Bimbingan Aqidah dalam berdagang

  

MAKALAH

BIMBINGAN AQIDAH DALAM BERDAGANG

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS

MATA KULIAH AQIDAH

SEMESTER II

OLEH

Dafitri Lesmaaaa

DOSEN PEMBIMBING Drsm. Busmitaai Jali, M.E.I

  

AL BADR ISLAMIC INSTITUTE

FAKULTAS SYARI’AH JURUSAN EKONOMI ISLAM

BANGKINANG

  

2004

  I. Pendahuluan

  Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi pembawa rahmat bagi dunia dan hujjah bagi seluruh manusia, Muhammad saw. Dialah nabi yang diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak dan penutup kenabian.

  Di satu sisi, perdagangan merupakan pekerjaan (profesi) mulia yang dianjurkan Islam. Nabi Muhammad saw. adalah figur pedagang yang profesional. Beliau pernah berdagang ke Musyaqor, Hijaz, Syiria, Yaman, Bahrain, Abisyina dan sebagainya. Rasulullah juga memberi motovasi kepada umat Islam untuk berdagang. Beliau pernah bersabda, “Berdaganglah kamu, sebab lebih dari sepuluh bagian penghidupan, sembilan di antaranya dihasilkan dari berdagang.” Dalam hadits lain disebutkan : ىذمرتلا هاور .

  ءادهشلاو نيقدصلاو نييبنلا عأ نيأملا قودصلا رجاتلا

  “Pedagang yang benar dan terpercaya bergabung dengan para nabi, orang-

  orang benar dan para syuhada.” HR Turmidzi

  Namun di sisi lain perdagangan merupakan profesi terkutuk yang akan mengantarkan seseorang ke neraka. Rasulullah saw. mengingatkan ketika beliau keluar rumah dan melihat komunitas manusia sedang berjual beli. Beliau berseru, “Wahai para pedagang!” Pandangan segenap pedagang pun segera terarah kepada beliau. Nabi melanjutkan, “Sesungguhnya para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka kecuali orang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan benar.” HR Turmidzi, hadits hasan shohih.

  Dua gambaran yang kontradiktif ini dipengaruhi oleh aqidah. Aqidah yang kuat, keyakinan yang benar mengenai kalimat tauhid ‘laailahaillallah’ akan melahirkan akhlak dan etika yang mulia dalam berdagang yang akan menyelamatkan pedagang dari azab Allah. Tanpa aqidah yang benar sistem perdagangan akan dipenuhi dengan kecurangan dan kezholiman.

  II. Aqidah Azas Utama Dalam Berdagang

  Aqidah merupakan dasar keseluruhan tatanan kehidupan dalam Islam, termasuk tatanan ekonomi. Perdagangan merupakan bagian dari ekonomi. Dengan demikian aqidah menjadi dasar utama dalam perdagangan.

  Percaya kepada Allah yang Maha Melihat segala sesuatu, yakin akan adanya hari pembalasan, percaya adanya malaikat yang mengawas dan mencatat perbuatan manusia, akan menjadi motivator dan pengontrol untuk berakhlak dan beretika mulia dalam berdagang dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Hadirnya Allah dalam imajinasi seorang pedagang sudah cukup baginya sebagai pengawas. Ia tidak rela secuil makanan yang haram masuk ke dalam mulutnya karena ia takut akan ancaman Allah.

  Imanlah yang membuat pedagang mempunyai akal untuk melihat diri, harta dan kehidupan ini tidak dengan kacamata kapitalis. Imanlah yang membuat mereka tidak hanya berfikir kebendaan dan tidak hanya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Imanlah yang membuat mereka tidak ingin berlaku curang dan zholim.

  Dalil-dalil yang berkenaan dengan hal di atas :

  4 : ديدحلا .ريصب نولمعت امب هللاو متنك اأ نيأ مكعأ وهو “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

  هيدل لإ لوق نأ ظفلي اأ .ديعق لامشلا نعو نيميلا نع نيقلتملا ىقلتي دإ .ديتع بيقر “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di

sebelah kanannya dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang

diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” QS.

  Qof : 17-18.

  .هب ىلوأ رانلاف مارح نأ تبن محل لك

  “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka itu lebih utama dengannya.” HR. Turmidzi dari Ka’ab bin Ujroh.

  III. Dampak Berdagang Tanpa Aqidah

  Perdagangan yang jauh dari nilai aqidah bisa kita lihat dalam perdagangan sistem kapitalis. Boleh dikatakan, pasar di dalam sistem kapitalis 100% bebas. Yang menentukan segala sesuatu adalah konglomerat dan pemilik modal, yang sama sekali terlepas dari etika dan moral agama. Prinsip mereka adalah meraih laba sebanyak mungkin dalam tempo sesingkat-singkatnya. Mereka melakukan penimbunan barang, dengan tujuan menaikkan harga berlipat ganda karena persediaan barang hanya sedikit sedangkan kebutuhan konsumen sangat besar dan mendesak. Paham kapitalis ini kadang-kadang dilaksanakan per individu, kadang-kadang oleh kelompok.

  Terkadang juga mereka memanipulasi timbangan untuk mendapat keuntungan yang besar. Jika menjadi pembeli seorang kapitalis menggunakan neraca yang benar. Namun jika ia menjual ia tak segan-segan mengurangi timbangan. Atau terkadang kaum kapitalis mengurangi berat bersih sehingga harganya terlihat lebih murah dan di bawah standar. Barang yang harganya Rp 10.000,/Kg bisa dijual Rp 8000,-/Kg dengan mengurangi timbangannya tanpa diketahui oleh pembeli.

  Di sisi lain, ada pula pedagang yang menutup-nutupi cacat barang dagangannya sehingga para pembeli terkecoh oleh bentuk indah suatu barang tanpa mengetahui kelemahannya. Setelah sampai di rumah, barulah ia mengeluarkan sumpah serapah atas ketidakjujuran penjual.

  IV. Etika Berdagang Menurut Islam

  Pada dasarnya Islam menganut prinsip kebebasan terikat, yaitu kebebasan berdasarkan keadilan, undang-undang agama dan etika. Di dalam peraturan perdagangan Islami terdapat norma, etika agama dan perikemanusiaan yang menjadi landasan pokok bagi pasar Islam yang bersih. Di antara norma itu adalah :

  A. Tidak menjual barang yang dilarang menjualnya menurut syari’at, yaitu :

   Barang yang haram zatnya menurut Al-Qur’an dan Sunnah, seperti Khamr, morfin, ganja, bangkai, dan sebagainya. Rasulullah saw. bersabda :

  “Allah melaknat khamr (minumana keras), peminumnya, penyajinya, penjualnya, penyulingnya, pembawanya dan pemakan hartanya.” HR

  Jamaah dari Jabir.  Barang yang mengancam kesehatan manusia. Memang tidak ada nash yang secara khusus melarang hal ini, tapi syari’at melarang lewat prinsip ‘la darara wa la dirara’ . Contoh komoditi ini adalah segala jenis makanan dan minuman yang kadaluwarsa, segala jenis obat yang merusak tubuh, bahan kimia yang membahayakan dan segala yang terlarang untuk dimakan dan diminum.

   Media informasi yang mempromosikan ide-ide rusak, hiburan yang berdampak negatif, buku-buku porno dan apa saja yang mengikis aqidah dan etika umat manusia. Media informasi lebih berbahaya daripada makanan yang rusak, minuman yang tercemar. Sebab, yang terakhir ini hanya merusak anggota badan, sedangkan media informasi merusak jiwa dan akal pikiran manusia. Media informasi adalah pengantar menuju kerusakan badan, dialah yang membuka jalan bagi generasi muda menuju perbuatan menghisap narkotika.  Tidak menjual barang yang syubhat (meragukan). Dalam hal menjauhi syubhat, hendaknya seseorang selalu berkonsultasi dengan hati kecilnya. Jika ditemukan perasaan sakit dan tidak enak di dalam hati, sebaiknya dijauhkan dan ditinggalkan. Jika datang barang dagangan, tanyakanlah asal-usulnya. Idealnya, pedagang bertanya dalam hati, dengan siapa ia melakukan transaksi? Mitra kerja yang terlibat dalam perbuatan zhalim, khianat, pencurian, riba sebaiknya ditinggalkan dan jangan diajak transaksi termasuk kawan-kawan dan pembantu mereka.

  B. Bersikap benar, jujur dan menepati amanah Benar adalah ruh keimanan, ciri utama orang mukmin, bahkan ciri para nabi. Tanpa kenbenaran, agama tidak akan tegak dan stabil. Sebaliknya, bohong adalah bagian daripada sikap orang munafik. Bencana terbesar dalam pasar saat ini adalah meluasnya tindakan dusta dan batil, misalnya berbohong dalam mempromosikan barang dan menetapkan harga. Rasulullah saw. bersabda :

  “Penjual dan pembeli bebas memilih selama belum putus transaksi. Jika

keduanya bersikap benar dan mau menjelaskan kekurangan barang yang

diperdagangkan maka keduanya mendapat berkah dari jual belinya. Namun,

jika keduanya saling menutupi aib barang dagangan itu dan berbohong, maka

jika mereka mendapat laba, hilanglah berkah jual-beli itu.” HR Muttafaqun

‘alaih dari Hakim bin Hazm.

  Dalam berdagang dikenal istilah “menjual dengan amanat” seperti menjual murobahah. Maksudnya penjual menjelaskan ciri-ciri, kualitas dan harga barang dagangan kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Di samping itu seorang pedagang juga harus berlaku jujur, dilandasi keinginan agar orang lain mendapat kebaikan dan kebahagiaan sebagaimana ia menginginkannya dengan cara menjelaskan cacat barang dagangan yang ia ketahui dan yang tidak terlihat oleh pembeli.

  Lawan dari sifat di atas adalah menipu (curang), yaitu menonjolkan keunggulan barang tetapi menyembunyikan cacatnya. Masyarakat umum sering tertipu oleh perlakuan para pedagang seperti ini. Mereka mengira suatu barang itu baik kualitasnya, namun ternyata sebaliknya.

  Sifat menipu ini sangat dikecam oleh nabi. Ketika beliau melewati pedagang makanan, beliau memasukkan tangan ke dalam makanan kering yang dijual seseorang. Ternyata, di antara makanan kering itu terdapat makanan basah. Beliau bertanya, “Apakah ini wahai penjual makanan?” Ia berkata, “Makanan basah yang terkena hujan.” Nabi bersabda, “ Mengapa tidak kamu letakkan di atas agar terlihat oleh orang? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan dari golongan kami.”

  C. Bersikap adil dan dilarang riba Menurut Islam, adil merupakan norma paling utama dalam seluruh aspek perekonomian. Allah sangat menyukai orang yang bersikap adil dan sangat memusuhi kezaliman, bahkan melaknatnya : “Ingatlah, kutukan Allah

  

(ditimpakan) atas orang-orang yang zalim”. QS Hud : 18. oleh sebab itu, Islam

  mencegah bai’ul gharar (penjualan sesuatu yang tidak jelas rupa dan sifatnya), karena ketidaktahuan terhadap kondisi suatu barang itu merugikan satu pihak dan bisa menimbulkan tindakan zalim.

  Demikian pula dilarang muamalah yang di dalamnya terdapat unsur penipuan dan bai’ul mudthar (terpaksa menjual karena terhimpit utang atau tertimpa musibah).

  Di antara tanda keadilan adalah haramnya bermuamalah dengan riba. Ini karena dalam riba terdapat unsur kezaliman pada dua belah pihak. Maka dengan dihapuskannya riba, kezaliman itu hilang.

  Termasuk juga cerminan keadilan adalah menyempurnakan takaran dan timbangan. Inilah yang sering diulang dalam al-Qur’an. “Dan sempurnakanlah

  

takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar, itulah

lebih utama bagimu dan baik akibatnya.” QS Al-Isra’ : 35.

  D. Mempersiapkan bekal untuk akhirat

  1. Meluruskan niat Niat yang baik dan akidah yang suci merupakan langkah pertama dalam berdagang. Berniatlah bahwa kita berdagang untuk menjauhkan diri dari tindakan mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Kita menetapkan niat bahwa dengan berdagang, kita mendapatkan uang halal. Dengan berdagang kita terjauh dari mencari harta dengan cara haram seperti mencuri, dan bisa menegakkan agama dan membiayai keluarga.

  2. Selalu mengingat Allah dalam kondisi apapun. Salah satu moral yang juga tak boleh dilupakan ialah, meskipun seorang muslim telah meraih keuntungan jutaan rupiah lewat perdagangan dan transaksi, ia tidak lupa kepada Tuhannya. Ia tidak lupa menegakkan syari’at agama, terutama sholat yang merupakan hubungan abadi antara manusia dengan Tuhannya. Allah SWT berfirman :

  “Bertasbih kepada Allah di mesjid-mesjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh

  jual beli dari mengingat Allah, mendirikan sholat dan membayar zakat. Mereka takut suatu hari yang (dihari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”QS. Al-Isra’ : 36-37.

  Sebagian besar aib para pedagang adalah hanyut dalam komoditi, angka dan laba. Hampir-hampir mereka tidak pernah ingat akan keberadaan Allah, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya atau mengingat akhirat. Mereka juga melupakan pertanggungjawaban di akhirat, ganjarannya, siksaannya, syurga dan neraka.

  3. Memperhatikan pasar akhirat dan terus berzikir.

  Jangan sampai pasar dunia melalaikan kita dari pasar akhirat. Pasar akhirat adalah mesjid. Seyogyanya, waktu luang antara pagi hari sampai menjelang dibukanya kedai digunakan untuk mengingat Allah dan akhirat, baik dengan cara berdzikir, bertasbih dan bertahmid di mesjid. Umar bin Khattab berkata, “Jadikanlah awal siangmu untuk akhirat dan setelahnya untuk dunia.” Pada siang hari, tepatnya pada saat azan zhuhur dan ashar dikumandangkan, sebaiknya pedagang jangan tetap dalam pekerjaannya (tidak menutup kedai), tapi bergegas ke mesjid. Hendaknya ia melaksanakan kegiatan tersebut dengan tertib dan teratur. Dalam hal ini, menurut sebagian ulama, merupakan perbuatan maksiat jika tidak sholat berjamaah. Mengingat Allah (berdzikir) tidak hanya pada waktu sholat saja, tapi juga pada saat bekerja. Mengingat Allah di pasar lebih baik daripada membuang waktu begitu saja. Hasan bin Ali r.a mengungkapkan, “Manusia yang mengingat Allah di pasar pada hari kiamat akan datang dengan cahaya bulan dan terangnya sinar matahari. Barangsiapa istighfar di pasar, Allah akan mengampuninya sejumlah banyaknya orang di pasar.” Demikianlah idealnya pedagang yang mencari rezeki untuk bisa hidup di dunia secara cukup, bukan untuk mencari kemewahan di alam fana. Para pedagang yang menjadikan dunia sekedar sarana akhirat tidak mungkin lupa akan laba akhirat. Mereka menjadikan pasar, rumah dan mesjid tempat mengingat Allah. Nabi bersabda, “Takutlahlah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada.”HR Turmidzi.

  

Maraji’

  • Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depertemen Agama RI, Toha Putra Semarang, 1989.

  Al-Qordhawi, Dr. Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Terj. Zainal Arifin, dkk.

  Gema Insani Press, 1421 H / 2000 M. Al-Faruqi, Isma’il Raji’. Tauhid. Terj. Rahmani Astuti, Penerbit Pustaka, Bandung, 1416 H / 1995 M.

  Afzalurrahman. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. Terj. Dewi Nurjulianti, dkk. Yayasan Swarna Bhumy, 1997.