"Pertempuran" Zona Nyaman dengan Zona Kreatif.
”PERTEMPURAN” ANTARA ZONE NYAMAN DENGAN ZONE KREATIF
Oleh: GPB Suka Arjawa
Kerusuhan yang bernuansa SARA kembali terjadi di Indonesia, yang kali ini pecah di
Pulau Sumbawa. Beberapa media menyebutkan bahwa dua pihak yang saling bertikai itu
adalah etnik setempat dengan pendatang etnik Bali. Seperti yang pernah terjadi di tempat
lain di Indonesia, pola kerusuhan itu sama yakni membakar, menghancurkan rumah,
menjarah dan sejenisnya. Khusus yang terjadi di Sumbawa, konflik antara dua pihak
telah pernah terjadi pada awal dekade delapanpuluhan. Hanya saja, pada waktu itu
informasi masih terkontrol rejim Orde Baru sehingga berita bisa lebih tersaring.
Akibatnya, dampak psikologis maupun sosial bisa lebih ditekan.
Tehadap konflik yang berulang ini ada pelajaran penting yang harus diperhatikan oleh
kedua pihak. Kalau dilihat dari dekade delapan puluhan, konflik berulang di Sumbawa
sesungguhnya telah mempunyai rentang waktu satu generasi, bahkan lebih. Tiga puluh
tahun boleh dikatakan sebagai rentang lebih dari satu generasi. Seharusnya dengan
waktu yang sekian lama itu, banyak pelajaran yang bisa ditanam agar tidak terjadi konflik
lagi. Pelajaran itu bisa berupa penanaman nilai yang mengandung kebersamaan,
membangun model pergaulan sosial, pembentukan norma-norma sosial dan hukum,
bahkan adat. Pada masyarakat yang mempunyai perbedaan ragam dari sisi suku maupun
struktur sosial lainnya, penanaman dan pembentukan nilai, norma, model sosial dan
budaya itulah yang mampu menekan konflik. Dalam masyarakat tradisional, pemimpin
tradisionil, tokoh masyarakat dan tokoh pemerintah mempunyai peran penting dalam
segala pembentukan ini. Menyatukan berbagai unsur-unsur sosial itu ke dalam
kehidupan dwi suku atau multi suku, memang sukar. Akan tetapi, kontinuitas dalam
rentang waktu 30 tahun memungkinkan bagi sebuah komunitas untuk melakukan
penanaman-penanamannya sehingga menciptakan pencampuran budaya.
Nilai mungkin sukar dimasukkan karena masing-masing suku mempunyai nilai sendiri.
Nilai yang berupa keyakinan-keyakinan positif bagi masyarakat, dan mempunyai
pengaruh kepada kehidupan dan lingkungan, bisa didapatkan secara turun-temurun.
Tetapi jangan lupa, lingkungan juga ikut berpengaruh. Faktor lingkungan inilah yang
mestinya dimanfaatkan. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya nilai dimana tanah di
pijak, disitu langit di junjung, sangat berpengaruh kepada budaya perantauan mereka.
Ketika tinggal di Bali, nilai ini bisa bersatu ke dalam nyama braya, (yang intinya adalah
persahabatan), dimana bisa dilihat kalau masyarakat Minang ikut mejenukan. Nilai-nilai
seperti ini akan mudah menjelma menjadi pola hubungan sosial yang baru, yang
mencegah konflik.
Atau pola hubungan sosial bisa rekeyasa, membentuk pola hubungan baru untuk
selanjutnya menjadi model bagi keselarasan sosial. Seorang pengusaha atau perusahan
secara tidak langsung mampu memberikan contoh pembentukan pola hubungan baru ini,
misalnya dengan merekrut karyawan dengan mengutamakan penduduk setempat dimana
perusahan itu berada. Inti dari pola ini adalah membangun keselarasan dengan
lingkungan sosial yang ada. Maka, seorang perantau yang sukses seharusnya juga
mempunyai pola demikian, semisal dengan memberikan sumbangan kepada masyarakat
lingkungan yang baru itu. Berbagai macam wujud sumbangan bisa dilakukan, seperti
memberikan sumbangan material, menyebarkan ilmu, keterampilan dan keprofesionalan
kepada lingkungan sekitar atau bahkan mencari pasangan (bagi yang masih muda) di
lingkungan sekitar.
Pembentukan pola hubungan sosial ini selanjutnya akan mampu membentuk normanorma baru, baik berupa norma tertulis maupun yang tidak tertulis. Norma ini dibentuk
oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah lama berlangsung. Dan kebiasaan pada akhirnya
menjadi adat. Jadi, kalau perusahan berdiri di sebuah daerah, sudah menjadi norma
mereka untuk mengutamakan warga sekitar sebagai karyawan. Kalau seorang perantau
suskes, sudah menjadi adatnya memberikan trnsfer ilmu dan keterampilan kepada
masyarakat sekitar. Pola seperti inilah yang akan memberikan rasa kesamaan dan
membantu menekan konflik.
Budaya memang melekat dalam sebuah komunitas. Tetapi, sebagai sebuah negara yang
multikultur (ini sudah sering kali diutarakan), ada resiko budaya bahwa ketika penganut
budaya ini ”bermigrasi” menuju lokasi budaya lain, maka budaya ”migran” itu harus
bersedia mengalah. Sekian persen dari kultur itu harus lentur dan menyesuikan dengan
apa yang ada pada budaya setempat. Contoh paling klasik dari fenomena ini adalah Pura
Ulun Danu, dimana kultur Budha (Cina) bercampur lekat dengan kultur Bali (Hindu).
Jika saja faktor keyakinan agama bisa seperti itu, maka keyakinan sosial secara teoritik
akan lebih mudah dilakukan.
Mungkin faktor inilah yang kurang berhasil ditanamkan di Sumbawa selama 30 tahun
terakhir ini sehingga menimbulkan konflik baru, setelah satu generasi sebelumnya terjadi
konflik yang sama. Langkah paling bagus untuk dilakukan, secara akademis adalah
dengan melakukan penelitian sosial ke wilayah konflik dengan tujuan untuk mengetahui
dan memahami persoalannya. Jika konflik yang sama berulang lagi setelah 30 tahun,
pasti ada sesuatu yang tidak beres di dalam hubungan sosial, dan itu terpendam selama
bertahun-tahun. Ketidakberesan inilah yang harus diketahui dan diungkapkan secara jujur
ke permukaan.
Satu hal yang menjadi penyakit sosial saat ini, adalah bahwa kecenderungan masyarakat
yang tidak mampu melepaskan diri dari zone kenyamanan itu menjadi zone kreatif.
Dengan zone nyaman ini anggota masyarakat merasa telah mapan, tidak lagi melihat
faktor-faktor lain sebagai peluang sehingga lemah akan tantangan. Padahal perubahan
sosial di jaman sekarang luar biasa derasnya. Kemajuan teknologi dan manajemen telah
membuat berbagai perubahan sosial tersebut terjadi. Dalam konteks migrasi sosial, zone
nyaman ini dimiliki oleh penduduk setempat, penduduk asli, yang biasanya berperilaku
statis dan menikmati kenyamanan tersebut. Sebaliknya, para perantau sangat akrab
dengan zone kreatif. Untuk mempertahankan hidup, para perantau aktif mengeksplorasi
kemampuan dirinya untuk menjadi sukses.
Konflik terjadi antara mereka yang merasa nyaman (padahal sedang krisis) dengan
mereka yang kreatif (padahal secara material nyaman). Inilah yang terjadi antara orang-
orang pendatang dengan masyarakat setempat (asli). Orang harus sadar bahwa di dalam
dunia yang sedang berubah, zone nyaman itu tidak pernah ada. Selalu diperlukan orangorang kreatif agar tidak cemburu melihat mereka yang sukses. Salah besar kalau
kemudian kecemburuan itu diwujdukan dengan kerusuhan, apalagi membakar dan
menjarah (sudah membakar, menjarah lagi!). Ini tidak saja berpotensi terjadi di
Sumbawa, juga di Bali!*****
Penulis adalah staf pengajar sosiologi konflik, FISIP, Universitas Udayana.
Oleh: GPB Suka Arjawa
Kerusuhan yang bernuansa SARA kembali terjadi di Indonesia, yang kali ini pecah di
Pulau Sumbawa. Beberapa media menyebutkan bahwa dua pihak yang saling bertikai itu
adalah etnik setempat dengan pendatang etnik Bali. Seperti yang pernah terjadi di tempat
lain di Indonesia, pola kerusuhan itu sama yakni membakar, menghancurkan rumah,
menjarah dan sejenisnya. Khusus yang terjadi di Sumbawa, konflik antara dua pihak
telah pernah terjadi pada awal dekade delapanpuluhan. Hanya saja, pada waktu itu
informasi masih terkontrol rejim Orde Baru sehingga berita bisa lebih tersaring.
Akibatnya, dampak psikologis maupun sosial bisa lebih ditekan.
Tehadap konflik yang berulang ini ada pelajaran penting yang harus diperhatikan oleh
kedua pihak. Kalau dilihat dari dekade delapan puluhan, konflik berulang di Sumbawa
sesungguhnya telah mempunyai rentang waktu satu generasi, bahkan lebih. Tiga puluh
tahun boleh dikatakan sebagai rentang lebih dari satu generasi. Seharusnya dengan
waktu yang sekian lama itu, banyak pelajaran yang bisa ditanam agar tidak terjadi konflik
lagi. Pelajaran itu bisa berupa penanaman nilai yang mengandung kebersamaan,
membangun model pergaulan sosial, pembentukan norma-norma sosial dan hukum,
bahkan adat. Pada masyarakat yang mempunyai perbedaan ragam dari sisi suku maupun
struktur sosial lainnya, penanaman dan pembentukan nilai, norma, model sosial dan
budaya itulah yang mampu menekan konflik. Dalam masyarakat tradisional, pemimpin
tradisionil, tokoh masyarakat dan tokoh pemerintah mempunyai peran penting dalam
segala pembentukan ini. Menyatukan berbagai unsur-unsur sosial itu ke dalam
kehidupan dwi suku atau multi suku, memang sukar. Akan tetapi, kontinuitas dalam
rentang waktu 30 tahun memungkinkan bagi sebuah komunitas untuk melakukan
penanaman-penanamannya sehingga menciptakan pencampuran budaya.
Nilai mungkin sukar dimasukkan karena masing-masing suku mempunyai nilai sendiri.
Nilai yang berupa keyakinan-keyakinan positif bagi masyarakat, dan mempunyai
pengaruh kepada kehidupan dan lingkungan, bisa didapatkan secara turun-temurun.
Tetapi jangan lupa, lingkungan juga ikut berpengaruh. Faktor lingkungan inilah yang
mestinya dimanfaatkan. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya nilai dimana tanah di
pijak, disitu langit di junjung, sangat berpengaruh kepada budaya perantauan mereka.
Ketika tinggal di Bali, nilai ini bisa bersatu ke dalam nyama braya, (yang intinya adalah
persahabatan), dimana bisa dilihat kalau masyarakat Minang ikut mejenukan. Nilai-nilai
seperti ini akan mudah menjelma menjadi pola hubungan sosial yang baru, yang
mencegah konflik.
Atau pola hubungan sosial bisa rekeyasa, membentuk pola hubungan baru untuk
selanjutnya menjadi model bagi keselarasan sosial. Seorang pengusaha atau perusahan
secara tidak langsung mampu memberikan contoh pembentukan pola hubungan baru ini,
misalnya dengan merekrut karyawan dengan mengutamakan penduduk setempat dimana
perusahan itu berada. Inti dari pola ini adalah membangun keselarasan dengan
lingkungan sosial yang ada. Maka, seorang perantau yang sukses seharusnya juga
mempunyai pola demikian, semisal dengan memberikan sumbangan kepada masyarakat
lingkungan yang baru itu. Berbagai macam wujud sumbangan bisa dilakukan, seperti
memberikan sumbangan material, menyebarkan ilmu, keterampilan dan keprofesionalan
kepada lingkungan sekitar atau bahkan mencari pasangan (bagi yang masih muda) di
lingkungan sekitar.
Pembentukan pola hubungan sosial ini selanjutnya akan mampu membentuk normanorma baru, baik berupa norma tertulis maupun yang tidak tertulis. Norma ini dibentuk
oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah lama berlangsung. Dan kebiasaan pada akhirnya
menjadi adat. Jadi, kalau perusahan berdiri di sebuah daerah, sudah menjadi norma
mereka untuk mengutamakan warga sekitar sebagai karyawan. Kalau seorang perantau
suskes, sudah menjadi adatnya memberikan trnsfer ilmu dan keterampilan kepada
masyarakat sekitar. Pola seperti inilah yang akan memberikan rasa kesamaan dan
membantu menekan konflik.
Budaya memang melekat dalam sebuah komunitas. Tetapi, sebagai sebuah negara yang
multikultur (ini sudah sering kali diutarakan), ada resiko budaya bahwa ketika penganut
budaya ini ”bermigrasi” menuju lokasi budaya lain, maka budaya ”migran” itu harus
bersedia mengalah. Sekian persen dari kultur itu harus lentur dan menyesuikan dengan
apa yang ada pada budaya setempat. Contoh paling klasik dari fenomena ini adalah Pura
Ulun Danu, dimana kultur Budha (Cina) bercampur lekat dengan kultur Bali (Hindu).
Jika saja faktor keyakinan agama bisa seperti itu, maka keyakinan sosial secara teoritik
akan lebih mudah dilakukan.
Mungkin faktor inilah yang kurang berhasil ditanamkan di Sumbawa selama 30 tahun
terakhir ini sehingga menimbulkan konflik baru, setelah satu generasi sebelumnya terjadi
konflik yang sama. Langkah paling bagus untuk dilakukan, secara akademis adalah
dengan melakukan penelitian sosial ke wilayah konflik dengan tujuan untuk mengetahui
dan memahami persoalannya. Jika konflik yang sama berulang lagi setelah 30 tahun,
pasti ada sesuatu yang tidak beres di dalam hubungan sosial, dan itu terpendam selama
bertahun-tahun. Ketidakberesan inilah yang harus diketahui dan diungkapkan secara jujur
ke permukaan.
Satu hal yang menjadi penyakit sosial saat ini, adalah bahwa kecenderungan masyarakat
yang tidak mampu melepaskan diri dari zone kenyamanan itu menjadi zone kreatif.
Dengan zone nyaman ini anggota masyarakat merasa telah mapan, tidak lagi melihat
faktor-faktor lain sebagai peluang sehingga lemah akan tantangan. Padahal perubahan
sosial di jaman sekarang luar biasa derasnya. Kemajuan teknologi dan manajemen telah
membuat berbagai perubahan sosial tersebut terjadi. Dalam konteks migrasi sosial, zone
nyaman ini dimiliki oleh penduduk setempat, penduduk asli, yang biasanya berperilaku
statis dan menikmati kenyamanan tersebut. Sebaliknya, para perantau sangat akrab
dengan zone kreatif. Untuk mempertahankan hidup, para perantau aktif mengeksplorasi
kemampuan dirinya untuk menjadi sukses.
Konflik terjadi antara mereka yang merasa nyaman (padahal sedang krisis) dengan
mereka yang kreatif (padahal secara material nyaman). Inilah yang terjadi antara orang-
orang pendatang dengan masyarakat setempat (asli). Orang harus sadar bahwa di dalam
dunia yang sedang berubah, zone nyaman itu tidak pernah ada. Selalu diperlukan orangorang kreatif agar tidak cemburu melihat mereka yang sukses. Salah besar kalau
kemudian kecemburuan itu diwujdukan dengan kerusuhan, apalagi membakar dan
menjarah (sudah membakar, menjarah lagi!). Ini tidak saja berpotensi terjadi di
Sumbawa, juga di Bali!*****
Penulis adalah staf pengajar sosiologi konflik, FISIP, Universitas Udayana.