Biografi I Gusti Ketut Kaler Sebuah Biografi.

1

Bidang Unggulan : Budaya dan Pariwisata
Kode/ Bidang Ilmu : 618/ Sejarah

LAPORAN PENELITIAN
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

I GUSTI KETUT KALER :
SEBUAH BIOGRAFI INTELEKTUAL

Dr. Drs. I Putu Gede Suwitha, S.U.(0027075508)
Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. (0029076009)
Dra. A.A. Ayu Rai Wahyuni, M.Si. (0017056208)
Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo, S.S. M.Hum (0026098002)
Drs. I Wayan Tagel Eddy, M.S. (0002065808)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2015


2

3

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. ….

i

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. ….

1

1.1 LATAR BELAKANG .............................................................................. ….

1

1.2 RUMUSAN MASALAH ......................................................................... …


2

1.3 KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................... …

2

1.4 TUJUAN KEGIATAN ............................................................................. …

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. …

5

BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. …

6

BAB IV I GUSTI KETUT KALER DAN PENGABDIANNYA…………….. 7

4.1 MASA KECIL I GUSTI KETUT KALER………………………………… 7
4.2 PENDIDIKAN …………………………………………………………….. 9
4.3 MASA BERUMAH TANGGA ………………………………………….. 11
4.4 MASA TUA ………………………………………………………………. 13
BAB V MASA PENGABDIAN I GUSTI KETUT KALER ………………… 16
5.1 SEBAGAI PENDIDIK ……………………………………………….. … 16
5.2 SEBAGAI PEJUANG ………………………………………………….. 17
5.3 SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ………... 23
BAB VI BEBERAPA HASIL KARYA I GUSTI KETUT KALER ………... 31
6.1 HASIL KARYA DALAM BIDANG AGAMA ……………………….… 31
6.2 HASIL KARYA DALAM BIDANG KEBUDAYAAN ………………… 36
KESIMPULAN …………………………………………………………….…. 45
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... ….. 46

4

I GUSTI KETUT KALER :
SEBUAH BIOGRAFI INTELEKTUAL
Oleh :
I Putu Gede Suwitha

A.A. Ayu Rai Wahyuni
Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo
I Wayan Tagel Edy

Abstrak
Biografi ini akan mengangkat kiprah kehidupan tokoh I Gusti Ketut Kaler,
terutama dalam bidang intelektual. Tujuan penulisan biografi ini terutama untuk
mengetahui pemikirannya terutama dalam bidang adat, budaya, dan agama.
Sebagai seorang tokoh yang pemikirannya pantas dipakai dan dikembangkan,
maka kemunculan I Gusti Ketut Kaler tampak tidak dapat dilepaskan dari hubungannya
dengan lingkungan tradisi, budaya tempat ia tinggal dan dibesarkan. Sang tokoh
dilahirkan dalam lingkungan keluarga bangsawan Bali (Tri Wangsa) di Abiansemal
Badung. Maka terasa bahwa lingkungan keluarga (Jeroan), tradisi kebangsawanan,
kebudayaan Hindu mempengaruhi kehidupan yang penuh dengan suasana keagamaan,
sopan santun, etika dalam lingkungan puri.
Pergulatan pemikiran I Gusti Ketut Kaler melahirkan karya-karya yang
cemerlang yang bertemakan adat, budaya dan agama. Karya-karya yang membuat
namanya dikenal luas dalam lingkungan masyarakat Bali. Penelitian ini mempunyai
tujuan dan target untuk dapat melestarikan pemikiran-pemikiran sang tokoh di dalam
jangka panjang untuk mengembangkan dalam kerangka kemajuan adat, agama, dan

budaya. Apa yang dikenal dengan semboyan melestarikan semboyan Ajeg Bali dalam
kerangka memajukan budaya dan agama.
Untuk mengetahui dan memahami pemikiran sang tokoh lebih dalam dipakai
metode sejarah lisan dengan mewawancarai keluarga sang tokoh, teman-teman dan
karya-karya yang pernah dihasilkan sang tokoh.

5

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Menulis

biografi

seorang

tokoh

sejak


dahulu

dirasakan

penting

manfaatnya.Dalam lingkup nasional, seorang yang berjasa terhadap bangsa dan
negara atau seorang tokoh yang berjasa dalam bidang tertentu sudah banyak ditulis
biografinya. Demikian juga seorang tokoh penting dalam tingkat lokal peranannya
hampir sama, hanya saja dalam lingkup yang lebih kecil (mikro).
Dalam hubungan ini tim jurusan sejarah memprakarsai untuk menulis
biografi seorang tokoh lokal yang berjasa dalam memperkuat dan memajukan adat
istiadat dan agama Hindu di Bali dalam kerangka memperkuat budaya, adat dan
ajeg Bali yang sekarang mendapat momentum yang sangat tepat. Tokoh yang
dimaksud adalah I Gusti Ketut Kaler, seorang tokoh yang pada masa hidupnya
didorong oleh rasa cinta kebudayaan, khususnya adat dan agama Hindu, sangat
berjasa dalam memperkuat akar-akar budaya.Fondasi budaya Bali ketika itu belum
ajeg, belum mengakar, karena Indonesia khususnya Bali baru menyelesaikan
revolusi fisik yang berakhir setelah tahun 1950 an.

Orang arif berkata bahwa kita belajar dari sejarah dan belajar dari
pengalaman, karena pengalaman itu adalah guru kehidupan.Menulis biografi
seorang tokoh karena tokoh tersebut menarik dan mempunyai suatu atau pelbagai
perbuatan yang patut diketengahkan. Peran I Gusti Ketut Kaler, baik sebagai
cendikiawan maupun pemikir dengan gagasan-gagasannya yang cemerlang tentang
budaya dan adat, sehingga menarik untuk ditulis. Dalam kenyataannya peran
seseorang dalam suatu jaman tampak dalam proses sejarah. Bahkan tidak jarang
sangat menentukan perkembangan yang terjadi dalam suatu jaman. Oleh karena itu
tidak mengherankan seorang pemikir Barat – Carlyle berpendapat bahwa : sejarah
dunia merupakan serangkaian riwayat hidup orang-orang besar. Pandangan tersebut
tentu sangat bersifat determinisme dan dengan sendirinya mengandung kebenaran.
Munculnya seorang tokoh di tengah-tengah masyarakat tidak bisa
dipisahkan dengan situasi di masyarakat pada jamannya.Kemunculan seorang I
Gusti Kaler telah dikenal luas, baik dalam lingkungan masyarakat umum di Bali,
maupun di kalangan birokrasi pada waktu itu, dimana sanga tokoh aktif mengabdi
pada jawatan agama propinsi Bali. Di kalangan tokoh agama, adat, dan budaya

6

tokoh ini dikenal berjuang untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan : mau

dibawa kemana adat, budaya dan agama.

1.2 Rumusan Masalah

Biografi yang ideal menurut Kuntowijoyo (2003), hendaknya mampu
mengangkat aspek kejiwaan seorang tokoh. Dengan kata lain bukan menekankan
“makna subyektif”, seperti tokoh menafsirkan sendiri suatu kejadian. Biografi yang
beraspek sejarah kejiwaan harusnya mengangkat soal-soal “dibawah sadar” yang
merupakan penjelasan dari luar yang dipikirkan oleh sejarawan, bukan oleh
tokoh.Untuk menulis biografi model ini yang harus mendapat perhatian adalah
penjelasan pembentukan pribadi, interaksi dengan lingkungan dan perkembangaan
kejiwaan (Kuntowijoyo, 2003). Berdasarkan latar belakang kondisi yang telah
digambarkan diatas, dapat diajukan beberapa permasalahan sebagai berikut :
a.

Bagaimana kehidupan I Gusti Ketut Kaler pada waktu kecil

b.

Pengaruh lingkungna sosial budaya yang mana yang membentuk atau

mempengaruhi pikirannya.

c.

Bagaimana pendidikannya dan pengaruh guru-gurunya

d.

Bagaimana konsep pemikirannya dalam pengembangan budaya, adat, dan
agama.

e.

Demikian pula mau dibawa kemana adat, budaya, dan agama Hindu.

1.3 Kerangka Pemikiran

Biografi I Gusti Ketut Kaler merupakan biografi sejarah intelektual
meminjam konsep Kuntowijoyo (2003).Penulisan sejarah intelektual berangkat dari
suatu pemahaman bahwa semua perbuatan manusia selalu dipengaruhi oleh pikiran,

karena dalam kesehariannya mereka berdampingan dengan ide. Hal ini dapat dilihat
dari

ide

atau

pemikiran-pemikiran

yang

menyertai

perjuangan

dalam

memasyarakatkan adat dan budaya Bali terutama dalam bukunya : Butir-butir
tercecer tentang adat Bali. Menurut Nyoman Wijaya (2012 : 9-10). Biografi
intelektual seorang tokoh harus melacak pemikiran dalam tiga hal yaitu :

pemikiran-pemikiran tokoh yang berpengaruh pada kejadian sejarah : konteks

7

sejarah tempat pemikiran tokoh tersebut muncul, tumbuh dan berkembang (sejarah
di permukaan) dan pengaruh pemikirannya pada masyarakat.
Pemikiran pertama yang berpengaruh, pada kejadian sejarah mengarah pada
genesis pemikiran I Gusti Ketut Kaler, yang tentu mendapat pengaruh dari
pemikiran-pemikiran sebelumnya. Demikian juga konsistensi pemikirannya.
Evaluasi pemikirannya dengan melihat tahapan-tahapan pemikiran, perubahan,
varian pemikirannya.Hal ini mengacu seperti yang dikatakan Wijaya kita lihat pada
teks-teks yang ada.
Pemikiran kedua atau pendekatan dengan melihat pada konteks sejarah,
konteks budaya.Apakah pemikiran I Gusti Ketut Kaler dilator belakangi oleh
peristiwa sejarah, baik peristiwa yang besar maupun peristiwa yang kecil namun
cukup berpengaruh.Apakah pemikiran mempunyai latar belakang politik, budaya
atau budaya seperti gelombang triwangsa.Selanjutnya menurut Nyoman Wijaya,
menyasar pada hubungan antara pemikiran dengan masyarakat.
Dalam penulisan biografi, tidak cukup hanya proses menerangkan, tetapi
juga mengerti sang tokoh. Menerangkan adalah proses menjelaskan dari luar
sebagai proses sebab akibat di luar kesadarannya. Mengerti sang tokoh merupakan
“proses dari dalam” berdasarkan “makna subyektif”, sebagaimana ia menafsirkan
hidupnya. Jadi penulisan biografi bukan hanya berusaha memaknai, tetapi juga
mendalami kepribadiannya seperti yang dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992).

1.4 Tujuan Kegiatan

Didasari atas permasalahan diatas, tujuan umum penelitian adalah untuk
mengkaji pemikiran I Gusti Ketut Kaler dalam bidang adat, budaya, dan agama.
Dalam hal ini akan dilihat adanya kesinambungan pemikiran beliau dalam kerangka
: teks, konteks dan pengaruh pemikirannya pada masyarakat. Tujuan khusus yang
hendak dicapai dalam penulisan biografi adalah ingin mengungkapkan secara
indept tentang biografi I Gusti Ketut Kaler sebagai tokoh pemikir dalam bidang

adat, budaya, dan agama, terutama akan lebih berpusat pada hal-hal sebagai berikut
a.

Melestarikan pemikiran I Gusti Ketut Kaler terutama dalam bidang adat,
budaya, dan agama.

b.

Kemudian mengembangkan pemikirannya dalam konteks kekinian untuk
mengembangkan budaya, adat, dan agama kedepan.

8

c.

Kisah hidup dan perjuangan sang tokoh akan berguna bagi generasi penerus
dan masyarakat ilmiah di Bali.

d.

Akhirnya melalui penulisan biografi akan dapat melengkapi kesejarahan
dalam konteks masyarakat Bali.

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Untuk menyelesaikan jenis penulisan sejarah yang berupa autobiografi dan
biografi dalam arti yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia seperti aspekaspek ekonomi, budaya, dan politik digunakan teori yang dikembangkan oleh
Sartono Kartodirdjo yang berjudul Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia : Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia, 1982. Teori ini sangat relevan

dengan fenomena biografi komprehensif yang akan dikerjakan.
Pendekatan biografi juga dianjurkan oleh Taufik Abdullah. Penulis biografi
dapat mempersoalkan seberapa jauh ia dapat mengetahui sepenuhnya kehidupan
seseorang yang paling fundamental, bagaimana penulis biografi mengungkap dan
mengerti pergumulan aktor sejarah dengan lingkungan yang mengintari. Masalah
ini akan menjadi lebih sulit bagi penulis biografi yang harus berhadapan dengan
tokoh “besar”. Makin dianggap “besar” seorang tokoh, makin sulit pula untuk
mengetahui tokoh tersebut. (Taufik Abdullah, Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Jakarta : LP3ES, hlm. 1-19.).

Pendekatan psikologi yang oleh Dilthey dikenal dengan pendekatan
verstehen

juga digunakan. Dengan metode

verstehen,

peneliti

berusaha

menempatkan diri pada subjek yang diteliti seakan-akan peneliti terlibat dalam
proses kejiwaan yang dialami aktor sejarah, dan sekaligus berada di luarnya.
Dengan mempertemukan dimensi luar (mengetahui) dan dimensi dalam
(“menghayati”).Verstehen adalah kemampuan untuk memasuki alam pikiran actor
sejarah pada kelampauan. Lihat Sartono Kartodirdjo dengan judul tulisan “Max
Weber dan Dilthey” dalam Lembaran Sedjarah No. 6 : UGM, 1970 ; R.F. Beerling
dalam Filsafat Dewasa Ini I (Djakarta : Balai Pustaka, 1950); dan Taufik Abdullah
dalam Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,
1978.
Di samping hal diatas, kerangka konseptual juga diambil dari buku-buku
terbitan Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan yang sudah mengerjakan biografi tokoh-tokoh nasional dan tokohtokoh lokal.

10

BAB III
METODE PENELITIAN

Untuk menunjang analisis dipergunakan metode sejarah, baik dalam
pengumpulan sumber (data) maupun dalam analisis. Dengan studi komprehensif,
dengan metode autobiografi yang diedisikan akan dapat diketahui lingkungan
sosial-budaya seorang actor sejarah, jiwa zamannya (zeitgeist-nya). Misalnya,
bagaimana

figure

seorang

aktor

sejarah

mengenai

perkembangan

segi

intelektualnya, bagaimana waktu kecilnya, pengaruh lingkungan sosial-kultural,
pengaruh pendidikan gurunya, konsep pemikirannya, dan sebagainya.Dalam hal ini,
pendekatan antropologi dan sosiologi mengenai pengaruh lingkungan sangat
membantu sebagai kerangka konseptual.
Seseorang yang berjasa atau seorang pahlawan pada hakikatnya adalah
manusia biasa.Ia tidak lepas dari lingkungan dan zaman di mana ia dilahirkan,
hidup, dan mengembangkan segala aktivitasnya. Untuk itu, untuk mendapat
gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut, perlu kita coba menghayati
dan memahami manusia dan masyarakat tempat hidupnya.Untuk itu, untuk
mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut, perlu kita coba
menghayati dan memahami manusia masyarakat tempat hidupnya.Untuk itu, untuk
mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut perlu kita coba
menghayati dan memahami manusia dan tempat hidupnya. Untuk itu, konsepkonsep psikologi dengan pendekatan verstehen akan sangat membantu. Dari segi
kejiwaan, mengapa seorang aktor sejarah mempunyai ide atau pemikiran seperti itu
akan sangat membantu analisis.
Penelitian ini juga menerapkan apa yang disebut dengan life history, dalam
hal ini ingin mengetahui kehidupan seorang tokoh I Gusti Ketut Kaler. Data yang
diperoleh akan dilengkapi dengan data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis.
Gagasan dan pemikiran luhur serta berbobot akan diperoleh untuk mengetahui
mengapa perlu didirikan universitas di Bali, dan menuju kemana Universitas
Udayana dalam menghadapi tantangan masa depan.

11

BAB IV
I GUSTI KETUT KALER DAN PENGABDIANNYA

4.1 Masa Kecil I Gusti Ketut Kaler
I Gusti Ketut Kaler adalah seorang budayawan, pemerhati masalah adat istiadat
Bali sekaligus dikenal sebagai tokoh politik PNI (Partai Nasional Indonesia) pada
jamannya.I Gusti Ketut Kaler dikenal juga sebagai seorang pejuang pada masa revolusi
fisik tahun 1945 sampai dengan 1950. Ia lahir di Banjar Tengah, Desa Blahkiuh,
Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, pada tanggal 1 Agustus 1923 dari
pasangan I Gusti Ketut Gendjor dan I Gusti Ayu Made Onggar. Berdasarkan kalender
Bali, kelahiran I Gusti Ketut Kaler jatuh pada hari Rabu (Budha) Wage dengan wuku
langkir.Berdasarkan kepercayaan yang berkembang pada masyarakat Bali, orang yang
lahir, pada masa itu dipercayai mempunyai watak satria wibawa, berlaku ramah dalam
pergaulan dan memiliki watak yang keras. Kaler adalah putra kelima dan anak laki-laki
satu-satunya dari enam bersaudara yaitu : I Gusti Ayu Putu Raka, I Gusti Ayu Made
Ngurah, I Gusti Ayu Nyoman Rai, I Gusti Ayu Nyoman Muklik, I Gusti Ketut Kaler,,
dan I Gusti Ayu Cemeng.
Apabila dilihat dari silsilah keluarga, I Gusti Ketut Kaler adalah keturunan
Arya Kepakisan yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Nama Kaler sendiri mulai
digunakan pada masa Dalem Sagening, Raja Klungkung.Salah satu dari Patih Raja
Klungkung adalah I Gusti Kaler Pranama, yang menurut cerita Puri yang didiaminya
terletak di sebelah Utara (Ler) dari kerajaan.Kemudian berlanjut pada masa Kerajaan
Mengwi dimana keturunan I Gusti Ketut Kaler Pranama di kerajaan ini juga menempati
Puri yang berada di sebelah Utara dari kerajaan.

12

Dari gambaran mengenai silsilah I Gusti Ketut Kaler dapat disimpulkan bahwa
Kaler berasal dari keluarga bangsawan sebagai keturunan Ksatria.Keturunan atau
golongan Ksatria pada masyarakat Bali mempunyai kedudukan yang cukup tinggi pada
masyarakat.Mengenai tingkatan atau status pada masyarakat yang di Bali dikenal
sebagai sistem kasta sebenarnya sudah ada sejak jaman sebelum Kerajaan
Majapahit.Akan tetapi ada perbedaan yang menyolok dalam pengkastaan seseorang
antara jaman sebelum Majapahit dan sesudahnya.
Sistem kekerabatan yang berlaku di masyarakat Bali adalah sistem
paternalistik,

yakni

sistem

kekerabatan

yang dilihat dari sistem

keturunan

Ayah.Berlakunya sistem ini dapat dilihat dari sistem hak waris, dan penerus keturunan
hanya pada anak laki-laki.Apabila terjadi perkawinan yang eksogami (campuran),
wanita dari kasta yang lebih tinggi kawin dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah
maka kasta dari pihak istri disesuaikan dengan kasta pihak suami.Namun apabila istri
memiliki kasta yang lebih rendah dibandingkan suaminya maka haknya disesuaikan
dengan kasta suaminya.
Desa Blahkiuh tempat Kaler dilahirkan dan disebarkan adalah sebuah desa
yang berhawa sejuk dan bertanah subur yang cocok untuk tanaman perkebunan seperti
cengkeh, kopi, coklat, vanili, dan areal persawahan. Wilayah Desa Blahkiuh di sebelah
Utara dibatasi oleh Desa Sangeh, batas sebelah Timur Desa Bongkasa, batas sebelah
Selatan Desa Abiansemal, dan batas sebelah Barat Sungai Ayunan.
Orang Tua I Gusti Ketut Kaler adalah seorang petani yang mempunyai lahan
yang cukup luas.Selain sebagai petani ayahnya adalah Kelian Desa Blahkiuh yang
cukup disegani masyarakat. Sejak kecil Kaler dikenal sebagai anak yang selalu ingin
tahu, setiap ada pertemuan-pertemuan adat baik itu di rumah orang tuanya maupun di
wantilan desa ia selalu ingin tahu apa yang dibicarakan pada pertemuan tersebut.

13

Kaler dikenal sebagai remaja yang energik, senang berolah raga seperti olah
raga atletik dan sepak bola. Menurut I Gusti Putu Oka, salah seorang teman
sepermainannya dulu, ia dan Kaler selalu menempati posisi penyerang depan. Selain
sebagai pemain Kaler juga menjadi wasit dalam pertandingan sepak bola.Hobi lainnya
adalah memancing yang sangat digemarinya sejak kecil hingga tua. Kesenangan
memancing ini kadang kala digunakannya untuk mencari inspirasi untuk menulis,
kesenangan ini sudah mulai dilakukan semenjak ia lulus Sekolah Dasar.
Dalam menulis ia sering menggunakan nama samara “Arya Utara Wungsu”
yang mempunyai arti : Arya berarti dari golongan Ksatria, Utara sama artinya dengan
Kaler, dan Wungsu mempunyai arti bungsu.

4.2 Pendidikan
Pada usia delapan tahun tepatnya tahun 1931, I Gusti Ketut Kaler mulai
mengecap pendidikan formal di Sekolah Desa, walaupun sebelumnya ayahnya telah
berusaha untuk memasukkannya ke HIS (Holland Inlandshe School) di Denpasar.
Sebagai anak seorang Kelian Desa tidak memungkinkannya untuk masuk ke sekolah
tersebut.
Setelah lulus dari Sekolah Desa tahun 1934, ia melanjutkan ke Vervolg School
dan tamat pada tahun 1939. Pelajaran yang diajarkan di Vervolg School diantaranya
bahasa Melayu, menulis latin, bahasa Bali dan berhitung. Berbarengan dengan
pendidikannya di sekolah formal, kaler juga mengenyam pendidikan non formal, yakni
belajar mengenai kebudayaan dan masalah adat istiadat pada masyarakat Bali.Ia belajar
ilmu tersebut kepada I Gusti Agung Putu Mayun, seorang Punggawa di Abiansemal.
Selain Kaler, yang belajar kepada I Gusti Agung Putu Mayun pada saat itu
adalah I Gusti Putu Oka dan Ida Bagus Mayun yang keduanya adalah teman

14

sepermainan. I Gusti Agung Putu Mayun mengajarkan kepada mereka mengenai
kebudayaan dan adat istiadat Bali yang bersumber dari lontar-lontar.Pelajaran pertama
dimulai dengan bagaimana membaca lontar yang kemudian dilanjutkan mengenai
pemahaman mengenai isi lontar tersebut. Proses belajar mengajar ini dilaksanakan di
sebuah padepokan yang dikenal dengan Padepokan Dukuh.
I Gusti Agung Putu Mayun dikenal sebagai seorang guru yang berdisiplin
tinggi, murid-muridnya diharuskan datang tepat waktu dan tidak bolah lalai dengan
tugas yang ia berikan. Lontar-lontar yang dipelajari antara lain, lontar Bharata Yudha
dan lontar Sutasoma.
Diantara ketiga murid tersebut, Kaler merupakan murid yang paling tertarik
mengenai apa yang diajarkan oleh gurunya. Ketertarikannya mengenai masalah-masalah
budaya dan adat istiadat Bali dapat dilihat dari keingintahuannya yang besar mengenai
hal tersebut.Iaselalu membaca buku-buku yang memberikan informasi mengenai
budaya dan adat.
Dari gambaran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perhatian I Gusti
Ketut Kaler terhadap masalah-masalah kebudayaan dan adat istiadat Bali sudah tumbuh
sejak ia mulai mengenyam pendidikan formal maupun informal.
Tahun 1936 setelah ia tamat dari Vervolg School, Kaler bekerja sebagai juru
tulis di Desa Abiansemal sampai dengan tahun 1939. Setelah selama tiga tahun bekerja
sebagai juru tulis, ia mengikuti Kursus Guru Desa yang pada waktu itu bernama Cursus
Voor Volksondenr Wijzer . Kursus ini ditempuhnya selama dua tahun, tahun 1941 ia

mulai mengajar di Sekola Desa di Intaran. Kemudian pada tahun 1942 ia dipindahkan
ke Sekolah Desa Blahkiuh dan pada tahun 1943 ia dipindahkan kembali ke Sekolah
Desa Mengwitani. Mengenai bagaimana I Gusti Ketut Kaler mengajar, salah seorang
mantan muridnya di Sekolah Desa Blahkiuh menceritakan pengalamannya. I Gusti

15

Ketut Kaler adalah seorang guru yang berdisiplin tinggi, sebelum pelajaran dimulai, ia
sudah berada di dalam kelas, dan selalu memeriksa tugas-tugas yang Ia berikan. Bahkan
menurut mantan muridnya yang lain I Made Chandra, perhatian I Gusti Ketut Kaler
terhadap murid-muridnya tidak saja pada lingkungan sekolah melainkan juga ketika
diluar jam sekolah. Apabila ia melihat muridnya bermain diluar jam belajar ia akan
menegurnya.
Tahun 1944 ia mendapat tugas belajar pada kursus Rinzi Zakyu Yesusyo yaitu
kursus yang diselenggarakan pemerintah Jepang untu persamaan Sekolah Guru Belanda
(SGB). Setelah lulus dari kursus ini pada tahun 1945, I Gusti Ketut Kaler diangkat
menjadi guru Sihang Gakko di Singaraja.

4.3 Masa Berumah Tangga
Perkawinan adalah suatu hal yang wajar dan penting.Ajaran agama
menganjurkan adanya perkawinan sebagai sarana menciptakan generasi penerus. Pada
tanggal 10 Oktober 1943 di usia yang terbilang cukup untuk melangsungkan sebuah
perkawinan pada masa itu. Kaler mempersunting seorang gadis dari golongan kasta
biasa yang berasal dari desanya sendiri.Gadis tersebut bernama Ni Ketut Moning anak
seorang petani dari banjar Benah Kawan.Ni Ketut Moning pada masa itu dikenal
sebagai salah satu kembang desa yang menjadi rebutan pemuda desa Blahkiuh pada
masa itu.
Perkawinan tersebut sempat ditentang oleh orang tuanya yang mengharapkan
Kaler bisa mendapatkan gadis dengna derajat yang sama. Akan tetapi setelah Kaler
mendesak dan menunjukkan keinginannya yang besar untuk mempersunting gadis
pujaannya itu, membuat orang tuanya menyerah dan merestui perkawinan tersebut.

16

Perkawinan Kaler dengan Ni Ketut Moning menghasilkan Sembilan orang
putra putri yaitu : I Gusti Agung Ayu Sudartini, I Gusti Agung Ayu Sudarmi, I Gusti
Agung Ayu Sudarti, I Gusti Agung Sudarniti, I Gusti Agung Putu Sudarsana, I Gusti
Agung Made Sudarma, I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja, I Gusti Agung Ayu
Sudarningsih, dan I Gusti Agung Ayu Sudarmiati.
Kaler sebagai seorang kepala rumah tangga berusaha untuk selalu menjalankan
tugas dan kewajibannya dengan baik. Sebagai seorang bapak ia berusaha dekat dengan
anak-anaknya, diajaknya mereka untuk selalu terbuka dan membicarakan masalahmasalah yang mereka hadapi.
Profesi sebagai seorang guru pada masa itu adalah profesi yang cukup
terpandang di masyarakat.Kaler yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar menyadari
pentingnya pendidikan untuk putra putrinya. Kepada mereka, ia sebagai seorang bapak
menanamkan suatu pengertian bahwa pengalaman itu adalah guru yang terbaik, rasa
tanggungjawab pada diri sendiri, hidup sederhana seperti masyarakat umumnya,
berwatak jujur dan bersikap sopan pada siapapun.
I Gusti Ketut Kaler dimata anak-anaknya adalah figur yang mempunyaiwatak
yang keras dalam hal disiplin, ia selalu bertanggungjawab dalam setiap tugasnya. Watak
dan sikap seperti itulah yang masih diingat mengenai ayahnya. Watak dan sikap Kaler
yang keras dan disiplin ini tidak membuatnya menjadi kaku dan menciptakan jarak
antara ia dan keluarganya.
Keluarga ini dikenal sebagai keluarga yang sederhana dan harmonis.Hubungan
antara suami, istri dan anak-anak berjalan baik.Keluarga I Gusti Ketut Kaler yang
termasuk kedalam keluarga lingkungan puri tidak menjadikan keluarga ini menjadi
sombong, melainkan sebaliknya.Keluarga ini oleh lingkungannya dijadikan tempat
untuk bertanya dan belajar mengenai kehidupan.Anak-anak bermain dan belajar disini,

17

para orang tua belajar mengenai lontar dan membicarakan masalah-masalah adat dan
perkembangan desa mereka.
Satu hal lagi yang patut di teladani dari keluarga ini adalah tersedianya waktu
untuk berlibur bersama menikmati alam.Kaler yang mempunyai kesenangan
memancing ikan di sungai, seringkali mengajak keluarganya turut serta sekaligus untuk
bersantai dan menikmati makanan yang dibawa dari rumah.Di saat-saat seperti inilah
keakraban anggota keluarga terbina.
Perhatian dan rasa kasih sayang terhadap putra-putrinya tidak hanya
diperlihatkan sejak mereka masih anak-anak melainkan terus berlanjut pada saat mereka
remaja dan menikah.Ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi anak-anaknya.
Salah satu pendapatnya mengenai keluarga yang selalu diingat oleh orang-orang yang
pernah dekat dengannya, adalah bahwasannya rumah merupakan tempat yang tepat
untuk menerapkan ilmu yang didapat sepanjang ilmu tersebut dapat menciptakan
kebaikan bagi keluarga tersebut.Keberhasilan pemimpin keluarga adalah tercermin dari
keharmonisan keluarga tersebut.

4.4 Masa Tua
I Gusti Ketut Kaler memasuki masa pensiun pada tanggal 1 September 1979,
dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Bagian Urusan Bali pada Kantor Agama Daerah
Tingkat I Bali.
Ia dikenal sebagai pemerhati masalah kebudayan serta adat istiadat Bali tetap
eksis memberikan pandangan dan pemikirannya serta juga lontaran kritik terhadap
kebijakan pemerintah mengenai masalah tersebut di atas. Kritik-kritik dan
pandangannya mengenai kebijaksanaan pemerintah dapat dilihat dari tulisan-tulisannya
di surat kabar seperti harian Bali Post. Usahanya untuk melestarikan budaya dan adat

18

istiadat Bali diwujudkannya dengan tulisannya yang dimulai pada tahun 1979 di harian
Bali Post dengan judul “Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali”.
Kaler berharap dengan adanya tulisan ini umat Hindu dapat lebih memahami
mengenai adat dan budayanya.Pentingnya umat Hindu di Bali memahami budaya dan
adat istiadat adalah dikarenakan hubungan Agama Hindu di Bali dengan budaya
berkaitan erat dan sejalan. Butir-butir tercecer tentang adat Bali akan sangat berguna
untuk melestarikan adat kehidupan umat beragama Hindu khususnya umat Hindu di
Bali.
Kegiatan I Gusti Ketut Kaler di masa tuanya selain menulis adalah,
memberikan pembekalan khusus berupa materi persiapan mahasiswa kedokteran yang
akan terjun ke masyarakat. Pembekalan tersebut diberikan dengan tujuan untuk
mempersiapkan

mental

dokter

muda

dalam

menghadapi

masyarakat

yang

beragam.Dipercayanya Kaler untuk memberikan materi pembekalan tersebut, dengan
pertimbangan bahwa I Gusti Ketut Kaler merupakan orang yang tepat dan mengerti
benar permasalahan kemasyarakatan.
Memasuki tahun 1990-an, keaktifannya di luar rumah mulai berkurang.Hal itu
berkaitan dengan kondisi kesehatan fisiknya yang mulai menurun. Penyakit paruparunya mulai kambuh kembali, akan tetapi hal itu tidak menyurutkan minatnya untuk
terus menulis dan memposisikan dirinya sebagai orang yang terus konsisten terhadap
budaya dan adat istiadat Bali yang harus terus dipertahankan. Berdasarkan keterangan
dokter paru-paru yang merawatnya, kambuhnya penyakit paru-paru I Gusti Ketut KAler
adalah berkaitan dengan kebiasaan merokok yang tidak bisa ditinggalkannya.Selain itu
kebiasaannya begadang hingga larut malam tanpa mengindahkan kesehatan fisiknya.
I Gusti Ketut Kaler terus menuangkan ide-ide pemikirannya yang diketik
dengan mesin tik tuanya.Terkadang pada saat-saat tertentu Kaler mengundang para

19

wartawan untuk mendengarkan pandangan-pandangannya mengenai budaya dan adat
istiadat maupun kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah. Sampai pada akhirnya, Ia
tidak bisa lagi untuk mengetik sendiri naskahnya dan oleh pihak keluarganya
didatangkan asisten untuk mengetik. Salah seorang teman I Gusti Ketut Kaler yang
berprofesi wartawan yang sering diundangnya berdiskusi adalah I Gusti Ngurah
Supartha.Ia sering diajak mendiskusikan masalah-masalah yang sedang menghangat
terutama sekali masalah kebudayaan. Menurutnya Kaler adalah orang yang keras dan
konsisten dalam mempertahankan pendapatnya, misalnya pada tahun 1980-an muncul
kasus penggunaan kata-kata yang bersifat religi untuk kegunaan bidang komersial. Ia
beraksi dengan mengirimi surat kepada gubernur untuk memperhatikan hal tersebut.
Kemudian memasuki tahun 1995, penyakit yang dideritanya semakin parah dan
harus segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Sanglah.Setelah mendapatkan pemeriksaan
dan pengobatan dalam beberapa hari, kesehatannya tidak menunjukkan tanda-tanda
kesembuhan.Pada akhirnya pada tanggal 28 Desember 1995, I Gusti Ketut Kaler
menghembuskan nafas yang terakhir akibat penyakit paru-paru yang dideritanya.

20

BAB

V

MASA PENGABDIAN I GUSTI KETUT KALER

5.1 Sebagai Pendidik
Perlu diingatkan kembali bahwa dalam medan informal tidak selalu ada guru
formal, berbeda dengan medan formal, dan non formal, misalnya apabila pengajaran
dilakukan secara perorangan yang mungkin juga mengambil tempat di rumah pribadi
seperti esring dilakukan oleh I Gusti Ketut Kaler. Pengajaran semacam itu, apabila
dilihat dari fungsi dan peranan guru di atas, berlangsung dalam situasi seperti itu terjadi
proses belajar dan mengajar secara resmi. Karena itu kedudukan guru dalam hal ini
digolongkan sebagai guru formal. Harus dibedakan dari kedudukan guru non formal dan
informal lainnya, dimana proses belajar mengajar antar guru dan murid tidak terjadi
dalam situasi resmi seperti itu.
Dengan mengikuti pembatasan guru atas tiga pengertian di atas kiranya akan
lebih memudahkan dalam memahami peranan I Gusti Ketut Kaler dalam profesinya
sebagai guru atau pendidik. Tahun 1941, I Gusti Ketut Kaler lulus dari Kursus Guru
Desa yang waktu itu bernama Inlandsch Volkonsderwijzer. Karir mengajarnya yang
pertama setelah tamat dari kursus Guru Sekolah Desa adalah di sekolah desa.Kemudian
pada tahun 1942, I Gusti Ketut Kaler dipindahtugaskan mengajar di Sekolah Desa
Blahkiuh di kampung halamannya.
Tahun 1942, Jepang masuk ke Indonesia termasuk juga daerah Bali.Dengan
bergantinya penjajah di wilayah Indonesia dengan sendirinya merubah sistem yang telah
ada sebelumnya.Perubahan tersebut juga terjadi dalam sistem pendidikan. Guru-guru
yang berasal dari pendidikan diberhentikan atau ditugaskan untuk mengikuti persamaan
pendidkan guru model Jepang. Sekolah tersebut bernama Rinsi Zyokyu Yoseizyo.

21

Sebagai seorang guru desa pada saat itu, Kaler mendapat kesempatan untuk
mengikuti Sekolah Persamaan Guru tersebut. Mulai Maret 1944 sampai dengan Maret
1945, ia mengikuti Rinsi Zyokyu Yoseizyo (Sekolah Pendidikan Guru) di Singaraja.
Setelah tamat dari Sekolah Pendidikan Guru tersebut, ia diangkat menjadi guru
Sihanggakko di Singaraja. Sekolah Shihanggakko ini adalah Sekolah Guru B. selain

mendapat tugas mengajar di Sekolah Guru B ia juga ditugaskan di Djosi Sihanggakko
(Sekolah Guru A) di Singaraja.
Pada dasarnya tujuan dari penerapan sistem pendidikan Jepang di wilayah
jajahannya Asia Timur Raya adalah untuk menanamkan semangat Hiokko Itiu yaitu
menanamkan arti perang Asia Timur Raya dan kemenangan di pihak Nippon. Oleh
karena itu dalam sistem pendidikan Jepang disamping belajar ilmu pengetahuan juga
diajarkan latihan baris berbaris dan latihan perang, mengerjakan kerajinan tangan
seperti memintal benang, merajut peralatan dari sabut kelapa dan sebagainya.
Suatu hal yang dianggap penting pada waktu itu adalah para pelajar diwajibkan
ikut menanam kapas dan pohon jarak seperti juga yang dikerjakan oleh masyarakat
banyak, dengan tujuan untuk membantu kepentingan perang.

5.2 Sebagai Pejuang
Pengabdian I Gusti Ketut Kaler pada bangsanya tidak saja terbatas dalam
bidang pendidikan melainkan juga ia turut serta dalam usaha mengusir penjajah.
Keterlibatannya terutama sekali saat terjadinya revolusi fisik di Bali tahun 19451950.Keterlibatan Kaler dalam perlawanan terhadap penjajahan dapat dilihat dari
keaktifannya dalam Organisasi Kepemudaan yang mempunyai visi perlawanan terhadap
bangsa penjajah seperti Belanda dan Jepang.

22

Tanggal 19 Pebruari 1942, Jepang mendarat di Pulau Bali dengan perlawanan
yang tidak berarti dari tentara Hindia Belanda yang sudah berkuasa sebelumnya di
Pulau Bali. Pada awalnya kedatangan tentara Jepang di Pulau Bali membuat rakyat
ketakutan, karena umumnya tentara Jepang yang pertama kali mendarat di pulau Bali
berwajah seram, bengis dan kasar. Kemudian setelah tiga bulan mereka berada di Bali,
yaitu pada bulan Mei 1942, balatentara Jepang yang pertama kali mendarat di Bali
digantikan oleh Angkatan Laut Jepang. Serdadu-serdadu Angkatan Laut Jepang ini
mulai mendekati penduduk dengan cara beramah tamah.
Tidak lama kemudian, Angkatan Laut Jepang dengan resmi mulai menjalankan
pemerintahan sipil dengan pegawai-pegawainya didatangkan langsung dari negeri
Matahari Terbit.Pemerintahan sipil ini disebut Pemerintahan Minseibu, yang dikepalai
oleh Cokang yang berkedudukan di Singaraja. Untuk mendapatkan simpati dari rakyat
Indonesia pada umumnya dan rakyat Bali pada khususnya, pemerintah Pendudukan
Balatentara Jepang Raya mengatakan bahwa kedatangan mereka ini tiada lain adalah
untuk kepentingan Bangsa Asia yang terjajah.
Pada saat itu Jepang sedang menghadapi negara Serikat seperti : Amerika,
Inggris, dan Australia. Jepang berusaha mempropoganda masyarakat Indonesia pada
umumnya dan masyarakat Bali khususnya, bahwa perang tersebut merupakan perang
antara negara-negara Serikat dengan negara Asia yang termasuk di dalamnya negara
Indonesia.
Pemuda-pemuda Indonesia banyak yang direkrut untuk menjadi Tentara
Pembela Tanah Air (PETA) demi kepentingan perang tersebut.Demikian berhasilnya
propaganda yang dilancarkan oleh Jepang dengan lembaga khususnya SendenbuSendeka dan Naimobu, sehingga rakyat Indonesia tidak merasa jika tenaga dan hartanya

dikuras untuk kepentingan perang Jepang.

23

Kian hari permintaan penjajah Jepang kian bertambah seiring membengkaknya
keperluan perang.Sebagian besar hasil pertanian diambil untuk keperluan perang.
Pemerintah Jepang membentuk Barisan Pekerja Sukarela Bali (BPSB) yang nantinya
akan dikirim ke Sulawesi dan Kalimantan sebagai pelopor pembukaan lahan pertanian.
Akibat dari rongrongan ini lambat laun rakyat Indonesia tidak terkecuali rakyat Bali
menderita kemiskinan dan kelaparan yang hebat. Banyak rakyat yang mati, seperti
halnya Barisan Pekerja Sukarela Bali yang dikirim ke Kalimantan dan Sulawesi akibat
miskinnya pengetahuan akan wilayah yang baru dan persediaan makanan yang menipis.
Peperangan yang menimbulkan kemiskinan dan penderitaan ini menyadarkan
para pemuda untuk memberontak melawan penindasan.Mereka membentuk gerakan
bawah tanah yang dipimpin oleh Made Widjakusuma, I Gusti Ngurah Rai, Nyoman
Mantik, dan kawan-kawannya.Gerakan bawah tanah ini berusaha menjalin hubungan
dengan pemuda-pemuda di Jawa.
Pada saat itu I Gusti Ketut Kaler sudah mulai mengajar di Sekolah
Sihanggakko Sug sebagai guru Bahasa Indonesia.Ia sebagai pemuda merasa tergerak

untuk ikut gerakan tersebut. Sebagai seorang guru yang mengerti Bahasa Jepang, Kaler
bertugas untuk mengartikan dokumen-dokumen berbahasa Jepang ke dalam Bahasa
Indonesia. Selain itu, ia dan para pemuda lainnya bertugas untuk mempropagandakan
mengenai kebebasan dan persiapan untuk melawan penindasan Jepang. Sebagai seorang
guru Kaler tidak mendapatkan kesulitan yang berarti untuk menjelaskan kepada muridmuridnya mengenai perlawanan-perlawanan para pemuda terhadap penjajah Jepang
untuk meraih kemerdekaan.Di Pulau Jawa dan pulau lainnya, semangat untuk merdeka
dengan melawan balatentara Jepang terus dikobarkan.
Persiapan-persiapan dan pembagian tugas sudah terencana dengan baik.Kontak
hubungan dengan pemuda Pergerakan di Pulau Jawa sudah terjalin. Melalui siaran radio

24

Jepang di Tokyo yang diterima para pemuda Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1945,
Bangsa Indonesia mengetahui kekalahan Jepang terhadap negara Sekutu. Kemudian
pada tanggal 17 Agutus 1945 Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno-Hatta.
Berita mengenai Proklamasi Kemerdekaan tersebut sesungguhnya sudah
langsung

di

dengar

oleh

pemuda-pemuda

di

Bali

tidak

lama

setelah

pembacaannya.Akan tetapi tentara Jepang baru mengumumkannya pada tanggal 21
Agustus 1945.Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sekolah-sekolah
bentukan Jepang terlantar begitu saja.Namun keadaan ini tidak berlangsung lama, pada
tanggal 23 Agustus 1945 Mr. I Gusti Ketut Pudja tiba dari Jakarta.Ia memberitahukan
bahwa dirinya telah diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur Sunda Kecil.
Akan tetapi masyarakat masih berada dalam kebingungan bahwa dikabarkan
Pemerintah Republik Indonesia telah terbentuk namun kenyataannya tentara
pendudukan Jepang masih berkuasa.Mengenai masalah pendidikan, Gubernur Sunda
Kecil berinisiatif untuk mengaktifkan kembali sekolah-sekolah yang dulu telah
ada.Guru-guru pada masa penjajahan Belanda dan Jepang dikumpulkan dan diberi tugas
untuk mengajar kembali.I Gusti Ketut Kaler yang dianggap sebagai orang yang
mengerti mengenai pengajaran mendapat tugas sebagai Kepala Sekolah di Sekolah
Rakyat Kesiman.Ia memutuskan untuk tidak membatasi mereka yang berkeinginan
untuk sekolah.
Tidak lama setelah ia dipindahtugaskan ke Kesiman Denpasar, pada tanggal 30
September 1945, lahirlah organisasi pemuda yang bersifat sentral dengan nama pemuda
Republik Indonesia (PRI). Dengan lahirnya PRI di Denpasar dan PESINDO di
Singaraja, semakin tegaslah kehendak pemuda-pemuda revolusioner yang tergabung di
dalamnya.Kedua organisasi pemuda ini mempunyai tujuan dan hasrat tegas terhadap
Indonesia Merdeka.

25

Sebagai seorang pemuda yang peduli akan perjuangan demi kedaulatan
bangsanya I Gusti Ketut Kaler masuk menjadi anggota PRI dan langsung dipercaya
sebagai Ketua Ranting Kesiman. Dalam waktu singkat, cita-cita dan semangat pemudapemuda revolusioner sudah dapat meluas ke daerah-daerah lainnya.Para pemuda ini
mendukung sepenuhnya pemerintah Republik Indonesia merdeka secara perlahan dan
pasti mereka mulai menyusun kekuatan guna melawan tentara Jepang.
Bentuk perlawanan mereka mula-mula ditunjukkan melalui tuntutan yang
diajukan secara tertulis.Tuntutan mereka berupa pengakuan bahwa Bangsa Indonesia
telah merdeka dan berhak untuk mengatur wilayahnya.Akan tetapi tuntutan secara
tertulis tidak dihiraukan oleh tentara Jepang.Karena usaha tersebut tidak berhasil,
pemerintah dan rakyat Bali pada khususnya berdemonsntrasi dan menyampaikan
ultimatum penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan Indonesia.Pada akhirnya atas
desakan rakyat yang begitu besar, Jepang menyerahkan kekuasaannya kepada
pemerintah sipil Propinsi Sunda Kecil di bawah kekuasaan Pemerintah Republik
Indonesia.
Pada tanggal 18 Pebruari 1946, tentara Serikat mendarat di Benoa dengan
membawa tugas melucuti tentara Jepang dan memulihkan keamanan.Kemudian pada
tanggal 2 Maret 1946, Serdadu Gajah Merah yang merupakan satu kesatuan alat
pemerintah NICA (Netherlands Indies Civil Administration ) di bawah pimpinan F.H.
Ter Meulen mendarat di pantai sanur.Kedatangan pasukan Gajah Merah NICA yang
memboncengi tentara sekutu dengan tujuan untuk berkuasa kembali di wilayah
Republik Indonesia. Tanggal 11 Maret 1946, NICA melancarkan aksinya dengan
menangkap dan memenjarakan Gubernur Sunda Kecil Mr. Pudja, Ketua KNI (Komite
Nasional Indonesia) Manuaba, dan beberapa orang kepala jawatan pemerintah Republik
Indonesia.

26

Melihat situasi yang semakin tidak menentu pasca pendaratan tentara serikat
termasuk di dalamnya tentara NICA, Tentara Republik Indonesia (TRI) Sunda Kecil
yang dipimpin oleh Gusti Ngurah Rai merencanakan perfusion seluruh organisasi
perjuangan yang ada di Sunda Kecil. Pada tanggal4 April 1946 rencana tersebut
direalisasikan dengan pertemuan di desa Munduk Malang dengan pembentukan Dewan
Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) Sunda Kecil yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah
Rai. Jadi jelas disini DPRI adalah penggabungan dari PRI dan PESINDO di satu pihak
dengan TRI dan resimen Sunda Kecil di lain pihak. Mereka dari PRI dan PESINDO,
sesuai dengan langkah perjuangan bersenjata, lalu dimobilisasikan ke dalam kesatuan
Tentara Resimen Sunda Kecil di bawah komando MBU (Markas Besar Umum).
I Gusti Ketut Kaler sebagai anggota PRI yang termasuk juga dalam Dewan
Perjuangan Republik Indonesia turut aktif menjalankan garis perjuanga yang
ditetapkan.Ia dan pemuda revolusioner lainnya bertugas menyadarkan masyarakat
pentingnya perjuangan, melatih para pemuda lainnya dalam Palang Merah, persiapan
persediaan bahan makanan dan pakaian serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan
perjuangan. Segera pula disusun kesatuan-kesatuan dalam regu dengan pembagian yang
rapi, juga direncanakan penyerbuan perang gerilya, baik yang berupa serangan
mendadak, cegatan di jalanan, serbuan pos-pos musuh maupun aksi-aksi lainnya dengan
cermat dan teliti.
Penyerangan pertama terhadap tentara NICA terjadi di desa Bebetin, Buleleng
pada tanggal 9 April 1946, kemudian disusul dengan pertempuran-pertempuran lainnya
di Denpasar, Penebel Tabanan, dan daerah lainnya.Puncaknya adalah pertempuran
terbesar pada tanggal 20 Nopember 1946 yang dikenal dengan peristiwa Puputan
Margarana. Peristiwa ini menewaskan para pemimpin-pemimpin kesatuan DPRI antara

27

lain : Kolonel Ngurah Rai, Major Wisnu, Major Debes, Major Sugianyar, Letnan
Dwinda dan lain-lain.
Selanjutnya militer Belanda melakukan penangkapan terhadap pemudapemuda revolusioner lainnya termasuk I Gusti Ketut Kaler.Kaler ditangkap dan
dipenjarakan di Penjara Denpasar dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1948. Selepas
dari penjara ia bergabung kembali dengan PDRI yang dipimpin oleh Ida Bagus Tantera
dan menjabat sebagai Komandan Awang-awang. PDRI dibawah pimpinan Tantera
bertekad untuk memperjuangkan Negara Republik Indonesia dalam bentuk kesatuan
dan berseru kepada seluruh rakyat agar tetap tenang dan waspada dari serangan musuh.
Pada tanggal 17 Januari 1948, terjadi perundingan antara Indonesia dan
Belanda yang disaksikan oleh Dewan Keamanan Bangsa-Bangsa (PBB) di atas sebuah
kapal yang bernama Renville yang kemudian dikenal dengan Persetujuan Renville.Pada
tanggal 14 Mei 1948, secara tidak diduga dan membuat kaget seluruh rakyat, Anggota
staf pimpinan MBU DPRI memutuskan untuk mengadakan penyerahan umum kepada
Dewan Raja-raja Bali.
Keputusan tersebut mereka laksanakan berdasarkan kesadaran untuk merubah
bentuk perjuangan kedalam bentuk perjuangan yang lebih nyata.Mereka sadar
kemerdekaan ini telah didapatkan, sekarang tinggalah bagaimana menyusun dan
membangun, agar kemerdekaan itu betul-betul sempurna dan kuat.

5.3 Sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Pertumbuhan dan perkembangan organisasi di Bali berkaitan erat dengan
perkembangan pendidikan di kalangan masyarakat Bali. Sebagai ciri tumbuhnya
kesadaran masyarakat akan kemajuan di bidang pendidikan, muncul gagasan dari
kalangan masyarakat terpelajar untuk mendirikan organisasi yang bercorak modern.

28

Pembukaan sekolah-sekolah modern sebagai imbas dari politik etis, lamakelamaan menjadi boomerang bagi pemerintah colonial karena sedikit demi sedikit para
pelajar mulai sadar tentang kehidupan sosia politik bangsanya yang masih terbelakang.
Kesadaran politik para pelajar di Bali pada awalnya adalah untuk meningkatkan harkat
dan harga diri masyarakat Bali, seperti dapat dilihat dengan berdirinya Perkumpulan
Setiti Bali di Singaraja pada tahun 1917.Hal ini sebagai reaksi atas pergerakan Sarekat
Islam yang dibawa oleh H.O.S Cokroaminoto di Bali.Perkumpulan ini berdiri sampai
tahun 1920, bergerak dalam bidang adat istiadat, agama, dan ekonomi.
Pada tahun 1920 di Denpasar berdiri Perguruan Taman Siswa yang dibawa
oleh I Putu Kaler dari Jawa, tetapi mengalami kemacetan.Pada tahun 1924, lahirlah
perkumpulan Shanti yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan dan kebudayaan
masyarakat Bali, namun perkumpulan ini tidak berlangsung lama karena timbul
pertentangan di kalangan anggota-anggotanya. Pertentangan yang tajam mengenai
masalah kasta yang menjadi sebab utama, sehingga pada tahun 1924 berdirilah Bali
Adnyana yang dipelopori oleh golongan Tri Wangsa seperti I Gusti Cakratanaya.
Golongan Jaba juga mendirikan perkumpulan sendiri yakni Suryakanta pada tanggal 1
Nopember 1925 yang dipelopori oleh I Ketut Sandi, Ketut Nasa, I Nengah Metra.
Perkumpulan Suryakanta ini dapat dikatakan sebagai cikal bakal organisasi yang
bersifat nasionalisme karena pemimpin-pemimpinnya adalah para pelajar yang lulus
dari Jawa dan dapat mengecap pergaulan yang luas dan bersifat nasional.
Pada tahun 1933 di Denpasar berdiri organisasi yang bersifat nasional dan
bergerak dalam bidang pendidikan yaitu Taman Siswa atas inisiatif Nyoman
Pegeg.Taman Siswa ini bertujuan membangun semangat nasionalisme di kalangan
masyarakat Bali dan lebih banyak bergerak dalam bidang pendidikan.Lewat pendidikan
ini mereka dapat mengikuti perkembangan situasi politik di Jawa.Pada pertengahan dasa

29

warsa tahun 30-an, di kalangan perempuan Bali mulai ada kesadaran berorganisasi,
meskipun masih bersifat elit dan terbatas di kalngan intern saja yaitu dengan berdirinya
Perkumpulan Peroekoenan Istri di Denpasar tahun 1934. Pada tanggal 14 Juli 1935 di
Denpasar berdiri Perkumpulan Eka Laksana yang anggota-anggotanya terdiri dari
pelajar-pelajar Bali dan Lombok, mengukuhkan tali persaudaraan anggota-anggotanya.
Pada akhir tahun 1935 berdiri satu perkumpulan profesi yaitu Persatoean
Goeroe-Goeroe Denpasar yang dipelopori oleh guru-guru H.I.S. seperti : I Nyoman
Merta dan I Gusti Putu Merta. Pada tanggal 26 Juli 1936 berdiri perkumpulan Bali
Dharma Laksana sebagai hasil fusi dari 2 buah organisasi yang bertujuan sama yaitu
memperluas Studie Fond, untuk memperluas pendidikan dan pengajaran di kalangan
rakyat Bali. Fusi ini dilakukan oleh Bali Studi Fond Singaraja dengan Eka Laksana
Denpasar. Perkumpulan ini adalah perkumpulan yang terbesar dan terluas selama masa
penjajahan Belanda dan mempunyai pengaruh yang cukup mendalam tidak hanya di
pulau Bali saja, tetapi juga pada masyarakat Bali di luar pulau seperti Yogyakarta,
Surabaya, ataupun Makasar. Untuk menerangkan dan menyebarkan ide-idenya, Bali
Dharma Laksana mempunyai majalah yang terbit setiap bulan sekali yang bernama
Djatajoe.Bali Dharma Laksana pada mulanya adalah perkumpulan yang bergerak dalam
bidang sosial, tetapi lama kelamaan mulai terpengaruh oleh unsur-unsur politik karena
banyak anggota-anggotanya yang terlibat dalam partai politik.
Kemerdekaan RI yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal
17 Agustus 1945 menyebabkan semangat Rakyat Indonesia semakin menggelora. Berita
tentang Kemerdekaan RI di Bali dibawa oleh Mr. I Gusti Ketut Pudja yang telah
diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Gubernur Sunda Kecil Mr. I Gusti Ketut Pudja
tiba di Singaraja pada tanggal 23 Agustus 1945, dan kedatangannya ini menjelaskan
semangat rakyat semakin

bergelora. Setelah kemerdekaan inilah muncul kembali

30

organisasi sosial politik Parrindo (Partai Rakyat Indonesia) di Denpasar pada tanggal 6
Desember 1946 yang diketuai oleh I Gusti Putu Merta. Parrindo didirikan dengan tujuan
memperjuangkan Indonesia Merdeka dan menghapuskan penjajahan di atas bumi
Indonesia.Dalam geraknya Parrindo lebih berorientasi memperjuangkan kemerdekaan
melalui pendidikan rakyat.Langkah nyata yang dilakukan Parrindo, yakni pada tanggal
8 Desember 1946 Parrindo mendirikan Sekolah Lanjut Umum dan Kursus-kursus
Pemberantasan Buta Huruf (PBH).Dengan konsep perjuangan yang dilakukan Parrindo
inilah menarik masyarakat luas hingga menyebar hampir di seluruh Bali.
Melihat gerak inilah pemerintah Belanda mulai resah.Untuk itu pemerintah
mulai melakukan ganjalan-ganjalan terhadap program-program Parrindo.Taktik pertama
adalah dengan mendirikan organisasi tandingan yaitu PADI (Partai Demokrasi
Indonesia) yang dipimpin oleh Dewa Agung Gde Oka yang tujuannya bekerjasama
dengan NICA.Taktik Belanda ini kurang berhasil malah Parrindo semakin lama
semakin besar.Oleh karena itu Belanda menggunakan taktik kedua yaitu memfitnah
para pemimpin Parrindo dan menuduh partai ini mempunyai niat tidak baik dan
mempunyai hubungan dengan para perusuh dan perampok. Dengan tuduhan itu
Parrindo dinyatakan sebagai partai terlarang dan I Gusti Putu Merta beserta pemimpin
yang lain ditangkap dan dipenjarakan. Tahun 1949 I Gusti Putu Merta dibebaskan oleh
pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT).
Konferensi Meja Bundar (KMB) di den Haag telah mengakhiri konflik
bersenjata antara Republik Indonesia dengan Belanda dan menjadikan NIT (Negara
Indonesia Timur) sebagai bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Di Bali,
para pejuang yang tergabung dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
kemudian menerima pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 dengan
turun dari gunung-gunung untuk menyambut pemerintah RIS. Dalam bidang politik

31

terbentuknya RIS menyebabkan suatu kestabilan, sehingga pada tanggal 15 Me