BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Sistem Saraf - Gambaran Rentang Gerak Sendi pada Ekstremitas Bawah Pasien Immobilisasi yang Mengalami Gangguan Sistem Saraf di RSUP H. Adam Malik Medan

  1.1 Pengertian Sistem saraf merupakan serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf (Sloane, 2003). Sistem saraf merupakan salah satu sistem yang berfungsi untuk memantau dan merespon perubahan yg terjadi di dalam dan diluar tubuh atau lingkungan. Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai sistem persepsi, perilaku dan daya ingat, serta merangsang pergerakan tubuh (Farley et all, 2014). Kemampuan untuk dapat memahami, mempelajari, dan merespon suatu rangsangan merupakan hasil kerja terintegrasi sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah laku individu (Batticaca, 2008).

  1.2 Fungsi Sistem Saraf Saraf sebagai sistem koordinasi atau pengatur seluruh aktifitas tubuh manusia mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat komunikasi, pengendali atau pengatur kerja dan pusat pengendali tanggapan.

  a. Saraf sebagai alat komunikasi antara tubuh dan dunia di luar tubuh. Hal ini dilakukan oleh alat indera yang meliputi mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Karena ada indera, dengan mudah kita dapat mengetahui perubahan yang terjadi di luar tubuh kita.

  b. Saraf sebagai pengendali atau pengatur kerja organ tubuh sehingga dapat bekerja serasi sesuai dengan fungsi masing-masing. Saraf sebagai pusat

  6 pengendali tanggapan atau reaksi tubuh terhadap perubahan keadaan di sekitarnya. Karena saraf sebagai pengendali kerja alat tubuh maka jaringan saraf terdapat pada seluruh alat tubuh (Syaifuddin, 2011).

  1.3 Klasifikasi Susunan saraf terdiri dari susunan saraf sentral dan susunan saraf perifer.

  Susunan saraf sentral terdiri dari otak (otak besar, otak kecil, dan batang otak) dan medula spinalis. Susunan saraf perifer terdiri dari saraf somatik dan saraf otonom (saraf simpatis dan saraf parasimpatis).

  1.3.1 Susunan Saraf Sentral Susunan saraf sentral terdiri dari:

  1) Otak Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Otak mengandung hampir 98% jaringan saraf tubuh (Batticaca, 2008). Otak dibungkus oleh tiga selaput otak (meningen) dan dilindungi oleh tulang tengkorak. Selaput otak terdiri dari tiga lapis yaitu durameter (lapisan paling luar yang menutupi otak dan medula spinalis, serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal dan tidak elastis), araknoid (membran bagian tengah yang tipis dan lembut yang menyerupai sarang laba-laba, berwarna putih karena tidak tidak dialiri aliran darah), dan piameter (membran yang paling dalam berupa dinding tipis dan transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak) (Batticaca, 2008). a) Serebrum Sereberum atau otak besar mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut korpus kollosum. Serebrum(telensefalon) terdiri dari korteks serebri, basal ganglia dan rheniensefalon. i) Korteks Serebri

  Korteks serebri adalah lapisan permukaan hemisfer yang disusun oleh substansia grisea. Beberapa daerah tertentu dari korteks serebri telah diketahui memiliki fungsi spesifik. Brodmann (1909) membagi korteks serebri menjadi 47 area berdasarkan struktur selular. Bagian-bagian dari korteks serebri menurut Brodmann:

  1. Lobus Frontalis Area 4 (area motorik primer) sebagian besar girus presentralis dan bagian anterior lobus parasentralis); area 6 bagian sirkuit traktus piramidalis (area premotorik) mengatur gerakan motorik dan premotorik, area 8 mengatur gerakan mata dan perubahan pupil; dan area 9, 10, 11, 12 (area asosiasi frontalis). Lobus frontalis terletak di depan serebrum, bagian belakang dibatasi oleh sulkus sentralis rolandi.

  2. Lobus Perietalis Area 3, 1, 2 adalah area sensorik primer (area postsentral) meliputi girus sentralis dan meluas ke arah anterior sampai mencapai dasar sulkus sentralis dan area 5, 7 (area asosiasi somatosensorik) meliputi sebagian permukaan medial hemisfer serebri.

  3. Lobus Oksipitalis Area 17 (korteks visual primer) permukaan medial lobus oksipitalis sepanjang bibir superior dan inferior sulkus kalkanius; area 18, 19 (area asosiasi visual) sejajar dengan area 17 meluas sampai meliputi permukaan lateral lobus oksipitalis.

  4. Lobus Temporalis Area 41 (korteks auditori primer) meliputi girus temporalis superior meluas sampai ke permukaan lateral girus temporalis; area 42 (area asosiasi auditorik) korteks area sedikit meluas sampai pada permukaan girus temporalis superior; dan area 38, 40, 20, 21, 22 (area asosiasi) permukaan lateral dibagi menjadi girus temporalis superior, girus temporalis media dan girus temporalis inferior. Pada bagian basal terdapat girus fusiformis.

  5. Area Broka Area broka (area bicara motoris) terletak di atas sulkus lateralis, mengatur gerakan berbicara.

  6. Area Visualis Area visualis terdapat pada polus posterior dan aspek medial hemisfer serebri di daerah sulkus kalkaneus, merupakan daerah menerima visual. Gangguan dalam ingatan untuk peristiwa yang belum lama.

  7. Insula Reili Insula reili yaitu bagian serebrum yang membentuk dasar fisura silvi yang terdapat di antara lobus frontalis, lobus parietalis dan lobus oksipitalis. Bagian otak ini ditutupi oleh girus temporalis dan girus frontalis inferior.

  8. Girus Singuli Girus singuli yaitu bagian medial hemisfer terletak di atas korpus kolosum.

  Fungsi kortek serebri (Syaifuddin, 2011) yaitu:

  1. Korteks motorik primer (area 4, 6, 8) mengontrol gerakan volunter otot dan tulang pada sisi tubuh kontralateral. Impulsnya berjalan melalui akson-akson dalam traktus kortikobulber dan kortikospinal, menuju nuclei saraf-saraf serebrospinal. Proyeksi motori dari berbagai bagian tubuh terutama daerah kaki terletak diatas, sedangkan daerah wajah bilateral terletak dibawah. Lesi area 4 akan mengakibatkan paralisis kontralateral dari kumpulan otot yang disarafi. Lesi area 6 dan 8 pada perangsangan akan timbul gerakan mata dan kepala.

  2. Korteks sensorik primer (area 3, 4, 5) penerima sensasi umum (area somestesia); menerima serabut saraf yaitu radiasi yang membawa impuls sensoris dari kulit, otot sendi dan tendo di sisi kontralateral. Lesi didaerah ini dapat menimbulkan gangguan sensasi pada sisi tubuh kontralateral; dan terdapat homunculus sensorik yaitu menggambarkan luas daerah proyeksi sensorik dari bagian-bagian tubuh di sisi tubuh kontraleteral.

  3. Korteks visual (area 17) terletak dilobus oksipitalis pada fisura kalkarina; lesi iritatif menimbulkan halusinasi visual; lesi destruktif menimbulkan gangguan lapangan pandang; dan menerima impuls dari radio- optika.

  4. Korteks auditorik primer (area 41) terletak pada tranvers temporal girus di dasar visura lateralis serebri. Menerima impuls dari radiasioauditorik yang berasal dari korpus genikulatum medialis. Lesi area ini hanya menimbulkan ketulian ringan kecuali bila lesinya bilateral.

  5. Area penghidu (area reseptif olfaktorius) terletak di daerah yang berdekatan dengan girus parahipotalamus lobus temporalis. Kerusakan jalur olfaktorius menimbulkan anosmia (tidak bisa menghidu). Lesi iritasi menimbulkan halusinasi olfaktorius. Pada keadaan ini penderita dapat menghidu bau yang aneh atau mengecap rasa yang aneh.

  6. Area asosiasi, korteks yang mempunyai hubungan dengan area sensorik maupun motorik, dihubungkan oleh serabut asosiasi. Pada manusia terdapat tiga daerah asosiasi penting, yaitu daerah frontal (di depan korteks motorik), daerah temporal (antara girus temporalis superior dan korteks limbik) dan daerah parieto-oksifital (antara korteks somatetik dan korteks vosual. Kerusakan daerah sosiasi akan menimbulkan gangguan dengan gejala yang sesuai dengan tempat kerusakan. Misalnya, pada area 5 dan 7 akan menimbulkan astereognosis (tidak mengenali bentuk benda, yang diletakkan di tangan dengan mata tertutup) karena area ini merupakan pusat asosiasi sensasi (indra) kulit. ii) Basal Ganglia Basal ganglia terdiri dari beberapa kumpulan substansia grisea yang padat yang terbentuk dalam hubungan yang erat dengan dasar ventrikulus lateralis. Ganglia basalis merupakan nuklei subkortikalis yang berasal dari telensefalon. Pada gerakan lambat dan mantap basal ganglia akan aktif, sedangkan pada gerakan cepat dan tiba-tiba basal ganglia tidak aktif. Basal ganglia sudah mulai aktif sebelum gerakan dimulai, berperan dalam penataan dan perencanaan gerakan yaitu dalam proses konversi pikiran menjadi gerakan volunter. Kerusakan ganglia basalis pada manusia menimbulkan gangguan fungsi motorik yaitu hiperkinetik (terjadinya gerakan-gerakan abnormal yang berlebihan) dan hipokinetik (berkurangnya gerakan, misalnya kekakuan) (Syaifuddin, 2011). iii) Rinensefalon

  Sistem limbik (lobus limbic atau rinensefalon) merupakan bagian otak yang terdiri atas jaringan alo-korteks yang melingkar sekeliling hilus hemisfer serebri serta berbagai struktur lain yang lebih dalam yaitu amiglada, hipokampus, dan nuklei septal. Rinensefalon berperan dalam fungsi penghidu, perilaku makan dan bersama dengan hipotalamus berfungsi dalam perilaku seksual, emosi takut, marah dan motivasi (Syaifuddin, 2011).

  b) Serebelum Serebelum (otak kecil) terletak dalam fosa kranial posterior, dibawah tentorium serebelum bagian posterior dari pons varoli dan medula oblongata. Serebelum berfungsi sebagai pusat koordinasi untuk mempertahankan keseimbangan dan tonus otot. Serebelum diperlukan untuk mempertahankan postur dan keseimbangan saat berjalan dan berlari (Syaifuddin, 2011).

  c) Batang otak Batang otak terdiri dari: a) Diesenfalon yaitu bagian otak paling atas terdapat diantara serebelum dengan mesenfalon, b) Mesensefalon yaitu bagian otak yang terletak diantara pons varoli dan hemisfer serebri, c) Pons varoli terletak didepan serebelum diantara otak tengah dan medula oblongata, d) Medula oblongata merupakan bagian otak paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Fungsi dari batang otak yang utama adalah sebagai pengatur pusat pernafasan dan pengatur gerakan refleks dari tubuh.

  2) Medula Spinalis Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar dari hemisfer serebral dan bertugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer. Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Fungsi medula spinalis sebagai pusat saraf mengintegrasikan sinyal sensoris yang datang mengaktifkan keluaran motorik secara langsung tanpa campur tangan otak (fungsi ini terlihat pada kerja refleks spinal, untuk melindungi tubuh dari bahaya dan menjaga pemeliharaan tubuh) dan sebagai pusat perantara antara susunan saraf tepi dan otak (susunan saraf pusat), semua komando motorik volunter dari otak ke otot-otot tubuh yang dikomunikasikan terlebih dahulu pada pusat motorik spinal. Pusat motorik spinal akan memproses sinyal sebagaimana mestinya sebelum mengirimkannya ke otot. Sinyal sensoris dari reseptor perifer ke pusat otak harus terlebih dahulu dikomunikasikan ke pusat sensorik di medula spinalis. Medula spinalis berfungsi untuk mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh serta berperan dalam gerak refleks, denyut jantung, pengatur tekanan darah, pernafasan, menelan, muntah dan berisi pusat pengontrolan yang penting (Setiadi, 2007).

  1.3.2 Susunan Saraf Perifer Susunan saraf perifer atau susunan saraf tepi merupakan penghubung susunan saraf pusat dengan reseptor sensorik dan efektor motorik (otot dan kelenjar). Serabut saraf perifer berhubungan dengan otak dan korda spinalis. Serabut saraf perifer terdiri dari 12 pasang saraf cranial dan 31 pasang saraf spinal. Setiap saraf spinal adalah gabungan dari serabut motorik somatik, sensorik somatik dan otonom. Sistem saraf tepi dibagi menjadi dua berdasarkan cara kerjanya, yaitu:

  a. Susunan Saraf Somatik Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensoris dari tubuh. Indra somatik dapat digolongkan menjadi tiga jenis: indra somatik mekanoreseptif, yang dirangsang oleh pemindahan mekanisme sejumlah jaringan tubuh meliputi indra raba, tekanan, tekanan yang menentukan posisi relatif, dan kecepatan gerakan berbagai bagian tubuh; indra termoreseptor, mendeteksi panas dan dingin; dan indra nyeri, digiatkan oleh faktor apa saja yang merusak jaringan, perasaan kompleks karena menyertakan sensasi perasaan dan emosi (Syaifuddin, 2011).

  b. Susunan Saraf Otonom Saraf yang mempersarafi alat-alat dalam tubuh seperti kelenjar, pembuluh darah, paru, lambung, usus dan ginjal. Ada dua jenis saraf otonom yang fungsinya saling bertentangan, kedua susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan saraf parasimpatis.

  1) Saraf Simpatis Saraf simpatis terletak di dalam kornu lateralis medula spinalis servikal VIII sampai lumbal I. Sistem saraf simpatis berfungsi membantu proses kedaruratan. Stres fisik maupun emosional akan menyebabkan peningkatan impuls simpatis. Tubuh siap untuk berespon fight or flight jika ada ancaman. Pelepasan simpatis yang meningkat sama seperti ketika tubuh disuntikkan adrenalin. Oleh karena itu, stadium sistem saraf adrenergik kadang-kadang dipakai jika menunjukkan kondisi seperti pada sistem saraf simpatis (Batticaca, 2008).

  2) Saraf Parasimpatis Fungsi saraf parasimpatis adalah sebagai pengontrol dominan untuk kebanyakan efektor visceral dalam waktu lama. Selama keadaan diam, kondisi tanpa stres, impuls dari serabut-serabut parasimpatis (kolenergik) menonjol. Serabut-serabut sistem parasimpatis terletak di dua area, yaitu batang otak dan segmen spinal di bawah L2. Karena lokasi serabut-serabut tersebut, saraf parasimpatis menghubungkan area kraniosakral, sedangkan saraf simpatis menghubungkan area torakalumbal dari sistem saraf autonom. Parasimpatis kranial muncul dari mesenfalon dan medula oblongata. Serabut dari sel-sel pada mesenfalon berjalan dengan saraf okulomotorius ketiga menuju ganglia siliaris, yang memiliki serabut postganglion yang berhubungan dengan sistem simpatis lain yang mengontrol bagian posisi yang berlawanan dengan mempertahankan kesimbangan antara keduanya pada satu waktu (Batticaca, 2008).

  1.4 Gangguan Fungsi Saraf

  a. Tumor otak Tumor otak merupakan lesi yang terletak pada intrakranial yang menempati ruang didalam tengkorak. Tumor otak menunjukkan manifestasi klinis yang tersebar bila tumor ini menyebabkan peningkatan tekanan intracranial serta tanda dan gejala lokal sebagai akibat dari tumor yang menggangu bagian spesifik dari otak. Gejala-gejala yang biasanya banyak terjadi akibat tekanan ini adalah sakit kepala, muntah, papiledema, perubahan kepribadian dan adanya variasi penurunan fokal motorik, sensori dan disfungsi saraf cranial (Smeltzer & Bare, 2002).

  b. Meningitis Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medulla spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur. Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan tekanan intrakranial, saktit kepala dan demam, perubahan pada tingkat kesadaran, iritasi meningen, kejang, adanya ruam dan infeksi fulminating (Smeltzer & Bare, 2002). c. Aneurisma Intrakranial Aneurisma intracranial (serebral) adalah dilatasi dinding arteri serebral yang berkembang sebagai hasil dari kelemahan dinding arteri. Pecahnya aneurisma selalu terjadi tiba-tiba, tidak selalu disertai dengan sakit kepala yang berat dan sering kehilangan kesadaran untuk periode yang bervariasi. Mungkin ada nyeri dan kaku leher bagian belakang dan medula spinalis akibat adanya iritasi meningen (Smeltzer & Bare, 2002).

  d. Sklerosis Multipel Sklerosis multiple (SM) merupakan keadaan kronis, penyakit sistem saraf pusat degenerative dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis. Tanda dan gejala SM bervariasi dan banyak, gejala primer paling banyak dilaporkan berupa kelelahan, lemah, kebas, kesukaran koordinasi dan kehilangan keseimbangan. Gangguan penglihatan akibat adanya lesi pada saraf optik atau penghubungnya dapat mencakup penglihatan kabur, diplopia, kebutaan parsial dan kebutaan total (Smeltzer & Bare, 2002).

  e. Penyakit Parkinson Penyakit Parkinson adalah gangguan neurologic progresif yang mengenai pusat otak yang bertanggung jawab untuk mengontrol dan mengatur gerakan. Manifestasi utama penyakit Parkinson adalah gangguan gerakan, kaku otot, tremor menyeluruh, kelemahan otot, dan hilangnya refleks postural. Pasien mempunyai kesukaran dalam memulai, mempertahankan, dam membentuk aktivitas motorik dan pengalaman lambat dalam menghasilkan aktivitas normal (Smeltzer & Bare, 2002). f. Penyakit Alzhaimer Penyakit alzhaimer atau demensial senile merupakan penyakit kronik, progresif dan merupakan gangguan degenerative otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri (Smeltzer & Bare, 2002).

  g. Cedera Kepala Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan olah raga dan luka pada persalinan (Tarwoto, 2007).

  h. Cedera Medula Spinalis Trauma pada medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara menadadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia. Cedera tulang belakang selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera klien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung (Batticaca, 2008). i. Stroke

  Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008). Manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral. Pada stroke akut gejala klinis meliputi: kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah yang timbul mendadak, gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan, penurunan kesadaran, afasia (kesulitan bicara), disatria (bicara cadel atau pelo), gangguan penglihatan, diplopia, ataksia, verigo, mual, muntah dan nyeri kepala (Tarwoto, 2007). j. Sindrom Guillain Barre

  Sindrom Guillain Barre merupakan sindrom klinis yang ditunjukkan oleh onset waktu akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial.

  Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenerasi selaput myelin dari saraf perifer dan kranial (Batticaca, 2008). k. Bell’s Palsy

  Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non- supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemia vascular, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun atau kombinasi semua faktor (Batticaca, 2008).

  2.1 Pengertian Imobilisasi

  North American Nursing Diagnosa Association (NANDA)

  mendefinisikan imobilisasi sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik.

  Dalam hubungannya dengan perawatan pasien, maka immobilisasi adalah keadaan dimana pasien berbaring lama ditempat tidur, tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktifitas). Immobilisasi pada pasien tersebut dapat disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, trauma, fraktur pada ekstremitas atau menderita kecacatan (Asmadi, 2008).

  Immobilisasi merupakan suatu keadaan dimana penderita harus istirahat ditempat tidur, tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada alat/organ tubuh yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak/tirah baring yang terus-menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Mubarak, 2008).

  2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imobilisasi Menurut Tarwoto dan Wartonah (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya pergerakan atau immobilisasi adalah sebagi berikut : a. Gangguan muskuloskletal

  Gangguan pada muskuloskletal biasanya dipengaruhi oleh beberapa keadaan tertentu yang menggangu pergerakan tubuh seseorang misalnya; osteoporosis, atrofi, kontraktur, kekakuan sendi dan sakit sendi.

  b. Gangguan kardiovaskuler Beberapa kasus kardiovaskuler yang dapat berpengaruh terhadap mobilitas fisik seseorang antara lain postural hipotensi, vasodilatasi, peningkatan valsalva maneuver. c. Gangguan sistem pernapasan Beberapa keadaan gangguan respirasi yang dapat berpengaruh terhadap mobilitas seseorang antara lain penurunan gerak pernapasan, bertambahnya sekresi paru, atelektasis dan hipostatis pneumonia.

  2.3 Efek dari Imobilisasi Potter & Perry (2005) menyatakan ada beberapa akibat yang ditimbulkan oleh keadaan imobilisasi fisik antara lain:

  1. Pengaruh Fisiologi Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami. Misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi lansia berpenyakit kronik lebih cepat dibandingkan klien yang lebih muda.

  2. Perubahan Metabolik Imobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada klien imobilisasi mengalami peningkatan BMR diakibatkan karena demam atau peyembuhan luka.

  3. Perubahan Sistem Respiratori Klien imobilisasi berisiko tinggi mengalami komplikasi paru-paru.

  Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia upenurunan sebanding kemampuan klien untuk batuk produktif. Sehingga penyebaran mukus dalam bronkus meningkat, terutama pada klien dalam posisi telentang, telungkup, atau lateral. Mukus menumpuk di regio yang dependen di saluran pernapasan. Karena mukus merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, maka terjadi bronkopneumonia hipostatik.

  4. Perubahan Sistem Kardiovaskuler Sistem kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh imobilisasi. Ada tiga perubahan utama yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan pembentukan thrombus.

  5. Perubahan Sistem Muskuloskeletal Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan masa otot, atrofi, dan penurunan stabilisas. Penurunan masa otot akibat dari kecepatan metabolisme yang turun dan kurangnya aktivitas sehingga mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot sampai akhirnya memburuknya koordinasi pergerakan. Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sistem skeletal adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi. Akibat pemecahan protein, klien mengalami kehilangan massa tubuh, yang membentuk sebagian otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Jika immobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan masa berkelanjutan.

  Penurunan mobilisasi dan gerakan mengakibatkan kerusakan muskuloskeletal yang besar, yang perubahan patofisiologi utamanya adalah atrofi.

  Immobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet yaitu gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena immobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis. Immobilisasi dan aktivitas yang terjadi tidak menyangga tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi tulang juga menyebabkan kalsium terlepas kedalam darah, sehingga mengakibatkan terjadinya hiperkalsemia. Immobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi. Kontraktur sendi adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak dugunakanya, atrofi, dan pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak dengan penuh. Kontraktur menjadikan sendi pada posisi yang tidak berfungsi.

  6. Perubahan Sistem Integumen Kerusakan integritas kulit mempunyai dampak yang bermakna pada tingkat kesejahteraan, asuhan keperawatan, dan lamanya perawatan dirumah sakit.

  Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenic paling umum dalam perawatan kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khusus lansia dan yang imobilisasi. Dekubitus terjadi akibat iskemia dan anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan kontriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga respirasi seluler terganggu, dan sel menjadi mati.

  7. Perubahan Eliminasi Urine Eliminasi urin klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan ureter membentuk garis datar. Ginjal yang membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan atau ginjal.

  8. Pengaruh Psikososial Imobilisasi menyebabkan respons emosional, intelektual, sensori, dan sosiokultural. Perubahan status emosional biasa terjadi bertahap. Perubahan emosional paling umum adalah depresi, perubahan perilaku, perubahan siklus tidur-bangun, dan gangguan koping.

  3.1 Rentang Gerak Menurut Potter & Perry (2006) rentang gerak merupakan jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh: sagital, frontal dan transversal. Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke belakang membagi tubuh menjadi kiri dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan dan belakang. Potongan transversal adalah garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah.

  Untuk menjamin keadekuatan gerakan sendi atau mobilisasi sendi maka perawat dapat mengajarkan klien latihan ROM. Apabila klien tidak mempunyai kontrol motorik volunter maka perawat melakukan latihan gerak pasif (Potter & Perry, 2006).

  Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan oleh sendi (Potter & Perry, 2006) antara lain adalah: a. Fleksi: menggerakkan sendi kearah pengurangan sudut sendi, misalnya menekuk siku b. Ekstensi: menggerakkan sendi kearah peningkatan sudut sendi, misalnya meluruskan tangan c. Hiperekstensi: ekstensi maksimal atau meluruskan sendi, misalnya menekuk kepala ke belakang d. Adduksi: gerakan tulang mendekati garis tengah tubuh

  e. Abduksi: gerakan tulang menjauhi garis tengah tubuh

  f. Rotasi: menggerakkan sendi mengelilingi pusat sumbu

  g. Sirkumduksi: menggerakkan bagian distal tulang atau sendi dalam lingkaran ketika akhir proksimal tetap terfiksasi h. Eversi: menggerakkan telapak kaki keluar dengan cara menggerakkan sendi pergelangan kaki i. Inversi: menggerakkan telapak kaki kedalam dengan cara menggerakkan sendi pergelangan kaki j. Pronasi: menggerakkan lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap kebawah k. Supinasi: menggerakkan lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap keatas l. Protaksi: menggerakkan bagian tubuh kedepan pada bidang yang sama, paralel dengan dasar m. Retraksi: menggerakkan bagian tubuh kebelakang pada bidang yang sama, paralel dengan dasar

  Gerakan yang dilakukan oleh sendi berbeda untuk setiap potongan tubuh. Gerakan fleksi dan ekstensi pada jari tangan dan siku serta gerakan hiperekstensi pada pinggul merupakan rentang gerak pada potongan sagital. Pada potongan frontal gerakannya adalah abduksi dan adduksi pada lengan dan tungkai, eversi dan inversi pada kaki. Sedangkan pada potongan transversal gerakannya adalah pronasi dan supinasi pada tangan, rotasi internal dan eksternal pada lutut serta dorsofleksi dan plantar fleksi pada kaki. Selain gerakan yang berbeda, setiap sendi juga mempunyai rentang gerak maksimal yang dapat dicapai saat ia melakukan aktifitasnya (Potter & Perry, 2006). Contoh gerakan sendi dan luas rentang gerak yang dapat dicapai oleh masing-masing sendi dijelaskan pada tabel 2.1. berikut ini: NO NAMA SENDI TIPE GERAKAN RENTANG GERAK (°)

  1 Leher Fleksi

  Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi

  30

  90

  90

  Ekstensi Abduksi Adduksi

  7 Ibu jari Fleksi

  30

  30

  90 30-60

  90

  Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi

  6 Jari tangan Fleksi

  80-90 80-90 89-90 Sampai 30 30-50

  5 Pergelangan tangan Fleksi

  Ekstensi Hiperekstensi Fleksi lateral Rotasi

  Pronasi 70-90 70-90

  4 Lengan bawah Supinasi

  Ekstensi 150 150

  3 Siku Fleksi

  90 360

  90

  180 180 45-60 180 320

  Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi Rotasi dalam Rotasi luar Sirkumduksi

  2 Bahu Fleksi

  10 40-45 180

  45

  45

  30

  8 Pinggul Fleksi

  Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi Rotasi dalam Rotasi luar

  90-120 10-15 30-50 30-50 30-50

  90

  90

  9 Lutut Fleksi

  Ekstensi 120-130 0-15

  10 Pergelangan kaki Dorsifleksi

  Plantarfleksi 20-30 45-50

  11 Jari kaki Fleksi

  Ekstensi Abduksi Adduksi

  30-60 30-60 15 atau kurang 15 atau kurang

  3.1.2 Rentang Gerak Pasif Rentang gerak pasif adalah gerakan yang dicapai seseorang dengan bantuan pemeriksa. Pengujian ROM pasif memberikan pemeriksa informasi tentang integritas permukaan sendi, kapsul sendi dan ligamen yang terkait, otot, fasia dan kulit. Tidak seperti ROM aktif, ROM pasif tidak tergantung pada kekuatan dan kordinasi otot seseorang. Jika rasa nyeri terjadi selama ROM pasif, sering disebabkan oleh karena bergerak, peregangan struktur kontraktil serta struktur nonkontraktil (Norkin & White, 2009).

  a. Hipomobilitas Hipomobilitas adalah penurunan ROM pasif yang substansial kurang dari nilai normal. Keterbatasan dalam ROM mungkin karena berbagai penyebab termasuk kelainan permukaan sendi, pemendekan pasif kapsul sendi, ligamen, otot, fasia, dan kulit; dan radang struktur. Hipomobilitas dikaitkan dengan banyak kondisi ortopedi seperti osteoarthritis, arthritis, dan gangguan tulang belakang. Penurunan ROM merupakan konsekuensi umum dari imobilisasi setelah patah tulang dan pengembangan bekas luka setelah luka bakar. kondisi neurologis seperti stroke, trauma kepala, cerebral palsy, dan sindrom nyeri regional kompleks dapat juga mengakibatkan hipomobilitas karena hilangnya gerakan volunter, otot meningkat, immobilisasi, dan nyeri. Disamping itu, kondisi metabolik seperti diabetes juga dikaitkan dengan keterbatasan gerakan sendi (Norkin & White, 2009). b. Hipermobilitas Hipermobilitas yaitu peningkatan ROM yang melebihi nilai normal.

  Misalnya, pada orang dewasa ROM normal untuk ekstensi pada sendi siku adalah sekitar 0 derajat. Pengukuran ROM dari 30 derajat atau lebih ekstensi pada siku adalah baik diluar ROM normal dan merupakan indikasi dari hipermobilitas pada orang dewasa. Pada anak-anak biasanya terjadi beberapa kasus spesifik meningkatnya ROM dibandingkan dengan orang dewasa. Peningkatan gerak yang terjadi pada anak-anak ini adalah normal untuk usia mereka. Jika peningkatan gerak bertahan di luar rentang usia yang diharapkan, itu akan dianggap abnormal dan terjadi hipermobilitas. Hipermobilitas ini disebabkan oleh kelemahan dari struktur jaringan lunak seperti ligamen, kapsul, dan otot-otot yang biasanya mencegah gerakan berlebihan pada sendi. Dalam beberapa kasus hipermobilitas mungkin karena kelainan permukaan sendi. Penyebab yang paling sering adalah trauma sendi. Hipermobilitas juga terjadi pada gangguan herediter yang serius dari jaringan ikat seperti sindrom Ehlers-Danlos, Marfan Sindroma, penyakit rematik, dan osteogenesis imperfecta. Salah satu kelainan fisik khas sindrom down hipermobilitas. Dalam hal ini umum hipotonia diduga menjadi faktor penting untuk hipermobilitas tersebut (Norkin & White, 2009).

Dokumen yang terkait

Analisis Perhitungan Daya Dukung Aksial Pondasi Tiang Bor Tunggal Diameter 0,6 Meter Menggunakan Data Sondir, SPT, Uji Beban Statik, dan PDA pada Proyek Pembangunan Hotel Sapadia Medan

1 2 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Umum - Analisis Perhitungan Daya Dukung Aksial Pondasi Tiang Bor Tunggal Diameter 0,6 Meter Menggunakan Data Sondir, SPT, Uji Beban Statik, dan PDA pada Proyek Pembangunan Hotel Sapadia Medan

0 4 68

BAB II TINJAU AN PUST AK A 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Bank 2.1.1.1 Pengertian Bank - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penahanan Aset Likuid Sebagai Dasar Penerapan BASEL III Pada Sektor Perbankan

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penahanan Aset Likuid Sebagai Dasar Penerapan BASEL III Pada Sektor Perbankan

0 0 9

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penahanan Aset Likuid Sebagai Dasar Penerapan BASEL III Pada Sektor Perbankan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Merek (Brand) 2.1.1 Pengertian Merek (Brand) - Pengaruh Brand Association Terhdap Customer Responses pada Produk Pond’S di Carrefour Citra Garden Medan

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Brand Association Terhdap Customer Responses pada Produk Pond’S di Carrefour Citra Garden Medan

0 1 11

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara Pendekatan Sosiosastra

1 1 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara Pendekatan Sosiosastra

0 3 9

Gambaran Rentang Gerak Sendi pada Ekstremitas Bawah Pasien Immobilisasi yang Mengalami Gangguan Sistem Saraf di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 16