Representasi Nasionalisme dalam Film Tanah Surga, Katanya (Studi Semiotik Roland Barthes Mengenai Representasi Nasionalisme dalam Film Tanah Surga,Katanya)

(1)

Dalam Film Tanah Surga, Katanya)

Skripsi

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Humas

Oleh :

NURUL POPI INDRIANI NIM. 41808154

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KOSENTRASI HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G


(2)

(3)

(4)

x

SURAT PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.2.1 Pertanyaan Makro ... 10

1.2.2 Pertanyaan Mikro ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

1.3.1 Maksud Penelitian ... 11

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 12


(5)

xi

2.1 Tinjauan Pustaka... 14

2.1.1 Tinjauan Peneliti Terdahulu ... 14

2.1.1.1Yaser Dwi Yasa (41806023) ... 15

2.1.1.2Diana Damayanti (D2C005151) ... 16

2.1.1.3Wina Nirmala Sari (206612046) ... 18

2.1.2 Tinjauan Tentang Komunikasi ... 19

2.1.2.1Komunikasi Sebagai Ilmu... 19

2.1.2.2Definisi Komunikasi... 20

2.1.2.3Komunikasi Suatu Proses Simbolik ... 23

2.1.3 Proses Komunikasi ... 25

2.1.3.1Proses Komunikasi Secara Primer ... 25

2.1.3.2Proses Komunikasi Secara Sekunder ... 26

2.1.4 Pesan Verbal dan Nonverbal dalam Komunikasi ... 27

2.1.4.1Pesan Verbal ... 27

2.1.4.2Pesan Nonverbal... 29

2.1.5 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa ... 30

2.1.5.1Definisi Komunikasi Massa ... 30

2.1.5.2Karakteristik Komunikasi Massa ... 32

2.1.5.3Fungsi Komunikasi Massa ... 33


(6)

xii

2.1.6.4Perfilman Indonesia ... 38

2.1.6.5Film Sebagai Media Massa ... 40

2.2 Kerangka Pemikiran ... 41

2.2.1 Representasi ... 41

2.2.2 Kajian Nasionalisme ... 42

2.2.3 Konstruksi Realitas dalam Media Massa ... 45

2.2.4 Semiotika ... 47

2.2.5 Semiotika Roland Barthes ... 49

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian ... 58

3.1.1 Filmografi Film “Tanah Surga, Katanya” ... 58

3.1.2 Sinopsis Film “Tanah Surga, Katanya” ... 59

3.1.3 Adegan-adegan yang Bermuatan Pesan Nasionalisme ... 62

3.2 Metode Penelitian ... 66

3.2.1 Desain Penelitian ... 66

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 68

3.2.2.1Studi Pustaka ... 68

3.2.2.2Studi Lapangan ... 70

3.2.3 Teknik Uji Keabsahan Data ... 72


(7)

xiii

3.2.4.1Informan Penelitian ... 73

3.2.4.2Informan Kunci ... 73

3.2.5 Teknik Analisa Data ... 74

3.2.6 Lokasi dan Waktu Penelitian... 77

3.2.6.1Lokasi Penelitian ... 77

3.2.6.2Waktu Penelitian ... 78

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 81

4.1.1 Makna Denotatif Nasionalisme dalam Film “Tanah Surga, Katanya” ... 81

4.1.2 Makna Konotatif Nasionalisme dalam Film “Tanah Surga, Katanya” ... 89

4.1.3 Analisis Mitos/Ideologi ... 104

4.1.3.1Identifikasi Mitos/Ideologi Adegan Nasionalisme dalam Film “Tanah Surga, Katanya” ... 104

4.1.3.2Pemaknaan Mitos/Ideologi Adegan Nasionalisme dalam Film “Tanah Surga, Katanya” ... 106

4.1.4 Informan Penelitian ... 113


(8)

xiv

5.2.1 Saran Bagi Universitas ... 139

5.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 140

DAFTAR PUSTAKA ... 142

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 145


(9)

142

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Alam, Wawan Tunggul. 2003. Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs

Bung Hatta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ardianto, Elvinaro dkk. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Arifin, H. Anwar. 2010. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Barthes, Roland. 2010. Imaji Musik Teks: Esai-esai Terpilih dan Disunting oleh Stephen Heath. Yogyakarta: Jalasutra.

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Effendy, Onong Uchjana. 2009. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Grosby, Steven. 2011. Sejarah Nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme, Arti Dan Sejarahnya. Jakarta: PT.

Pembangunan.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: IndonesiaTera.

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas. Jakarta: PT. Gramedia.

McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika. Moeleong, J. Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Pilang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas


(10)

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rivers, William L. Jay W, Jensen Theodore Peterson. 2004. Media Massa dan

Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media

Severin, Werner J. Tankard, James W. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah,

Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Prenada Media.

Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono, 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-dasar Apreasi Film. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.

Suryana, Asep. 2005. Jurnal Komunikasi dan Informasi. Bandung : Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

B.INTERNET

http://kusdiyono.wordpress.com/2010/12/ (Senin, 3 Desember 2012 Pukul 21.52)

http://ruangkata-katavie.blogspot.com/2011/06/sejarah-film-horor-indonesia.html (Rabu, 14 November 2012 Pukul 21.32)

http://www.scribd.com/doc/39241879/Sejarah-Nasionalisme-Indonesia (Selasa, 4 Desember 2012 pukul 23.03)

http://www.scribd.com/doc/39241879/Sejarah-Nasionalisme-Indonesia (Selasa, 4 Desember 2012 pukul 23.03)

http://bangsaku-indonesiaku.blogspot.com/2008/10/pengertian-nasionalisme.html (Rabu, 5 Desember 2012 pukul 09.40)

http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_Surga..._Katanya, (Sabtu, 24 November 2012 Pukul 10.39)

http://www.21cineplex.com/tanah-surgakatanya-movie,2906,02TASA.htm (Sabtu, 24 November 2012 Pukul 10.43)


(11)

http://books.google.co.id/books?id=dSpAlXuGUCUC&pg=PA59&dq=kualitat if+adalah&hl=id&sa=X&ei=fs6xUIrAKszprQfUx4CgDA&ved=0CCo Q6AEwAA#v=onepage&q=kualitatif%20adalah&f=false (Minggu, 25 November 2012 Pukul 15.20)

http://m.tabloidbintang.com/content/57490/kenapa-banyak-film-nasional-rilis-bersamaan-saat-libur-lebaran.html (Rabu, 19 Desember 2012 pukul 08.28)

http://blognanchoco.blogspot.com / 2007 / 05 / semangat- nasionalisme- dan-patriotisme.html (Rabu, 20 Februari 2013 pukul 09.29)

C.KARYA ILMIAH

Damayanti, Diana. 2010. Representasi Perempuan Dalam Film Perempuan

Berkalung Sorban. Semarang: Universitas Diponegoro.

Sari, Wina Nirmala. 2010. Citra Perempuan Dalam Film Indonesia (Analisis

Semiotika Film Perempuan Berkalung Sorban). Jakarta: UPN

“Veteran”.

Yasa, Yaser Dwi. 2012. Representasi Kebebasan Pers Mahasiswa Dalam Film

Lentera Merah (Analisis Semiotik Roland Barthes Dalam Film Lentera


(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Nilai-nilai serta wawasan kebangsaan sekarang ini menjadi sebuah

topik yang kurang menarik, terutama bagi generasi muda. Jika keadaan ini

terus berlangsung, maka jiwa nasionalisme dan perasaan bangga terhadap

bangsa serta negeri ini akan terancam. Ini karena banyaknya generasi muda

yang semakin lama terlena akan gaya hidup yang modern, dimana modern

yang mereka serap tanpa adanya filter yang baik untuk menghalau

pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan.

Nasionalisme adalah sebuah tuntutan politik. Setiap bangsa berhak

menuntut kedaulatan atas negeri tempatnya tinggal selama berabad-abad

berdasarkan alasan-alasan budaya, ekonomi, dan kemasyarakatan. Asas

nasionalisme tercantum dalam Pancasila sebagai sila ketiga, yaitu persatuan.

Pancasila merupakan ideologi Negara dan telah ditetapkan sebagai sumber

hukum oleh MPR dan juga senantiasa dipandang sebagai paradigma budaya

dalam melaksanakan semboyan Negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Bung Karno

dalam pidatonya di Universitas Indonesia (7 Mei 1953) mengatakan,

nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit tetapi nasionalisme yang

mencerminkan perikemanusiaan.

Berbagai permasalahan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, baik


(13)

menimbulkan efek bagi diri individu masyarakat Indonesia. Dimana jika kita

lihat keadaan negeri ini, baik dari segi pendidikan, ekonomi, serta

perkembangannya, memang belum sebaik negeri lain seperti contohnya

negeri tetangga yaitu Malaysia. Keadaan yang seperti ini yang menimbulkan

makin berkurangnya rasa nasionalisme seseorang terhadap negerinya, dimana

banyak yang meragukan akan keadaan negeri yang ditinggalinya ini yakni

Indonesia. Apalagi kurangnya dukungan pendidikan yang memadahi serta

pendidikan yang lebih mendalam mengenai nasionalisme sehingga dapat

menimbulkan rasa nasionalisme dalam diri setiap individu.

Sehingga individu yang larut akan kemanjaan yang diberikan sebuah

gaya hidup modern tanpa adanya pembentengan serta teguhnya nasionalisme

dalam dirinya, membuat rasa nasionalisme dalam diri seorang individu

melemah. Ini dapat menimbulkan ancaman yang cukup membahayakan bagi

Indonesia, karena dengan kondisi seperti itu akan banyak Negara lain yang

memanfaatkan kelemahan ini untuk mengambil keuntungan-keuntungan dari

Negara Indonesia. Keadaan ini pula yang dapat menciptakan

keretakan-keretakan di dalam sebuah bangsa, yang mengancam kelangsungan dari

sebuah bangsa itu sendiri.

Di zaman modern seperti sekarang ini dengan kemajuan teknologinya,

film merupakan objek seni yang tidak hanya menjadi sarana hiburan bagi

penontonnya. Film menjadi salah satu media massa dalam menyampaikan


(14)

dapat memberikan pengaruh kepada penontonnya, seperti yang disebutkan

dalam buku Media Massa dan Masyarakat Modern yaitu:

“Film dikatakannya dapat menyihir penonton sehingga mereka selalu pasif dan menerima saja apa yang disajikan film. Film juga menciptakan kelompok penggemar yang cenderung membuat komunitas eksklusif, dan setiap anggotanya terdorong untuk selalu mengidentikkan diri dengan komunitas itu” (William L. Rivers-Jay W. Jensen Theodore Peterson, 2004:291).

Jadi, film merupakan bagian penting dalam media massa untuk

menyampaikan sebuah pesan atau untuk memberikan pengaruh kepada

penontonnya untuk bertindak sesuatu seperti yang diharapan komunikator.

Seperti yang ungkapkan oleh Sumarno, yang mengatakan bahwa:

“Film adalah sebuah seni mutakhir abad 20 yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pemikiran, dan memberikan dorongan terhadap penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton ini lebih jauh misalnya sebuah film dapat menjadi media menghibur masyarakat dalam bentuk komedi, atau bisa juga mendidik melalui film dokumenter, dan lain sebagainya” (Sumarno, 1998:85).

Berkaitan dengan film sebagai media penyampai pesan kepada

masyarakat, film merupakan tempat kebebasan dalam hal menyampaikan

sebuah pesan. Penyampaian pesan disampaikan melalui unsur audio dan

unsur visual yang dapat menarik perhatian orang untuk menonton film

tersebut. Selain kedua unsur tersebut, film dapat menarik perhatian orang

dengan menyajikan cerita yang menarik, detail dan lengkap, serta cara

penyampaian pesan secara unik. Unik yang dimaksudkan adalah gambarnya

yang bergerak, ini membuat penonton akan lebih mudah dalam memahami


(15)

Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat,

hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya,

film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan

pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang

muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah

potret dari masyarakat di mana film itu di buat. Film selalu merekam realitas

yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian

memproyeksikannya ke atas layar. (Irawanto, 1999:13)

Graeme Turner (Irawanto, 1999:14) menolak perspektif yang melihat

film sebagai refleksi masyarakat. Makna film sebagai representasi dari

realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekadar sebagai

refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekadar “memindah”

realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai

representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali”

realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari

kebudayaannya. (Irawanto, 1999:14)

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis

struktural dan semiotika. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest yang dikutip

oleh Alex Sobur (2003:128), film dibangun dengan tanda semata-mata.

Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan

baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis,

rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan.


(16)

terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang

menggambarkan sesuatu. (Van Zoest, 1993:109)

Perfilman Indonesia yang mulai bangkit kembali sejak tahun 2000

mulai menunjukan kemajuan yang pesat dimana banyak bermunculan sineas

Indonesia yang berlomba dalam membuat film yang dapat sukses di pasaran.

Banyak film bermunculan dengan menyajikan keadaan Indonesia pada

umumnya. Mulai memudarnya nasionalisme masyarakat Indonesia menarik

minat dari para sineas, sehingga banyak sineas yang membuat film-film

bertemakan nasionalisme, seperti film Naga Bonar, Naga Bonar Jadi 2,

Garuda di Dadaku, Tanah Air Beta dan lain-lain.

Salah satu film yang dulu sukses dengan cerita bertemakan

nasionalisme yakni Nagabonar Jadi 2 yang dirilis tahun 2007, sedangkan

Nagabonar mulai tayang di tahun 2008. Seperti yang ditulis dalam Tabloid

Bintang, film Nagabonar Jadi 2 dapat menembus angka 1,3 juta penonton.

Film Nagabonar adalah film komedi situasi 1987 yang mengambil latar

peristiwa perang kemerdekaan Indonesia ketika sedang melawan pasukan

Belanda paska kemerdekaan Indonesia di daerah Sumatera Utara. Dengan

pemeran utama Nagabonar seorang pencopet di Medan yang bersahabat

dengan pemuda bernama Bujang. Disini Nagabonar yang tadinya merupakan

seorang pencopet namun akhirnya berubah menjadi seorang tentara.

Nagabonar menjadi tentara garis depan dalam perlawanan terhadap Belanda.

Setelah beberapa perlawanan yang sengit, Nagabonar dititahkan dari markas


(17)

ini juga merupakan film versi rilis ulang yang telah di rekam ulang pada

tahun 2008.

Sedangkan film Nagabonar Jadi 2 merupakan kelanjutan dari film

Nagabonar, dimana dalam film ini menceritakan mengenai Bonaga (anak

Nagabonar) yang ingin menjual tanah milik Ayahnya kepada pihak Jepang,

namun Nagabonar menolaknya karena di tanah tersebut terdapat makam ibu

dan istrinya, juga makam bujang teman seperjuangannya. Terlebih lagi yang

ingin membelinya adalah orang Jepang, dimana Nagabonar masih

menganggapnya sebagai penjajah. Usaha Bonaga untuk membujuk ayahnya

akhirnya membuahkan hasil karena ayahnya setuju. Namun, pada akhirnya

Bonaga membatalkan perjanjian tersebut, karena ia tahu ayahnya sebenarnya

berat untuk menyetujui hal tersebut, ia tidak mau membuat ayahnya sedih

karena ia sangat menyayangi ayahnya.

Dari banyaknya film dengan tema nasionalisme, di tahun 2012 muncul

film Tanah Surga, Katanya yang disutradarai oleh Herwin Novianto. Film ini

tayang dua hari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia yakni tanggal 15

Agustus 2012, yang seolah-olah menjadikan film ini sebagai kado untuk

Indonesia. Film dengan durasi 90 menit yang mengambil latar di perbatasan

Negara Malaysia (Sarawak) dengan Indonesia (Kalimantan Barat) cukup

menarik perhatian penontonnya, dan sampai tanggal 26 Agustus 2012 tercatat

yang menonton sudah mencapai 133.000 orang. Walaupun tidak sebanyak

Nagabonar tapi film Tanah Surga, Katanya termasuk salah satu film yang


(18)

Indonesia 2012. Film ini juga masuk kedalam nominasi Film Terbaik yang

bersaing dengan empat film lainnya yakni; Demi Ucok, Lovely Man, Rumah

di Seribu Ombak, dan Soegija. Film ini juga banyak mendapatkan respon

positif dari penontonnya.

Film tersebut menceritakan Hasyim (Fuad Idris) seorang sukarelawan

Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 yang tinggal bersama kedua

cucunya yaitu Salman (Osa Aji Santoso) dan Salina (Tissa Biani Azzahra).

Hidup di perbatasan merupakan persoalan tersendiri bagi mereka, karena

keterbelakangan pembangunan dan ekonomi. Ini membuat banyaknya orang

Indonesia yang tinggal di perbatasan akhirnya memutuskan untuk pindah ke

Malaysia karena menganggap Malaysia jauh memberi harapan bagi masa

depan mereka. Anak Hasyim bernama Haris (Ence Agus) salah satunya, dia

seorang duda yang memutuskan menikahi wanita Malaysia untuk

mempermudahnya menetap di Malaysia.

Haris bermaksud untuk mengajak ayah dan kedua anaknya untuk ikut

tinggal di Malaysia, namun Hasyim bertahan tinggal di Indonesia dan

menolak ajakan Haris karena bagi dirinya kesetiaan pada bangsa adalah harga

mati. Salman yang dekat dengan kakeknya menolak ajakan ayahnya dan

memilih tetap tinggal di Indonesia.

Film berjudul Tanah Surga, Katanya tentu memiliki unsur intrinsik

dalam film, salah satunya adalah pesan. Pesan dapat berupa gagasan,

pendapat, dan sebagainya yang dituangkan dalam bentuk dan melalui


(19)

menyatakan bahwa ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pesan,

yaitu:

Kode pesan adalah sekumpulan simbol yang dapat disusun sedemikian rupa, sehingga bermakna bagi seseorang. Isi pesan ialah bahan atau material yang dipilih sumber untuk menyatakan maksudnya. Wujud pesan adalah keputusan-keputusan yang dibuat sumber mengenai bagaimana cara sebaiknya menyampaikan maksud-tujuan dalam bentuk pesan…” (Hanafi, 1999:196,200,202).

Dapat disimpulkan bahwa kode pesan, isi pesan, dan wujud pesan

merupakan tiga faktor dalam pesan yang memiliki keterkaitan dengan isi

cerita dan materi yang ingin disampaikan oleh komunikator, sehingga di

dalam cerita tersebut akan tampak pesan apa yang ingin disampaikan kepada

komunikan.

Pesan yang terdapat di dalam sebuah film baik itu denotasi ataupun

konotasi, dikemas dalam bahasa verbal dan non verbalnya. Jika pesan dapat

dimaknai oleh penonton, maka komunikasi berjalan dengan baik. Pada film,

proses komunikasi yang bersifat verbal dan nonverbal berkedudukan saling

melengkapi satu sama lain untuk mempertegas pesan yang ingin disampaikan.

Seperti yang dikutip dalam buku Semiotika Komunikasi karangan Alex Sobur

(2009:15) menjelaskan bahwa semiotika adalah suatu ilmu atau metode

analisis untuk mengkaji tanda.

Untuk mengkaji lebih dalam mengenai representasi nasionalisme film

Tanah Surga, Katanya penulis mencoba menganalisis menggunakan teori

semiotik Roland Barthes. Semiotika dalam istilah Barthes yakni semiologi.


(20)

memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat

dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai

berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana

obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem

terstruktur dari tanda. (Kurniawan, 2001:53)

Film Tanah Surga, Katanya menurut peneliti memiliki banyak

pesan-pesan nasionalisme di dalamnya. Film yang menyajikan latar belakang

kehidupan di perbatasan Indonesia (Kalimantan Barat) dan Malaysia

(Sarawak) ini memperlihatkan bagaimana sulitnya mendapatkan kehidupan

yang layak, baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. Serta

memperlihatkan bagaimana seseorang tetap mencintai Negerinya walaupun

tidak mendapatkan sesuatu yang layak sebagai penghargaan atas

perjuangannya dimasa lampau.

Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengetahui tentang pesan

nasionalisme yang terkonstruksi dalam film Tanah Surga, Katanya. Dan

melalui film ini juga, khalayak diharapkan dapat membuka mata pada

keadaan di Negeri ini dan dapat menangkap dengan baik mengenai


(21)

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Pertanyaan Makro

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka

peneliti dapat menarik rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

“Bagaimanakah Representasi Nasionalisme dalam Film Tanah Surga, Katanya ?”

1.2.2 Pertanyaan Mikro

Mengacu pada judul penelitian serta rumusan masalah yang

telah peneliti angkat berdasarkan pada latar belakang masalah

penelitian, maka peneliti kemudian dapat merumuskan tiga pertanyaan

mikro dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana makna denotasi nasionalisme dalam film Tanah Surga, Katanya ?

2. Bagaimana makna konotasi nasionalisme dalam film Tanah Surga, Katanya ?

3. Bagaimana mitos yang terbentuk dari makna konotasi dari nasionalisme dalam film Tanah Surga, Katanya ?


(22)

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Pada penelitian ini pun memiliki maksud dan tujuan yang menjadi

bagian dari penelitian sebagai ranah kedepannya. Adapun maksud dan

tujuannya sebagai berikut:

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna

denotasi, konotasi, dan mitos dengan menggunakan teori semiotik oleh

Roland Barthes dari sequence yang berkaitan dengan nasionalisme

dalam film Tanah Surga, Katanya.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Agar penelitian ini mencapai hasil yang optimal maka terlebih

dahulu perlu tujuan yang terarah dari penelitian ini. Adapun tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui makna denotasi nasionalisme dalam film Tanah Surga, Katanya.

2. Untuk mengetahui makna konotasi nasionalisme dalam film Tanah Surga, Katanya.

3. Untuk mengetahui mitos yang terbentuk dari makna konotasi dari nasionalisme dalam film Tanah Surga, Katanya.


(23)

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini dapat dilihat dari segi teoritis dan praktis,

sebagai berikut:

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian Ilmu

Komunikasi secara umum, khususnya yang berkaitan dengan

pengembangan studi analisis semiotika dalam menganalisis suatu

pesan, tanda, dan makna. Dalam kajian media massa, film mampu

menciptakan ideologi-ideologi melalui pesan-pesan yang disampaikan.

1.4.2 Kegunaan Praktis

A.Kegunaan Bagi Peneliti

Bagi peneliti hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi

dalam menambah wawasan dan pengetahuan ilmu komunikasi yaitu

mengkaji langsung tentang analisis semiotik yang terdapat dalam

sebuah karya film khususnya seperti penggambaran nasionalisme

yang terkontruksi dalam Tanah Surga, Katanya.

B.Kegunaan Bagi Universitas

Secara Praktis berguna bagi mahasiswa Universitas

Komputer Indonesia (UNIKOM) secara umum dan khususnya bagi

mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi yang dapat dijadikan


(24)

selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan tema yang sama

tentang analisis semiotik.

C.Kegunaan Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi

masyarakat dalam menerima dan memahami makna isi pesan,

sehingga film tidak hanya dapat ditangkap dari muatan pesan yang

tampak, tetapi juga dari muatan pesan yang tersembunyi. Penelitian

ini diharapkan juga akan menambah rasa nasionalisme masyarakat


(25)

14 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Peneliti mengambil skripsi yang berjudul “Representasi

Nasionalisme Dalam Film Tanah Surga, Katanya (Studi Semiotik

Mengenai Representasi Nasionalisme Dalam Film Tanah Surga,

Katanya)”. Penelitian skripsi studi semiotik tentang film sudah banyak

yang membahas diberbagai Universitas, namun dengan pembahasan

yang berbeda.

Pada penelitian ini, peneliti melihat tinjauan penelitian

sebelumnya yang membahas mengenai representasi dalam sebuah film

yang dibedah melalui studi semiotik untuk memperkuat kajian pustaka

penelitian ini. Selain itu, karena pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitatif yang menghargai berbagai perbedaan

yang ada serta cara pandang mengenai objek-objek tertentu, sehingga

meskipun terdapat kesamaan maupun perbedaan adalah suatu hal yang

wajar dan dapat disinergikan untuk saling melengkapi. Berikut judul

penelitian terdahulu yang membahas mengenai representasi dengan


(26)

2.1.1.1Yaser Dwi Yasa (41806023)

Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM)

Ilmu Komunikasi – Konsentrasi Jurnalistik (Lulusan 2012)

Judul : “Representasi Kebebasan Pers Mahasiswa Dalam Film Lentera Merah (Analisis Semiotik Roland Barthes Dalam Film Lentera Merah Mengenai Kebebasan Pers Mahasiswa)”

Keterangan :

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui makna semiotik tentang kebebasan pers yang terdapat dalam film Lentera Merah, menganalisis apa saja makna yang terdapat dalam film Lentera Merah yang berkaitan dengan kebebasan pers mahasiswa. yaitu makna denotasi, makna konotasi, mitos/ideologi menurut Roland Barthes.

Penelitian ini merupakan Penelitian Kualitatif dengan menggunakan analisis semiotik Roland Barthes. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi, studi pustaka, dan penelusuran data online. Objek yang dianalisis merupakan sequence yang terdapat dalam film Lentera Merah dengan mengambil tujuh sequence.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga makna sesuai dengan semiotik Barthes. Makana denotasi yang terdapat dalam sequence

Lentera Merah menggambarkan penyeleksian terhadap jurnalis serta

tindakan pengurungan hingga pengorbanan nyawa dalam kehidupanya. Sedangkan makna Konotasi didapat yaitu masih adanya pengekangan kepada pers, apalagi terhadap presma yang dimana posisi mereka berada dalam satu lingkung akademis. Sedangkan makna Mitos/Ideologi yang dapat diambil pers akan tetap hidup, namun dalam kehidupanya pers harus bersifat Independent, serta tidak berpihak, dan tetap menjungjung kejujuran dengan kekebasan pers yang mereka miliki disertai dengan tanggung jawab moral.

Kesimpulan penelitian memperlihatkan kehidupan pers harus tetap idealis, kritis, serta harus tetap tidak terikat pada suatu sistem yang dapat


(27)

mempengaruhi hasil kerja kaum pers juga menjunjung tinggi pada kebenaran.

Peneliti memberikan saran bagi para sineas dapat lebih mengangkat apa yang masyarakat belum ketahui dengan representasi kedalam sebuah film dengan tampilan yang menarik. Terdapat beberapa genre film, jenis film horor merupakan salah satu magnet bagi khalayak untuk menontonya, walau demikian baiknya para sineas dapat lebih pandai menyusupi makna kehidupan nyata.

2.1.1.2Diana Damayanti (D2C005151) Universitas Diponegoro

Ilmu Komunikasi (Lulusan 2010)

Judul : “Representasi Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban” Keterangan :

Film Indonesia dengan perspektif jender belum banyak ditemukan. Ketika banyak film mengenai perempuan dan meski dibuat oleh perempuan, tidak otomatis film itu mengangkat kesetaraan jender. Masih banyak dijumpai stereotipe mengenai perempuan di dalam film-film Indonesia. Cerita film Perempuan Berkalung Sorban diangkat dari novel berjudul sama karya Abidah El Khalieqy, yang ditulis sebagai media alternatif pemberdayaan perempuan, sosialisasi isu jender, dan hak-hak reproduksi di kalangan pesantren. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan menjadi siapa perempuan direpresentasikan dalam film tersebut.

Tipe penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotika. Sedang teknik analisis data dilakukan berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh John Fiske tentang The Codes of Television. Untuk menganalisis moving object, Fiske menganalisis film dalam tiga level, yakni level “Reality”, level Representation, dan level Ideology. Level

Reality” dan level Representation dianalisis secara sintagmatik


(28)

Dari penelitian dapat dilihat bahwa film Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan adanya ketimpangan power di dalam sebuah sistem sosial yang patriarkis. Ketimpangan power berdasarkan jender ini melahirkan sikap-sikap yang diskriminatif terhadap perempuan. Sikap diskriminasi ini menimbulkan anggapan bahwa perempuan inferior dari laki-laki, perempuan hanyalah obyek,

pelengkap atau pelayan dari laki-laki, hingga menjadi legitimasi dari berbagai tindak kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan.

Film ini juga menunjukkan adanya kesadaran tokoh perempuan akan kesetaraan jender. Hal ini ditunjukkan melalui adegan-adegan yang menunjukkan keberanian tokoh utama dalam menghadapi konflik dengan pihak-pihak yang memperlakukannya secara diskriminatif. Komitmennya untuk mencapai pendidikan tinggi dan kemandirian secara ekonomi menjadi suatu proses mencari solusi terhadap berbagai masalah dominasi patriarki yang menimpanya. Dia pun kemudian mampu melepaskan diri dari obyektifikasi dan menjadi subyek yang menentukan nasibnya sendiri. Dengan demikian, film Perempuan Berkalung Sorban memberi gambaran berbeda dalam merepresentasikan perempuan. Jika film Indonesia pada umumnya merepresentasikan perempuan seperti stereotipenya sebagai manusia yang pasif, dan menerima nasibnya sebagai sekadar obyek atau otherness dari laki-laki, film ini merepresentasikan perempuan sebagai korban dari budaya patriarki yang diskriminatif tetapi dapat bangkit dan aktif membuat perubahan untuk menjadi penentu atas hidupnya sendiri.


(29)

2.1.1.3Wina Nirmala Sari (206612046)

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPN Veteran Jakarta)

Ilmu Komunikasi – Konsentrasi Humas (Lulusan 2010)

Judul : “Citra Perempuan Dalam Film Indonesia (Analisis Semiotika Film Perempuan Berkalung Sorban)”

Keterangan :

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana penggambaran citra perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban lewat karakteristik tokoh utama perempuan.

Landasan teori dalam penelitian ini menggunakan teori Roland Barthes. Metode penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian Deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dipakai berupa data primer yakni Video Compact Disk (VCD) dan data sekunder diperoleh dari hasil wawancara, skenario, buku, serta artikel dari internet. Penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis semiotika Roland Barthes.

Hasil penelitian yang penulis temukan dalam film Perempuan Berkalung Sorban adalah delapan adegan yang menggambarkan perjuangan seorang perempuan dalam memperoleh hak dan posisinya. Dalam film ini digambarkan beberapa tindak ketidakadilan terhadap posisi perempuan, dimana perempuan dianggap sebagai makhluk tidak berakal, tidak memiliki kemampuan dan tidak berdaya. Semua cerita yang dituang tersebut merupakan sebagian dari kenyataan yang masih ada hingga saat ini.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah film Perempuan Berkalung Sorban merupakan film yang kental dengan simbol keagamaan, dapat dilihat bahwa secara garis besar film ini menceritakan perjuangan perempuan dalam mempertahankan citra dan mendapatkan kesetaraan posisi dengan laki-laki. Kaum laki-laki menganggap kedudukan perempuan tidak lebih tinggi dari posisi laki-laki. Sehingga film ini jelas


(30)

ingin menggambarkan perempuan sebagai posisi lemah yang tidak mendapatkan hak secara penuh.

Saran peneliti melihat film Perempuan Berkalung Sorban merupakan film religi yang mendapat reaksi keras dari masyarakat dan ulama karena representasi mengenai simbol keagamaan yang dianggap tidak sesuai dengan realita, maka dari itu untuk film religi selanjutnya diharapkan dapat mempertimbangkan keberagaman pemaknaan dan pemahaman terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut.

2.1.2 Tinjauan Tentang Komunikasi 2.1.2.1Komunikasi Sebagai Ilmu

Eksistensi komunikasi sebagai ilmu dapat ditelusuri dari

perkembangannya semenjak abad kelima sebelum masehi dengan

sebutan ilmu pernyataan manusia, yang mulanya berkembang di

Yunani Purba ikut menjalar ke Romawi. Ilmu ini mengkaji secara

sistematis segala segi pernyataan antar manusia.

Pada zaman pemerintahan kaisar Romawi Gaius Julius

Caesar dimulailah ilmu pernyataan manusia yang dinyatakan melalui

media. Seiring dengan perkembangan ini, muncul surat kabar

pertama di Jerman yang bernama Avisa Relation Oder Zitung, lalu di

Inggris dengan nama Weekly News. Perkembangan surat kabar serta

dampak yang ditimbulkan inilah yang menarik para ilmuwan untuk

mempelajarinya. Hingga abad ke 19 munculah ilmu persuratkabaran

(science of the press)

Tidak hanya Yunani dan Romawi, dalam perkembangannya


(31)

Publizistikwissenschaft”, dan di Amerika Serikat disebut

Communication Science”, keduanya mempunyai basis yang sama

yaitu Ilmu Persuratkabaran.

Dapat dikatakan dari awal ilmu komunikasi lahir hingga

dalam setiap perkembangannya dapat diterima baik, tidak hanya di

beberapa Negara saja namun di seluruh Dunia. Memang banyak

ilmuwan dari bermacam-macam disiplin (ilmu) telah banyak

memberikan sumbangan kepada ilmu kita (komunikasi). Tidak

mengherankan jika banyak disiplin telah terlibat dalam studi

komunikasi baik secara langsung, maupun secara tidak langsung.

Hal ini menurut Fisher (1986:17) bermakna bahwa komunikasi

memang mencakup semuanya, dan bersifat sangat eklektif

(menggabungkan berbagai bidang). (Suryana, 2005: 33-35) (Arifin,

2010: 15)

2.1.2.2Definisi Komunikasi

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris

berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”, communico,

communication, atau communicare yang berarti membuat sama (to

make common).

Dengan sifat komunikasi yang eklektif membuatnya menjadi

multimakna, sehingga menimbulkan kesulitan dalam


(32)

Kesulitan ini langsung terlihat dari lahirnya sejumlah definisi

komunikasi. Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada

definisi yang benar ataupun salah. Seperti juga model atau teori,

definisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan

fenomena yang didefinisikan dan mengevaluasinya.

Para pakar mempunyai caranya sendiri dalam merumuskan

komunikasi. Adapun beberapa definisi yang dipaparkan oleh para

pakar, sebagai berikut:

a. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner

Komunikasi adalah proses transmisi informasi, gagasan, emosi,

keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan

simbol-simbol, kata-kata, gambar, grafis, angka, dan sebagainya.

b. Theodore M. Newcomb

Setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu transmisi

informasi terdiri dari rangsangan yang diskriminatif, dari sumber

kepada penerima.

c. Carl I. Hovland

Proses yang memungkinkan seseorang (komunikator)

menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal)


(33)

d. Gerald R. Miller

Komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu

pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk

mempengaruhi perilaku penerima.

e. Everett M. Rogers

Proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu

penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah

laku mereka.

f. Raymond S. Ross

Komunikasi adalah proses menyortir, memilih, dan pengiriman

simbol-simbol sedemikian rupa agar membantu pendengar

membangkitkan respons/ makna dari pemikiran yang serupa

dengan yang dimaksudkan oleh komunikator.

g. Harold Lasswell

(Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah

dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut) Who Says What

In Which Channel To Whom With What Effect? Atau Siapa

Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan


(34)

Berdasarkan pendapat para pakar tersebut memberikan

gambaran bahwa komunikasi memiliki unsur-unsur di dalamnya,

yaitu:

1. Komunikator (communicator, source, sender, speaker)

2. Pesan (message)

3. Media (channel)

4. Komunikan (receiver, audience, listener)

5. Efek (effect)

Dari kelima unsur komunikasi tersebut peneliti mengambil

kesimpulan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran

pesan/makna dari komunikator kepada komunikan dengan maksud

untuk mempengaruhi komunikan.

2.1.2.3Komunikasi Suatu Proses Simbolik

Susanne K. Langer mengatakan bahwa salah satu kebutuhan pokok

manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang.

Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk

sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang

meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang

maknanya disepakati bersama.

Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda

dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun


(35)

fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang

direpresentasikannya. Representasi ini ditandai dengan kemiripan.

Berbeda dengan lambang dan ikon, indeks adalah tanda yang

secara alamiah merepresentasikan objek lainnya. Istilah lain yang sering

digunakan untuk indeks adalah sinyal (signal), yang dalam bahasa

sehari-hari disebut juga gejala (symptom). Indeks muncul berdasarkan hubungan

antara sebab dan akibat yang punya kedekatan eksistensi. Lambang

mempunyai beberapa sifat seperti berikut:

a. Lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang

Apa saja bisa dijadikan lambang. Bergantung pada kesepakatan

bersama. Kata-kata (lisan atau tulisan), isyarat anggota tubuh,

makanan dan cara makan, tempat tinggal, jabatan (pekerjaan),

olahraga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat (artefak),

angka, bunyi, waktu, dan sebagainya. Semua itu bisa menjadi

lambang karena lambang hadir dimana-dimana dan tidak pernah

berhenti.

b.Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna; kitalah yang memberi makna

Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada

lambang itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa

kata-kata mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya


(36)

telah disetujui bersama) terhadap kata-kata itu. Persoalan akan

timbul bila para peserta komunikasi tidak memberi makna yang

sama pada suatu kata.

c. Lambang itu bervariasi

Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari suatu

tempat ke tempat lain, dan dari suatu konteks waktu ke konteks

waktu lain. Begitu juga makna yang diberikan kepada lambang

tersebut. (Mulyana, 2001:83-95)

2.1.3 Proses Komunikasi

Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian

pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain

(komunikan). Pikiran bisa merupakan, gagasan, informasi, opini,

pertanyaan, dan lain-lain. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian,

keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan

sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Proses komunikasi terbagi menjadi

dua, yakni secara primer dan secara sekunder. (Effendy, 2009:11)

2.1.3.1Proses Komunikasi Secara Primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian

pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan

menggunakan lambang (symbol) sebagai media.

Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi

adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya


(37)

perasaan komunikator kepada komunikan. Bahwa bahasa yang

paling banyak dipergunakan dalam komunikasi adalah jelas karena

hanya bahasalah yang mampu “menerjemahkan” pikiran seseorang

kepada orang lain. Apakah itu berbentuk ide, informasi atau opini,

baik mengenai hal yang kongkret maupun yang abstrak, bukan saja

tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang, melainkan

juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang.

Dengan perkataan lain, pesan (message) yang disampaikan

oleh komunikator kepada komunikan terdiri atas isi (the content) dan

lambang (symbol). (Effendy, 2009:11-12)

2.1.3.2Proses Komunikasi Secara Sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses

penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan

menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai

lambang (symbol) sebagai media pertama.

Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam

melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya

berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat,

telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi

adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.

Proses komunikasi sekunder ini merupakan sambungan dari


(38)

Penegasan tentang unsur-unsur dalam proses komunikasi itu adalah

sebagai berikut:

a. Sender : Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang.

b. Encoding : Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang.

c. Message : Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.

d. Media : Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan.

e. Decoding : Penyandian, yaitu proses di mana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

f. Receiver : Komunikan yang menerima pesan dari komunikator. g. Response : Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan

setelah diterpa pesan.

h. Feedback : Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator.

i. Noise : Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. (Effendy, 2009:16-19)

2.1.4 Pesan Verbal dan Nonverbal dalam Komunikasi 2.1.4.1Pesan Verbal

Simbol atau pesan adalah semua jenis simbol yang

menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dianggap sebagai suatu


(39)

dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut,

yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan

pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan

kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual

kita. (Mulyana, 2001:237-238)

Dalam buku Psikologi Komunikasi, Jalaluddin Rakhmat

mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal. Definisi

fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa

diartikan sebagai “alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan

gagasan” (socially shared means for expressing ideas). Karena,

bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara

anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya.

Definisi formal menyatakan bahasa sebagai semua kalimat

yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa

(all the conceivable sentences that could be generated according to

the rules of its grammar). Setiap bahasa mempunyai peraturan

bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya

memberikan arti. (Rakhmat, 2005:269)

Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau

menjuluki orang, objek, dan peristiwa. Setiap orang punya nama

untuk identifikasi sosial. Orang juga dapat menamai apa saja,


(40)

Sedangkan menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga

fungsi, yaitu penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan

transmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha

mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut

namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi

menekankan berbagi gagasan dan emosi. Dengan bahasa seseorang

dapat memberikan informasi kepada orang lain ataupun menerima

informasi dari orang lain, inilah yang disebut transmisi informasi.

(Mulyana, 2001: 242-243)

Dilihat dari definisi serta fungsi dari bahasa tersebut, dapat

disimpulkan bahwa bahasa akan bermakna, jika adanya kesepakatan

di antara pelaku komunikasi untuk memahami bahasa dengan makna

yang sama. Tanpa adanya kesepakatan, maka

pemahaman/pemaknaan terhadap suatu bahasa tidak akan terjadi.

2.1.4.2Pesan Nonverbal

Larry A. Samovar dan Richard E. Porter seperti yang dikutip

Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,

mengungkapkan :

“Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain.” (Mulyana, 2001:308)


(41)

Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal

mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:

1. Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal.

2. Perilaku nonverbal dapat memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal.

3. Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi berdiri sendiri.

4. Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.

5. Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal. (Mulyana, 2001:314)

Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mengklasifikasikan pesan

nonverbal menjadi dua kategori, yang pertama yakni, perilaku yang terdiri

dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah,

kontak mata, sentuhan, bau-bauan, dan parabahasa. Klasifikasi kedua

yakni, ruang, waktu, dan diam. (Mulyana, 2001:317)

2.1.5 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa 2.1.5.1Definisi Komunikasi Massa

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi

yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah)

atau elektronik (radio, televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga

atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah

besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen.


(42)

Menurut Gerbner (1967), komunikasi massa adalah produksi

dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus

pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam

masyarakat industri.

Sedangkan Freidsow menyebutkan bahwa, komunikasi massa

dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan

bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari

berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu

atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai

anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan

komunikasi agar supaya komunikasi itu dapat mencapai pada saat

yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat.

Definisi paling sederhana dirumuskan oleh Bittner (1980:10),

yaitu komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui

media massa pada sejumlah besar orang. (Rakhmat, 2005:188)

Dari definisi-definisi di atas, dapat diartikan komunikasi

massa adalah komunikasi yang disampaikan kepada khalayak luas

melalui media cetak ataupun elektronik sehingga pesan yang sama


(43)

2.1.5.2Karakteristik Komunikasi Massa

Karakteristik komunikasi massa menurut Ardianto Elvinaro, dkk.

dalam buku Komunikasi Massa Suatu Pengantar, yaitu :

1. Komunikator terlambangkan. Komunikasi massa itu melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks.

2. Pesan bersifat umum. Komunikasi massa bersifat terbuka dimana komunikasi massa ditujukan untuk semua orang dan ditujukan untuk sekelompok orang tertentu.

3. Komunikannya anonim dan heterogen. Komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Serta heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. 4. Media massa menimbulkan keserempakan. Effendy

mengartikan keserempakan media massa itu sebagai keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah.

5. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan. Komunikator tidak harus selalu kenal dengan komunikannya, begitupun sebaliknya. Hal terpenting adalah bagaimana seorang komunikator menyusun pesan secara sistematis, baik, sesuai dengan jenis medianya, agar komunikannya bisa memahami isi pesan tersebut.

6. Komunikasi massa bersifat satu arah. Karena komunikasinya melalui media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog.

7. Stimulasi Alat Indera Terbatas. Stimulasi alat indera bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, khalayak hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman audutif, khalayak hanya mendengar. Sedangkan pada media televisi dan film, kita menggunakan indera penglihatan dan pendengaran.

8. Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan tidak langsung (Indirect). Komunikator dalam komunikasi massa tidak dapat dengan segera mengetahui bagaimana reaksi khalayak terhadap pesan yang disampaikannya. Tanggapan khalayak disini bisa diterima lewat telepon, e-mail, atau surat pembaca (indirect). Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan telepon, menulis surat pembaca, mengirim e-mail itu


(44)

menunjukkan bahwa feedback komunikasi massa bersifat tertunda (delayed). (Ardianto, 2007: 7)

2.1.5.3Fungsi Komunikasi Massa

Fungsi komunikasi massa menurut Dominick dalam Komunikasi

Massa Suatu Pengantar karangan Ardianto, Elvinaro. dkk. Terdiri dari:

1. Surveillance (Pengawasaan)

2. Interpretation (Penafsiran) 3. Linkage (Pertalian)

4. Transmission of Values (Penyebaran nilai-nilai)

5. Entertainment (Hiburan)

(Ardianto, 2007: 14).

1. Surveillance (pengawasaan), fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: fungsi pengawasan peringatan terjadi

ketika media massa menginformasikan tentang suatu ancaman; fungsi

pengawasan instrumental adalah penyampaian atau penyebaran

informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak

dalam kehidupan sehari-hari.

2. Interpretation (penafsiran), media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian

penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan

peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. Tujuan penafsiran

media ingin mengajak para pembaca, pemirsa atau pendengar untuk

memperluas wawasan.

3. Linkage (pertalian) media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian)


(45)

4. Transmission of Values (penyebaran nilai-nilai) fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini disebut juga socialization (sosialisasi).

Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu mengadopsi

perilaku dan nilali kelompok. media massa yang mewakili gambaran

masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca. Media massa

memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang

mereka harapkan. Dengan kata lain, Media mewakili kita dengan

model peran yang kita amati dan harapan untuk menirunya.

5. Entertainment (hiburan) fungsi menghibur dari media massa tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak,

karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan

hiburan di televisi atau mendengarkan hiburan di radio dapat membuat

pikiran khalayak segar kembali.

2.1.6 Tinjauan Tentang Film 2.1.6.1Pengertian Film

Film secara sederhana didefinisikan sebagai gambar yang

bergerak. Inilah yang membedakan film dengan foto meski

dua-duanya dihasilkan dari kamera. Bahkan dengan teknologi yang ada,

sekarang ini sudah terdapat kamera yang bisa memotret gambar

ataupun merekam sebuah video.

Walaupun secara mendasar film itu berbentuk foto juga.


(46)

merupakan ratusan foto yang dijajarkan sedemikian rupa hingga

terlihat bergerak.

Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat

layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga

termasuk yang disiarkan di TV (Cangara, 2002:135). Gamble

(1986:235) berpendapat, film adalah sebuah rangkaian gambar statis

yang direpresentasikan dihadapan mata secara berturut-turut dalam

kecepatan yang tinggi.

Film sebagai salah satu media komunikasi massa, memiliki

pengertian yaitu merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan

saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan

secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh

(terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. (Tan

dan Wright, dalam Ardianto & Erdinaya, 2005:3)

2.1.6.2Jenis-jenis Film

1. Film Cerita (Story Film)

Film cerita adalah film yang mengandung suatu cerita, yaitu yang lazim

dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya

yang tenar. Sebagai cerita harus mengandung unsur-unsur yang dapat

menyentuh rasa manusia.

2. Film Berita (Newsreel)

Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang


(47)

kepada publik harus mengandung nilai berita (newsvalue).

Dibandingkan dengan media lainnya seperti surat kabar dan radio, sifat

newsfact dalam film berita tidak ada. Sebab suatu berita harus aktual,

sedang berita yang dihidangkan oleh film berita tidak pernah aktual.

3. Film Dokumenter (Documentary Film)

John Grierson seorang sutradara Inggris mendefinisikan film

dokumenter sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative

treatment of actuality)”. Titik berat dari film dokumenter adalah fakta

atau peristiwa yang terjadi.

4. Film Kartun (Cartoon Film)

Timbulnya gagasan untuk menciptakan film kartun ini adalah dari para

seniman pelukis. Ditemukannya cinematography telah menimbulkan

gagasan kepada mereka untuk menghidupkan gambar-gambar yang

mereka lukis. Setiap lukisan memerlukan ketelitian, satu per satu

dilukis dengan seksama kemudian di potret satu per satu pula. Tokoh

dalam film kartun dapat dibuat menjadi ajaib, dapat terbang,

menghilang, menjadi besar, menjadi kecil secara tiba-tiba, dan lain-lain.

(Effendy, 2003:211-216)

2.1.6.3Simbol-simbol Verbal dan Nonverbal Dalam Film

Simbol atau pesan adalah semua jenis simbol yang menggunakan

satu kata atau lebih. Bahasa dianggap sebagai suatu sistem kode verbal,


(48)

mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami

suatu komunitas.

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,

perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang

merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. (Mulyana,

2001:237-238)

Simbol dalam pesan nonverbal ini secara sederhana diartikan

sebagai semua isyarat yang bukan kata-kata. Larry A. Samovar dan

Richard E. Porter mengklasifikasikan pesan nonverbal menjadi dua

kategori, yang pertama yakni, perilaku yang terdiri dari penampilan dan

pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan,

bau-bauan, dan parabahasa. Klasifikasi kedua yakni, ruang, waktu, dan

diam.

Dalam sebuah film, simbol atau pesan verbal disampaikan melalui

dialog-dialog yang terdapat dalam film tersebut. Sedangkan simbol atau

pesan nonverbal disampaikan dengan penampilan serta pakaian yang

digunakan oleh karakter dalam film, diperkuat dengan gesture tubuh

seperti ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, juga parabahasa. Selain itu

juga di tunjang oleh setting tempat yang dipergunakan disetiap

sequence-nya. Setiap simbol verbal maupun nonverbal dalam film tentunya

mempunyai makna yang ingin disampaikan oleh pembuat film. Oleh


(49)

salah satu yang akan diteliti maknanya melalui analisis semiotik Roland

Barthes.

2.1.6.4Perfilman di Indonesia

Perfilman di Indonesia diawali dengan berdirinya bioskop pertama

di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang Batavia yang

sekarang berubah nama menjadi Jakarta. Saat itu Indonesia masih

merupakan wilayah jajahan Belanda dengan nama Hindia Belanda.

Bioskop pertama berdiri dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan

berbagai film bisu. Film bisu adalah sebuah film yang tidak terdapat dialog

di dalamnya. Para pemain film bisu harus bisa berakting mewakili dialog

yang disampaikan melalui ekspresi muka serta gerak tubuh serta di ikuti

oleh musik yang menjadi latar dari adegan dalam film.

Film pertama yang dibuat di Indonesia adalah film bisu berjudul

Lely van Java yang dibuat di Bandung tahun 1926 oleh David. Lalu

disusul oleh film berjudul Eulis Atjih produksi Krueger Corporation pada

tahun 1927/1928. Sampai tahun 1930 film yang disajikan masih

merupakan film bisu dan yang mengusahakannya adalah orang-orang

Belanda dan Cina. Film bicara pertama berjudul Terang Boelan yang

dibintangi Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis

Indonesia Saerun. (Effendy, 2003:217-218)

Perfilman Indonesia sempat merosot ditahun 1990-an mulai


(50)

Petualangan Sherina yang di sutradarai oleh Riri Riza. Petualangan

Sherina merupakan film musikal untuk semua umur yang berhasil

membuat antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih, ini menandakan

kesuksesan film secara komersil.

Selain Petualangan Sherina, film yang berhasil sukses pada saat itu

yaitu Ada Apa Dengan Cinta atau lebih dikenal dengan AADC dan

Jelangkung. AADC yang diperankan oleh Dian Sastro dan Nicholas

Saputra ini mampu menyedot perhatian masyarakat terutama para remaja

yang senang dimanjakan oleh cerita percintaan remaja yang diusung

AADC. Sedangkan Jelangkung yang disutradarai oleh Rizal Mantovani

dan Jose Poernomo ini mengusung tema tentang ritual mistis jelangkung

yang terkenal dengan tagline-nya “Datang tak dijemput, pulang tak

diantar”. Jelangkung menjadi film horor Indonesia pertama yang sukses di

masa itu.1

Sejak saat itu banyak bermunculan film-film lain dengan tema

serupa seperti Joshua Oh Joshua (musical), Eiffel I’m in Love (percintaan

remaja), serta Tusuk Jelangkung (horor). Namun banyak juga film yang

mengangkat tema sosial, pendidikan, olah raga, kritik sosial, bahkan

nasionalisme seperti film yang berjudul “Tanah Surga, Katanya” yang

akan diteliti oleh peneliti.

1

http://ruangkata-katavie.blogspot.com/2011/06/sejarah-film-horor-indonesia.html (Rabu, 14 November 2012 Pukul 21.32)


(51)

2.1.6.5Film Sebagai Media Massa

Denis McQuail dalam buku Teori Komunikasi Massa Suatu

Pengantar menyatakan bahwa film berperan sebagai sarana baru yang

digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan

terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan

sajian teknis lainnya kepada masyarakat. Kehadiran film sebagian

merupakan respon terhadap penemuan waktu luang di luar jam kerja dan

jawaban atas kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan

sehat bagi seluruh anggota keluarga.

Pemanfaatan film yaitu sebagai alat propaganda dalam kaitannya

dengan upaya pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Selain itu

pemanfaatan film dalam hal pendidikan, ini didasari oleh pertimbangan

bahwa film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan

sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan

mengantar pesan secara unik. (McQuail, Edisi Kedua:13-14)

Seperti yang disampaikan Effendy dalam bukunya Ilmu, Teori dan

Filsafat Komunikasi yang menyatakan, bahwa film adalah medium

komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi

juga untuk penerangan dan pendidikan. (Effendy, 2003:209)

Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa film adalah salah satu

dari media massa yang menyampaikan pesannya dengan unik hingga dapat

menarik perhatian khalayak luas dan mancakup semua usia dan berbagai


(52)

2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1 Representasi

Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi

mendefinisikan representasi sebagai proses merekam ide, pengetahuan,

atau pesan dalam beberapa cara fisik. Dapat didefinisikan lebih tepat

sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambung, melukiskan,

meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan

dalam beberapa bentuk fisik.

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama,

representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita

masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan

sesuatu yang abstrak. Kedua, bahasa yang berperan penting dalam

proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada di dalam kepala

harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya dapat

menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda dari

simbol-simbol tertentu. Representasi dalam media menunjuk pada

bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat

tertentu yang ditampilkan dalam sebuah pemberitaan. (Wibowo,

2011:122)

Menurut David Croteau dan William Hoynes, representasi

merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi

hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Representasi bekerja pada


(53)

Menurut Nuraini Julianti seperti yang dikutip oleh Wibowo,

menyebutkan bahwa representasi berubah-ubah akibat makna yang juga

berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negosiasi dalam pemaknaan.

Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi

merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan

kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu

manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi

merupakan suatu bentuk usaha konstruksi. Karena,

pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru juga merupakan

hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia. (Wibowo,

2011:123-124)

2.2.2 Kajian Nasionalisme

Nasionalisme adalah sebuah tuntutan politik. Setiap bangsa berhak

menuntut kedaulatan atas negeri tempatnya tinggal selama berabad-abad

berdasarkan alasan-alasan budaya, ekonomi, dan kemasyarakatan. Asas

nasionalisme tercantum dalam Pancasila sebagai sila ketiga, yaitu persatuan.

Pancasila merupakan ideologi Negara dan telah ditetapkan sebagai sumber

hukum oleh MPR dan juga senantiasa dipandang sebagai paradigma budaya

dalam melaksanakan semboyan Negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Bung

Karno dalam pidatonya di Universitas Indonesia (7 Mei 1953) mengatakan,


(54)

mencerminkan perikemanusiaan.2 Berikut beberapa definisi nasionalisme

menurut para ahli, sebagai berikut:

a. Joseph Ernest Renan : nasionalisme adalah sekelompok individu yang ingin bersatu dengan individu-individu lain dengan dorongan kemauan dan kebutuhan psikis.

b. Otto Bauer : nasionalisme adalah kesatuan perasaan dan perangai yang timbul karena persamaan nasib.

c. Hans Kohn : nasionalisme adalah kesetiaan tertinggi yang diberikan individu kepada Negara dan bangsa.

d. Louis Snyder : nasionalisme adalah hasil dari faktor-faktor politis, ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu taraf tertentu dalam sejarah.3

Nasionalisme adalah suatu situasi kejiwaan dimana kesetiaan

seseorang secara total diabdikan kepada Negara dan bangsa atas nama

sebuah bangsa. Nasionalisme diwujudkan dalam sebuah identitas politik

atau kepentingan bersama dalam bentuk sebuah wadah yang disebut bangsa

(nation) dengan demikian bangsa (nation) merupakan suatu badan (wadah)

yang didalamnya terhimpun orang-orang yang memiliki persamaan

keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki seperti ras, etnis, agama,

bahasa dan budaya.4

Dengan pendekatan geopolitik, yang mempertautkan antara orang

dan tempat, Soekarno menyimpulkan bahwa kehendak untuk bersatu dan

2

http://indonesian.irib.ir/cakrawala-indonesia/-/asset_publisher/eKa6/content/id/5099765 (Jumat, 14 Desember 2012 22.27)

3

http://www.scribd.com/doc/39241879/Sejarah-Nasionalisme-Indonesia (Selasa, 4 Desember 2012 pukul 23.03)

4

http://www.scribd.com/doc/39241879/Sejarah-Nasionalisme-Indonesia (Selasa, 4 Desember 2012 pukul 23.03)


(55)

persatuan perangai karena kesamaan nasib saja tidak cukup sebagai dasar

pembentuk suatu nationale staat, melainkan perlu dihubungkan dengan

kesatuan geopolitik berskala luas. (Latif, 2011:333)

Menurut Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History

and Politics mengemukakan empat unsur nasionalisme, yakni hasrat untuk

mencapai kesatuan, hasrat untuk mencapai kemerdekaan, hasrat untuk

mencapai keaslian, dan hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. 5

Nasionalisme menurut Soekarno merupakan kekuatan bagi

bangsa-bangsa yang terjajah yang kelak akan membuka masa gemilang bagi bangsa-bangsa

tersebut. Bagi Soekarno kecintaan kepada bangsa dan tanah air merupakan

alat yang utama bagi perjuangan bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan.

Nasionalisme Indonesia yang dilandasi oleh Pancasila, yakni nasionalisme

yang berprikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi

kerakyatan atau demokrasi. Dimana nasionalisme yang dimaksud bung

Karno semua tercantum dalam sila-sila Pancasila.

Ciri-ciri orang yang memiliki rasa nasionalisme didalam dirinya,

yakni:

1. Memiliki rasa cinta pada tanah air.

2. Bangga menjadi bangsa dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.

3. Menempatkan kepentingan bersama daripada kepentingan sendiri dan golongan atau kelompoknya.

4. Mengakui dan menghargai sepenuhnya keanekaragaman pada diri bangsa Indonesia.

5. Bersedia mempertahankan dan memajukan Negara dan nama baik bangsanya.

5

http://bangsaku-indonesiaku.blogspot.com/2008/10/pengertian-nasionalisme.html (Rabu, 5 Desember 2012 pukul 09.40)


(56)

6. Senantiasa membangun rasa persaudaraan, solidaritas, kedamaian, dan anti kekerasan antar kelompok masyarakat dengan semangat persatuan.

7. Menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah sebagai bagian dari bangsa lain untuk menciptakan hubungan kerja sama yang saling menguntungkan.6

Nasionalisme ini menjadikan kesetiaan kepada bangsa dan

negaranya sebagai harga mati. Film Tanah Surga, Katanya pun

menampilkan realitas kehidupan di perbatasan Malaysia dengan Indonesia,

dimana rasa nasionalisme sebuah individu diuji dengan realitas kehidupan

yang berat untuk mempertahankan hidupnya. Sehingga peneliti ingin

meneliti lebih mendalam lagi pesan nasionalisme yang terkandung dalam

film tersebut dengan menggunakan metode semiotika Roland Barthes.

2.2.3 Konstruksi Realitas dalam Media Massa

Istilah konstruksi realitas mulai dikenal sejak diperkenalkan oleh

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) lewat bukunya yang berjudul

The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of

Knowledge”. Dalam buku tersebut mereka menggambarkan proses sosial

melalui tindakan dan interaksinya dimana individu secara intens

menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara

subjektif. Berger dan Luckmann menggambarkan bahwa realitas sosial

dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Pekerjaan media massa pada hakekatnya adalah bagaimana

mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media

6

http://blognanchoco.blogspot.com/2007/05/semangat-nasionalisme-dan-patriotisme.html (Rabu, 20 Februari 2013 pukul 09.29)


(57)

mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya, dengan bahasa

sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat

merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa

yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya,

media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi

makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikan.

(Wibowo, 2011:37)

Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang

dikonstruksi oleh media. Menurut Gebner dan kawan-kawan, dunia simbol

media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata

lain media merupakan konstruksi realitas. Segala bentuk realitas sosial

termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger

dan Luckmann mengatakan :

“Institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif sama”. (Wibowo, 2011:126)

Menurut penjelasan Berger dan Luckmann diatas, segala yang ada

dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu

sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi tersebut didefinisikan secara

subjektif dari masing-masing anggota masyarakat yang kemudian

ditegaskan secara berulang-ulang dan kemudian menjadi suatu nilai objektif


(58)

Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah pengetahuan

yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti

konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi

sosial.

Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan

suatu kumpulan individu. Denis McQuail mengatakan bahwa komunikator

dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi.

Pesan tersebut seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak.

Pesan mempunyai nilai tukar dan acuan simbolik yang mengandung nilai

kegunaan.

Menurut McQuail bahwa komunikator dalam komunikasi massa

bersifat organisasional. Pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi

massa cenderung memiliki nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan

kepentingan media. (Wibowo, 2011:127)

2.2.4 Semiotika

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis

struktural atau semiotika. Seperti yang dikemukakan oleh Van Zoest (Van

Zoest, 1993:109), film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda

(signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64). (dalam

Sobur, 2009:128,15)

Kajian semiotika dibedakan menjadi dua jenis, yakni semiotika

komunikasi dan semiotika signifikasi (lihat antara lain Eco, 1979:8-9; Hoed,


(59)

yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam

komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran

komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) (Jakobson, 1963; Hoed,

2001:140 dalam Sobur, 2009:15). Kedua, memberikan tekanan pada teori

tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha

mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama

manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya

hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal

(things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan

dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa

objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek

itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari

tanda (Barthes, 1988: 179; Kurniawan, 2001: 53). (Sobur, 2009: 15).

Dengan semiotika, kita lantas berurusan dengan tanda. Semiotika,

seperti kata Lechte (2001:191), adalah teori tentang tanda dan penandaan.

Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua

bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan

berdasarkan pada sign system (code) ‘sistem tanda’ (Segers, 2000:4).


(60)

Semiotik berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang

tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, cirri-ciri, dan bentuk suatu

tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya. (Sobur, 2009:17)

Film Tanah Surga, Katanya dibangun dengan tanda. Tanda di sini

terdiri dari bahasa verbal dan nonverbal yang dipergunakan dalam film,

sehingga pada akhirnya mampu menjawab pertanyaan seputar

”Bagaimanakah Representasi Nasionalisme dalam Film Tanah Surga,


(1)

Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi sebagai berikut :

Tabel 2. 2

Perbandingan antara Konotasi dan Denotasi

KONOTASI DENOTASI

Pemakaian figur Petanda

Kesimpulan

Member kesan tentang makna Dunia mitos

Literatur Penanda Jelas

Menjabarkan

Dunia keberadaan/eksistensi

Sumber: Arthur Asa Berger. 2000a. Media Analysis Techniques. Edisi Kedua. Penerjemeh Setio Budi HH. Yogyakarta: Penerbitan Univ. Atma Jaya, hal. 15 dalam (Sobur, 2009: 264).

Tanda-tanda denotatif dan konotatif yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah adegan-adegan yang membawakan pesan-pesan nasionalisme yang terpilih melalui karakter, sikap dan perilaku, bahasa tubuh, gaya berbicara, kata-kata yang dipergunakan dalam berdialog, oleh tokoh dalam film Tanah Surga, Katanya. Dari hasil analisis inilah diharapkan dapat ditemukan makna pesan yang hendak disampaikan oleh sang sutradara film, yakni Herwin Novianto.


(2)

Representasi Nasionalisme

Film Sebagai Media

Analisis Semiotika Roland Barthes

Nasionalisme dalam film

Tanah Surga, Katanya

signifier signified

Makna Konotasi Mitos/Ideologi Makna

Denotasi

Dari paparan di atas, dapat dibuat bagan pemikiran guna mempermudah pemahaman kerangka pemikiran dalam penelitian ini, sebagai berikut:

Sumber: Peneliti, 2012

Gambar 2. 2 Kerangka Pemikiran

Konstruksi Realitas dalam Media Massa


(3)

3.2.6.2Waktu Penelitian

Tabel 3. 3 Waktu Penelitian

No. Kegiatan

Bulan

Oktober November Desember Januari Februari

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1. Pengajuan Judul Skripsi

2. Persetujuan Judul 3. Persetujuan Pembimbing 4. Penyusunan Bab I, II, III

Bimbingan 5. Seminar UP 6. Revisi Seminar UP 7. Pengumpulan Data 8. Penyusunan Bab IV

Bimbingan 9. Penyusunan Bab V

Bimbingan

10. Penyusunan Keseluruhan Bab Bimbingan

11. Pendaftaran Sidang 12. Sidang Skripsi Sumber: Peneliti, 2012


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Nurul Popi Indriani

Nama Panggilan : Popi

Tempat, Tanggal Lahir : Magelang, 13 Agustus 1990

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Nomor Telepon : 0878 2255 5488

: 0896 4694 0421

Status : Belum menikah

Nama Ayah : Yuliantono

Pekerjaan : TNI-AD

Nama Ibu : Tutuk Ratin Purwati

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl Turangga Barat III No 1 RT 008

RW 008 Kec. Lengkong Kel. Lingkar Selatan Bandung

Email : klilingkota@yahoo.com


(5)

Riwayat Pendidikan dan Pelatihan

Jenjang Pendidikan Formal :

Periode Sekolah / Institusi / Universitas Jurusan

1995 - 1996 TK Kartika Chandra Jakarta Timur -

1996 - 2000 SDN 03 Pagi Jakarta Timur -

2000 - 2002 SDN Ledok 07 Salatiga Jawa Tengah -

2002 - 2005 SMPN 103 Jakarta Timur -

2005 - 2008 SMAN 88 Jakarta Timur IPS

2008 - 2013 UNIKOM Bandung S1 Komunikasi

(Public Relations)

Pengalaman Organisasi :

Tahun Organisasi Jabatan

2007 - 2008 OSIS SMA Wakil Ketua OSIS

Pelatihan dan Seminar :

No. Tahun Deskripsi Keterangan

1. 2009 Mentoring Agama Bersertifikat

2. 2009 “Pelatihan Melejitkan Potensi dan Pengembangan Diri”

Personal Development and Self Empowerment

Bersertifikat

3. 2010 Pelatihan Public Speaking Bersertifikat

4. 2012 Table Manner Course Bersertifikat

5. 2010 Study Tour Ke Media Massa “Trans TV” Bersertifikat 6. 2012 Seminar Club Of Public Speaking Bersertifikat 7. 2011 Road to Success of a Movie Maker Bersertifikat 8. 2012 Bedah Buku “Handbook of Public Relations” dan Bersertifikat


(6)

Seminar “How To Be A Good Writer”

9. 2010 Fun with Office 2010 Bersertifikat

10. 2010 Konseptual Fotografi dan Lighting Indoor Bersertifikat

Riwayat Pengalaman Kerja :

No. Tahun Deskripsi Keterangan

1. 2011 Redemption Center at ANEFOR

(dalam Pameran Komputer Merk HP) - 2. 2012 Praktek Kerja Lapangan di bagian Humas divisi

Corporate Secretary di Bank BJB -

Keahlian :

No. Deskripsi

1. Berbahasa Indonesia danInggris (passive)

2. Operasionalisasi Microsoft Office (Word, Exel, Power Point, Publisher, Front Page)

3. Operasionalisasi Adobe Photoshop, Adobe Illustrator 4. Operasionalisasi Internet (Blogging, Searching, Forum, dll)

Bandung, Februari 2013 Peneliti

Nurul Popi Indriani NIM. 41808154


Dokumen yang terkait

REPRESENTASI MASYARAKAT PERBATASAN INDONESIA–MALAYSIA DALAM FILM (Analisis Semiotik Pada Film ‘Tanah Surga, Katanya…’)

0 4 26

KONSTRUKSI NASIONALISME PADA FILM TANAH SURGA KATANYA (Analisis Semiotik untuk Pembelajaran PPKn) Konstruksi Nasionalisme Pada Film Tanah Surga Katanya (Analisis Semiotik untuk Pembelajaran PPKn).

0 3 20

PENDAHULUAN Konstruksi Nasionalisme Pada Film Tanah Surga Katanya (Analisis Semiotik untuk Pembelajaran PPKn).

0 2 6

KONSTRUKSI NASIONALISME PADA FILM TANAH SURGA KATANYA (Analisis Semiotik untuk Pembelajaran PPKn) Konstruksi Nasionalisme Pada Film Tanah Surga Katanya (Analisis Semiotik untuk Pembelajaran PPKn).

0 2 12

REPRESENTASI NASIONALISME DAN PATRIOTISME Representasi Nasionalisme dan Patriotisme dalam Film Tanah Surga Katanya.

0 2 15

PENDAHULUAN Representasi Nasionalisme dan Patriotisme dalam Film Tanah Surga Katanya.

0 3 41

REPRESENTASI NASIONALISME DAN PATRIOTISME Representasi Nasionalisme dan Patriotisme dalam Film Tanah Surga Katanya.

0 1 16

Nilai-nilai nasionalisme dalam film tanah surga… katanya (Analisis Semiotika Roland Barthes) - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 24

Nilai-nilai nasionalisme dalam film tanah surga… katanya (Analisis Semiotika Roland Barthes) - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 42

MAKNA NASIONALISME MASYARAKAT PERBATASAN DALAM FILM TANAH SURGA KATANYA (Analisis Semiotik pada FIlm "Tanah Surga Katanya" tentang Nasionalisme Masyarakat di Perbatasan) - UNS Institutional Repository

0 0 15