Pengaruh Penggunaan Surfaktan Alkilbenzen Sulfonat Dan Dietanolamida Dalam Pembuatan Aspal Emulsi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Aspal

Aspal didefinisikan sebagai material perekat, berwarna hitam atau coklat tua dengan
unsur utama bitumen. Aspal dapat diperoleh di alam ataupun juga merupakan hasil
residu dari pengilangan minyak bumi. Aspal merupakan material yang umum
digunakan untuk bahan pengikat agregat, oleh karena itu seringkali bitumen disebut
pula sebagai aspal.

Bitumen merupakan bahan bersifat seperti damar yang banyak dipakai dalam
konstruksi jalan raya sebagai pengikat agregat, sebagai pengikat untuk komposisi–
komposisi roofing dan flooring, dan untuk gedung–gedung yang tahan air. Mereka
terjadi dalam deposit–deposit alam, tetapi diperoleh terutama dari residu penyulingan
minyak (Stevens, 2001). Bitumen diproduksi secara buatan dari minyak mentah dalam
proses penyulingan minyak bumi (Rogers, 2008).


Aspal adalah material yang pada temperatur ruang berbentuk padat dan
bersifat termoplastis. Jadi, aspal akan mencair jika dipanaskan sampai dengan
temperatur tertentu, dan kembali membeku jika temperatur turun. Bersama dengan
agregat, aspal merupakan material pembentuk campuran perkerasan jalan.

Aspal adalah material yang termoplastik, berati akan menjadi keras atau lebih
kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur
bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Kepekaan
terhadap temperatur dari setiap jenis aspal berbeda–beda, yang dipengaruhi oleh
komposisi kimiawi aspalnya, walaupun mungkin mempunyai nilai penetrasi atau

Universitas Sumatera Utara

viskositas yang sama pada temperatur tertentu. Pemeriksaan sifat kepekaan aspal
terhadap perubahan temperatur perlu dilakukan sehingga diperoleh informasi rentang
temperatur yang baik untuk pelaksanaan pekerjaan.

Aspal yang mengandung lilin (wax) lebih peka terhadap temperatur
dibandingkan dengan aspal yang tidak mengandung lilin. Kepekaan terhadap
temperatur akan menjadi dasar perbedaan umur aspal untuk menjadi retak/mengeras

(Sukirman, 2003).

2.1.1

Sumber Aspal

Aspal yang dihasilkan dari industri kilang minyak mentah (crude oil) dikenal sebagai
refinery bitumen, residual bitumen, straight bitumen atau steam refined bitumen.
Isitilah refinery bitumen merupakan nama yang tepat dan paling umum digunakan.
Aspal yang dihasilkan dari minyak mentah yang diperoleh melalui proses destilasi
minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga suhu
350OC dibawah tekanan atmosfer untuk memisahkan fraksi–fraksi minyak seperti
gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah) dan gas (Wignall, 2003).

Proses penyulingan minyak melibatkan minyak mentah yang disuling dengan
berbagai hidrokarbon diperoleh. Bensin adalah yang paling mudah menguap yang
pertama diperoleh, diikuti oleh bahan seperti minyak tanah dan minyak gas. Bahan
sisa kemudian dipanaskan pada tekanan rendah untuk mengumpulkan solar dan
minyak pelumas. Pada tahap akhir residu dapat diolah untuk menghasilkan aspal
berbagai nilai penetrasi (Rogers, 2008).


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Skema Aspal Minyak Bumi.

2.1.2

Jenis–Jenis Aspal

Pada dasarnya, jenis aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan atas asal dan proses
pembentukannya adalah sebagai berikut:
a)

Aspal Alam.
Aspal alam adalah aspal yang terbentuk dari proses alam. Aspal ini biasanya

kualitasnya tidak seragam (Asiyanto, 2008). Menurut Oglesby (1996) aspal alam
berasal dari berbagai sumber, seperti dari Trinidad mengandung kira-kira 40% organik
dan zat–zat anorganik yang tidak dapat larut dan dari Bermuda mengandung kira–kira
6% zat–zat yang tidak dapat larut. Dengan pengembangan aspal minyak bumi, aspal

alam relatif menjadi tidak penting.

Indonesia mempunyai aspal alam yang terkenal dengan nama Asbuton yaitu
aspal batu buton yang berasal dari Pulau Buton. Cadangan deposit asbuton berkisar
200 juta ton dengan kadar aspal bervariasi antara 10 sampai 35% aspal. Asbuton
merupakan campuran antara bitumen dengan bahan mineral lainnya dalam bentuk
batuan (Sukirman, 2003).

Universitas Sumatera Utara

b)

Aspal Batuan.
Aspal batuan adalah endapan alamiah batu kapur atau batu pasir yang

diperpadat dengan bahan–bahan berbitumen. Aspal ini terjadi di berbagai bagian di
Amerika Serikat. Aspal ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat tahan
lama dan stabil, tetapi kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal terbatas pada
daerah–daerah tertentu saja (Oglesby, 1996).


c)

Aspal Minyak Bumi.
Aspal minyak bumi adalah aspal yang terbentuk dari proses yang terjadi dalam

pabrik sebagai hasil samping dari proses penyulingan minyak bumi. Aspal minyak
bumi ini mempunyai kualitas yang standar (Asiyanto, 2008). Setiap minyak bumi
dapat menghasilkan residu jenis asphaltic base crude oil yang banyak mengandung
aspal, parafin base crude oil yang banyak mengandung parafin, atau mixed base
crude oil yang mengandung campuran antara parafin dan aspal. Untuk perkerasan
jalan umumnya digunakan aspal minyak bumi jenis asphaltic base crude oil
(Sukirman, 2003).

Aspal minyak terbagi kedalam tiga jenis menurut Asiyanto (2008) yaitu:
1) Aspal keras, disebut juga Asphalt Concrete (AC) yang dibagi–bagi menurut angka
penetrasinya. Misal: AC 40/60, AC 80/100, dan seterusnya.
2) Aspal cair, disebut juga aspal cut–back, yang dibagi–bagi menurut proses
fraksinya. Misalnya Slow Curing (SC), Medium Curing (MC) dan Rapid Curing
(RC). Aspal cair dalam keadaan suhu ruang berbentuk seperti cairan, biasanya
digunakan untuk pekerjaan prime coat yaitu sebagai lapisan dasar dari aspal

campuran yang berbatasan dengan lapisan subbase.
3) Aspal emulsi, yaitu campuran aspal (55%-65%), air (35%-45%) dan bahan emulsi
1% sampai 2%. Di pasaran ada dua macam aspal emulsi, yaitu jenis aspal emulsi
anionik (15%) dan jenis aspal emulsi kationik (85%).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3

Sifat Kimiawi Aspal

Aspal dipandang sebagai sebuah sistem koloidal yang terdiri dari komponen molekul
berat yang disebut aspaltene, dispersi/hamburan di dalam minyak perantara disebut
maltene. Bagian dari maltene terdiri dari molekul perantara disebut resin yang menjadi
instrumen di dalam menjaga dispersi asphaltene (Koninklijke, 1987).

Aspal merupakan senyawa hidrogen (H) dan karbon (C) yang terdiri dari
parapin, naften dan aromatis. Fungsi kandungan aspal dalam campuran juga berperan
sebagai selimut agregat dalam bentuk film aspal yang berperan menahan gaya gesek
permukaan dan mengurangi kandungan pori udara yang juga berarti mengurangi

penetrasi air ke dalam campuran (Rianung, 2007).

Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun oleh
hidrokarbon dan atom–atom N, S, dan O dalam jumlah yang kecil. Dimana unsur–
unsur yang terkandung dalam bitumen adalah karbon (82-88%), hidrogen (8-11%),
sulfur (0-6%), oksigen (0-1,5%), dan nitrogen (0-1%). Berikut sifat–sifat dari
senyawa penyusun dari aspal:

a)

Asphaltene
Asphaltene merupakan senyawa komplek aromatis yang berwarna hitam atau

coklat amorf, bersifat termoplatis dan sangat polar, merupakan komplek aromatis, H/C
ratio 1 : 1, memiliki berat molekul besar antara 1000 – 100000, dan tidak larut dalam
n–heptan. Asphaltene juga sangat berpengaruh dalam menentukan sifat reologi
bitumen, dimana semakin tinggi asphaltene, maka bitumen akan semakin keras dan
makin kental, sehingga titik lembeknya akan semakin tinggi, dan menyebabkan harga
penetrasinya semakin rendah.


b)

Maltene
Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturate, aromatis,

dan resin. Dimana masing–masing komponen memiliki struktur dan komposisi kimia
yang berbeda, dan sangat menentukan dalam sifat bitumen.

Universitas Sumatera Utara

Saturate. Senyawa ini berbentuk cairan kental non polar, berat molekul hampir
sama dengan aromatis. tersususn dari campuran hidrokarbon lurus, bercabang, alkil
naften, dan aromatis, komposisi 5 – 20% dari total bitumen.

Aromatis. Senyawa ini berwarna coklat tua, berbentuk cairan kental, bersifat
non polar, dan di dominasi oleh cincin tidak jenuh, berat molekul 300 – 2000, terdiri
dari senyawa naften aromatis, komposisi 40 – 65% dari total bitumen.

Resin. Merupakan senyawa yang berwarna coklat tua, dan berbentuk padat
atau semi padat dan sangat polar, dimana tersusun oleh atom C dan H, dan sedikit

atom O, S, dan N, untuk perbandingan H/C yaitu 1,3 – 1,4, memiliki berat molekul
antara 500 – 50000, dan larut dalam n–heptan.

Dengan demikian maka aspal atau bitumen adalah suatu campuran cairan
kental senyawa organik, berwarna hitam, lengket, larut dalam karbon disulfida, dan
disusun utamanya oleh polisiklik aromatis hidrokarbon yang sangat kompak
(Nuryanto, 2008).

2.2

Aspal Emulsi

Aspal emulsi (emulsion asphalt) adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan
pengemulsi. Di dalam aspal emulsi, butir–butir aspal larut dalam air. Untuk
menghindari butiran aspal saling menarik membentuk butir–butir yang lebih besar,
maka butiran tersebut diberi muatan listrik (Sukirman, 2003).

Aspal emulsi merupakan aspal yang didispersikan secara merata ke dalam air.
Untuk dapat mendispersikan aspal yang bersifat non polar ke dalam air yang bersifat
polar diperlukan bahan pengemulsi (emulsifier) yang molekulnya memiliki bagian

polar dan non polar, bagian polar dari emulsifier akan larut dalam air, sedangkan
bagian non polar akan larut dalam aspal, sehingga emulsifier berfungsi mengikat
molekul aspal dengan molekul air. Dalam suatu campuran emulsi, kandungan aspal

Universitas Sumatera Utara

umumnya berkisar ± 55 – 65% dan kandungan bahan pengemulsi (emulsifier) ± 2%
(Depertemen Pekerjaan Umum, 1991).

Aspal emulsi mengandung butir/tetes aspal yang terhambur/tersebar di dalam
air, campuran ini dicampur dengan cara mengemulsikan agents (subtansi jenis sabun).
Terdapat dua macam emulsi, emulsi anion dan emulsi kation. Emulsi anion
mempunyai kandungan pengemulsi basa (alkaline emulsifier) dan pecahnya emulsi
pada prinsipnya bergantung saat air hilang selama proses evaporasi. Oleh karena itu
kesulitan akan dialami saat terjadinya breaking selama periode waktu cuaca basah.
Emulsi kation mempunyai pengemulsi asam dan terjadinya breaking dikendalikan
oleh chemical coagulation dan bukan oleh hilangnya air karena penguaopan. Karena
itu emulsi sangat cocok untuk penggunaan cuaca basah (Wignall, 2003).

Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, menurut Sukirman (2003)

aspal emulsi dapat dibedakan atas:
a. Aspal kationik disebut juga aspal emulsi asam, merupakan aspal emulsi yang
buriran aspalnya bermuatan arus listrik positif.
b. Aspal anionik disebut juga aspal emulsi alkali, merupakan aspal emulsi yang
butiran aspalnya bermuatan negatif.
c. Nonionik merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami ionisasi, berarti tidak
mengantarkan listrik.

Dan berdasarkan kecepatan pengerasnya, sukirman (2003) membedakan aspal
emulsi atas:
a. Rapid Setting (RS), aspal yang mengandung sedikit bahan pengemulsi sehingga
pengikatan yang terjadi cepat, dan aspal cepat menjadi padat atau keras kembali.
b. Medium Setting (MS), aspal emulsi dengan tipe pengikatan sedang.
c. Slow Setting (SS), jenis aspal emulsi yang paling lambat mengeras.

Universitas Sumatera Utara

2.3

Surfaktan

Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa aktif permukaan yang
mempunyai struktur molekul yang memiliki gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik
dalam satu struktur molekul yang sama (Johnson, 1989). Surfaktan digunakan untuk
menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut
(Spitz, 1996). Molekul surfaktan tidak sepenuhnya dapat larut pada kedua cairan yang
berbeda fase tersebut, tetapi cenderung untuk terkonsentrasi pada daerah antar muka
(O’Brien, Walter, dan Peter, 2000). Surfaktan cendrung terpartisi pada antar
permukaan fasa cairan yang berbeda tingkat kepolaran dan ikatan hidrogennya.

Sifat yang unik tersebut, menyebabkan surfaktan sangat potensial digunakan
sebagai komponen bahan adesif, bahan penggumpal, pembasah, pembusa,
pengemulsi, dan bahan penetrasi serta telah diaplikasikan secara luas pada berbagai
bidang industri proses yang menggunakan sistem multifasa seperti pada industri
makanan, farmasi, kosmetika, tekstil, polimer, cat, deterjen dan agrokimia (Johnson,
1989). Surfaktan cenderung mempunyai konsentrasi lebih besar pada antarmuka
daripada didalam larutan. Molekul–molekul pada permukaan cairan mempunyai
energi potensial yang lebih tinggi daripada molekul–molekul yang ada dibagian
dalamnya. Hal ini disebabkan interaksi antar molekul senyawa tersebut dibagian
dalam lebih kuat daripada interaksi molekul–molekul pada permukaan dengan
molekul–molekul gas diatasnya (Rosen, 1978).

Kebanyakan surfaktan disajikan dengan formula RX, dimana R merupakan
gugus hidrofilik (kepala) dan X merupakan gugus hidrofobik (ekor). Bagian kepala
dapat berupa anionik, kationik, zwitterionik, dan ionik. Sedangkan bagian ekor
biasanya terdiri dari satu atau lebih rantai hidrokarbon yang mempunyai 10 atau 20
atom karbon dalam setiap rantainya (Dickinson dan Clements, 1996).

Perbedaan sifat pada bagian yang hidrofobik biasanya kurang penting daripada
bagian hidrofilik. Umumnya bagian hidrofobik adalah hidrokarbon rantai panjang.
Biasanya mereka dikelompokkan dalam perbedaan struktur, seperti:

Universitas Sumatera Utara

1. Rantai lurus, kelompok alkil panjang (C1 – C20).
2. Rantai bercabang, kelompok alkil panjang (C1 – C20).
3. Rantai panjang (C1 – C15) residu alkilbenzen.
4. Residu alkilnaftalen (C3 dan kelompok alkil yang lebih besar dan lebih panjang).
(Rosen, 1978).

Surfaktan dapat dikelompokkan sebagai anionik, kationik, atau netral,
bergantung pada sifat dasar gugus hidrofiliknya (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Berdasarkan muatan yang dikandungnya, menurut Schwartz (1977) surfaktan terbagi
atas:
a. Surfaktan anionik adalah surfaktan yang bermuatan negatif.
Contoh surfaktan ini antara lain alkilbenzen sulfonat, natrium lauril sulfat.
b. Surfaktan kationik adalah surfaktan yang bermuatan positif.
Contohn surfaktan ini antara lain garam ammonium, diamina hidroklorida.
c. Sufaktan non ionik yaitu surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi
molekul.
Contoh surfaktan ini seperti etilena oksida, mono alkanolamida.
d. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bermuatan positif dan negatif dimana
muatanya bergantung pada pH. Pada pH tinggi dapat menunjukkan sifat anionik
dan pada pH rendah dapat menunjukkan sifat kationik, yang dapat membentuk
surfaktan amfoter.
Contoh dari surfaktan amfoter antara lain alkil asetat, karboksil glisianat.

2.3.1

Alkilbenzen Sulfonat

Surfaktan umumnya disintesis dari senyawa turunan minyak bumi, misalnya
alkilbenzen sulfonat. Alkilbenzen sulfonat luas penggunaannya di dunia industri.
Dalam struktur alkilbenzen sulfonat terdapat dua bagian berbeda yaitu bagian
hidrofilik dan hidrofobik.

Sekitar tahun 1950 penggunaan Kerilbenzena sebagai bahan pencuci dan
digantikan oleh alkilbenzen sulfonat karena pembuatannya yang lebih mudah dan

Universitas Sumatera Utara

lebih baik untuk menghilangkan kotoran. Pada periode 1950 – 1965 lebih dari
setengah deterjen di dunia menggunakan alkilbenzen sulfonat, sehingga surfaktan ini
dengan cepat menggantikan semua bahan dasar deterjen. Akan tetapi selama periode
tersebut masalah pengolahan limbah muncul. Hal ini kemudian dihubungkan dengan
fakta bahwa alkilbenzen sulfonat tidak terdegradasi secara lengkap oleh bakteri yang
terdapat di dalam air buangan. Adanya rantai bercabang dari alkilbenzen sulfonat akan
menghalangi serangan dari bakteri (Schwartz, 1977).

Alkilbenzen sulfonat merupakan salah satu jenis surfaktan anionik yang
pertama digunakan dengan gugus alkil yang sangat bercabang. Bagian alkil senyawa
ini disintesis dengan polimerisasi propilen dan dilekatkan pada cincin benzen dengan
reaksi alkilasi Friedel–Crafts. Kemudian dilakukan pengolahan dengan basa
(Fessenden dan Fessenden, 1986). Alkilbenzen sulfonat yang merupakan komponen
utama pembentuk deterjen anionik yang bersifat sebagai zat aktif permukaan (surface
active agent), yaitu zat yang menyebabkan turunnya tegangan permukaan air sehingga
air dapat dengan mudah meresap ke dalam substrat (Purnomo, 1992). Surfaktan
alkilbenzen sulfonat ini sukar terbiodegradasi oleh mikroorganisme.

Surfaktan yang terdiri dari gugus sulfonat dengan rantai alkil C12 – C20
menurun kelarutannya dalam medium non polar dan meningkat kelarutannya dalam
medium polar. Gugus sulfonat dalam surfaktan meningkatkan karakter hidrofolik
molekul surfaktan (Rosen, 1978).

Gambar 2.2 Struktur Alkilbenzen Sulfonat

2.3.2

Dietanolamida

Dietanolamida adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol.
Dialkohol menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Dietanolamida

Universitas Sumatera Utara

pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamina dengan satu mol
asam lemak. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat berupa
asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida biasanya diproduksi secara
kimia konvensional pada temperatur 150oC selama 6-12 jam (Herawan, Nuryanto, dan
Guritno, 1999).

Dietanolamida termasuk dalam surfaktan non ionik yang memiliki kemampuan
untuk menurunkan tegangan permukaan cairan, atau antar permukaan dua cairan yang
tidak saling bercampur. Aktifitas suatu surfaktan terjadi karena sifat ganda dari
molekulnya, yang terdiri dari bagian hidrofilil (suka air) dan lipofil (suka lemak).
Bagian polar (hidrofil) molekul surfaktan dapat bermuatan positif (surfaktan kationik),
negatif (surfaktan anionik), memiliki kedua muatan positif dan negatif (surfaktan
amfoterik) ataupun netral (surfaktan non ionik) sedangkan bagian lipofilnya
merupakan rantai alkil (Gennaro, 1990).

Pada umumnya, dietanolamida digunakan dalam produk deterjen seperti
deterjen bubuk yang ringan, serta deterjen cair yang berat dan ringan, dimana basa
tidak ditemui dan daya larut yang tinggi dibutuhkan (Kirk-Othmer, 1992). Menurut
William dan Schmitt (1996), dietanolamida digunakan secara luas sebagai surfaktan,
penstabil dan pengembang busa. Dietanolamida selain mampu menstabilkan busa juga
dapat meningkatkan tekstur kasar busa dan dapat mencegah terjadinya proses
penghilangan minyak yang berlebihan. Wujudnya yang cair menyebabkan
dietanolamida lebih mudah ditangani. Pemanfaatan turunan senyawa nitrogen ini
dapat ditemukan pada pembuatan deterjen, foam fire, extinguisher, agen emulsifier
dan kosmetik. Karakter utama senyawa ini selain digunakan untuk menstabilkan dan
mengembangkan busa juga termasuk kedalam kelompok surfaktan.

CH2CH2OH

R-COOCH3

+

CH2-CH2-OH
+ CH3OH

3RC-N

3HN
CH2CH2OH

metil ester
asam lemak

O

dietanolamin

CH2-CH2-OH
dietanolamida

metanol

Gambar 2.3 Struktur Dietanolamida

Universitas Sumatera Utara

2.4

Metode Analisa Viskositas

Viskositas (viscosity) adalah ukuran hambatan suatu fluida untuk mengalir. Semakin
besar viskositas makin lambat aliran cairan. Viskositas cairan bisanya turun dengan
meningkatnya suhu (Chang, 2005). Setiap fluida mempunyai viskositas yang berbeda–
beda yang harganya bergantung pada jenis cairan dan suhu. Viskositas menyatakan
kekentalan suatu cairan atau fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang
berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada yang dapat
mengalir cepat, sedangkan lainnya mengalir secara lambat. Jadi viskositas tidak lain
menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan (Yazid, 2005).

Gas dan cairan (fluida), mempunyai sifat yang disebut viskositas, yaitu gaya
tahan suatu lapisan fluida terhadap gerakan lapisan lain fluida tersebut. Cairan
mempunyai gaya gesek yang lebih besar untuk mengalir daripada gas, sehingga cairan
mempunyai koefisien viskositas yang lebih besar daripada gas. Viskositas gas
bertambah dengan naiknya temperatur, sedang viskositas cairan turun dengan naiknya
temperatur (Sukardjo, 2002). Pada cairan, viskositas meningkat dengan naiknya
tekanan dan menurun bila suhu meningkat (Bird, 1993). Ketika molekul bergerak
pada suhu yang lebih tinggi, molekul tersebut dapat mengatasi gaya antarmolekul
lebih mudah, sehingga tahanan aliran menurun (Silberberg, 2007).

Metode viskositas Brookfield merupakan pengukuran viskositas aspal pada
temperatur 38OC sampai 260OC dengan menggunakan alat viskosimeter Brookfield.
Viskosimeter Brookfield ini digunakan untuk mengukur viskositas aspal pada berbagai
temperatur. Torsi pada spindel yang berputar pada temperatur tertentu digunakan
untuk mengukur ketahanan relatif terhadap perputaran dalam tabung benda uji. Nilai
viskositas aspal dalam milipascal sekon (mPa.s) diperoleh dengan mengalikan hasil
pembacaan torsi dengan suatu faktor. Satuan viskositas dalam Satuan Sistem
Internasional (SSI) adalah Pascal sekon (Pa.s). Satuan viskositas dalam sitem
centimeter gram sekon (cgs) adalah poise (dyreis/cm2) dan nilai ini setara dengan 0,1
Pascal sekon (Pa.s). Biasanya satuan viskositas dinyatakan dalam centipoises (cP),
dimana 1 cP sama dengan 1 milipascal sekon (mPa.s) (SNI-06-6441-2000).

Universitas Sumatera Utara

2.5

Metode Analisa Spektroskopi FTIR

Spektrum inframerah (IR) banyak dipakai dengan penekanannya akhir–akhir ini ke
Fourier Transform (FT) IR (FTIR). Kelebihan–kelebihan dari FTIR mencakup
persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan
karena instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi, kemampuan untuk
menyimpan dan memanipulasi spektrum. FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan
yang lebih besar kepenelitian–penelitian struktur polimer. Karena spektrum–spektrum
bisa di-scan, disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini
memudahkan penelitian–penelitian reaksi–reaksi polimer seperti degradasi atau ikat
silang. Persyaratan–persyaratan ukuran sampel yang sangat kecil mempermudah
kopling instrumen FTIR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian–bagian sampel
polimer yang sangat terlokalisasi (Stevens, 2001).

Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum
elektromagnet yang terletak diantara daerah tampak dan daerah gelombang mikro.
Sebagian besar kegunaannya terbatas diantara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5 – 15 µm).
Walaupun spektrum inframerah merupakan kekhasan sebuah molekul secara
menyeluruh, gugus–gugus atom tertentu memberikan penambahan pita–pita pada
bilangan gelombang tertentu, ataupun didekatnya, apapun bangun molekul selebihnya.
Letak pita didalam spektrum inframerah disajikan sebagai bilangan gelombang (cm-1)
lebih sering dipakai karena secara langsung berbanding dengan energi getarnya.

Dua kawasan penting dalam pemeriksaan awal sebuah spektrum ialah daerah
4000 – 1300 cm-1 (2,5 – 7,7 µm) dan daerah 909 – 650 cm-1 (11,0 – 15,4 µm). Bagian
bilangan gelombang tinggi sebuah spektrum disebut sebagai daerah gugus fungsi.
Bilangan gelombang uluran khas bagi gugus–gugus fungsi yang penting seperti OH,
NH, dan C=O terletak pada bagian itu. Pada umumnya ketiadaan serapan kuat
didaerah 909 – 650 cm-1 (11,0 – 15,4 µm) menunjukkan suatu senyawa niraromatik.
Senyawa–senyawa aromatik dan heteroaromatik menunjukkan pita serapan kuat
tekukan C–H keluar bidang (out of plane) dan liukan cincin didaerah tersebut diatas,
yang seringkali dikaitkan dengan corak penggantian gugusan. Bagian tengah
spektrum, yaitu 1300 – 909 cm-1 (7,7 – 11,0 µm), biasanya disebut sebagai daerah

Universitas Sumatera Utara

sidik jari. Corak serapan didaerah ini seringkali rumit dengan pita–pita yang
ditimbulkan oleh cara–cara getaran yang berantraksi. Bagian spektrum ini sangat
berharga dalam hubungannya dengan bagian spektrum lainnya (Silverstein, 1986).

Universitas Sumatera Utara