Penerapan Awig-Awig Kawasan Tanpa Rokok di Desa Pakraman Selat Kabupaten Gianyar Tahun 2016.

(1)

i

UNIVERSITAS UDAYANA

PENERAPAN AWIG-AWIG KAWASAN TANPA

ROKOK DI DESA PAKRAMAN SELAT

KABUPATEN GIANYAR

TAHUN 2016

NI PUTU SUCIATI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

PENERAPAN AWIG-AWIG KAWASAN TANPA ROKOK DI DESA PAKRAMAN SELAT

KABUPATEN GIANYAR TAHUN 2016

NI PUTU SUCIATI NIM. 1420015017

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(3)

iii

UNIVERSITAS UDAYANA

PENERAPAN AWIG-AWIG KAWASAN TANPA ROKOK DI DESA PAKRAMAN SELAT

KABUPATEN GIANYAR TAHUN 2016

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

NI PUTU SUCIATI NIM. 1420015017

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(4)

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 13 Juli 2016

Tim Penguji Skripsi Ketua (Penguji I)

(dr. Desak Putu Yuli Kurniati, M.K.M.) NIP. 19830723 200801 2 007

Anggota (Penguji II)

(dr. Komang Ayu Kartika Sari, MPH.) NIP. 19800911 200604 2 026


(5)

i

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 13 Juli 2016

Pembimbing

(Ni Komang Ekawati, S.Psi., Psi. MPH) NIP. 19791202 200604 2 023


(6)

iii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat diselesaikannya skripsi yang

berjudul “Penerapan Awig-Awig Kawasan Tanpa Rokok Di Desa Pakraman

Selat Kabupaten Gianyar Tahun 2016” ini tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH, Ph.D., selaku ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. dr. Desak Putu Yuli Kurniati, M.K.M., selaku kepala bagian peminatan Promosi Kesehatan, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

3. Ni Komang Ekawati, S.Psi., Psi. MPH., selaku pembimbing penulis yang telah menyediakan waktu dalam memberikan masukan, bimbingan dan motivasi bagi penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. I Wayan Wirtama,S.Pd., selaku Kepala Desa Buahan Kaja Kecamatan

Payangan yang telah memberikan ijin penelitin ke desa pekraman selat 5. I Made Gunawan, selaku Kelian Dinas Desa Pekraman Selat, yan telah

meluangkan waktu untuk membantu proses penelitian

6. I Made Ariawan, selaku tokoh masyarakat di desa pekraman selat yang telah memberikan dukungan serta bimbingan untuk kelancarana proses penelitian


(7)

iv

7. Informan penelitian dari Sekaa Gong, Sekaa Teruna Teruni, dan Perwakilan kepala keluarga yang sekaligus mewakili masyarakat di desa pekraman selat atas partisipasinya dalam penelitian ini.

8. Teman-teman IKM Martikulasi Angkatan 2014 yang telah memberikan semangat dan motivasi pada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. 9. Orang tua, Suami, Anak, dan Keluarga penulis, atas doa dan segala dukungan moral dan materiil yang telah diberikan pada penulis sehingga proposal ini dapat terselesaikan, serta pihak-pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas segala kontribusi yang diberikan pada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk skripsi ini. Demikian skripsi ini disusun semoga informasi dalam skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri dan pihak lain yang menggunakan khusunya dalam bidang kesehatan masyarakat.

Denpasar, Juni 2016


(8)

v

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN Skripsi, 27 Juni 2016

Ni Putu Suciati, Ni Komang Ekawati

Penerapan Awig-Awig Kawasan Tanpa Rokok Di Desa Pakraman Selat Kabupaten GianyarTahun 2016

ABSTRAK

Masalah rokok telah menjadi permasalahan global, oleh karena itu pemerintah telah membuat berbagai peraturan tentang rokok, contohnya peraturan tentang KTR. Peraturan KTR diterapkan juga oleh Desa Pekraman Selat, hal ini tertuang dalam awig-awig KTR yang diterapkan sejak September 2015. Peraturan KTR yang masih baru perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian dalam penerapannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan awig-awig KTR di Desa Pekraman Selat, dengan melihat pengetahuan, persepsi, sikap, faktor pemungkin dan faktor penguat.

Rancangan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data menggunakan FGD, wawancara mendalam, dan observasi partisipatif. Informan dipilih dengan porpusive sampling, yang terdiri dari kelompok Sekaa Gong, Sekaa Teruna-Teruni dan perwakilan kepala keluarga. Key informan adalah Bendesa, Kelian Dinas, dan perwakilan panitia revisi awig-awig.

Hasil terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap dari masing-masing kelompok informan, namun dari persepsi seluruh informan memiliki persepsi baik.. Berdasarkan aspek persepsi, seluruh informan memiliki persepsi yang baik tentang awig-awig KTR. Faktor pemungkin terdapat sarana dan prasarana seperti masih tersedianya rokok dan asbak dalam kegiatan upacara, serta warung yang menjual rokok di desa. Faktor penguat adanya hukum adat dan rasa segan kepada masyarakat jika melanggar awig-awig ini.


(9)

vi

Awig - Awig of Smoke-Free AreaImplementations in Selat Village

Gianyar Regency 2016

ABSTRACT

Smoking problems has become global issues, so the government has made various regulations on smoking, for example regulations of smoke-free area. Smoke-free area regulation has also been implemented by Selat Village, it is stated in their customary laws (awig-awig) which has been applied since September 2015. The new Smoke-free regulations need an evaluation and assessment on its implementations. The purpose of this study was to investigate the implementation of smoke-free area regulations in Selat Village by seeing knowledge , percesptions, attitudes , enabling factors and reinforcing factors

Descriptive study design with qualitative approach. Data collection techniques used were FGD, in-depth interviews and participant observation. Informants selected by porpusive sampling method, consist Sekaa Gong group, Teruna-Teruni and representatives of the family. The key formants are Bendesa, Kelian Dinas and representative of awig-awig revision committee.

The results obtained there are differences in knowledge and attitudes between each group of informants, based on the perception, all informants have a good perception to smoke-free area regulations. Enabling factor are avaibality of facilities and infrastructure for example there are cigarettes and ashtray still availabel in the ceremony, and there are stalls that sells cigarettes in the village. Reinforcing factors is the of the availabelity of customary laws and people embarrassment if they break these rules


(10)

vii DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul...i

Halaman Judul...ii

Halaman Judul Dengan Spesifikasi...iii

Halaman Persetujuan...iv

Kata Pengantar...vi

Abstrak Bahasa Indonesia...viii

Abstrak Bahasa Inggris...ix

Daftar Isi...x

Daftar Tabel...xiii

Daftar Gambar...xiv

Daftar Lampiran...xv

Daftar Lambang, Singkatan, dan Istilah...xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... .1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Pertanyaan penelitian ... 7

1.4 Tujuan penelitian ... 7

1.5 Manfaat penelitian ... 8

1.6 Ruang lingkup penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perokok ... 10

2.2. Kawasan Tanpa Rokok ... 13

2.3 Awig-awig ... 15


(11)

viii

2.5 Persepsi ... 23

2.6 Sikap...25

2.5 Referensi dalam Penelitian ... 27

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Teori ... 29

3.2 Kerangka Konsep... 32

3.3 Definisi Operasional ... 34

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Karakteristik Penelitian ... 35

4.2 Peran Peneliti ... 36

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

4.4 Sampel atau Informan ... 36

4.5 Prosedur Pengumpulan Data ... 37

4.6 Analisis Data ... 44

4.7 Strategi Validasi Data ... 46

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitan ... 49

5.2 Karakteristik Informan Penelitian... 51

5.3 Hasil Penelitian ... 55

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Awig-Awig KTR...88


(12)

ix

6.3 Sikap masyarakat terhadap awig-awig KTR...92

6.3 Faktor Pemungkin ... 94

6.4 Faktor Penguat...97

6.5 Keterbatasan penelitian ... 100

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 101

6.2 Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(13)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.2.1 Definisi Operasional 34

Tabel 4.1 Sumber dan Jenis Data 44

Tabel 5.1 Karakteritik Kelompok Paguyuban Perwakilan

Kepala Keluarga 52

Tabel 5.2. Karakteristik Kelompok Paguyuban Sekaa Gong 53 Tabel 5.3 Karakteristik Kelompok Paguyuban Sekaa Teruna-Teruni 54

Tabel 5.4 Karakteristik Key Informan 55

Tabel 5.6. Pengetahuan Informan FGD mengenai Awig-Awig KTR 65 Tabel 5.7. Persepsi Informan mengenai Awig-Awig KTR 71 Tabel 5.8. Sarana dan Prasarana yang mendukung penerapan Awig-Awig 75

Tabel 5.9. Sumber Informasi Awig-Awig KTR 77

Tabel 5.10. Peran tokoh Masyarakat, Keluarga dan Peraturan

dalam penerapan Awig-awig 82

Tabel.5.11. Informan Perokok dan Bukan Perokok


(14)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 3.1 Model Perencanaan Precede-Proceed (Green

Lawrence dalam Notoatmodjo, S. 2007) 29 Gambar 3.2. Kerangka Konsep Persepsi Masyarakat terhadap

Penerapan Awig-Awig KTR 32


(15)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lembar Persetujuan...110

Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Informan...114

Pedoman Focus Group Disscusion (FGD)...117


(16)

xiii

DAFTAR SINGKATAN, DAN ISTILAH

Daftar Singkatan

WHO : World Health Organization

KTR : Kawasan Tanpa Rokok UKM : Upaya Kesehatan Masyarakat KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia Dkk : Dan Kawan-kawan

Dsb : Dan sebagainya

FGD : Focus Group Discussion

STT : Sekaa Teruna Teruni

Daftar Istilah

Maejotan : Tradisi membagikan makanan upacara keagamaan kepada para undangan dan tetangga sekitar.

Cuntaka : Suatu keadaan tidak suci menurut pandangan agama Hindu Paruman/Sangkep : Bentuk musyawarah yang sangat demokratis pada desa adat di


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Merokok kini telah menjadi gaya hidup dalam berbagai kalangan dimasyarakat. Penjualan rokok yang bebas di pasaran memudahkan masyarakat untuk mengkomsumsinya. Saat ini permasalahan rokok masih menjadi permasalahan global dan upaya penanggulangannya masih diprioritaskan karena menyangkut berbagai aspek permasalahan dalam kehidupan. Aspek yang terkait permasalahan rokok yaitu, aspek ekonomi, sosial politik, dan terutama aspek kesehatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2030 jumlah kematian di dunia akibat konsumsi rokok akan mencapai angka 10 juta orang setiap tahunnya dan sekitar 70% diantaranya terjadi di negara berkembang, dan negara Indonesia termasuk didalamnya (Kemenkes RI, 2011).

Tahun 2013 berdasarkan hasil Riskesdas disebutkan bahwa prevalensi perokok di Indonesia mencapai 36,5 % yang terdiri dari 68 % perokok laki-laki dan 6,9 % perokok perempuan. Berdasarkan data tersebut telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga dalam hal epidemik konsumsi rokok tertinggi di dunia. Masalah kesehatan ini menjadi semakin kompleks karena dampaknya tidak hanya merugikan kesehatan bagi perokok aktif, namun berdampak pula pada kesehatan perokok pasif. Menurut data Riskesdas 2013, lebih dari 40,3 juta anak Indonesia berusia 0–14 tahun tinggal dengan perokok dan terpapar asap rokok dilingkungannya. Anak yang terpapar asap rokok di lingkungannya mengalami


(18)

pertumbuhan paru yang lambat, dan lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan, infeksi telinga dan Asma.

Upaya pemerintah Indonesia dalam mengendalikan permasalahan rokok ini adalah dengan melakukan regulasi tentang peraturan pemerintah. Peraturan ini tercantum pada Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Dimana pasal 113 menyatakan bahwa tembakau mengandung zat adiktif, dan pasal 115 mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Undang-undang ini diberlakukan dengan pertimbangan yaitu, (1) setiap orang berhak atas perlindungan terhadap bahaya rokok, (2) asap tembakau membahayakan dan tidak memiliki batas aman, (3) ruang khusus untuk merokok dan sistem sirkulasi udara tidak mampu memberikan perlindungan efektif. Sehingga perlindungan efektif apabila 100% suatu tempat bebas dari asap rokok.

Dalam undang-undang ini tertuang pula pasal yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah wajib untuk menetapkan KTR di wilayahnya. Regulasi KTR ini di peraturan daerah telah dilaksanakan oleh beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan data Balitbangkes RI (2015), telah tercatat sebanyak 166 kabupaten/kota di 34 provinsi diseluruh Indonesia yang telah memiliki peraturan KTR (Ramandhani,D.I.2016). Salah satu provinsi yang menerapkan regulasi mengenai KTR ini adalah provinsi Sumatera Barat yang diatur dalam peraturan daerah (Perda) No. 8 tahun 2012. Dalam pelaksanaannya, Perda di wilayah Sumatera Barat ini menunjukan persentase keefektifan sebesar 51 %. Dan sebanyak 60% masyarakatnya kurang mendukung penetapan Perda KTR ini di wilayahnya.


(19)

Provinsi Bali merupakan wilayah yang turut menerapkan regulasi KTR ini. Peraturan KTR ini ditetapkan dalam perda no.10 tahun 2011. Pada survey tingkat kepatuhan KTR yang dilakukan oleh Universitas Udayana tahun 2013, menunjukan hasil tingkat kepatuhan masyarakat Bali terhadap aturan KTR masih rendah yaitu 17 % dan hanya meningkat menjadi 25 % pada tahun 2014. Kawasan yang termasuk dalam KTR ini kawasan tempat umum dan angkutan umum adalah yang paling rendah dalam penerapan KTR-nya. Sedangkan pada tingkat kabupaten hasil survey menunjukan terdapat tingkat kepatuhan yang berbeda antar kabupaten/kota yang sudah memiliki dengan yang tidak memilki aturan perda/perbup sendiri tentang KTR. Dimana kabupaten/kota yang sudah memiliki aturan, tingkat kepatuhan akan KTR lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang tidak memiliki aturan KTR. (Pemerintahan Gianyar, 2015).

Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten di Bali yang telah mengadopsi perda KTR provinsi menjadi perda kabupaten yang mana ditetapkan dalam Perda No. 07 tahun 2014. Pada tahun 2013 yaitu saat aturan KTR ini belum di tetapkan di Kabupaten Gianyar tingkat kepatuhan masyarakatnya hanya pada angka 14,5 %. Pada tahun 2014 seiiring dengan ditetapkanya Perda kabupaten maka angka kepatuhannya meningkat menjadi 21,6 %. Peningkatan tersebut memang berdampak baik, namun pencapainnya masih lebih rendah dibandingkan tingkat kepatuhan Provinsi Bali. Pada beberapa sasaran kawasan KTR didapatkan hasil capaian sebagai berikut, di fasilitas kesehatan mencapai angka 68%, sedangkan pada kawasan lainnya hasilnya sangat timpang. Indikasinya dapat dilihat dari fasilitas pendidikan angka kepatuhannya 44,4%, angkutan umum


(20)

(0%), tempat ibadah (4,5%), tempat kerja (26,3%), dan fasilitas umum (7,9%). (Sentral Bali, 2015)

Menindak lanjuti kondisi tersebut nampaknya Perda KTR di tingkat pusat dan kabupaten/kota saja tidak akan memberikan hasil yang optimal kedepannya. Dibutuhkan suatu aturan yang lebih mengikat dan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat Bali sendiri adalah masyarakat yang multikultural, dimana pada tiap daerah memiliki pranata sosialnya masing-masing. Kelembagaan sosial sering diartikan dengan pranata sosial. Kelembagaan lokal adalah pranata sosial di tingkat lokal. Bentuk nyata dari kelembagaan lokal adalah awig-awig. Sebagai hukum yang tumbuh dari bawah, secara sosiologis

awig-awig memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat. Awig-awig

diterima dan ditaati di kalangan masyarakat yang berada di wilayah desa pakraman bersangkutan. awig-awig jika dilihat dari fungsinya merupakan alat control sosial (hukum sebagai sarana kontrol sosial). Hal ini dilihat dari asumsi awig-awig mampu mengontrol perilaku krama desa dan menciptakan kesesuaian dalam perilaku mereka, baik secara preventif maupun represif (Parwata,A.A. G. O., 2007).

Desa Pakraman Selat merupakan salah satu desa pakraman yang terdapat di Kabupaten Gianyar, dimana dalam Awig-awig nya telah tertuang pasal yang terkait dengan KTR. Dalam Awig-awig tersebut dijelaskan mengenai larangan menyediakan rokok pada saat pelaksanaan upacara keagaman kematian dan petedunan banjar. Penerapan awig-awig KTR ini masih terbilang baru karena mulai ditetapkan pada bulan september 2015, sehingga evaluasi dan melihat dampak nyatanya belum dapat dilakukan. Berdasarkan studi pendahuluan yang


(21)

dilakukan kepada panitia tim revisi awig-awig, pembaharuan ini dilakukan dengan pertimbangan sudah tidak relevannya hukum yang terdapat dalam awig-awig sebelumnya dengan kondisi saat ini. Kondisi yang dimaksudkan yaitu tentang undang-undang terbaru, dan masalah ekonomi serta kesehatan masyarakat. Selain tentang KTR, pasal lainnya yang dianggap oleh masyarakat perlu di perbaharui adalah pasal mengenai cuntaka dan maejotan.

Usulan mengenai awig-awig KTR ini diprakarsai oleh masyarakat sekitar pada saat konsep revisi awig-awig ini disosialisasikan. Beliau memaparkan perlunya mengadopsi peraturan daerah tentang KTR kedalam awig-awig desa pakraman. Selain itu dengan adanya awig-awig ini akan berdampak positif pada berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti kesehatan dan ekonomi. Dari segi kesehatan kedepannya diharapkan dapat meningkankan status kesehatan masyarakat serta menekan jumlah perokok pemula di desa pakraman selat. Pada studi pendahuluan yang dilakukan kepada pemegang program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) UPT Kesmas Payangan, menunjukan bahwa penyakit-penyakit akibat merokok yang terjadi di desa pakraman selat yaitu diantaranya kanker nasofaring yang dialami oleh masyarakat yang merupakan perokok aktif. Selain itu berdasarkan studi pendahuluan ke tempat praktek dokter mandiri dinyatakan pula bahwa banyak orang tua dengan riwayat perokok aktif mengalami Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) .

Dari segi ekonomi, manfaat yang ditimbulkan dengan adanya awig-awig

terkait KTR ini adalah masyarakat dapat menekan pengeluarannya pada saat memiliki upacara keagamaan untuk pembelian rokok. Rokok ini biasanya disajikan kepada masyarakat yang hadir untuk membantu persiapan upacara.


(22)

Menyediakan rokok pada saat upacara agama, selain merugikan si pemilik upacara, tapi juga dapat merugikan masyarakat yang datang pada saat itu. Masyarakat yang tidak memiliki kebisaan merokok atau jarang merokok secara tidak langsung karena mendapat ajakan dari warga lain akan terpengaruh untuk ikut merokok.

Berdasarkan penelitian Saptorini, K.K. (2013) mengenai tingkat partisipasi mahasiswa dalam implementasi KTR di Universitas Dian Nuswantoro Semarang menunjukkan bahwa partisipasi mahasiswa dipengaruhi oleh faktor predisposisi,

enabling, dan reinforcing. Faktor-faktor ini nantinya akan dapat mempengaruhi mahasiswa dalam berprilaku untuk berpatisipasi dalam implementasi KTR. Melihat hal tersebut, penerapan dari awig-awig KTR ini dapat dilihat melalui prilaku dari masyrakatnya sendiri. Perilaku itu sendiri dapat dilihat berdasarkan faktor-faktor pembentuknya seperti pengetahuan, persepsi, sikap, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Sehingga untuk mengambarkan penerapan awig-awig KTR ini peneliti akan melihatnya dari faktor-faktor pembentukan perilaku tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Penerapan Perda KTR di Bali masih belum menunjukan hasil yang memuaskan, karena tidak semua Desa Pakraman menerapkan aturan Perda KTR tersebut. Di Desa Pakraman Selat yang berada di kabupaten Gianyar telah mengadopsi Perda KTR tersebut dengan memasukannya kedalam Hukum adatnya yaitu awig-awig. Aturan dalam awig-awig ini masih baru dan berbeda dengan sistem adat, nilai, dan budaya masyarakat sebelumnya. Untuk itu perlu diketahui


(23)

tanggapan masyarakat terhadap perubahan awig-awig tersebut. Pandangan, dukungan, serta peran serta masyarakat terhadap aturan awig-awig KTR ini sangat penting untuk mengoptimalkan penerapannya di desa pakraman.

1.3 Pertanyaan penelitian

Bagaimanakah penerapan awig-awig KTR di Desa Pakraman Selat Kabupaten Gianyar?

1.4 Tujuan penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui penerapan awig-awig KTR pada masyarakat di Desa Pakraman Selat.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengetahuan masyarakat mengenai isi awig-awig kawasan tanpa rokok di Desa Pakraman Selat.

2. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap penerapan awig-awig kawasan tanpa rokok di Desa Pakraman Selat.

3. Mengetahui sikap masyarakat terhadap penerapan awig-awig kawasan tanpa rokok di Desa Pakraman Selat

4. Mengetahui faktor pemungkin (ketersediaan sarana dan prasarana serta sumber informasi) penerapan awig-awig kawasan tanpa rokok di Desa Pakraman Selat.

5. Mengetahui faktor penguat (peran tokoh masyarakat, keluarga, dan peraturan ktr) penerapan awig-awig kawasan tanpa rokok di Desa Pakraman Selat.


(24)

1.5 Manfaat penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam mengembangkan bidang keilmuan Promosi Kesehatan terkait penerapan

awig-awig Kawasan Tanpa Rokok di masyarakat sebagai implementasi dari peraturan daerah.

1.5.2 Manfaat Praktis 1) Bagi Desa Pakraman

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai tanggapan dan peran serta dari masyarakat dalam menerapkan awig-awig KTR di desa pekraman selat, serta menjadi sumber masukan bagi prajuru adat dalam mengontrol pelaksanaan penerapan awig-awig KTR ini di desa pekraman selat.

2) Bagi Instansi Terkait

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai penerapan awig-awig KTR, sehingga Instansi terkait dapat menentukan kebijakan dalam mengimplementasi Perda KTR ke dalam awig-awig pada desa pakraman lainnya yang ada di Bali.

3) Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan sumber data untuk penelitian selanjutnya mengenai penerapan awig-awig KTR di Bali.


(25)

1.6 Ruang lingkup penelitian

Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa program matrikulasi S1 program Ilmu Kesehatan Masyarakat. Ruang lingkup penelitian ini yaitu ilmu promosi kesehatan yang mencakup upaya advokasi di bidang kesehatan, yaitu upaya untuk mempengaruhi lingkungan masyarakat atau pihak lain agar mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui mengenai penerapan awig-awig kawasan tanpa rokok di Desa Pakraman Selat Kabupaten Gianyar. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan maret sampai dengan mei 2016.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perokok

2.1.1 Definisi Perokok

Perokok adalah seseorang yang suka merokok, disebut perokok aktif bila orang tersebut yang merokok secara aktif, dan disebut perokok pasif bila orang tersebut hanya menerima asap rokok saja, bukan melakukan aktivitas merokok sendiri (KBBI, 2014). Definisi lain dari perokok adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal enam bulan selama hidupnya masih merokok saat survei dilakukan (Octafrida M, D, 2011).

Bustan, M.N.,(2007), membagi perokok atas tiga kategori, yaitu ringan (1-10 batang perhari), sedang (11-20 batang perhari) dan berat (lebih dari 20 batang perhari). Klasifikasi perokok juga dapat ditentukan oleh Indeks Brinkman (IB) dengan rumus: jumlah rata-rata konsumsi rokok perhari (batang) x lama merokok (tahun), dengan hasil ringan (0-199), sedang (200-599) dan berat (>600). 2.1.2 Kategori Perokok

Menurut Syafiie (2009) ada empat tipe kategori kondisi merokok, yaitu 1. Kondisi perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Terdapat tiga sub tipe

perokok yang menjadikan rokok sebagai penambah kenikmatan yang sudah didapat, seperti merokok setelah makan atau minum kopi, merokok untuk sekedar menyenangkan perasaan, dan suatu kenikmatan seorang perokok saat memegang rokoknya.


(27)

2. Kondisi merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Perokok merokok saat marah, cemas dan gelisah. Rokok dianggap sebagai penyelamat.

3. Kondisi merokok yang adiktif. Mereka yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.

4. Kondisi merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok bukan karena untuk mengendalikan perasaan, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaannya rutin. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang sebelumnya telah benar-benar habis.

2.1.3 Tahapan menjadi perokok

Menurut Laventhal & Cleary (1980), Flay (1993) dalam Syafiie,R. (2009) tahapan seseorang dapat menjadi perokok tetap adalah dengan melewati empat tahapan. Tahap pertama disebut sebagai tahap persiapan, dimana sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku dan intensi tentang merokok dan bayangan tentang apa rokok itu. Pada tahapan kedua disebut dengan tahapan inisiasi (initiation). Dalam tahap kedua ini akan terjadi reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk, berkeringat. Hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok.

Selanjutnya tahapan ketiga adalah fase menjadi perokok. Pada tahapan ini melibatkan suatu proses „concept formation‟, seseorang belajar kapan dan bagaimana merokok dan memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya. Tahapan terakhir telah menyatakan seseorang menjadi perokok tetap.


(28)

Dalam tahapan ini terjadi disaat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung yang semakin mendorong perilaku merokok.

2.1.4 Alasan Merokok

Menurut Sadikin,dkk. (2008) alasan seseorang merokok dapat dipengaruhi berbagai macam hal. Alasan yang sering dijadikan seseorang memilih merokok adalah khawatir tidak diterima di lingkungannya jika tidak merokok. Kedua adalah adanya rasa ingin tahu bagaimana menghisap rokok dan sensasinya seperti apa. Alasan ini banyak dikemukakan oleh kalangan muda, terutama perokok wanita. Alasan selanjutnya yang sering dikemukakan oleh perokok pria adalah untuk kesenangan. Dengan merokok para pria ini merasa dapat menghilangkan kepenatan dan ketegangan didalam pikirannya. Merokok dapat menjadi hiburan atas masalah yang sedang dihadapinya.

Alasan lainnya sering diutarakan perokok adalah pergaulan dilingkungannya baik di tempat kerja, sekolah, ataupun dirumahnya. Memiliki pergaulan dengan orang yang dominan adalah perokok akan sangat mudah mempengaruhi seseorang menjadi perokok pemula. Memutuskan untuk ikut merokok karena alasan ingin menyenangkan teman atau membuat suasana menjadi lebih akrab. Alasan terakhir adalah adanya budaya atau tradisi merokok yang berlaku didaerahnya. Tradisi seperti di bali sendiri yang selalu menyuguhkan rokok saat upacara keagamaan pada tamu adalah sebagai wujud rasa hormat atau menghargai kehadiran tamu.


(29)

2.2.Kawasan Tanpa Rokok

2.2.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok

Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau (Kemenkes RI.,2011).

2.2.2 Tujuan Penetapan Kawasan Tanpa Rokok

Tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok dapat diuraikan sebagai berikut, (1) Menurunkan angka kesakitan dan atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat; (2) Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal; (3) Mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok; (4) Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula; (5) Mewujudkan generasi muda yang sehat.

2.2.3 Manfaat Penerapan Kawasan Tanpa Rokok

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok. Penetapan Kawasan Tanpa Rokok ini perlu diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

2.2.4 Sasaran Kawasan Tanpa Rokok

Sasaran Kawasan Tanpa Rokok adalah di tempat pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan


(30)

umum, tempat kerja,tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan (Undang- undang republik indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan).

Sarana ini selanjutnya dikategorikan kembali berdasarkan kedudukan atau statusnya di tempat tersebut yaitu diantaranya pada sasaran di fasilitas pelayanan kesehatan terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/pengelola fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pengunjung, tenaga medis dan non medis. Pada sasaran di tempat proses belajar mengajar terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/ pengelola tempat proses belajar mengajar, peserta didik/siswa, tenaga kependidikan (guru), dan unsur sekolah lainnya (tenaga administrasi, pegawai di sekolah). Sasaran berikutnya adalah di Tempat Anak Bermain terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/ pengelola tempat anak bermain, dan pengguna/pengunjung tempat anak bermain.

Sasaran di Tempat Ibadah terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/ pengelola tempat ibadah, Jemaah, masyarakat di sekitar tempat ibadah. Tempat selanjutnya di Angkutan Umum yaitu pengelola sarana penunjang di angkutan umum (kantin, hiburan, dsb), karyawan, pengemudi dan awak angkutan, dan Penumpang. Selanjutnya adalah di tempat Kerja yaitu pada pimpinan/penanggung jawab/ pengelola sarana penunjang di tempat kerja (kantin, toko, dsb), staf/pegawai/karyawan, dan Tamu. Sasaran terakhir di Tempat Umum yaitu terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/ pengelola sarana penunjang di tempat umum (restoran, hiburan, dsb), karyawan, dan pengunjung/pengguna tempat umum.


(31)

2.3.Awig-awig

2.3.1. Pengertian Awig-awig

Awig-awig merupakan salah satu contoh kelembagaan lokal yang berada di daerah Bali dan Lombok. Awig-awig berasal dari kata wig yang artinya rusak sedangkan awig artinya tidak rusak atau baik. Awig-awig artinya adalah sesuatu yang menjadi baik. Awig-awig berisi aturan-aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat dengan tujuan mengatur tata tertib kehidupan sehari-hari (Saba,E.S.2003).

Awig-awig umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, Awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti,dkk. 2011).

Secara garis besar yang dimaksud dengan Awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun antara krama dengan lingkungannya. (Parwata,A.A. G. O., 2007)

Istilah Awig-awig mulai memasyarakat sejak tahun 1986, sejak dikeluarkannya Perda Provinsi Dati I Bali 06/1986 tentang Kedudukan dan Fungsi Desa Adat di Provinsi Dati I Bali. Tetapi sebelum 1986, namanya


(32)

bermacam-macam seperti Pangeling-eling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta, cara, tunggul, kerta, palakerta, sima (Windia,P. 2013).

2.3.2. Bentuk, Sistematika, dan Materi Muatan Awig-awig

Keberadaan Awig-awig di setiap desa pakraman di Bali saat ini masih memiliki bentuk tertulis dan tidak tertulis. Pada awalnya, ketika masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, Awig-awig ditetapkan secara lisan melalui keputusan-keputusan dalam rapat (paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat.

Belakangan, terutama sejak 1969, ada kecendrungan desa pakraman membuat Awig-awig dalam bentuk tertulis, dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan Awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk membuat Awig-awig tertulis telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior) (Windia,P. 2013).

Dengan penulisan Awig-awig diharapkan kepastian hukum dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan Awig-awig

penting untuk dilakukan dalam rangka penemuan hukum, yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan memahami isi ketentuan hukum adat.


(33)

Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa, polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Pemerintahan Provinsi Bali, 2001).

Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan Awig-awig

yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada Awig-awig yang ditulis di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam kertas biasa. Sistematika Awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.

Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika Awig-awig terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh Awig-awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet (bagian) dan Pawos

(Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya, sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali, yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format peraturan


(34)

perundang-undangan, sistematika Awig-awig desa pakraman menyerupai sistematika UUD 1945 (Sudantra, K. 2003)

Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok mengenai kehidupan desa pakraman, sedangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam pengertian luas, Awig-awig

meliputi pula pararem, kadang-kadang keduanya tidak dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai keputusan-keputusan rapat di desa pakraman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama pararem penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan rapat di desa pakraman yang merupakan aturan pelaksanaan dari Awig-awig. Kedua, pararem ngele/pareram lepas yaitu keputusan rapat di desa pakraman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam Awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, dan ketiga yaitu pararem penepas wicara, yang berupa keputusan rapat di desa pakraman mengenai suatu persoalan hukum (perkara) tertentu, baik yang berupa sengketa maupun pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).

Materi muatan Awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau parhyangan (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan kerama desa dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir Awig-awig umumnya dijelaskan mekanisme penyelesaian masalah apabila terjadi pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian


(35)

masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda

(Masalah dan Sanksi) (Parwata,A.A. G. O., 2007). 2.3.3. Awig-Awig KTR di Desa Pakraman Selat

Penerapan awig-awig KTR di desa pakraman selat ini mulai ditetapkan pada Hari Rabu Pon wuku Medangkungan tepatnya tanggal 16 September 2015. Awig-awig ini di sahkan oleh Prajuru Desa Pakraman yang terdiri dari Bendesa, Kelian Adat, Petajuh Bendesa, Penyarikan Adat, Kelian Kamplengan, serta yang bertindak sebagai saksi adalah kelian dinas, kepala desa, dan camat.

Isi dalam awig-awig ini adalah hasil revisi dari awig-awig sebelumnya. Dalam awig-awig ini terdiri dari 3 sargah yaitu Pratama Sargah “Aran Lan Wewidangan Desa”, Dwitya Sargah “Patitis Lan Pamikukuh”, dan Tritya Sargah “Sukerta Tata Pakraman”. Aturan mengenai masalah rokok terdapat pada sargah III, tepatnya pada kaping 6 pawos 34. Dalam pasal tersebut disebutkan “Penyanggra krama banjar lan patedunan krama banjar inggih punika :

patedunan krama desa/banjar lanang-istri rikala makarya sanganan kaaturang wedang lan ajengan, nenten kadadosang ngaturan lanjaran”. Dalam bahasa indonesia dapat diartikan yaitu pada saat kehadiraan warga desa membuat jajan atau banten baik itu laki-laki ataupun perempuan, hanya disuguhkan nasi dan minuman saja, sedangkan tidak diperbolehkamn menyajikan rokok.

Aturan selanjutnya diatur pada Palet 3 tentang Indik Pitra Yadnya, yaitu pada pawos 45. Di dalamnya disebutkan “Rikala nyangra upacara kelayu

sekaran, sang sane maduwe kelayu sekaran punika nenten kadadosang ngaturang wedang, lanjaran, lan toya kemasan.”, dalam bahasa indonesia berarti pada saat


(36)

ada kematian, yang mempunyai hajatan tidak dibolehkan memberikan kopi, rokok, dan air kemasan.

Selain tertulis didalam awig-awig aturan mengenai larangan menyediakan rokok ini juga di tetapkan kedalam pararem penyahcah awig, yaitu aturan yang dibuat untuk mempertegas atau memperjelas isi awig-awig. Perarem ini disampaikan secara lisan pada saat prajuru desa pakraman mensosialisasikan perubahan awig-awig dalam rapat di desa pakraman. Aturan yang disampaikan dalam perarem ini yaitu mengenai larangan meyediakan rokok tersebut diharapkan dapat dibarengi dengan tidak merokok pada pelaksanaan upacara agama oleh masyarakat desa pakraman selat.

2.4.Pengetahuan

2.4.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar, pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, S. 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.


(37)

Penelitian Rogers (1974) mrngungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yang disebut AIETA, yaitu:

a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang – nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa

yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adaption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, S. 2007).

2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo, (2007), yaitu :

a. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka seseorang tersebut akan lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih mudah pula menyelesaikan hal-hal baru tersebut.


(38)

Menurut Wied Hary A. (1996) dalam Rahayu, N. (2012), informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih baik banyak akan memberikan pengetahuan yang jelas.

c. Budaya

Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain, karena hubungan ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan.

d. Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu suatu cara memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu, pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu

e. Sosial Ekonomi

Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan dengan penghasilan yang ada, sehingga menuntut pengetahuan yang dimiliki harus dipergunakan semaksimal mungkin, begitupun dalam mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan dengan pendapatan keluarga.


(39)

2.5.Persepsi

2.5.1. Pengertian Persepsi

Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern

dan ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya

Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrasi dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain (Bimo,W. 2004).

Persepsi ialah daya mengenal barang, kualitas atau hubungan, dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, atau mengartikan setelah pancaindranya mendapat rangsang (Maramis.W.F., 1999). Menurut Davidoff, persepsi merupakan cara kerja atau proses yang rumit dan aktif, karena tergantung pada sistem sensorik dan otak. Bagi manusia, persepsi merupakan suatu kegiatan yang fleksibel, yang dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap masukan yang berubah-ubah. Dalam kehidupan sehari-hari, tampak bahwa


(40)

persepsi manusia mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan dan budayanya. Dalam konteks ini, pengalaman-pengalaman pada berbagai kebudayaan yang berbeda dapat mempengaruhi bagaimana informasi penglihatan itu diproses.

Pengalaman budaya berperan sangat penting dalam proses kognitif, karena tangapan dan pikiran yang merupakan alat utama dalam proses kognitif selalu bersumber darinya. Dengan demikian pengalaman seseorang yang merupakan akumulasi dari hasil berinteraksi dengan lingkungan hidupnya setiap kali dalam masyarakat, lokasi geografisnya, latar belakang sosial-ekonomi-politiknya, keterlibatan religiusnya, sangat menentukan persepsinya terhadap suatu kegiatan dan keadaan.

2.5.2. Faktor-Fakor Yang Mempengaruhi Persespsi

David Krech (1962) dalam Prasilika, T. (2007), mengemukakan bahwa yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah :

1. Frame of Reference, yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki yang dipengaruhi dari pendidikan, bacaan, penelitian, dll.

2. Frame of experience, yaitu berdasarkan pengalaman yang telah dialaminya yang tidak terlepas dari keadaan lingkungan sekitarnya.

Notoatmodjo, S. (2007) menyatakan bahwa ada dua faktor yang memengaruhi persepsi yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terdapat pada orang yang memersepsikan stimulus tersebut, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang melekat pada objeknya. Faktor internal yaitu terdiri dari, pengalaman/ pengetahuan, harapan (expectation), kebutuhan, motivasi, emosi, dan budaya. Sedangkan faktor eksternal yaitu,


(41)

kontras, perubahan intensitas, pengulangan (repetition), sesuatu yang baru (novelty), dan sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak

2.5.3. Proses Terbentuknya Persepsi

Proses persepsi terdiri dari tiga tahap, yaitu :

1. Seleksi, yakni proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

2. Interpretasi, yakni proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Dalam fase ini rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk, interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Namun, persepsi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang kompleks menjadi sederhana.

3. Reaksi, yaitu tingkah laku setelah berlangsung proses seleksi dan interpretasi (Sobur.A., 2003).

2.6.Sikap

2.6.1. Pengertian Sikap

Sikap berasal dari kata “aptus” yang berarti dalam keadaan sehat dan siap

melakukan aksi / tindakan atau dapat dianalogikan dengan keadaan seorang gladiator dalam arena laga yang siap menghadapi singa sebagai lawannya dalam pertarungan. Secara harfiah, sikap dipandang sebagai kesiapan raga yang dapat diamati (Sarwono. S.W., 2011).


(42)

Notoatmodjo.S., (2007), meyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka dan merupakan kesiapan untuk berreaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek. Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respons evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2011).

2.6.2. Komponen Sikap

Sikap terbentuk melalui 3 komponen yang akan membentuktuk strukturnya yaitu :

a. Komponen kognitif ( komponen perceptual ), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana persepsi orang terhadap objek sikap. Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Berisi persepsi dan kepercayaan yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif disamakan dengan pandangan (opini) apabila menyangkut masalah issu atau problem controversial.


(43)

b. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau rasa tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif dan negatif. Merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional ini yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Komponen afeksi disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. c. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component, yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Merupakan aspek kecenderungan berperilaku sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Berisi tendensi untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu dan berkaitan dengan objek yang dihadapi. Adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang dicerminkan dalam bentk tendensi perilaku terhadap objek (Triadic Scheme) (Azwar,S., 2011).

2.7.Referensi dalam Penelitian

1. Penelitian yang dilakukan oleh Tyas Widyastini dan Arya Hadi

Dharmawan pada tahun 2013 dengan judul “Efektivitas Awig-awig


(44)

Kedonganan Bali”. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa dengan adanya Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat Nelayan, secara keseluruhan keefektif yang lebih baik adalah yang mengatur nelayan pribumi daripada nelayan pendatang karena jumlah responden yang mengimplementasikan keseluruhan aturan lebih banyak berasal dari nelayan pribumi. Metode penelitian ini menggunakan kualitatif dan kuantitatif. Dimana Metode penelitian kualitatif dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat desa, ketua kelompok nelayan dan nelayan kedonganan. Sedangkan Kuantitatif dilakukan dengan penelitian survei menggunakan instrumen kuesioner dengan mengambil sampel dari satu populasi.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Tria Febriani pada tahun 2014 dengan judul “Pengaruh Persepsi Mahasiswa Terhadap Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Dan Dukungan Penerapannya Di Universitas Sumatera Utara”. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang KTR terhadap dukungan penerapan KTR. Metode penelitian yang digunakan yaitu pendekatan explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh persepsi mahasiswa tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dengan dukungan penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Universitas Sumatera Utara.


(1)

2.5.Persepsi

2.5.1. Pengertian Persepsi

Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya

Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrasi dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain (Bimo,W. 2004).

Persepsi ialah daya mengenal barang, kualitas atau hubungan, dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, atau mengartikan setelah pancaindranya mendapat rangsang (Maramis.W.F., 1999). Menurut Davidoff, persepsi merupakan cara kerja atau proses yang rumit dan aktif, karena tergantung pada sistem sensorik dan otak. Bagi manusia, persepsi merupakan suatu kegiatan yang fleksibel, yang dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap masukan yang berubah-ubah. Dalam kehidupan sehari-hari, tampak bahwa


(2)

persepsi manusia mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan dan budayanya. Dalam konteks ini, pengalaman-pengalaman pada berbagai kebudayaan yang berbeda dapat mempengaruhi bagaimana informasi penglihatan itu diproses.

Pengalaman budaya berperan sangat penting dalam proses kognitif, karena tangapan dan pikiran yang merupakan alat utama dalam proses kognitif selalu bersumber darinya. Dengan demikian pengalaman seseorang yang merupakan akumulasi dari hasil berinteraksi dengan lingkungan hidupnya setiap kali dalam masyarakat, lokasi geografisnya, latar belakang sosial-ekonomi-politiknya, keterlibatan religiusnya, sangat menentukan persepsinya terhadap suatu kegiatan dan keadaan.

2.5.2. Faktor-Fakor Yang Mempengaruhi Persespsi

David Krech (1962) dalam Prasilika, T. (2007), mengemukakan bahwa yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah :

1. Frame of Reference, yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki yang dipengaruhi dari pendidikan, bacaan, penelitian, dll.

2. Frame of experience, yaitu berdasarkan pengalaman yang telah dialaminya yang tidak terlepas dari keadaan lingkungan sekitarnya.

Notoatmodjo, S. (2007) menyatakan bahwa ada dua faktor yang memengaruhi persepsi yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terdapat pada orang yang memersepsikan stimulus tersebut, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang melekat pada objeknya. Faktor internal yaitu terdiri dari, pengalaman/ pengetahuan, harapan (expectation), kebutuhan, motivasi, emosi, dan budaya. Sedangkan faktor eksternal yaitu,


(3)

kontras, perubahan intensitas, pengulangan (repetition), sesuatu yang baru (novelty), dan sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak

2.5.3. Proses Terbentuknya Persepsi

Proses persepsi terdiri dari tiga tahap, yaitu :

1. Seleksi, yakni proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

2. Interpretasi, yakni proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Dalam fase ini rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk, interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Namun, persepsi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang kompleks menjadi sederhana.

3. Reaksi, yaitu tingkah laku setelah berlangsung proses seleksi dan interpretasi (Sobur.A., 2003).

2.6.Sikap

2.6.1. Pengertian Sikap

Sikap berasal dari kata “aptus” yang berarti dalam keadaan sehat dan siap melakukan aksi / tindakan atau dapat dianalogikan dengan keadaan seorang gladiator dalam arena laga yang siap menghadapi singa sebagai lawannya dalam pertarungan. Secara harfiah, sikap dipandang sebagai kesiapan raga yang dapat diamati (Sarwono. S.W., 2011).


(4)

Notoatmodjo.S., (2007), meyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka dan merupakan kesiapan untuk berreaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek. Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respons evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2011).

2.6.2. Komponen Sikap

Sikap terbentuk melalui 3 komponen yang akan membentuktuk strukturnya yaitu :

a. Komponen kognitif ( komponen perceptual ), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana persepsi orang terhadap objek sikap. Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Berisi persepsi dan kepercayaan yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif disamakan dengan pandangan (opini) apabila menyangkut masalah issu atau problem controversial.


(5)

b. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau rasa tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif dan negatif. Merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional ini yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Komponen afeksi disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. c. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component, yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Merupakan aspek kecenderungan berperilaku sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Berisi tendensi untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu dan berkaitan dengan objek yang dihadapi. Adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang dicerminkan dalam bentk tendensi perilaku terhadap objek (Triadic Scheme) (Azwar,S., 2011).

2.7.Referensi dalam Penelitian

1. Penelitian yang dilakukan oleh Tyas Widyastini dan Arya Hadi Dharmawan pada tahun 2013 dengan judul “Efektivitas Awig-awig Dalam Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan Di Pantai


(6)

Kedonganan Bali”. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa dengan adanya Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat Nelayan, secara keseluruhan keefektif yang lebih baik adalah yang mengatur nelayan pribumi daripada nelayan pendatang karena jumlah responden yang mengimplementasikan keseluruhan aturan lebih banyak berasal dari nelayan pribumi. Metode penelitian ini menggunakan kualitatif dan kuantitatif. Dimana Metode penelitian kualitatif dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat desa, ketua kelompok nelayan dan nelayan kedonganan. Sedangkan Kuantitatif dilakukan dengan penelitian survei menggunakan instrumen kuesioner dengan mengambil sampel dari satu populasi.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Tria Febriani pada tahun 2014 dengan judul “Pengaruh Persepsi Mahasiswa Terhadap Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Dan Dukungan Penerapannya Di Universitas Sumatera Utara”. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang KTR terhadap dukungan penerapan KTR. Metode penelitian yang digunakan yaitu pendekatan explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh persepsi mahasiswa tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dengan dukungan penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Universitas Sumatera Utara.