PENGUJIAN BEBERAPA MODEL TREYNOR-MAZUY CONDITION SEBAGAI MODEL PENGUKURAN KINERJA REKSA DANA V. Santi Paramita Jurusan Manajemen, Universitas Jenderal Achmad Yani email: sant i .pr ami t gm ai l .co m Abstract - Index of /pdf

  Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 70 – 87

  ISSN : 1829 - 7188

PENGUJIAN BEBERAPA MODEL

  

TREYNOR-MAZUY CONDITION SEBAGAI MODEL PENGUKURAN KINERJA

REKSA DANA

  

V. Santi Paramita

Jurusan Manajemen, Universitas Jenderal Achmad Yani

email: sant i .pr ami t @gm ai l .co m

  

Abstract

This study aims to examine several Treynor-Mazuy Condition models that attempt to

improve the weakness of the Treynor-Mazuy Uncondition model as a model for

performance measurement of mutual funds. The research used a sample of 30 equity

funds actively traded during the period of January 2008-December 2012 in Indonesia

capital market. Testing model using two pass regression, that is regression process

consist of time series regression and cross-section regression. The study yielded

empirical findings that the Treynor-Mazuy model of two factors comprising the money

supply factor and the rupiah exchange rate factor could account for the variation in

returns of equity funds in constant beta testing. The results of this study indicate that

market risk factors are not relevant to be used as the sole risk factor for return of equity

funds in capital market situation and situation in Indonesia.

  Keywords: Treynor-Mazuy Uncondition, stock selection, market timing

  1. PENDAHULUAN

  Model pengukur kinerja reksa dana pada awalnya dicetuskan oleh Sharpe (1966), Treynor (1966) Jensen (1968) yang dikenal sebagai model risk adjusted

  

performance . Pada prinsipnya, ketiga model pengukur kinerja tersebut mencerminkan

  adanya trade-off antara return dan risiko. Perbedaan antara model Sharpe dan Treynor terletak pada perbedaannya dalam penetapan risiko dalam menilai return portofolio.

  

Sharpe measure (Sharpe, 1966) mengukur kinerja reksa dana dengan membagi risk

  premium (excess return) dengan variabilitas (variability) return portofolio yang disebut juga reward to variability (RVAL). Variabilitas atau standar deviasi merupakan risiko total yang merupakan penjumlahan dari risiko pasar (systematic/market risk) dengan risiko unik (unsystematic/unique risk).

  Sedangkan Treynor measure (Treynor, 1966) menghitung kinerja berdasarkan risk premium seperti halnya Sharpe measure, namun membaginya dengan faktor beta (

  β) yang merupakan risiko sistematik/risiko pasar. Pengukur kinerja ini dikenal pula dengan istilah reward to volatility (RVOL), dimana volatility menunjukkan risiko

  Pengujian Beberapa Model Treynor-Mazuy Condition Sebagai Model Pengukuran Kinerja Reksa Dana

  sistematik (beta) dari portofolio. Treynor measure mengasumsikan bahwa portofolio telah terdiversifikasi dengan baik, sehingga risiko yang relevan hanyalah risiko pasar.

  Pengukur kinerja Sharpe measure dan Treynor measure bersifat komplementer, karena memberikan informasi yang berbeda. Portofolio reksa dana yang tidak terdiversifikasi dengan baik akan mendapat peringkat yang tinggi pada Indeks Treynor namun peringkatnya lebih rendah untuk Indeks Sharpe. Portofolio yang terdiversifikasi baik akan mempunyai ranking yang sama untuk kedua pengukuran tersebut.

  Model pengukur kinerja berikutnya dikenal dengan model Jensen alpha atau

  

Jensen’s differential return measure (Jensen, 1968). Model yang berbasis CAPM ini

  dinilai memiliki kelebihan karena mampu menunjukkan seberapa besar kinerja portofolio saham berada di atas atau di bawah kinerja portofolio pasar yang menjadi pembanding (benchmark).

  Pengukuran kinerja portofolio menggunakan model Jensen Alpha akan membentuk α (alpha). Jika α positif, hal itu mengidentifikasikan bahwa reksa dana mempunyai rata-rata return lebih baik dibandingkan dengan rata-rata return portofolio pembanding. Semakin tinggi nilai alpha positif mengindikasikan bahwa semakin baik kinerja manajer investasi dalam mengelola portofolionya. Alpha positif juga mengindikasikan bahwa manajer investasi memiliki kemampuan stock selection yang baik yang mencerminkan kemampuan mendiversifikasikan aset kelolaannya secara tepat sehingga mampu menghasilkan kinerja yang lebih baik dari kinerja pasar.

  Dukungan terhadap model Jensen Alpha sebagai pengukur kinerja portofolio diantaranya disampaikan oleh Grinbalt dan Titman (1989). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan menggunakan model Jensen Alpha, reksa dana dengan pertumbuhan yang tinggi akan memiliki kinerja unggul karena menghasilkan abnormal return sebagai dampak kemampuan manajer investasi memilih saham-saham superior. Di samping itu, reksa dana dengan nilai aktiva bersih kecil juga mampu menunjukkan kinerja unggul karena manajer investasi memiliki keleluasaan dan kemudahan melakukan perubahan portofolio dengan cepat, karena kecilnya dana kelolaannya.

  Kajian lain tentang penggunaan model Jensen Alpha sebagai pengukur kinerja reksa dana juga dilakukan oleh Ippolito (1989). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata-rata reksa dana yang ditelitinya menghasilkan alpha di atas nol yang mencerminkan kinerja baik. Namun demikian pada beberapa reksa dana, kinerja berupa selisih imbal hasil antara exces return dengan risk premium tersebut tidak cukup untuk menutupi rata-rata biaya reksa dana.

  Penelitian dengan hasil senada dilakukan oleh Elton, Gruber, Sanjiv dan Hlavka (1993) yang menunjukkan bahwa sebagian besar reksa dana lebih sering menghasilkan kinerja negatif karena memperhitungkan return bersihnya. Oleh karena itu, manajer investasi dengan strategi aktif yang sering melakukan perubahan portofolio, perlu mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan sebagai dampak penerapan strateginya.

  Perubahan portofolio baik dilakukan jika ia yakin bahwa return yang dihasilkan lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkannya. Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 70 – 87

  ISSN : 1829 - 7188

  Pada perkembangannya kemudian, Treynor-Mazuy (1966) menemukan kelemahan pada model Jensen Alpha yang mengasumsikan hubungan linier antara risiko pasar dengan return portofolio. Hasil penelitian Treynor-Mazuy membuktikan bahwa hubungan antara risiko pasar dan return portofolio tidak selamanya linier. Oleh karena itu, Treynor-Mazuy menambahkan quadratic term pada market risk premium dalam persamaan regresi Jensen Alpha untuk mengakomodir faktor non linier yang mempengaruhi return portofolio. Menurut pendapat Treynor-Mazuy, kemampuan market timing tercermin dari koefisien market risk premium yang dikuadratkan.

  Namun demikian, model Treynor-Mazuy memiliki kelemahan karena tidakmempertimbangkan faktor-faktor risiko sistematis selain faktor risiko pasar. Oleh karena itu, penelitian ini akan membentuk dan menguji beberapa alternatif model Treynor-Mazuy Condition yang mengakomodir model multi faktor Abritrage Pricing

  

Theory (APT ), Ross (1976). Pada model APT,return yang diharapkan dari suatu

  sekuritas dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko sistematis lainnya sehingga tidak hanya diukur dengan beta yang mewakili faktor risiko pasar.

  Pada perkembangannya kemudian, Ferson dan Schadt (1996) melakukan penelitian tentang penerapan model pengukuran kinerja reksa dana yang mengakomodir perubahan faktor-faktor risiko sistematis. Mereka berargumen bahwa untuk mengukur kinerja portofolio perlu mempertimbangkan informasi publik berupa perubahan kondisi ekonomi dalam perubahan pasar yang dinamis, sehingga mencetuskan model

  

conditional performance evaluation (CPE). Dukungan terhadap penggunaan condition

model pada model Treynor-Mazuy disampaikan oleh Kat dan Miffre (2005) yang

  meneliti pada pasar modal Amerika. Mereka membandingkan antara model Treynor-

  

Mazuy uncondition dengan model Trenor-Mazuy Condition. Hasil penelitiannya

  menunjukkan bahwa conditional approach memiliki spesifikasi model yang lebih baik dibandingkan denganunconditional approach.

  Dengan demikian, maka model pengukuran kinerja reksa dana yang akan dibentuk dan diuji dalam penelitian inimerupakan beberapa alternatif model Treynor- MazuyCondition yang menambahkan faktor ekonomi makro selain faktor risiko pasar sebagai variabel prediktor return portofolio. Pengujian model dilakukan melalui pengujian validitas dan robustness model.

2. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Model-Model Keseimbangan

  Pada dasarnya, sebuah model bisa membantu memahami suatu permasalahan yang kompleks dalam gambaran yang lebih sederhana. Penggunaan model keseimbangan dapat membantu untuk memahami perilaku investor secara keseluruhan, serta bagaimana mekanisme pembentukan harga dan return pasar dalam bentuk yang lebih sederhana. Model keseimbangan juga membantu memahami bagaimana menentukan risiko yang relevan terhadap suatu aset, serta hubungan antara risiko dan return harapan suatu aset ketika pasar dalam kondisi seimbang. Terdapat 2 (dua) model Pengujian Beberapa Model Treynor-Mazuy Condition Sebagai Model Pengukuran Kinerja Reksa Dana

  keseimbangan dalam teori portofolio yang disebut dengan Capital Asset Pricing Model (CAPM) dan Abritrage Pricing Theory.

2.1.2 Capital Asset Pricing Model (CAPM)

  CAPM merupakan salah satu model persamaan keseimbangan yang memberikan gambaran tentang hubungan antara risiko suatu asset dengan expected return-nya.

  Hubungan yang terjadi memberikan informasi yang bermanfaat bagi pada analis maupun investor, kerena : 1) Model ini memberikan benchmark rate of return untuk berbagai kemungkinan investasi. 2) Model ini membantu memberikan educated guess untuk memprediksi expected return dari suatu investasi pada masa mendatang.

  CAPM pertama kali diperkenalkan oleh Sharpe (1964), Lintner (1965) dan

  Mossin (1966). Bodie, Kane, dan Marcus (2009) menyatakan bahwa“The Capital

  

Asset Pricing Model, almost always referred to as the CAPM, is a centerpiece of

modern financial economics. The model gives us a precise prediction of the relationship

that we should observe between the risk of an asset and its expected return”.

  Selanjutnya, Solnik (1996) mengemukakan “The Capital Asset Pricing Model

  

(CAPM) is the first well-known model of market equilibrium”. Ini menunjukkan bahwa

  CAPM dikembangkan berdasarkan model keseimbangan pasar yang menggambarkan hubungan risiko dengan return secara lebih sederhana karena hanya menggunakan satu variabel yang disebut variabel beta untuk menggambarkan risiko, yaitu risiko pasar (market risk). Hal ini disebabkan karena berbagai perubahan pada lingkungan keuangan ataupun ekonomi makro dianggap telah terefleksikan dalam indeks pasar (market

  index ).

  CAPM didasari oleh teori portofolio yang dikemukakan oleh Markowitz (1959),

  dengan asumsi masing-masing investor akan mendiversifikasikan portofolionya dan memilih portofolio yang optimal berdasarkan preferensi investor terhadap return dan risiko. Beberapa asumsi lain dalam CAPM yang dibuat untuk menyederhanakan realitas yang ada, yaitu : 1) Semua investor memiliki distribusi probabilitas tingkat return di masa depan yang identik, karena mereka mempunyai harapan atau ekspektasi yang hampir sama.

  Semua investor menggunakan sumber informasi seperti tingkat return, varians

  return, dan matriks korelasi yang sama dalam kaitannya dengan pembentukan portofolio yang efisien.

  2) Semua investor mempunyai satu periode waktu yang sama, misalnya satu tahun. 3) Semua investor dapat meminjam (borrowing) atau meminjamkan (lending) uang pada tingkat return yang bebas risiko (risk-free rate of return).

  4) Tidak ada biaya transaksi 5) Tidak ada pajak pendapatan 6) Tidak ada inflasi 7) Terdapat banyak sekali investor dan tidak ada satupun investor yang dapat mempengaruhi harga suatu sekuritas. Semua investor adalah price-taker.

  8) Pasar dalam keadaan seimbang (equilibrium) Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 70 – 87

  ISSN : 1829 - 7188

  Jika semua asumsi di atas terpenuhi, maka akan terbentuk suatu pasar yang seimbang. Dalam kondisi pasar yang seimbang, investor tidak akan bisa memperoleh

  

return abnormal (return ekstra) dari tingkat harga yang terbentuk, termasuk bagi

  investor yang melakukan perdagangan spekulatif. Kondisi tersebut akan mendorong semua investor memilih portofolio pasar yang terdiri dari semua aset berisiko yang ada. Portofolio pasar tersebut akan berada pada garis permukaan efisien (efficient frontier) dan sekaligus merupakan portofolio yang optimal.

  Pada CAPM, portofolio pasar merupakan portofolio yang terdiri dari aset berisiko yang optimal. Karena portofolio pasar terdiri dari semua aset berisiko, maka portofolio tersebut marupakan portofolio yang sudah terdiversifikasi dengan baik. Dengan demikian, risiko portofolio pasar hanya akan terdiri dari risiko sistematis saja, yaitu risiko yang tidak dapat dihilangkan oleh diversifikasi. Risiko sistematis ini terkait dengan faktor-faktor ekonomi makro yang dapat mempengaruhi semua sekuritas yang ada.

  Menurut teori CAPM tingkat pendapatan yang diharapkan dari suatu sekuritas dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

  …………… ( 2.1)

  Keterangan: E(Ri) = Tingkat pendapatan yang diharapkan dari sekuritas i yang mengandung risiko Rf = Tingkat pendapatan bebas risiko E(Rm) = Tingkat pendapatan yang diharapkan dari portofolio pasar.

  βi = Tolok ukur risiko yang tidak bisa terdiversifikasi dari surat berharga yang ke-i Risiko sekuritas yang merupakan risiko pasar (market risk) ditunjukkan oleh beta. Besarnya koefisien beta dapat diestimasi dengan menggunakan market model.

  

Market model pada dasarnya hampir sama dengan single index model, hanya saja pada

market model tidak digunakan asumsi bahwa error term untuk setiap sekuritas tidak

  berkorelasi satu dengan lainnya. Oleh karena itu maka persamaan market model (Sharpe, 1963), dapat dituliskan dalam persamaan berikut ini :

  R =   R + e + it i i Mt it …………………. (2.2)

  dimana : R it = return sekuritas i R M = return indeks pasar  i = intersept  i = slope e i = random residual error

  Pengujian Beberapa Model Treynor-Mazuy Condition Sebagai Model Pengukuran Kinerja Reksa Dana

  Persamaan market model di atas dapat digunakan untuk mengestimasi return sekuritas. Sedangkan untuk mengestimasi persamaan market model di atas dapat dilakukan dengan melakukan regresi antara return sekuritas yang akan dinilai dengan

  

return indeks pasar. Regresi tersebut akan menghasilkan nilai  i yang merupakan

  ukuran return sekuritas i yang tidak terkait dengan return pasar. Di samping itu  i juga menunjukkan besarnya slope yang mengindikasikan peningkatan return yang diharapkan pada sekuritas i untuk setiap kenaikan return pasar sebesar 1%.

  Persamaan regresi market model tersebut selanjutnya juga dapat dipakai untuk membentuk garis karakteristik (characteristic line), yaitu garis yang menghubungkan total return sekuritas dengan dengan return pasar, dengan cara meletakkan (plotting) titik-titik return total suatu saham dalam suatu periode tertentu terhadap return total indeks pasar.

  Pengujian terhadap CAPM telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya Jensen (1969), Black, dan Scholes (1972), Blume dan Friend (1973), Fama dan Mc. Beth (1973), serta Pettit dan Weterfield (1974). Hasil pengujian pada beberapa pasar modal pada periode waktu yang berbeda menunjukkan bahwa model CAPM valid digunakan untuk melakukan estimasi return saham.

  Roll (1977 dan 1980) menyampaikan bahwa CAPM memiliki kelemahan karena banyaknya asumsi yang dipergunakan untuk menyederhanakan model agar lebih mudah dipahami dan diuji. Pada kondisi nyata, asumsi-asumsi CAPM sulit terjadi. Roll juga meragukan tentang portofolio pasar yang menurutnya tidak dapat ditentukan secara tepat. Pengujian CAPM juga menghadapi masalah tentang bagaimana memformulasikan sesuatu yang belum terjadi (ex ante) yaitu return harapan, berdasarkan data masa lalu (ex post) berupa data risiko historis.

  Fama dan French (1996a)bahkan menyatakan bahwa CAPM tidak relevan digunakan sebagai dasar estimasi return saham karena tidak terbukti adanya hubungan antara beta dengan return yang diharapkan. Hasil penelitian Fama dan French (1996a) menemukan bahwa CAPM hanya berlaku apabila portofolio dibentuk berdasarkan

  

market capitalization , dengan menghasilkan beta pada rentang yang besar. Saat saham-

  saham dikelompokkan sesuai ukuran perusahaan dan beta yang sama, beta tidak dapat menjadi panduan untuk menentukan return. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa firm size dan book to market value ratio dapat menjelaskan return secara lebih baik. Dengan demikian, hasil penelitian ini menegaskan bahwa faktor risiko tidak sistematik (unsystematic/idiosyncretic risk) lebih dapat menjelaskan variasi return portofolio daripada faktor risiko sistematik.

  Meskipun demikian, beberapa peneliti lainnya Chan and Lakonishok (1993), Black (1993), Kothari, Shanken, dan Sloan (1995), Jagannathan dan McGrattan (1995) masih memberikan dukungan terhadap validitas CAPM karena hasil penelitiannya menunjukkan bahwa beta dengan return yang diharapkan memiliki hubungan linier dan positif, serta mengijinkan terjadinya beta yang bervariasi sepanjang siklus bisnis.

  Hingga saat ini CAPM masih populer dipergunakan sebagai model estimasi return sekuritas. Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 70 – 87

  ISSN : 1829 - 7188

  Meskipun hasil penelitian empiris terhadap model CAPM masih mengundang perdebatan, hingga saat ini CAPM merupakan salah satu model keseimbangan yang masih sering dipergunakan untuk memprediksi return portofolio. CAPM merupakan model yang secara sederhana (parsimony) dapat menggambarkan atau memprediksi realitas di pasar yang sangat kompleks, sebagaimana hasil penelitian Sudarsono (2010).

  Model CAPM merupakan model risk adjusted return yang pada perkembangannya kemudian menjadi dasar pengembangan model pengukuran kinerja reksa dana. Model pengukuran kinerja reksa dana Sharpe (1966) Treynor (1966) dan Jensen (1968) merupakan pengembangan dari CAPM yang menggunakan faktor penyesuaian risiko (risk adjusted performance). Model pengukuran kinerja ini dikenal sebagai unconditional performance measure model, karena tidak menetapkan syarat apapun dalam penghitungan risiko dan hanya menggunakan risiko pasar.

2.1.3 Arbritage Pricing Theory (APT)

  Pada APT, return sekuritas tidak dipengaruhi oleh portofolio pasar karena adanya asumsi bahwa return yang diharapkan dari suatu sekuritas bisa dipengaruhi oleh beberapa sumber risiko lainnya sehingga tidak hanya diukur dengan beta. Asumsi- asumsi CAPM yang masih dipergunakan pada APTadalah : a. Investor mempunyai kepercayaan yang bersifat homogen.

  b. Investor adalah risk-averse yang berusaha untuk memaksimalkan utilitas.

  c. Pasar dalam kondisi sempurna.

  d. Return yang diperoleh dengan menggunakan model faktorial.

  Faktor-faktor risiko pada model APT harus mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Masing-masing faktor risiko harus mempunyai pengaruh luas terhadap return sekuritas di pasar. Kejadian-kejadian khusus yang berkaitan dengan kondisi perusahaan, bukan merupakan faktor risiko APT.

  b. Faktor-faktor risiko tersebut harus mempengaruhi return yang diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan pengujian secara empiris, dengan cara menganalisis return sekuritas secara statistik untuk melihat bagaimana faktor-faktor risiko tersebut berpengaruh secara luas terhadap return sekuritas.

  c. Pada awal periode, faktor risiko tersebut tidak dapat diprediksi oleh pasar karena faktor risiko tersebut mengandung informasi yang tidak diharapkan atau bersifat mengejutkan pasar karena adanya perbedaan antara nilai yang diharapkan dengan nilai sebenarnya.

  Dari uraian di atas, diketahui bahwa APT mengasumsikan investor percaya bahwa return sekuritas ditentukan oleh sebuah model faktorial dengan n faktor risiko (multi factor model). Dengan demikian, maka return aktual untuk sekuritas i dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut :

  R i = E (R i ) + b i,1 f 1 + b i,2 f

2 + ….. + b in f n + e i

  ………. (2.3) Pengujian Beberapa Model Treynor-Mazuy Condition Sebagai Model Pengukuran Kinerja Reksa Dana

  dimana : R i = tingkat return aktual sekuritas i E(R ) = return yang diharapkan untuk sekuritas i

  i

  f = deviasi faktor sistematis ke-n dari nilai yang diharapkan b = sensitivitas sekuritas ke-i terhadap faktor ke-n

  i,n

  e i = random error Suatu hal yang perlu diingat adalah bahwa nilai yang diharapkan pada masing- masing faktor risiko (f) adalah nol, sehingga tingkat return aktual suatu sekuritas iakan sama dengan return yang diharapkan, jika faktor risiko berada pada tingkat yang diharapkan.

  Model faktorial di atas tidak memberikan penjelasan mengenai kondisi keseimbangan. Oleh karena itu kita perlu mengubah persamaan (2.3) ke dalam model keseimbangan sebagai berikut :

  _ _ _ E(R ) = a + b F + b F + ….. + b F + e i i,1 1 i,2 2 i,n n i

  …… (2.4) dimana : E(R i ) = return yang diharapkan untuk sekuritas i a = return yang diharapkan untuk sekuritas i bila risiko sistematis nol b i,,n = koefisien yang menunjukkan besarnya pengaruh faktor n terhadap return sekuritas i F = Premi risiko untuk sebuah faktor (misalnya presmi risiko untuk F

  1 adalah

  E(F ) – a ))

1 Persamaan di atas menunjukkan bahwa dalam APT, risiko didefinisikan sebagai

  sensitivitas sekuritas terhadap faktor-faktor ekonomi makro (b i ) dan besarnya return yang diharapkan akan dipengaruhi oleh sensitivitas tersebut.

  Hasil pengujian empiris menunjukkan bahwa model APT lebih realistis diterapkan untuk memprediksi return saham sebagaimana hasil penelitian (Chen, 1983), Roll dan Ross (1980 dan 1984), Ross (1976), Brown dan Weinstein (1983), serta Burmeister dan Wall (1986). Hasil penelitian tersebut menunjukkan validitas model serta menemukan beberapa faktor risiko yang teruji mempengaruhi return saham.

  Model keseimbangan APT dinilai oleh beberapa ahli lebih realistis diterapkan untuk memprediksi return portofolio daripada penerapan model keseimbangan lainnya, yaitu Capital Asset Pricing Model (CAPM). Model CAPM hanya mempergunakan satu faktor, yaitu risiko portofolio pasar untuk memprediksi return portofolio. Kelemahan lain CAPM yang telah dikritisi oleh para peneliti diantaranya tidak adanya biaya transaksi, inflasi dan pajak pendapatan dan hanya berlaku pada satu periode waktu.

  Meskipun demikian, terdapat pula kritikan terhadap model APT yang disampaikan oleh Rool (1977)karena kesulitan menentukan faktor-faktor risiko yang Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 70 – 87

  ISSN : 1829 - 7188

  relevan untuk dimasukkan dalam spesifikasi model. Di samping itu, faktor-faktor risiko yang digunakan dalam pembentukan model APT menggunakan data historis (post-ante), sehingga dinilai akan mengakibatkan bias dalam melakukan prediksi return pada masa yang akan datang (ex-ante).

  Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor risiko yang relevan dalam mempengahui return saham. Oleh karena itu dalam penerapan model APT, berbagai faktor risiko bisa saja dimasukkan sebagai faktor risiko. Daya tarik model APT adalah tidak perlu mengasumsikan adanya portofolio pasar yang harus efisien secara teoritis.

  Pada APT, return sekuritas tidak dipengaruhi oleh portofolio pasar karena adanya asumsi bahwa return yang diharapkan dari suatu sekuritas bisa dipengaruhi oleh beberapa sumber risiko lainnya sehingga tidak hanya diukur dengan beta. Asumsi- asumsi CAPM yang masih dipergunakan pada APTadalah : a. Investor mempunyai kepercayaan yang bersifat homogen.

  b. Investor adalah risk-averse yang berusaha untuk memaksimalkan utilitas.

  c. Pasar dalam kondisi sempurna.

  d. Return yang diperoleh dengan menggunakan model faktorial.

  e. Faktor-faktor risiko pada model APT harus mempunyai karakteristik sebagai berikut: f. Masing-masing faktor risiko harus mempunyai pengaruh luas terhadap return sekuritas di pasar. Kejadian-kejadian khusus yang berkaitan dengan kondisi perusahaan, bukan merupakan faktor risiko APT.

  g. Faktor-faktor risiko tersebut harus mempengaruhi return yang diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan pengujian secara empiris, dengan cara menganalisis return sekuritas secara statistik untuk melihat bagaimana faktor-faktor risiko tersebut berpengaruh secara luas terhadap return sekuritas.

  h. Pada awal periode, faktor risiko tersebut tidak dapat diprediksi oleh pasar karena faktor risiko tersebut mengandung informasi yang tidak diharapkan atau bersifat mengejutkan pasar karena adanya perbedaan antara nilai yang diharapkan dengan nilai sebenarnya.

  Treynor dan Mazuy (1966) menghadirkan model pengukuran kinerja reksa dana dengan mempertimbangkan kemampuan stock selection dan market timing dari manajer investasi. Dengan demikian, kinerja reksa dana tidak hanya dipengaruhi oleh faktor risiko pasar, tetapi dipengaruhi pula oleh kemampuan manajer investasi sebagai pengelola aset dalam reksa dana. Model ini merupakan pengembangan CAPM, dengan menambahkan quadratic term dalam persamaan regresi untuk mengakomodir faktor non linear yang mempengaruhi return harapan. Persamaan model Treynor Mazuy :

  …… (2.5) Pengujian Beberapa Model Treynor-Mazuy Condition Sebagai Model Pengukuran Kinerja Reksa Dana

  dimana : = return reksa dana i pada periode t = return investasi bebas risiko = return indeks pasar pada periode t = pengukur stock selection = beta tidak bersyarat (unconditional beta) = market timing coefficient

  Kinerja reksa dana tercermin dari nilai (stock selection) dan (market yang tercermin dari nilai menunjukkan kemampuan

  timing).Stock selection ability

  manajer investasi dalam memilih saham yang tepat yang akan dimasukkan atau dikeluarkan dari portofolio reksa dananya. Jika positif, berarti manajer investasi mampu membentuk portofolio yang optimal, dan sebaliknya jika negatif, berarti manajer investasi tidak mampu membentuk portofolio yang optimal. Sedangkan market

  

timing ability merupakan kemampuan manajer investasi untuk melakukan penyesuaian

  portofolio asset guna mengantisipasi perubahan atau pergerakan harga pasar secara umum. Jika positif dan signifikan mengindikasikan bahwa manajer investasi memiliki kemampuan market timing. Demikian pula sebaliknya, jika negatif dan signifikan mengindikasikan bahwa anajer investasi tidak memiliki kemampuan market timing.

  Penelitian yang dilakukan Philippe dan Georges (2009) mendukung penggunaan model Treynor-Mazuy. Penelitian Sehgal, Sanjay; Jhanwar, Manoj (2008), menyimpulkan bahwa kemampuan market timing dan stock selection manajer investasi mampu menghasilkan kinerja yang lebih baik jika menggunakan data harian dibandingkan data bulanan. Sedangkan hasil penelitian Nathani, Cakraborthy, Rawat, Holani (2011) yang dilakukan setelah terjadinya skandal perdangangan reksa dana yang merugikan investor di India, menunjukkan bahwa reksa dana saham yang dikelola oleh perusahan investasi swastamemiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan reksa dana yang dikelola oleh perusahaan pemerintah (PSU).

  Namun hasil penelitian Rao (2000)dan Sheikh dan Nooren (2012) menunjukkan lemahnya kemampuan market timing dari manajer investasi pengelola reksa dana. Padaperkembangannya kemudian, Ferson dan Schadt (1996) merekomendasikan penggunaan conditional performance evaluation (CPE) sebagai pengukur kinerja portofolio pada pasar modal yang memiliki efisiensi pasar semi strong, sesuai kondisi pasar modal negara-negara berkembang. Ferson dan Schadt menilai, CPE dapat menutupi kelemahan model pengukuran kinerja tradisional, karena mampu menangkap perilaku dinamis dari return. Mereka mengembangkan model bersyarat dengan memasukkan variabel-variabel ekonomi makro sebagai model dinamis. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pengukuran kinerja reksa dana dengan mengakomodir perubahan ekonomi makro yang dinamis menghasilkan model yang lebih baik, karena mengontrol variasi beta menggunakan indikator pasar. Variasi tersebut dijelaskan oleh aliran dana pada reksa dana yang lebih tinggi ketika return pasar lebih tinggi. Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 70 – 87

  ISSN : 1829 - 7188

  Penelitian dengan menggunakan variabel ekonomi makro dalam model APT dilakukan oleh Ewing (2002), Flannery dan Protopapadakis (2002), Yoruk (2000); Paramita (2006), Tursoy, Gunsel, dan Rjoub (2008), serta Chang (2009) . Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa faktor-faktor ekonomi seperti uang beredar (M2), harga minyak mentah, indeks harga konsumen, impor, ekspor, harga emas, nilai tukar, suku bunga, produk domestik bruto (PDB), candangan devisa, tingkat pengangguran serta pasar indeks berpengaruh terhadap harga pasar saham. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Altay (2003) dengan membandingkan dampak faktor-faktor ekonomi terhadap return asset pada pasar modal Jerman dan Turki.

3. METODE PENELITIAN

  Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey penjelasan

  

(explanatory survey method) atau disebut juga (explanatory research). Fokus utama dari

  penelitian ini adalah membentuk model pengukuran kinerja reksa dana saham yang merupakan perluasan Model Treynor-Mazuy sehingga terbentuk model pengukuran kinerja yang mampu memprediksi return harapan dengan mempertimbangkan risiko pasar, kemampuan stock selection dan market timing dari manajer investasi serta kondisi ekonomi makro yang dinamis. Berhubung menurut Rao (1994) data ekonomi makro mempunyai sifat nonstationer, maka pengujian dengan menggunakan Ordinary

  

Least Squares Bivariate (single-equation regression model) atau sering disebut OLS

bivariate tidak tepat jika dipergunakan dalam penelitian ini karena akan menghasilkan

spurious regression .

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tahap-tahap pengujian dalam penelitian ini akan dilakukan sebagai berikut : a. Uji stasioneritas data runtun waktu (time series) pada variabel independen seperti variabel excess return pasar, variabel ekonomi makro, meliputi uji stasionarity dengan menggunakan uji akar unit (unit root test) yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller.

  b. Uji derajat integrasi untuk mengubah data menjadi stasioner.

  c. Uji hubungan dan pengaruh antar variabel untuk menguji hubungan dan pengaruh antara risiko pasar, stock selection, market timing dan faktor-faktor ekonomi makro terhadap return reksa dana saham.

  d. Pembentukan model prediksi return reksa dana saham dengan menggunakan ARCH dan GARCH Berhubung penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kejelasan hubungan antar variabel dengan melakukan pengujian hipotesis (hypotheses testing), maka tipe penelitian ini adalah verificative research atau sering pula disebut

  

explanation research . Oleh karena itu, maka metode penelitian yang digunakan adalah

  metode survey penjelasan (explanatory survey method) atau disebut juga (explanatory

research ), yaitu survey yang bertujuan memperoleh kejelasan hubungan variabel.

Sedangkan tipe penyelidikan (types of investigation) penelitian adalah causal

  Pengujian Beberapa Model Treynor-Mazuy Condition Sebagai Model Pengukuran Kinerja Reksa Dana

relationship untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel bebas (independent variable)

terhadap variabel terikat (dependent variable).

  Data bersumber pada data sekunder yang diperoleh dari berbagai publikasi yang diterbitkan oleh lembaga keuangan seperti : Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini akan melakukan observasi perilaku reksa dana saham dalam 5 (lima) tahun terakhir dengan data bulanan yang berarti dilakukan pada beberapa periode waktu.

  Sampel yang ditetapkan sebagai obyek penelitian adalah produk reksa dana saham yang diterbitkan oleh berbagai perusahaan sekuritas dan terdaftar pada Bursa Efek Jakarta yang telah efektif sejak Januari 2008 dan masih tetap aktif hingga Desember 2012 yang ditentukan berdasarkan teknik purposive sampling, dengan jumlah sampel 30 reksa dana saham.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembentukan Beberapa Alternatif Model Treynor-Mazuy Multi Faktor

  Penelitian ini mengusulkan beberapa alternatif model kinerja reksa dana saham yang mengintegrasikan antara model Treynor-Mazuy Uncondition dengan model APT dan CPE sebagai pengembangan model Jensen Alpha. Beberapa alternatif usulan model Treynor-Mazuy Multi Faktor yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : 1) Model Treynor-Mazuy Multi Faktor Tanpa Faktor Risiko Pasar 2) Model Treynor-Mazuy Multi Faktor Termasuk Faktor Risiko Pasar 3) Model Treynor-Mazuy Multi Faktor Dengan Risiko Pasar sebagai Variabel Moderating. 4) Model Treynor-Mazuy Multi Faktor dalam Model Distributed-Lag

  Pemilihan model Treynor-Mazuy Multi Faktor terbaik berdasarkan hasil pengujian nested model dengan discerning dan discrimination approach yang dilakukan melalui 2 (dua) proses regresi (two pass regression). Regresi pertama (first pass

  

regression ) berdasarkan data time series, sedangkan regresi kedua (second pass

regression ) berdasarkan data cross section.

  Hasil pengujian berbagai alternatif model Treynor-Mazuy Multi Faktor pada

  second pass regression dapat dilihat pada tabel 1.1. berikut ini : Tabel 1. Hasil Pengujian Nested Model Treynor Mazuy Multi Faktor

  a. Model Treynor-Mazuy Multi Faktor

  b. Model Treynor-Mazuy Multi Faktor Tanpa Risiko Pasar

  c. Model Treynor-Mazuy Multi Faktor dengan Faktor Risiko Pasar sebagai Variabel Moderating

  d. Model Treynor-Mazuy Multi Faktor dalam Model Distributed-Lag Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 70 – 87

  ISSN : 1829 - 7188 Model Model Treynor- Model Treynor- Model Treynor- Exp Treynor- Mazuy Multi Mazuy Multi Mazuy Multi Sign Mazuy Multi Faktor tanpa Faktor, Risiko Faktor dalam Faktor (A) Faktor Risiko Pasar sbg Var. Model Distributed- Pasar (B) Moderating (C) Lag (D)

  • **) **) ***)

  C 0.010086 0.024867 0.049958 0.025316 0.005671 -0.031137 -0.005803 γ

  • + 1βRM
    • ***)
    • + 2βINF
      • ***) ***) *)

        0.150572 -0.008064 -0.038498 0.178002 γ

        _ 0.001219 0.000940 -0.000207 -2.28E-05 γ

        3βSBI ***) ***) **)

        4βM2

      • *)

      • 359988.1 -350762.7 -56549.56 -187927.8 γ _

        _ -158.2418 4.711345 -332.6373 -318.7254 γ

        5βKURS

      • + 6βMT
      • 2 R 0.608796 0.499992 0.311522 0.384804 2 Adj R 0.506743 0.395824 0.131919 0.217023

        AIC -8.412176 -8.233448 -7.846922 -8.281426

        SIC -8.307583 -7.953208 -7.519976 -7.951389

        *) ***) ***)<

        • 0.000949 -0.000683 -0.002104 -0.001291 γ

      F- Test 5.965475 4.799844 1.734504 2.293493

      • ) signifikan pada level 1%;
        • ) signifikan pada level 5%;
          • ) signifikan pada level 10% adalah faktor risiko pasar; adalah faktor risiko inflasi;

            adalah faktor risiko tingkat bunga; adalah faktor risiko jumlah uang beredar ;

            adalah faktor risiko nilai tukar rupiah; adalah faktor risiko market timing

            Sumber : Hasil Pengolahan Data

        Hasil pengujian validitas dan kekokohan (robustness) menunjukkan bahwa model A yaitu model Treynor-Mazuy dua faktor yang terdiri dari faktor jumlah uang beredar (M2) dan nilai tukar rupiah dapat lebih menjelaskan variasi return portofolio

        2

        2

        dibandingkan model lainnya karena menghasilkan nilai R dan Adj R terbesar serta

        2

        2

        nilai AIC dan SIC terkecil. Hal ini terlihat dari nilai R sebesar 60,87 % dan Adj R sebesar 50,67% dan nilai AIC -8,4121 dsn SIC -8,3075.

        Namun demikian model Treynor-Mazuy dua faktor menunjukkan hubungan antara faktor tingkat bunga SBI dengan return reksa dana bersifat positif, yang berarti tidak konsisten mendukung teori. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode penelitian yaitu periode tahun 2008-2012, peningkatan tingkat bunga tidak mempengaruhi keputusan investor untuk mengalihkan dana investasinya ke produk perbankan yang dinilai lebih aman karena mendapat penjaminan dari Pemerintah Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa investor menilai investasi pada saham lebih menarik dibandingkan pada produk perbankan. Kebijakan tingkat bunga rendah yang ditetapkan Pemerintah Indonesia selama periode penelitian, tampaknya membuat investor enggan mengalihkan dananya ke produk perbankan, karena return yang diterima tidak sebanding dengan peningkatan laju inflasi. Investor bersedia menanggung potensi kerugian saat berinvestasi pada saham karena menjanjikan peluang return yang lebih tinggi. Tingginya minat investor untuk berinvestasi pada saham mengakibatkan harga saham meningkat dan menghasilkan return positif.

        

      Pengujian Beberapa Model Treynor-Mazuy Condition Sebagai Model Pengukuran Kinerja Reksa

      Dana

        Dengan demikian, peningkatan tingat bunga tidak menyebabkan penurunan harga saham, atau dapat dikatakan bahwa hubungan antara tingkat bunga dengan harga saham bersifat positif. Model Treynor-Mazuy dua faktor juga menunjukkan hubungan antara faktor jumlah uang beredar (M2) dengan return reksa dana bersifat negatif, yang berarti konsisten mendukung teori.

        Hasil pengujian model Treynor-Mazuy Multi Faktor ini sesuai dengan hasil penelitian Fama dan French (1992) yang menunjukkan bahwa beta CAPM tidak memiliki explanatory power untuk menjelaskan variasi return sekuritas. Tidak signifikannya faktor risiko pasar dan faktor risiko sistematis lainnya dalam menjelaskan variasi return reksa dana diduga disebabkan karena penggunaan single

      beta yang mengasumsikan beta estimasi konstan sepanjang periode penelitian.

      Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa beta yang tidak konstan selama periode penelitian berpotensi menghasilkan bias beta. Pada proses regresi 2 (dua) tahap (two pass regression), beta yang bias hasil dari regresi pertama (first

        

      regression ), berpotensi menghasilkan mispesifikasi serta tidak validnya suatu model

      yang terindikasi dari nilai koefisien beta yang tidak konsisten dengan teori.

        Oleh karena itu, pengujian lanjutan Model Treynor-Mazuy Conditionperlu mempertimbangkan variasi beta (varying beta) selama periode penelitian, baik akibat terjadinya pasar bullish dan bearish ataupun perubahan struktural (structural break ).

      5. SIMPULAN DAN SARAN

      5.1. Simpulan

        Fokus penelitian ini adalah membentuk dan menguji model pengukuran kinerja reksa dana Treynor-Mazuy Condition yang berupaya memperbaiki model Treynor-Mazuy Uncondition. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : a. Investigasi terhadap faktor-faktor risiko sistematis yang dapat menjelaskan variasi return reksa dana saham dalam model Treynor-Mazuy Uncondition menghasil- kan temuan empiris bahwa pengujian dengan asumsi beta konstan menghasilkan model Treynor-Mazuy Dua Faktor, yang terdiri dari : faktor risiko jumlah uang beredar dan nilai tukar rupiah

        b. Faktor risiko pasar bukan merupakan faktor risiko penentu return reksa dana saham.

        Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model Treynor- Mazuy Dua Faktor merupakan model pengukuran kinerja reksa dana yang lebih baik dibandingkan 3 (tiga) alternatif usulan model Treynor-Mazuy Uncondition lainnya. Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 70 – 87

        ISSN : 1829 - 7188

      5.2. Saran

        Sebagai tindak lanjut terhadap hasil temuan penelitian yang telah disampaikan pada simpulan penelitian di atas, penulis menyampaikan saran-saran yang bersifat akademis dan praktis.

        Dalam hal akademis, peneliti menyarankan kepada peneliti yang akan

        melakukan penelitian tentang pembentukan model pengukuran kinerja reksa dana untuk melakukan pengujian model dengan mempertimbangkan terdapatnya beta yang bervariasi (varying beta) untuk menghasilkan model yang tidak bias.

        Dalam hal praktis, investor dan manajer investasi sebaiknya

        mempertimbangkan faktor jumlah uang beredar dan nilai tukar rupiah sebagai faktor determinan return saham pada saat mengambil keputusan berinvestasi pada reksa dana saham. Sedangkan kepada otoritas jasa keuangan, penulis menyarankan agar mempertimbang-kan faktor risiko pasar (IHSG) dan faktor risiko sistematis makro ekonomi pada saat akan mengambil kebijakan terkait pengembangan pasar modal, khususnya kebijakan yang terkait dengan pengembangan produk investasi reksa dana saham.

      DAFTAR PUSTAKA

        Altay, E. 2003. The Effect of Macroeconomic Factors on Asset Returns : A

        Comparative Analysis of the German and the Turkish Stock Markets in an APT Framework . Martin-Luther-Universität Hale,Betriebswirtschaftliche

        Diskussionsbeiträge, Nr. 48. Black, F., Jensen, M., and dan Scholwes, M., (1972), The Capital Asset pricing

        Model : Some Empirical Tests ”, Studies in Theory of Capital Markets, editor

        M.C. Jensen, Praeger Publisher Black, F., 1993. Estimating Expected Return. Financial Analyst Journal. (September – October): 36-38.

        Blume, Marshall E., and Friend, Irwin. 1973. A New Look at The Capital Asset Pricing Model . Journal of Finance 28 (March): 19-33. Bodie, Zvi, Alex Kane, and Alan J. Marcus. 2009. Investments. Eighth Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

        A New Approach to Testing Asset Brown, Stephen J., and Weinstein, Mark I. 1983. Pricing Models: The Bilinear Paradigm . The Journal of Finance Vol.38 No. 3 : 711– 743.

        Burmeister, Edwin, and Wall, Kent D. 1986. The Arbitrage Pricing Theory And . The Financial Review Vol. 21 No. 1 : 1–20.

        Macroeconomic Factor Measures

        Chan, Louis K.C., Y. Hamao, and J. Lakonishok.1991. Fundamentals and Stocks Return in Japan . Journal of Finance Vol. 46. No. 5, December.

        

      Pengujian Beberapa Model Treynor-Mazuy Condition Sebagai Model Pengukuran Kinerja Reksa

      Dana

        Fama, E.F., and French, K. 1996. The CAPM is Wanted, Dead or Alive. The Journal of Finance Vol. 51 No. 5 (December). Fama, E.F., and French, K. 1996. Multifactor Explanations of Asset Pricing Anomalies, The Journal of Finance, Vol 51, No. 1, (March). Ferson, Wayne, E., Schadt, Rudi, W. 1996. Measuring Fund Strategy and

        Ippolito, Richard, A. 1989. Efficiency with Costly Information : A Study of Mutual Funds. Quarterly Journal of Economics Vol. 104 No. 1: 1-23. Jagannathan, R., Ellen R. McGrattan. 1995. The CAPM Debate, Federal Reserve Bank of Minneapolis, Quarterly Review. Vol. 19 No. 4 : 2–17. Jensen, M. 1968. The Performance of The Mutual Funds in the periode 1954-1964.

        Analysis of Quarterly Portfolio Holdings. Journal of Business Vol. 62 : 393- 416.

        Grinblatt, Mark,and Titman, Sheridan. 1989. Mutual Fund Performance : An

Dokumen yang terkait

A. IDENTITAS MATA KULIAH - RPS STATISTIKA PENDIDIKAN

0 6 12

A. IDENTITAS MATA KULIAH - RPS TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

1 4 12

A. IDENTITAS MATA KULIAH - RPS TEORI KOMUNIKASI DALAM PENDIDIKAN

0 0 12

PENGARUH PENERAPAN PEMERIKSAAN INTERNAL TERHADAP EFEKTIVITAS STRUKTUR PENGENDALIAN INTERN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA KEUANGAN (Studi pada PDAM di Propinsi Jawa Barat)

0 0 12

This policy submission provides input to methodological guidance to REDD specifically on the issue of

0 0 6

CAPITAL ASSET PRICING MODEL (CAPM) SEBAGAI SALAH SATU METODE UNTUK MENENTUKAN SAHAM EFISIEN Eka Yulianti Program Studi Manajemen, FE, UNJANI Jl Terusan Jenderal Sudirman Cimahi yulianti_eka92yahoo.com Abstract - 03. EKA YULIANTI PORTFOLIO CAPM1

0 0 15

PENGARUH KUALITAS ATRIBUT PRODUK TERHADAP LOYALITAS PELANGGAN PRODUK SMARTPHONE MEREK BLACKBERRY ( Survey Pada Mahasiswa Ekstensi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Ahmad Yani ) Mochamad Vrans Romi Mahasiswa Magister Manajemen Univers

0 0 15

Analisis Dan Perancangan Sistem Informasi Pelaporan Keuangan Berbasis Teknologi Informasi (Studi pada Koperasi Mahasiswa Universitas Islam Bandung) Oleh : M. Anggionaldi Anggih21yahoo.co.id Abstrak - 03 Jurnal Analisis dan desain 20 hal MAnggi

0 0 24

ARTI PENTING KEMITRAAN BAGI UKM DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI Andri Irawan andri.rifki81gmail.com Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi UNJANI Abstract - 04. Strategi kemitraan UKM dalam menghadapi globalisasi 240817

1 0 17

Pengaruh Pendapatan, Laba Usaha Dan Beban Pajak Terhadap Kemampuan Prediksi Laba Bersih (Studi Pada Perusahaan Rokok yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006-2010). Oleh Rika Mardiani Rikamardiani15gmail.com Abstrak - Index of /pdf

1 0 16