Climate Refugee: Tantangan Bagi Tata Kelola Global

  Climate Refugee: Tantangan Bagi Tata Kelola Global

  3 Muhammad Riza Hanafi Abstract

  The terminology of Climate refugee is not new. It is somtimed mixed with

another concept such as environmental refugee,climate-change refugee, environmental-

induced migrant, or climate induced migrant. The concept of environmental refugees

itself was introduced for the first time in 1970s and since then it attracted many

researcher in the academic community to study it as part of environment/climate

change studies. Although academically this phenomenon has been studied by many

researchers, however it has not been taken seriously in the policy of global governance.

This paper will argue that there are at least three reasons why issue on climate refugees

is a challenge to global governance of the 21st century.

  Keywords: climate, environmental, global governance Pendahuluan

  Tujuan utama Ioane Teitiota (37 tahun) bermigrasi adalah untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dia pun memilih New Zealand sebagai negara tujuan. Setelah menempuh enam jam perjalanan, bersama sang istri, Angua Erika, dia pun tiba di Auckland. Mereka bekerja di sana dengan berbekalkan visa kerja. Teitiota bekerja di kebun sayuran, sementara Erika menjadi pelayan. Tiga anaknya pun lahir di Auckland (O'Brien, 2013).

  Masalah muncul tahun 2011 ketika visa kerja yang mereka miliki habis masa berlakunya. Dengan pemahaman yang minim terkait perpanjangan visa di Negeri Kiwi tersebut (perpanjangan visa secara legal tidak dapat dilakukan setelah 45 hari habis masa berlaku visa lama), keduanya tetap tinggal secara illegal, sampai akhirnya terlambat. Perpanjangan ditolak dan Teitiota sekeluarga (pasangan Ioane dan Angua Erika Teitiota dikaruniai tiga orang anak selama tinggal di New Zealand) harus dideportasi ke negara asalnya, Kiribati (O'Brien, 2013).

  Di tengah ancaman deportasi, Teitiota menempuh cara lain untuk bisa membuatnya tetap tinggal di New Zealand. Dia mengajukan klaim pengungsi

  Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

  Muhammad Riza Hanafi : Climate

Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  (refugee) kepada otoritas imigrasi New Zealand. Dua kali dia mengajukan klaim tersebut dan sayangnya ditolak. Dia lantas mengajukan banding ke Mahkamah Agung (High Court) dengan alasan bahwa dia memenuhi syarat untuk mendapatkan status pengungsi. Dia meminta pengadilan untuk mencabut keputusan otoritas imigrasi dan memberikannya status pengungsi. (O'Brien, 2013)

  Namun, pada 26 November 2013 hakim menolak klaim Teitiota atas status pengungsi. Seperti dimuat di Huffington Post pada 26 November 2013 (Perry, 2013), hakim menolak dengan argumen bahwa Teitiota tidak memenuhi definisi pengungsi seperti digariskan dalam hukum internasional.

  Keputusan Mahkamah Agung New Zealand yang menolak permohonan Teitota menunjukkan bahwa di tingkat negara (state) penanganan kasus pengungsian akibat perubahan iklim tidak menjadi prioritas. Institusi hukum di tingkat negara terikat oleh definisi yang sudah menjadi bagian dari hukum internasional, The Convention relating to the Status of Refugees yang berlaku sejak 1951. Situasi ini merupakan tantangan bagi tata kelola global (global governance) terutama yang terkait dengan isu pengungsi.

  Tulisan ini akan berargumen bahwa ada tiga alasan mengapa kasus seperti yang menimpaTeitota menjadi tantangan bagi tata kelola global.

  

Pertama , definisi legal pengungsi tidak mengakomodasi climate change refugee.

  Ini adalah indikasi bahwa ada keengganan tata kelola global untuk mengakomodasi isu tersebut. Dua, perubahan iklim adalah isu nyata dengan ancaman serius, sehingga dampak yang dihasilkan tidak seharusnya diabaikan. Tiga, ada beberapa skenario yang menunjukkan bahwa perubahan iklim berkorelasi terhadap migrasi. Ini adalah isu nyata yang menjadi tantangan bagi tata kelola global.

  Definisi Legal

  Ada perdebatan terkait terusirnya seseorang dari tempat asalnya karena alasan lingkungan, apakah akan disebut migrant atau refugees. Para aktivis lebih cenderung menggunakan istilah refugees untuk memberikan penekanan pada urgensi atas isu tersebut. Mereka khawatir penggunaan istilah lain selain refugee

Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  dikhawatirkan akan menurunkan tingkat keseriusan dari situasi orang-orang tersebut (Brown, 2008:13).

  Sedangkan setelah kata refugees, ada beberapa pendekatan yang berbeda dalam menamainya. Ada yang menempatkannya sebagai pengungsi yang berpindah dengan alasan lingkungan (environmental refugees) (El-Hinnawi, 1985, Jacobson, 1988, dalam Warner et al, 2009, Myers, 1995). Adapula yang lebih spesifik menyebutnya sebagai climate refugees (abc.net.au, Huffington Post). Kelompok lembaga riset yang tergabung dalam Global Governance Project (glogov.org) bahkan merumuskan definisi yang spesifik merujuk pada climate refugees .

  El-Hinnawi (dalam Warner et al: 2009) mendefinisikan environmental

  

refugees sebagai orang-orang yang terpaksa harus pergi dari tempat tinggal

  mereka, baik sementara maupun permanen, karena bencana lingkungan baik yang terjadi secara alami maupun yang disebabkan karena ulah manusia. Gangguan ini dianggap mengancam eksistensi atau secara serius mempengaruhi kualitas hidup manusia. Yang dimaksud dengan gangguan lingkungan disini adalah adanya perubahan baik fisik, biologis maupun kimiawi di dalam ekosistem yang berpengaruh pada daya dukung lingkungan.

  Sedangkan Jacobson mengklasifikasikan environmental refugees menjadi tiga jenis. Pertama, mereka yang berpindah sementara karena bencana local, misal gempa bumi. Kedua adalah mereka yang terpaksa berpindah karena degradasi tanah yang cukup parah sehingga berpotensi menurunkan kualitas hidup manusia, termasuk dalam hal kesehatan. Ketiga, mereka yang harus mencari tempat tinggal baru karena kerusakan permanen terhadap lingkungan yang tidak bisa dikembalikan lagi ke kondisi semula, misal: penggurunan (desertification).Adapun cendikiawan yang lain, Myers (1995:1) mendefinisikan

  

environmental refugees sebagai orang yang tidak mampu mempertahankan

  kehidupan mereka di tempat asal karena kekeringan, erosi tanah, penggurunan, penggundulan hutan (deforestation) dan masalah-masalah lingkungan lainnya.

  Tiga belas lembaga riset Eropa yang tergabung dalam Global

  

Governance Project (glogov.org) memiliki definisi yang secara spesifik merujuk

  pada climate refugees. Mereka mendefinisikan Climate refugees sebagai

  Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  

“orang-orang yang meninggalkan habitat mereka, segera atau di masa yang

akan datang, karena perubahan yang sangat mendadak nterhadap lingkungan

alam mereka, setidaknya terkait dari satu dari tiga dampat dari perubahan iklim

berikut: kenaikan permuakaan air laut, cuaca ekstrim, dan kekeringan dan

kelangkaan air” (glogov.org).

  Kembali pada kasus yang menimpa Teitota, kasus ini termasuk dalam definisi-definisi tersebut, terutama definisi yang diajukan oleh Global Governance Project. Namun, apakah definisi-definisi tersebut selaras dengan definisi pengungsi yang secara luas diterima sebagai definisi legal?

  Secara hukum, definisi pengungsi selalu mengacu pada Pasal 1 Huruf A (2) Konvensi tentang Pengungsi. Jika menilik pada sejarah, maka kemunculan konvensi ini merupakan bentuk pengakuan adanya krisis pengungsi dan perlunya kerjasama antar negara untuk mengatasinya. Pada awalnya konvensi ini hanya berlaku untuk melindungi pengungsi Eropa pasca berakhirnya Perang Dunia II (Artikel 1 Huruf B, lihat Oswald dan Schmelz, 2009). Konvensi ini baru menjadi instrumen universal dengan disepakatinya protokol 1967 yang memperluas jangkauannya dan menghilangkan batasan geografis yang ada di dalam konvensi tersebut. Karena itu, sebagai instrumen perlindungan terhadap pengungsi Konvensi 1951 tidak bisa dilepaskan dari protokol 1967.

  Di dalam konvensi tersebut seseorang dianggap sebagai pengungsi jika:

  “(2) As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it. In the case of a person who has more than one nationality, the term “the country of his natio nality” shall mean each of the countries of which he is a national, and a person shall not be deemed to be lacking the protection of the country of his nationality if, without any valid reason based on well-founded fear, he has not availed himself of the protection of one of the countries of which he is a national.”

  Ada empat poin diperhatikan definisi pengungsi menurut konvensi tersebut. Pertama, seorang yang akan mengklaim status pengungsi harus berada di luar negara asalnya. Jika menilik pada rentetan definisi di atas maka terlihat Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  bahwa baik environmental refugees maupun climate refugees sama-sama tidak mensyaratkan tentang perlunya seseorang untuk berada di luar negara asalnya. Yang jelas, refugee dalam dua konsep tersebut berarti orang yang meninggalkan tempat tinggal atau habitatnya, tanpa ada ketentuan harus melintasi batas negara atau tidak.Kedua, harus ada ketakutan akan adanya penyiksaan. Pengacara Teitiota, seperti dilaporkanDeutch Welle (dw.de November 2011), berargumen bahwa kliennya berhak mendapatkan status pengungsi karena sudah memiliki kriteria legal seorang pengungsi yakni ‘fear of persecution’ ditempat asalnya. Seperti dikutip ABC (abc.net.au, 26 November 2013) pengacara Teitiota mengatakan bahwa kliennya telah

  ‘persecuted passively’ (mendapatkan penyiksaan secara pasif) oleh lingkungan, di mana pemerintah Kiribati tidak berdaya mengatasi dampak dari perubahan iklim, terutama kenaikan permukaan air laut. Ada tidaknya

  ‘fear of persecution’ ini yang menjadi pengganjal dalam kasus Teitiota. Dalam keputusannya, Hakim John Priestley menyatakan bahwa Teitiota tidak memenuhi syarat karena dirinya tidak

  ‘directly persecuted’

  (huffingtonpost.com, news.net.au). Kondisi Teitiota, menurut hakim, tidak berbeda dengan warga Kiribati lainnya. Sehingga, tidak ada alasan bagi hakim untuk membuat pengecualian atas kasusnya.

  Lebih lanjut hakim Priestley mengatakan jika definisi pengungsi untuk mengakomidasi orang-orang seperti Teitiota, maka akan ada jutaan orang di dunia (yang mengalami penderitaan akibat perubahan iklim) yang bisa mengklaim status pengungsi. Selain itu, hakim juga mengatakan bahwa pengadilan di New Zealand tidak cukup untuk merubah definisi tersebut. Ketiga, ketakutan seperti disebut dalam poin dua harus berdasarkan satu dari lima hal berikut: ras, kebangsaan, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau argumen politik orang bersangkutan. Keempat, ketakutan tersebut harus dapat dibuktikan. Kasus Teitiota jelas tidak masuk dalam lima hal tersebut sehingga sulit juga untuk dibuktikan.

  Dari perdebatan pandangan antara hakim Priestley dan pengacara Teitiota di atas terlihat bahwa definisi legal dari refugee tidak mencakup mereka yang ‘terusir’ karena lingkungan karena tidak termasuk dalam kategori fear of

  

persecution seperti yang tercantum dalam definisi pengungsi. Di dalam

  Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  keputusannya hakim Priestley juga menyatakan bahwa pengadilan di New Zealand tidak memiliki kuasa yang cukup untuk merubah definisi tersebut. Artinya, selama tidak ada perubahan terhadap definisi legal dari pengungsi, maka kasus-kasus serupa kasus Teitota, menjadi tidak memiliki landasan hukum untuk bisa mengklaim status pengungsi sekaligus perlindungan internasional.

  Ancaman Perubahan Iklim Dampak perubahan iklim nyata dan bisa ditemukan secara kasat mata.

  Salah satunya adalah yang dilaporkan oleh satelit NASA. Berdasarkan data dari NASA, di akhir 2008 terdapat kurang lebih 1,5 sampai 2 triliyun ton es di Greenland, Antarctika dan Alaska yang mencair dengan kecepatan tinggi sejak 2003 (Grinberg, 2008). Untuk Greenland sendiri angka tersebut mencapai 150 milyar

  • – 160 milyar ton tiap tahunnya. Jumlah tersebut cukup untuk menaikkan tinggi permukaan laut global sebesar 0.5 mm per tahunnya.

  Jika merujuk pada prediksi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), diperkirakan pada tahun 2100 terjadi peningkatan tinggi air laut antara 15 sampai 95 centimeter (Burns, 2003:235). Kenaikan sejumlah tersebut tentu akan membawa akibat serius bagi negara-negara dataran rendah, terutama negara-negara kepulauan kecil yang banyak tersebar di kawasan Pasifik, termasuk Kiribati.

  Tanah air Teitiota, Kiribati, adalah salah satu dari beberapa wilayah di Pasifik yang menghadapi masalah serius terkait kenaikan permukaan air laut. Permukaan tertinggi dari negara yang terdiri dari 32 gugusan pulau atol tersebut tidak lebih dari dua meter di atas permukaan laut (bbc.co.uk). Merujuk pada ketinggian maksimal Kiribati, jika prediksi kenaikan tinggi permukaan air laut pada tahun 2100 mencapai 95 cm sesuai analisa IPCC, maka pada tahun tersebut terjadi sebagian dari permukaan negara ini sudah berada di bawah lautan. Hanya masalah waktu saja hingga kenaikan permukaan air laut mencapai 200 cm, kemungkinan terburuk adalah hilangnya Kiribati dalam peta dunia.

  Kiribati bukan satu-satunya negara yang memiliki masalah tersebut. Negara-negara atol berdataran rendah di Pasifik Selatan seperti Masrshall Islands, Tuvalu, Nauru, Tokelau juga menghadapi masalah yang pelik ini.

Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  Kenaikan tinggi permukaan laut sebesar satu meter saja sudah melingkupi 80 persen dari Atol Majuro, Marshall Islands, tempat tinggal dari separuh populasi negara kepulauan tersebut (Burns, 2003:235).

  Tidak hanya negara-negara di Pasifik yang terkena dampak dari kenaikan tinggi permukaan laut. Negara berdataran rendah seperti Bangladesh juga memiliki masalah yang sama. Peningkatan tinggi permukaan air laut sebesar 45 cm akan memangsa kurang lebih 10,9 persen wilayah Bangladesh (IPCC, 2001 di Barnet, 2003:9). Kehilangan wilayah sebesar ini berpotensi untuk mengusir 5,5 juta penduduk negara dataran rendah tersebut. Barnet mengatakan bahwa meskipun kehilangan wilayah ini akan lebih signifikan bagi negara-negara kepulauan kecil, seperti negara-negara pasifik, namun potensi masalah yang bakal dihadapi Bangladesh juga tidak bisa dianggap enteng. Ini karena negara di kawasan Asia Selatan tersebut memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi daripada negara-negara di Pasifik Selatan.

  Permasalahan lainnya adalah meskipun tidak memiliki penduduk sepadat Bangladesh, negara-negara di Pasifik Selatan memiliki karakteristik yang sama dengan Bangladesh ; wilayah pesisir adalah yang paling padat. Tidak hanya itu, sebagian besar infrastruktur juga terdapat di kawasan pesisir. Dengan keterbatasan ekonomi negara-negara mikro di Pasifik Selatan, maka sulit bagi mereka untuk membangun kembali infrastruktur yang turut tenggelam jika tinggi permukaan laut sudah melebihi tinggi daratan (Burns, 2003: 236). Lebih jauh lagi, sebagian besar kegiatan ekonomi juga dilakukan di pesisir. Sehingga kehilangan wilayah pesisir akibat kenaikan permukaan air laut, tentu akan membawa dampak yang luar biasa bagi negara-negara mikro di Pasifik Selatan.

  Sebenarnya masih ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan wilayah pesisir yaitu dengan membangun tembok pantai (sea wall) (Burns, 2003: 236). Hanya saja biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunannya tidak sebanding dengan kekuatan ekonomi negara-negara mikro di Pasifik Selatan. Misal, pembangunan tembok pantai di Marshall Islands menghabiskan kira-kira 100 juta dolar sementara gross domestic product (GDP) tahunan negara tersebut hanya 80 juta dolar (Burns, 2003:236). Ilustrasi tersebut menunjukkan

  Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  bagaimana pilihan untuk ‘menyelamatkan diri’ sangat terbatas bagi negara- negara mikro di Pasifik Selatan.

  Kenaikan tinggi permukaan air laut tidak hanya berpengaruh terhadap tenggelamnya daratan,namun juga terhadap ketersediaan air bersih. Ketersediaan air ber sih merupakan faktor lain yang ‘mengusir’ mereka dari tempat tinggalnya. Intrusi air laut menyebabkan semakin berkurangnya persediaan air bersih yang pada dasarnya terbatas bagi sebagian besar negara-negara mikro di Pasifik Selatan (Burns, 2003: 241-242).

  Ketersediaan air bersih tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan tinggi permukaan air laut. Cuaca yang tidak menentu dan gelombang tinggi menjadi penyebab lainnya. Karena persediaan air sangat tergantung pada curah hujan, maka perubahan pola cuaca akan berakibat buruk bagi negara-negara mikro di Pasifik Selatan (Burns, 2003: 244-245). Tidak itu saja, gelombang pasang yang menghantam kawasan pesisir juga turut berpengaruh merusak persediaan air bersih dengan cara membawa serta air laut ke dalamnya. Air laut yang terbawa gelombang pasang juga menyebabkan tanah menjadi terlalu banyak mengandung garam sehingga tidak bisa ditanami lagi.

  Dampak perubahan iklim terhadap kelangkaan air merupakan penyebab banyaknya wilayah tidak lagi layak ditinggali, bahkan sebelum wilayah itu tenggelam di dasar lautan. Kondisi inilah yang membuat Presiden Kiribati, Anote Tong, pada awal 2013 memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 30 sampai 60 tahun negaranya tidak akan bisa dihuni lagi (Vidal, 2013). Menurut Tong, saat ini air laut sudah terlalu jauh menginvasi beberapa pulau dan penduduk sudah berduyun-duyun pindah ke ibukota, Tarawa Selatan, untuk bisa bertahan hidup. Kiribati bahkan sudah bersiap membeli 6000 hektar lahan subur di Fiji untuk bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan pangan kurang lebih 110.000 penduduknya.

  Lebih jauh, pembelian tanah tersebut tidak bisa dihindari lagi. Menurut Presiden Tong tanah yang akan dibeli dari Fiji tersebut juga dijadikan sebagai persiapan jikalau Kiribati sudah tidak mampu lagi menjadi tempat tinggal bagi sebagian, atau bahkan seluruh penduduknya. Seperti dikatakan oleh Tong, bagi

Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  Kiribati migrasi bukanlah sebuah pilihan, melainkan cara untuk bertahan hidup (Leony, 2012).

  Kenaikan temperatur sebagai imbas dari perubahan iklim juga berpengaruh buruk bagi sebagian besar negara-negara mikro di Pasifik Selatan (Burns, 2003: 243-245, Julca dan Paddison, 2010:720). Terumbu karang memiliki toleransi temperatur yang sempit. Peningkatan temperatur lautan bisa berakibat fatal terhadap gugusan terumbu karang yang ada di pesisir. Permasalahannya adalah terumbu karang adalah benteng alami terhadap gerusan air laut sekaligus sumber penghasilan. Mengingat bahwa terumbu karang adalah tempat tinggal ikan-ikan dan sebagian besar penduduk negara-negara mikro di Pasifik Selatan bergantung pada sektor perikanan, maka kerusakan pada terumbu karang berarti ancaman bagi kehidupan ekonomi penduduknya.

  Keterkaitan antara bencana yang terkait cuaca (violent weather events, seperti: topan, badai,angin puyuh) dan perubahan iklim memang masih diperdebatkan. Berapa peneliti menganggap bahwa keterkaitan antara bencana- bencana tersebut dan perubahan iklim terlalu menyederhanakan yang sesungguhnya terjadi (Burns, 2003: 244-245). Meski demikian Burns melihat ada korelasi antara keduanya. Dia mengatakan bahwa jika benar keduanya berkorelasi maka perubahan iklim terbukti terbukti berdampak sangat buruk karena pertahun menghilangkan lebih dari 15.000 jiwa dengan jumlah korban terbanyak berasal dari negara berkembang. Untuk kasus negara-negara mikro di Pasifik Selatan bencana seperti badai dan gelombang pasang berkontribusi besar dalam menghancurkan produk-produk pertanian mereka (Burns, 2003: 244-245).

  Ada total 52 negara yang masuk dalam kategori Small Island Developing States (SIDS). negara-negara mikro di Pasifik Selatan masuk dalam kategori tersebut. Meskipun antara negara satu dan yang lain memiliki banyak perbedaan yang mencolok, namun ada satu karakteristik yang dimiliki oleh semua negara tersebut: bahwa semuanya rawan bencana (Julca dan Paddison, 2010:717)

  Perubahan Iklim dan Migrasi

  Menghubungkan antara perubahan iklim dan migrasi adalah pekerjaan yang rumit (Brown, 2008, McLeman, 2013). Ini karena sebagian besar dari

  Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  mereka yang bermigrasi tidak menjadikan perubahan iklim sebagai alasannya utamanya (Brown, 2008:10). Para migran lebih merujuk pada alasan yang sangat subyektif seperti alasan lingkungan sebagai pendorong (push factor) dan alasan ekonomi sebagai penarik (pull factor). Mengeluarkan faktor perubahan iklim dari jalin kelindan tumpukan alasan orang bermigrasi menurut Brown membutuhkan

  ‘ambitious analytical step into the dark’ (Brown, 2008:10). Perlu ambisi analitik yang cukup besar untuk mewujudkannya.

  Bahkan tidak ada pula badan dunia yang bisa memberikan angka pasti berapa jumlah climate refugees. Badan dunia untuk urusan pengungsi, The United Nations High Commission for Refugees (UNHCR), menyediakan perlindungan terhadap 10,55 juta pengungsi di dunia dan 14,7 juta mereka yang berpindah namun masih dalam batas satu negara atau internal Displaced Persons (IDPs) (UNHCR, 2011 dalam Leman, 2013:604). Namun badan ini memiliki keterbatasan dalam menyediakan data untuk mereka yang terusir karena faktor lingkungan. McLeman mengatakan alasan lingkungan dianggap tidak memiliki alasan kuat untuk mengklaim status pengungsi (McLeman, 2013:604). Ketika secara definisi sulit untuk mendapatkan pengakuan, maka akan sulit pula untuk melakukan ‘sensus’, menghitung jumlah pengungsi (maupun IDPs) yang terpaksa harus meninggalkan tempat asalnya karena alasan perubahan iklim.

  Angka-angka terkait climate refugees pun seringkali berupa estimasi dan dalam beberapa diantaranya dianggap menjadi bagian dari environment refugee. Estimasi yang diterima dan dikutip di banyak publikasi termasuk yang diterbitkan IPCC hingga Stern Review on the Economics of Climate Change adalah yang disampaikan oleh Norman Myers (Brown, 2008:11).

  th

  Di dalam 13 Economic Forum , Praha 2005, Myers (2005:1) mengatakan bahwa ada fenomena baru di arena global, yakni environmental refugees. Berdasarkan definisi yang sudah disampaikan di bagian atas, Myers mengatakan pada tahun 1995 saja terdapat 25 juta jiwa environment refugees. Jumlah ini cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah pengungsi tradisional (mereka yang terusir karena tekanan politik, penganiayaan gara-gara agama dan masalah etnis) yang berjumlah 27 juta jiwa.Menurut Myers, mereka yang dikategorikan sebagai environment refugees ini tidak memiliki alternatif lain Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  selain mengungsi. Tidak semuanya meninggalkan negara asalnya, sebagian tetap berada di negara asalnya, baik secara permanen maupun tidak, namun dengan sedikit harapan untuk bisa kembali.

  Lebih jauh, Myers percaya bahwa pada tahun 2050 jumlah

  

environmental refugees bisa mencapai 200 juta orang. Menurut Myers, jumlah

  sebesar ini disebabkan karena gangguan musim hujan (yang bisa berakibat pada banjir, tanah longsor dan bencana lainnya), kekeringan, kenaikan tinggi permukaan laut dan juga banjir di kawasan pantai (rob) yang semakin intensif terjadi di dunia.

  Menurut Brown, estimasi angka tersebut mengkhawatirkan karena itu berarti pada tahun 2050 akan ada satu dari 45 orang di dunia yang menjadi environmental refugee (Brown, 2008: 11-12). Jumlah tersebut juga melebihi dari angka pengungsi secara umum yang dicatat oleh Organization for Migration (IOM) yakni 192 juta jiwa. Namun, lanjut Brown, angka tersebut masih tentatif seperti diakui juga oleh Myers bahwa meskipun dihitung dari data terbaik yang bisa ditemukan, namun butuh perhitungan ekstra untuk bisa sampai pada angka tertentu.

  Terlepas dari kritik yang dialamatkan pada perhitungan Myers, Brown (2008:12) mengatakan ada satu hal yang bisa dipastikan: bahwa belum ada perhitungan yang pasti bagaimana perubahan iklim mempengaruhi distribusi umat manusia. Estimasi terkini, tambah Brown, berkisar antara 25 juta hingga 1 milyar jiwa.

  Pemberi estimasi lain adalah Non Governmental Organization (NGO) yang berbasis di Inggris, Oxfam. Organisasi tersebut (2009) mencatat bahwa setiap tahun jumlah rata-rata orang yang terkena dampak bencana alam sekitar 250 juta orang. Pada kurun waktu antara 1998

  • – 2007, 98 persen diantara ratusan juta orang tersebut adalah mereka yang terkena bencana terkait iklim (climate related disaster). Di dalam laporan Oxfam yang bertajuk

  ‘right to survive report’

  disebutkan bahwa jumlah tersebut tumbuh lebih dari 50 persen pada tahun depan (2015) menjadi 375 juta orang per tahunnya. Meskipun tidak memiliki angka pasti dan masih banyaknya pro kontra terhadap fenomena climate refugees, tidak berarti bahwa migrasi akibat perubahan iklim bisa dikesampingkan begitu saja.

  Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  Brown (2008: 25-30) menyebutkan ada tiga skenario yang bisa digunakan untuk melihat bagaimana korelasi perubahan iklim dan migrasi di masa depan: The

  Good, The Bad dan The Ugly.

  Skenario pertama adalah The Good. Dalam skenario ini diasumsikan bahwa populasi akan mencapai puncaknya di pertengahan abad dengan bilangan sembilan miliar, namun sudah menunjukkan tanda-tanda menurun hingga tujuh miliar. Telah terjadi perubahan di struktur ekonomi sehingga negara-negara miskin dan berkembang memiliki kemampuan adaptasi yang cukup untuk menghadapi perubahan iklim. Teknologi ramah lingkungan juga banyak digunakan. Telah berdiri rezim baru pasca Protokol Kyoto dan negara-negara BRIC (Brasil, Russia, India dan China) menjadi bagian di dalamnya. Konsentrasi CO2 juga stabildi angka 600 ppm sehingga kenaikan temperatur hanya berkisar 1,8 derajat celcius dan kenaikan tinggi permukaan air laut hanya sekitar 8

  • – 18 cm di akhir abad 21. Jika kondisi ini terpenuhi, maka Brown yakin bahwa estimasi 200 juta climate refugees di tahun 2050 terlihat berlebihan. Di skenario ini, menurut Brown, kenaikan jumlah climate refugees mungkin hanya berkisar 5 sampai 10 persen.

  Skenario kedua, The Bad, menggunakan asumsi yang kira-kira sama dengan The Good di bagian awalnya. Hanya saja, dalam skenario kedua ini sumber energi yang digunakan berimbang antara sumber yang berasal dari fosil maupun non fosil dan usaha untuk menekan jumlah emisi gas rumah kaca juga tertahan. Akibatnya konsentrasi CO2 berkisar di 850 ppm sehingga berdampak pada kenaikan temperature sebesar 2,4 derajat celcius dan kenaikan tinggi permukaan air laut berkisar antara 21

  • – 48 cm di akhir abad 21. Kondisi ini, menurut Brown akan menyebabkan 1 sampai 4 milyar orang terancam kekurangan air bersih dan jumlah yang terdampak banjir akan mencapai 170 juta jiwa.

  Skenario ketiga, The ugly, terjadi jika pertumbuhan penduduk tetap berlangsung hingga akhir abad 21 dan penggunaan energi fosil masih masif. Selain itu, tidak ada upaya yang serius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca maupun meningkatkan daya adaptasi negara-negara miskin dan berkembang. Konsentrasi gas CO2 akan mencapai 1550 ppm yang notabene adalah lima kali Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  lipat masa pre industri dan empat kali lipat dari kondisi sekarang. Akibatnya, kenaikan temperatur mencapai 4 derajat Celsius dan kenaikan tinggi permukaan air laut bisa mencapai 29

  • – 59 cm. Kenaikan temperature sebesar 4 derajat Celcius diprediksi akan menyebabkan Afrika bagian selatan dan Meterania berkurang 50 persen cadangan air bersinya. Produksi agrikultur akan berkurang signifikan dan ratusan juta orang terancam banjir. Di bawah skenario ini, menurut Brown, estimasi climate refugees sebesar 200 juta pada tahun 2050 bisa jadi dengan mudah terlampaui.

  Dampak perubahan iklim terhadap migrasi di masa mendatang, menurut Brown (2008:25) tergantung pada beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain: jumlah emisi gas rumah kaca di masa yang akan datang, tingkat pertumbuhan populasi dan distribusinya, evolusi meteorologis perubahan iklim, efektivitas strategi adaptasi lokal dan nasional.

  Penutup

  Jika melihat pada skenario yang diungkapkan Brown di atas terlihat bagaimana tata kelola global memegang peranan penting dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang berpotensi mendorong terjadinya migrasi. Tata kelola global bisa berperan dalam merubah struktur ekonomi sehingga meningkatkan kemampuan beradaptasi negara-negara miskin dan berkembang dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Tata kelola global juga menjadi harapan utama dalam mengatasi penyebab utama perubaham iklim; mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

  Perubahan iklim merupakan isu yang ironis karena mereka yang paling terkena dampaknya adalah mereka yang memiliki kontribusi paling kecil terhadap penyebabnya. Negara-negara yang masuk dalam kategori Small Island

  

Developing Countries (SIDS) hanya menyumbang 1 persen dari total gas rumah

  kaca, namun menjadi kelompok negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim (Heger et al, 2008, dalam Julca dan Paddison, 2010). Isu ini tidak hanya berpotensi untuk memperdalam konflik antara negara-negara Selatan dan Utara, namun juga berpotensi menumbuhkan konflik antar negara Selatan, mengingat bahwa India, China dan juga Brasil turut bagian menjadi

  Muhammad Riza Hanafi : Climate

Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

  negara dengan sumbangan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Terkait dengan ini, hanya tata kelola global yang mampu menjadi penyeimbang antara negara-negara SIDS dengan negara-negara industri tersebut, baik dari Selatan maupun Utara.

  Tidak tersedianya data pasti tentang jumlah climate refugees juga menunjukkan minimnya perhatian yang diberikan oleh tata kelola global terhadap isu ini. Definisi pengungsi yang sudah berusia 63 tahun mungkin perlu ditinjau ulang untuk mengakomodasi perkembangan wacana terkait ancaman yang dihadapi oleh manusia. High Level Threat Panel of the United Nations pada tahun 2004 telah menjadikan perubahan iklim (masuk dalam kategori degradasi lingkungan) sebagai salah satu dari 10 sumber ancaman dunia. Perubahan iklim dianggap sama mengancamnya dengan sumber ancaman lain sepertikemiskinan, penyakit menular,perang antar negara, perang sipil, genosida, kejahatan kemanusiaan lain (misal perdagangan manusia atau penculikan untuk diambil organ tubuhnya), senjata pemusnah misal, terorisme dan kejahatan transnasional.

  Menilik pada ancaman akibat perubahan Iklim sebagai sesuatu yang nyata dan berpotensi akan berkelanjutan, maka pengabaian terhadap isu climate

  

refugees bisa diibaratkan menyimpan api di dalam sekam. Jika tidak segara

  diatasi dengan cepat dan tepat, permasalahan akan membesar dan ketika kita menyadari, semua sudah terlambat. Demikian pula dengan isu climate refugees. Jika tata kelola global tidak segera mencari solusi, bisa jadi ketika kesadaran itu muncul, semua sudah terlambat dan tidak bisa ditarik kembali.

  REFERENSI Buku

Barnett, Jon, 2003, Security and Climate Change, Global Environmental Change, 13

(1): 7-17.

Burns, William C. G., 2003, The Impact of Climate Change on Pacific Island

  Developing Countries in the 21st Century, in Alexander Gillespie and William C.G. Burns (eds.), Climate Change in the South Pacific: Impacts and Responses in Australia, New Zealand, and Small Island States , Kluwer Academic Publishers, New York Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”

Julca, Alex dan Oliver Paddison, 2010, Vulnerabilities and Migration in Small Island

  Developing States in the Context of Climate Change, Nat Hazards, No 55 Tahun 2010

Kneebone, Susan, 2009, Introduction: Refugees and Asylum Seekers in the International

Context

  • – Rights and Realities, di Susan Kneebone (ed), Refugee, Asylum Seekers and The Rule of Law: Comparative Perspectives , Cambridge University Press,

  Cambridge Jurnal Brown, Oli, Anne Hammil and Robert Mcleman, 2007,

  Climate change as the ‘new’ security threat: implications for Africa , International affairs, v.83, no.6 Website Anonim, 2013, Pacific Islander Ioane Teitiota fails in bid to be first climate change refugee , ABC network, 26 November 2013, diunduh dari

http://www.abc.net.au/news/2013-11-26/kiribati-ioane-teitoa-refugee-new-

zealand-climate-change/5117848 pada 1 April 2014

  

Anonim, 2013, Kiribati Island: Sinking into the sea? BBC, 25 November 2013, diunduh

dari http://www.bbc.com/news/science-environment-25086963 pada 1 April 2014

Anonim, 2009, Right to Survive Report, Oxfam International, diunduh dari

http://www.oxfam.org/en/policy/right-to-survive-report, pada 14 September 2009 Brown, Oli, 2008, Migration and Climate Change, International Organization for Migration (IOM) Migration Research Series, Jenewa, diunduh dari http://www.iom.int pada 1 April 2014

Global Governance Project, Forum on Climate Refugees , diunduh dari

http://www.glogov.org/?pageid=80 pada 1 April 2014 Grinberg, Emanuella, Ice Melting Across Globe at Accelerating Rate, NASA Says, CNN, 17 Desember 2008, diunduh dari http://edition.cnn.com/2008/TECH/science/12/16/melting.ice/, pada 14 September 2009

High Level Panel on Threats, Challenges and Change, 2004, A More Secure World: Our

Shared Responsibility, Report of the UN Secretary General’s High Level Panel on Threats, Challenges and Change , diunduh dari www.un.org/secureworld/, pada 14 September, 2009

Leoni, Brigitte, Migration not a matter of choice but survival, says Kiribati President,

The United Nations Office for Disaster Risk Reduction, 15 Maret 2012, diunduh dari http://www.unisdr.org/archive/25649pada 1 April 2014

  

McLeman, Robert, 2013, Developments in Modelling of Climate Change-related

Migration , Climatic Change, no. 117 tahun 2013, Springer

  Myers, Norman, 2005, Environmental refugees: An emergent security issue, 13th Economic Forum, Prague, May 2005 diunduh dari http://www.osce.org/node/14851 pada 1 April 2014

Dokumen yang terkait

Cordyceps militaris by Heterologous Expression of Global Regulator

0 0 8

REDD+ Financing to Enhance Climate Change Mitigation and Adaptation and Biodiversity Co-benefits: Lessons from the Global Environment Facility

0 0 13

Pengintegrasian Ecological Footprint Dan Identifikasi Bencana Ekologi Banjir Akibat Perubahan Iklim di Sumatera Selatan Integrating Ecological Footprint And Identification Of Flood Ecology Disaster Due To Climate Change In South Sumatra

0 0 5

Kajian Teknologi Hemat Air Pada Padi Gogo Pada Lahan Kering Masam Dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim Di Propinsi Riau Save Water Technology Assessment In Upland Rice On Dry Land Anticipated Climate Change In The Province Riau

0 0 8

The Global aGinG america The relaTionship of acTive aGinG, ciTizenship, and inTerculTural communicaTion compeTence

0 0 6

Correlational Study Between Self Concept, Parents’ Attention, Affiliation To Nonaggressive Group, And School Climate With Aggressivity

0 0 10

Analisis SWOT Sebagai Dasar Menentukan Kualitas Lulusan di SMK TI Bali Global Karangasem

0 0 6

Aplikasi Tata Kelola Skripsi STMIK STIKOM Bali Berbasis .Net Framework

0 0 6

Usulan Perbaikan Tata Letak Fasilitas Produksi Kedelai Goreng dengan Metode BLOCPLAN dan CORELAP (Studi Kasus pada UKM MMM di Gading Kulon, Malang) Improvement of Production Facility Layout of Fried Soybean using BLOCPLAN and CORELAP Method (A Case Study

1 4 10

Pengembangan Multimedia (Audiovisual) Pembelajaran Matematika Pada Materi Bangun Ruang Bagi Siswa Kelas IV SD

0 0 8