Kajian Finansial Usahatani Tambak Tumpangsari Sistem Empang Parit di Hutan Mangrove Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat

KAJIAN FINANSIAL
USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI
SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE:
Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang,
Jawa Barat

SADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRAK
SADI.
KAJIAN FINANSIAL USAHA TANI TAMBAK TUMPANGSARI
SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE: Studi Kasus di
Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
dibimbing oleh
Cecep Kusmana. dan Bahruni.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan

penting di wilayah pesisir dan kelautan. Hutan mangrove memiliki fungsi
biologis, ekologis dan ekonomi yang sangat tinggi. Sebagai penyedia nutrien bagi
biota perairan, tempat pemijahan (spawning grounds) dan asuhan (nursery
ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan
tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dan lain-lain., hutan
mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia
kayu bakar, obat-obatan, alat penangkapan ikan. Lebih jauh, hutan mangrove juga
merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis -jenis
kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman
hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi
sebagai sistem pen yangga kehidupan. Mangrove juga dapat memelihara kualitas
air, menyerap CO 2, dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain .
Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial dengan
sistem
tumpangsari pola empang parit merupakan alternatif pelestarian ekosistem
mangrove untuk tetap mempertahankan fungsi biologis dan fungsi ekologisnya
tetapi tetap memiliki nilai ekonomi yang berdampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir.
Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu kecamatan dari 22
kecamatan yang ada di Kabupaten Subang dan merupakan satu kecamatan dari 4

kecamatan yang berada di wilayah pesisir. Kecamatan ini memiliki 8 desa dan 5
desa diantaranya merupakan desa yang berada di wilayah pantai dengan hutan
mangrove terbaik di Kabupaten Subang. Dengan letak wilayah seperti itu maka
Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu Kecamatan yang mampu memasok
kebutuhan ikan bagi masyarakat Subang maupun daerah sekitarnya. Pengelolaan
hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat
sangat dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah pada awal tahun 1990 -an tentang
Tambak Inti Rakyak (TIR). Konversi hutan mangrove menjadi tambak terjadi
secara besar-besaran akibat dari kebijakan tersebut sangat dirasakan oleh
masyarakat pada saat ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sisi finansial pengelolaan hutan
mangrove sebagai tambak tumpangsari sistem empang parit d i Kecamatan
Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis usahatani
berbagai pola tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan
Legonkulon, Kabupaten Subang diperoleh bahwa pola 80:20, memberikan nilai
finansial tertinggi berdasarkan analisis usahatani dengan menggunakan parameter
penghitungan nilai Return Cost Ratio (R /C), Kecepatan Pengembalian Modal,
Laju Keuntungan Bersih dan Break Event Point (BEP)
Keyword : hutan mangrove, tambak empang parit, analisis finansial, usahatani.


ABSTRACT
Mangrove forest as unique ecosystem supports an important life in coastal
area,and has ecological functions as nutrient supplier for its biota, place for
spawning and nursery ground, coastal abrasion buffer, protect from hurricane and
tsunami, waste absorber, salt water intrusion defender and others. Besides,
mangrove forest has high economic values like as wood and herbal produc tions,
fisheries catchments etc. Farther, mangrove forest as habitats for various bird,
reptile, mammals other and wildlife, it provides a rich biodiversity and genetic
pool this supporting life system. Mangrove protects water quality, absorb CO2 and
produce O 2 higher than other type of forest. Mangrove has high ecological
function and economic value that give benefit for local community requirement.
To increase and preserve biological and ecological function of mangrove forest
need rational approach. Empang parit system provide application alternative of
sylvofishery estimaties of economic value needed for managing mangrove forest
to give sustainable benefits for its community. Base on calculation and analysis
of its which pattern 80% forest and 20% fishpond in Kecamatan Logonkulon,
Kabupaten Subang give highest economic result. Its parameter use Return Cost
Ratio analysis (R/C), Return of investment, profit and Break Even Point (BEP)
Keyword : Mangrove forest, empang parit , analysis of finansial, usahatani,


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blora pada tanggal 1 Juli 1961, dari ayah Soero
Wardi dan ibu Sampi. Penulis merupakan putra ke lima dari tujuh bersaudara.
Tahun 1981 penulis lulus SMA III BOPKRI Yogyakarta, tahun yang sama
penulis masuk IKIP Yogyakarta Program D2. Tahun 1985 penulis melanjutkan
pendidikan di STIPER Yogyakarta jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan lulus
sarjana tahun 1990. Pada bulan September 2004 penulis di terima sebagai
mahasiswa S2 Profesi, Program Studi Konservasi Biodiversitas,

Departemen

Konservasi Sunberdaya Hutan, IPB.
Penulis bekerja sebagai guru SMP Negeri Gunung Tabur, Kabupaten
Berau, Kalimantan Timur tahun 1983 – 1985, tahun 1991 menjadi pegawai di
Dinas Perkebunan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tahun 1992 – 2005 menjadi
guru di SMK Negeri 2 Subang, Jawa Barat dan pada tahun 2005 sampai sekarang
menjadi kepala SMK Negeri 1 Cipunagara, Kabupaten Subang.

Judul


: Kajian Finansial Usahatani Tambak Tumpangsari Sistem
Empang Parit di Hutan Mangrove:Studi Kasus di Kecamatan
Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Nama

: SADI

NRP

: E 051040305

Program Studi

: Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Sub Program Studi: Konservasi Biodiversitas

Disetujui
Komisi Pembimbing


Ir. Bahruni, MS.
Anggota

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
Ketua

Diketahui,

Ketua Program Studi

Dr. Ir. Dede Hermawan, MScF.

Tanggal Ujian : 27 Maret 2006

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Safrida Manuwoto , MSc.

Tanggal Lulus :


KAJIAN FINANSIAL
USAHATANI TAMBAK TUMPANGSARI
SISTEM EMPANG PARIT DI HUTAN MANGROVE:
Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang,
Jawa Barat

SADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan
kekuatan, perlindungan dan petunjuk kepada kami sehingga kami dapat
melakukan penelitian yang berjudul ” Kajian Finansial Usahatani Tambak
Tumpangsari Sistem Empang Parit di Hutan Mangrove”, yang merupakan
studi kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat

dan

selanjutnya dapat menyajikan hasil penelitian dalam bentuk tesis. Pengangkatan
judul ini dimaksudkan oleh penulis untuk mengetahui sejauh mana manfaat yang
langsung dirasakan oleh petani tambak dalam pengelolaan tambak di hutan
mangrove dengan berbagai pola (ukuran parit).

Dengan hasil penelitian ini

penulis mengharapkan dapat memberikan gambaran yang rasional kepada
pengelola hutan (Perum Perhutani dan petani tambak) agar dapat memanfaatkan
hutan sebagai tambak dengan tetap berwawasan pada kelestarian lingkungan.
Penelitian ini hanya mengukur beberapa parameter yang dirasakan oleh
masyarakat pengelola hutan (petani tambak tumpangsari), yaitu berupa manfaat

ekonomi dari pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari. Manfaat
lain dari hutan mangrove yaitu manfaat ekologi tidak menjadi parameter
pengukuran karena keterbatasan kemampuan, waktu dan biaya. Diharapkan ada
penelitian lanjutan dalam pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak empang
parit dalam tinjauan manfaat ekologinya oleh peneliti yang akan datang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola empang parit yang
memberi

manfaat

terbesar

yang

dirasakan

oleh

petani


tambak

dalam

memanfaatkan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sis tem
empang parit. Dengan mengetahui dan merasakan manfaat tersebut diharapkan
petani tambak yang memanfaatkan hutan mangrove dapat ikut serta dalam
menjaga dan melestarikan sampai batas yang menguntungkan.
Dalam melakukan penelitian ini, banyak pihak yang terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih
yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. sebagai Ketua Komisi
Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan bimbingan dalam
membuat perencanaan penelitian sampai penulisan tesis ini.
2. Bapak Ir. Bahruni, MS. sebagai Dosen Pembimbing yang telah banyak
membantu, mengarahkan dan membimbing penulis secara intensif mulai
pembuatan proposal penelitian sampai penyelesaian penulisan tesis ini.
3. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF. Ketua Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, IPB, yang telah memberikan

bantuan berupa fasilitas teknis maupun

pelayanan non teknis dari

pelaksanaan perkuliahan sampai tugas akhir penulisan tesis ini.
4. Bapah Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. sebagai ketua Program S2 Profesi,
beserta staf.
5. Bapak Ir. H. Asep Supriyatna, Ketua KUD Karya Laksana yang telah
membantu penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian.
6. Bapak Drs. Eep Hidayat, Bupati Subang beserta stafnya yang telah banyak
memberikan bantuan penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
7. Kepala Perum Perhutani Wilayah III Purwakarta, BKPH Ciasem dan
Pamanukan, beserta staf yang telah memberikan ijin lokasi dan fasilitas
lain di lapangan.
8. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian sampai
pelaporan hasilnya.
Tesis ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal kelengkapan maupun
penyajiannya karena keterbatasan kemampuan, waktu dan biaya, tapi penulis
berharap tesis ini dapat menjadi acuan dalam pengelolaan hutan mangrove
khususnya di Kabupaten Subang.
Bogor, Februari 2006

Sadi

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xv

PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................................

1

Perumusan Masalah ...................................................................

5

Tujuan Penelitian .......................................................................

9

Manfaat Penelitian .....................................................................

10

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Hutan Mangrove ……...........................................

11

Manfaat Hutan Mangrove ……..................................................

12

Kondisi Hutan Mangrove ...........................................................

14

Upaya Konservasi Hutan Mangrove ...........................................

16

Tambak Tumpangsari ...............................................................

18

Analisis Usahatani Tambak Tumpang Sari Sistem
Empang Parit ...............................................................................

20

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................

23

Bahan dan Alat ............................................................................

23

Metode Penelitian ........................................................................

23

Jenis dan Sumber Data ................................................................

25

Analisis Data ...............................................................................

27

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...........................................

30

Luas Wilayah dan Keadaan Penduduk .......................................

31

Karakteristik Fisik Perairan Pantai ............................................

31

Kondisi dan Penyebaran Hutan Mangrove
di Kecamatan Legonkulon ........................................................

34

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Tambak
(Mangrove Aquaculture) ...........................................................

36

Ancaman Kerusakan Ekosistem Mangrove ...............................

38

HASIL DAN PENBAHASAN
Biaya

........................................................................................

41

Pendapatan .................................................................................

47

Analisis Usahatani ......................................................................

60

Pengaruh Keberadaan Hutan Mangrove Terhadap
Pengelolaan Tambak ..................................................................

63

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ....................................................................................

68

Saran ...........................................................................................

69

DAFTAR PUSTAKA ........................... ...............................................

70

LAMPIRAN ..........................................................................................

72

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Kondisi hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon ............................

24

2

Penyebaran hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon ......................

34

3

Alo kasi tambak di Kecamatan Legonkulon .........................................

36

4

Biaya pencetakan tambank tumpangsari sistem empang parit ...............

42

5

Biaya tetap yang digunakan untuk usaha tambak empang parit ............

43

6

Biaya tidak tetap dalam pengelolaan tambak berbagai pola ..................

44

7

Biaya produksi pengelolaan tambak tumpangsari sistem
empang parit berbagai pola .................................................................

45

Analisis regresi hubungan keberadaan hutan mangrove terhadap
biaya produksi pengelolaan tambak sistem empang parit ......................

47

Hasil tangkapan harian dari tambak tumpangsari sistem
empang aprit berbagai pola ...................................................................

49

10 Hasil analisis uji LSD hasil tangkapan harian berbagai pola tambak
tumpangsari sistem empang partit .........................................................

51

11 Hasil analisis uji LSD hasil budidaya bandeng berbagai pola
tambak tumpangsari sistem empang partit .............................................

55

12 Has il analisis uji LSD hasil udang windu berbagai pola tambak
tumpangsari sistem empang partit .........................................................

56

13 Hasil analisis uji LSD ikan mujaer dan udang putih berbagai pola
tambak tumpangsari sistem empang partit .............................................

59

14 Total pendapatan petani tambak tumpangsari sistem empang parit
berbagai pola dalam hutan mangrove ...................................................

60

15 Hasil analisis usaha tani pengelolaan tambak tumpangsari sistem
empang parit berbagai pola di Kecamatan Legonkulon ........................

61

16 Pengaruh keberadaan hutan mangrove terhadap biaya dan hasil
pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit .........................

65

17 Analisis regresi pengaruh keberadaan mangrove terhadap hasil total
pengelolaan tambak tumpangsari ........................................................

66

8
9

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Kerangka Pemikiran

............................................................................

9

2

Formasi hutan mangrove secara alami ...................................................

12

3

Sistem perakaran mangrove yang memungkinkan untuk rumah
yang baik bagi biota laut .......................................................................

15

Peta keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten
Subang ...................................................................................................

30

5

Peta Bathimetri di perairan Kabupaten Subang ....................................

32

6

Arah aliran gelombang dari Timur Laut di Perairan Subang ...............

33

7

Bentuk pemukiman penduduk di dalam hutan mangrove .....................

35

8

Berbagai pola tambak sitem empang parit yang dikembangkan Perum
Perhutani ................................................................................................

37

Berbagai bentuk aktivitas yang menurunkan kualitas ekosistem
mangrove ...............................................................................................

39

10 Berbagai aktivitas masyarakan yang menurunkan kuantitas ekosistem
mangrove ................................................................................................

39

11 Berbagai upaya konservasi hutan mangrove di Kecamatan
Legonkulon ............................................................................................

40

12 Grafik hubungan antara pola tambak dengan biaya produksi
pengelolaan tambak ..............................................................................

46

13 Bubu, alat untuk mendapatkan hasil harian dari tambak

48

14 Beberapa jenis hasil tangkapan harian ..................................................

49

15 Aktivitas petani pada saat panen ... ........................................................

52

16 Grafik hasil budidaya tambak ...... ........................................................

54

17 Keadaan saluran utama tambak yang berbatasan dengan pemukiman
dan sawah ..............................................................................................

56

18 Diagram pegaruh proporsi hutan mangrove terhadap berbagai hasil
tambak .................................................................................................

65

19 Grafik Pengaruh Proporsi hutan terhadap pendapatan total petani
tambak ...................................................................................................

66

4

9

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Lampiran 1a: Hasil harian tambak pola 80:20 ....................................

72

2

Lampiran 1b: Hasil harian tambak pola 70:30 ....................................

73

3

Lampiran 1c: Hasil harian tambak pola 60:40 ....................................

74

4

Lampiran 1d: Hasil harian tambak pola 50:50 ....................................

75

5

Lampiran 1e: Hasil harian tambak pola tanpa hutan ............................

76

6

Lampiran 2a: Hasil budidaya bandeng pola 80:20 ................................

77

7

Lampiran 2b: Hasil budidaya bandeng pola 70:30 ................................

78

8

Lampiran 2c: Hasil budidaya bandeng pola 60:40 ................................

79

9

Lampiran 2d: Hasil budidaya bandeng pola 50:50 ................................

80

10 Lampiran 2e: Hasil budidaya bandeng pola tanpa hutan ......................

81

11 Lampiran 3a: Hasil budidaya udang windu 80:20 ...............................

82

12 Lampiran 3b: Hasil budidaya udang windu pola 70:30 ........................

83

13 Lampiran 3c: Hasil budidaya udang windu pola 60:40 ........................

84

14 Lampiran 3d: Hasil budidaya udang windu pola 50:50 ........................

85

15 Lampiran 3e: Hasil budidaya udang windu pola tanpa hutan …………

86

16 Lampiran 4a: Hasil samping budidaya pola 80:20 ................................

87

17 Lampiran 4b: Hasil samping udang pola 70:30 ................................

88

18 Lampiran 4c: Hasil samping budidaya pola 60:40 ................................

89

19 Lampiran 4d: Hasil samping budidaya pola 50:50 ................................

90

20 Lampiran 4e: Hasil samping budidaya pola tanpa hutan ......................

91

21 Lampiran 5a: Hasil samping bibit bakau pola 80:20 .............................

92

22 Lampiran 5b: Hasil samping bibit bakau pola 70:30 ............................

93

23 Lampiran 5c: Hasil samping bibit bakau pola 60:40 .............................

94

24 Lampiran 5d:Hasil samping bibit bakau pola 50:50 .............................

95

25 Lampiran 5e: Hasil samping bibit bakau pola tanpa hutan ..................

96

26 Lampiran 6a: Hasil analisis usahatani pola 80:20 ................................

97

27 Lampiran 6b: Hasil analisis usahatani pola 70:30 ................................

98

28 Lampiran 6c: Hasil analisis usahatani pola 60:40 ................................

99

29 Lampiran 6d:Hasil analisis usahatani pola 50:50 ................................

100

30 Lampiran 6e: Hasil analisis usaha tani pola tanpa hutan ......................

101

31 Lampiran 7: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil tangkapan
harian ......................................................................................................

102

32 Lampiran 8: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil budidaya
bandeng ..................................................................................................

104

33 Lampiran 9: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil budidaya
udang windu ..........................................................................................

106

34 Lampiran 10: Analisis uji beda antar pola terhadap hasil samping 108
budidaya .................................................................................................
35 Lampiran 11: Analisis regresi ...............................................................

110

36 Lampiran 12: Karakteristik responden .................................................

116

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai dengan tanah berlumpur. Umumnya
hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara berkala, menerima
pasokan air tawar yang cukup dari darat, air bersalinitas payau (kadar garam 2 –
22 permil) sampai air asin (kadar garam 38 permil), Bengen (2000). Menurut
FAO (1994) hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di
sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung.
merupakan perpaduan antara daratan dan lautan.

Formasi mangrove

Pertumbuhan mangrove

tergantung pada air laut yang diperoleh saat pasang dan air tawar yang banyak
mengandung bahan organik dan kaya mineral sebagai sumber makanannya serta
endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya,
maka bentuk hutan mangrove dan keberadaannya sangat tergantung oleh pengaruh
darat dan laut. Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas
lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
mangrove, Kusmana (1996).
Tumbuhan mangrove juga memiliki bentuk perakaran yang khas. Bentuk
perakaran ini memungkinkan tumbuhan mangrove memiliki

adaptasi yang

bervariasi terutama adaptasi terhadap kadar garam dan kadar oksigen.

Dari

bentuk dan sistem perakaran ini, tumbuhan mengrove membentuk formasi yang
unik dari daerah dengan kadar garam tinggi dan kadar oksigen rendah sampai
pada daerah kadar garam rendah dengan kadar oksigen tinggi.
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 202 jenis yang terdiri dari jenis pohon,
jenis palem, jenis liana, epifit dan hanya satu jenis sikas.
yang

banyak

dijumpai

di wilayah

pesisir

Beberapa jenis pohon

Indonesia

adalah

bakau

(Rhizophora spp ), api-api (Avicennia spp), pedada (Sonneratia spp), tanjang

2

(Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tenger (Ceriops spp) dan, buta-buta
(Exoecaria spp).
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove
di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Luasan
mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982
menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta
hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan
bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu
hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan
tambak, penebangan liar dan sebagainya.
Hutan mangrove memiliki berbagai macam manfaat baik manfaat
ekonomis maupun manfaat ekologis. Secara ekonomis mangrove berperan
menyediakan berbagai macam kebutuhan manusia seperti penyedia kayu bakar,
bahan bangunan, penghasil tanin (penyamak kulit) alat penangkap ikan, peralatan
rumah tangga serta manfaat non fisik seperti olah raga dan rekreasi dan lainnya.
Hutan mangrove memiliki manfaat ekologis sebagai perlindungan bagi
lingkungan ekosistem daratan dan lautan. Secara ekologis, hutan mangrove
berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran
(nursery grounds) berbagai jenis ikan udang, kerang-kerangan dan spesies
lainnya.

Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa

lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur
hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut. Selain itu,
hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia,
mamalia

dan

jenis -jenis

kehidupan

lainnya,

sehingga

hutan

mengrove

menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool)
yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan.

Ekosistem

mangrove menyediakan plasma nutfah yang cukup tinggi hingga 157 jenis
tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut, dan berbagai jenis fauna
darat (Bengen,2000).

3

Mangrove mempunyai nilai Produksi Primer Bersih (PPB) yang cukup
tinggi, yakni biomassa (62,9 – 398,8 ton/ha/th), guguran serasah (5,8 – 25,8
ton/ha/th), dan riap volume 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun.
Besarnya nilai produksi primer bersih tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai
makanan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat
pesisir.
Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan
mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang,
tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut.

Hasil

penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur,
menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi
gelombang sebesar 0,7340 meter, dan perubahan energi gelombang (E) sebesar
19.635,26 joule, Pratikto (2002). Selain itu mangrove dapat mengontrol penyakit
malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO2, dan
penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain, Kusmana (2002).
Secara tidak langsung, manfaat ekologi mangrove sangat berpengaruh
terhadap nilai ekonomi. Sumberdaya laut berupa berbagai jenis ikan udang,
kerang-kerangan dan spesies lainnya yang kehidupannya sangat tergantung pada
hutan mangrove tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sangat
berpengaruh dalam menentukan kehidupan manusia terutama yang bermukim di
daerah pesisir.

Tingginya nilai ekonomi

berbagai komoditas laut tersebut

menggerakkan manusia untuk melakukan budidaya secara intensif.

Udang dan

bandeng misalnya, pernah menjadi komoditas andalan Indonesia pada dekade
1980-an sampai awal dekade 1990 an. Pada masa itu terjadilah alih fungsi atau
konversi besar-besaran daerah pesisir menjadi tambak yang sebagian besar
dikelola oleh pengusaha besar.

Pola konversi yang memberikan hasil sangat

besar tersebut ternyata memberikan dampak pada pola pikir masyarakat pesisir
dalam memanfaatkan lingkungannya terutama hutan mangrove.

Maka pada

waktu yang relatif singkat, terjadi perubahan lingkungan pesisir dari wilayah
hutan menjadi areal tambak dan akibat yang ditimbulkan dari perubahan tersebut

4

masih dirasakan oleh masyarakat itu sendiri hingga saat ini, antara lain
meningkatnya suhu udara, terjadinya perubahan kadar garam pada air tanah di
daerah pemukiman, timbulnya penyakit yang disebabkan oleh serangga misalnya
penyakit malaria.
Akibat pola pemanfaatan yang berlebihan, saat ini luas penyebaran
mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982
menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta
hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan
bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu
hektar/tahun. Untuk menekan kerusakan yang terjadi, Departemen Kelautan dan
Perikanan serta Departemen Kehutanan secara bersama-sama terus memfasilitasi
tersusunnya tata ruang wilayah pesisir pada setiap kabupaten sebagai dasar
perencanaan pengelolaan pesisir serta sebagai sarana implementasi pengelolaan
ekosistem mangrove secara lestari, Dahuri (2002).
Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, disebutkan dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak,
kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis
atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan
konservasi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat terbatas pada pola
umum dan penyusunan rencana makro rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan
penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan oleh pemerintah daerah,
terutama Pemerintah Kabup aten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis
ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam
pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan
masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung.

5

Penerapan sistem tumpangsari/mina hutan di ekosistem hutan mangrove
merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan
mangrove secara lestari.

Penerapan mina hutan di kawasan ekosistem hutan

mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani di
sekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan
bagi masyarakat.
Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi
dari sistem tumpangsari/mina hutan (sylvofishery). Sistem empang parit adalah
sistem tumpangsari/mina hutan, dengan hutan bakau berada di tengah dan kolam
berada di tepi mengelilingi hutan. Sebaliknya sistem empang inti adalah sistem
tumpangsari/mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam .
Keberhasilan dari

pelaksanaan sistem empang parit perlu dilakukan pengkajian

dan perlu valuasi agar dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan dimasa
yang akan datang. Dengan demikian masyarakat akan mendapatkan informasi
yang benar tentang fungsi mangrove bagi kehidupanya baik sekarang maupun
yang akan datang, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999).
Perumusan Masalah
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan
penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis
sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat berpijah dan asuhan (nursery
ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan
tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dan lain-lain., hutan
mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia
kayu, tanin, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan. Selain itu, hutan
mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia
dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan
keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta
berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan
canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung

6

daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan
gaya-gaya dari laut lainnya, Bengen (2000 ).
Manfaat langsung yang bisa dirasakan oleh penduduk di sekitarnya adalah
kayunya dapat digunakan untuk bahan bangunan, kayu bakar, membuat arang,
pulp dan lain-lain. Selain itu hutan mangrove juga merupakan penghasil bahan
organik yang berguna untuk menunjang kelestarian biota perairan . Hasil tambak
secara langsung sangat dipemgaruhi oleh kelestarian biota perairan, sedangkan
biota akuatik kehidupannya sangat tergantung pada keberadaan hutan mangrove.
Seberapa besar pengaruh keberadaan hutan mangrove bagi kehidupan biota
perairan dapat dilihat dari pengaruh hutan mangrove terhadap hasil perikanan
yang langsung dinikmati oleh masyarakat pesisir setiap hari.
Dalam mengejar target ekonomi terkadang sisi lingkungan terabaikan.
Pada saat usaha tambak memiliki nilai keuntungan secara ekonomi yang sangat
besar, maka konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak terkendali,
masyarakat tidak pernah berp ikir bahwa tingginya produktivitas tambak tersebut
disebabkan karena pasokan pakan dari alam untuk udang dan bandeng masih
sangat besar. Petani tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membeli pakan
udang dan bandeng, penyakit yang timbul juga sangat jarang karena lingkungan
masih bersih dan belum tercemar. Pada tataran masyarakat maupun birokrat yang
berhubungan dengan bidang kesehatan khususnya, masih berkembang pandangan
yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat yang kotor
untuk tempat bersarang dan berkembangbiaknya nyamuk malaria, lalat, dan
berbagai jenis serangga lainnya. Hal tersebut telah mendorong terjadinya
pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mencegah timbulnya wabah
penyakit yang ditimbulkan. Akan tetapi sebaliknya, apabila kondisi ekosistem
mangrove masih terjaga dengan baik maka akan mampu menjaga keseimbangan
habitat malaria dalam kondisi seimbang yang tidak memungkinkan malaria
berubah menjadi wabah penyakit bagi manusia.

7

Persepsi lain, bahwa mangrove tidak dipandang sebagai sumberdaya yang
memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila dibandingkan dengan usaha budidaya
perikanan.

Hal

tersebut

diperburuk

dengan

hasil-hasil

penelitian

yang

menyimpulkan bahwa mangrove secara alami tidak menguntungkan apabila
dibandingkan dengan mengkonversi untuk tujuan pengembangan budidaya
perikanan. Fakta menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah yang hutan
mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat
kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain
diakibatkan oleh besarnya biaya yang haru s ditanggung petani untuk pengendalian
hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan, Ditjen RLPS
(2002).
Sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda
dengan pengelolaan hutan secara umum. Hutan sebagai modal pembangunan
nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa
Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis
dan seimbang. Oleh karena itu hutan harus dikelola dan diurus, dilindungi dan
dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia
baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai
salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat
yang besar bagi umat manusia, olehkarena itu harus dijaga kelestariannya.
Tumpangsari/Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup
baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan
dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian
hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa
merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela
sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang
kritis, Perhutani (1993). Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling
menguntungkan antara masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai sebagai

8

petambak penggarap dan pihak kehutanan.

Sistem empang parit dan sistem

empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem mina hutan.
Dalam sistem empang parit ini, tambak yang digunakan untuk budidaya
dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan mangrove. Dengan lebar parit
yang bervariasi antara 3 meter sampai lebih dari 5 meter bahkan lebih. Besarnya
nilai ekonomi yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan
dipengaruhi langsung oleh kondisi dan komposisi tambak dalam pengelolaan
hutan.
Di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat, terdapat lima
desa yang terlibat dalam kegiatan tambak sis tem

empang parit

yaitu Desa

Mayangan, Pangarengan, Anggasari, Legon Wetan dan desa Tegalurung.
Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu dari empat kecamatan di wilayah
pesisir Kabupaten Subang yang memiliki hutan mangrove dalam kondisi yang
masih baik. Usaha konservasi merupakan langkah penyelamatan hutan mangrove
yang memiliki arti sangat besar khususnya bagi masyarakat pesisir dan
lingkungan

pada

umumnya.

Pemanfaatan

hutan

mangrove

dengan

memperhatikan faktor keseimbangan antara manfaat ekologi dan manfaat
ekonomi sangat penting dilakukan.

9

Hutan Mangrove
Eksplorasi Total

Konservasi Total

Jumlah
dan luas
tambak
sedikit

Ekosistem
pesisir
terjaga
lestari

Produksi
tangkapan
ikan
tinggi

Jumlah
dan luas
tambak
naik

Ekosistem
pesisir
terancam
rusak

Produksi
tangkapan
ikan
rendah

Konservasi Moderat
Pemanfaatan Terkendali
Mina Hutan (Sylvofisheries)

Usaha Tambak Sistem
Empang Parit
Berbagai Pola

ANALISIS USAHATANI
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mendapatkan nilai manfaat ekonomi terbaik dari usaha tani pengelolaan
hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit
berbagai pola di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang.
2. Untuk mencari hubungan keberadaan hutan mangrove terhadap pendapatan
petani tambak dari pemanfaatan hutan mangrove sebagai tambak tumpang sari
dengan sitem empang parit di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang.

10

Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi kepada

pengelo la dan pembina program tambak tumpangsari khususnya pengembangan
sistem empang parit yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang yang
membina petani tambak di areal tanah milik petani, Dinas Perkebunan dan
Kehutanan serta Perum Perhutani yang membina tambak di areal tanah Perum
Perhutani.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengumpulkan permasalahan
petani sekitar pengelolaan tambak yang akhir-akhir ini mengalami kesulitan
produksi serta dapat memberikan gambaran kepada petani tambak tentang
pengelolaan usaha tambak yang berwawasan lingkungan.
Dengan hasil yang diperoleh akan dapat mempengaruhi pola pikir petani pada
umumnya bahwa tambak yang luas akan mendapatkan nilai ekonomi yang tinggi
bagi mereka.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di
sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung.

Formasi mangrove

merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air
laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt)
dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi
makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan
rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan
keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut (FAO 1994).
Bengen (2000) menyatakan bahwa karakteristik hutan mangrove dapat
dilihat dari berbagai aspek seperti floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah
hujan, geomorphologi, hidrologi dan drainase. Secara umum, karakteristik habitat
hutan mangrove digambarkan sebagai berikut: Umumnya tumbuh pada daerah
intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya
tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang
pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi
hutan mangrove. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. Terlindung
dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2 22 permil) hingga asin (38 permil).
Hutan mangrove secara alami membentuk zonasi yang merupakan tipe
khas dari daerah tempat hutan tersebut berada. Zonasi hutan mangrove ini sangat
ditentukan oleh bentuk perakaran yang khas. Pada tiap zonasi ini didominasi oleh
jenis tumbuhan mangrove tertentu Bengen, (2000). Selain pembentukan zonasi,
sistem perakaran pada tumbuhan mangrove merupakan alat untuk melakukan
adaptasi dengan lingkungan.

Dengan sitem perakaranya mangrove dapat

menyesuaikan terhadap kadar garam dan kadar oksigen tempat tumbuhnya.
Dengan demikian secara alami formasi hutan mangrove memiliki ciri yang khas,
pada zona tertentu dalam formasi tersebut akan didominasi oleh jenis tumbuhan
tertentu seperti yang di gambarkan oleh Bengen (2000) sebagai berikut:

12

Gambar 2 Formasi hutan mangrove secara alami (Bengen, 2000).
Ekosistem hutan mangrove merupakan tipe sistem fragile yang sangat
peka terhadap perubahan lingkungan, padahal ekosistem tersebut bersifat open
akses sehingga meningkatnya eksploitasi sumberdaya mangrove oleh manusia
akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Sementara itu, ekosistem hutan
mangrove merupakan habitat bagi berbagai macam satwa liar antara lain reptil
dan ikan -ikan yang penting secara ekonomis dan bialogis seperti kakap, bandeng,
belanak dan udang. Lebih dari itu, ekosistem hutan mangrove sangat mendukung
perikanan artisanal. Meskipun merupakan usaha perikanan skala kecil dan
tradisional ternyata memiliki makna ekonomi yang cukup penting.
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
yang tertinggi di dunia, tercatat ada 200 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5
jenis palem, 19 jenis liana , 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. (Bengen 2000).
Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah
Bakau (Rhizophora. spp .), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.),
Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tenger (Ceriops spp) dan,
Buta-buta (Exoecaria spp.) (Nontji 1987).
Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan
berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia.

Mangrove sangat penting

artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia.
Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung

13

darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan
ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Hutan mangrove
memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat
manusia.
Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah berpijah
(spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan
dan udang, berbagai jenis kerang dan spesies lainnya.

Selain itu, serasah

mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan
menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan
produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih jauh, hutan mangrove
juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman
hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi
sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan kanopi yang
rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari
gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya
dari laut lainnya (Dahuri 2002).
Mangrove dapat menyediakan makanan dan tempat berkembang biak
berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove menyediakan plasma nutfah
yang cukup tinggi hingga 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis
fauna laut, dan berbagai jenis fauna darat. Selain itu mangrove dapat mengontrol
penyakit malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO2,
dan penghasil O 2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain (Kusmana 2002)
Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua
kelompok: (1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati
bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata dan burung.
Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan
mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan
air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan
makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut.

(2) Kelompok fauna

14

perairan/aquatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu:

yang hidup di kolam air,

terutama berbagai jenis ikan dan udang ; yang menempati substrat baik keras
(akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting,
kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.
Ekosistem mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami dari
bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi,
Jawa Timur, menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi
reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang
sebesar (E) = 19.635,26 joule. Dari segi ekonomi, di sekitar lokasi hutan
mangrove bisa digunakan untuk tambak udang dan budidaya air payau. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 1.211.309 hektare lahan yang bisa dijadikan
sebagai lahan tambak. Industri perikanan tambak udang merupakan salah satu
industri yang menggiurkan sebelum terjadi krisis moneter. Tetapi, kemudian
setelah terjadi krisis ekonomi, pembukaan hutan mangrove semakin tidak
terkendali guna mempertahankan pendapatan mereka (Pratikto 2002)
Fakta menunjukkan bahwa pada beberapa wilayah

yang hutan

mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat
kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain
diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk pengendalian
hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan (Ditjen RLPS
2002). Berbagai jenis manfaat dari hutan mangrove tersebut akan bermuara pada
nilai ekonomi yang berpengaruh langsung pada kehidupan masyarakat pesisir.
Kondisi Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah ekosistem yang kompleks dan labil, karena
merupakan pertemuan antara ekosistem lautan dan ekosistem daratan. Habitat
mangrove berperan penting sebagai tempat berpijahnya berbagai jenis ikan, udang
dan biota laut lain, serta merupakan habitat berbagai jenis burung, mamalia, dan
reptil. Dengan sistem perakarannya memungkinkan berbagai jenis ikan dan biota
laut hidup dan tinggal di dalamnya.

15

Gambar 3

Sistem perakaran mangrove yang memungkinkan untuk rumah yang
baik bagi biota laut (a) bentuk akar tongkat, (b) bentuk akar cakar
ayam (Bengen 2000).

Di Indonesia, nilai pemanfaatan hutan mangrove masih bernilai rendah
karena masih sebatas eksploitatif. Selain itu, minimnya perhatian terhadap
pelestarian kawasan hutan mangrove dari berbagai pihak menjadikan pembukaan
lahan hutan semakin menjadi-jadi dalam skala besar dan waktu yang cepat.
Sebagai contoh kerusakan kawasan hutan mangrove di sekitar delta Mahakam,
Kalimantan Timur. Kawasan hutan yang didominasi pohon nipah itu terjadi
pembukaan lahan tambak udang sekitar 15.000 hektar pada tahun 1997. Namun,
dalam tujuh tahun terakhir, hutan mangrove yang dibuka sudah sekitar 74.000
hingga 80.000 hektar, dan sisanya pun rusak cukup parah (Santoso 2002 ). Di
wilayah Cilacap, Jawa Tengah, terjadi penyusutan hutan mangrove sejak tahun
1998. Sejumlah warga di beberapa desa yang berada di sekitar Teluk Segara
Anakan mengalami penurunan perolehan ikan. Mereka akhirnya berubah profesi
menjadi perajin gula kelapa. Dalam proses pembuatan gula kelapa itu dibutuhkan
kayu-kayu untuk memasak nira kelapa.

Kayu bakar yang digunakan untuk

mengolah gula kelapa tersebut dimbil dari hutan mangrove terdekat, sehingga
terjadi penyusutan 0,872-1,079 meter kubik per hari (Pratikto 2002).
Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai,
mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya
alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis
dan rusak di seluruh daerah tropis. Permasalahan utama tentang pengaruh atau
tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk

16

mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan,
kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian.

Selain itu juga,

meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi
berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi
pengrusakan mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya
menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove
di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan
ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di
dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera,
Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan
dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun
1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan
penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove
yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan
oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya
(Dahuri 2002).
Upaya Konservasi Hutan Mangrove
Mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman
kehidupan. Pada suatu negara dimana tekanan penduduk dan ekonomi terhadap
zona pantai cukup tinggi, seperti halnya Indonesia, hutan mangrove dikenal
sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber ekonomi nasional yang
sangat berharga. Untuk itulah langkah dan upaya konservasi harus segera
dilakukan untuk upaya pelestarian hutan mangro

Dokumen yang terkait

Studi Produktivitas dan Laju Dekomposisi Serasah di Tambak Tumpangsari Pola Empang Parit dengan Berbagai Komposisi Jenis Mangrove (Studi Kasus diBlanakan,RPH TegalTangkil, BKPH Ciasem Pamanukan , KPH Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat)

1 10 81

Studi Produktivitas dan Laju Dekomposisi Serasah di Tambak Tumpangsari Pola Empang Parit dengan Berbagai Komposisi Jenis Mangrove (Studi Kasus diBlanakan,RPH TegalTangkil, BKPH Ciasem Pamanukan , KPH Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat)

0 6 81

Komposisi Jenis Hayati di Ekosistem Tambak Tumpangsari Pola Empang Parit: Studi Kasus di RPH Tegal Tangkil, BKPH Ciasem, KPH Purwakarta, Jawa Barat

0 15 22

Analisis kelayakan finansial wortel secara monokultur dan tumpangsari (Studi kasus di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

6 26 90

Valuasi ekonomi pemanfaatan hutan mangrove di kawasan blanakan kabupaten subang, jawa barat

1 19 98

Pengembangan Kelembagaan Partisipatif untuk Melestarikan Ekosistem Hutan Mangrove (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat)

1 7 230

Kajian Finansial Usahatani Tambak Tumpangsari Sistem Empang Parit di Hutan Mangrove:Studi Kasus di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

0 10 328

Tingkat Pendapatan Masyarakat Dalam Pengelolaan Tumpangsari Empang Parit di Hutan Mangrove (Kasus di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang

0 7 90

Analisis Finansial Pengushaan Tambak Tumpang Sari Sistem Empang Parit di Kawasan Htan Mangrove (Kasus di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat

0 6 98

Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit

0 12 238