PENGATURAN PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN.

LAPORAN PENELITIAN

PENGATURAN PERKAWINAN PADA GELAHANG
DALAM AWIG- AWIG DESA PAKRAMAN

Oleh:
1.
2.
3.
4.
5.

Dr. I Ketut Sudantra,SH.MH.
Dr. Ni Nyoman Sukerti,SH.MH.
A.A. Istri Ari Atu Dewi,SH,
I Made Sujana,SH.
Made Dandy Pranajaya, S.Sos

(Kordinator)
(Anggota)
(Anggota)

(Mahasiswa S2)
(Sekretariat Peneliti)

PENELITIAN INI DIBIAYAI DARI DANA DIPA BLU
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PPS
UNUD PERIODE 2015
DENGAN SURAT PERJANJIAN KERJA (SPK)
NOMOR: 730/UN.14.4/KU/2015 TANGGAL 29 MEI 2015

DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN
1.


Judul Penelitian

: Pengaturan Perkawinan Pada Gelahang Dalam
Awig- Awig Desa Pakraman

2.

Bidang ilmu penelitian

: Ilmu Hukum

3.

Ketua Peneliti
a. Nama lengkap
b. Jenis kelamin
c. NIP
d. Pangkat/Golongan
e. Jabatan Fungsional
d. Pengalaman Penelitian

f. Program Studi

:
: Dr. I Ketut Sudantra,SH.MH..
: Laki-laki
: NIP. 196010031985031003
Pembina (IV/c)
: Lektor Kepala
: Terlampir Curiculum Vitae
: Magister (S2) Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Udayana

Jumlah Tim Peneliti
Lokasi Penelitian
Jangka Waktu Penelitian
Biaya Penelitian

:
:
:

:

4.
5.
6.
7.

Program

5 (lima) orang
Perpustakaan
6 bulan
Rp. 9.900.000

(Sembilan Juta Sembilan Ratus Ribu Rupiah)

Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.MHum.LLM.

NIP. 196111011986012001

Denpasar, 30 September 2015..
Ketua Peneliti,

Dr. I Ketut Sudantra,SH.MH.
NIP. 196010031985031003

Mengetahui:
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)
NIP. 195902151985102001

ii

PRAKATA
Angayubagia

kami


panjatkan

kehadapan

Ida

Sanghyang

Widi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, kerana berkat anugrah-Nya laporan penelitian ini
dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul Pengaturan Perkawinan Pada
Gelahang Dalam Awig- Awig Desa Pakraman, dibiayai dari dana DIPA BLU
Program Studi

Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universiats

Udayana.Periode 2015


dengan Surat

perjanjian Kerja (SPK) Nomor:

730/UN.14.4/KU/2015 tertanggal 9 Mei 2015.
Melalui ruang ini kami menyampaikan penghargaan dan ucapan
terimakasih para pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini,
khususnya:
(1) Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah membuka
kesempatan mengajukan usulan penelitian ini;
(2) Kepala Program Studi (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana
yang telah membuka kesempatan mengajukan usulan penelitian ini;
(3) Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah mengijinkan kami
untuk melakukan penelitian ditengah-tengah kesibukan kami melaksanakan
tugas sebagai dosen;
Semoga budi baik beliau mendapat imbalan yang sepadan dari Ida Sanghyang
Widi Wasa.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati kami ajukan usulan penelitian
ini dengan harapan mendapat pertimbangan.


Denpasar, 30 September 2015.
Tim Peneliti,

iii

ABSTRAK
PENGATURAN PERKAWINAN PADA GELAHANG DALAM AWIGAWIG DESA PAKRAMAN
Oleh:
Dr. I Ketut Sudantra,SH.MH.; Dr. Ni Nyoman Sukerti,SH.MH.; A.A. Istri Ari
Atu Dewi,SH.; I Made Sujana,SH.; Made Dandy Pranajaya, S.Sos
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hukum positif, yaitu
norma hukum yang mengatur bentuk perkawinan pada gelahang dalam peraturan
yang dibuat oleh kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali yang
lazim disebut awig-awig desa pakraman. Bentuk perkawinan pada gelahang
adalah suatu fenomena baru dalam masyarakat Bali, sebagai alternatif bagi
pihak-pihak yang tidak dapat memilih bentuk perkawinan biasa (istri ikut suami)
ataupun bentuk perkawinan nyeburin (suami ikut istri). Permasalahan yang akan
dijawab dalam penelitian ini menyangku pertanyaan-pertanyaan: apakah bentuk
perkawinan pada gelahang diatur dalam awig-awig desa pakraman; bagaimana
pengaturan mengenai syarat-syaratnya, prosedurnya, dan akibat hukumnya?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang
mengandalkan awig-awig desa pakraman sebagai bahan hukum primer
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek hukum perkawinan diatur di
bawah bab (sarga) khusus dalam awig-awig desa pakraman, yaitu Bab Sukerta
Tata Pawongan, tetapi tidak banyak awig-awig desa pakraman yang mengatur
prihal bentuk perkawinan pada gelahang. Penelitian terhadap sembilan awigawig desa pakraman dari masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Bali hanya
menemukan satu awig-awig desa pakraman yang mengatur prihal perkawinan
pada gelahang, yaitu Awig-awig Desa Pakraman Gadungan yang dibuat tahun
2004. Dalam awig-awig ini, bentuk perkawinan pada gelahang disebut dengan
istilah perkawinan nadua umah yang secara konsptual mempunyai pengertian
yang sama dengan perkawinan pada gelahang. Pengaturan bentuk perkawinan
pada gelahang dalam Awig-awig Desa Pakraman Gadungan sangat sumir, hanya
mengatur pengakuan terhadap eksistensi perkawinan nadua umah, tanpa
pengaturan lebih lanjut mengenai syarat-syarat, prosedur maupun akibat
hukumnya.
Beradasarkan temuan penelitian, akhirnya disarankan kepada semua desa
pakraman di Bali agar mengatur perkawinan pada gelahang secara lengkap,
sebagai penjabaran atas diakuinya bentuk perkawinan pada gelahang oleh
Pesamuhan Agung III (Kongres III) Majelis Desa Pakraman (MDP) Provinsi
Bali. Di samping itu, Pengurus MDP Provinsi Bali perlu meningkatkan

sosialisasi kepada masyarakat agar substansi hasil-hasil Pesamuhan Agung III
MDP Bali dapat diketahui secara luas oleh masyarakat.
Kata kunci: awig-awig desa pakraman, kesatuan masyarakat hukum adat
perkawinan pada gelahang

iv

ABSTRACT
PADA GELAHANG MARRIAGE REGULATION IN
AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
By:
Dr. I Ketut Sudantra,SH.MH.; Dr. Ni Nyoman Sukerti,SH.MH.; A.A. Istri Ari
Atu Dewi,SH.; I Made Sujana,SH.; Made Dandy Pranajaya, S.Sos
This research is aimed to indentify the positive law, which is the legal
norm that regulate pada gelahang marriage in regulation that written by
customary law society of Bali, known as awig-awig desa pakraman. Pada
gelahang marriage is a new phenomena in Balinese society, as an alternative for
the parties that neither can choose normal marriage (wife following husband) nor
nyeburin (husband following wife). The questions that will be answered in this
research involving: what is pada gelahang marriage regulated in awig-awig desa

pakraman; how is the regulation about requirements, procedure, and the legal
consequence? This research used normative legal research method that rely on
awig-awig desa pakraman as primary legal source.
The result shows that matrimonial law aspect is regulated on specific
chapter (sarga) in awig-awig desa pakraman, namely Sukerta Tata Pawongan
Chapter. The research conducted on nine awig-awig desa pakraman from each
regencies in Bali Province only found one awig-awig desa pakraman that
regulated pada gelahang marriage, that is Awig-Awig of Desa Pakraman
Gadungan that written on 2004. Inside this awig-awig pada gelahang marriage is
known as nadua umah marriage, that conceptually have the same meaning as
pada gelahang marriage. Regulation about pada gelahang marriage in Awig-Awig
of Desa Pakraman Gadungan only regulates about recognition of nadua umah
marriage existence, without further regulation about requirements, procedure or
its legal consequence.
Based on this research founding, finally advised for all desa pakraman in
Bali to regulate pada gelahang marriage fully, as the implementation of
recognition of pada gelahang marriage by Third Pasamuhan Agung (Congress)
of Bali Province’s Majelis Desa Pakraman (MDP). Beside that is Bali Province’s
MDP officials need to socialize about the results of Third Pasamuhan Agung for
the to known by wider audience in Bali.
Keywords:awig-awig desa pakraman, customary law society, pada gelahang
marriage

v

RINGKASAN

Judul penelitian ini adalah ”Pengaturan Perkawinan Pada Gelahang
dalam Awig-awig Desa Pakraman: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta
bahwa saat ini berkembang suatu fenomena baru dalam masyarakat, yaitu mulai
banyak dilakoninya suatu bentuk perkawinan di mana suami dan istri sama-sama
berstatus sebagai purusa (penerus keturunan) dalam keluarganya masing-masing.
Bentuk perkawinan ini dapat dikatakan merupakan alternatif bagi para pihak
yang tidak dapat memilih satu diantara dua bentuk perkawinan yang sudah lazim,
yaitu (1) perkawinan biasa di mana istri berstatus sebagai pradana mengikuti
keluarga suami yang berstatus purusa; dan (2) bentuk perkawinan nyeburin di
mana istrilah yang berstatus sebagai purusa dan suami yang berstatus pradana
mengikuti garis kekeluargaan istri.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi norma-norma hukum yang berlaku. Bahan hukum primer yang
digunakan adalah awig-awig desa pakraman dari masing-masing kabupaten/Kota
yang ada di Provinsi Bali. Untuk dapat memahami konsep-konsep yang terdapat
dalam awig-awig desa pakraman, dalam penelitian ini juga digunakan bahan
hukum sekunder berupa literatur-literatur hukum yang relevan, terutama literatur
Hukum Adat Bali. . Di samping itu, dalam penelitian ini juga digunakan bahanbahan non-hukum, terutama Kamus Bahasa Bali yang dimanfaatkan untuk
menterjemahkan norma-norma hukum adat dalam awig-awig desa pakraman
yang ditulis dalam Bahasa Bali.
Hasil penelitian disajikan secara deskriptif analitis, yang secara
keseluruhan disajikan dalam enam bab. Bab pertama adalah Pendahuluan yang
berisi uraian tentang latar belakang dan permasalahan, Bab II adalah tinjauan
pustaka yang berisikan uraian teoritois tentang bentuk perkawinan pada
gelahang dan awig-awig desa pakraman. Selanjutnya Bab III berisi uraian
mengenai tujuan dan manfaat penelitian, Bab IV menguraikan metode penelitian

vi

yang digunakan, Bab V hasil penelitian dan pembahasan, dan Bab VI adalah
simpulan penelitian yang diakhiri dengan saran-saran yang diajukan.
Dalam Bab V diuraikan secara deskriptf analitis keseluruhan hasil
penelitian, dengan terlebih dahulu membahas pengaturan aspek hukum
perkawinan dalam awig-awig desa pakraman, selanjutnya secara khsus dibahas
hasil penelitian tentang pengaturan bentuk perkawinan pada gelahang.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan dalam Bab V
tersebut akhirnya dalam Bab VI disimpulkan bahwa aspek hukum perkawinan
diatur dalam bab (sarga) khusus awig-awig desa pakraman, yaitu dalam satu bab
yang berjudul: Sukerta Tata Pawongan. Walaupun aspek hukum perkawinan
diatur dalam semua awig-awig yang diteliti, tetapi tidak banyak awig-awig desa
pakraman yang mengatur prihal bentuk perkawinan pada gelahang. Dari
penelitian terhadap sembilan awig-awig desa pakraman dari masing-masing
kabupaten/kota di Provinsi Bali, hanya ditemukan satu awig-awig desa pakraman
yang mengatur prihal perkawinan pada gelahang (nadua umah), yaitu Awigawig Desa Pakraman Gadungan yang dibuat tahun 2004. Pengaturannya pun
sangat sumir, hanya mengatur aspek pengakuan terhadap eksistensi perkawinan
pada gelahang, tanpa ada pengaturan lebih lanjut mengenai syarat-syarat,
prosedur maupun akibat hukum dari bentuk perkawinan pada gelahang ini.
Dengan demikian, Keputusan Pesamuan Agung III (Kongres III) Majelis
Desa Pakraman (MDP) Bali terkait dengan pengakuan perkawinan pada
gelahang belum banyak mendapat apresiasi dari desa-desa pakraman di Provinsi
Bali. Hal itu ditunjukkan dengan belum dijabarkannya Keputusan Pesamuhan
Agung III MDP tersebut di dalam awig-awig desa pakraman masing-masing.
Berdasarkan temuan tersebut, maka diakhir Bab VI disarankan agar semua desa
pakraman di Bali mengatur prihal bentuk perkawinan pada gelahang ini secara
detil dalam awig-awig desa pakraman sebagai penjabaran dari Hasil Keputusan
Pesamuhan Agung III MDP Provinsi Bali. Di samping itu, disarankan kepada
jajaran Prajuru (Pengurus) MDP Bali untuk meningkatkan sosialisasi agar
substansi Keputusan-keputusan Pesamuhan Agung III MDP Bali dapat diketahui
secara lebih luas oleh masyarakat Bali.

vii

SUMMARY
This research is titled “Pada Gelahang Marriage Regulation in AwigAwig Desa Pakraman”. This research is based by the fact of new growing
phenomena in society, namely the increasing frequency of marriage which both
husband and wife have the purusa status (successor of lineage) of each of their
family. This form of marriage can be said as alternative for parties that couldn’t
choose between two common form of marriage, which are (1) the normal
marriage when the wife as pradana following her purusa husband’s family
lineage; and (2) nyeburin form of marriage when the wife become the purusa and
her husband as pradana following her family lineage.
This research is a normative legal research, that aimed to identify legal
norms. The primary legal source that used are awig-awig desa pakraman from
each regencies in Bali province. For understanding concepts that written in awigawig desa pakraman, this research used secondary legal source in form of
relevant legal literatures, especially Balinese Customary Law literatures. Beside
that, this research used non legal source, specifically Balinese dictionary as a tool
to translate customary law norms in awig-awig desa pakraman that written in
Balinese Language.
This research result is presented in analytical description that presented
fully in six chapter. First chapter is the the Preface that summaries about
background and problem. Second Chapter is a literature review about theoritical
analysis about pada gelahang marriage and awig-awig desa pakraman. Third
Chapter is a analysis about the aim and benefit of the research, Fourth Chapter
analyses used research method, Fifth Chapter is the research result and
discussion, and Sixth Chapter is the conclusion that ended with given advises.
In Fifth Chapter the research result was fully analysed in descriptive analytic
manner, with firstly discussing about matrimonial law aspect in awig-awig desa
pakraman, then it is specifically discussed the research result about the regulation
of pada gelahang marriage. Based on the result and the discussion on Fifth
Chapter, finally in Chapter Six can be concluded that the matrimonial law aspect
was regulated in specific chapter (sarga) of awig-awig desa pakraman, is chapter

viii

named: Sukerta Tata Pawongan. From the research conducted to nine awig-awig
desa pakraman from each regencies in Bali Province, only one awig-awig desa
pakraman that regulates about pada gelahang (nadua umah) marriage, that is
Awig-Awig Desa Pakraman Gadungan written on 2004. But regulation this only
regulate the recognition of pada gelahang marriage existence, without further
regulation about requirements, procedure and legal consequences of pada
gelahang marriage.
Therefore, The Decision of Third Pesamuhan Agung (Congress) of
Majelis Desa Pakraman (MDP) of Bali about recognition of pada gelahang
marriage not yet appriciated widely by desa pakramans in Bali Province. This
can be shown by The Decision of Third Pesamuhan Agung MDP is not yet
implemented in respective awig-awig desa pakraman. Based on this founding,
then in the end of Sixth Chapter it was advised that all desa pakraman in Bali to
regulate about pada gelahang marriage detail in awig-awig desa pakraman as
implementation of The Decision. Beside that, it is advised to all Prajuru
(official) of MDP Bali to socialize about The Decision substance to be known
widely by Balinese society

ix

DAFTAR ISI
\

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN

ii

PRAKATA

iii

ABSTRAK

iv

ABSTRACT

v

RINGKASAN

vi

SUMMARY

ix

DAFTAR ISI

xii

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

1

1.2. Permasalahan

5

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkawinan Pada Gelahang sebagai Satu Bentuk

6

Perkawinan Baru dalam Hukum Adat Bali
2.2. Awig-awig Desa Pakraman

BAB III

BAB IV

13

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian

15

3.2. Manfaat Penelitian

15

METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

17

4.2. Bahan Penelitian

17

4.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

18

4.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

19

x

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengaturan Aspek Hukum Perkawinan dalam Awigawig Desa Pakraman

20

5.2. Pengaturan Perkawinan Pada Gelahang dalam Awigawig Desa Pakraman

BAB VI

30

SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan

33

6.2. Saran

34

DAFTAR BACAAN
LAMPIRAN

xi

BAB I
PENDAHULUAN

3.1. Latar Belakang Masalah
Dalam lima tahun terakhir, di masyarakat Bali populer satu kosa kata baru,
yaitu ”perkawinan pada gelahang”, suatu bentuk berkawinan yang sebelumnya
tidak lazim

dilakukan oleh masyarakat Bali. Walaupun tidak lazim, tetapi

berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wayan P. Windia dan kawankawan tahun 2008 diketahui bahwa bentuk perkawinan ini sudah dipraktekkan
oleh beberapa pasangan pengantin di berbagai tempat di Bali.
Sebagaimana lazimnya, dalam masyarakat Bali sebelumnya dikenal dua
bentuk perkawinan, yaitu (1) bentuk perkawinan biasa di mana dalam suatu
perkawinan itu seorang istri (berstatus pradana) dilepaskan hubungan hukumnya
dari keluarga asal (orang tua kandung) untuk selanjutnya masuk dan
melaksanakan tanggung jawab sebagai keluarga dalam lingkungan keluarga suami
(berstatus purusa); dan (2) bentuk perkawinan nyeburin di mana terjadi kondisi
yang sebaliknya, yaitu suami (berstatus pradana) yang dilepaskan daei hubungan
hukum dengan keluarga asalnya untuk selanjutnya masuk dan melaksasnakan
tanggung jawab sebagai keluarga di lingkungan keluarga istri (berstatus purusa).
Halnya perkawinan pada gelahang –yang dapat digolongkan sebagai bentuk

1

ketiga, dalam bentuk perkawinan ini suami dan istri tetap berstatus purusa1 di
rumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab (hak
dan kewajiban) sekaligus, yaitu meneruskan tanggungjawab keluarga istri maupun
keluarga suami2.
Sejak hasil penelitian Wayan P. Windia dan kawan-kawan yang berjudul
”Studi

Pendahuluan Pelaksanaan

Perkawinan

Pada

Gelahang di

Bali”

dipublikasikan dalam berbagai seminar, tak ayal sejak itu bentuk perkawinan pada
gelahang menjadi topik hangat dalam masyarakat Bali. Di kalangan masyarakat
terjadi polarisasi pendapat mengenai pengakuan hukum terhadap bentuk
perkawinan ini. Pihak yang pro berpendapat bahwa bentuk perkawinan pada
gelahang merupakan jawaban terhadap kebutuhan jaman di mana sering terjadi
suatu kondisi di mana terjadi percintaan antara pasangan calon mempelai yang
tidak memungkinkan memilih salah satu dari bentuk perkawinan yang sudah ada
(perkawinan biasa dan perkawinan nyeburun);

sedangkan pihak yang kontra

berpendapat bahwa bentuk perkawinan ini menyimpang dari hukum adat dan
budaya Bali yang menjunjung tinggi sistem kekeluargaan purusa.
Polemik yang terjadi di masyarakat Bali ini dengan cepat disikapi oleh
lembaga umat Hindu, yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi
Bali melalui paruman (musyawarah) pada hari Senin tanggal 29 Desember 2008.
Dalam paruman tersebut, PHDI Bali berkesimpulan bahwa perkawinan pada
gelahang (istilah PHDI: perkawinan negen dadua) dapat dibenarkan menurut
1

Istilah purusa menunjuk kepada status hokum yang melekat pada pihak yang
bertanggungjawab melanjutkan keturunan dalam keluarga Bali, sedangkan pradana melekat pada
istri dalam perkawinan biasa) atau suami pada perkawinan nyeburin.
2
Wayan P. Windia, dkk., 2009, Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University
Press, Denpasar, h.25

2

hukum Hindu dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu. PHDI Bali juga
berpendapat bahwa perkawinan pada gelahang merupakan pergeseran budaya
yang positif di mana melalui perkawinan pada gelahang memunculkan hak anak
perempuan untuk mewaris dari orang tuanya. Hal ini, menurut PHDI Bali,
merupakan penghargaan terhadap hak asasi manusia khususnya hak anak
perempuan3.
Dua tahun kemudian, Majelis Desa Pakraman Bali sebagai wadah tunggal
kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman di Bali juga menyikapi polemik
perkawinan pada gelahang ini dalam suatu musyawarah tertinggi yang disebut
pasamuhan agung. Dalam Pasamuhan Agung III MDP Bali yang diselenggarakan
di Denpasar 15 Desember 2010 diputuskan bahwa: ”Bagi calon pengantin yang
karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau
nyeburin

(nyentana),

dimungkinkan

melangsungkan

perkawinan

pada

gelahang...”. Namun demikian, baik pengakuan PHDI Bali maupun MDP Bali
belumlah dapat dikatakan sebagai hukum yang mengikat semua warga masyarakat
hukum adat Bali, apalagi sifat dari hasil-hasil Pesamuhan Agung III MDP Bali
hanya sebagai ”pedoman”, bagi segenap prajuru desa pakraman dan atau jajaran
MDP Bali dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di lingkungan desa
pakraman.4 Dihadapkan pada otonomi desa pakraman, substansi keputusan
Pesamuhan Agung MDP Bali tersebut masih harus dituangkan dalam Awig-awig

3

Lihat: Kesimpulan Paruman Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, dalam:
Putu Dyatmikawati, 2013, Kedudukan Perkawinan Pada Gelahang, Udayana University Press,
Denpasar, h. 210.
4
Lihat Diktum Pertama dari Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor
01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 yang menyatakan bahwa: “Hasil-hasil Pesamuhan Agung MDP
III Bali sebagai pedoman bagi segenap prajuru desa pakraman dan ataupun jajaran MDP Bali”

3

Desa Pakraman agar mengikat langsung semua warga kesatuan masyarakat
hukum adat desa pakraman yang bersangkutan.
Sesungguhnya, dilihat dari perspektif hukum negara, keberadaan bentuk
perkawinan pada gelahang juga sudah diakui oleh yurisprudensi. Mahkamah
Agung RI. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1331 K/Pdt1/2010
dinyatakan bahwa ”...perkawinan dengan status sama-sama Purusa adalah sah
menurut hukum”5. Namun demikian, seperti halnya Putusan Mahkamah Agung
yang lain yang menyangkut janda yang dinyatakan sebagai ahli waris dalam
hukum adat, ”hukum” yang diciptakan oleh hakim Mahkamah Agung belum tentu
serta merta diikuti oleh masyarakat adat. sebagai hukum adat yang senyatanya
berlaku. Dalam masyarakat adat desa pakraman, awig-awig desa pakraman
mempunyai kekuatan berlaku yang

lebih nyata di bandingkan dengan

yurisprudensi.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas, sangat relevan dan
penting diteliti mengenai pengaturan perkawinan pada gelahang di dalam awigawig desa pakraman. Penelitian ini relevan sebab setelah lima tahun Keputusan
Pesamuhan Agung III MDP Bali yang memberi pengakuan terhadap perkawinan
pada gelahang sehingga perlu diketahui bagaimana pengaturan perkawinan pada
gelahang ini dalam awig-awig desa pakraman. Penelitian ini sangat penting, sebab
lembaga perkawinan sangat berpengaruh dalam menentukan status seseorang
dalam hukum keluarga dan dan hukum waris, terutama dalam menentukan status

5

Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1331 K/Pdt1/2010, dalam: Putu
Dyatmikawati, op.cit., h. 241.

4

hukum kekeluargaan suami-istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut.

3.2.Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dapat dirumuskan
permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu: ”Bagaimanakah
pengaturan perkawinan pada gelahang dalam awig-awig desa pakraman?” Secara
rinci, permasalahan tersebut meliputi petanyaan-pertanyaan: (1) apakah bentuk
perkawinan pada gelahang sudah diatur dalam awig-awig desa pakraman atau
tidak?; (2) kalau sudah diatur, bagaimana pengaturan mengenai syarat-syaratnya?,
dan (3) bagaimana pengaturan mengenai prosedur perkawinan pada gelahang?;
serta (4) bagaimana pengaturan akibat hukum perkawinan pada gelahang?

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Perkawinan Pada Gelahang sebagai Satu Bentuk Perkawinan Baru
dalam Hukum Adat Bali
Dalam masyarakat adat di Bali, status hukum suami-istri serta anak-anak

dalam keluarga sangat ditentukan oleh bentuk perkawinanmya. Apakah suamiistri itu dan anak-anaknya berkedudukan hukum di keluarga pihak suami ataukah
di keluarga pihak istri sangat dipengaruhi oleh bentuk perkawinan yang dipilih.
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai bentuk-bentuk perkawinan
ini, namun demikian persoalan mengenai bentuk-bentuk perkawinan ini
samasekali tidak dapat diabaikan dalam keseluruhan sistem perkawinan yang
berlaku bagi umat Hindu di Bali. Status atau kedudukan hukum seseorang di
dalam keluarga sangat penting artinya dalam hukum adat Bali karena akan
mempengaruhi hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma) orang tersebut dalam
keluarga dan masyarakat (banjar/desa pakraman). Swadharma dan swadikara
dalam keluarga misalnya menyangkut tanggungjawab pemeliharaan terhadap anak
atau pemeliharaan terhadap orang tua di masa tuanya, hak dan kewajiban terhadap
harta warisan, tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan kelangsungan serta

6

pemujaan terhadap tempat persembahyangan keluarga (sanggah/merajan) di mana
roh

leluhur

disemayamkan,

kemasyarakatan

menyangkut

dan

lain-lain.

tanggungjawab

Sedangkan
sebagai

tanggungjawab

anggota

kesatuan

masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman, subak, dadia), baik dalam bentuk
ayahan (kewajiban kerja), pawedalan/papeson (urunan berupa uang atau barang),
dan lain-lain.
Pada masa lalu, dalam masyarakat adat di Bali dikenal beberapa bentuk
perkawinan. Sebagian dari bentuk-bentuk perkawinan tersebut sudah lama
ditinggalkan oleh masyarakat
perkembangan jaman.

karena sudah tidak sesuai

lagi

dengan

Bentuk perkawinan yang dulu ada tetapi kini sudah

ditinggalkan adalah bentuk perkawinan matunggu atau nunggonin dan bentuk
perkawinan paselang. Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk perkawinan yang
masih lazim dilakukan dalam masyarakat umat Hindu di Bali serta bentuk
perkawinan baru yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat.

a. Perkawinan biasa
Masyarakat

adat

Bali

yang

beragama

Hindu

menganut

sistem

kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat

7

Bali dengan istilah kapurusa atau purusa6. Terdapat tiga prinsip dalam sistem
kekeluargaan purusa, yaitu7:
1. Keturunan dilacak dari garis laki-laki (bapak).
2. Dalam perkawinan, mempelai perempuan dilepaskan dari hubungan
hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua dan saudara kandungnya)
untuk selanjutnya masuk secara total dalam keluarga suaminya.
3. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut mendapatkan sanak saudara
atau kerabat

(keluarga luas) dari pihak bapak, sedangkan dengan sanak

saudara dari pihak ibu

(saking pradana) anak tersebut tidak mempunyai

hubungan hukum.
Sesuai dengan sestem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) ini, maka
bentuk perkawinan yang paling umum dilakukan adalah bentuk perkawinan di
mana istri mengikuti suami. Inilah yang lazim disebut perkawinan biasa. Dalam
perkawinan biasa, suami berstatus sebagai purusa, sedangkan istri sebagai
pradana. Dalam bentuk perkawinan ini, istri dilepaskan hubungan hukumnya
dengan keluarga asalnya (orang tua kandungnya) selanjutnya masuk ke dalam
lingkungan keluarga suaminya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan ini hanya
mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan keluarga pihak bapak (saking
purusa) sedangkan dengan keluarga pihak ibu (saking pradana) hanya berapa
hubungan sosial dan moral saja.

6

Panetja, I Gde. 1986. Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali. DenpasarCV Kayumas., h.

19.
7

Windia, Wayan P, dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 79-80.

8

b. Perkawinan nyeburin
Di luar bentuk perkawinan yang umum tersebut, dibeberapa daerah di
Bali, terutama Tabanan, Badung, Gianyar, dan Bangli sudah lazim pula ditemui
bentuk perkawinan yang sekarang lazim disebut nyeburin. Dibeberapa tempat
bentuk perkawinan ini lebih dikenal dengan sebutan nyentana atau nyaluk
sentana8. Dalam bentuk perkawinan ini justru suamilah yang mengikuti istri.
Secara sepintas, bentuk perkawinan ini tampak menyimpang dari sistem kepurusa
yang menekankan bahwa keturunan dilanjutkan oleh keturunan laki-laki (purusa).
Tetapi bila diamati secara seksama, perkawinan nyeburin ternyata tetap konsisten
dengan sistem kekeluargaan kepurusa sebab dalam perkawinan ini status istri
adalah purusa karena telah ditetapkan sebagai sentana rajeg dalam keluarganya.
Sentana rajeg (sentana = keturunan, ahli waris; rajeg= kukuh, tegak; karajegang=
dikukuhkan, ditegakkan) adalah anak perempuan yang kerajegang sentana yaitu
dikukuhkan statusnya menjadi penerus keturunan atau purusa. Dalam Kitab
Manawa Dharmacastra (IX:127), sentana rajeg disebut dengan istilah putrika
yang kedudukannya sama dengan anak laki-laki, yaitu sebagai pelanjut keturunan
dan ahli waris terhadap harta orang tuanya9

8

Korn,VE. 1978. Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, terjemahan dan catatan-catatan I Gde
Wajan Pangkat. DenpasarBiro Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat Universitas Udayana, h. 59.
9
Sudantra, I Ketut,. 2002. "Akibat HukumPerkawinan Nyentana di Bidang Hukum
Keluarga dan Waris". Makalah dalam Temu Wicara Mengenai Kepedulian Pelestariuan Warisan
Budaya Bali yang diselenggarakan oleh Panitia Persiapan Pembentukan Lembaga Pelestarian
BudayaBali (Bali Heritage Trust) di Gedung Mario Tabanan, 14 Maret 2002.

9

Dalam bentuk perkawinan ini, suami yang berstatus sebagai pradana
dilepaskan hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya selanjutnya masuk
dalam keluarga kepurusa istrinya. Dengan demikian keturunan dalam keluarga
kepurusa itu tetap dilanjutkan oleh anak yang berstatus purusa. Anak yang lahir
dari perkawinan ini berkedudukan hukum dalam keluarga ibunya, sehingga
menunaikan kewajiban (swadharma) dan mendapatkan haknya (swadikara) dalam
keluarga ibu. Ciri yang menunjukkan bahwa bentuk perkawinan tersebut adalah
nyeburin bukanlah semata-mata karena suami (umumnya) tinggal di rumah
keluarga istri, melainkan lebih dapat dilihat dari fakta bahwa upacara pengesahan
perkawinan (pasakapari) dilaksanakan di rumah keluarga mempelai perempuan
dan

keluarga

mempelai

perempuanlah

yang

mengantarkan

sajen-sajen

pemelepehan (jauman) ke rumah keluarga mempelai laki-laki sebagai sarana
untuk melepaskan hubungan hukum mempelai laki-laki terhadap keluarga
asalnya10.

c. Perkawinan pada gelahang
Apabila kedua bentuk perkawinan tersebut di atas (perkawinan biasa dan
nyeburin) tidak dapat dipilih karena masing-masing calon mempelai adalah anak
tunggal dalam keluarganya, kebelakangan ini dalam masyarakat Bali mulai
tumbuh dan berkembang satu bentuk perkawinan baru, yang disebut perkawinan
pada gelahang. Eksistensi bentuk perkawinan ini pun kini telah diakui oleh
Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali melalui Keputusan Pasamuan Agung

10

I Gede Panetja, op.cit., h. 119.

10

III Majelis Utama Desa Pakraman tanggal 15 Oktober 2010. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Windia dan kawan-kawan11, faktor utama yang
melatarbelakangi

pasangan

pengantin

dan

keluarganya

melangsungkan

perkawinan pada gelahang adalah kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh
orang tuanya –baik yang berwujud material maupun immaterial, tidak ada yang
mengurus dan meneruskannya. Dalam hukum adat Bali, warisan tidak hanya
menyangkut hak (swadikara) terhadap harta, melainkan juga menyangkut
kewajiban (swadharma), seperti kewajiban memelihara orang tua di masa tua;
kewajiban meneruskan generasi; kewajiban melaksanakan penguburan atau
upacara ngaben terhadap jenasah orang tua yang telah meninggal, kewajiban
terhadap

roh

leluhur

yang

bersemayam

di

sanggah/merajan

(tempat

persembahyangan keluarga), dan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, seperti
melaksanakan kewajiban kepada kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa
pakraman/subak) di mana keluarga itu menjadi anggotanya. Menurut hukum adat
Bali, pengabaian terhadap swadharma tersebut dapat dijadikan alasan untuk
menggugurkan status seseorang sebagai ahli waris.
Dari hasil penelitian tersebut terungkap pula bahwa pada dasarnya proses
dilangsungkannya perkawinan pada gelahang hampir sama dengan perkawinan
biasa atau nyeburin. Perbedaannya terletak pada adanya kesepakatan kedua
mempelai dan keluarganya yang dibuat sebelum terjadinya perkawinan bahwa
kedua pihak sepakat melaksanakan perkawinan pada gelahang, yang intinya

11

Wayan P. Windia dkk., 2009. Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press,
Denpasar, h.

11

menegaskan bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga
kedua belah pihak sama-sama memiliki keturunan yang nantinya diharapkan dapat
mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, baik
yang berupa kewajiban (swadharma)maupun yang berupa hak (swadikara).
Bentuk dan isi kesepakatan tersebut bervariasi, tetapi umumnya sudah dibicarakan
dan disepakati ketika proses memadik (lamaran) dilakukan yang disaksikan
perwakilan keluarga besar masing-masing dan prajuru adat (kepala adat).
Pada umumnya inti kesepakatan
kedudukan

suami-istri

serta

anak

yang dibuat tersebut menyangkut

dalam

keluarga

setelah

perkawinan

dilangsungkan yang berimplikasi kepada tanggungjawab terhadap keluarga
masing-masing serta terhadap keanggotaan banjar dan desa pakraman. Barkaitan
dengan tanggung jawab masing-masing setelah perakawinan, sebagian pelaku
perkawinan pada gelahang merumuskan bahwa suami dan istri bertanggungjawab
dan mempunyai hak penuh di keluarga masing-masing, suami bertanggung jawab
dan berhak penuh di keluarga pihak laki-laki, sedangkan istri bertanggung jawab
dan berhak penuh di keluarga pihak perempuan. Sebagian pelaku lain tidak
merumuskan mengenai hal itu secara ekplisit. Mengenai kedudukan anak,
sebagian merumuskan bahwa apabila dari perkawinan tersebut lahir lebih dari
satu orang anak, maka kedudukan anak-anak ”dibagi” untuk meneruskan
keturunan pada masing-masing pihak. Apabila hanya lahir seorang anak, status
anak itu ditentukan

apakah ikut keluarga pihak laki-laki atau perempuan,

sementara pada pihak lainnya diusahakan mengangkat anak. Ada juga pelaku
perkawinan pada gelahang membuat kesepakatan bahwa dalam hal hanya lahir

12

seorang anak, maka kedudukan hukumnya diserahkan kepada pilihan anak yang
bersangkutan setelah anak tersebut dewasa.
Dalam kesepakatan tersebut juga ditentukan mengenai proses upacara
perkawinan. Dari hasil penelitian tersebut di atas, hampir semua perkawinan pada
gelahang yang berhasil diteliti melakukan upacara byakaonan (salah satu upacara
dalam rangkaian upacara perkawinan) di dua tempat pada hari yang sama, yaitu di
rumah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Soal di rumah keluarga
mana yang dilaksanakan lebih dahulu, tergantung isi kesepakatan yang telah
dibuat. Semua pasangan yang melaksanakan perkawinan pada gelahang yang
diteliti tersebut tidak melanjutkan ketahapan upacara mepejati

2.2.

Awig-awig Desa Pakraman
Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi

Bali. Sebagai suatu masyarakat hukum, desa pakraman mempunyai tata hukum
sendiri yang bersendikan kepada adat istiadat (dresta) setempat. Tatanan hukum
yang berlaku bagi krama desa pakraman lazim disebut dengan istilah awig-awig
desa pakraman. Menurut Tjok Istri Putra Astiti12 yang dimaksud dengan awigawig adalah patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan
kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota
desa pakraman) dengan Tuhan, antar sesama krama, maupun krama dengan
lingkungannya.
12

Astiti, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan
Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 19.

13

Dengan pengertian demikian, maka menjadi jelas bahwa semua desa
pakraman di Bali mempunyai awig-awig walaupun bentuknya belum tertulis.
Belakangan, terutama sejak 1969, ada kecendrungan desa pakraman menuliskan
awig-awignya dalam bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya adalah
agar prajuru adat dan generasi mendatang dapat lebih mudah mengetahui isi
awig-awig desanya. Awig-awig yang tertulis tersebut umumnya memuat pokokpokok

mengenai

kehidupan

desa

pakraman,

sedangkan

aturan-aturan

pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Pararem
adalah keputusan paruman (rapat) desa pakraman.

14

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai pengaturan perkawinan

pada gelahang dalam awig-awig desa pakraman. Secara lebih khusus, penelitian
ini ingin mengetahui dan menganalisis pengaturan perkawinan pada gelahang
dalam awig-awig desa pakraman menyangkut: (1) pengaturan mengenai syaratsyaratnya; (2) pengaturan mengenai prosedurnya; serta (3) pengaturan mengenai
akibat hukum perkawinan pada gelahang

3.2.

Manfaat penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang hukum adat.
Seperti diketahui, walaupun sudah ada hukum perkawinan nasional, tetapi
eksistensi hukum perkawinan adat masih sangat kuat dalam kehidupan masyarakat
sebab Undang-undang Perkawinan menyerahkan pengesahan perkawinan
dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing. Berkaitan dengan itu,
dalam masyarakat adat di bali sangat sulit memisahkan antara adat dan agama
Hindu.

15

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh
teoritisi maupun praktisi hukum dalam menerapkan hukum adat di dalam
masyarakat, terutama dalam menghadapi kasus-kasus perkawinan dalam
masyarakat

hukum

adat

Bali.

Dari

hasil-hasil

penelitian

yang

telah

dipublikasikan13, tampak bahwa bentuk perkawinan pada gelahang mulai banyak
dilakoni oleh masyarakat Bali.

Sebagai suatu bentuk perkawinan yang baru

muncul, mungkin banyak permasalahan yang ditemui dalam pelaksanaannya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan perkawinan pada gelahang.

13

Lihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Windia, dkk dan penelitian disertasi Putu
Dyatmikawati.

16

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif atau yang oleh
Soetandyo Wignyosoebroto disebut penelitian hukum doktrinal (Bambang
Sunggono, 2003:43). Dengan pendekatan ini, maka permasalahan yang diajukan
dalam penelitian ini dikaji dan dianalisis menurut kaidah-kaedah atau normanorma hukum yang berlaku. Sesuai topik dan permasalahan penelitian, norma
hukum yang dimaksud adalah norma-norma hukum adapt Bali yang tercermin
dalam awig-awig dan atau pararem desa pakraman.

4.2. Bahan Penelitian
Sesuai dengan tipe penelitian, penelitian ini mengandalkan bahan-bahan
hukum, baik bahan hukum primrer maupun bahan hukum sekunder. Di samping
menggunakan bahan hukum sebagai bahan penelitian yang utama, penelitian ini
juga memanfaatkan bahan-bahan non hukum. Sebagai bahan hukum primer,
dipergunakan awig-awig dan atau pararem desa pakraman, utamanya awig-awig
atau pararem yang bentuknya tertulis. Awig-awig tersebut dicari langsung dari
sumber asalnya, yaitu desa pakraman yang bersangkutan. Karena desa pakraman
masing-masing berhak membuat aturan hukumnya (awig-awig) sendiri sesuai
prinsip desa mawacara maka kemungkinan terjadi variasi-variasi tertentu dalam

17

pengaturan masalah-masalah perkawinan pada awig-awig desa pakraman di Bali
yang jumlahnya ribuan. Oleh karena itu, peneliti mengusahakan awig-awig desa
pakraman yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari desa-desa
pakraman.yang secara representative mewakili masing-masing kabupaten/kota
yang ada di Provinsi Bali.
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah
literatur-literatur hukum yang diharapkan dapat menjelaskan istilah-istilah
ataupun konsep-konsep hukum yang termuat dalam awig-awig desa pakraman.
Karena masalah perkawinan tidak semata-mata merupakan persoalan hukum
maka tidak dapat dihindari penggunaan literatur-literatur non-hukum (bahan nonhukum) untuk membantu pemahaman peneliti terhadap konsep-konsep yang
digunakan dalam awig-awig desa pakraman. Kenyataan bahwa awig-awig desa
pakraman menggunakan bahasa Bali menyebabkan penggunaan kamus (Kamus
Bahasa Bali) juga menjadi kebutuhan peneliti untuk memahami substansi dan
makna ketentuan-ketentuan yang diatur dalam awig-awig desa pakraman. Bahanbahan hukum sekunder dan bahan non-hukum tersebut diperoleh dari sumbersumber kepustakaan.

4.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelusuran literatur dilakukan dengan teknik bola salju. Pertama,
dikumpulkan informasi yang relevan dari satu awig-awig desa pakraman,
selanjutnya menggelinding terus untuk mengumpulkan informasi yang relevan
dari awig-awig desa pakraman yang lain, begitu seterusnya dilanjutkan untuk

18

mengumpulkan

informasi

dari

awig-awig

desa

pakraman

berikutnya.

Pengumpulan bahan hukum dihentikan ketika tidak ditemukan informasi yang
baru lagi. Informasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum tersebut kemudian
dikumpulkan dengan teknik fotocopy dan atau pencatatan-pencatatan dengan
mencatat informasi yang diperlukan serta idenhtitas sumbernya secara lengkap.

4.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul selanjutnya diberikan kodekode untuk memudahkan klasifikasi.

Klasifikasi

dilakukan berdasarkan

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Bahan-bahan hukum yang
dikklasifikasikan itu selanjutnya disusun secara sistematis sesuai kerangka
penulisan yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya, keseluruhan bahan
hukum yang sudah disusun secara sistematis tersebut dianalisis dengan teknikteknik penalaran dan argumentasi hukum, seperti konstruksi hukum dan
penafsiran hukum.
Akhirnya, keseluruhan hasil penelitian disajikan secara diskreftif analitis.

19

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengaturan Aspek Hukum Perkawinan dalam Awig-awig Desa
Pakraman
Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa semua awig-awig desa
pakraman yang diteliti mengatur masalah-masalah perkawinan, di bawah bab
(sarga) tersendiri yang secara khusus memuat aspek-aspek hukum keluarga. Bab
tersebut berjudul Sukerta Tata Pawongan. Dalam filosofi Hindu yang melandasi
awig-awig desa pakraman, yaitu Tri Hita Karana, pawongan adalah salah satu
unsurnya, yaitu yang berkaitan dengan aspek hubungan antara sesama manusia.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa aspek pawongan mendapat porsi dua
bab, yaitu di samping bab yang secara khusus mengatur aspek hubungan sesama
manusia dalam kehidupan keluarga (hukum keluarga), terdapat satru bab lagi yang
mengatur

aspek

hubungan

sesama

manusia

dalam

konteks

hubungan

kemasyarakatan dan kelembagaan, yaitu bab yang berjudul Sukerta Tata
Pakraman. Dalam bab ini diatur aspek-aspek yang menyangkut penggolongan
warga desa pakraman (kerama desa), hak dan kewajiban warga desa, dan lain-lain.
Bab Sukerta Tata Pawongan sendiri mengatur beberapa aspek kehidupan
bersama dalam keluarga yang diatur dalam bagian-bagian (palet) tersendiri.
Aspek-aspek hukum keluarga yang diatur dalam bab ini meliputi:
(1) Indik pawiwahan (prihal perkawinan);
(2) Iindik nyapian (prihal perceraian);

20

(3) Indik sentana (prihal anak keturunan); dan
(4) Indik warisan (prihal pewarisan).
Pada umumnya, aspek-aspek yang diatur dalam sub titel (palet) indik
pawiwahan adalah menyangkut: pengertian perkawinan; prihal cara-cara
perkawinan (pemargin pawiwahan); prihal syarat-syarat perkawinan (pidabdab
sang pacang mawiwaha); dan prihal prosedur perkawinan (pemargin pawiwahan)

5.2.1. Pengaturan Mengenai Pengertian Perkawinan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua awig-awig desa
pakraman yang diteliti mengatur secara ekplisit. Hanya ditemukan satu awig-awig
dresa pakraman yang tidak mengatur secara ekplisit difinisi konsep perkawinan,
yaitu Awig-awig Desa Pakraman Gadungan (Tabanan). Walaupun begitu, dari
penelitian terhadap pasal-pasal (pawos) yang terdapat dalam bagian (palet) yang
mengatur masalah perkawinan, segera dapat dipahami bahwa konsep perkawinan
yang dianut dalam awig-awig ini tidak berbeda dengan konsep perkawinan yang
diatur oleh awig-awig desa pakraman pada umumnya.
Dari penelitian terhadap awig-awig desa pakraman yang mengatur difinisi
perkawinan, ditemukan adanya keseragaman mengenai rumusan pengertian
perkawinan. Memang, dalam kehidupan sehari-hari istilah yang digunakan untuk
menyebut perkawinan cukup beragam, seperti nganten, masomahan, makurenan,
alaki rabi, mekerab kambe, merabian, pawiwahan, dan lain-lain14, tetapi istilah
teknis yang yang secara konsisten digunakan dalam awig-awig desa pakraman
14

I Ketut Sudantra, I Gusti Ngurah Suriana, dan Komang Gede Narendra, 2011,
Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar, h. 3.

21

untuk menyebut perkawinan adalah istilah pawiwahan. Di beberapa bagian
kadang-kadang ditemukan pengg
Dalam rumusan bahasa aslinya (Bahasa Bali), pengertian perkawinan
misalnya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:
”Pawiwahan inggih punika petemoning purusa predana melarapan
panunggalan kayun suka cita maduluran upasaksi sekala niskala” 15
Kadang-kadang ditemukan rumusan yang sedikit berbeda, misalnya

ada

penambahan frasa ”laki istri” setelah frasa ”purusa lan pradana”16, suatu
perbedaan yang tidak prinsipiil kecuali hanya untuk menegaskan bahwa istilah
”purusa-pradana” berkaitan dengan jenis kelamin para pihak yang melakukan
perkawinan, yaitu antara calon mempelai yang berjenis kelamin laki-laki (laki)
dan perempuan (istri).
Walaupun ditemukan sedikit variasi-variasi tertentu dalam rumusannya,
namun dapat ditegaskan bahwa secara konseptual semua awig-awig yang diteliti
menganut konsep bahwa:
(1) Perkawinan merupakan suatu ikatan antara dua pihak yang masing-masing
berstatus gender berbeda, yaitu purusa (laki-laki) dan pradana (perempuan)
laki dan perempuan (”patemoning purusa pradana”);
(2) Perkawinan didasari oleh kehendak bersama dan rasa cinta calon mempelai
(malarapan panunggalan kayun suka cita);

15

Lihat: Pawos 52 Awig-awig Desa Adat Bangklet (Bangli); Pawos 49 Awig-awig Desa Adat
Badingkayu (Jembrana); Pawos 68 Awig-awig Desa Adat Unggasan (Badung); Pasal 50 Awigawig Desa Adat Geriyana Kangin (Karangasem).
16
Lihat: Pawos 68 Awig-awig Desa Adat Jungutbatu (Klungkung).

22

(3) Perkawinan dilaksanakan melalui rangkaian upacara agama yang disebut
upasaksi (malarapan upasaksi sekala niskla)
Mengenai cara perkawinan (pemargin pawiwahan), pada umumnya awigawig desa pakraman mengaturnya dengan rumusan sebagai berikut:
Pemargin Pawiwahan, luwire:
(1) Pepadikan;
(2) Ngerorod;
(3) Nyeburin
Terjemahan bebas:
Pelaksanaan perkawinan meliputi:
(1) Perkawinan dengan cara meminang,;
(2) Perkawinan dengan lari bersama;
(3) Perkawinan nyeburin, yaitu perkawinan di mana suami ikut keluarga istri.
Dari penguraian mengenai cara perkawinan (pemargin pawiwahan) di
atas, tampaknya awig-awig desa pakraman rancu dalam merumuskan norma
tentang cara perkawinan dan bentuk perkawinan. Secara konseptual, antara cara
dan bentuk perkawinan adalah dua hal yang berbeda. Cara menyangkut
bagaimana proses perkawinan itu diawali (dengan meminang atau lari bersama).
Jadi

menyangkut

prosedur

perkawinan.

Mengenai

bentuk

perkawinan,

menyangkut status calon mempelai dalam perkawinan, yaitu (1) bentuk
perkawinan biasa di mana suami berstatus purusa (pelanjut keturunan) sedangkan
istri berstatus pradana yang mengikuti garis kekeluargaan suami; (2) bentuk

23

perkawinan nyeburuin di mana istri yang berstatus purusa sedangkan suami yang
berstatus pradana.
Pengaturan mengenai penggolongan cara perkawinan kemudian diikuti
dengan pengaturan mengenai prosedur (tatacara) masing-masing cara perkawinan
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur perkawinan meminang
(pepadikan) dan lari bersama (ngerorod) diatur sesuai karakter masing-masing
sehingga menunjukkan perbedaan satu dengan yang lainnya.

Namun demikian,

pada umumnya apapun cara perkawinan yang ditempuh, semua awig-awig yang
diteliti menentukan bahwa setiap orang yang akan melakukan perkawinan wajib
melaporkan kehendaknya kepada Prajuru Pengurus Adat). Pihak prajuru
selanjutnya meneliti untuk memastikan apakah perkawinan tersebut sudah sesuai
ketentuan yang berlaku ataukah sebaliknya. Prinsip umum tersebut dapat
diidentifikasi dari rumusan norma yang menegaskan bahwa ”Sapasira ugi pacang
ngawarangang pakulawarganya patut masadok ring Prajuru/Dulu, selanturnya
Prajuru/Dulu mari tatas manut tan manut indik parabyane” (setiap orang yang
akan melakukan perkawinan wajib melapor (memberitahukan kehendaknya)
kepada Kepala Adat, selanjutnya meneliti apakah perkawinan tersebut sudah
sesuai ketentuan atau sebaliknya).
Mengenai prosedur perkawinan meminang (pepadikan), pada umumnya
awig-awig desa pakraman mengatur prosesnya

yang dapat dikwalifikasikan

dalam tiga tahapan, yaitu:
(1) Tahap pendahuluan;
(2) Tahap pelaksanaan; dan

24

(3) Tahap penutup
Tahap pendahuluan meliputi semua proses acara melamar (pepadikan atau
makruna), yaitu acara yang diinisiatifi oleh keluarga calon mempelai laki-laki
(purusa) untuk melakukan pembicaraan dengan keluarga calon mempelai
perempuan (pradana) yang inti pembicaraannya berisi keinginan pihak calon
memepali laki-laki untuk mempersunting anak gadis pihak keluarga mempelai
perempuan. Proses tahap pendahuluan ini bervariasi, ada yang cukup hanya
dilakukan satu kali, dua kali, ada yang mewajibkan dilakukan tiga kali. Misalnya,
Awig-awig Desa Adat Unggasan menentukan proses pepadikan wajib dilakukan
tiga kali, Awig-awig Desa Pakraman Gadungan mewajibkan pepadikan dilakukan
dua kali (pakrunan jantos ping kalih), sedangkan Awig-awig Desa Adat Belega
menentukan pepadikan cukup hanya dilakukan sekali (pakrunan apisan).
Apabila tahap pendahuluan sudah rampung di mana keingingan keluarga
calon mempelai laki-laki dipenuhi oleh keluarga calon mempelai perempuan,
acara dilanjutkan ketahap berikutnya, yaitu tahap pelaksanaan perkawinan yang
meliputi proses:
(1) Mengambil calon mempelai perempuan di rumahnya kemudian diajak
pulang ke rumah keluarga calon mempelai laki-laki;
(2) Pengesa