Mengembalikan Lidah Lokal.

.cUN";;AD"'~~)

o Selasa
4

5
20

() Mar

OCNON UNPAD )

~ilnlll Jabal'
6

.

21
8Apr

o KJmis o Jumat o Sabtu o


Rabu
7

8

22

9

23

(lMci

(\)1111

10
24

12


11
25

(JJIII

26
('

Ags

13
27

nSep

C
Minggu
14


28

15
29

nOkt

30

nNov

Mengenilialil~an

Lidah Lol~al
-

SAYA tergelitik membaca
artikel yang ditulis Saudara
Ariady Fallah berjudul "Selayaknya Indonesia Juga
Swasembada

Gandum"
yang di rubrik Orasi Tribun
Jabar, Rabu (25/3) lalu.
Sebenarnya saya menangkap kekhawatiran Ariady
terhadap rentannya Indonesia terhadap krisis pangan. Tapi saya tak bisa
bersepakat terhadap sarannya untuk memberdayakan gandum sebagai solusi
yang didasarkannya pada
kecenderungan
konsumsi
masyarakat.Indonesia
terhadap pangan olahan dari
gandum (terigu).
Mengusulkan
swasembada gandum dengan berdasar pad a pola konsumsi
masyarakat terhadap makanan bukan makanan pokok (makanan instao dan
camilan) menurut saya sangat tidak masuk aka!.
Apalagi Ariady juga menekankan bahwa gandum
bukanlah tumbuhan endemik Indonesia, tetapi berasal dari kawasan subtropis.
Masalah ketahanan pangan dimulai ketika masyarakat begitu tergantung
pada beras. Pemeo usang

"Belum makan bila belum
makan nasi". Pameo itu
telah menjadi mitos yang
mengisi alam bawah sadar
manusia Indonesia. Mitos
ini dikuatkan dengan kebijakan pemerintah
yang
mengukur" keberhasilan
pembangunan
terutama
bidang pertanian pada swasembada beras. Dan wacana
hingga
-- ini- terbawa- -'--

---

.
orasl
BAIHAQI
Mahasiswa Fakultas IImuKomunikasi

Universitas Padjadjaran Bandung

-

sekarang, terselip di sela
timbunan janji para calon
anggota legislatif.
Rezim Orba sangat berhasrat dengan swasembada
beras, diawali pada era
1960-an dengan revolusi
hijaunya. Petani yang telah
terbiasa dengan padi lokal
dan pengolahan yang arif,
dipaksa untuk menggunakan teknologi modern dalam mengelola lahannya. "

naman monokultur malah
membawa pada degradasi
ekosistem alami, serta ketergantungan petani pad a
zat-zat kimia dalam mengelola lahannya.
Misalnya penggunaan zat

kimia pengendali
hama
(pestisida) yang menyebabkan predator
alami
mengalami "krisis pangan"
sehingga jumlahnya menurun drastis. Maka bila

Dari sinilah petani mulai
mengenal hibrida, pestisida,
pupuk kimia, bibit unggul
dan semacamnya.
Pad a awalnya mungkin
memberikan
hasil yang
besar, terlihat dengan tercapainya swasembada beras tahun 1984, namun akibat jangka panjangnya terlalu menyeramkan.
Teknologi konvensional (modem)
'-~ dan sistem pena-

pasokan pestisida berkurang atau harganya menjadi tak terjangkau, ledakan
jumlah hama pun tak bisa

terhindarkan. Jadi dengan
beras yang tumbuh bagus
tanpa banyak teknologi
konvensional saja Indonesia telah begitu bermasalah,
apalagi dengan gandum
yang secara alami tidak
dapat tumbuh baik di negara ini.

._Kliping

--

Humos

Unpod

2009

ยท


Menjadi Anak
Singkong
Penawaran solusi swa:
sembada gandum berdasar
padapandanganyangbarat
sentris; menganggap segala
yang berasal dari negara
maju sebagai suatu kebaikan dan inovatif, dan dengan
sendirinya harus dicarikan
solusi untuk diadaptasi.
Ini masalah mental yang,
meminjam istilah Edward
Said, disusupi oleh budaya
imperium, yang akhirnya
melestarikan stereotip tentang nilai sosial makanan;
singkong yang dianggap
inferior, sedangkan gandum dan beras berada di
sisi lainnya.
Anggapan ini telah begitu
mengakar, muJai dati Ie:

dekan sehari-hari hingga
produk budaya. Saya teringat sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Arie Wibowo, seorang penyanyi era
90-an. Lagu yang memosisikan " Anak Singkong"
.dan seorang lawan jenis
yang" Anak Keju" sebagai
dua kutub status sosial
yang tak bisa bersatu.
Masyarakat
Cirendeu,
Cimahi Selatan, bisa dijadikan contoh untuk mematahkan stereotip tersebut.
Mereka membuktikan kemandirian pangan bisa berasal dari tradisi lokal. Singkong telah menjadi bahan
makanan pokok ketika terjadi krisis beras sekitar
tahun 1918. Sejak saat itu
mereka meninggalkan beras. Singkong tak hanya
dijadikan bahan makanan
pokok, tetapi juga dikrea-

-=

'.


~

sikan menjadi aneka kuliner: kerupuk, awug, nugget hingga dendeng.
Dengan kemandirian pangan berbasis singkong,
Cirendeu tak pernah khawatir kekurangan bahan
makanan. Lebih mengagumkan lagi adalah kenyataan bahwa generasi muda
di sana tak merasa malu
atau minder karena menja.di
"Anak Singkong".
Masih banyak contoh
keanekaragaman
bahan
pangan di Indonesia. Dari
jagung di Gorontalo hingga
sagll' di Siberut. Kearifan
lokal yang harusnya didukung, dengan kebijakan
diversifikasi
pangan dengan tetap mengutamakan
selera asal.
Sekarang tinggal memanfaatkan apa yang telah
disediakan
oleh alam,
menggunakan
teknologi
yang memperhatikan keseimbangan ekologis serta
merangsang
kreativitas
masyarakat
untuk mengembangkan
bahan pangan tersebut menjadi makanan yang memanjakan
lidah lokal.
Penggunaan
teknologi
pun harusnya lebih diarahkan pada pengembangan
produksi dan pengemasan
makanan berbahan lokal
untuk meningkatkan daya
saing makanan tersebut di
negaranya sendiri. Serta
yang paling penting adalah
mengubah pola pikir, bila
terlanjur'meng~ggap
singkong untuk 0rang miskin
dan gandum untuk orang
kaya.
(*) ~...-