REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM “THE LADY”.

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM “THE
LADY”
(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi NASIONALISME Dalam Film “The
Lady”)

SKRIPSI

oleh :
AFFAN AHADIAN
0743010236

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
2012

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM “THE
LADY”
(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi NASIONALISME Dalam Film
“The Lady”
Disusun Oleh :

AFFAN AHADIAN
0743010236

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,
PEMBIMBING

Dra. Dyva Claretta, Msi
NPT.366019400251

Mengetahui,

DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi
NIP. 1955071818983022010

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkat, Nikmat, serta
Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM

“THE LADY” (Studi

Analisis Semiotik Tentang Representasi nasionalisme Dalam Film “THE LADY”)
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dyva Claretta, M.Si sebagai
dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan Skripsi

ini dan pada kesempatan ini juga penulis juga akan menyampaikan ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak – pihak yan telah memberikan
bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini baik moral maupun tenaga
antara lain :
1. Ibu Dra.Hj.Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Seluruh dosen FISIP khusunya Dosen Ilmu Komunikasi, yang telah bersedia
untuk mengajarkan semua hal – hal yang berharga dan tak ternilai.
4. Untuk ibu dan keluargaku yang telah memberiku semuanya, cinta,
perlindungan, waktu dan Materi dalam pengerjaan skripsi ini
5. Untuk “winduth”ku terimakasih untuk support dan segala yang kau berikan.
6. For Rea-Reo, Batok’s, Pleki, Brewik, Mama, Diaz, Bangau, Along, Gopel,
Pencenk, Cupank, Vermin, Hendry you’re the best guys.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

iii


Penulis sepenuhnya menyadari, banyak sekali terdapat kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini, untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun
sangat diharapkan oleh penulis.
Skripsi ini adalah sebuah wujud terima kasih dan persembahan penulis
untuk seluruh pembaca, sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan penulis
terhadap ilmu pengetahuan, juga dengan harapan besar semoga skripsi ini dapat
memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua yang membutuhkan. Terima
kasih.

Surabaya, 5 Desember 2012

Penulis

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

iv

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................

i

KATA PENGANTAR .............................................................................

iii

DAFTAR ISI ...........................................................................................

v

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................

vii

ABSTRAKSI ............................................................................................

viii


BAB I

PENDAHULUAN .....................................................................

1

1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................

1

1.2. Perumusan Masalah ............................................................

15

1.3. Tujuan Penelitian ................................................................

16

1.4. Manfaat Penelitian ..............................................................


16

BAB II KAJ IAN PUSTAKA .................................................................

17

4.1. Landasan Teori ....................................................................

17

2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa ...............................

18

2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial ................................

20

2.1.3. Representasi ..............................................................


25

2.1.4. Konsep Nasionalisme Myanmar ................................

28

2.1.5. Buddhisme di Myanmar .............................................

35

2.1.6. Junta Militer ...............................................................

38

2.1.6.1. Junta Militer di Myanmar ..............................

40

2.1.7.Bentuk Nasionalisme Modern ......................................


43

2.1.8. Respon Psikologi Warna ............................................

45

2.1.9. Semiotika ..................................................................

46

2.1.10. Teori Semiotika ......................................................

49

2.1.11. Definisi The Code Of Television .............................

50

2.1.12. Kerangka Berfikir ....................................................


53

v

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB III METODE PENELITIAN .........................................................

54

3.1. Metode Penelitian ...............................................................

54

3.2. Kerangka Konseptual ...........................................................

55

3.2.1. Corpus Penelitian .......................................................

55

3.3. Unit Analisis ........................................................................

74

3.4. Jenis Sumber Data ...............................................................

75

3.4.1. Sumber Data Primer ....................................................

75

3.4.2. Sumber Data Sekunder ................................................

75

3.5. Teknik Pengumpulan Data ...................................................

75

3.6. Teknik Analisi Data .............................................................

76

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................

78

4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data .......................

78

4.1.1. Gambaran Umum Film The Lady ...............................

78

4.1.2. Penyajian Data............................................................

81

4.2. Analisis Data ........................................................................

82

4.3. Analisis Keseluruhan ............................................................. 113

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 114
5.1. Kesimpulan ........................................................................... 114
5.2 Saran ..................................................................................... 115

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 117
LAMPIRAN

vi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

ABSTRAKSI

AFFAN AHADIAN. REPRESENTASI NASIONALISME DALAM FILM
“THE LADY” (Studi Semiotik Terhadap Film “The Lady”)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Nasionalisme
direpresentasikan dalam film The Lady melalui tokoh utama Aung Ang Suu Kyi.
Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial,
Representasi, Nasionalisme Myanmar, Buddhisme di Myanmar, Nasionalisme
Modern, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Definisi the Code of Television.
Film ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan John Fiske (grammar and tv
culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi. Data dibagi
menjadi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada
level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting
dan dialog. Pada level representasi dianalisis penandaan pada level kerja kamera,
pencahayaan dan penataan suara. Pada ideologi dianalisis penandaan terhadap
ideologi yang terkandung dalam film. Teori-teori yang digunakan antara lain
Teori

Konstruksi

Realitas

Sosial, Representasi,

Nasionalisme

Myanmar,

Buddhisme di Myanmar, Nasionalisme Modern, Respon Psikologi Warna,
Semiotika, Definisi the Code of Television.
Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film
yang diteliti ternyata untuk mencapai dan menciptakan Negara yang berdemokrasi
diperlukan usaha-usaha keras dengan menjunjung tinngi sifat Nasionalisme pada

viii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

suatu negara. Karena tidak mudah menciptakan system pemerintahan demokrasi
dalam suatu Negara yang sedang bergejolak.

Kata kunci :
Representasi, Nasionalisme, Film, The Lady

ix

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Film adalah salah satu bentuk karya seni yang menjadi
fenomena dalam kehidupan modern. Sebagai objek seni abad ini,
film dalam proses berkembang menjadi salah satu bagian dari
kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang cukup
signifikan pada manusia sebagai penonton. Film berperan sebagai
pembentuk budaya massa” (McQuail, 1987:13). “Selain itu
pengaruh film juga sangat kuat dan besar terhadap jiwa manusia
karena penonton tidak hanya terpengaruh ketika ia menonton film
tetapi terus sampai waktu yang cukup lama” (Effendy, 2002:208).
Jadi sebuah film merupakan bagian yang cukup penting dalam
media massa untuk menyampaikan suatu pesan atau setidaknya
memberikan pengaruh kepada khalayaknya untuk bertindak
sesuatu.

Film adalah dokumen kehidupan social sebuah komunitas.
Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukung itu. Baik
realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti
sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2

ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan
keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Dalam
perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan
“Citra bergerak” (moving image) namun huga telah diikuti oleh
muatan-muatan kepentingan tertentu seperti olitik, kapitalisme, hak
asasi manusia atau gaya hidup

(Victor C.Mambor:http://situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)

Hal ini sesuai yang dikatakan sumarno (1998:85) yang
mengatakan bahwa film adalah sebuah seni mutakhir dari abad 20
yang

dapat

menghibur,

mendidik,

melibatkan

perasaan,

merangsang pemikiran, dan dapat memberikan dorongan terhadap
penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton
ini lebih jauh misalnya sebuah film dapat menjadi media
menghibur masyarakat dalam bentuk komedi, atau bisa juga
mendidik melalui film dokumenter, dan lain sebagainya.
Dunia film, pada dasarnya juga bentuk pemberian informasi
kepada masyarakat. Film juga memberi kebebasan dalam
menyampaikan informasi atau pesan-pesan dari seorang pembuat
sineas kepada para penontonnya. Kebebasan dalam hal ini adalah
film seringkali secara lugas dan jujur menyampaikan sesuatu,
dipihak lain film juga terkadang malah disertai tendensi tertentu,
misalnya ingin mendeskripsikan suatu tema sentral.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3

Berdasarkan maksud ingin memberikan informasi, secara
umum film dikelompokkan menjadi dua pembagian besar yaitu
film cerita dan non cerita. Film cerita adalah film yang menyajikan
kepada publik sebuah cerita yang mengandung unsur-unsur yang
menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang
dapat disajikan kepada publik dalam bentuk gambar yang dapat
dilihat dengan suara yang dapat didengar, dan merupakan suatu
hidangan yang masak untuk dinikmati, sungguh merupakan suatu
medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur tadi, film itu
sendiri mempunyai banyak unsur-unsur yang terkonstruksi menjadi
kesatuan yang menarik. Unsur-unsur seks, kejahatan/kriminalitas,
roman, kekerasan, politik, rasisme dan sejarah adalah unsur-unsur
cerita yang dapat menyentuh rasa manusia, yang dapat membuat
publik terpesona, yang dapat membuat publik tertawa terbahakbahak, menangis terisak-isak, dapat membuat publik dongkol,
marah, terharu, iba, bangga, tegang dan lain-lain. Maka diambillah
dari kisah-kisah dari sejarah, cerita nyata dari kehidupan seharihari, atau juga khayalan untuk kemudian diolah menjadi film
(Effendy,2003:207)
Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan
suatu pesan kepada ara penonton. Jika dikaitkan dengan dengan
kajian komunikasi, jangan sampai inti pesan tidak tersampaikan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

4

tapi sebaliknya efek negative dari film tersebut yang justru secara
mudah diambil dari penontonnya.
(http//:www.cinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/04/bud02.
html)
Film mempunyai dampak tertentu bagi penontonnya, dalam
banyak penelitian tentang dampak

film terhadap masyarakat,

hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier.
Artinya film, baik yang ditayangkan di televisi atau bioskop, selalu
mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan
pesan (message) dibaliknya, tanpa berlaku sebaliknya. Selain itu,
kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial,
lantas

membuat

para

ahli

film

memiliki

potensi

untuk

mempengaruhi khalayaknya.
Hal ini dapat terjadi Karena media visual seperti film dan
televisi mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menirukan
dunia nyata melalui duplikasi realitasnya, sehingga lebih mudah
memahami

apa

yang

disampaikan

olehnya

dari

pada

menjelaskannya. Film sebagai media visual elektronik secara
drastis telah mengubah cara kita merasakan dunia, bahkan kita
sendiri. Selama kurun waktu 80 tahun terakhir, kita telah
dibombardir dengan ribuan film yang beredar sebagai informasi
massa, tanpa kita bertanya bagaimana cara mereka menyampaikan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

5

komunikasi tersebut dan apa makna dari informasi yang mereka
sampaikan.
Cristian Metz (1974 : 47) menyatakan : bahwa kita dapat
memahami film bukan karena kita mempunyai pengetahuan
tentang sistem di dalamnya, tetapi lebih kepada kita mendapatkan
pemahaman atas sistem didalamnya karena kita memahami film.
Dengan kata lain, bukan karena film adalah bahasa, sehingga ia
dapat menyampaikan sebuah cerita yang menarik, tetapi lebih tepat
dikatakan bahwa film telah menjadi bahasa karena telah mampu
menyampaikan sebuah cerita yang sangat menarik.
“we understand a film not because we have a
knowledge of its system: rather we achieve an
understanding of its system because we understand
the film put another way its not because the cinema
its language that it can tell such fine stories, but
rather it has become language because it has told
such fine stories
(Metz, 1974 : 47)
Karakter film sebagai media massa mampu membentuk
semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi
film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat dan selera publik. Singkatnya, film merangkum
pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat. (Jowett dalam
Irawanto, 2003:90)

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

6

Realitas yang disajikan dalam film merupakan realitas
sebenarnya, atau dapat juga berupa realitas imajinasi. Film
menunjukkan pada kita jejak yang ditinggalkan pada masa lampau,
cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa
yang akan datang. Fenomena perkembangan film yang begitu pesat
membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang
progresif. Bukan saja oleh negara yang memiliki industri besar,
tetapi juga oleh negara yang memiliki industri film besar, tetapi
juga oleh negara yang baru menata industri filmnya. Apa yang
telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay dan Hongkong dengan
menglobalkan sesuatu yang semula hanyalah sebuah sub-kultur di
negara asalnya, setidaknya menjadi latar belakang kesadaran
tersebut. Film juga bisa dianggap mempresentasi citra atau
identitas komunitas tertentu. Bahkan juga bisa membentuk
komunitas sendiri karena sifatnya yang universal. (Mambor,
2000:1)
Diawal tahun 90 an dunia penuh diwarnai kecemasan
tentang kekerasan yang banyak ditampilkan oleh film-film yang
diputar di televisi maupun bioskop-bioskop. Kekerasan itu mulai
dari senjata api, kemudian senjata tajam, merusak dengan sengaja,
serta berbagai ancaman lain yang serius. Sumber kecemasan
terletak pada ekses-ekses kekerasan yang dapat berpengaruh pada
penonton, terutama dalam pembentukan kepribadian dan watak

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

7

anak-anak. Seperti yang kita ketahui America dan Hollywood
memiliki dunia perfilman yang sangat maju. Hal ini terbukti mulai
dari segi teknologi perfilman yang sangat modern, ide cerita yang
sangat kaya dan memilki pengaruh yang sangat besar sehingga
menjadi tolak ukur bagi perfilman dunia dalam segala hal.
“Menurut Medved, pengarang buku Hollywood in America, filmfilm Hollywood telah lama pamer kekerasan secara berlebihan.
Film-film seperti Basic insting, Saw, American History dan total
recall, semata-mata hanya menciptakan kengerian dari kehidupan
sehari-hari” (Sumarno,1998:85).
Salah satu film yang bercerita tentang fenomena politik dan
bersifat nasionalisme baru-baru ini yaitu film yang berjudul “The
Lady” Film yang mengangkat kisah nyata dari biografi tokoh
politisi, nasionalis dan seorang ibu negarawan yang di tindas hakhak sebagai warga Negara ini disutradarai oleh Luc Besson dan
dibintangi oleh artis kawakan Michelle Yeoh sebagai Aung San
Suu Ky seorang politisi dan ibu negarawan di Burma.
Menceritakan kisah kehidupan seorang tokoh politik perempuan di
Myanmar bernama Aung San Suu Kyi, Film The Lady mencoba
mengangkat sisi lain dari putri Jenderal Myanmar, Aung San
tersebut.
Cerita dimulai pada tahun 1947. Saat Suu Kyi kecil sedang
didongeng oleh ayahnya yang akan pergi berangkat ke parlemen

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

8

untuk memperjuangkan demokrasi di negara yang awalnya
memiliki ibu kota yangon pada saat itu
Saat bersama dengan putrinya itu, Aung San dijemput untuk
pergi bertemu dengan tokoh politik dan masyarakat guna
membicarakan strategi politik Myanmar, di tengah pertemuan
tersebut, Aung San bersama tokoh-tokoh yang sedang berunding
tewas ditembak oleh tentara pemberontak yang bergerak dibawah
rezim militer yang tidak menginginkan adanya gerakan demokrasi
di Myanmar
Saat menjalani kehidupannya, tiba-tiba saja Suu Kyi
mendapat kabar dari kerabatnya di Myanmar bahwa sang ibu
tengah sakit keras. Mendengar hal ini, Suu Kyi kontan berkemas
dan segera bertolak menuju Myanmar
Setibanya disana, Suu Kyi mendapati keadaan Negara
Myanmar sedang mengalami gejolak politik. Benturan aparat
dengan warga dan para mahasiswa terjadi dimana-mana, jatuhnya
korban jiwa pun tak terelakkan. Di tengah gejolak tersebut,
masyarakat

yang

menginginkan

adanya

perubahan

dalam

pemerintahan Myanmar meminta Suu Kyi sebagai putri dari Aung
San yang sebelumnya berjuang untuk mendirikan demokrasi,
meneruskan perjuangan ayahnya. lewat restu suami dan anakanaknya, Suu Kyi coba memenuhi permintaan tersebut. Ia bersama

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

9

tokoh masyarakat dan perwakilan mahasiswa bahu-membahu
mensosialisasikan tentang demokrasi untuk mewujudkan Myanmar
sebagai Negara yang lebih baik

Jika diamati sesuai dengan pandangan yang dikemukakan
oleh Medved (Sumarno,1998), film ini termasuk salah satu dalam
kategori film yang menjungjung tinggi nilai nasionalime dan juga
sebagai seorang ibu dari anak-anaknya yang di pisahkan oleh
kepentingan negaranya.

Konsep nasional adalah paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah Negara dengan mewujudkan
satu konsep identitas bersama.
Menurut arti kata nasional adalah bersifat kebangsaan;
berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa:
cita-cita --; perusahaan --; tarian --; menasional menjadi nasional:
aspirasi masyarakat tertampung dl satu wadah hukum yang
menasionalkan membuat menjadi nasional; penasionalan dan
proses, cara, perbuatan menjadikan bersifat nasional: agar
diperjuangkan ~ buruh pd perusahaan asing; kenasionalan dan sifat
dan sebagainya yang ada pada bangsa; kebangsaan.
http://www.elbirtus.info/2012/09/definisinasional.html#ixzz29H6b
KX4U

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

10

Nasionalis adalah pecinta nusa dan bangsa sendiri atau
orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya. Sedangkan
nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan
Negara

sendiri

dan

mempertahankan,

dan

secara

bersama-sama

mengabdikan

identitas,

mencapai,
integritas,

kemakmuran dan kekuatan bangsa itu, yang disebut semangat
kebangsaan. Bangsa merupakan suatu komunitads ‘terbayang yang
para anggota masyarakat terkecil sekalipun tidak akan mengemal
sebagian besar anggota lainnya, hal terpenting tetap berdirinya
suatu

bangsa

adalah

adanya

perasaan

kebersamaan

dan

persaudaraan sebagai komunitas bangsa tersebut. Benedict
Anderson (dalam Mdjid,2004:vii0. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia(KBBI) bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya
terikat karena kesatuan bahasa dan budaya dalam arti umum dan
biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Menurut
Ernest Rean filsuf asal Perancis, bangsa adalah suatu solidaritas
besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah
berkorban banyak, dan bersedia untuk member korban lagi . ia
mengandung pengertian suatu waktu yang lampau, tapi terasa
dalam waktu yang sekarang sebagai kemyataan yang dapat
dipegang yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan tegas
untuk

melanjutkan

hidup

bersama.

(http://www.mail-

archive.com/politiktionghoa@yahoogroups.com/msg01286.html)

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

11

Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang
paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia. Dalam
seratus tahun terakhir tak ada satu ruang social di muka bumi yang
lepas dari pengaruh ideology ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah
manusia akan berbeda sama sekali.
(http://kompas .com/kompas-cetak/0411/bentara/1363295.htm)

Dalam film “The Lady” terlihat jelas bahwa film ini sangat
mengandung unsur rasa kenasionalisme pada suatu Negara karena
kisah film ini merupakan kisah nyata seorang aktivis nasional yang
memperjuangkan nasib rakyat di suatu Negara dari keterpurukan
dan penindasan dari berbagai pihak yang memiliki suatu
kepentingan politik dan kekuasaan. Film ini juga bisa dikatakan
sebuah dokumenter seseorang tokoh nasional, seorang ibu Negara,
juga ibu rumah tangga yang bernama Aang Sang Syu Kyi. Karena
banyak skali unsur – unsur nasionalisme dalam cerita film ini,
peneliti merasa yakin mengambil film ini sebagai pembahasan
tentang nasionalisme dengan sosok wanita atau seorang ibu sebagai
pelaku nasionalisme.

Banyak sekali contoh – contoh permasalahan mengenai rasa
nasionalisme di Indonesia yang telah terjadi pada masa
kemerdekaan dan yang telah terjadi pada masa modern saat ini.
Ketika negara yang bernama Indonesia akhirnya terwujud pada

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

12

tanggal 17 Agustus 1945, dengan penghuninya yang disebut bangsa
Indonesia, persoalan ternyata belum selesai. Bangsa Indonesia
masih harus berjuang dalam perang kemerdekaan antara tahun
1945-1949, tatkala penjajah menginginkan kembali jajahannya.
Nasionalisme kita saat itu betul-betul diuji di tengah gejolak politik
dan politik divide et impera Belanda. Setelah pengakuan
kedaulatan tahun 1949, nasionalisme bangsa masih terus diuji
dengan munculnya gerakan separatis di berbagai wilayah tanah air
hingga akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin, masalah
nasionalisme diambil alih oleh negara. Nasionalisme politik pun
digeser kembali ke nasionalisme politik sekaligus kultural. Dan,
berakhir pula situasi ini dengan terjadinya tragedy nasional 30
September 1965.
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf
=1&id=2257

Contoh

tersebut

membuktikan

bahwa

permasalahan

nasionalime telah terjadi pada masa kemerdekaan yakni pada tahun
1945 – 1949. Adapun permasalahan nasionalisme di Negara
Indonesia pada zaman Reformasi seperti pada tahun 1998 terjadi
Reformasi yang memporakporandakan stabilitas semu yang
dibangun Orde Baru. Masa ini pun diikuti dengan masa krisis
berkepanjangan hingga berganti empat orang presiden. Potret

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

13

nasionalisme

itu

pun

kemudian

memudar.

Banyak

yang

beranggapan bahwa nasionalisme sekarang ini semakin merosot, di
tengah isu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang semakin
menggila.
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf
=1&id=2257

Dan contoh terakhir yang terjadi pada masa modern adalah
Kasus

Ambalat,

beberapa

waktu

lalu,

secara

tiba-tiba

menyeruakkan rasa nasionalisme kita, dengan menyerukan sloganslogan "Ganyang Malaysia!". Setahun terakhir ini, muncul lagi
"nasionalisme" itu, ketika lagu "Rasa Sayangsayange" dan "Reog
Ponorogo" diklaim sebagai budaya negeri jiran itu. Semangat
"nasionalisme kultural dan politik" seakan muncul. Seluruh elemen
masyarakat bersatu menghadapi "ancaman" dari luar. Namun
anehnya, perasaan atau paham itu hanya muncul sesaat ketika
peristiwa itu terjadi. Dalam kenyataannya kini, rasa "nasionalisme
kultural dan politik" itu tidak ada dalam kehidupan keseharian kita.
Fenomena yang membelit kita berkisar seputar: Rakyat susah
mencari keadilan di negerinya sendiri, korupsi yang merajalela
mulai dari hulu sampai hilir di segala bidang, dan pemberantasannya yang tebang pilih, pelanggaran HAM yang tidak bisa
diselesaikan,

kemiskinan,

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

ketidakmerataan

ekonomi,

14

penyalahgunaan kekuasaan,

tidak

menghormati harkat

dan

martabat orang lain, suap-menyuap, dan lain-lain. Realita ini
seakan menafikan cita-cita kebangsaan yang digaungkan seabad
yang lalu. Itulah potret nasionalisme bangsa kita hari ini.
http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf
=1&id=2257
Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita
harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam
bentuk awalnya seabad yang lalu. Nasionalisme yang harus
dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk
mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap
jujur, adil, disiplin,berani melawan kesewenang-wenangan, tidak
korup, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa
lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran
total

Untuk itu peneliti menggunakan analisis semiotik sebagai
alat analisis. Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata
Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri
didefinisikan sebagai sesuatu yang atasa dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.
(Eco, dalam Alex Sobur 2002:95).dalam hal ini peneliti
menggunakan teori semiotik dari John Fiske. Sebuah metode yang
mempelajari tentang tanda dan lambang. Penggunaan metode ini

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

15

didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan
komunikasi. Komunikasi sendiri adalah suatu proses simbolik
yakni penggunaan lambing-lambang yang diberi makna. Lambang
atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjuk atau
mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi
lambang pada dasarnya tidak mempunyai suatu makna pada satu
lambang. Sedangkan semiotika menaruh perhatian pada apapun
yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua
hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti
penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain
itu tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada disuatu
tempat pada suatu waktu tertentu (Berger, 2000:11-12 dalam
Bhirowo, 2004:18). Sistem semiotika yang lebih penting lagi
dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yaitu tandatanda yang menggambarkan sesuatu. Para semiolog memandang
film, program televisi, poster, iklan, dan bentuk lainnya sebagai
teks semacam dalam linguistic. Dalam hal ini film dapat bertugas
untuk memperluaskan bahasa (Barthes, 2001:53)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin
meneliti “Bagaimanakah Representasi Nasionalisme dalam film
“The Lady” ? ”

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

16

1.3. Tujuan Peneliti

Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam skripsi ini
adalah untuk mengetahui representasi Nasionalisme dalam film
“The Lady”

1.4. Manfaat Penelitian

Peneliti ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian ini mampu memberikan kajian tentang
paradigma konstruktivis dengan metode semiotic dan sebagai
penambah wawasan nasionalisme pada film

2. Secara Praktis

Mampu menjelaskan representasi nasionalisme dalam film
The lady dan sebagai sumber informasi bagi penelitian
selanjutnya.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

17

BAB II
KAJ IAN PUSTAKA

2.1.

Landasan Teori

2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa
Pengertian Film menurut Undang-Undang nomor 8 tahun
1992 (8/1992), tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang :
Perfilman, pasal 1. Film adalah karya cipta seni budaya yang
merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat
berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita,
video dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk,
jenis, ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau
proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan
dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,
dan atau lainnya. (http://fpfi.org/forum/viewtopic.php?t=17)
Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media
massa modern, yang meliputi surat kabar, yang mempunyai
sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditunjukkan
kepada umum, dan film dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.
Mengapa hanya dibatasi di media tersebut? Jawaban terhadap
pertanyaan tersebut adalah karena media itulah yang paling sering

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

18

menimbulkan masalah dalam semua bidang kehidupan dan
semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi,
sehingga

senantiasa

melakukan

pengkajian

yang

seksama

(Effendy,2003:79).
Dalam komunikasi massa film dengan televisi mempunyai
sifat yang sama yaitu audio visual, bedanya mekanik atau non
elektronik dalam proses komunikasinya dan rekreatif-edukatif
persuasif atau no informatif dalam fungsinya. Dampak film bagi
khalayak sangat kuat dalam menimbulkan efek afektif, karena
medianya berkemampuan untuk menanamkan kesan, layarnya
untuk menayangkan cerita relatif besar, gambarnya jelas, dan
suaranya yang keras dalam ruangan yang gelap membuat suasana
penonton mencekam.
Seorang komunikator melalui media massa dikatakan
mahir, apabila ia berhasil menemukan metode yang tepat untuk
menyiarkan pesannya. Meskipun jumlah komunikannya mencapai
jutaan, kontak yang asasi adalah antara dua orang, benak
komunikator harus mengenai benak komunikan. Komunikasi
Massa yang berhasil adalah kontak pribadi dengan pribadi yang
diulangi ribuan kali secara serentak.
“Jadi dalam komunikasi massa ada 2 tugas komunikator,
yaitu mengetahui apa yang ia komunikasikan dan bagaimana ia

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

19

harus menyampaikannya”(Effendy,2003:81). Adapun ciri-ciri dari
komunikasi massa adalah :
a. Komunikator melembaga
b. Pesan bersifat umum
c. Media menimbulkan keserempakan
d. Komunikan bersifat heterogen
e. Proses berlangsung satu arah
Menurut, Wright komunikasi massa memiliki empat
macam fungsi (Wiryanto,2000:11) yaitu :
a. Surveillance,

menunjuk

pada

fungsi

pengumpulan

dan

penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam
lingkungan, baik diluar maupun didalam masyarakat. Fungsi
ini berhubungan dengan apa yang disebut Handling News.
b. Correlation,

meliputi

fungsi

interpretasi

pesan

yang

menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam
mereaksi kejadian-kejadian, funsi di identifikasikan sebagai
fungsi editorial dan propaganda.
c. Transmissions, menunjuk pada fungsi mengkomunikasikan
informasi, nilai-nilai dan norma sosial budaya dari satu
generasi kegenerasi yang lain, atau dari anggota-anggota

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

20

masyarakat

kepada

pendatang

baru.

Fungsi

ini

di

identifikasikan sebagai fungsi pendidikan.
d. Entertainment, menunjuk pada kegiatan-kegiatan komunikatif
yang

dimaksudkan

untuk

memberi

hiburan

tanpa

mengaharapkan efek-efek tertentu.
Film merupakan media untuk komunikator, yang dalam hal
ini adalah orang yang memiliki ide cerita/creator, untuk
menyampaikan gagasannya tentang sesuatu. Yaitu apa yang
menjadi tema suatu film yang dibuat. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Mira Lesmana :
“Film adalah pilihan hidup saya dan medium
ekspresi pilihan saya, buat saya film indonesia
adalah rekaman pikiran manusia-manusia
Indonesia pada jamannya “Extremely Important
To Be Exist.com” (Lesmana:2000.Layarkata)
Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu,
serta menyajikan cerita, musik, drama, lawak dan sajian teknis
lainnya kepada masyarakat umum (McQuail,1994:13)

`

2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.
Film selalu merekam realitas yang tumbuh berkembang dalam

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

21

masyarakat dan memproyeksikan kedalam layar. (Irwanto dalam
Alex sobur.2002:127).
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas.
Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu.
Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti
sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang
ditinggalkan pada masa lampau cara menghadapi masa kini dan
keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga
dalam

perkembangannya

film

bukan

lagi

sekedar

usaha

menampilkan “citra bergerak” (moving image) namun juga telah di
ikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik,
kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah
dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu.
Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang
universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan
dampak negative.
(Victor C.Mambor:http//situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)
Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh peter L
Berger,

seorang

sosiolog

interpretative.

Bersama

Thomas

Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social
Construction of Reality (1996). Menurut Berger realitas sosial
eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia sosial

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

22

bergantung pada manusia yang menjadi subyeknya. Bagi Berger,
realitas sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal
oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia objektif.
(Poloma,2000:299)
Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan
menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui
realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang
berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar
kemampuan

kita.

Menurut

Berger,

kita

semua

mencari

pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya
dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita
sehari-hari. Berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa
terhadap realitas berganda daripada hanya suatu realitas tunggal.
Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas
kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan
realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas
yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non
problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typified)
realitas sama-sama dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi, berbeda
dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan
sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif
manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial
yang obyektif melalui proses internalisasi (yang mencerminkan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

23

realitas subyektif). Dalam metode yang dialektis, Berger melihat
masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk
masyarakat. (Poloma,2000:13)
Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas
sosial mempunyai tiga tahap :

Pertama, Eksternalisasi, yakni usaha untuk pencurahan atau
ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental
maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, Ia akan
selalu mencurahkan diri ke tempat dimana Ia berada. Manusia
tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari
dunia luarnya.

Kedua, Objektivasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental
maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan
realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu
sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada diluar dan berlainan
dari manusia yang menghasilkannya.

Ketiga, Internalisasi. Proses ini lebih merupakan penyerapan
kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa
sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial.
Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan
tersebut

akan

ditangkap

sebagai

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

gejala

realitas

di

luar

24

kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.
Melalui

proses

internalisasi,

manusia

menjadi

hasil

dari

masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14-15).

Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi
dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus.
Proses ini, merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat,
diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk individuindividu dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya.
Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum yang
mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas
obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi
bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini
diinternalisir oleh anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat
dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang
mereka temui dalam dunia sosialnya. Akan tetapi, manusia tidak
seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata lain, proses
sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas
manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara
kolektif

membentuk

dunia

sosial

mereka.

Eksternalisasi

mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan
demikian, masyarakat adalah produk manusia yang tak hanya
dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah
mencoba mengubah masyarakat itu. (Poloma, 2000:316).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

25

2.1.3. Representasi
Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi
adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas
disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau
kombinasinya (Fiske, 2004:282).
Konsep representasi adalah proses pemaknaan yang berupa
simbol-simbol yang terdapat dalam film yang diteliti, sehingga kita
dapat

mengetahui

hasil

yang

didapat

setelah

melakukan

representasi terhadap film yang diteliti.
Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan
kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai
sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosialn dan
disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu.
Cultural studie memfokuskan diri kepada bagaimana proses
pemaknaan representasi itu sendiri. (Chris Barker, 2004:8)
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu
praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan
merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut
‘pengalaman

berbagi’.

Seseorang

dikatakan

berasal

dari

kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu
membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

26

yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling
berbagi konsep-konsep yang sama. (Nuraini Juliastuti, 2000:4)
representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media
(terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau
kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas
budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan
bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.
(http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html).
Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama
representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada
dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi
mental ini masih berbentuk abstrak. Kedua, bahasa yang berperan
penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada
didalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim,
supaya kita dapat menghubungkan konsep ide-ide kita tentang
sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia
dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara
sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua,
kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta
konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi dalam
bahasa atau simbol adalah jantung dari produksi makna lewat

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

27

bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara
bersama-sama itulah yang kita namakan representasi. (Juliastuti,
2000:http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).
Konsep

representasi bisa

berubah-ubah.

Selalu

ada

pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi
yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna akan inheren dalam
suatu dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses
representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang
membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.
(http//kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)
Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada
pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau
sebuah

gagasan

ditunjukkan

dalam

media

massa

(Eriyanto,2001:113).
Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar,
cara bercerita, skenario, penokohan, dialog dan beberapa unsur lain
didalamnya. Menurut Graeme Turner (1991:128), makna film
sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film
sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas,
film sekedar memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu.
Sementara sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

28

menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvoikonvoi ada ideologi kebudayaanya. (Irawanto,1999:15).

2.1.4. Konsep Nasionalime Myanmar
Konsep nasionalisme adalah sama dengan identitas sosial
karena juga menjelaskan bagaimana orang melampirkan kelompok
mereka. Jika individu memiliki harga diri yang lebih tinggi,
mereka lebih cenderung untuk melampirkan kelompok mereka.
Menurut SIT ini, orang lebih suka mereka-kelompok atas keluarkelompok. Mereka termotivasi untuk merasa baik tentang
kelompok mereka. Demikian pula, nasionalis adalah kelompok
anggota yang termotivasi untuk memiliki keterikatan yang kuat dan
positif bagi bangsa mereka dan yang mengidentifikasi diri mereka
dengan kelompok tertentu atau bangsa pertama dan terutama.
Karena nasionalis yang kuat melekat pada bangsa mereka, mereka
berkomitmen untuk persatuan, kemerdekaan, martabat, dan
kesejahteraan masyarakat nasional dan negara-bangsa. Oleh karena
itu, di negara nasionalistik, bahkan jika orang tidak menyukai
pemerintah mereka, mereka masih mencintai komunitas nasional
dan negara-bangsa (Cottam dan Cottam, 2001, halaman 2).
Dusan Kecmanovic (1996) menyarankan bahwa kesetiaan
kepada kelompok nasional merupakan salah satu karakteristik

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

29

mendasar dari nasionalisme, dan individu yang mengidentifikasi
dengan kelompok tertentu atau bangsa pertama dan terutama
disebut nasionalis. Nasionalis terutama setia pada komunitas
nasional nya dirasakan dan negara-bangsa (Cottam et al., 2004,
p.192). Sebagai contoh, jika sekelompok orang menyebut diri
mereka Burma, mereka juga melihat diri mereka sebagai bagian
dari rakyat Burma.
Nasionalisme

telah

menjadi

faktor

penting

untuk

menjelaskan konflik etnis. Konflik nasionalistik Yugoslavia dan
Uni Soviet runtuh. Dengan memahami perilaku nasionalisme dan
kebangsaan, kami dapat menjelaskan dan memprediksi konflik di
masa depan dan kekerasan. Nasionalisme dapat dijelaskan oleh
banyak faktor. Beberapa penelitian telah menggunakan non-faktor
psikologis seperti simbol nasionalis, wacana nasionalis seperti
karya sastra, puisi, ingatan kolektif, dan lagu untuk menjelaskan
nasionalisme, sementara yang lain telah menggunakan faktor
psikologis seperti sosial identitas, stereotip, dan prasangka.
Simbol nasionalisme dapat memiliki kekuatan untuk
memotivasi orang untuk menjadi lebih nasionalistis. Ini simbol
bendera,

peristiwa

bersejarah

seperti

keberhasilan

dalam

pertempuran besar, dan gagasan tanah air atau tanah. Sejaknasionalis sangat menghargai kemerdekaan, persatuan, martabat,
dan kesejahteraan masyarakat nasional mereka, mereka merespon
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau selur