Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor)
PENILAIAN EKONOMI
BERBAGAI POLA PENGGUNAAN LAHAN
BERDASARKAN CITRA SATELIT IKONOS TAHUN 2003
(Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu,
Kabupaten Bogor)
NURDIN SULISTIYONO
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2006
Nurdin Sulistiyono
(3)
ABSTRAK
NURDIN SULISTIYONO. Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor) Dibimbing oleh : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman MA dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo MSc.
Kegiatan penggunaan lahan di daerah hulu DAS sangat berpengaruh terhadap daerah hilir, karena pola penggunaan lahan di daerah hulu mempunyai eksternalitas negatif terhadap daerah hilir. Adanya dampak negatif ini tidak cukup dicegah dengan cara meminta masyarakat di daerah hulu untuk merubah pola penggunaan lahannya yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Mengingat dengan perubahan tersebut dapat menyebabkan pola kesejahteraan masyarakat bisa berkurang, maka perlu adanya mekanisme kompensasi atas perubahan penggunaan lahan di daerah hulu. Hal ini penting agar dampak negatif dari kegiatan pola penggunaan lahan di daerah hulu ini dapat dikurangi sementara disisi lain dapat meningkatkan pola kesejahteraan masyarakat hulu.
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah menentukan pola penggunaan lahan berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, membandingkan pola penggunaan lahan dengan RTRW Kabupaten Bogor, menentukan besarnya nilai ekonomi pada berbagai pola pengunaan lahan serta menentukan besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya pada kawasan lindung di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. Untuk menentukan besarnya nilai ekonomi berbagai penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat digunakan pendekatan produktivitas dan kesediaan membayar. Untuk menentukan besarnya nilai ekonomi hutan lindung digunakan pendekatan nilai ekonomi total. Sementara untuk mengidentifikasi pola penggunaan lahan yang ada dilakukan dengan bantuan citra satelit Ikonos Tahun 2003 dengan metode on screen.
Hasil penelitian menunjukkan dari 39,24 % luas total Sub DAS Ciesek yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung kini hanya tinggal 24,68 % dari luas total Sub DAS Ciesek yang masih menyisakan kawasan bervegetasi hutan. Pada kawasan-kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung, besarnya biaya kompensasi yang diberikan untuk mengganti pertanian lahan basah adalah sebesar Rp.3.386.986,58/ha/tahun, pertanian lahan kering sebesar Rp.7.562.937,97/ha/tahun dan kebun campuran sebesar Rp.3.093.222,65/ha/tahun. Sementara bagi bangunan rumah yang sebagian besar merupakan villa-villa seharusnya mereka diberikan pajak lingkungan yang tinggi karena telah membangun pemukiman di kawasan lindung. Besarnya nilai ekonomi penggunaan lahan pada kawasan lindung pada saat ini memberikan kontribusi sebesar Rp.9.550.570.082,90/tahun atau Rp.1.470.531.389,76 lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan lahan berdasarkan RTRW tahun 2000 yang memberikan kontribusi sebesar Rp.8.080.038.693,14/tahun. Diharapkan informasi nilai ekonomi berbagai pola penggunaan lahan serta nilai kompensasi perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek bisa menjadi langkah awal untuk
(4)
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungiDilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagaian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
(5)
PENILAIAN EKONOMI
BERBAGAI POLA PENGGUNAAN LAHAN
BERDASARKAN CITRA SATELIT IKONOS TAHUN 2003
(Studi Kasus di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek,
Kabupaten Bogor)
NURDIN SULISTIYONO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(6)
Judul : Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor)
Nama : Nurdin Sulistiyono
NIM : E 051020041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. Ketua
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
(7)
ABSTRACT
The type of land uses in sub-watershed of Ciesek which is located in the upstream of Ciliwung watershed affects the downstream area. The land use types in the upstream give a negative externality to the downstream area. Land use types which are not in accordance with regional land use allocation plan may give a higher economical benefit. On the other hand, the environmental functions can be disturbed. A higher resolution satellite image, Ikonos of the year of 2003, was used to identify the land use types.
This study aims to obtain information on land use types with remote sensing analysis using ikonos satellite image and to assess the economical value of sub-watershed of Ciesek, Ciliwung Hulu Watershed. The concept of economical valuation which was used to assess the economical value of protected area is the concept of total economical value. The methods are market price valuation, travelling cost, substitution cost and continget valuation methods. Productivity approach was used as the method of cultivation area valuation.
The research shows that the land use types of Ciesek sub-watershed are not in accordance with the allocated types. The total economical value of the protected area is 5,068,626,150.83 rupiahs/year or 7,741,539.89 rupiahs/ha/year. The economical value of the wet land agriculture is 3,729,747 rupiahs/ha/year, dry land agriculture is 7,905,698.23 rupiahs/ha/year. Mixed garden has the economical value of 3,435,982.91 rupiahs/ha/year while the common house types has the value of 554,653,679.65 rupiahs/ha/year and villa types give the value of 1,288,702,928.87 rupiahs/ha/year.
(8)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan kering dan hutan sedangkan di wilayah hilir didominasi oleh pertanian lahan basah sawah dan pemukiman. Sistem Pengelolaan DAS harus dilakukan terintegrasi antara wilayah hulu dan hilir, dalam pengertian berbagai kegiatan pengelolaan di wilayah hulu dan hilir harus berjalan saling menunjang dan dapat dikoordinasikan. Sistim pengelolaan DAS di Indonesia masih banyak yang tidak memperhatikan hubungan keterkaitan daerah hulu-hilir sehingga banyak dijumpai DAS-DAS terutama dibagian hulu yang keadaannya kritis atau rusak.
DAS Ciliwung merupakan DAS yang tergolong kritis. Pada dasarnya, DAS Ciliwung mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan DAS kritis lainnya. Walaupun demikian, ada beberapa hal yang menyebabkan DAS Ciliwung mendapat sorotan yang lebih banyak dibandingkan DAS-DAS lainnya, antara lain karena : (a) Wilayah Hilir DAS Ciliwung mencakup daerah ibukota negara (DKI Jakarta) yang sangat kaya akan asset-asset nasional dan pemukiman penduduk, (b) Kerusakan wilayah hulu DAS Ciliwung tidak semata-mata akibat kegiatan pertanian, tetapi juga oleh tumbuhnya pemukiman dan prasarana lainnya yang tidak berwawasan lingkungan, dan (c) wilayah hulu DAS Ciliwung merupakan kawasan wisata yang terus berkembang, hingga membutuhkan perencanaan yang dapat mengakomodasi tuntutan perkembangan tersebut.
Mengingat betapa pentingnya keberadaan DAS Ciliwung Hulu sebagai daerah penyangga, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan berkaitan dengan rencana penggunaan lahan di daerah Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya
(9)
harus diprioritaskan. Kemudian pada tahun 1999, pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Bopunjur ditetapkan dengan fungsi utama kawasan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kemudian pada tingkat Pemerintahan Daerah, Pemda Kabupaten Bogor juga telah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada tahun 2000 yang mengatur tentang peruntukan penggunaan lahan yang penyusunannya telah disesuaikan dengan kaidah-kaidah lingkungan untuk seluruh wilayah Kabupaten Bogor termasuk Sub DAS Ciesek yang merupakan bagian dari DAS Ciliwung Hulu.
Permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu khususnya Sub DAS Ciesek adalah apakah pola penggunaan lahan yang ada sekarang telah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan. Dengan bantuan citra satelit Ikonos yang merupakan citra satelit dengan resolusi tinggi diharapkan dapat membantu pengidentifikasian pola penggunaan lahan yang ada sekarang dengan lebih teliti. Permasalahan lain yang muncul adalah bahwasannya pola penggunaan lahan di daerah hulu mempunyai eksternalitas negatif terhadap daerah hilir, misalnya dengan adanya dampak banjir dan erosi yang bisa terjadi di daerah hilir. Adanya dampak negatif ini tidak cukup dicegah dengan cara meminta masyarakat di daerah hulu untuk merubah pola penggunaan lahannya yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditentukan pemerintah. Untuk itu perlu dipikirkan suatu mekanisme pemberian kompensasi bagi masyarakat yang tinggal di daerah kawasan lindung di hulu DAS agar bersedia merubah pola penggunaan lahannya agar sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan.
Berkaitan dengan mekanisme kompensasi kepada masyarakat dalam mengkonservasi lahan, konsep Purchase of Development Right (PDR) telah dikembangkan di negara-negara bagian di wilayah barat Amerika Serikat. Ide dari konsep PDR ini adalah untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat petani yang bersedia mengkonservasi lahannya dengan cara tetap mempertahankan lahannya sebagai lahan pertanian dan tidak menjual lahannya untuk pemukiman.
(10)
Berangkat dari ide PDR di atas, agar fungsi-fungsi lingkungan yang sangat penting bagi daerah hilir dapat kembali dipulihkan, maka penggunaan lahan di daerah hulu yang ada sekarang harus dikembalikan kepada penggunaan lahan yang sesuai dengan kepentingan lingkungan seperti yang telah direncanakan dalam RTRW. Mengingat dengan perubahan tersebut dapat menyebabkan pendapatan atau pola kesejahteraan masyarakat bisa berkurang, maka perlu adanya mekanisme kompensasi atas perubahan penggunaan lahan yang ada di daerah hulu. Hal ini penting agar dampak negatif dari kegiatan pola penggunaan lahan di daerah hulu ini dapat dikurangi sementara disisi lain dapat meningkatkan pola kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah hulu. Permasalahannya berapa kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat di daerah hulu. Kompensasi yang sebaiknya diberikan adalah sebesar nilai ekonomi yang hilang akibat perubahan pola penggunaan lahan yang terjadi di daerah hulu. Untuk itu sebagai langkah awal penyediaan informasi nilai ekonomi berbagai pola penggunaan lahan yang ada menjadi sangat penting.
Penelitian ini berusaha memberikan informasi tentang berbagai pola penggunaan lahan dengan bantuan teknik penginderaan jauh menggunakan citra satelit Ikonos, nilai ekonominya serta besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya di kawasan lindung di Sub DAS Ciesek. Diharapkan informasi ini bisa menjadi salah satu referensi bagi pihak-pihak yang terkait dalam melakukan kebijakan pengelolaan DAS di kawasan DAS Ciliwung Hulu, khususnya Sub DAS Ciesek.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam kegiatan pengelolaan Sub DAS Ciesek di DAS Ciliwung Hulu, memuat beberapa permasalahan, yakni :
1. Terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dengan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Secara geografis fungsi Sub DAS Ciesek yang terletak di DAS Ciliwung bagian hulu memiliki fungsi penting sebagai kawasan yang melindungi daerah hilir, akan tetapi sekarang ini telah terjadi proses pergeseran penggunaan lahan. Sebagian wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung di Sub DAS Ciesek telah beralih fungsi sebagai
(11)
kawasan budidaya. Secara ekonomi pemanfaatan lahan dalam kawasan lindung sebagai kawasan budidaya mungkin mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi tapi berbahaya dari segi lingkungan.
2. Salah satu upaya penyelesaian konflik yang terjadi adalah dengan mengetahui nilai ekonomi dari berbagai pola penggunaan lahan yang ada. Hal ini dirasa penting untuk dapat mengetahui besarnya nilai kompensasi yang sewajarnya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari kegiatan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :
1. Menentukan pola penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003.
2. Membandingkan pola penggunaan lahan dengan RTRW Kabupaten Bogor untuk Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu.
3. Menentukan besarnya nilai ekonomi pada berbagai pola pengunaan lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu.
4. Menentukan besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya pada kawasan lindung.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk masukan dan input bagi peneliti, instansi terkait dan ilmu pengetahuan.
1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai media untuk menerapkan salah satu teknik penilaian ekonomi lingkungan dengan bantuan GIS dan Remote Sensing untuk mendeteksi pola pengunaan lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. 2. Bagi instansi terkait, penelitian ini berguna sebagai bahan informasi tentang
besarnya nilai ekonomi pada berbagai pola penggunaan lahan dan besarnya nilai kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya di kawasan lindung di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. Informasi ini diharapkan bisa menjadi salah satu dasar dalam
(12)
Kerangka Pemikiran
Persoalan yang dihadapi dalam upaya pelestarian dan perlindungan hutan alam di hulu DAS adalah masih kurangnya dukungan dari masyarakat dan instansi terkait. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, pengelola harus dapat meyakinkan bahwa berhasilnya upaya pelestarian kawasan ini akan memberikan keuntungan, baik secara ekonomis, sosial budaya maupun ekologis. Sebaliknya jika upaya pelestarian terhadap kawasan ini gagal maka akan menimbulkan kerugian berupa berkurangnya nilai keanekaragaman hayati dan rusaknya sistem pendukung kehidupan yang berperan dalam pembangunan berkelanjutan.
Belum adanya informasi nilai ekonomis berbagai pola penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu khususnya Sub DAS Ciesek menyebabkan berbagai pihak terkait kurang menghargai arti pentingnya kawasan ini sehingga bisa mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan dari kawasan lindung yang berfungsi sebagai kawasan resapan air ke penggunaan lain seperti pertanian dan pemukiman. Dengan adanya informasi mengenai besarnya nilai ekonomi berbagai pola penggunaan lahan yang ada dapat digunakan untuk menentukan besarnya kompensasi yang selayaknya diberikan kepada masyarakat akibat merubah pola penggunaan lahannya di kawasan lindung. Melalui sistem insentif dan disinsentif bagi semua pihak yang terlibat diharapkan fungsi ekologis dari kawasan lindung dapat diperbaiki dan dilain pihak juga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Sub DAS Ciesek.
(13)
Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor
POLA PENGUNAAN LAHAN
Kawasan Lindung Kawasan Budidaya Pertanian Lahan Basah Kawasan Pemukiman Tanaman Tahunan Pertanian Lahan Kering Kawasan Lindung Kawasan Budidaya Citra Satelit Ikonos Th 2003
Analisis Citra Satelit
Nilai Ekonomi Sekarang Kompensasi Ekonomi Akibat
Perubahan Penggunaan Lahan Peruntukan Penggunaan Lahan
Sesuai RTRW Th 2000 Kondisi Penggunaan Lahan saat ini
Nilai Ekonomi RTRW
Informasi :
Nilai Kompensasi Kepada Masyarakat Hulu
Pengambilan Kebijakan dalam Pengelolaan DAS
Upaya Pengembalian Penggunaan Lahan Sesuai
Peruntukannya Daerah Kritis Terdegradasi Pemanfaatan Kawasan Lindung Sebagai Kawasan Budidaya Konflik Kepentingan antara Masyarakat dan PEMDA
Pembayaran Jasa Lingkungan Mekanisme Transfer Benefit Hulu-Hilir
(14)
TINJAUAN PUSTAKA
Nilai Kawasan
Nilai (value) merupakan persepsi seseorang adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis and Johnson, 1987)
Penilaian peranan ekosistem, termasuk kawasan konservasi, bagi kesejahteraan manusia merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial dan politik. Menurut Munasinghe dan McNeely (1994), nilai suatu kawasan konservasi sangat tergantung pada aturan-aturan manajemen yang berlaku. Dengan kata lain, nilai tersebut ditentukan tidak hanya oleh faktor-faktor biolgi dan ekonomi tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya kawasan konservasi tersebut.
Pearce et al. (1989), mengelompokkan nilai sumber daya hutan (SDH) dalam tiga macam nilai yaitu:
• Nilai Penggunaan Langsung, adalah manfaat yang langsung diambil dari SDH. Sebagai contoh manfaat penggunaan sumber daya hutan sebagai input untuk proses produksi atau sebagai barang konsumsi.
• Nilai Penggunaan Tidak Langsung, yaitu nilai yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung. • Nilai Non Penggunaan, yaitu semua manfaat yang dihasilkan bukan dari hasil
(15)
Sedangkan Barbier (1991) dalam Bishop (1999) mengelompokkan tipe-tipe nilai guna hutan sebagai berikut :
Tabel 1. Tipe-tipe Nilai Guna Hutan
Nilai Guna Nilai Bukan
Guna Nilai Langsung Nilai Tidak
Langsung Nilai Pilihan
Nilai Keberadaan • Hasil kayu
(kayu bulat, kayu bakar • Perlindungan Daerah Aliran Sungai • Penggunaan langsung dan tidak langsung di masa yang akan datang
• Biodiversitas (hidupan liar)
• Hasil non kayu (sumber pangan, tanaman obat, bahan
genetik)
• Siklus nutrisi • Budaya,
tradisi • Habitat manusia • Pengurangan polusi udara • Nilai intrinsik • Bentang lahan
• Pengatur iklim mikro
• Nilai warisan • Penyerapan
carbon
Nilai ekonomi total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna, dengan formulasi sebagai berikut (Pearce, 1992) :
NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung + Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan
Nilai pilihan, mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak langsung yang berpotensi dihasilkan di masa yang akan datang. Hal ini meliputi manfaat-manfaat sumber daya alam yang “disimpan atau dipertahankan” untuk kepentingan yang akan datang (sumber daya hutan yang disishkan untuk
(16)
SDH tersebut, untuk pemanfaatan yang akan datang. Contoh lainnya adalah sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan.
Sedangkan, nilai bukan guna meliputi manfaat yang tidak dapat diukur yang diturunkan dari keberadaan hutan di luar nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai bukan guna terdiri atas nilai keberadaan dan nilai warisan. Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu SDH berupa nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika dan kultural. Nilai warisan adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap SDH, agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai-nilai ini tidak terefleksi dalam harga pasar (Bishop, 1999).
Akan tetapi, Pearce dan Moran (1994) mengingatkan bahwa nilai total tersebut tidak benar-benar total karena : (1) tidak mencakup keseluruhan nilai, kecuali nilai ekonomi, (2) banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dari nilai fungsi secara tunggal. Sebelum itu, Manan (1985) menyatakan bahwa dari sudut rimbawan hutan mempunyai fungsi serbaguna, paling tidak sebagai penghasil kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung dan tumbuh kehidupan liar, penghasil pakan dan tempat wisata. Namun demikian sangat sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut secara tegas karena adanya interaksi antara fungsi tersebut.
Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam megalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka (Kramer et.al, 1994). Menurut Munasinghe (1994) penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup faktor-faktor nilai sosial dan politik. Sebagai contoh, nilai kawasan konservasi sangat ditentukan oleh aturan-aturan manajemen yang berlaku untuk areal tersebut. Dengan kata lain, nilai tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor fisik, biotik, dan ekonomi tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya tersebut.
(17)
Metode Penilaian Sumberdaya Alam
Pada umumnya metode penentuan nilai ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yang mencakup beberapa teknik yaitu : pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung (Pearce dan Moran, 1994). Pendekatan langsung mencakup teknik-teknik yang mengupayakan untuk mendapatkan penilaian secara langsung dengan menggunakan percobaan dan survey. Teknik survey (kuisioner) terdiri atas dua tipe yaitu perolehan ranking (contingent ranking methode) dan perolehan nilai, meliputi keinginan untuk membayar (Willingness to pay) atau ketersediaan untuk menerima kompensasi (Willingness to accept).
Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar dari individu untuk sumberdaya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Pearce dan Moran, 1994;Munasinghe, 1993; Hufschmidt, 1983) atau kesediaan untuk menerima kompensasi akibat adanya kerusakan lingkungan di sekitarnya (Pearce and Moran, 1994; Hufschmidt, 1983).
Valuasi ekonomi manfaat lingkungan dan sumberdaya alam sangat diperlukan bagi pengambilan kebijakan dan analisis ekonomi suatu aktivitas proyek. Dalam valuasi dampak faktor yang perlu diperhatikan adalah determinasi dampak fisik dan valuasi dampak dalam aspek moneter. Penilaian dampak secara moneter didasarkan pada penilaian ahli akan dampak fisik dan keterkaitannya, karena dampak dapat menyebabkan perubahan produktivitas maupun perubahan kualitas lingkungan. Para ahli ekonomi telah mengembangkan metode valuasi untuk mengukur keuntungan dari pengelolaan lingkungan terutama yang tidak mempunyai nilai pasar. Penilaian ini bisa menggunakan nilai dari pasar pengganti.
Beberapa ahli ekonomi telah mengembangkan dan mengaplikasikan beberapa metode penilaian manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter. Beberapa metode mencoba untuk menggambarkan permintaan konsumen, sebagai contoh kesediaan membayar konsumen (willingness to pay-WTP) terhadap manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter, atau kesediaan menerima konsumen (willingness to accept – WTA)
(18)
dalam satuan moneter. Terdapat lima metode perhitungan ekonomi untuk manfaat yang diperoleh dari sumber daya alam dan lingkungan (Bishop, 1999): (i) Penilaian berdasarkan harga pasar, termasuk pendugaan manfaat dari
kegiatan produksi dan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari.
(ii) Pendekatan harga pengganti, termasuk metode biaya perjalanan, hedonic price, dan pendekatan barang pengganti.
(iii) Pendekatan fungsi produksi, dengan fokus pada hubungan biofisik antara fungsi hutan dan kegiatan pasar.
(iv) Pendekatan preferensi, termasuk metode penilaian kontingensi
(v) Pendekatan berdasarkan biaya, termasuk di dalamnya adalah biaya penggantian dan pengeluaran defensif.
Para ahli telah mengembangkan teknik dan cara valuasi dampak untuk mengukur manfaat lingkungan yang tidak mempunyai pasar atau harga yang jelas. Teknik dan cara yang beragam memerlukan pendekatan yang jelas agar tidak terjadi penghitungan ulang (double counting). Pendekatan yang dapat digunakan antara lain adalah CVM (contingent valuation method) yang didasarkan kepada pasar yang dibuat atau pasar hipotetik. Pada pendekatan ini, responden akan ditanya seberapa besar mereka berkeinginan untuk membayar jasa dan barang lingkungan untuk kenyamanan (misalnya untuk tidak terjadi banjir). Konsep dasar dalam valuasi manfaat dan biaya dampak lingkungan adalah didasarkan kepada kemauan membayar (willingness to pay) dari masyarakat untuk barang dan jasa lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan harga sebenarnya maupun harga bayangan sehingga distorsi yang disebabkan kebijakan pemerintah dan ketidaksempurnaan pasar dapat diminimalkan.
Metode yang juga umum digunakan dalam melihat manfaat perlindungan DAS adalah perubahan produktivitas. Pendekatan ini didasarkan kepada interaksi dan perubahan dalam input/output dalam sistem produksi yang dipengaruhi oleh keberadaan program perlindungan DAS. Ini dapat digunakan untuk mengukur pengaruh erosi terhadap sistem usahatani, atau sedimentasi di waduk. Dalam hal ini ada beberapa pendekatan analisis biaya yang juga dapat dilakukan. Misalnya seberapa besar manfaat yang diperoleh dengan membiayai pencegahan dampak
(19)
(pendekatan pengeluaran preventif) dan biaya ganti dari jasa lingkungan (misalnya penggunaan pupuk akibat kehilangan hara dalam erosi tanah).
Setiap teknik dan cara valuasi ini memerlukan persyaratan terutama data, biaya dan waktu serta tingkat akseptibilitas yang berbeda bagi pengambilan kebijakan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menggunakan valuasi secara akurat dan efektif biaya sehingga teknik valuasi berkembang menjadi seni dan ilmu.
Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustono (1996) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total hutan mangrove di Muara Cimanuk Indramayu sebesar Rp. 117.290.000.000/th atau Rp. 14.618.218/ha/th yang terdiri dari penerimaan masyarakat sebesar Rp. 39.490.000.000/th atau 4.921.762/th/ha dan surplus konsumen sebesar Rp. 77.800.000.000/th atau Rp. 9.696.456/th/ha.
Selanjutnya penelitian Wildayana (1999) dilakukan untuk melihat parameter sumberdaya lahan kering yang terintegrasi meliputi seluruh fungsi-fungsi valuasi ekonomi konversi hutan sekunder ke usaha tani lahan kering di Kecamatan Muara Enim Sumatera Selatan. Nilai total ekonomi ekosistem hutan sekunder di Kecamatan Gelumbang yang dihitung berdasarkan manfaat langsung, manfaat tak langsung, manfaat pilihan, manfaat kebanggaan, dan manfaat keberadaan sebesar Rp. 24,4 miliar/kawasan atau sebesar Rp. 2.561.257/ha.
Penelitian yang dilakukan Roslinda (2002) menyebutkan nilai ekononi total Hutan Pendidikan Gunung Walat jika dilihat dari nilai yang dikorbankan adalah Rp. 5.711.188.216/th atau 15.908.602/ha/th sedangkan jika dilihat dari surplus konsumennya adalah Rp.8.468.785.997/th atau Rp.23.589.933/ha/th.
Penelitian yang dilakukan Handayani (2002) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Banyuwangi sebesar Rp. 2.550.058.083.186 atau Rp. 74.076.824.408/th. Dengan luasan efektif sebesar 55.648,61 ha maka rata-rata nilai ekonomi Taman Nasional Meru Betiri adalah Rp. 1.331.170/ha/th.
(20)
proyek RHL Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunung Kidul Propinsi DIY sebesar Rp. 95.886.082.429/th yang terdiri dari 19,41% nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung sebesar 2,33%, nilai pilihan sebesar 2,05% dan nilai keberadaan sebesar 76,20%.
Sementara itu Parera (2005) menyebutkan besarnya nilai ekonomi total hutan kayu putih di Desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, provinsi Maluku sebesar Rp. 1.556.719/ha/th yang terdiri dari 98,45% manfaat langsung dan sisanya 1,55% manfaat tidak langsung.
DAS (Daerah Aliran Sungai)
Menurut Manan (1985), DAS diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan larut lainnya ke dalam sungai yang akhirnya bermuara ke danau, atau ke laut.
Kegiatan tata guna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam sutu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air (water yield). Pada batas-batas tertentu kegiatan ini juga dapat mempengaruhi status kualitas air. Pengaruh yang sama juga dapat terjadi oleh aktifitas pembalakan hutan yang pada saat ini sedang gencar dilakukan di negara tropis, terutama negara-negara yang memiliki hutan alam yang masih luas. Perubahan dari jenis vegetasi ke jenis vegetasi yang lain adalah umum dalam pengelolaan DAS atau pengelolaan sumber daya alam (Asdak, 1995).
DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan (outlet) di Teluk Jakarta meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002 dalam Tim IPB, 2002).
Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu Sub DAS yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu
(21)
dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi, dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9 km2), dan sisanya lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan (Tim IPB, 2002).
GIS dan Remote Sensing
Proses pengklasifikasian penggunaan lahan dan penutupan lahan harus dapat menghasilkan suatu derajat kedetilan. Dengan kata lain, level kecermatan peta hasil berhubungan erat dengan skema klasifikasi yang akan dipilih sebagai rancangan untuk suatu tujuan yang dimaksud. Dewasa ini sebagian banyak survey penggunaan lahan dan penutupan lahan menggunakan citra dari pesawat terbang atau citra satelit dan survey lapangan dibatasi hanya dengan uji lapang dari hasil interpretasi (Lo, 1995).
Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990), dibagi kedalam dua pendekatan dasar klasifikasi yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi.
Pada klasifikasi tidak terbimbing, proses pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut.
Sistim informasi geografis adalah kumpulan yang troganisir dari perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak komputer (software), data geografi dan pengguna yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, menyajikan dan menjelaskan semua bentuk dan data
(22)
data dan informasi yang bereferensi geografi atau tempat di permukaan bumi (ESRI 1990).
Digital Elevation Models (DEM) telah banyak dikombinasikan dengan citra satelit untuk berbagai macam tujuan, salah satunya adalah untuk menghasilkan citra sintetis yang stereoskopis (lillesand dan Kiefer 1979).
Kata Ikonos berasal dari bahasa Yunani (Greek) “Eye-KOH-Nos” yang artinya sama dengan “citra atau image”. Satelit Ikonos mengorbit bumi pada orbit sunsynchronous. Satelit tersebut mengitari bumi 14 hari, atau setiap 98 menit. Satelit Ikonos yang diluncurkan September 1999 mengorbit pada ketinggian 681 km dengan inklinasi 98,10 pada waktu crossing 10.30 a.m (pike ad Brown 1999)
Pita spektral 1, 2 dan 3 dari citra Ikonos multisepektral secara berurutan mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian biru, hijau dan merah. Pita-pita tersebut untuk mengukur karakteristik spektral yang tampak oleh mata. Pita 4 mengukur refletansi spektrum elektromagnetik pada bagian inframerah-dekat, dan sangat membantu dalam mengklasifikasikan vegetasi (NASA Commercial Remote Sensing Program 2001).
Penggunaan Lahan
Istilah penggunaan lahan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya.
Menurut Aldrich (1981) dalam Lo (1995), lahan merupakan materi dasar dari suatu lingkungan (situs), yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi tanah, topografi, hidrologi, dan biologi. Penutupan lahan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Pengertian serupa ditambahkan Burley (1961) dalam Lo (1995) bahwa penutupan mengambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Secara umum terdapat tiga kelas data yang mencakup penutupan lahan:
(23)
1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia
2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang
3. Tipe pembangunan
Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer, 1990). Deteksi perubahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan diatas wilayah tertentu dari fotografi tersebut peta penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan (Lo, 1995). Campbell (1983) dalam Lo (1995) menambahkan bahwa peta perubahan penggunaan lahan antara dua periode waktu biasanya dapat dihasilkan.
Faktor-faktor penyebab perubahan lahan yang terdapat pada beberapa literatur diuraikan oleh beberapa jenis kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan. Kegiatan-kegiatan tersebut misalnya gangguan terhadap hutan, penyerobotan lahan, dan perladangan berpindah.
Penyebab perubahan lahan diperjelas oleh Lillesand dan Kiefer (1990) dalam definisinya mengenai perubahan lahan. Dalam definisi tersebut menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan seperti yang dikutip oleh Meffe dan Carroll (1994) dalam Basuni (2003) terjadi akibat responya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakkan pemerintah, degradasi lahan dan faktor sosial ekonomi lainnya.
(24)
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengolahan data spasial citra satelit Ikonos penelitian dilakukan di
laboratorium Spatial Database and Analysis Facilities (SDAF) Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Sedangkan untuk pengambilan data sosial ekonomi masyarakat, nilai ekonomi pada berbagai pola penggunaan lahan dan cek lapangan (ground truth) dilakukan di daerah Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu. Proses pengambilan data dilakukan selama enam bulan yaitu pada bulan Maret - Agustus 2005.
Batasan Penelitian Lingkup Wilayah Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil sampel data primer dari wawancara penduduk yang tinggal di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek Kabupaten Bogor yang meliputi Kecamatan Megamendung yakni Desa Cipayung, Desa Cipayung Girang, Desa Megamendung dan Kecamatan Cisarua yakni Desa Cilember. Sedangkan sebagai pelengkap dalam penelitian ini juga mengambil data sekunder dari BPS, BAPPEDA, Dinas Kehutanan, BP DAS Ciliwung – Cisadane, dan beberapa instansi terkait lainya.
Batasan Nilai Ekonomi yang dihitung
Nilai ekonomi pada berbagai pola penggunaan lahan yang dihitung dalam penelitian ini meliputi kawasan lindung berupa hutan lindung, serta kawasan budidaya yang terdiri dari pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, kebun campuran dan bangunan pemukiman yang dibagi menjadi dua yakni bangunan rumah biasa dan bangunan rumah villa berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003.
(25)
Metode Pengambilan Sampel
Rumah tangga sebagai unit sample yang dipilih adalah masyarakat yang tinggal di desa-desa yang ada di Sub DAS Ciesek yang meliputi Desa Cipayung, Cipayung Girang, Desa Cilember dan Desa Megamendung. Teknik pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan tetap memperhatikan keterwakilan dan ketersebaran data. Populasi yang digunakan dalam menentukan masing-masing nilai ekonomi adalah sebagai berikut :
1. Nilai ekonomi kawasan lindung (hutan)
a. Untuk menentukan nilai ekonomi kayu bakar, populasinya adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung yang memanfaatkan hutan sebagai tempat mencari kayu bakar.
b. Untuk menentukan nilai ekonomi jasa wisata, populasinya adalah pengunjung wisata alam Jurug Panjang yang ada di daerah penelitian. Pengunjung wisata adalah masyarakat sekitar maupun masyarakat yang berasal dari luar daerah penelitian.
c. Untuk menentukan nilai ekonomi manfaat air untuk konsumsi rumah tangga, nilai hutan sebagai pengendali banjir dan nilai hutan sebagai habitat flora dan fauna populasinya adalah masyarakat yang tinggal di wilayah Sub DAS Ciesek.
d. Untuk menetukan nilai ekonomi manfaat air untuk sektor pertanian populasinya adalah masyarakat petani yang mengusahakan pertanian lahan basah (sawah) dengan sistem irigasi yang ada di wilayah Sub DAS Ciesek.
2. Nilai ekonomi kawasan Budidaya
a. Untuk menetukan nilai ekonomi pertanian lahan kering dan kebun campuran populasinya adalah masyarakat yang mengusahakan lahannya sebagai lahan pertanian lahan kering dan kebun campuran yang ada di wilayah Sub DAS Ciesek.
b. Untuk menetukan nilai ekonomi bangunan pemukiman atau
perumahan, populasinya adalah masyarakat yang mempunyai rumah di wilayah Sub DAS Ciesek.
(26)
Analisis Citra dan GIS
Bahan yang digunakan dalam analisis perubahan pola penggunaan lahan adalah dengan menggunakan data citra satelit Ikonos tahun 2003. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain satu paket sistem informasi geografis termasuk komputer (PC Dekstop), Arc View dan software ERDAS Imagine 8.5.
Adapun tahapan analisis citra dengan Ikonos untuk mendeteksi perubahan pola penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek adalah :
1. Pengkoreksian Citra (Image restoration)
Sebelum melakukan analisis citra langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan koreksi terhadap citra tersebut. Koreksi citra perlu dilakukan terhadap data mentah satelit dengan maksud untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan radiometrik dan geometrik. Koreksi radiometrik dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang diakibatkan oleh gangguan atmosfir ataupun akibat kesalahan sensor. Koreksi geometrik ditujukan untuk memperbaiki distorsi geometrik. Dalam melakukan koreksi geometrik terlebih dahulu menentukan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang akan digunakan. Penyeragaman data-data kedalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama, perlu dilakukan untuk mempermudah proses pengintegrasian data-data selama penelitian. Dalam hal ini proyeksi yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sistem koordinat geografi yang menggunakan garis bujur (garis Timur-Barat) dan garis lintang (garis Utara-Selatan). Perbaikan distorsi geometrik dapat dilakukan dengan menggunakan data vektor jawa barat yang telah terkoreksi.
2. Pemotongan Citra (Subset Image)
Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi objek studi. Batas wilayah yang akan dipotong dibuat dengan area of interest (aoi) yaitu pada wilayah yang masuk kedalam kawasan Sub DAS Ciesek.
3. Pengklasifikasian Citra (Image Clasification)
Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan pengklasifikasian adalah menetapkan kelas-kelas spektral yang terliput oleh citra satelit,
(27)
kemudian membuat aturan penetapan klasifikasi untuk setiap piksel kedalam kelas-kelas yang telah ditentukan. Pemilihan kelompok-kelompok piksel kedalam kelas klasifikasi merupakan proses pemilihan objek (feature selection). Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan sebenarnya dilapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Kelas klasifikasi tersebut meliputi hutan kerapatan tinggi, hutan kerapatan rendah, kebun campuran, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, semak belukar, bangunan perumahan, lahan kosong, jalan raya dan badan air. Tahapan klasifikasi dilakukan dengan metode on screen yakni dengan mendelineasi pola-pola penggunaan lahan yang ada secara visual menggunakan computersoftware Arc View 3.3. 4. Membandingkan pola penggunaan lahan yang ada dengan peruntukan
lahan sesuai dengan RTRW Tahun 2000 Kabupaten Bogor.
5. Membuat kelas ketinggian dan kelerengan lahan menggunakan
Triangulated Irregular Network (TIN) untuk mengkelaskan faktor biofisik lahan kelerengan dan ketinggian. Faktor biofisik lahan (jarak ke jalan raya, kelas kelerengan dan kelas ketinggian) ini digunakan untuk mengetahui apakah faktor biofisik lahan berpengaruh terhadap besarnya nilai ekonomi pada penggunaan lahan untuk pemukiman.
Penilaian Ekonomi Kawasan Lindung
Metode penilaian Hutan Lindung sebagai kawasan lindung di Sub DAS Ciesek menggunakan konsep Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) yang terdiri dari nilai guna dan nilai bukan guna. Gambar 2 berikut menjelaskan berbagai macam nilai yang dihitung dalam penelitian ini.
(28)
Nilai Ekonomi Total
Nilai Bukan Guna Nilai Guna
Persamaan yang dipakai untuk menentukan besarnya Nilai Ekonomi Total hutan sebagai kawasan lindung adalah sebagai berikut :
NET = NG + NBG = (NGL + NGTL) + (NP + NK)
Keterangan :
NET = Nilai Ekonomi Total
NG = Nilai Guna
NBG = Nilai Bukan Guna
NGL = Nilai Guna Langsung
NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung
NP = Nilai Pilihan
NK = Nilai Keberadaan
Kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang dapat dilakukan melalui teknik kuantifkasi antara lain :
Nilai Ekonomi Langsung
Nilai Ekonomi Tidak Langsung
Nilai Pilihan
• Manfaat air untuk RT • Manfaat air
untuk pertanian • Pencegah banjir dan erosi • Kayu
Bakar • Wisata
Alam
Nilai Keberadaan
• Penyerapan Karbon
• Habitat Flora Fauna
Gambar 2 . Unsur-unsur yang Dihitung Untuk Menentukan Nilai Ekonomi Total Hutan Sebagai Kawasan Lindung di Sub DAS Ciesek
(29)
1. Nilai pasar
Adalah pendekatan langsung untuk merupiahkan manfaat secara langsung komponen hutan alam yang dapat diperdagangkan misalnya kayu gelodongan, kayu bakar dan hijauan pakan ternak.
2. Harga tak langsung
Adalah pendekatan yang digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan manfaat dan fungsi tak langsung dari komponen hutan alam karena terjadi gangguan terhadap pasar komponen hutan alam tersebut atau komponen hutan alam tersebut belum memiliki pasar. Cara ini digunakan untuk menilai manfaat fisik.
3. Contingent Valuation Method (CVM)
Metode ini digunakan untuk menilai manfaat hutan alam dengan cara
menanyakan kesediaan membayar (wellingness to pay) terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan oleh hutan alam kepada sejumlah responden.
Adapun Teknik Penilaian Ekonomi yang dipakai untuk menentukan besarnya nilai ekonomi total hutan sebagai kawasan lindung di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Teknik Penilaian Ekonomi yang dipakai dalam Penentuan Nilai Ekonomi Total Hutan sebagai Kawasan Lindung
No Nilai Ekonomi Nilai ekonomi yang dihitung Metode
Nilai Guna
Penghasil Kayu Bakar Harga Pengganti
Nilai Guna
Langsung Jasa Wisata Alam Biaya Perjalanan
Manfaat Air Untuk Rumah Tangga
Biaya Pengadaan
Manfaat Air Untuk Pertanian Lahan Basah
CVM 1
Nilai Guna Tidak Langsung
Pencegah Banjir dan Erosi CVM
Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan Penyerap Karbon Harga Pasar
2
(30)
Nilai Penghasil Kayu Bakar
Nilai kayu bakar diduga melalui pendekatan biaya ganti, yakni besarnya waktu yang hilang guna mendapatkan kayu bakar dikalikan dengan besarnya upah kerja, hal ini dilakukan mengingat di lokasi penelitian tidak terdapat pasar untuk kayu bakar. Persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut :
NKB = WrKB x Uhok x JP
dimana :
NKB = Nilai penghasil kayu bakar (Rp/tahun)
WrKB = Rata-rata waktu yang hilang akibat mengambil kayu bakar
dalam satu tahun (jam/tahun)
Uhok = Besarnya upah hari orang kerja (Rp/jam) JP = Jumlah populasi pengumpul kayu bakar
Nilai Jasa Wisata
Untuk menduga nilai ekonomi wisata digunakan pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Method). Biaya perjalanan yang digunakan termasuk diantaranya biaya transportasi, biaya konsumsi, biaya penginapan dan biaya untuk membeli tiket masuk kawasan wisata alam. Tahapan penentuan nilai ekonomi wisata alam adalah sebagai berikut :
1. Menduga jumlah pengunjung dari masing-masing daerah asal pengunjung (zone) berdasarkan wawancara dengan responden.
Zi = Pi x ∑Y dimana :
Pi = Persentase kunjungan dari zone i Zi = Jumlah pengunjung dari zone-i ∑Y = Jumlah seluruh kunjungan
2. Menentukan besarnya biaya perjalanan rata-rata dari jumlah total biaya perjalanan yang dikeluarkan selama melakukan perjalanan atau kegiatan rekreasi.
BPR = TR + D + KR + L Dimana :
(31)
TR = Biaya transportasi (Rp/orang)
D = Biaya dokumentasi (Rp/orang)
KR = Biaya konsumsi selama berwisata (Rp/orang) L = Biaya lain-lain (Rp/orang)
3. Menentukan biaya perjalanan rata-rata zone i (X1i)
n
∑ Bpi X1i = j=1
Ni dimana :
X1i = Biaya perjalanan rata-rata daerah asal i Bpi = Biaya perjalanan hasil pengambilan contoh i Ni = Jumlah populasi daerah asal i
4. Menentukan laju kunjungan pengunjung per 1000 orang zona i dalam satu tahun.
LKi = ∑ JPi x 1000 ∑ JPT dimana :
LKi = Laju kunjungan pengunjung zona i JPi = Jumlah pengunjung zona i
JPT = Jumlah populasi pengunjung zona i 5. Menentukan nilai ekonomi wisata
Nilai ekonomi wisata didapatkan dari total kesediaan membayar seluruh pengunjung pada tingkat harga karcis tanda masuk yang berlaku. Total kesediaan membayar pengunjung adalah luas daerah dibawah kurva permintaan jasa wisata pada tingkat harga karcis tanda masuk yang berlaku.
Nilai Sumber Air untuk Kebutuhan Rumah Tangga
Konsumsi air untuk rumah tangga meliputi air untuk kebutuhan minum dan memasak, dan MCK. Penentuan nilai ekonomi air untuk konsumsi kebutuhan rumah tangga dilakukan dengan metode biaya pengadaan yang merupakan modifikasi dari metode biaya perjalanan dan metode kontingensi dengan
(32)
1. Menentukan model (kurva) permintaan dengan meregresikan permintaan (Y) sebagai variabel terikat dengan harga (biaya pengadaan) sebagai variabel bebas dan faktor sosial ekonomi lainnya.
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + …. + βnXn, ………...(1)
Y = Permintaan atau konsumsi (satuan atau kapita)
X1 = Biaya pengadaan (Rp/satuan)
β0 = Intersep
β1,2,3 .. n = Koefisien regresi
X2, 3, ...n = Peubah bebas/faktor sosek
2. Menentukan intersep baru β0’ fungsi permintaan dengan peubah bebas X1 dan faktor lain (X2, X3, … Xn) tetap sehingga persamaan menjadi :
Y = β0’ + β1X1 ………...(2)
3. Menginversi persamaan fungsi asal sehingga X1 menjadi peubah terikat dan Y menjadi peubah bebas, sehingga persamaan menjadi :
Y - β0’
X1 = ──── ……….(3)
β1
4. Menduga rata-rata WTP dengan cara mengintegralkan persamaan 3 a
U = ∫ ƒ(Y)∂Y
0
5. Menentukan nilai X1 pada saat Y dengan cara mensubstitusikan nilai Y ke persamaan 3
6. Menentukan rata-rata nilai yang dikorbankan oleh konsumen dengan cara mengalikan X1 dengan Y.
7. Menentukan nilai total WTP, nilai yang dikorbankan dan surplus konsumen dengan cara mengalikan nilai tersebut dengan populasi.
Harga air dihitung berdasarkan pada biaya pengadaan, yaitu biaya yang harus dikorbankan untuk mendapatkan dan menggunakan air tersebut. Untuk penentuan nilai ekonomi air rumah tangga, maka dihitung harga (biaya pengadaan) air untuk rumah tangga dengan rumus sebagai berikut :
HARTi = BPA RTi
(33)
dimana :
HARTi = Harga/biaya pengadaan air responden ke i (Rp/ m3)
BPA RTi = Biaya pengadaan air rumah tangga ke i (Rp)
K RTi = Jumlah kebutuhan air rumah tangga ke i (m3)
Nilai ekonomi total air rumah tangga didasarkan pada konsumsi air rumah tangga per kapita sehingga pengganda yang digunakan adalah jumlah penduduk di lokasi penelitian yang air untuk kebutuhan rumah tangganya bersumber dari sungai atau mata air yang ada di Sub DAS Ciesek. Untuk menentukan total nilai penggunaan air digunakan rumus sebagai berikut:
NART = RNART X P
Dimana :
NART = Nilai air rumah tangga (Rp/tahun)
RNART = Rata-rata nilai air rumah tangga (Rp/org/tahun)
P = Jumlah penduduk
Nilai Sumber Air untuk Lahan Basah (Persawahan)
Nilai air untuk sektor pertanian dihitung dengan asumsi bahwa pertanian yang ada sumber airnya berasal dari kawasan lindung (hutan) yang ada di daerah hulu Sub DAS Ciesek. Penentuan nilai ekonomi air untuk sektor pertanian dilakukan dengan menggunakan CVM. Formula yang dipakai untuk menghitung nilai ekonomi air untuk persawahan adalah sebagai berikut :.
NAS = WTPr x JP
n
WTPr = ∑ WTPi / ni
i=1 dimana :
NAS = Nilai air konsumsi untuk pertanian sawah (Rp/tahun) WTPr = Rata-rata kesediaan membayar (Rp/tahun/orang)
WTPi = Kesediaan membayar responden ke i (Rp/tahun)
ni = Jumlah responden
(34)
Nilai Pengendali Banjir dan Erosi
Penentuan nilai ekonomi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi dilakukan dengan menggunakan CVM untuk mengetahui kesediaan membayar dari responden untuk menjaga hutan agar bisa menjalankan fungsinya sebagai pengendali banjir dan erosi. Formula yang dipakai adalah sebagai berikut :.
NPBE = WTPr x JP
n
WTPr = ∑ WTPi / ni
i=1 dimana :
NPBE = Nilai pengendali banjir dan erosi (Rp/tahun) WTPr = Rata-rata kesediaan membayar (Rp/tahun/orang)
WTPi = Kesediaan membayar responden ke i (Rp/tahun)
ni = Jumlah responden
JP = Jumlah populasi
Nilai Pilihan
Penghitungan nilai ekonomi jasa hutan di Sub DAS Ciesek dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan harga pasar. Harga carbon yang dipakai adalah harga carbon yang berlaku dipasaran internasional pada saat mekanisme CDM (Clean Development Mechanism) dijalankan. Potensi hutan sebagai penyerap karbon didekati dari hasil penelitian Brown (1997) yang meneliti tentang kandungan karbon hutan tropis di Indonesia. Formula yang dipakai untuk menghitung nilai ekonomi hutan sebagai penyerap karbon adalah :
NCS = JCS x HCS
dimana :
NCS = Nilai carbon stock (Rp/tahun) HCS = Harga carbonpersatuan (Rp/ton)
JCS = Jumlah potensi carbon stock (ton/ha/tahun)
Nilai Keberadaan Habitat Flora Fauna
Nilai keberadaan hutan sebagai habitat flora fauna dihitung dengan menggunakan metode CVM untuk mengetahui kesediaan membayar dari responden untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap ada sehingga dapat
(35)
berfungsi sebagai habitat flora dan fauna. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut :
NHF = WTPr x JP
n
WTPr = ∑ WTPi / ni
i=1 dimana :
NHF = Nilai habitat flora fauna (Rp)
WTPr = Rata-rata kesediaan membayar (Rp/m3/orang)
WTPi = Kesediaan membayar responden ke i (Rp/m3)
ni = Jumlah responden
JP = Jumlah populasi
Penilaian Ekonomi Kawasan Budidaya
Sedangkan Nilai ekonomi penggunaan lahan untuk kawasan budidaya di DAS Ciliwung Hulu, Sub DAS Ciesek yang di hitung dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Teknik Penilaian Ekonomi yang Dipakai dalam Penentuan Nilai Ekonomi Kawasan Budidaya
No Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Metode
1 Nilai Ekonomi
Pertanian
• Pertanian lahan basah • Pertanian lahan kering
• Kebun campuran
Harga pasar
2 Nilai Ekonomi
perumahan
• Bangunan Pemukiman CVM
Nilai Ekonomi Pertanian
Penentuan nilai ekonomi penggunan lahan untuk pertanian (pertanian lahan basah dan lahan kering) serta kebun campuran yang diusahakan oleh masyarakat yang tinggal di Sub DAS Ciesek. Metode yang dipakai untuk menghitung nilai ekonomi penggunaan lahan untuk pertanian dan kebun campuran dilakukan dengan menggunakan teknik pendekatan produktivitas,
(36)
NEUT = NPUT – BPUT
NPUT = PrUT x HJUT x LAUT
dimana :
NEUT = Nilai ekonomi usaha tani (Rp/tahun) NPUT = Nilai pendapatan usaha tani (Rp/tahun) BPUT = Biaya produksi usaha tani (Rp/tahun) PrUT = Produksi rata-rata usaha tani (ton/ha/tahun)
HJUT = Harga jual usaha tani (Rp/ton) LAUT = Luas areal usaha tani (ha)
Nilai Bangunan Pemukiman
Pendekatan penghitungan besarnya nilai ekonomi bangunan pemukiman didekati dengan metode CVM, yakni dengan cara menanyakan besarnya nilai kesediaan membeli para pemilik rumah yang dijadikan responden. Besarnya nilai ekonomi perumahan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
NPRt = WTPr / t
n
WTPr = ∑ WTPi / ni
i=1 dimana :
NPRt = Nilai Perumahan tipe rumah ke-i (Rp/tahun) WTPr = Rata-rata kesediaan membeli (Rp/orang)
WTPi = Kesediaan membeli responden ke i (Rp)
ni = Jumlah responden
t = Usia Rumah
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan membeli rumah di daerah penelitian, maka digunakan analisis regresi berganda dengan metode stepwise (mengeluarkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh). Model regresi yang digunakan sebagai berikut :
(37)
dimana :
Yi = Kesediaan Membeli Rumah (Rp)
a,b = konstanta
x1, xn = faktor kualitas lingungan, faktor biofisik lahan, faktor sosial ekonomi,
faktor jenis dan kualitas bangunan.
Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah di daerah Sub DAS Ciesek adalah sebagai berikut :
1. Faktor Kualitas lingkungan
Semakin tinggi nilai apresiasi masyarakat terhadap kulaitas lingkungan, maka kesediaan membeli rumah akan semakin tinggi. Faktor kualitas lingkungan diukur dengan cara menanyakan kepada responden berapa besarnya nilai kualitas lingkungan yang meliputi aspek keamanan, kebersihan, keindahan dan aksesibilitas (skor 1-10).
2. Jarak
Semakin jauh dari jalan raya diduga mempengaruhi nilai jual bangunan rumah yang pada akhirnya juga akan memepengaruhi kesediaan membeli responden. Pengukuran jarak dari jalan raya dilakukan di atas citra satelit ikonos dengan fasilitas tools distance yang ada pada software Arc View 3.3.
3. Ketinggian tempat
Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah di daerah puncak khususnya Sub DAS Ciesek diantaranya karena faktor ketinggian tempat, dimana semakin tinggi tempat maka faktor kualitas lingkungan seperti panorama alam dan kesejukan semakin baik. Pengukuran ketinggian tempat dilakukan dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN) pada software Arc View 3.3.
4. Kelerengan tempat
Faktor kelerengan diduga juga ikut mempengaruhi kesediaan membeli rumah, dimana pada kelerengan tertentu panorama akan terlihat lebih indah. Pengukuran kelerengan tempat dilakukan dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN) pada software Arc View 3.3.
(38)
5. Pendapatan
Semakin tinggi tingkat pendapatan responden juga diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah. Pengukuran tingkat pendapatan responden dilakukan dengan cara wawancara.
6. Kondisi fisik bangunan rumah.
Faktor kondisi fisik bangunan juga diduga mempengaruhi kesediaan membeli rumah, dimana semakin tinggi kualitas kelas bangunan rumah maka semakin tinggi kesediaan membeli bangunan rumah tersebut. Kondisi fisik bangunan rumah di daerah penelitian sangat beragam, pengklasifikasian kelas rumah berdasarkan kondisi fisik bangunan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Klasifikasi Kelas Rumah berdasarkan Kondisi Fisik Bangunan
No Parameter Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
1 Luas lantai < 50 m2 50 – 120 m2 > 100 m2
2 Jenis lantai Tanah/tegel Tegel/Keramik Keramik/marmer 3 Jens atap Ijuk/
genteng tanah
Genteng tanah/semen
Genteng
tanah/keramik/kayu 4 Jenis dinding
terluas Batako/papan kayu biasa/ bambu Tembok/ kayu indah Tembok/ kayu indah 5 Penerangan Minyak tanah/
listrik (<450 Watt)
Listrik
(450 – 900 Watt)
Listrik ( > 900 Watt) 6 Sumber air
minum Sumur/ sungai Sumur/PAM/ Pompa air PAM/ Pompa air 7 MCK Sungai/
MCK umum
MCK Sendiri MCK Sendiri Sumber : survey sosial ekonomi nasional tahun 2000
7. Tipe atau jenis rumah
Tipe atau jenis rumah di daerah penelitian diduga juga mempengaruhi
kesediaan membeli bangunan rumah tersebut. Pada penelitian ini jenis bangunan rumah dibedakan dalam dua kategori yakni jenis rumah biasa (skor 1) dan jenis villa (skor 2).
(39)
Nilai Kompensasi atas Perubahan Pola Penggunaan Lahan
Perubahan pola penggunaan lahan yang dimaksud ialah alih fungsi lahan yang dapat menurunkan fungsi kawasan lindung sebagai pensuplai kebutuhan air atau yang dianggap menyebabkan degradasi bagi kawasan Sub DAS Ciesek. Dalam hal ini adalah kawasan yang peruntukanya tidak sesuai dengan RTRW, dalam penelitian ini difokuskan kepada penggunaan lahan di kawasan lindung. Besarnya kompensasi yang sebaiknya diberikan kepada masyarakat agar bersedia merubah pola penggunaan lahannya dihitung dengan cara menghitung selisih manfaat ekonomi langsung hutan dengan berbagai pola penggunaan lahan yang ada di kawasan lindung.
(40)
(41)
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Kondisi Fisik Wilayah Letak Geografi dan Administratif
Sub DAS Ciesek merupakan bagian dari wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu yang terletak pada koordinat geografis 106o48’45” sampai 107o00’30” sampai 107o00’30” Bujur Timur dan 6o36’30” lintang selatan. Secara administratif Sub DAS Ciesek terletak di dua buah Kecamatan yakni Kecamatan Megamendung (Desa Cipayung, Desa Cipayung Girang, dan Desa Megamendung) dan Kecamatan Cisarua (Desa Cilember) yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, wilayah studi termasuk dalam tipe iklim Af yakni iklim tropis lembab (tanpa bulan kering nyata) dengan curah hujan rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3636 mm/tahun dengan rata-rata hujan bulanan 303 mm. Sebaran waktu (time distribution) hujan di lokasi penelitian yang diukur dari Gunung Mas, Citeko, Ciawi dan Katulampa menunjukkan bahwa batas musim kemarau dengan musim hujan tidak jelas, kecuali daerah Citeko di mana musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September dan musim hujan pada bulan Oktober-Mei (Tim IPB, 2002).
Tanah dan Geologi
Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Sub DAS Ciesek meliputi kompleks aluvial kelabu, latosol coklat kemerahan dan asosiasi latosol coklat kemerahan dengan latosol coklat. Dari jenis tanah yang ada, jenis tanah yang paling dominan adalah jenis asosiasi latosol coklat kemerahan dengan latosol coklat dengan prosentase mencapai 90,24 %. Jenis tanah Latosol pada umumnya berbahan induk batuan vulkanik yang bersifat intermedier, bersolum dalam, pH agak tinggi dengan kepekaan erosi rendah. Jenis tanah latosol dan asosiasinya memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, struktur
(42)
terhadap erosi, serta pH tanah yang agak netral dan kandungan bahan organik yang rendah atau sedang.
Kondisi Sosial Ekonomi Kependudukan
Secara umum jumlah laki-laki dan perempuan relative seimbang. Hal ini menunjukan menunjukan bahwa peluang kerja untuk laki-laki maupun perempuan relative sama sehingga mata pencaharian penduduk di Sub DAS Ciesek menjadi sangat beragam. Mata pencaharian penduduk terbesar adalah petani diikuti oleh buruh tani, pedagang, dan buruh industri kecil. Mata pencaharian sebagian kecil penduduk lainnya adalah pegawai negeri sipil (PNS) /TNI, tukang kayu dan bangunan, sopir angkutan, peternak, dan lain-lain. Oleh karena itu, agar dominasi mata pencaharian di bidang pertanian ini tidak mengganggu kelestarian alam dan agar produktivitas penduduk dan lahan tetep terjaga, diperlukan adanya upaya-upaya rehabilitasi dan konservasi tanah secara baik dan berkesinambungan.
Pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh anggota masyarakat karena dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan anggota masyarakat yang memadai maka suatu daerah dapat tumbuh dan berkembang melalui pembangunan di berbagai sector. Demikian juga halnya dengan masalah pertanian. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat (khususnya pendidikan pertanian)maka akan semakin tinggi pula produktivitas pertaniannya. Tingkat pendidikan penduduk di Sub Sub DAS Ciesek pada umumnya tergolong rendah, terlihat dari sebagian besar penduduk hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), hanya sebagian kecil saja yang merupakan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), sedangkan sarjana hanya ada beberapa orang saja.
(43)
Sarana dan Prasarana Perhubungan serta Komunikasi
Sarana perhubungan dan komunikasi merupakan kebutuhan pokok suatu daerah dan merupakan suatu tanda maju atau tidaknya suatu daerah. Sarana dan prasarana perhubungan di wilayah Sub Sub DAS Ciesek adalah motor, angkot, jalan darat dimana sebagian besarsudah merupakan jalan aspal. Sedangkan sarana komunikasi yang digunakan oleh masyarakat adalah telepon,telivisi,dan radio
Sarana Perekonomian.
Sarana perekonomian yang tersedia di Sub Sub DAS Ciesek adalah bank, koperasi, pasar, warung dan kios. Namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa umumya koperasi-koperasi yang ada tidak berfungsi dengan sebagaimana mestinya, bahkan ada desa yang tidak ada Koperasi Unit Desa (KUD)-nya.
(44)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peruntukan Kawasan Berdasarkan RTRW
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2000, peruntukan lahan di Kabupaten Bogor dibagi kedalam dua kategori peruntukan yakni peruntukan untuk kawasan lindung dan peruntukan untuk kawasan budidaya.
Kawasan Lindung
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan pembanguna n berkelanjutan (Keppres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur, Pemerintah Kabupaten Bogor (2000) telah dibuat ketentuan-ketentuan teknis kawasan lindung yang berpedoman kepada: Keppres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan SK Gubernur Jawa Barat No. 413.21/SK.222-HUK/91 tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan Puncak.
Cakupan kawasan lindung antara lain (Bapped Kab. Bogor, 2000): 1. Kawasan hutan lindung
2. Kawasan lindung di luar kawasan hutan 3. Kawasan yang merupakan resapan air
4. Kawasan suaka alam/cagar alam/suaka marga satwa, kawasan pelestarian alam, taman nasional/taman hutan raya/taman wisata alam
5. Jalur pengamanan aliran sungai (sempadan sunga i) 6. Kawasan sekitar mata air, danau/waduk
Karakteristik kawasan lindung adalah (Bappeda Kab. Bogor, 2000) : 1. Kemiringan lereng diatas 40 %
2. Untuk jenis tanah peka terhadap erosi, yaitu jenis Regosol, Litosol, Orgosol dan Renzina, kemiringan lereng di atas 15 %
(45)
4. Merupakan kawasan hutan yang kompak atau hutan produksi dengan luas minimum 2500 m2 atau yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
Ketentuan teknis untuk penataan kawasan yang berfungsi lindung adalah sebagai berikut (Bappeda Kab. Bogor, 2000):
1. Fungsi hutan lindung sebagai reservoir alami perlu tetap dipertahankan keberadaannya, bersifat mutlak, tidak boleh dikonversikan atau diubah untuk kepentingan lain. Fungsi hidrologis dan ekologis hutan lindung perlu dipertahankan kelestariannya
2. Dalam kawasan lindung tidak diperkenankan adanya budidaya, termasuk mendirikan bangunan, kecuali bangunan untuk menunjang fungsi hutan lindung
3. Pembangunan jaringan transmisi dan infrastruktur yang menunjang kegiatan pariwisata seperti pos pengamat kebakaran, pos jaga, papan petunjuk, patok triangulasi, tugu, tiang listrik, menara TV, jalan setapak, dapat dibangun di kawasan lindung setelah mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan
4. Untuk pengamatan wilayah aliran sunga i dan menjaga kelestarian mata air, maka kawasan tersebut harus ditanami tanaman keras dengan ketentuan : a. Perlindungan tebing-tebing atau bantaran sungai yang potensial terhadap
bahaya erosi dan longsor.
• Untuk lebar sungai kurang dari 2.5 m, areal penanaman berjarak minimal 10 m dari bibir sungai
• Untuk sungai dengan lebar 2.5 – 10 m, areal penanaman berjarak minimal 50 m dari bibir sungai
• Untuk lebar sungai >10 m, areal penanaman berjarak minimum 100 m dari bibir sungai
b. Untuk perlindungan sumber mata air, areal tersebut harus ditanami dengan tanaman keras, minimum sampai radius 50 m dan penutupan dengan vegetasi tertentu pada ruas-ruas tertentu disekeliling mata air
c. Dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius 200 m dari mata air, tepi jurang, kolam/situ, sungai dan anak sungai.
(46)
Kawasan Budidaya
Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan (UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang). Dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur, Pemerintah Kabupaten Bogor (2000) yang termasuk kawasan budidaya adalah: kawasan budidaya pertanian dan kawasan permukiman. Dalam Keppres No.114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dijelaskan lebih detail tentang kedua kawasan tersebut, yaitu sebagai berikut :
1. Kawasan budidaya pertanian adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, terutama pertanian. Kawasan budidaya dibagi menjadi :
a. Kawasan budidaya pertanian lahan basah adalah kawasan budidaya pertanian yang memiliki sistem pengairan tetap yang memberikan air secara terus menerus sepanjang tahun, musiman atau bergilir dengan tanama n utama padi.
b. Kawasan budidaya pertanian tanaman lahan kering adalah areal lahan kering yang keadaan dan sifat fisiknya sesuai bagi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan ini berupa areal pertanian dengan sistem pengelolaan lahan kering dengan kegiatan utama pertanian tanaman pangan dan dapat dikombinasikan dengan perkebunan tanaman hortikultura dan atau usaha tani peternakan.
c. Kawasan budidaya pertanian tanaman tahunan/perkebunan adalah kawasan budidaya pertanian dengan tanaman tahunan/perkebunan sebagai tanaman utama yang dikelola dengan masukan teknologi sederhana sampai tinggi, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air. Kawasan ini bisa berupa perkebunan besar, perkebunan rakyat, maupun hutan produksi.
2. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
(47)
Gambar 4. Peta Arahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000
9267000
711000 714000 717000
708000 9264000
9267000
9264000
(48)
Hasil Pengolahan Citra Satelit Ikonos
Menur ut Lillesand & Kiefer (1990), penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Ditambahkan lagi oleh Burley (1961) dalam Lo (1995) bahwa penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh.
Citra satelit Ikonos dapat digunakan untuk mendeteksi pola penggunaan lahan dengan baik dikarenakan resolusinya yang tinggi sehingga objek pada permukaan bumi lebih mudah untuk dikenali. Berkaitan dengan pemanfaatan lahan, di Sub DAS Ciesek terdapat berbagai pola penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003, pada penelitian ini pola penutupan lahan secara garis besar terbagi dalam 9 tipe penutupan lahan antara lain :
1. Hutan
Fungsi hutan yang ada di hulu Sub DAS Ciesek mempunyai fungsi utama sebagai kawasan lindung. Vegetasi yang mendominasi kawasan hutan lindung merupakan hasil suksesi alami, dengan kerapatan yang makin lama makin berkurang dan penyebaran vegetasi tidak merata sehingga terdapat kawasan hutan yang tidak memiliki penutupan vegetasi (terbuka) sehingga perlu diupayakan kegiatan rehabilitasi dalam bentuk reboisasi. Dalam penelitian ini, hutan diklasifikasikan menjadi dua yakni hutan berkerapatan vegetasi tinggi dan hutan berkerapatan vegetasi rendah.
2. Pertanian Lahan Kering
Umumnya menempati daerah yang agak tinggi dan sulit dijangkau pengairan. Tanaman yang umum diusahakan adalah: pisang, singkong, jagung, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, atau tanaman sayuran (kubis, wortel, kentang, bawang daun, tomat dan cabe). Lahan biasanya diolah petani dua kali dalam setahun, setelah itu diberakan (antara Juni-Agustus).
3. Pertanian Lahan Basah (Sawah)
Tipe penggunaan lahan ini penyebarannya banyak bercampur dengan kawasan pemukiman. Sistem pertanian sawah ini pada umumnya menggunakan sistem
(49)
pengairan teknis dan sederhana. Disamping tanaman padi sebagai komoditi utama, sebagian masyarakat juga menanami sebagian lahan sawah mereka dengan beberapa komoditi sayuran seperti ketimun, ubi jalar, kacang tanah, kacang panjang.
4. Kebun Campuran
Tipe penggunaan lahan ini merupakan kawasan budidaya pertanian yang dilakukan oleh masyarakat dimana komoditi pertanian yang di tanam seperti sayuran dan palawija dikombinasikan dengan tanaman keras seperti buah-buahan dan tanaman keras. Di dalamnya termasuk tanaman tahunan, pekarangan, taman-taman dalam penelitian ini juga di kelompokan ke dalam kebun campuran. 5. Semak belukar
Tipe penutupan lahan ini merupakan kawasan kehutanan yang ditumbuhi rumput-rumputan, alang-alang dan tanaman paku-pakuan.
6. Pemukiman
Tipe penggunaan lahan ini termasuk juga kawasan industri, perdagangan dan jasa. Umumnya pemukiman menyebar dikawasan budidaya, namun ada sebagian kecil yang berada di kawasan lindung. Dalam penelitian ini, pemukiman diidentifikasikan dalam bentuk bangunan rumah.
7. Tanah Kosong
Tanah kosong merupakan kawasan terbuka tanpa penutup vegetasi. Letak tanah kosong menyebar baik di kawasan budidaya maupun kawasan lindung.
8. Badan air
Badan air dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni sungai dan badan air seperti kolam ikan, empang. kolam renang.
9. Jalan raya utama
Jalan raya utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jalan raya Bogor Puncak yang terdapat di Sub DAS Ciesek.
(50)
Tabel 5 berikut ini menunjukan tampilan image berbagai pola penutupan lahan berdasarkan citra satelit Ikonos tahun 2003 yang ada di Sub DAS Ciesek.
Tabel 5. Pengklasifikasian Berbagai Penutupan Lahan Menggunakan Metode On Screen di Sub DAS Ciesek Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
No
Tampilan Image pada Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
Hasil Intepretasi
1 Hutan Kerapatan Tinggi
2 Hutan Kerapatan Rendah
3 Semak Belukar
4 Pertanian Lahan Basah
(51)
No
Tampilan Image pada Citra Satelit Ikonos Tahun 2003
Hasil Intepretasi
6 Kebun Campuran
7 Bangunan Pemukiman
8 Sungai
9 Jalan Raya
10 Tanah Kosong
Sumber analisis data primer, 2005
Berdasarkan hasil intepretasi citra satelit Ikonos tahun 2003 yang telah dilakukan, didapatkan pola penutupan lahan masyarakat yang tinggal di Sub DAS Ciesek seperti yang tetera pada Tabel 6 di bawah ini.
(52)
Tabel 6. Penutupan Lahan Berdasarkan Ikonos Tahun 2003 dan Peruntukan Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW Tahun 2000 di Sub DAS Ciesek No Arahan Penggunaan Umum RTRW Arahan Penggunaan Khusus RTRW Luas Berdasarkan
RTRW (Ha) %
Penutupan Lahan Berdasarkan Ikonos
Tahun 2003
Luas Berdasarkan
Ikonos (Ha) %
1 Kawasan Kawasan 1.041,10 39,24 Hutan kerapatan tinggi 521,48 50,09 Lindung Hutan Lindung Hutan kerapatan rendah 133,25 12,80 Kebun campuran 35,72 3,43 Bangunan rumah 2,06 0,20 Pertanian lahan kering 144,70 13,90 Semak belukar 200,42 19,25 Sungai 0,69 0,07 Tanah kosong 2,79 0,27 Total a 1.041,10 100,00 2 Kawasan Kawasan 539,87 20,35 Pertanian lahan kering 269,88 49,99 Budidaya Pertanian Badan air / kolam 0,51 0,09 Pertanian Lahan Kering Hutan kerapatan tinggi 5,32 0,99 Hutan kerapatan rendah 1,68 0,31 Kebun campuran 109,53 20,29 Bangunan rumah 38,81 7,19 Sawah 103,04 19,09 Sungai 8,20 1,52 Tanah kosong 2,91 0,54 Total b 539,87 100,00 Kawasan 127,75 4,81 Sawah 56,63 44,33 Pertanian Kebun campuran 41,82 32,74 Lahan Basah Bangunan rumah 24,94 19,52 Sungai 2,52 1,97 Tanah kosong 1,83 1,43 Total c 127,75 100,00 Kawasan 261,84 9,87 Kebun campuran 72,92 27,85 Perkebunan Pertanian lahan kering 82,74 31,60 Hutan kerapatan tinggi 7,00 2,67 Hutan kerapatan rendah 54,26 20,72 Bangunan rumah 17,91 6,84 Sawah 22,74 8,68 Semak belukar 1,99 0,76 Sungai 1,05 0,40 Tanah kosong 1,23 0,47 Total d 261,84 100,00 Kawasan 265,57 10,01 Kebun campuran 71,52 26,93 Tanaman Pertanian lahan kering 99,34 37,41
Tahunan Sawah 54,21 20,41
Bangunan rumah 5,97 2,25 Semak belukar 31,10 11,71 Sungai 2,42 0,91 Tanah kosong 1,01 0,38 Total e 265,57 100,00 Kawasan Kawasan 417,15 15,72 Bangunan rumah 127,49 30,56 Pemukiman Pedesaan Jalan raya utama 3,47 0,83 Tanah kosong 4,23 1,01 Sungai 6,34 1,52 Badan air / kolam 0,45 0,11 Kebun campuran 150,43 36,06 Pertanian lahan kering 60,40 14,48 Sawah 64,35 15,43 Total f 417,15 100,00
TOTAL 2.653,27 2.653,27
(1)
(2)
(3)
Lampiran 14. Penghitungan Nilai Ekonomi Perumahan
no WTP (y) Hedonic (x1) Jarak (x2) Ketinggian (x3) Slope (x4) Pendapatan (x5) Kelas Bangunan (x6) Tipe Rumah (x7)1 75.000.000 7,00 236,40 470,51 13,27 1.000.000 1 1 2 45.000.000 7,50 1771,79 549,79 11,77 400.000 1 1 3 15.000.000 7,25 1394,77 484,62 8,32 350.000 1 1 4 35.000.000 7,00 1677,29 544,59 5,82 500.000 1 1 5 24.000.000 7,00 2582,40 575,00 0,00 550.000 1 1 6 200.000.000 7,50 82,22 480,86 6,45 1.300.000 2 1 7 150.000.000 7,25 1496,32 550,00 0,00 1.200.000 2 1 8 750.000.000 8,12 1321,57 479,49 14,98 5.000.000 3 1 9 250.000.000 8,00 596,62 557,78 21,96 8.500.000 2 1 10 290.000.000 7,75 957,91 472,76 12,12 8.000.000 2 2 11 500.000.000 8,62 286,90 569,25 9,65 10.000.000 2 2 12 400.000.000 8,37 156,36 577,39 5,82 12.000.000 2 2 13 70.000.000 5,00 1269,61 597,39 11,18 200.000 1 2 14 50.000.000 8,12 1135,05 587,50 0,00 600.000 1 2 15 100.000.000 7,00 1698,58 605,36 9,63 1.000.000 2 1 16 40.000.000 6,00 1685,14 613,86 10,66 2.000.000 1 1 17 20.000.000 6,00 798,87 589,58 5,56 300.000 1 1 18 750.000.000 7,75 5,50 587,50 0,00 900.000 2 1 19 50.000.000 7,00 974,02 585,23 7,30 550.000 1 1 20 30.000.000 7,87 1051,18 577,05 4,12 450.000 1 1 21 20.000.000 7,50 2502,63 735,96 11,68 500.000 1 1 22 150.000.000 8,00 537,66 605,25 7,52 450.000 1 1 23 65.000.000 6,75 1515,26 601,31 13,67 460.000 1 1 24 100.000.000 7,50 1391,60 623,54 19,55 700.000 2 1 25 800.000.000 8,75 2400,20 577,98 4,11 7.000.000 3 1 26 350.000.000 8,00 1314,45 587,50 - 6.000.000 2 1 27 300.000.000 7,50 685,90 563,63 4,70 4.000.000 2 2 28 900.000.000 7,75 121,90 584,53 7,04 8.000.000 3 2 29 300.000.000 7,50 1781,21 675,00 - 3.000.000 2 2 30 50.000.000 8,00 1767,82 664,24 20,07 670.000 1 2 31 30.000.000 5,50 656,65 621,34 12,21 500.000 1 1 32 28.000.000 7,37 3567,87 740,99 11,70 400.000 1 1 33 400.000.000 8,00 10,00 623,04 4,96 1.000.000 2 1 34 320.000.000 7,75 5,00 632,90 4,67 1.500.000 2 1 35 20.000.000 7,75 6284,28 1171,13 10,53 350.000 1 1 36 20.000.000 7,25 6142,14 1157,14 10,37 700.000 1 1 37 30.000.000 7,75 2480,97 650,00 - 500.000 1 1 38 150.000.000 8,25 1604,63 649,03 15,32 500.000 2 1 39 600.000.000 8,75 1614,53 662,21 20,15 5.000.000 2 1 40 450.000.000 8,37 2375,50 646,41 18,81 500.000 2 2 41 2.000.000.000 8,87 3910,40 869,74 11,99 10.000.000 3 2 42 1.800.000.000 8,87 4299,87 887,11 21,16 14.000.000 3 2 43 1.500.000.000 9,12 4424,18 947,48 31,09 9.000.000 3 2 44 1.700.000.000 9,25 3723,78 837,53 17,05 15.000.000 3 2 45 25.000.000 7,00 2590,18 719,24 8,87 200.000 1 2 46 75.000.000 6,00 4283,98 809,65 12,63 200.000 1 2 47 15.000.000 7,50 2557,19 728,74 8,10 400.000 1 1 48 90.000.000 7,87 1421,42 687,50 - 900.000 2 1 49 50.000.000 7,00 1332,65 687,50 - 500.000 1 1 50 50.000.000 6,62 1492,19 688,01 2,40 500.000 1 1 51 40.000.000 5,62 3390,73 766,34 19,38 650.000 1 1 52 150.000.000 8,00 2294,09 715,07 7,64 1.500.000 2 1 53 35.000.000 7,50 1474,03 696,14 5,78 400.000 1 1 54 25.000.000 7,25 2361,07 708,48 4,95 350.000 1 1 55 80.000.000 8,00 2524,91 725,00 - 900.000 2 1 56 28.000.000 7,25 2473,10 710,79 4,14 600.000 1 1 57 90.000.000 7,75 1398,52 687,50 - 1.100.000 2 1 58 35.000.000 7,37 1896,65 564,05 19,26 650.000 1 1 59 100.000.000 8,00 298,50 648,79 7,01 350.000 1 1 60 25.000.000 7,00 1937,63 544,61 6,68 400.000 1 1 61 220.000.000 8,50 5543,25 980,44 14,85 1.500.000 3 2 62 500.000.000 8,00 2573,06 738,63 10,21 2.000.000 3 2 63 450.000.000 8,75 3006,25 789,64 11,54 8.000.000 3 2 64 1.500.000.000 8,37 2344,09 715,51 7,64 6.000.000 3 2
(4)
Regression
Variables Entered/Removed(a)
Model
Variables
Entered
Variables
Removed
Method
1
X6
.
Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <= ,050,
Probability-of-F-to-remove >= ,100).
2
X5
.
Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <= ,050,
Probability-of-F-to-remove >= ,100).
a Dependent Variable: Y
Model
Summary
Model
R
R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1
,817(a)
,668
,662
313845195,7
22
2
,862(b)
,743
,735
2780
a Predictors: (Constant), X6
b Predictors: (Constant), X6, X5
ANOVA(c)
Model
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1
Regression
1187084
1
1187084 120,518
,000(a)
Residual
590992
60
98498806877509900,
000
Total
1778077
61
2
Regression
13217399756038
050000,000
2
661095
85,472
,000(b)
Residual
456224
59
773261
Total
1777964
61
a Predictors: (Constant), X6
b Predictors: (Constant), X6, X5
c Dependent Variable: Y
Coefficients(a)
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t
Sig.
Model
B
Std. Error
Beta
1
(Constant)
-536
93917266,801
-5,706
,000
X6
526158132,530
47950958,673
,817
10,978
,000
2
(Constant)
-363604537,906
92909164,624
-3,911
,000
X6
331119138,069
63170341,317
,514
5,244
,000
X5
54,460
13,045
,409
4,175
,000
a Dependent Variable: Y
(5)
Excluded Variables(c)
Beta In
t
Sig.
Partial
Correlation
Collinearity
Statistics
Model
Tolerance
1
X1
,111(a)
1,086
,282
,140
,530
X2
,123(a)
1,655
,103
,211
,968
X3
,144(a)
1,927
,059
,243
,954
X4
,074(a)
,972
,335
,126
,956
X5
,409(a)
4,175
,000
,478
,452
X7
,165(a)
1,853
,069
,235
,670
2
X1
,032(b)
,345
,732
,045
,506
X2
,107(b)
1,616
,111
,208
,965
X3
,125(b)
1,887
,064
,241
,950
X4
-,005(b)
-,076
,939
-,010
,881
X7
,068(b)
,798
,428
,104
,606
a Predictors in the Model: (Constant), X6
b Predictors in the Model: (Constant), X6, X5
c Dependent Variable: Y
Keterangan :
Y = Kesediaan Membeli Rumah (Rp)
X1 = Faktor Kualitas Lingkungan
X2 = Jarak ke Jalan Raya (m)
X3 = Ketinggian Tempat (m)
X4 = Kelerengan (%)
X5 = Pendapatan Rp/bulan)
X6 = Kelas Bangunan
X7 = Jenis Bangunan
Tabel. Perhitungan Nilai Ekonomi Rumah Per Hektar Per Tahun
Tipe
Rumah
Rata-rata
Luas
Bangunan
(ha)
Usia
Rumah
(th)
Nilai Ekonomi
(Rp)
Nilai Rumah
(Rp/ha)
Nilai Rumah
(Rp/ha/th)
1
2
3
4
5 = 4 : 2
6 = 5 : 3
Rumah
Biasa
0,0560 30
93.181.818
16.639.610.390
554.653.679,65
Villa
0,1338
50
862.400.000
64.435.146.444
1.288.702.928,87
rata-rata
0,1898 40 371884058
44.165.232.358
1.104.130.808,95
(6)
Lampiran 14. Citra Satelit Ikonos Tahun 2003, Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor
Laboratorium SDAF
Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan - IPB
708000
717000 714000
711000 714000 717000 708000 711000
9267000
9264000 9264000