mendapat balasan dari Menteri Kehutanan dengan dikeluarkannya izin Hak Guna Usaha pada tanggal 27 Februari 2004 . Saat itu


(30)

kondisi permukiman warga sudah semakin banyak memenuhi kawasan Moro-Moro dan Simpang D Nanasan Kecamatan Sungai Buaya.39

Riwayat areal Kawasan Hutan Register–45 di Kabupaten Mesuji (dahulu Kabupaten Tulang Bawang) Provinsi Lampung, merupakan lahan hibah yang diberikan oleh Bapak Bahusin kepada Pemerintah Belanda tahun 1940 seluas 33.500 Ha, sesuai dengan Besluit Resident Lampung Distrik Nomor 249 tanggal 12 April 1940 yang menyatakan bahwa di luar areal lahan yang dihibahkan seluas 33.500 Ha itu, terdapat 22 umbul yang tidak termasuk dihibahkan karena merupakan lahan usaha masyarakat. Tahun 1986-1987 dilakukan Pengukuran Tata Batas kawasan hutan Register 45 oleh Tim Tata Batas Tingkat II Lampung Utara untuk perluasan lahan HTI menjadi 43.100 ha (SK Menteri Kehutanan No. 785/KPTS-II/1993 pada tanggal 22 Nopember 1993), sehingga masyarakat yang ada di Talang Batu, yang meliputi Dusun Talang Gunung, Pelita Jaya dan Tanjung Harapan dipaksa meninggalkan dusun (digusur).40

Mulai dari sinilah terjadi konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan pihak PT. Silva Inhutani.41 Tahun 1991 keluar SK Menteri Kehutanan No. 688/Kpts-II/1991 yang memberikan ijin HPHTI kepada PT. Silva Inhutani seluas 33.500 Ha. SK tersebut menegaskan bahwa terhadap kampung, tegalan dan lain-lain yang telah ada sebelumnya tidak masuk sebagai areal HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman

39 Ibid. 40

Yusdiyanto, “Hak Pilih dan Memilih Warga Negara Sebagai Constitusional Right (Kajian Kasus Moro-Moro di Kabupaten Mesuji)” Jurnal Konstitusi, Pusat Kajian Konstitusi dan Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Volume III Nomor 1, Juni, Lampung, 2011. hlm. 91.

41

Bahan Rapat Kerja Komite I Dewan Perwakilan Daerah, Kunjungan Register 45, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, Februari 2011.


(31)

Industri). Tahun 1997 PT. Silva Inhutani menambah perluasan lahan, sehingga keluar lagi SK Menteri Kehutanan No. 93/Kpts-II/1997 yang menyatakan luas areal kawasan hutan register – 45 menjadi 43.100 Ha. SK ini menegaskan juga bahwa: Apabila di dalam areal HPHTI terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan, atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan dari areal kerja dari HPHTI.

Tahun 1997 akibat krisis ekonomi masuklah penggarap/pendatang dan masyarakat transmigrasi yang terusir dari kawasan Gunung Balak Kabupaten Lampung Timur, setelah melihat adanya lahan terlantar di Register 45 (selanjutnya disebut masyarakat Moro-Moro Way Serdang).42Tahun 2002 keluar Keputusan Menteri Kehutanan yang mencabut ijin HPHTI PT. Silva Inhutani melalui SK Menhut No.9983/Kpts-II/2002, karena PT.Silva Inhutani dinilai tidak layak dalam melaksanakan kegiatan Pembangunan Hutan Tanaman Industri, baik dari segi teknis maupun finansial dan tidak pernah menyerahkan Rencana Kerja Tahunan dan Rencana Kerja Lima Tahunan sejak tahun 1999. Tahun 2004 Ijin HPHTI dipulihkan kembali melalui gugatan pengadilan Tata Usaha Negara, yang kemudian dikukuhkan melalui SK Menhut No.322/Menhut-II/2004, tetapi Pemberian Hak Pengusahaan HTI menjadi seluas 42.762 Ha.43 PT.Silva Inhutani telah melakukan pelanggaran terhadap ijin yang diberikan yaitu penyalahgunaan lahan untuk penanaman komoditas yang bukan tanaman hutan industri melainkan tanaman semusim seperti nanas dan singkong.

42 Ibid. 43


(32)

Bahkan pernah memberikan hak pengelolaan hutan tersebut kepada pihak ketiga secara tidak sah yaitu kepada PT. BGM dan PT. Kencana Acit Indo Perkasa.

Implikasi Konflik Pertanahan terhadap seluruh masyarakat yang tinggal di register 45 dianggap sebagai perambah, sehingga tidak diberikan dokumen yang terkait dengan hak kependudukan seperti KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan dan lain-lain, yang berimplikasi pada tertutupnya akses masyarakat terhadap perolehan pelayanan publik seperti hak untuk mendapatkan kesehatan, pendidikan, beras miskin (raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan hak politik. Hal ini bertentangan dengan UU Administrasi Kependudukan dan UU HAM.44

44 Ibid.


(33)

BAB IV PEMBAHASAN

1. Hak Politik Menurut UUD Tahun 1945

Undang-Undang Dasar sebagai constitusional right menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan, pengakuan dan penjaminan akan hak-hak dasar warga negara. Dari berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari: (a) anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum, (b) jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, (c) peradilan yang bebas dan mandiri, dan (d) pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.52

Sri Soemantri menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:53(1) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau; (2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa; (3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak mewujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan dating, dan (4) Suatu keinginan, dengan nama perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

52

Dahlan Thaib dkk,Teori dan…,Op.Cit.,hlm. 2. 53


(34)

Fenomena tersebut menjadikan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supremacy of law) yang harus ditaati oleh rakyat maupun oleh alat-alat kelengkapan negara, siapakah yang akan menjamin bahwa ketentuan konstitusi atau Undang-Undang Dasar benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh badan eksekutif maupun badan pemerintah lainnya.54

TAP MPR-RI No.XVII/MPR/1998 tentang HAM, menyatakan Pembukaan UUD Tahun 1945 telah mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan HAM dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional patut menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Universal Declaration of Human Rightsserta instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.

HAM dan demokrasi memiliki kaitan yang sangat erat, demokrasi memberikan pengakuan lahirnya keikutsertaan publik secara luas dalam pemerintahan, peran serta publik mencerminkan adanya pengakuan kedaulatan. Aktualisasi peran publik dalam ranah pemerintahan memungkinkan untuk terciptanya keberdayaan publik. Perlindungan dan pemenuhan HAM melalui rezim yang demokratik berpotensi besar mewujudkan kesejahteraan rakyat.55

Sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bangsa ini telah menjunjung tinggi HAM. Sikap tersebut tampak dari Pancasila dan UUD Tahun

54

Ibid., hlm. 62. 55

Majda El Muhtaj,Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta, PT Rajawali Pers, 2008, hlm. 45.


(35)

1945, yang memuat beberapa ketentuan-ketentuan tentang penghormatan HAM warga negara. Sehingga pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau penjaminan terhadap HAM dan hak-hak warga negara (citizen’s rights) atau hak-hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitusional rights) dapat terlaksana. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara.

Hak politik warga negara mencakup hak untuk memilih dan dipilih, penjaminan hak dipilih secara tersurat dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3); Pasal 28E ayat (3).56 Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945.57Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan.

56

Pasal 27 ayat (1); Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pasal 27 ayat (2); Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28; Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 28D ayat (3); Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pasal 28E ayat (3); Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

57

Pasal 1 ayat (2); Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Pasal 2 ayat (1); Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Pasal 6A ayat (1); Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Pasal 19 ayat (1); Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum.

Pasal 22C ayat (1); Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.


(36)

Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang sama dan implementasinya hak dan kewajiban pun harus bersama-sama.58

Konkritisasi dari ketentuan-ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan dibawahnya, sesuai ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tentang peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Undang-Undang tentang HAM yang secara nyata memberikan pengakuan terhadap hak-hak warga negara yaitu: (a) Hak untuk hidup; (b) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; (c) Hak mengembangkan diri; (d) Hak memperoleh keadilan; (e) Hak atas kebebasan pribadi; (f) Hak atas rasa aman; (g) Hak atas kesejahteraan; (h) Hak turut serta dalam pemerintahan; (i) Hak wanita; dan (j) Hak anak. Pada point (h) secara nyata negara memberikan pengakuan kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan baik dalam hal hak memilih dan dipilih.

UU HAM khusus Pasal 43: (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

58

A.Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta, Kanisius, 1993, hlm. 117.


(37)

Menurut Ramdlon Naning, HAM dapat dibedakan dalam:

(1) hak-hak asasi pribadi (personal right); (2) hak-hak asasi ekonomi (property rights); (3) hak-hak asasi politik (political rights); (4) hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (right of legal equality); (5) hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture rights); dan (6) hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum dalam tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights).59

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) menyebutkan bahwa negara Indonesia mengakui dan melindungi hak setiap warga negara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.

Pada tanggal 28 Oktober 2005, Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dengan disahkannya Undang-Undang tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait, Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal.

59

H.Rosjidi Ranggawidjaja, Pembatasan Konstitusional Hak Warga Negara untuk Memilih dan Dipilih dalam Jabatan PublikJurnal Konstitusi PSKN-FH Universitas Padjajaran, Volume II Nomor 2, November 2010, Jakarta, FH Unpad dengan Mahkamah Konstitusi hlm. 38.


(38)

ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi Negara-Negara Pihak dalam ICCPR, Makanya hak-hak yang terhimpun didalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Inilah yang membedakan dengan model legislasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) yang justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin didalamnya apabila negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus. KIHESB karena itu sering disebut hak-hak positif (positive rights).60

Ifdhal Kasim dalam kata pengantar buku Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan, membuat dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR. Klasifikasi yang pertama, adalah hak-hak dalam jenis non-derogable rights, yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk dalam jenis ini adalah:

(1) hak atas hidup (rights to life); (2) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (3) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (4) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (hutang); (5) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (6) hak sebagai subyek hukum dan (7) hak atas

60

Ifdhal Kasim (Editor),Hak sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan.Cetakan Pertama. Jakarta. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2001, hlm. 49.


(39)

kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara, yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).

Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi dalam pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak. Hak dan kebebasan yang tergantung dalam jenis ini adalah:

(i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dari segala gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan).

Negara-negara pihak dalam ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpangan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Rosalyn Higgins menyebut ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback”, yang memberikan suatu keleluasaan kepada negara yang dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari hal ini ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi melebihi dari yang ditetapkan oleh kovenan ini. Selain diharuskan menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara-Negara Pihak ICCPR.


(40)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2008 tentang tata cara penyusunan daftar pemilih untuk pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menyebutkan bahwa seorang warga negara memiliki hak memilih apabila warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah pernah kawin. Selanjutnya diatur bahwa daftar pemilih sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat warga negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.

Menurut Rosjidi Ranggawidjaja, pembatasan tersebut dapat dikategorikan sebagai persyaratan prosedural. Apapun persyaratan yang ditetapkan akan merupakan suatu pembatasan terhadap hak memilih warga negara.61 Dan pada akhirnya ini akan dijadikan alasan untuk melakukan constitusional review terhadap undang-undang, karena sudah sangat jelas bahwa hak memilih dan dipilih seorang warga negara yang dijamin dalam UUD dan harus dilindungi dan diberikan oleh negara. Namun dalam Undang-Undang Pemilu dan peraturan pelaksana dibawahnya memberikan batasan umur, prosedural sampai administrasi.

61


(41)

UUD 1945 Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), negara dapat pembatasan atas dasar pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.62

Selanjutnya Undang-Undang tentang administrasi kependudukan mengatakan KTP, adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah NKRI. Penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pendefenisian ini memberikan rumusan bahwa setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah NKRI wajib diberikan identitas kependudukan oleh negara, sesuai dengan asas ius solli dan

ius sanguinis.63

2. Hak Politik Warga Moro-Moro

Hak politik pada hakekatnya mempunyai sifat melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Karena itu, dalam mendukung pelaksanaannya peranan pemerintah perlu diatur melalui perundang-undangan, agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat melampaui batas-batas tertentu. Hak-hak politik biasanya ditetapkan dan diakui sepenuhnya oleh konstitusi

62

Pasal 28J ayat (1); Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 28J ayat (2); Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

63


(42)

berdasarkan keanggotaan sebagai warga negara. Artinya, hak-hak ini tidak berlaku kecuali bagi warga negara setempat, bukan warga asing.

Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam UUD Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1)dinyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap warga negara, yaitu orang Indonesia asli maupun bangsa lain yang disahkan Undang-Undang sebagai warga negara, mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (3)).

Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam Undang Undang tentang HAM khusus Pasal 43:

(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam kovenan hak sipil dan politik ditegaskan Pasal 25 “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan


(43)

kesempatan, tanpa pembedaan apapun” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk:

(a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;

(b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih; (c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan

dalam arti umum.

Hak-hak asasi manusia, oleh PBB dalam sidang umumnya Diisana Chaillot Paris, pada tanggal 10 Desember 1984. dalam Piagam HAM tersebut telah berhasil ditetapkan secara rinci beberapa hak politik sebagai berikut: hak untuk mempunyai dan menyatakan pendapat tanpa mengalami gangguan (pasal 19), hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara tenang (pasal 20 ayat 1), hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negara (pasal 21 ayat 1), hak untuk ikut serta dalam pemilu yang dilakukan secara periode, serentak, wajar, bebas, dan rahasia (pasal 21 ayat 3) dan lain-lain.

Menurut piagam PBB dan perjanjian hak-hak sipil dan politik serta defenisi hak politik dapat di klasifikasikan menjadi tujuh macam hak politik, yaitu :

a. hak untuk memiliki dan menyatakan pendapat dengan tenang b. hak untuk berserikat dan berkumpul

c. hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan negara d. hak untuk ikut serta dalam pemilu

e. hak kebebasan menentukan status politik f. hak untuk memilih dan dipilih


(44)

Soepomo menyatakan bahwa negara harus menjaga supaya tidak ada warga negara yang memiliki kewarganegaraan ganda (dwikewarganegaraan atau dubbele onderdaanschap) dan juga yang tidak mempunyai kewarganegaraan (staatloosheid). Hal ini harus diatur dengan sistem dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk itu, Soepomo mengajukan dasar kewarganegaraan Indonesia, yaitu: (1) Ius Sanguinis (prinsip keturunan) dan (2) Ius Soli (prinsip teritiorial).64 Isi kedudukan sebagai warga negara adalah (1) hanya warga negara mempunyai hak-hak politik, misalnya hak memilih dan dipilih dan (2) hanya warga negara mempunyai hak diangkat menjadi jabatan negara. Pada dasarnya status suatu kewarganegaraan seseorang memiliki dua aspek, yaitu: (1) aspek hukum, dimama kewarganegaraan merupakan suatu status hukum kewarganegaraan, suatu kompleks hak dan kewajiban, khususnya dibidang hukum publik yang dimiliki oleh warga negara dan yang tidak dimiliki oleh orang asing.

Asal Konflik bermula saat masyarakat melakukan Perambahan di kawasan hutan Register 45 Sungai Buaya di empat lokasi yaitu; Moro-moro, Simpang ‘D’, Talang

Gunung dan Pelita Jaya. Khusus mengenai Moro-Moro masyarakat masuk dikawasan tersebut sejak tahun 1997, kondisi sekarang di Moro-moro ± 2.000 KK, Rumah Permanen dan Semi Permanen, ada Rumah Ibadah (Masjid, Gereja dan Pura), Sekolah Dasar, infrastruktur jalan, kebun karet, sawit, singkong dan padi.65

64

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia dan Agama, Jakarta, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2010. hlm. 14.

65


(45)

Akibat konflik agraria yang terjadi di kawasan hutan Register 45, Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung khususnya di Moro-Moro, merupakan salah satu bagian kaum tani yang merasakan beratnya menghadapi tekanan negara dan berbagai perilaku diskriminasi lainnya. Selama 14 tahun terakhir yakni sejak tahun 1997 warga Moro-Moro diabaikan hak sipil dan politik dan ekonomi sosial budaya, tinggal di kawasan hutan Register 45 menyebabkan predikat sebagai masyarakat ilegal, atas predikat tersebut hak politik masyarakat diabaikan. Warga Moro-Moro tidak memiliki KTP ataupun dokumen kependudukan lainnya, sehingga kehilangan akses pendidikan dan kesehatan dasar yang memadai seperti layaknya warga negara lainnya. Konstitusi yang memuat regulasi yang melindungi hak-hak asasi warganegara tidak pernah sampai apalagi dirasakan oleh 3.359 jiwa dan 2.193 pemilih di Moro-Moro, Register 45 Sungai Buaya.

Alasan hak politik warga Moro-Moro diabaikan yakni dengan adanya UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan Daftar Pemilih menyebutkan Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Berdasarkan Peraturan KPU, KPU Kabupaten/Kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemllih.

Daftar pemilih sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara


(46)

Indonesia yang mempunyai hak memllih. Selain itu juga memuat status perkawinan dan keterangan antara lain jenis cacat yang disandang oleh pemilih. KPUD dan pemerintah menafsirkan bahwa pemilih adalah warga negara yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pasal ini yang menjadi landasan norma dari diabaikannya hak politik Warga Moro-Moro.

UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memuat bahwa KTP, adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia.

Permasalahan yang membesar adalah mengapa negara mengabaikan hak politik Warga Moro-Moro? Sebuah kasus unik dan kompleks di kawasan hutan register sehingga masyarakat tidak dapat diberikan hak politiknya. Sementara Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, secara tersurat memuat tentang kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Menurut UUD secara tersurat dan tersirat, warga negara berhak memilih DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati dan Kepala Desa. Konstitusi memuat bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia.


(47)

Ada beberapa pertimbangan hukum dalam kasus ini yaitu Pertama; adanya pengakuan, penjaminan dan perlindungan HAM Warga Negara Indonesia oleh Negara. Kedua; Negara dijalankan atas nama Kedaulatan Rakyat. Ketiga; asas lex priori de rogat legi infriori dimana perundangan lebih tinggi diberlakukan dari pada perundangan yang lebih rendah, asas ini sesuai dengan teorinya Hans Kelsen yaitu perundangan yang lebih rendah harus mengikuti perundangan yang lebih tinggi. Keempat;Negara oleh hukum dipandang sebagai sesuatu yang mandiri, pemikul hak dan kewajiban seperti orang pribadi (natuurijk persoon); Kelima; Hukum Administrasi Negara mengenal Freies Ermessen dimana Pejabat atau badan administrasi negara dilekati wewenang untuk membuat berbagai keputusan selain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan,pelaksanaan wewenang dilakukan berdasarkan atas kebebasan bertindak (beleidsvrijheid atau beoordelingsvrijheid).

Keenam; semestinya Pemerintah dapat mempertimbangkan pemenuhan hak politik yang bukan berarti menyelesaikan persoalan agraria. Artinya persoalaan KTP dapat dikesampingkan bila pertimbangannya terhadap Penjaminan, perlindungan dan pemenuhan Hak Politik Warganegara di Moro-Moro.

Ada beberapa solusi hukum yang ditawarkan, Pertama, Pengakuan hak politik baik universalis dan nasional telah diakui oleh Negara. Persoalan KTP dapat dikesampingkan melalui keputusan administrasi negara yang dapat dilakukan oleh pemangku jabatan apabila terjadi kekosongan hukum. Bukankah pada tahun 2004 warga Moro-Moro pernah diberikan hak pilih tetapi kenapa sekarang kenapa tidak. Perlu di ingat pemberian hak pilih merupakan pelaksanaan dari prinsip bernegara dan


(48)

pengabaian hak pilih merupakan penghianatan atas kedaulatan rakyat serta mencederai konstitusional right dan apabila terjadi pengabaian pasti terjadi sengketa hukum ketatanegaraan melalui Mahkamah Konstitusi. Kedua, Negara segera menyelesaikan konflik agraria setelah hak politik mereka diberikan, sesuai fungsi negara yaitu mewujudkan keadilan, ketertiban, dan perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the fouding fathers). Untuk itu sudah selayaknya KPUD menggunakan asas stelsel aktif

melakukan pendataan terhadap warga Moro-Moro. Pencabutan atau pengabaian hak politik warganegara harus melalui putusan pengadilan jadi tidak bisa secara langsung diabaikan oleh pemerintah.

Prinsip HAM universal menyebutkan negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya, setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apa pun memperoleh kesempatan yang efektif menikmati hak ini supaya tercapailah kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.


(49)

3. Mekanisme Penghilangan Hak Pilih

Menurut Jimly Assidiqie hak politik yang diatur secara tegas oleh UUD Tahun 1945 diantaranya bahwa setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai; berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat. Syarat-syarat untuk dapat memilih dalam pemilu yakni pemilih terdaftar sebagai pemilih; pemilih nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya; pemilih tidak sedang menjalani hukuman pidana kurungan yang diancam hukuman 5 tahun atau lebih; serta pemilih tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan; di dalamUU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Peraturan KPU No. 10 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan Daftar Pemilu menyebutkan Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah atau pernah kawin. Berdasarkan Peraturan KPU, KPU Kabupaten/Kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. Pasal 5 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2008 mengatakan daftar pemilih sebagai mana dimaksud sekurang-kurangnya memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.

Warga Moro-Moro, tidak dapat memilih dikarenakan tidak memenuhi syarat admistrasi seperti mampu menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) serta dokumen kependudukan lainnya. Masyarakat yang mendiami kawasan hutan Register 45 masih


(50)

dianggap ilegal oleh pemerintah setempat, hal ini pula yang menyebabkan warga Moro-Moro tidak pernah didata oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DISDUKCAPIL) setempat. Dengan diterbitkannya surat Gubernur Lampung Nomor 270/0973/11.03/2011 tertanggal 31 Maret 2011, tentang tindak lanjut penanganan hak politik masyarakat di kawasan Register 45. Surat tersebut menyatakan, masyarakat yang bermukim di area Register 45 merupakan perambah hutan yang berasal dari luar Kabupaten Mesuji bahkan luar Provinsi Lampung.66

Masyarakat Moro-Moro tidak memenuhi klasifikasi persyaratan sebagai pemilih berdasarkan ketentuan perundang-undangan, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Admistrasi Kependudukan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pedoman Pendataan dan Penertiban Dokumen Kependudukan yang mensyaratkan adanya legalitas status kependudukan. Meskipun tanah yang ditempati warga Moro-Moro adalah kawasan hutan, pemerintah daerah seharusnya tetap melayani pemenuhan hak-hak masyarakatnya. Hal ini selaras dengan amanat Pasal 25 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang menyebutkan, bagi penduduk rentan administrasi kependudukan, negara wajib menerbitkan dokumen kependudukannya.67 Hak politik warga negara tersebut tidak

boleh diabaikan, diremehkan apalagi dihilangkan karena hal seperti itu merupakan pelanggaran HAM sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 butir 6 Undang-Undang HAM.

66

Surat Gubernur Lampung Nomor 270/0973/11.03/2011 tertanggal 31 Maret 2011, tentang Tindak Lanjut Penanganan Hak Politik Masyarakat di Hutan Kawasan Reg-45 Sungai Buaya Kab.Mesuji.

67


(51)

Sebagaimana diketahui pemilu merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dan HAM dalam bidang politik. Hal tersebut diwujudkan dengan adanya hak pilih dalam pemilu yang dimiliki oleh setiap warga negara. hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang tentang HAM Pasal 43 ayat (1) bahwa: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pada Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Menurut UUD secara tersurat dan tersirat, warga negara berhak memilih DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati dan Kepala Desa. Konstitusi telah secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yakni dengan adanya ketentuan Pasal 28 dan 111 ayat (1) yang menyebabkan seorang warga negara kehilangan hak memilih ketika tidak mendaftar sebagai pemilih atau tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah tidak adil. Di satu sisi, Undang-Undang ini memberikan kewajiban untuk mendaftar semua warga yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah pernah kawin kepada penyelenggara pemilu. Namun, disisi lain, bila penyelenggara Pemilu lalai mendaftar seorang warga negara yang telah memiliki hak memilih, warga negara yang


(52)

bersangkutan kehilangan hak memilihnya. Kesalahan atau kelalaian penyelenggara Pemilu ditimpakan akibatnya kepada warga negara.

Pemilu merupakan sarana berdemokrasi bagi warga negara dan merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konsitusi, yaitu hak atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” serta prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).

Todung Mulya Lubis sebagaimana dikutip dalam bukunya In search of Human Right: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order bahwa dengan hilangnya hak memilih sebagian besar warga Negara, secara tidak langsung Negara telah melanggar hak-hak asasi manusia yang pada saat ini sedang gencar-gencarnya didengungkan oleh sebagian besar Negara-negara di dunia berupa hak untuk dipilih dan hak untuk memilih…The government seemed ready to adopt some kind of human right policy, despite the fact that many suspectedthe government’s sincerity.68

Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden hanya memberikan hak tersebut pada warga negara yang sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap atau Daftar Pemilih Tambahan. Sehingga warga

68

Satya Arinanto,Politik Hukum 2, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 211.


(53)

negara yang telah memenuhi syarat untuk memilih, akan tetapi masih belum terdaftar dalam DPT telah dirugikan atas keberlakuan pasal dalam undang-undang tersebut. Setelah pengujian (judicial review) sebagai solusi atas Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang kemudian diputuskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009, maka hak asasi yang dijamin dalam konstitusi semakin dikuatkan sehingga warga negara yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilh Tetap (DPT) bisa tetap menggunakan haknya dengan kartu Tanda Penduduk (KTP) disertai Kartu Keluarga (KK) atau Paspor bagi warga negara indonesia yang berada di luar Indonesia dengan syarat-syarat tertentu.

Akibat hukum yang timbulkan dari putusan ini ialah menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap dengan syarat dan cara yang ditentukan didalam putusan tersebut.

Dengan adanya judicial review ini maka hak-hak masyarakat yang hilang dapat dikembalikan melalui sebuah proses peradilan fair, sehingga benturan-benturan kepentingan bisa diselesaikan dengan seadil-adil berdasarkan amanah konstitusi, sehingga penyelesaian secara jalur hukum mendapatkan tempat dihati masyarakat.


(1)

ABSTRAK

HAK POLITIK WARGA MORO-MORO KABUPATEN MESUJI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

Efrial Ruliandi Silalahi

The purpose of this study was to determine the political rights under the Constitution of 1945, knowing the political rights of citizens of the Moro-Moro and to know the mechanism of removal of the right to vote in the General Election of Regional Head (Election). The research method is by using a type of research and normative juridical approach to the legislation (Statute Approach). The results showed that the political rights under the Constitution of 1945 is non-derogable rights and derogable rights. Political rights of citizens of the Moro-Moro is absolute and should not be reduced compliance, among others, the right to equal treatment before the law, the rights of citizenship status, the right to housing in the country, right to political asylum and freedom from discrimination. While that may be deducted rights include the right to freedom of peaceful assembly, right to freedom of association, right to freedom of expression or through oral and written expression, and the right to elect and be elected. The removal of voting rights of citizens can be justified by law.


(2)

Judul Skripsi :Hak Politik Warga Moro-Moro Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung

Nama Mahasiswa :EFRIAL RULIANDI SILALAHI

NPM : 0712011178

Bagian : Hukum Tata Negara

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Yulia Neta, S.H., M.H. Muhtadi, S.H., M.H.

NIP. 196407161987032002 NIP. 197701242008121002

2. Ketua Bagian Hukum Tata Negara

Yulia Neta, S.H., M.H. NIP. 196407161987032002


(3)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Yulia Neta, S.H., M.H. ………...

Sekretaris : Muhtadi, S.H., M.H. …………

Penguji Utama : Armen Yasir, S.H., M.Hum. ………….

2. Pj.Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 196211091987031003


(4)

Motto :

Apa guna banyak baca buku

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna punya ilmu tinggi

Kalau hanya untuk membodohi

(Widji Thukul)

Apa guna memiliki ribuan sarjana

Jika kelak nanti menjadi penindas pula bagi bangsanya.


(5)

Persembahan

Kupersembahkan karya ini untuk :

Bapak, Ibu dan Saudara laki-lakiku

&


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan Kecamatan Helvetia pada tanggal 28 April 1989, anak ke dua dari dua bersaudara dari pasangan J.Silalahi, S.Pd dan H.Damanik, S.Pd.

Penulis mengawali pendidikan di SD Katolik Mariana, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 19 Medan kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas di SMAN 15 Medan sampai tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis belajar, berjuang dan berorganisasi pada Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandar Lampung.