Pengembangan Wilayah untuk Pengantar docx

Draft-Tidak untuk Dikutip

Pengembangan Wilayah : Suatu Pengantar
Oleh Oswar Mungkasa
Bab I Pengertian Pengembangan Wilayah dan Perencanaan Wilayah
1.1

Wilayah

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (UU No. 26 Tahun
2007).
Sementara Rustiadi, et al. (2011) menjelaskan wilayah dapat didefinisikan
sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponenkomponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional.
Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali
bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik
alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk
kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar
manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu
batasan unit geografis tertentu.

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam
Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep
wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen
(uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah
perencanaan (planning region atau programming region).
Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2010)
berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah
menjadi: 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan
keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang
seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi,
sosial dan politik. 2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan
koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian
dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region
dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara
fungsional saling berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang
memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit
geografis yang antarbagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Oleh

1


karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah
pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas
hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi)
antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
Wilayah
Pengembangan
adalah
pewilayahan
untuk
tujuan
pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan
terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan
keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan.
Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi
berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa
bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu
direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.
Sementara Wilayah dalam pengertian geografis adalah merupakan
kesatuan alam yaitu alam yang serbasama/homogen/seragam dan kesatuan

manusia yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama, yang
mempunyai ciri (kekhususan) yang khas, yang dapat membedakan dengan
wilayah yang lainnya (Johara TY, 1992).
Wilayah geografis dapat mengandung wilayah geologi (geological region),
wilayah tubuh tanah (soil region), wilayah vegetasi (vegetation region), wilayah
bahasa (distinguistic region), wilayah ekonomi (economic region), wilayah sejarah
(historical region) dan sebagainya. Disamping wilayah formal/geografis, terdapat
istilah wilayah fungsional, yaitu bagian dari permukaan bumi, tempat dimana
beberapa keadaan alam yang berlawanan memungkinkan tumbuhnya
bermacam-macam kegiatan yang saling mengisi dalam kehidupan penduduk.
Pengertian wilayah yang mempunyai keseragaman alam dan manusia
memiliki beberapa batasan antara lain (Johara T Y, 1992):
 Sebuah daerah berdasar pada keseragaman karakter lahan (R.S Platt)
 Sebuah daerah yang berkembang berdasar karakter pola manusia yang telah
beradaptasi terhadap lingkungan (American Society of Planning official)
 Sebuah daerah geografis yang menyatu secara budaya, menyatu awalnya
berdasar kepentingan ekonomi, dan selanjutnya berdasar consensus
pemikiran, pendidikan, rekreasi dan lainnya, yang berbeda dengan daerah
lainnya (K Young).
 Sebuah daerah dengan karakteristik fisik homogen (WLG Joerg).

 Sebuah kesatuan lahan, air, udara, tumbuhan, binatang, dan manusia yang
saling terkait membentuk pola tertentu dan jelas dari permukaan bumi (AJ
Herberson).
Beberapa batasan untuk wilayah fungsional antara lain (Johara T Y, 1992):
 Sebuah daerah budaya yang terbentuk dari saling kebergantungan dan
secara fungsi dapat dibedakan dari daerah lainnya (Cart O Sover);
 sebuah wilayah organik yang didefinisikan sebagai daerah yang
penduduknya dihubungkan oleh saling bergantung oleh kepentingan yang
sama (AS. Po);

2

 wilayah fungsional terbentuk dari konstelasi komunitas (Dawson and Getty)
 sebuah daerah dengan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat dipadukan
dengan pusat administrasi (D. McKenzie);
Pengertian wilayah yang lain dapat berupa suatu kawasan yang
dipengaruhi oleh suatu proyek pembangunan. Wilayah dalam pengertian ini
wilayah tidak harus merupakan kesatuan alam dan manusia.
1.2
a.

b.
c.

d.

1.3

Kategori Wilayah
Dasar dari perwilayahan dapat dibedakan sebagai berikut :
Berdasar wilayah administrasi pemerintahan, seperti Kabupaten/Kota,
Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Dusun/Lingkungan.
Berdasarkan kesamaan kondisi, yang paling umum adalah kesamaan
kondisi fisik.
Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. Perlu ditetapkan terlebih
dahulu beberapa pusat pertumbuhan yang kira-kira sama besarnya,
kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan.
Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini, ditetapkan
batas-batas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program
atau proyek dimana wilayah tersebut termasuk dalam suatu perencanaan
untuk tujuan khusus.

Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah (Regional Development) adalah upaya Untuk
memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan wilayah dan
menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Secara luas, pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu upaya
merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi
dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek
wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju
tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri,
2004).
Pengembangan wilayah merupakan strategi memanfaatkan dan
mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal
(peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang
merupakan fungsi dari kebutuhan baik secara internal maupun eksternal
wilayah. Faktor internal ini berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan
sumber daya teknologi, sedangkan faktor eksternal dapat berupa peluang dan
ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya dengan wilayah lain.
Lebih jelas Zen dalam Alkadri (2001) menggambarkan tentang

pengembangan wilayah sebagai hubungan yang harmonis antara sumber daya
alam, manusia, dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung
lingkungan dalam memberdayakan masyarakat.

3

Pada umumnya pengembangan wilayah mengacu pada perubahan
produktivitas wilayah, yang diukur dengan peningkatan populasi penduduk,
kesempatan kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah industri pengolahan.
Selain definisi ekonomi, pengembangan wilayah mengacu pada pengembangan
sosial, berupa aktivitas kesehatan, pendidikan, kualitas lingkungan,
kesejahteraan dan lainnya. Pengembangan wilayah lebih menekankan pada
adanya perbaikan wilayah secara bertahap dari kondisi yang kurang berkembang
menjadi berkembang, dalam hal ini pengembangan wilayah tidak berkaitan
dengan eksploitasi wilayah.
Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih ditekankan pada
pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi pengembangan lokal wilayah
yang mampu mendukung (menghasilkan) pertumbuhan ekonomi, dan
kesejahteraan sosial masyarakat, termasuk pengentasan kemiskinan, serta upaya
mengatasi kendala pembangunan yang ada di daerah dalam rangka mencapai

tujuan pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam rencana
pembangunan nasional, pengembangan wilayah lebih ditekankan pada
penyusunan paket pengembangan wilayah terpadu dengan mengenali sektor
strategis (potensial) yang perlu dikembangkan di suatu wilayah (Friedmann &
Allonso, 2008).
Sedangkan pengembangan wilayah sangat dipengaruhi oleh komponenkomponen tertentu seperti (Friedman and Allonso, 2008):
 Sumber daya lokal. Merupakan kekuatan alam yang dimiliki wilayah
tersebut seperti lahan pertanian, hutan, bahan galian, tambang dan
sebagainya. Sumberdaya lokal harus dikembangkan untuk dapat
meningkatkan daya saing wilayah tersebut.
 Pasar. Merupakan tempat memasarkan produk yang dihasilkan suatu
wilayah sehingga wilayah dapat berkembang.
 Tenaga kerja. Tenaga kerja berperan dalam pengembangan wilayah
sebagai pengolah sumber daya yang ada.
 Investasi. Semua kegiatan dalam pengembangan wilayah tidak terlepas
dari adanya investasi modal. Investasi akan masuk ke dalam suatu wilayah
yang memiliki kondisi kondusif bagi penanaman modal.
 Kemampuan pemerintah. Pemerintah merupakan elemen pengarah
pengembangan wilayah. Pemerintah yang berkapasitas akan dapat
mewujudkan pengembangan wilayah yang efisien karena sifatnya sebagai

katalisator pembangunan.
 Transportasi dan Komunikasi. Transportasi dan komunikasi berperan
sebagai media pendukung yang menghubungkan wilayah satu dengan
wilayah lainnya. Interaksi antara wilayah seperti aliran barang, jasa dan
informasi akan sangat berpengaruh bagi tumbuh kembangnya suatu
wilayah.
 Teknologi. Kemampuan teknologi berpengaruh terhadap pemanfaatan

4

sumber daya wilayah melalui peningkatan output produksi dan
keefektifan kinerja sektor-sektor perekonomian wilayah.
Pengembangan wilayah adalah upaya pembangunan dalam suatu wilayah
administratif atau kawasan tertentu agar tercapai kesejahteraaan (people
property) melalui pemanfaatan peluang-peluang dan pemanfaatan sumber daya
secara optimal, efisien, sinergi dan berkelanjutan dengan cara menggerakkan
kegiatan-kegiatan ekonomi, penciptaan iklim kondusif, perlindungan lingkungan
dan penyediaan prasarana dan sarana. Pada dasarnya komponen utama untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah adalah kemajuan
ekonomi wilayah bersangkutan.

1.4

Perencanaan Wilayah
Perencanaan wilayah adalah penetapan langkah yang digunakan untuk
wilayah tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Langkah tersebut
antara lain menetapkan tujuan, memperkirakan kondisi masa depan,
memperkirakan kemungkinan masalah yang akan terjadi, menetapkan lokasi
kegiatan (UU No. 26 Tahun 2007).
Menurut Chaprin, perencanaan wilayah (regional planning) adalah upaya
intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks
pengembangan wilayah memiliki tiga tujuan pokok yakni meminimalkan konflik
kepentingan antar sektor, meningkatkan kemajuan sektoral dan membawa
kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan
yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan
yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan
lingkungannya dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau
mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi
yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi
dan Bratakusumah, 2003).

Perencanaan wilayah adalah perencanaan daerah geografis yang melewati
batas administrasi pemerintahan tetapi berbagi kesamaan karakteristik sosial,
ekonomi, politik, budaya dan sumberdaya alam dan transportasi
Bab 2 Tujuan Pembangunan Wilayah
Tujuan pengembangan wilayah mengandung 2 (dua) sisi yang saling
berkaitan yaitu sisi sosial dan ekonomis. Dengan kata lain pengembangan
wilayah adalah merupakan upaya memberikan kesejahteraan dan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi,
memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya
(Triutomo, 2001).
Tujuan pembangunan wilayah dapat dirangkum sebagai berikut.

5









Memanfaatkan sumberdaya secara optimal sehingga dapat mewujudkan
potensi pembangunan wilayah dalam suatu jangka waktu tertentu dengan
dampak minimum dalam mencapai kesetaraan ekonomi
Menjamin perencanaan dan distribusi penduduk dan sumberdaya
ekonomi yang setara dari sebuah daerah.
Mengatur lahan yang tersedia dalam pola ruang yang paling
menguntungkan dan produksif bagi wilayah dan negeri dalam skala luas.
Aloksi sumberdayatertentu untuk menghasilkan kegiatan ekonomi di
wilayah terbelakang untuk menstabilkan ekonominya melalui
perencanaan sejumlah kota menengah yang memadai dan untuk
menyediakan layanan, pekerjaan, dan fasilitas sosial dan budaya.
Menghindarkan ekspansi perkotaan yang tidak sehat.

Bab 3 Teori Pengembangan dan Pertumbuhan Wilayah 1
3.1

Teori Pengembangan Wilayah

Salah satu teori pembangunan wilayah adalah pertumbuhan tak
berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan Myrdal.
Pengembangan wilayah merupakan proses perumusan dan pengimplementasian
tujuan-tujuan pembangunan dalam skala supra urban. Pembangunan wilayah
pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam secara
optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, yaitu berdasarkan kepada
kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah.
Teori pertumbuhan tak berimbang memandang bahwa suatu wilayah
tidak dapat berkembang bila ada keseimbangan, sehingga harus terjadi
ketidakseimbangan. Penanaman investasi tidak mungkin dilakukan pada setiap
sektor di suatu wilayah secara merata, tetapi harus dilakukan pada sektor-sektor
unggulan yang diharapkan dapat menarik kemajuan sektor lainnya. Sektor yang
diunggulkan tersebut dinamakan sebagai leading sektor.
Sesungguhnya teori pembangunan terkait erat dengan strategi
pembangunan, yakni perubahan struktur ekonomi dan pranata sosial yang
diupayakan untuk menemukan solusi yang konsisten dan langgeng bagi
persoalan yang dihadapi. Terdapat berbagai pendekatan menyangkut tema-tema
kajian tentang pembangunan. Satu diantaranya adalah mengenai isu
pembangunan wilayah. Secara luas, pembangunan wilayah diartikan sebagai
suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam
kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya
mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan
lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan
(Nugroho dan Dahuri, 2004).
1 Sumber tulisan diadopsi dari beberapa bagian tesis/disertasi Universitas Gajah Mada dan
Universitas Sumatera Utara tanpa nama dan tahun.

6

Hoover dan Giarratani (dalam Nugroho dan Dahuri, 2004), menyimpulkan
tiga pilar penting dalam proses pembangunan wilayah, yaitu:
 Keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor). Pilar ini
berhubungan dengan keadaan dtemukannya sumber-sumber daya
tertentu yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk
digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lokal
(bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat
mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki
komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa berhubungan
dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian,
perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor primer
lainnya.
 Aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar aglomerasi merupakan fenomena
eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi berupa
meningkatnya keuntungan ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena
berkurangnya biaya- biaya produksi akibat penurunan jarak dalam
pengangkutan bahan baku dan distribusi produk.
 Biaya transpor (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah
yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian.
Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak
dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek keputusan lokasional,
terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme aglomerasi. Istilah
pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah sesungguhnya tidak
bermakna sama. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah merupakan
suatu proses kontiniu hasil dari berbagai pengambilan keputusan di
dalam ataupun yang mempengaruhi suatu wilayah.
Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya perubahan
struktural. Wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori sektor
(sektor theory) dan teori tahapan perkembangan (development stages theory).
Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa
berkembangnya wilayah, atau perekonomian nasional, dihubungan dengan
transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni sektor primer
(pertanian, kehutanan dan perikanan), serta sektor tertier (perdagangan,
transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ini ditandai oleh penggunaan
sumber daya dan manfaatnya, yang menurun di sektor primer, meningkat di
sektor tertier, dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor
sekunder.
Sedangkan teori tahapan perkembangan dikemukakan oleh para pakar
seperti Rostow, Fisher, Hoover, Thompson dan lain-lain. Teori ini dianggap lebih
mengadopsi unsur spasial dan sekaligus menjembatani kelemahanan teori
sektor. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah dapat digambarkan melalui
7

lima tahapan.
 Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan
wilayah sangat bergantung pada produk yang dihasilkan oleh industri
tersebut, antara lain minyak, hasil perkebunan dan pertanian, dan
produk-produk primer lainnya. Industri demikian dimiliki oleh banyak
negara dalam awal pertumbuhannya.
 Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah
telah mampu mengekpsor selain komoditas dominan juga komoditas
kaitannya. Misalnya, komoditas dominan yang diekspor sebelumnya
adalah minyak bumi mentah, maka dalam tahapan kedua wilayah juga
mengekspor industri (metode) teknologi penambangan (kaitan ke
belakang) dan produk-produk turunan dari minyak bumi (kaitan ke
depan) misalnya premium, solar dan bahan baku plastik.
 Tahapan kematangan ekonomi. Tahapan ketiga ini menunjukkan bahwa
aktivitas ekonomi wilayah telah terdiversifikasi dengan munculnya
industri substitusi impor, yakni industri yang memproduksi barang dan
jasa yang sebelumnya harus diimpor dari luar wilayah. Tahapan ketiga ini
juga memberikan tanda kemandirian wilayah dibandingkan wilayah
lainnya.
 Tahapan pembentukan metropolis (regional metropolis). Tahapan ini
memperlihatkan bahwa wilayah telah menjadi pusat kegiatan ekonomi
untuk mempengaruhi dan melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah
pinggiran. Dalam tahapan ini pengertian wilayah fungsional dapat
diartikan bahwa aktivitas ekonomi wilayah lokal berfungsi sebagai
pengikat dan pengendali kota-kota lain. Selain itu, volume aktivitas
ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan kenaikan impor yang
sangat signifikan.
 Tahapan kemajuan teknis dan profesional (technical professional
virtuosity). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah
memberikan peran yang sangat nyata terhadap perekonomian nasional.
Dalam wilayah berkembang produk dan proses-proses produksi yang
relatif canggih, baru, efisien dan terspesialisasi. Aktivitas ekonomi telah
mengandalkan inovasi, modifikasi, dan imitasi yang mengarah kepada
pemenuhan kepuasan individual dibanding kepentingan masyarakat.
Sistem ekonomi wilayah menjadi kompleks (economic reciproating
system), mengaitkan satu aktivitas dengan aktivitas ekonomi lainnya
(Nugroho dan Dahuri, 2004).
Dalam kerangka pembangunan nasional, perencanaan pengembangan
wilayah dimaksudkan untuk memperkecil perbedaan pertumbuhan
kemakmuran antarwilayah atau antardaerah. Di samping itu, diusahakan untuk
memperkecil perbedaan kemakmuran antara perkotaan dan pedesaan
(Jayadinata, 1999).
Sederhananya, Hakekat pembangunan nasional termasuk pengembangan
8

wilayah adalah bagaimana memacu pertumbuhan wilayah, dan menyebarkannya
(growth with equity) secara lebih merata sehingga dapat mensejahterakan
masyarakatnya.
3.2

Teori Pertumbuhan Wilayah

3.2.1 Teori Lokasi Terpusat (Central Place Theory)
Teori ini adalah teori keruangan dalam geografi perkotaan yang berusaha
menjelaskan alas an dibalik pola distribusi, ukuran, dan jumlah kota di seluruh
dunia. Selain itu, menyediakan kerangka kerja studi suatu lokasi baik berdasar
pertimbangan sejarah maupun pola.
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Walter Christaller pada tahun
1930, seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman, berdasar pada studi empiris
di daerah sebelah Selatan Jerman.
Teori ini dirancang untuk menjelaskan ukuran kota yang terspesialisasi
dalam perdagangan barag dan jasa. Menurut teori ini, lokasi pusat adalah pusat
perdagangan bagi pertukaran barang dan jasa oleh masyarakat yang berasal dari
daerah sekitar. Sebagai konsekuensi namanya, lokasi terpusat, berarti tempatnya
di tengah-tengah untuk memaksimalkan aksesibilitas penduduk sekitar wilayah.
Lokasi terusat berkompetisi dengan lokasi lain sebagai pasar untuk
melayani kebutuhan barang dan jasa. Kompetisi ini menghasilkan pola tertentu
permukiman.
Teori didasarkan pada asumsi Christaller bahwa (i) tidak hambatan
pergerakan penduduk; (ii) distribusi penduduk merata; (iii) daya beli yang sama.
Sebagai asumsi tambahan bahwa manusia akan selalu membeli barang dari
tempat terdekat, dan jika permintaan barang tinggi maka akan tersedia sesuai
dengan permintaan tersebut.
Teori ini terdiri dari 2 (dua) konsep dasar yaitu (i) Batas ambang
(threshold), terdapat jumlah minimum permintaan yang akan menarik minat
perusahaan atau kota untuk menawarkan barangnya dan bertahan dalam bisnis
tersebut; (ii) jangkauan (range), jarak rata-rata maksimum penduduk akan
melakukan perjalanan untuk membeli barang dan jasa. Normalnya, threshold
berada dalam jangkauan.
Jumlah penduduk minimum yang dibutuhkan agar menguntungkan bisnis
adalah batas ambang minimum jumlah penduduk. Faktor yang berpengaruh
terhadap batas ambang penduduk adalah berkurangnya jumlah penduduk,
perubahan selera, tersedianya barang subtitusi.

9

Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis
pusat-pusat kota atau wilayah-wilayah nodal, tetapi tidak menjelaskan
bagaimana pola geografis tersebut terjadi secara gradual dan bagaimana pola
tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dapat
dikatakan tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Dengan
demikian teori ini dapat dikatakan bersifat statis. Agar teori tempat sentral
mampu menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori
pertumbuhan wilayah. Salah satu diantaranya adalah teori Perroux (kutub
pertumbuhan) yang membahas perubahan-perubahan struktural pada tata
ruang geografis. Atau dapat dikatakan teori tempat sentral merupakan dasar dari
teori kutub pertumbuhan.
Teori tempat sentral tidak memberikan pejelasan secara lengkap
mengenai pertumbuhan kota karena teori tersebut diformulasikan berdasarkan
pembangunan daerah pertanian yang tersusun secara herarkis dan berpenduduk
merata. Dengan tumbuhnya kota-kota maka muncullah jasa-jasa yang tidak
berkenaan dengan pasar wilayah belakang. Sebagai contoh kehidupan kota
metropolitan dapat mencipakan kebutuhan-kebutuhan sendiri (internal),
misalnya peningkatan penyediaan fasilitas penyediaan air minum, listrik,
angkutan umum, demikian pula kebutuhan fasilitas parkir. Persoalan-persoalan
yang dihadapai dalam pertumbuhan kota ternyata tidak sesederhana seperti
persoalan pemasaran barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan oleh tempat
sentral.
Analisis tempat sentral menekankan pada peranan sektor perdagangan
dan kegiatan-kegiatan jasa daripada kegiatan-kegiatan manufaktur. Kegiatan
manufaktur dianggap sebagai kegiatan produktif non tempat sentral. Hal ini
tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak kota-kota besar dan kota-kota lainnya
sering kali mengalami perluasan dalam hal lokasi manufaktur karena kota-kota
yang bersangkutan merupakan pasar tenaga kerja yang luas dan pada umumnya
memberikan keuntungan-keuntungan aglomerasi, dimana perusahaanperusahaan manufaktur lebih banyak melayani pasar nasional daripada pasar-

10

pasar regional. Model tempat sentral ternyata tidak berhasil menjelaskan
timbulnya kecendrungan yang kuat dalam masyarakat mengenai
pengelompokkan perusahaan-perusahaan karena pertimbangan keuntungankeuntungan aglomerasi dan ketergantungan.
3.2.2 Pusat Pertumbuhan
Teori Pusat Pertumbuhan (growth poles) adalah salah satu teori yang
dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi
secara sekaligus (Alonso dalam Sirojuzilam dan Mahalli, 2010). Dengan demikian
teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan
pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan
pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga
dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan
wilayah dan perkotaan tepadu.
Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada
tahun 1949 oleh Francois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan
sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”.
Menurut Rondinelli dan Unwin dalam Mercado (2002) bahwa teori pusat
pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara
berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota.
Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa
kekuatan pasar bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak
penetesan ke bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran)
pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke pedesaan. Menurut Stohr dalam
Mercado (2002), konsep pusat pertumbuhan mengacu pada pandangan ekonomi
neo-klasik. Pembangunan dapat dimulai hanya dalam beberapa sektor yang
dinamis, mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah
tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak
ganda (multiple effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Sehingga
pembangunan sinonim dengan urbanisasi (pembangunan di wilayah perkotaan)
dan industrialisasi (hanya pada sektor industri). Pandangan ekonomi neo-klasik
berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (keseimbangan)
dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down
dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan
dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih
rendah seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme
yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar.
Namun demikian kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down
effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran)
tidak terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai
hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Selain itu respon
pertumbuhan di pusat tidak cukup menjangkau wilayah hinterland karena hanya

11

untuk melengkapi kepentingan hirarki kota (Mercado, 2002).
3.2.3 Teori Sektor
Teori ini berkaitan erat dengan perubahan relatif pentingnya sektorsektor ekonomi di mana laju perubahannya dijadikan indikator kemajuan
ekonomi suatu wilayah. Adapun dasar bagi terjadinya perubahan, dapat dilihat
pada sisi permintaan dan penawaran. Pada sisi permintaan, elastisitas
pendapatan dan permintaan bagi barang dan jasa yang ditawarkan oleh industri
dan aktivitas jasa adalah lebih tinggi daripada bagi proyek pertanian, sehingga
adanya peningkatan pendapatan akan diikuti oleh pengalihan relatif sumbersumber dari sektor-sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Pada sisi
penawaran, pengalihan tenaga kerja dan modal terjadi akibat adanya perbedaan
tingkat pertumbuhan produktivitas dalam sektor-sektor ekonomi tersebut.
Jadi teori sektor menekankan pada adanya perubahan internal daripada
adanya hubungan atau perubahan eksternal seperti teori basis ekspor. Namun
sebagai suatu teori yang menjelaskan pertumbuhan, ia tidak memadai oleh
karena tidak menawarkan pemahaman tentang penyebab dari pertambahan itu.
3.2.4 Teori Basis SumberDaya (Resources Endowment atau Resource Base)
Teori ini dikemukakan oleh Harver Perloff dan Lowdon Wingo, Jr. (1961)
dalam tulisannya Natural Resources Endowment and Regional Economic Growth
mengemukakan perkembangan wilayah di Amerika yang berlangsung 3 tahap,
yaitu (1) tahap perkembangan pertanian ( - 1840), daerah berkembang adalah
wilayah pertanian dan pelabuhan (pusat); (2) tahap perkembangan
pertambangan (1840- 1950), besi dan batubara, memiliki forward linkages yang
lebih luas dari sektor pertanian; (3) tahap perkembangan amenity resources atau
layanan.
Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya
dan kemampuannya untuk memproduksinya, untuk keperluan ekonomi nasional
dan ekspor. Dengan kata lain wilayah memiliki comparative advantages terhadap
wilayah lain (spesialisasi). Kegiatan ekspor akan memperluas permintaan dan
efek multiplier yang berpengaruh pada dinamika wilayah.
Sumberdaya yang baik adalah (i) mendukung produksi nasional, (ii)
memiliki efek backward and forward linkages yang luas, (iii) efek multiplier, yaitu
kemampuan meningkatkan permintaan produksi barang dan jasa wilayah.
Permintaan merupakan fungsi dari jumlah penduduk, pendapatan, struktur
produksi, pola perdagangan, dan lainnya.
3.2.5 Teori Basis Ekspor (Export Base atau Economic Base)
Teori ini merupakan perluasan dari teori reources endowment. Teori basis
ekonomi adalah salah satu teori atau pendekatan yang bertujuan untuk
menjelaskan perkembangan dan pertumbuhan wilayah. Teori basis ekspor
merupakan bentuk model pendapatan wilayah yang paling sederhana.
Pentingnya teori ini terletak pada kenyataan bahwa ia memberikan kerangka
12

teoritik bagi banyak studi multiplier (pengganda) wilayah secara empiris. Asumsi
pokok dari teori ini adalah bahwa ekspor merupakan satu-satunya unsur otonom
dalam pengeluaran, dan komponen pengeluaran lainnya dianggap sebagai fungsi
dari pendapatan (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010)
Teori basis ekspor murni dikembangkan pertama kali oleh Tiebout. Teori
ini membagi kegiatan produksi/jenis pekerjaan yang terdapat di dalam satu
wilayah atas sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan
yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal
perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis
pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan non basis adalah kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri. Oleh karena itu,
pertumbuhannya tergantung kepada kondisi umum perekonomian wilayah
tersebut. Artinya, sektor ini bersifat endogenous (tidak bebas tumbuh).
Pertumbuhannya tergantung kepada kondisi perekonomian wilayah secara
keseluruhan (Tarigan, 2006).
Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer
mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah
ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhanan wilayah tersebut, dan
demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan
menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional
(Adisasmita, 2005).
Sektor basis adalah sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian
daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang
cukup tinggi. Sedangkan sektor non basis adalah sektor-sektor lainnya yang
kurang potensial tetapi berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau service
industries (Sjafrizal, 2008).
Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan
ekspor dari wilayah tersebut. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan
sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan
menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (Arsyad, 1999).
Asumsi ini memberikan pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor
unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor
yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor. Untuk
menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim
digunakan adalah kuosien lokasi (Location Quotient, LQ). Location Quotient
digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor-sektor
basis atau unggulan (leading sektors). Dalam teknik LQ berbagai peubah (faktor)
dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah, misalnya kesempatan
kerja (tenaga kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah.
Teori ini mengatakan bahwa sektor ekspor berperan penting dalam
pertumbuhan wilayah, karena sektor ekspor dapat memberikan kontribusi yang
penting, tidak hanya kepada ekonomi wilayah tapi juga ekonomi nasional. Kalau
13

teori sebelumnya lebih berorientasi pada inward looking (strategi ke dalam),
maka teori berbasis ekspor mengandalkan pada kekuatan permintaan eksternal
(outward looking). Wilayah dengan tingkat permintaan yang tinggi akan menarik
investasi (modal) dan tenaga kerja.
Kegiatan ekspor akan mempengaruhi keterkaitan ekonomi ke belakang
(kegiatan produksi) dan kedepan pada sektor pelayanan (service). Dengan kata
lain, kegiatan ekspor secara langsung meningkatkan pendapatan faktor-faktor
produksi dan pendapatan wilayah. Syarat utama bagi pengembangan teori ini
adalah sistem wilayah terbuka, ada aliran barang, modal, teknologi antar wilyah,
dan antara wilayah dengan negara lain.
3.2.6 Pengembangan Agropolitan
Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1974 oleh Mc.Douglass dan Friedmann sebagai strategi baru
pengembangan pedesaan. Meskipun banyak makna yang terkandung di
dalamnya, namun pada dasarnya pengembangan agropolitan adalah memberikan
pelayanan di kawasan pedesaan atau istilah yang disebut Friedman “kota di
ladang”. Dengan kata lain, masyarakat desa atau petani tidak perlu lagi pergi ke
kota untuk mendapatkan pelayanan, baik pelayanan yang berhubungan dengan
masalah produksi dan pemasaran, maupun masalah yang berhubungan dengan
kebutuhan sosial budaya dan kehidupan sehari-hari (Syahrani, 2001).
Konsep ini pada dasarnya merupakan rancangan pembangunan dari
bawah (development from below) sebagai reaksi dari pembangunan top down
(development from above). Agropolitan merupakan distrik atau region selektif
yang dirancang agar pembangunan digali dari jaringan kekuatan lokal ke dalam
yang kuat baru terbuka keluar (Sugiono, 2002).
Agropolitan terdiri dari dua kata; yaitu ‘agro’ yang berarti pertanian. Dan
‘politan’ yang bermakna kota. Jadi, hakikat atau pengertian agropolitan adalah
kota yang berbasiskan atau bersumber dari pertanian. Dengan demikian
agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena
berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong,
menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah
sekitarnya. Sistem agribisnis merupakan pembangunan pertanian yang
dilakukan secara terpadu oleh petani dan pengusaha, baik usaha budidaya dan
pembangunan agribisnis hulu, agribisnis hilir serta jasa-jasa pendukungnya
(Pindonga, 2003).
3.2.6 Teori Pertumbuhan Neoklasik.
Teori ini dikembangkan dan banyak dianut oleh ekonom regional dengan
mengembangkan asumsi Neoklasik. Tokohnya adalah Harry W. Richradson
(1973) dalam bukunya Regional Economic Growth. Teori ini mengatakan bahwa
pertumbuhan wilayah tergantung tiga faktor yaitu tenaga kerja, ketersediaan
modal (investasi), dan kemajuan teknologi (eksogen, terlepas dari faktor

14

investasi dan tenaga kerja). Semakin besar kemampuan wilayah dalam
penyediaan 3 faktor tersebut, semakin cepat pertumbuhan wilayah.
Selain tiga faktor di atas, teori ini menekankan pentingnya perpindahan
(mobilitas) faktor produksi, terutama tenaga kerja dan modal (investasi)
antarwilayah, dan antarnegara. Pola pergerakan ini memungkinkan terciptanya
keseimbangan pertumbuhan antarwilayah
Sebagai antitesis dari teori Neoklasik yang percaya adanya keseimbangan
wilayah, muncul teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah, yang intinya
“tidak percaya pada mekanisme pasar, karena akan semakin memperburuk
ketimpangan wilayah”. Myrdall adalah tokohnya, melalui Teori Penyebab
Kumulatif atau Cummulative Caution Theory yang mengungkapkan 2 kekuatan
yang bekerja pada proses pertumbuhan wilayah, yaitu efek sebar (spread effect)
yang bersifat positip, dan efek balik yang negatip (backwash effect). Efek kedua
lebih besar dibanding yang pertama.
Pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh peningkatan produktivitas
(merupakan output dari 3 faktor Neoklasik). Kuncinya adalah produktivitas,
selanjutnya berpengaruh terhadap ekspor wilayah. Semakin tinggi produktivitas
semakin berkembang, sehingga wilayah lain akan sulit bersaing. Pentingnya
produktivitas ini juga digunakan untuk menjelaskan siklus kemiskinan, yang
berawal dari (1) produktivitas rendah, ke (2) kemiskinan, (3) pendapatan
rendah, (4) tabungan, (5) kekurangan modal (investasi), kembali ke no (1), dan
seterusnya.
3.2.7 Teori Baru Pertumbuhan Wilayah
Teori ini percaya pada kekuatan teknologi (sebagai faktor endogen) dan
inovasi sebagai faktor dominan pertumbuhan wilayah (untuk meningkatkan
produktivitas). Kuncinya adalah investasi dalam pengembangan sumberdaya
manusia dan penelitian dan pengembangan (research and development).
Teknologi tinggi dan inovasi yang didukung oleh sumberdaya manusia yang
berkualitas dan riset dan pengembangan adalah syarat meningkatkan
pertumbuhan wilayah. Pengalaman di negara lain (maju) menunjukkan bahwa
semakin tinggi faktor di atas, maka perkembangan wilayah semakin cepat.
Termasuk dalam lingkup teori ini adalah dimasukkannya variabel-variabel
non ekonomi dalam Model Ekonomi Makro (baca Sadono Sukirno, 1989), dimana
dijelaskan bahwa:
Output Regional = f ( K, L, Q, Tr, T, So),
dengan
K = Kapital/Modal/Investasi,
L = Tenaga Kerja, Q = Tanah (sumberdaya),
Tr = transportasi, T = Teknologi, So = Sosial Politik.
Dari berbagai bacaan tampaknya faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu
faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi meliputi (1) sumberdaya
15

alam, (2) akumulasi modal atau investasi, (3) kemajuan teknologi. Faktor non
ekonomi meliputi (1) faktor sosial, seperti pendidikan dan budaya, (2) faktor
manusia (tenaga kerja), (3) faktor politik dan administrasi.
3.2.9 Teori Pertumbuhan Wilayah Perspektif Geografi
Pertumbuhan wilayah dipengaruhi oleh faktor internal wilayah
(sumberdaya) dan faktor eksternal, khususnya hubungan wilayah tersebut
dengan wilayah-wilayah lain.
Unsur Internal (Intraregional) in situ, terdiri dari unsur sumberdaya
(alam, manusia, buatan), sejarah, lokasi (letak) site and situation, agen
perubahan, pengambilan keputusan.Sementara unsur Exsternal (Interregional)
ex situ, terdiri dari interrelasi dengan wilayah lain (interaksi, interdependensi),
posisi wilayah tersebut terhadap wilayah lain.
Bab 4 Konsep Perencanaan Wilayah
Secara umum, dikenal beragam konsep perencanaan wilayah,
diantaranya:
a. Perencanaan dengan pendekatan sistem
Pendekatan sistem lebih menentukan perbedaan pandangan perencanaan
dari sisi keahlian teknis. Misalnya : dalam menganalisis sistem perkotaan,
dalam menduga perubahan-perubahan masa akan datang dan dalam
menstimulasikan alternatif untuk masa depan.
Sistem ini dicirikan oleh pandangan yang dianut oleh perencana sebagai
suatu sistem atau sub sistem dari aktivitas manusia,termasuk manifasi fisik
dan hubungan sesamanya. Dengan demikian, sistem yang selalu ditekankan
oleh perencana terdiri dari :
 Aktivitas manusia yang dihubungkan oleh pergerakan/perpindahan
individu manusia, barang, energy, dan informasi
 Ruang beradaptasi dari bangunan, rumah, ruang terbuka, lahan
pertanian, hutan, dan lain-lain
 Jalan Komunikasi berupa jalanraya, jalan Kereta api, jaringan pipa, kawat
dan kabel
b. Perencanaan Secara Advokasi
Perencanaan dengan pendekatan advokasi ini, lebih diarahkan pada
pertimbangan akibat dari pelaksanaan aksi tertentu, dan pertimbangan
kemungkinan hasil yang akan dicapai. Pendekatan seperti ini biasanya
digunakan apabila tidak cukupnya alat/metode/personal untuk
mengaplikasikan pendekatan lain seperti pendekatan ”Struktur” dan
”Sistem”.
Dikaitkan dengan wilayah formal dan fungsional, dikenal dua pendekatan
dalam perencanaan wilayah:
 Pendekatan teritorial. Pendekatan perencanaan ini dikenal sebagai

16

pendekatan bottom up, karena tujuannya adalah meningkatkan
perkembangan wilayah dengan mempertimbangkan aspirasi penduduk;
 Pendekatan fungsional yang memperhitungkan lokasi dengan berbagai
kegiatan ekonomi dan pengaturan secara ruang dari sistem perkotaan
mengenai berbagai pusat dan jaringan. Hal tersebut banyak berhubungan
dengan berbagai model seperti grafitasi, analisis output-input dan
sebagainya. Kelompok sosial yang membentuk pendekatan ini khas
fungsional-terikat oleh kepentingan kelompok, seperti klas sosial,
perserikatan dagang dsb. Dalam perencanaan wilayah, pendekatan ini dikenal
sebagai pendekatan top-down.
Sementara dari sisi teori perencanaan terdapat beberapa tipologi
perencanaan wilayah, antara lain (Etzioni, 1967):
 Pendekatan komprehensif (rational planning model).
Merupakan suatu kerangka pendekatan logis dan teratur, mulai dari diagnotis
sampai kepada tindakan berdasarkan kepada analisis fakta yang relevan,
diagnosis masalah yang dikaji melalui kerangka teori dan nilai-nilai,
perumusan tujuan dan sasaran untuk memecahkan masalah, merancang
alternatif cara-cara untuk mencapai tujuan, dan pengkajian efektivitas caracara tersebut. Pendekatan ini memerlukan survei yang komprehensif pada
semua alternatif yang ada untuk mendapatkan informasi yang lengkap dalam
pengambilan keputusan yang rasional.
 Pendekatan inkremental (incremental planning model).
Memilih diantara rentang alternatif yang terbatas yang berbeda sedikit dari
kebijaksanaan yang ada. Pengambilan keputusan dalam pendekatan ini
dibatasi pada kapasitas yang dimiliki oleh pengambil keputusan serta
mengurangi lingkup dan biaya dalam pengumpulan informasi. Pengambil
keputusan hanya berfokus terhadap kebijaksanaan yang memiliki perbedaan
yang inkremental dari kebijaksanaan yang telah ada.
 Pendekatan mixed-scanning (strategic planning model).
Kombinasi dari elemen rasionalistik yang menekankan pada tugas analitik
penelitian dan pengumpulan data dengan elemen inkremental yang
menitikberatkan pada tugas interaksional untuk mencapai konsensus. Proses
yang tercakup dalam mixed scanning ini adalah strength, weakness,
opportunity dan threat (SWOT) yang hasilnya adalah berupa strategic
planning yaitu proses untuk menentukan komponen-komponen yang
dianggap prioritas atau utama dan yang tidak. Kemajuan yang diharapkan
dalam proses ini adalah terjadinya efek bergulir (snowballing) dari komponen
yang diprioritaskan tersebut.
Pandangan lain seperti Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori
perencanaan wilayah dapat dibagi atas empat komponen yaitu :
 Physical Planning (Perencanaan fisik). Perencanan yang perlu dilakukan
untuk merencanakan secara fisik pengembangan wilayah. Muatan
perencanaan ini lebih diarahkan kepada pengaturan tentang bentuk fisik
17

kota dengan jaringan infrastruktur kota menghubungkan antara beberapa
titik simpul aktivitas. Teori perencanaan ini telah membahas tentang kota
dan sub bagian kota secara komprehensif. Dalam perkembangannya teori
ini telah memasukkan kajian tentang aspek lingkungan. Bentuk produk
dari perencanaan ini adalah perencanaan wilayah yang telah dilakukan
oleh pemerintah Kota Medan dalam bentuk master plan (tata ruang, lokasi
tempat tinggal, aglomerasi, dan penggunaan lahan).
 Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro). Dalam
perencanaan ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat
ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori
ekonomi makro yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi,
pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga kerja,
produktivitas, perdagangan, konsumsi dan investasi. Perencanaan
ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan ekonomi
wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk produk
dari perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas lembaga
keuangan, kesempatan kerja, tabungan).
 Social Planning (Perencanaan Sosial). Perencanaan sosial membahas
tentang pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal
dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal. Perencanaan
sosial diarahkan untuk membuat perencanaan yang menjadi dasar
program pembangunan sosial di daerah. Bentuk produk dari perencanaan
ini adalah kebijakan demografis.
 Development Planning (Perencanaan Pembangunan). Perencanaan ini
berkaitan dengan perencanaan program pembangunan secara
komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah.
Fianstein dan Norman (1991) menyatakan tipologi perencanaan dapat
dibagi dalam 4 (empat) kategori yang didasarkan pada pemikiran teoritis,
sebagai berikut:
 Traditional planning (perencanaan tradisional). Pada jenis perencanaan
ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk merubah sebuah
sistem kota yang telah rusak. Biasanya pada konsep perencanaan ini
membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan perbaikan pada sistem
kota. Pada perencanaan tradisional memiliki program inovatif terhadap
perbaikan lingkungan perkotaan dengan menggunakan standar dan
metode yang professional.
 User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna).
Konsep perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan
untuk mengakomodasi pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam
hal ini masyarakat Kota. Masyarakat yang menentukan produk
perencanaan harus dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.

Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi). Pada perencanaan ini
berisikan program pembelaan terhadap masyarakat yang termarjinalkan

18

dalam proses pembangunan kota dalam hal ini adalah masyarakat miskin
kota. Pada perencanaan advokasi akan memberikan perhatian khusus
terhadap melalui program khusus guna meningkatkan taraf hidup
masyarakat miskin.
 Incremental Planning (Perencanaan dukungan). Pada perencanaan yang
bersifat dukungan terhadap sebuah proses pengambilan keputusan
terhadap permasalahan- permasalahan perkotaan. Produk perencanaan
ini bersifat analisis yang mendalam terhadap permasalahan dengan
mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif sebuah
kebijakan.
Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe
perencanaan terdiri dari; physical planning and economic planning, allocative and
innovative planning, multi or single objective planning dan indicative or
imperative planning. Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga
dikenal jenis top- down and bottom-up planning, vertical and horizontal planning,
dan perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung dan yang tidak
melibatkan masyarakat sama sekali.
 Perencanaan Fisik Versus Perencanan Ekonomi. Pada dasarnya pembedaan ini
didasarkan atas isi atau master dari perencanaan. Namun demikian, orang
awam terkadang tidak bisa melihat perbedaan antara perencanaan fisik
dengan perencanaan ekonomi. Perencanaan fisik (physical planning) adalah
perencanaan untuk mengubah atau memanfaatkan struktur fisik suatu
wilayah misalnya perencanaan tata ruang atau tata guna, perencanaan jalur
transportasi/komunikasi, penyediaan fasilitas untuk umum, dan lain-lain.
Perencanaan ekonomi (economic planning) berkenaan dengan perubahan
struktur ekonomi suatu wilayah dan langkah-langkah untuk memperbaiki
tingkat kemakmuran suatu wilayah. Perencanaan ekonomi didasarkan atas
mekanisme pasar daripada perencanaan fisik yang lebih didasarkan atas
kelayakan teknis. Perlu dicatat bahwa apabila perencanaan itu bersifat
terpadu, perencanaan fisik berfungsi untuk mewujudkan berbagai sasaran
yang ditetapkan di dalam perencanaan ekonomi. Akan tetapi, ada juga
keadaan di mana hasil perencanan fisik harus dipertimbangkan perencanaan
ekonomi, misalnya dalam hal tata ruang.
 Perencanaan Alokatif Versus Perencanaan Inovatif. Pembedaan ini didasarkan
atas perbedaan visi dari perencanaan tersebut, yaitu antara perencanaan
model alokatif dan perencanaan yang bersifat inovatif. Perencanaan alokatif
(alocative planning) berkenaan dengan menyukseskan rencana umum yang
telah disusun pada level yang lebih tinggi atau telah menjadi kesepakatan
bersama. Jadi, inti kegiatannya berupa koordinasi dan sinkronisasi agar
sistem kerja untuk mencapai tujuan itu dapat berjalan secara efektif dan
efesien sepanjang waktu. Karena sifatnya, model perencanaan ini kadangkadang disebut regulatory planning (mengatur pelaksanaan). Dalam
perencanaan inovatif (innovative planning), para perencana lebih memiliki
19







kebebasan, baik dalam menetapkan target maupun cara yang ditempuh untuk
mencapai target tersebut. Artinya, mereka dapat menetapkan prosedur atau
cara-cara, yang penting target itu dapat dicapai atau dilampaui. Perencanaan
inovatif juga berlaku apabila ada kegiatan baru yang perlu dibuat prosedur
atau sistem kerjanya, yang selama ini belum ada.
Perencanaan Bertujuan Jamak versus Perencanaan Bertujuan Tunggal.
Pembedaan ini didasarkan atas luas pandang (skop) yang tercakup, yaitu
antara perencanaan b