BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cumi-cumi - Uji Toksisitas Ekstrak Tinta Cumi-Cumi (Photololigo Duvaucelii) Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cumi-cumi

  Cumi-cumi adalah kelompok hewan(tidak bertulang belakang). Namdalam bahasa Yunani berarti kaki kepala, hal ini karena kakinya yang terpisah menjadi sejumlah tangan yang melingkari kepala. Semua jenis cephalopoda termasuk cumi-cumi dipisahkan dengan memiliki kepala yang berbeda.besar cumi-cumi ini memiliki diameter 1 mm. Cumi-cumi banyak digunakan sebagai makanan (Anonim, 2010).

  Salah satu jenis cumi-cumi laut dalam, “Heteroteuthis”, adalah yang memiliki kemampuan memancarkan cahaya. Organ yang mengeluarkan cahaya itu terletak pada ujung suatu juluran panjang yang mnonjol di depan. Hal ini dikarenakan peristiwa luminasi yang terjadi pada cumi-cumi jenis Heteroteuthis menyemprotkan sejumlah besar cairan bercahaya apabila dirinya merasa terganggu, proses ini sama seperti pada halnya cumi-cumi biasa yang menyemprotkan tinta (Anonim, 2010).

2.1.1 Aneka jenis cumi-cumi

  Cumi-cumi pada umumnya biasa berukuran sekitar 5,1 cm, namun ada jenis cumi-cumiatau cumi-cumi raksasa berukuran hingga lebih dari 15m. Cumi-cumi raksasa ini sering ditemukan terdampar di sepanjang pantai Newfoundland. Cumi-cumi yang biasa dikonsumsi oleh manusia adalah jenis Ada yang hidup di dekat dengan permukaan air, ada pula yang hidup di tempat yang dalam sekali atauAnonim, 2010).

  Ada pula jenis cumi-cumi terbang, Ommastrephes bartrami, yang dapat dibandingkan dengan ikan terbang. Hewan ini sering melompat keluar dari air, terutama dalam cuaca buruk, dan terkadang terdampar di atas dek kapal nelayan. Cumi-cumi jenis kecil tidak mengganggu manusia, namun jenis yang besar dapat menjadi ancaman yang berbahaya untuk manusia ketika menyelam. Total jenis cumi-cumi yang tersebar di seluruh bagian dunia, terdapat sekitar 300 spesies cumi-cumi yang berbeda (Anonim, 2010).

2.1.2 Anatomi cumi-cumi

  Semua cumi-cumi memiliki tubuh yang berbentuk pipa, kepala yang berkembang sempurna, dan 10 tangan yang panjang yang bermangkuk penghisap.

  Tangan-tangan ini berguna untuk menjerat mangsanya kemudian disobek menggunakan rahangnya yang kuat, mirip dengan paruh binatang. Cumi-cumi menghisap air melalui rongga pusat tubuhnya,dan memaksanya keluar melalui suatu pembuluh yang lentur yang disebut dengan sifon yang terletak tepat di belakang tangan. Oleh karena pancaran air yang mendorong cumi-cumi berenang mundur (Anonim, 2010). digunakan sebagai kemudi pergerakannya. Matanya tidak memiliki kelopak mata, namun tampak seperti mata manusia. Cumi-cumi mempunyai tiga jantung dan berdarah biru. Dua dari jantung mereka berlokasi dekat dengan masing-masing insangnya dan karena hal itu mereka dapat memompa oksigen ke bagian tubuh yang beristirahat dengan mudah. Cumi-cumi memiliki pokok sistem pernapasan senyawa tembaga, berbeda dengan manusia dimana manusia mempunyai pokok sistem pernapasan senyawa besi, yang berakibat jika terlalu tertutup pada permukaan di mana terdapat air panas, cumi-cumi dapat mati dengan mudah karena lemas. Banyak cumi-cumi yang dapat mengubah warna tubuhnya dari coklat menjadi ungu, merah, atau kuning sebagaiagar terhindar dari ancaman pemangsanya (Anonim, 2010).

Gambar 2.1.2 Cumi-cumi (Anonim, 2010)

2.1.3 Tinta cumi-cumi

  Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantung tinta yang terdapat di atas usus besar yang bermuara di dekat anus sebagai benteng pertahanan dan perlawanan yang akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan berwarna hitam ketika diserang musuh sehingga membentuk awan berwarna hitam di sekelilingnya yang memungkinkan cumi-cumi terhindar dari predator lain (Agusandi, dkk., 2013).

  Selama ini banyak masyarakat yang menganggap tinta cumi-cumi tidak bermanfaat sehingga jika mengolah cumi-cumi, kantong tintanya dibuang.

  Padahal tinta memiliki banyak manfaat dan khasiat. Tinta cumi-cumi sudah banyak dikenal dalam dunia kuliner manca negara. Tinta cumi-cumi ini mengandung butir-butir melanin atau pigmen hitam. Melanin alami adalah melanoprotein yang mengandung 10 - 15% protein, sehingga menjadi salah satu sumber protein yang baik karena sama baiknya dengan kandungan protein pada dagingnya (Agusandi, dkk., 2013). Di Jepang, tinta cumi-cumi dipakai sebagai bahan peningkat cita rasa, selain itu tinta cumi-cumi juga memiliki khasiat untuk kesehatan (Sasaki, dkk., 1997).

  Tinta cumi-cumi mempunyai nilai gizi yang cukup baik terutama kandungan protein dan asam amino. Tinta cumi-cumi mengandung protein sebesar 10,88% yang terdiri atas asam amino esensial dan non esensial. Melanoprotein tinta cumi-cumi mengandung asam amino esensial yang dominan berupa lisin, leusin, arginin dan fenilalanin (Agusandi, dkk., 2013).

  Tinta cumi-cumi ini mengandung butir-butir melanin atau pigmen hitam. Melanin alami adalah melanoprotein yang mengandung 10 - 15% protein, sehingga menjadi salah satu sumber protein yang baik karena sama baiknya dengan kandungan protein pada dagingnya. Di Jepang, tinta cumi-cumi dipakai sebagai bahan peningkat cita rasa, selain itu tinta cumi-cumi juga memiliki khasiat untuk kesehatan (Sasaki, dkk., 1997).

2.1.4 Cumi-cumi sebagai komoditas komersial

  Cumi-cumi merupakan produk laut yang cukup melimpah di perairan

  

chinese food. Menurut data statistik kementrian kelautan dan perikanan, hasil

  ekspor cumi-cumi pada tahun 2011 mencapai 48.803.318 kg, kemudian menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2012 sebesar

  58.145.503kg. Produksi cumi-cumi di Indonesia diperkirakan mencapai 28,25 ribu ton per tahun (KKP, 2013).

  Cumi-cumi memiliki daging yang bersih, licin dan memiliki aroma yang khas serta mengandung nilai gizi yang cukup baik (Kreuzer, 1986). Selain itu cumi-cumi juga memiliki kandungan mineral seperti fosfor dan kalsium yang berguna untuk pertumbuhan tulang bagi anak-anak. Cumi-cumi juga mengandung berbagai macam vitamin antara lain vitamin B1, B2, B6 , C, A, D, E dan K (Agusandi, dkk., 2013).

2.2 Udang Laut Artemia salina Leach

  Artemia salina Leach adalah udang yang termasuk dalam family

  Artemidae, merupakan udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton, yang menghuni perairan-perairan yang berkadar garam tinggi.

  Artemia dapat digunakan di laboratorium bioassay untuk menentukan toksisitas dengan perhitungan konsentrasi yang menimbulkan 50% anggota populasi hewan uji mati (LC

  50 ), yang telah dilaporkan untuk racun dan ekstrak tanaman (Mudjiman, 1989).

  Artemia salina merupakan bangsa udang-udangan yang diklasifikasikan

  sebagai berikut: Phylum : Anthropoda Subkelas : Branchiopoda Ordo : Anostraca Familia : Artemidae Genus : Artemia

  Spesies : Artemia salina Genus Artemia memiliki beberapa spesies yang telah dikenal antara lain

  

Artemia salina Leach, Artemia parthenogenetica, Artemia franciscana Kellog,

Artemia urmiana Gunther, Artemia persimilis Prosdicimi dan Piccinelli, Artemia

monica Verril, dan Artemia odessensisr (Isnansetyo, 1995).

2.2.1 Morfologi

  Istilah untuk telur artemia adalah siste/kista, yaitu telur yang telah berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan kemudian diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah pengapungan. Oleh karena itu, ia sangat tahan menghadapi keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989).

Gambar 2.2 Tahapan penetasan Artemia salina (Isnansetyo, 1995)

  o

  Siste/kista Artemia yang direndam dalam air laut bersuhu 25 C akan menetas dalam waktu 24-36 jam lalu dari dalam cangkangnya keluar larva yang juga dikenal dengan istilah nauplius, selanjutnya larva akan mengalami perubahan bentuk atau metamorphosis. Setiap kali larva mengalami perubahan bentuk merupakan satu tingkatan. Larva tingkat I dinamakan instar I, tingkat II dinamakan instar II, tingkat III dinamakan instar III, demikian seterusnya sampai instar XV hingga berubah menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989).

  Larva yang baru saja menetas masih dalam tingkatan instar I warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan cadangan, oleh karena itu mereka masih belum perlu makan. Anggota badannya terdiri dari sepasang sungut kecil (antenule atau antena I) dan sepasang sungut besar (antenna atau antena II). Sungut besar memiliki sepasang mandibulata (rahang) yang kecil, sedangkan di bagian ventral (perut) terdapat labrum (Mudjiman, 1989).

Gambar 2.3 Morfologi naupius Artemia salina (Isnansetyo, 1995) Larva akan berubah menjadi instar II sekitar 24 jam setelah menetas.

  Larva tingkat instar II sudah mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur, oleh karena itu mereka mulai mencari makanan karena cadangan makanannya juga sudah mulai habis. Pengumpulan makanannya mereka lakukan dengan menggerakkan antena II-nya, selain itu untuk mengumpulkan makanan, antenna II tersebut juga berguna untuk bergerak (Mudjiman, 1989).

  Larva tingkatan selanutnya mulai memiliki sepasang mata majemuk, selain itu berangsur-angsur tumbuh tunas-tunas kakinya. Larva pada fase instar XV, kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang, maka berakhirlah masa larva, dan berubah menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989). Artemia salina dewasa bentuknya telah sempurna dan menyerupai udang kecil dengan ukuran panjang sekitar 1 cm, dengan kaki yang sudah lengkap sebanyak 11 pasang yang secara khusus torakopoda.

Gambar 2.4 Morfologi Artemia salina dewasa (Isnansetyo, 1995)

  Baik pada yang jantan maupun pada yang betina, antenna I-nya (antenula) tetap saja sebagai sungut, yang fungsinya sebagai alat peraba. Artemia jantan memiliki antenna II berubah menjadi alat penjepit yang membesar dan berotot yang kegunaannya untuk berpegangan pada betina waktu menjelang perkawinan, sedangkan pada betina, antenna II-nya mengalami penyusutan yang akhirnya berubah menjadi alat peraba. Sepasang alat kelamin luarnya terdapat di belakang indung telur (ovarium) yang terletak di sebelah kanan dan kiri saluran pencernaan (Mudjiman, 1989).

2.2.2 Lingkugan hidup artemia

  Artemia salina Leach tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari o o

  6 C atau lebih dari 35

  C, tetapi hal ini sangat tergantung pada ras dan kebiasaan tempat hidup mereka. Pertumbuhan artemia yang baik berkisar pada suhu antara

  o o 25 C-30 C (Mudjiman, 1989).

  Perkembangan Artemia salina yang membutuhkan kadar garam yang tinggi sebab pada kadar garam yang tinggi itu musuh-musuhnya tidak dapat hidup lagi, sehingga artemia akan dapat aman tanpa gangguan. Pertumbuhan telur membutuhkan air yang kadar garamnya lebih rendah dari pada suatu batas tertentu. Batas ini berlainan untuk tiap jenis artemia (Mudjiman, 1989).

  Daya tahan artemia terhadap perubahan kandungan ion-ion kimia dalam air ternyata juga sangat tinggi. Artemia masih dapat bertahan pada perbandingan antara 8-173 apabila kandungan ion natrium dibandingkan dengan ion kalium di dalam air laut adalah 28, (Mudjiman, 1989).

  Artemia salina Leach dapat hidup dan menyesuaikan diri pada tempat

  yang kadar oksigennya rendah maupun yang mengalami kejenuhan oksigen (Mudjiman, 1989). Artemia salina juga termasuk hewan euroksibion yaitu hewan yang mempunyai kisaran toleransi yang lebar akan kandungan oksigen. Artemia

  

salina masih bisa bertahan pada kandungan oksigen 1 mg/L, namun pada

  jenis udang-udangan ini juga masih dapat bertahan hidup. Kandungan oksigen yang baik untuk pertumbuhan Artemia adalah di atas 3 mg/L (Isnansetyo, 1995).

  Pengaruh pH terhadap kehidupan artemia muda dan dewasa belum jelas namun berpengaruh terhadap penetasan telur. Efisiensi penetasan akan menurun Apabila pH untuk penetasan kurang dari 8 (Mudjiman, 1989).

2.2.3 Cara penetasan telur

  Telur Artemia salina Leach dapat ditetaskan dalam air laut biasa (kadar garam 30 per-mil). Air berkadar garam 5 permil yang dibuat dengan cara pengenceran air laut biasa dengan air tawar diperlukan untuk mencapai hasil penetasan yang baik. Natrium hidrokarbonat sebanyak 2g/l perlu ditambahkan agar pH air laut yang diencerkan tidak turun namun tetap antara 8-9, selain itu dapat juga digunakan air laut buatan yang berkadar garam 5 permil (Mudjiman, 1989).

  Pemecahan cangkang telur dibantu oleh kegiatan enzim, yaitu enzim penetasan. Enzim ini bekerja pada pH > 8 (antara 8-9). Suhu air selama penetasan

  o o

  hendaknya tetap, yaitu berkisar antara 25 C-30

  C. Kadar oksigennya harus lebih dari 2mg/l sehingga air perlu diaerasi (diberi udara/oksigen). Sumber udara yang digunakan berupa penghembus udara (blower) atau aerator, yaitu pompa udara untuk aquarium (Mudjiman, 1989).

  Naupilus Artemia yang baru menetas berwarna orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan berat 0,002 mg. Ukuran-ukuran tersebut bervariasi tergantung strainnya (Isnansetyo, 1995).

  Artemia salina Leach secara luas telah digunakan untuk pengujian

  aktivitas farmakologi ekstrak suatu tanaman. Artemia salina juga merupakan hewan uji yang digunakan untuk praskrining aktivitas kanker di National Cancer Institude (NCI), Amerika Serikat. Uji BSLT dengan hewan uji artemia dapat digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antikanker karena uji ini mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antikanker maupun fisiologis aktif tertentu (Panjaitan, 2011).

  Penggunaan Artemia salina ini memang tidak spesifik untuk anti kanker maupun fisiologis aktif tertentu, namun beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya korelasi yang signifikan terhadap beberapa bahan, baik berupa ekstrak tanaman, ata aksinya sebagai antikanker secara lebih cepat dibandingkan dengan prosedur pemeriksaan sitotoksik yang umum, misalnya dengan biakan sel kanker. Melihat adanya potensi sebagai anti kanker tersebut, maka penelitian lanjutan dapat dilanjutkan, yaitu dengan mengisolasi senyawa berkhasiat yang terdapat di dalam ekstrak disertai dengan monitoring aktivitasnya dengan uji larva udang atau metode yang lebih spesifik sebagai anti kanker (Meyer, dkk., 1982).

  Artemia salina digunakan sebagai hewan uji karena memiliki kesamaan

  tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA polymerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia dan organism yang memiliki

  ouabine-sensitive Na dan K dependent ATPase, sehingga senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada system tersebut dapat terdeteksi (Solis, 1993). proses transkripsi RNA yang bergantung pada RNA polymerase. Enzim ini membuka pilinan kedua untai DNA sehingga terpisah dan mengkaitkannya dengan bersama-sama nukleotida RNA pada saat nukleotida-nukleotida ini membentuk pasangan basa di sepanjang cetakan DNA. Eukariotik mempunyai 3 macam RNA polymerase, yaitu mRNA (messenger RNA) yang merupakan pembawa kode genetik dari DNA ke ribosom, tRNA (transfer RNA) yang berfungsi untuk menterjemahkan kodon dan mengikat asam amino yang akan disusun menjadi protein dan mengangkutnya ke ribosom, serta rRNA (ribosomal RNA) yang bersamaan dengan protein membentuk ribosom. Jika RNA polymerase tersebut dihambat, maka DNA tidak dapat mensintesis RNA dan RNA tidak dapat terbentuk sehingga sintesis protein juga dihambat. Protein merupakan komponen utama semua sel. Protein berfungsi sebagai unsure struktural, hormon, immunoglobulin, serta terlibat dalam kegiatan transport oksigen, kontraksi otot, dan lainnya. Metabolisme sel dapat terganggu jika protein tidak terbentuk sehingga pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel (Nuswantari, 1998).

  Artemia salina juga memiliki ouabine-sensitive Na dan K dependent

  ATPase yang merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis ATP menjadi ADP

  serta menggunakan energi untuk mengeluarkan 3Na dari sel dan mengambil 2K

  ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP dihidrolisis. Na K ATPase ditemukan dalam semua bagian tubuh. Aktivitas enzim ini dihambat oleh ouabine. Adanya ouabine

  menyebabkan keseimbangan ion Na dan K tetap terjaga (homeostatis), selain itu

  sekarang ini ouabine juga digunakan untuk terapi jantung. Na K ATPase di dalam

  2+

  • 2+

  akan ditukar dengan Ca intrasel. Na K ATPase yang dihambat menyebabkan

  2+ 2+

  Ca intrasel lebih sedikit dikeluarkan dan Ca intrasel meningkat, sehingga memudahkan kontraksi otot jantung (Ganong, 1995). Suatu senyawa yang bekerja mengganggu kerja salah satu enzim ini pada Artemia salina dan menyebabkan kematian, maka senyawa tersebut bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian sel mamalia (Solis, dkk., 1993).

2.3 Toksisitas

  Toksisitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat untuk menimbulkan kerusakan (Katzung, 2004). Uji toksisitas akut merupakan uji dengan pemberian suatu senyawa pada hewan uji pada suatu saat atau uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu dan pengamatan dilakukan selama 24 jam. Maksud dari toksisitas akut yaitu untuk menentukan suatu gejala dan tingkat kematian hewan uji akibat pemberian senyawa tersebut. Pengamatan aktivitas biologi uji toksisitas akut berupa pengamatan gejala klinik, kematian hewan uji atau pengamatan organ (Loomis, 1978).

  Uji toksisitas akut dilakukan untuk mempersempit kisaran dosis dan terakhir dilakukan uji toksisitas akut untuk mendapatkan persentase kematian.

  Data yang diperoleh dari uji toksisitas akut dapat berupa data kuantitatif yang dinyatakan dengan LD

  50 (median letal dose) atau LC 50 (median letal

  concentration). Harga LD

  50 dan LC 50 suatu senyawa harus dilaporkan sesuai

  dengan lamanya pengamatan. Bila lama pengamatan tidak ditunjukkan, maka dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Loomis, 1978).

  Parameter yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada Artemia salina adalah kematian. Keuntungan penggunaan artemia sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu yang relative singkat dan konsentrasi kecil sudah dapat menimbulkan aktivitas biologi (Meyer, 1982).

  2.4 Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode pengujian awal

  aktivitas antikanker suatu senyawa dengan menggunakan hewan uji Artemia

  

salina Leach selama 24 jam. Uji toksisitas akut dengan hewan uji artemia ini

  dapat digunakan sebagai uji pendahuluan pada penelitian yang mengarahkan pada uji sitotoksik karena ada kaitannya antara uji toksisitas akut dengan uji sitotoksik jika harga LC dari uji toksisitas akut lebih kecil dari 1000µg/ml. Parameter yang

  50

  digunakan untuk meunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada Artemia salina adalah kematian (Meyer, dkk., 1982).

  Tingkat toksisitas dari ekstrak dapat ditentukan dengan melihat harga LC

  50 . Nilai LC 50 dihitung dengan analisis probit. Dari persentase data kematian larva artemia dikonversikan ke nilai probit untuk menghitung harga LC .

  50 Senyawa dapat dikatakan toksik apabila harga LC 50 <1000µg/ml. Pengujian

  antikanker menggunakan biakan sel kanker dapat dilanjutkan apabila pengujian dengan larva artemia menghasilkan harga LC

  50 <1000µg/ml. Cara ini menghemat waktu dan biaya penelitian (Meyer, dkk., 1982).

  2.5 Kanker

  Kanker merupakan suatu penyakit sel dengan cirri gangguan atau kegagalan mekanis pengaturan multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada organisme multiseluler (Ganiswara, 1995). Neoplasma (tumor) merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus menerus, tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya serta tidak berguna bagi tubuh (Sudiono, dkk., 2003). Apapun penyebabnya, pada dasarnya kanker merupakan penyakit sel yang dicirikan dengan perubahan mekanisme control yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel. Sel-sel yang mengalami transformasi neoplastis umunya mengekspresi antigen-antigen permukaan sel yang tampak seperti tipe janin (fetal) normal, memiliki tanda-tanda nyata lainnya seperti tidak terjadi maturitas, dan mungkin memperlihatkan abnormalitas- abnormalitas kromosom baik kualitas maupun kuantitasnya termasuk berbagai translokasi dan penampilan sekuens-sekuens gen teramplifikasi (Katzung, 2004).

  Sel-sel kanker akan terus membelah diri, terlepas dari pengendalian pertumbuhan dan tidak lagi menuruti hukum-hukum pembiakan. Sel-sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitarnya (invasi) dan dapat menyebar ke seluruh jaringan (metastasis), selain itu sel kanker juga kehilangan fungsinya dan bersifat destruktif/merusak sel lainnya (Schunack, 1990).

  Tahap-tahap pembentukan sel kanker adalah: 1. Inisiasi, yaitu tahap pembentukan metabolit reaktif yang mampu berkaitan secara kovalen dengan DNA sehingga menyebabkan terjadinya mutasi pada DNA.

2. Promosi, yaitu ekspresi mutasi yang dapat menyebabkan perubahan fungsi

  (sel yang pertumbuhannya tidak normal) 3.

  Progresif, yaitu manifestasi pertumbuhan dan perkembangan tumor menjadi ganas (kanker) dengan invasi dan metastasis.

  Pada organisme eukariotik, terdapat empat fase dalam siklus sel, yaitu:

  1.

  1 ) atau fase pascamitosis merupakan fase awal di mana terjadi

  Fase Gap (G sintesis asam ribonukleat dan protein.

2. Fase sintesis (S) di mana terjadi replikasi identik dari DNA sehingga dihasilkan dua set komplit DNA.

  3.

  2 ) atau fase pramitosis merupakan fase persiapan untuk

  Fase Gap (G memasuki fase mitosis.

  4. Fase Mitosis (M) merupakan fase di mana material inti diturunkan identik kepada sel anak, yang ditandai dengan pembagian kromosom dan dihasilkan dua sel anakan. Sel dapat memasuki fase G dan dapat juga masuk kembali ke fase G 1 . Terhentinya siklus di fase G

  1 memungkinkan terjadinya perbaikan kerusakan,

  sebelum sel memasuki fase S , saat DNA yang rusak akan direplikasi. (Junqueira, 2007). Hormon pertumbuhan, cyclins dan Cdk (cyclin dependent kinase) merupakan sinyal transduksi yang dapat memacu sel untuk memasuki daur sel kembali, sedangkan protein penekan tumor (misalnya p53), dan Cdk inhibitor akan memicu sel untuk memasuki fase istirahat (G ). Sel kanker tidak memiliki p53 atau jumlah p53 kurang, sehingga sel kanker tidak dapat memasuki fase G dan sel tersebut akan memasuk siklus sel dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga sel akan terus membelah (Schunack, 1990). karsinogen yang diduga dapat menaikkan resiko terjadinya kanker antara lain senyawa kimia (zat karsinogen), faktor fisika (radiasi bom atom dan radioterapi agresif), virus (virus hepatitis B dan C), dan hormon (Dalimartha, 2003).

  2.6 Penyarian

  Pemilihan penyari dalam penyarian merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Cairan penyari untuk ekstrak sebaiknya sesuai dengan zat aktif yang berkhasiat, dalam arti dapat memisahkan zat aktif tersebut dari senyawa lainnya dalam bahan sehingga ekstrak mengandung sebagian besar senyawa aktif berkhasiat yang diinginkan (Ditjen POM, 1985).

  Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisisa nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Ditjen POM, 1985).

  2.7 Triterpenoid dan steroid

  Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C

  30 asiklik,

  yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik, yang umumnya sukar dicirikan karena tidak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi Lieberman-Burchard (anhidrida asetat-H

  2 SO 4 pekat)

  yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1987).

  Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya system cincin siklopentena perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormone klamin, asam empedu, dan lain-lain), tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan di jaringan tumbuhan. Memang tiga senyawa yang biasa disebut ‘fitosterol’ mungkin terdapat pada setiap tumbuhan t inggi: sitosterol (dahulu dikenal sebagai β- sitosterol), stigmasterol, dan kampesterol. Sterol umum ini terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai glukosida sederhana. Sterol tumbuhan yang kurang umum ialah α-spinasterol, yaitu isomer stigmasterol yang terdapat dalam bayam Amarantus

  

alfalfa , Medicago sativa, dan akar Polygala senega. Sterol tertentu hanya terdapat

  dalam tumbuhan rendah, misalnya ergosterol yang terdapat dalam khamir dan sejumlah fungus. Sterol lain terutama terdapat dalam tumbuhan rendah, tetapi kadang-kadang terdapat juga pada tumbuhan tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga coklat dan juga terdeteksi pada kelapa (Harborne, 1987).

  Senyawa steroid tertentu seperti Kortikosteroid adrenal (khususnya analog glukokortikoid) berguna untuk mengobati leukemia akut, limfoma, myeloma, dan kanker hematologis lainnya serta kanker payudara stadium lanjut dan sebagai terapi pendukung untuk mengobati hiperkalsemi akibat berbagai jenis kanker.

  Steroid ini menyebabkan disolusi limfosit, regresi limfonodus, dan menghambat pertumbuhan jaringan mesenkim tertentu (Katzung, 2004).

  Triterpenoid mempunyai aktifitas biologis terhadap virus epstein-barr

  

virus (EBV) dimana menyerang manusia dan virus ini sangat mematikan yang

  lain (Singh, 1999). Sebagai tambahan, triterpenoid secara alami dan biologis mempunyai aktifitas farmakologis seperti antitumor/antikanker maupun antiperadangan (Gauthier, 2010).

  Triterpenoid bersifat imonogenik sehingga memicu terjadinya proses pembentukan antibodi. Antibodi yang terbentuk dapat menempel di permukaan sel tertentu, hal ini terjadi karena ada beberapa sel yang pada membrannya memiliki reseptor dari antibodi antara lain sel killer yang akan mengikat triterpenoid di permukaan sel yang memiliki gen cacat. Adanya ikatan sel killer tersebut akan melepaskan suatu enzim yang disebut sebagai sitotoksin. Sitotoksin yang dilepas oleh sel killer tersebut mengandung perforin dan granzyme yang memperforasi membran sel yang memiliki gen cacat, kemudian granzym dimasukkan dalam sel tersebut. Granzyme yang berada dalam sitosolik dari gen yang memiliki gen cacat gen tersebut akan mengaktivasi DNA-se. DNA-se inilah yang merusak DNA yang berada di dalam inti, sehingga sel mengalami kematian (apoptosis) (Sudiana, 2008).

Dokumen yang terkait

Uji Toksisitas Ekstrak Tinta Cumi-Cumi (Photololigo Duvaucelii) Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt)

20 174 104

Karakterisasi Simplisia, Skrining Fitokimia, dan Uji Toksisitas dari Ekstrak Umbi Keladi Tikus (tuber Typhonii) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST)

8 80 57

Uji Toksisitas Akut Ekstrak Metanol Buah Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl Terhadap Larva Artemia salina Leach dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). 2014

1 11 70

Uji Toksisitas Akut Ekstrak Metanol Daun Garcinia benthami Pierre Terhadap Larva Artemia salina Leach dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

2 29 75

Uji Toksisitas Akut Ekstrak Metanol Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa [Scheff.] Boerl.) Terhadap Larva Artemia salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

3 23 78

Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Kemangi (Ocimum canum Sims) Terhadap Larva Artemia salina Leach dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

1 14 64

Uji Toksisitas Akut Ekstrak nheksan Daun Garcinia benthami Pierre Terhadap Larva Artemia salina Leach dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

0 5 63

Uji Toksisitas Akut Ekstrak Metanol Daun Laban Abang (Aglaia elliptica Blume) Terhadap Larva (Artemia salina Leach) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). 2014

0 4 58

Uji Toksisitas Ekstrak Biji Dan Klika Kelor (Moringa oleifera Lamk.) Dengan Metode Brine Shrimps Lethality Test

1 2 5

Uji Toksisitas Ekstrak Tinta Cumi-Cumi (Photololigo Duvaucelii) Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt)

0 0 41