BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Alih Kode dan Campur Kode dalam Interaksi Belajar- mengajar di SD Negeri 175780 Aeknauli Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

  Penelitian tentang kebahasaan, terutama yang berkaitan dengan penelitian penggunaan alih kode dan campur kode sudah sering dilakukan oleh peneliti- peneliti sebelumnya. Sebagai bahan perbandingan, penelitian-penelitian tersebut memberikan arahan yang cukup berarti dalam proses penelitian ini.

  Suatu karya ilmiah haruslah disusun secara objektif digunakan sumber- sumber yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, baik berupa buku-buku acuan yang relevan maupun dengan pemahaman-pemahaman teoritis dan pemaparan yang berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari lapangan.

  Dalam penelitian ini penulis mengacu kepada buku “Kajian Sosiolinguistik, Ihwal Kode dan Alih Kode”, yang diterbitkan Ghalia Indonesia, karangan R.Kunjana Rahardi dan buku “Sosiolinguistik” karangan Abdul Chaer dan Agustina.

  Berkaitan dengan judul skripsi ini penulis akan menguraikan beberapa defenisi dari para ilmuwan tentang alih kode dan campur kode sebagai berikut.

  Appel dalam Chaer dan Leonie Agustina (2004:107) mengatakan, “Alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”.

  Hymes dalam Chaer dan Leonie Agustina (2004:107) mengatakan, “Alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam- ragam atau gaya-gaya ya ng terdapat dalam suatu bahasa.”

  Nababan (1984:32), “Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa

  (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu yang menuntut pencampuran bahasa itu.

  ” Fasold dalam Chaer dan Agustina (2004:115) mengatakan,

  “Campur kode yaitu kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode.”

  Selanjutnya, Widya (2012) berjudul “Alih Kode dan Campur Kode pada

  Masyarakat Melayu di Desa Pantai Cermin Kanan Kecamatan Pantai Cer min” menyatakan bahwa faktor yang menjadi penentu pada penelitian alih kode dan campur kode masyarakat Melayu di Desa Pantai Cermin Kanan Kecamatan Pantai Cermin ini, khususnya untuk penelitian alih kode ditentukan karena adanya pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur hadirnya orang ketiga, perubahan situasi dari formal ke informal maupun sebaliknya dan perubahan topik pembicaraan. Sedangkan untuk penelitian peristiwa campur kode peneliti menemukan tiga macam campur kode dalam kategori sintaksis yaitu bentuk kata, frasa dan klausa, faktor utama yang mengakibatkan terjadinya peristiwa campur kode pada masyarakat Melayu di Desa Pantai Cermin Kanan Kecamatan Pantai Cermin yang pertama adalah keterbatasan si penutur dalam mempergunakan suatu bahasa sehingga penutur bercampur bahasa pada saat berkomunikasi dengan lawan tuturnya, kedua, keterbiasaan si penutur yang menyelipkan atau membuat serpihan-serpihan bahasa lain ke dalam bahasanya baik secara sadar maupun tanpa sadar. Lingkungan sosial yang menjadi penetu terjadinya peristiwa alih kode dan campur kode pada masyarakat Melayu di Desa Pantai Cermin Kanan Kecamatan Pantai Cermin adalah lingkungan keluarga dan juga di pasar tradisional yaitu pada transaksi jual beli.

  Selanjutnya, Eko Mandala Putra (2012 ) berjudul “Analisis Campur Kode da lam Ceramah Y.M. Bhikhu Uttamo”, menyimpulkan bahwa : 1.

  Bentuk campur kode (code mixing) dalam ceramah Y.M. Bhikkhu Uttamo yakni berupa kata, frasa serta klausa.

  2. Jenis campur kode (code mixing) yang terdapat dalam ceramah Y.M. Bhikkhu Uttamo merupakan campur kode ke luar (outer code-mixing), karena bahasa yangg dicampurkan dalam ceramahnya merupakan bahasa asing yakni bahasa Pali dan bahasa Inggris. Sedangkan campur kode ke dalam tidak ditemukan satu pun data dalam penelitian ini.

  3. Ada beberapa fungsi campur kode dalam ceramah Y.M. Bhikkhu Uttamo yakni sebagai perulangan, sebagai penyisip kalimat dan sebagai kutipan.

  4. Faktor penyebab terjadinya campur kode dalam ceramah Y.M. Bhikkhu Uttamo disebabkan oleh beberapa faktor yakni pertama, karena penutur sendiri dalam hal ini Y.M. Bhikkhu Uttamo dengan sengaja melakukan campur kode dalam ceramahnya guna meyakinkan pendengar tentang apa yang disampaikan. Selain itu juga karena Y.M. Bhikkhu Uttamo sebagai seorang rohaniawan Buddhis tentu sering membaca buku-buku Dhamma yang didalamya terdapat banyak istilah bahasa Pali sehingga hal ini pula penyebab dilakukannya campur kode. Kedua, karena kebiasaan penutur dalam menggunakan bahasa lain dalam ceramahnya. Hal ini dikarenakan beliau menguasai lebih dari satu bahasa, yakni bahasa Pali dan bahasa Inggris.

2.2 Landasan Teori

  Dalam penelitian ini dibutuhkan teori-teori yang dapat dijadikan acuan atau pedoman untuk mendukung penelitian ini.

  Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang peneliti dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arahan sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi peneliti.

  Teori yang digunakan mengacu kepada teori sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Fisman, Thelandler dalam Chaer dan Leoni Agustina dan juga teori sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Suwito.

2.2.1 Alih Kode

a) Pengertian Alih Kode

  Appel dalam Chaer dan Leonie Agustina (2004:107) mengatakan, “Alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”.

  Hymes dalam Chaer dan Leonie Agustina (2004:107) mengatakan “Alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam- ragam atau gaya- gaya yang terdapat dalam suatu bahasa”.

  Untuk menganalisis gejala alih kode ini mengacu pada teori Fishman dalam Chaer dan Agustina (2004:108), yaitu tentang siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa. Siapa berbicara yang dimaksud di sini ialah penutur yang melakukan tindakan pembicaraan, dengan bahasa apa maksudnya ialah bahasa apa yang dipergunakan oleh penutur tersebut pada saat si penutur tersebut melakukan pembicaraan, kepada siapa maksudnya ialah si penutur melakukan pembicaraannya dengan lawan tuturnya, dan terakhir dengan tujuan apa maksudnya ialah topik apakah yang dibicarakan pada saat percakapan itu berlangsung. Sedangkan menurut Lance dan Haugen (1978:33) mengemukakan bahwa kemudahan berbahasa penutur sebagai sumber terjadinya gejala alih kode pada waktu penutur berbicara dalam bahasa A, terseliplah ungkapan seperti kata, frase ataupun klausa dalam bahasa B begitu juga sebaliknya. Hal ini biasanya disebabkan oleh semata-mata karena penguasaan bahasa si penutur kurang sempurna. Bahasa apapun yang termudah karena terbiasa diucapkan itulah yang diujarkan.

  Alih kode (code switching) merupakan salah satu penggunaan wujud bahasa oleh seorang dwibahasawan, yaitu penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang dwibahasawan yang bertutur dengan cara memilih satu kode bahasa disesuaikan dengan keadaan (Hudson, 1996:51-53)

b) Faktor Penyebab Terjadinya Peristiwa Alih Kode

  Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan oleh Chaer (2004:108), yaitu : 1.

  Penutur Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakapan yang dilakukannya.

  Sebagai contoh, Bapak A setelah beberapa saat berbicara dengan Bapak B mengenai usul kenaikan pangkatnya baru tahu bahwa bapak B itu berasal dari daerah yang sama dengan dia, maka dengan maksud agar urusannya cepat beres dia melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerahnya. Andaikata Bapak B ikut terpancing untuk menggunakan bahasa daerah maka bisa diharapkan urusan menjadi lancar, namun jika Bapak B tidak terpengaruh dan tetap menggunakan bahasa Indonesia, bahasa resmi untuk kantor maka urusan mungkin tidak menjadi lancar, karena rasa kesamaan satu masyarakat tutur ingin dikondisikannya tidak berhasil, yang menyebabkan tidak adanya rasa keakraban. Di dalam kehidupan nyata sering kita jumpai banyak tamu kantor pemerintah yang sengaja menggunakan bahasa daerah dengan pejabat yang ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan satu masyarakat tutur. Dengan berbahasa daerah rasa keakraban lebih mudah dijalin daripada menggunakan bahasa Indonesia. Alih kode untuk memperoleh “keuntungan” ini biasanya dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan lawan tuturnya.

2. Lawan Tutur

  Dalam hal ini kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau sedikit kurang mengerti karena bahasa tersebut bukan bahasa pertamanya, jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.

  Umpamanya, Ani, pramuniaga sebuah toko cendramata, kedatangan tamu seorang turis asing, yang mengajak bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia.

  Ketika kemudian si turis tampaknya kehabisan kata-kata untuk terus berbicara dalam bahasa Indonesia, maka Ani cepat-cepat beralih kode untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, sehingga kemudian percakapan menjadi lancar kembali.

3. Kehadiran Orang Ketiga

  Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadi alih kode.

  Sebagai contoh, alih kode berikut dari bahasa Batak Toba ke bahasa Indonesia.

  Latar belakang : Kompleks sekolah di Doloksanggul Para pembicara : Ibu-ibu rumah tangga. Ibu S dan Ibu H orang Batak Toba, dan Ibu N orang Jawa yang tidak bisa berbahasa Batak

  Toba. Topik : Undangan pesta pernikahan Sebab alih kode : Kehadiraan Ibu N dalam peristiwa tutur Peristiwa tutur : Ibu S :

  “Nai H, ai dijou do ho tu ulaon ni anak ni si Horas i?” (Bu H, kamu diundang tidak ke pesta anak si Horas itu?) Ibu H : “Dijou, sama semalam kami diundang dengan ibu N ini,

  kan Bu? (Diundang, sama kami semalam diundang dengan

  Bu N ini, kan Bu) Ibu N

  : “Iya”(iya) Terlihat dari ilustrasi di atas, begitu pembicaraan kepada Ibu N alih kode pun langsung dilakukan dari bahasa Batak Toba ke bahasa Indonesia.

4. Perubahan Situasi Pembicaraan

  Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Sebagai contoh, ada beberapa orang mahasiswa sedang duduk-duduk di depan ruang kuliah sambil bercakap-cakap dalam bahasa Batak Toba. Tiba-tiba datang seorang ibu dosen dan turut berbicara, maka kini para mahasiswa itu beralih kode dengan menggunakan bahasa Indonesia. Peristiwa tutur : Mahasiswa A :

  “lae, mulak kulia tudia ho?” (Lae, pulang kuliah nanti kemana?).

  Mahasiswa B :

  “Naeng tu perpus jo.” (Mau ke perpus dulu).

  Mahasiswa A :

  “Sekalian jo lae, pinjam jo buku pengantar linguitik dah!”

  (Sekalin lah lae, pinjamkan dulu buku pengantar linguistik ya) Mahasiswa B :

  “Attong rap ma hita sonngoni.” (Sama lah kita kalau begitu).

  Mahasiswa A :

  “Adong karejokhu lae!” (Ada kerjaanku lae). Mahasiswa B :

  “Okelah.” (Baiklah).

  Tiba-tiba ibu dosen dan ikut dalam percakapan kedua mahasiswa tersebut. Dosen :

  “Apa yang sedang kalian bicarakan?”

  Mahasiswa :

  “Eh, tidak ada bu! Masalah kecil saja. ”

  Dosen :

  “Yaudah, tolong dulu ambilkan absen kita dari jurusan!”

  Mahasiswa :

  “Baik Bu.”

  Dosen :

  “Sekalian dengan infokus ya!”

  Mahasiswa :

  “Baik Bu.”

  Pada percakapan di atas dapat dilihat, sebelum kuliah dimulai situasinya adalah tidak formal, tetapi begitu kuliah dimulai yang berarti situasi menjadi formal, maka terjadilah peralihan kode. Tadinya digunakan bahasa Batak Toba lalu berubah menjadi bahasa Indonesia.

5. Perubahan Topik Pembicaraan

  Berubahnya topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode. Pembicaraan yang bersifat formal diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral, dan serius. Pembicaraan yang bersifat informal diungkapkan dengan ragam bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.

  Sebagai contoh, percakapan antara seorang sekretaris (S) dengan atasannya (A).

  S : “Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini?”

  A : “O, ya, sudah. Inilah!”

  S : “Terima kasih”

  A : “Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor sebelah.

  Saya sudah kenal dia, orangnya baik, banyak relasi, dan tidak banyak mencari untung. Saonari molo naeng maju do usahana ingkon barani do

  mambahen songoni

  (…Sekarang jika usahanya ingin maju harus berani bertindak demikian…) S :

  “Ingkon songoni do, Pak” (Memang begitu, Pak) A :

  “Songoni songon dia?” (Memang begitu bagaimana?) S :

  “Maksudna manang sadia pe modal anggo” (Maksud-nya, Betapa pun besarnya modal kalau…)

  A : “Anggo so godang pargaulan dohot holan naeng mambuat untung na

  godang, dang jadi usaha ni i. Ido maksudmu? (kalau tidak banyak

  hubungan, dan terlalu banyak mengambil untung usahanya tidak akan jadi. Begitu maksudmu?) S :

  “Memang songoni do kan!” (Memang begitu, bukan!) A :

  “O, ya, apa surat untuk Jakarta kemarin sudah jadi dikirim?” S :

  “Sudah, Pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.” Pada contoh percakapan antara sekretaris dengan atasannya di atas sudah dapat dilihat ketika topiknya tentang surat dinas, maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Indonesia. Tetapi ketika topiknya bergeser pada pribadi orang yang dikirimi surat, terjadilah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Batak Toba.

  Sebaliknya, ketika topik kembali lagi tentang surat alih kode pun terjadi lagi dari bahasa Batak Toba ke bahasa Indonesia. Dalam kasus pertuturan sekretaris dan atasan di atas tampaknya penyebab alih kode itu, yaitu perpindahan topik yang menyebabkan terjadinya perubahan situasi dari situasi formal menjadi situasi tidak formal merupakan penyebab ganda. Jadi, penyebab alih kode dalam kasus percakapan sekretaris denga majikan di atas adalah berubahnya situasi dari formal ke situasi tidak formal.

c) Jenis-jenis Alih Kode

  Soewito dalam Chaer (2004:114) membedakan adanya dua jenis alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya, seperti percakapan antara sekretaris dan majikannya dalam ilustrasi di atas.

  Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada verbal repertoir masyarakat tuturnya dengan bahasa asing).

2.2.2 Campur Kode

a) Pengertian Campur Kode

  Fasold dalam Chaer dan Agustina (2004:115) mengatakan “Campur kode yaitu kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode”.

  Suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu yang menuntut pencampuran bahasa itu, disebut campur kode (Nababan, 1984 : 32).

  Campur kode terjadi karena ketergantungan penutur terhadap pemakaian bahasa. Lebih lanjut, Nababan juga menjelaskan ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi berbahasa yang formal, peristiwa campur kode kurang mendominasi. Kalaupun terdapat campur kode dalam keadaan demikian, itu disebabkan tidak adanya ungkapan yang terdapat dalam bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicaraan ingin memamerkan “keterpelajarannya” atau “kedudukannya”.

  Dalam masyarakat multilingual atau bilingual seperti halnya di masyarakat Indonesia sebagian besar mengenal dan memahami dua bahasa dalam berkomunikasi, sering kita jumpai orang mengganti bahasa atau ragam bahasanya sehingga hal ini menjadi suatu kebiasaan dalam berkomunikasi. Campur kode merupakan salah satu aspek tentang ketergantungan bahasa (language

  dependency ) di dalam masyarakat multilingual, hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa yang lain (Anwar, 2006: 16).

  Dalam campur kode, penggunaan dua bahasa atau lebih, itu ditandai oleh masing-masing bahasa tidak lagi mendukung fungsi tersendiri melainkan mendukung satu fungsi, dan fungsi masing-masing bahasa ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan.

  Menurut Thelander dalam Chaer dan Agustina (2004:115) yang menyatakan perbedaan alih kode dan campur kode adalah bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa atau frase campuran (hybrid clauses, hybrid frases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi-fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah peristiwa campur kode, bukan alih kode. Dalam hal ini menurut Theandler selanjutnya menyatakan memang ada kemungkinan perkembangan dari campur kode dan alih kode. Perkembangan ini, misalnya, dapat dilihat kalau klausa berusaha untuk mengurangi kehibridan klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan, serta fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan keotonomian bahasanya masing-masing.

  Campur kode merupakan wujud penggunaan bahasa lainnya pada seorang dwibahasawan. Berbeda dengan alih kode, dimana perubahan bahasa oleh seorang dwibahasawan disebabkan karena adanaya perubahan situasi, pada campur kode perubahan bahasa tidak disertai dengan adanya perubahan situasi (Hudson, 1996:53).

b) Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode

  Suwito (1983:39) memaparkan beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut :

1. Faktor Peran

  Peran di sini ialah status sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta bicara atau penutur bahasa tersebut, seperti dalam hal pekerjaan, golongan, keturunan, tingkat pendidikan, suku, usia, agama, dan lain sebagainya.

  2. Faktor Ragam Ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur pada waktu melakukan campur kode yang akan menempatkan hirarki status sosial. Ragam tersebut adalah ragam bahasa lisan, yakni dihasilkan dari alat ucap pembicara atau penutur yang dapat dilihat dari tinggi rendahnya suara atau tekanan, raut muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Ragam bahasa tulis, yakni tata cara penulisan (ejaan) di samping itu juga ada aspek bahasa dan kosa kata.

  3. Faktor Keinginan Untuk Menjelaskan dan Menafsirkan Faktor ini terlihat pada peristiwa campur kode yang menandai sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang lain terhadapnya.

  Jendra (1991:134-135) menjelaskan bahwa ketiga faktor penyebab itu dapat dibagi lagi menjadi dua bagian pokok, yaitu penutur dan bahasa.

  1. Faktor Penutur Pembicara terkadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasanya karena pembicara mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pembicara terkadang melakukan campur kode antar bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena kebiasaan atau kesantaian.

  Contoh : Ok, kita harus stand by.

  2. Faktor Bahasa Penutur dalam pemakaian bahasanya sering mencampurkan bahasanya dengan bahasa lain, sehingga terjadilah campur kode. Umpamanya hal itu ditempuh dengan cara untuk menjelaskan atau mengamati istilah-istilah (kata- kata) yang sulit dipahami dengan istilah-istilah atau kata-kata dari bahasa daerah maupun bahasa asing, sehingga mudah untuk dipahami.

  Contoh : Kita harus enjoy dalam bekerja.

c) Jenis-Jenis Campur Kode

  Campur kode merupakan suatu proses pencampuran dari kode bahasa yang satu dengan kode bahasa yang lain dengan disertai tujuan tertentu, Soepomo (1978) dalam Pranowo (1996 : 13). Campur kode dapat dibedakan menjadi dua, yakni (a) campur kode sementara dan (b) campur kode tetap. Campur kode sementara terjadi apabila pemakai bahasa sedang menyitir kalimat B2 ketika sedang ber-B1, atau sebaliknya. Campur kode tetap terjadi karena perubahan relasi antara pembicara dengan mitra bicara, misalnya, mitra bicara semula sebagai teman akrab, tetapi mitra bicara itu sekarang menjadi atasan, biasanya pembicara mengganti kode bahasa yang dipakainya secara permanen, karena adanya perubahan status sosial dan relasi pribadi yang ada.

  Lebih lanjut dalam

  

campur kode dibagi menjadi dua, yaitu campur kode ke luar

  (outer code-mixing) dan campur kode ke dalam (inner code-mixing). Campur kode ke luar (outer code-mixing) yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing, campur kode ke dalam yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asli dengan segala variasinya.