Seminar kriminalisasi Kebijakan Publik.

Pikiran Rakyat
o Selasa o Rabu
123
17
OJan

18

19
OPeb

456
20

21

o Mar

.Apr

7

22

o Me;

8
23

.

0

Kamis
9

10
24

OJun

11

25

OJul

Jumat
26

0 Ags

Sepe_rti M~~apw~

Jalan

Labirin.

Oleh DEA TANTYOISKANDAR

B

ERBICARA tentang pendidikan di Indonesia tak

ubahnya seperti menapak
jalan labirin yang berkelok-kelok. Kita seperti dipersulit untuk menemukan solusi atas polemik pendidikan di negeri ini. Jenjang pendidikan yang masih menganut model
segi tiga piramida--semakin tinggi
jenjang semakin sedikit jumlah yang
mengenyam--menjadi gambaranjelas betapa tak mudah mengais pendidikan di negeri ini. Terpuruknya
kondisi pendidikan di Indonesia dan
rendahnya level SDM bangsa, tak
menggugah pemerintah untuk
meningkatkan akses dan kualitas
pendidikan secara efektif di Indonesia. Alih-alih membenahi pendidikan, pemerintah malah
menawarkan konsep getir: UndangUndang Badan Hukum Pendidikan
(00 BHP) yang dibungkus atas nama amanah 00 Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
Beruntung, ketua sidang
Mahkamah Konstitusi mengetok
palu mendeklarasikan buah manis
peIjuangan mahasiswa dan
masyarakat menolak 00 BHP. Tercatat, 31 Maret 2010, 00 NO.9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan dibatalkan oleh

Mahkamah Konstitusi. Semua bersorak. PeIjuangan selesai? Belum. Timbullah pertanyaan lanjutan memulai
babak barn: quo vadis pendidikan
Indonesia pascakeputusan MK
membatalkan 00 BHP?
Demi menjawab pertanyaan itu,
kita perlu mencermati beberapa hal.
Pertama, pasca dibatalkannya 00
BHP, insitusi pendidikan kembali
dalam pengelolaan penuh pemerintah. Artinya, pemerintah harus
mampu mengejewantahkan kembali
amanah UUD 1945 yang meletakkan
"rnencerdaskan kehidupan bangsa"
sebagai salah satu misi penyelenggaraan pernerintahan negara. Pemahaman ini setidaknya rnemayungi
dua bentuk tanggungjawab pemerintah baik secara konstitusional
maupun historis.
Secara konstitusional, pernerintah
harus rnemperkuat komitmen terkait
amanah ooD 1945, yang di dalamnya rneliputi hak warga negara untuk
rnendapat pernbiayaan pendidikan
dari pernerintah, pemenuhan kebu.

""

tuhan pendidikan, serta peningkatan
kesejahteraan melalui pemajuan
keilmuan dan teknologi (Pasal31
UUD 1945).
Adapun secara historis jelas pemerintah bertanggungjawab untuk
mempersiapkan generasi berkualitas
demi bangsa di masa depan.
Mengutip Prof. Dr. Soedijarto, MA
dalam putusan perkara MK terkait
00 BHP, bahwa makna "mencerdaskan kehidupan bangsa" merupakan tanggungjawab pemerintah
dalam melaksanakan transformasi
budaya yang dalam bahasa Bung
Kamo disebut "A summing up of
many revolution in one generation".
Revolusi dalam arti berpikir, berpolitik, berekonomi, dan berilmu pengetahuan serta teknologi. Untuk itulah
parafoundingfather Republik ini
menetapkan hak dan kewajiban pendidikan. Hak, terkait kepentingan
warga negara untuk memperoleh

pendidikan. Sementara itu kewajiban, terkait peran pemerintah untuk menyelenggarakan sebuah sistern pengajaran nasional.
Kedua, pascapembatalan 00 BHP,
pemerintah masih menyisakan model pendidikan yang otonom berbentuk BHMN (Badan Hukum Milik
Negara). BHMN lahir sekitar sembiIan tahun sebelum 00 BHP disahkan. Artinya BHMN tidak berlangsung dengan bersandar pada 00
BHP, tetapi sebaliknya BHMN
merupakan laboratorium bagi 00
BHP. Ketika MK memutuskan membatalkan 00 BHP, hal tersebut tidak
otomatis menghapus model status
BHMN. Pertanyaan barn yang kemudian muncul adalah "Bagaimana
kelanjutan PT-BHMN?" Apakah status BHMN masih layak dipertahankan di saat MK telah mencabut
seluruh 00 BHP, bukan pasal-pasal
tertentu saja.
Sebelumnya menarik untuk dicermati, bahwa MK tidak rnencabut
Pasal53 ayat (1) 00 Sisdiknas yang
menjadi payung hukurn dari 00
BHP. MK hanya mencabut penjelasan dari pasal tersebut sehingga
memberikan definisi barn dari
''badan hukum pendidikan". Penjelasan PasalS3 (1) 00 Sisdiknas
yang dicabut itu berbunyi, "Badan
hukum pendidikan dimaksudkan

sebagai
landasan hukum ~bagi ,~

Kliping Humas Unpad 2010

PUSPA PERVI!ITASARIjANTARA

KETUA Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. (kanan) saat menerima mantan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo (kiri) dan sejumlah rektorperguruan tinggi negeridi GedungMahkamah Konstitusi(MK),Jakarta, Selasa (6/4). Pertemuan tersebut untuk meminta kejelasan putusan tentang Undang-Undang Badan Usaha Pendidikan
(BHP)yang dibatalkan olehMK pada 31Maret lalu.*
penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan,antaralain,berbentuk
badan hukum milik negara
(BHMN)". MK memberi catatan untuk pasalS3 (1) itu, bahwa badan
hukum pendidikan adalah suatu
"penyelenggaraan", bukan bentuk
"badan hukum tertentu". Dengan
demikian, pasalS3 (1) harus diartikan bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu
badan hukum, yang bentuknya bisa
berbeda-beda dan tidak boleh ada
penyeragaman bentuk (sedangkan

UU BHP menghendaki penyeragaman bentuk tata kelola).
Bukan berita barn bahwa hadirnya
konsep BHMN telah banyak
mencederai hak rakyat untuk
mengenyam pendidikan. Telah menjadi rahasia umum, bahwa perguruan tinggi berstatus BHMN berlomba
membuat kebijakan "kreatif' seperti
jalur khusus demi memperbesar
pundi-pundi dana. Jalur khusus

--

---

berembel-embel uang sumbangan
kemudian jadi tren perguruan tinggi
negeri dalam menerima mahasiswa
barunya. Tidak tanggung-tanggung
dana yang diminta pada jalur khusus
tersebut mencapai hingga ratusanjuta rupiah. Akibatnya, PT-BHMN semakin tak ramah dengan
masyarakat.

Proses dialektika kemudian berkisar pada siapa yang menanggung
kesalahan terbesar dalam pendidikan. Pemerintah kah? pihak PTBHMN kah? atau elemen
masyarakat yang tak mampu
menangkap gejala barn pendidikan
kontemporer. Dengan demikian, terbentuklah lingkaran setan (vicious
circle) tanggung jawab pendidikan.
Bagi mereka yang pro dengan kebijakan BHMN mungkin melihat hal
ini dengan logika yang berbeda,
yakni bahwa demi meningkatkan
kualitas pendidikan--khususnya perguruan tinggi--di tengah arus

globalisasi, tentu membutulikan
dana yang tidak sedikit. Lebjh getir
lagi menganggap bahwa perguruan
tinggi hanya diperuntukkan ~agi
orang-orang yang memenuhi "persyaratan yang cukup". Dengah
demikian, pendidikan jenjang perguruan tinggi sewajarnya bersifcit elitis
dan karena itu selalu membutuhkan
biaya mahal. Bahkan tak kur~g, hal
ini dikaitkan dengan konteks sejarah, bahwa di zaman Belanda, yang

bisa masuk fakultas hanya anakanak pandai putra bangsawan atau
pamong praja.
Paradigma ini yang akhirnya
menyebabkan kita terus tergenang
dalam rendahnya kualitas SDj.\1:
bangsa. Meminjam istilah Wait
Whitman Rostow dalam teoI!i,pembangunan, tidak salah jika negaranegara maju telah sampai paqa
tahap pertumbuhan lepas landas sebagai buah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan

negeri ini masih pada tahap tertinggal di landasan.
Tidak mudah memang menerka
jalan pendidikan di negeri ini. Akan
tetapi bagaimanapun, pendidikan
merupakan barang publik yang manfaatnya harns dirasakan oleh seluruh
warga negara. Komersialisasi pendidikan tentu tidak sejalan dengan
falsafah negeri ini sehingga menjadi
perlu diperhatikan ; Pertama, sebagai
komitmennya dalam UUD 1945, pemerintah bertanggungjawab penuh
membiayaipendidikan. Kegagalan
membiayai tidak lain merupakan

kegagalan fungsi pemerintah dalam
"mencerdaskan kehidupan bangsa".
Kedua, konsep otonomi dalam
pendidikan, di mana pergururan
tinggi benar-benar terlepas dari negara secara tidak langsung
mengaminkan integrasi inStitusi pendidikan ke dalam mekanisme pasar.
Tak pelak hal ini mengundang logika
hukum kapitalisme : yang kuat semakin kuat, yang lemah semakin
lemah dan tersingkir. Konsekuensinya "orang miskin tak boleh
pintar".
Komitmen "pendidikan untuk semua" tidak boleh dicederai dengan
berbagai model komersialisasi pendidikan. Setiap kita berhak menerima
pendidikan di negeri ini. Tidak ada
yang boleh menghalangi ini, tidakjuga BHMN. Selama BHMN menghalangi komitmen itu, selama itu pula
BHMN harns digugat. Kalaulah perguruan tinggi masih dihadapkan pada pencarian dana operasionalisasi
secara mandiri, proses itu harnslah
dilakukan secara elegan tanpa harns
menjerat leher masyarakat.
Akhirnya, potret pendidikan kita
harnslah menyeimbangkan sisi das
sollen dan das sein-nya. Teori harnslab seiring sejalan dengan kenyataan.
Beberapa pertanyaan diatas tentu
bukan untuk dijawab dengan nyaring
dalam tataran wacana semata,
melainkan untuk diimplementasikan
dalam aksi nyata. Perguruan tinggi
pasca-pembatalan UU BHP berarti
membukajalan pada perbaikan dan
koreksi yang tiada henti. Agar di kemudian hari pendidikan Indonesia
mampu keluar dari lika-liku jalan
labirin. ***

I

Penulis, Ketua UmumBadan
PerwakilanMahasiswaFE Unpad,
KoordinatorRumah BelajarPPSDMS