Penggunaan surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol dan Dietanolamida sebagai bahan aditif dalam pembuatan aspal emulsi

(1)

PENGUNAAN SURFAKTAN TWEEN 80, POLIVINIL ALKOHOL

DAN DIETANOLAMIDA SEBAGAI BAHAN ADITIF DALAM

PEMBUATAN ASPAL EMULSI

TESIS

Oleh

IRWAN PANDAPOTAN HARAHAP

107006009/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

PENGUNAAN SURFAKTAN TWEEN 80, POLIVINIL ALKOHOL

DAN DIETANOLAMIDA SEBAGAI BAHAN ADITIF DALAM

PEMBUATAN ASPAL EMULSI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Kimia pada Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

IRWAN PANDAPOTAN HARAHAP

107006009/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

Judul : PENGGUNAAN SURFAKTAN TWEEN 80, POLIVINIL

ALKOHOL DAN DIETANOL AMIDA SEBAGAI BAHAN

ADITIF DALAM PEMBUATAN ASPAL EMULSI Nama Mahasiswa : IRWAN PANDAPOTAN HARAHAP

Nomor Pokok : 107006009

Program Studi : Magister Ilmu Kimia

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Tamrin, M.Sc Dr. Marpongahtun, M.Sc Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 13 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Tamrin, M.Sc Anggota : 1. Dr. Marpongahtun, M.Sc

2. Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D 3. Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc 4. Prof. Harlem Marpaung


(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

PENGUNAAN SURFAKTAN TWEEN 80, POLIVINIL ALKOHOL DAN DIETANOLAMIDA SEBAGAI BAHAN ADITIF DALAM

PEMBUATAN ASPAL EMULSI TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil karya saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar

Medan, 13 Agustus 2012


(6)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap berikut gelar : Irwan Pandapotan Harahap, S.Si Tempat dan Tanggal Lahir : Padangsidimpuan, 17 Maret 1984

Alamat Rumah : Jl. Dr. Payungan Dalimunte, Gg Lestari No.5 Padangsidimpuan Utara

Telepon/HP : 0634-21995/085296459964

Email : irwan_pandapotanhrp@yahoo.com

Instansi Tempat Bekerja : PT. Smart ,Tbk (Sinarmas Group) Alamat Kantor : Jl. Belmera Baru III, Belawan II, Medan

Telepon/Faks/Hp : 061-6940694

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Negeri 142789 Sipirok, Tapsel Tamat : 1996 SMP : SLTP Negeri 1 Sipirok, Tapsel Tamat : 1999 SMU : SMU Negeri 1 Sipirok, Tapsel Tamat : 2002

D-3 : D3 Kimia Industri FMIPA USU Tamat : 2006

Strata-1 : Kimia FMIPA USU Tamat : 2009


(7)

PENGUNAAN SURFAKTAN TWEEN 80, POLIVINIL ALKOHOL DAN DIETANOLAMIDA SEBAGAI BAHAN ADITIF DALAM

PEMBUATAN ASPAL EMULSI ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang aspal emulsi dengan menggunakan surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol (PVA) dan Dietanolamida. Aspal emulsi dapat dibuat dengan mencampurkan variasi perbandingan aspal yang terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 120oC dengan variasi air yang dipanaskan pada suhu 55oC dan variasi surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol dan Dietanolamida kemudian ditambahkan secara perlahan-lahan dan diaduk dengan agitator selama 5 menit dengan komposisi maksimum perbandingan aspal, air dan surfaktan (75:15:10). Penggunaan surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol, dan Dietanolamida sebagai aditif dalam campuran aspal emulsi dapat meningkatkan viskositas dimana viskositas dari variasi perbandingan Aspal emulsi 75:15:10 dengan menggunakan surfaktan Tween 80 tertinggi 16100 cP dan terendah 1000 cP sedangkan pada Polivinil Alkohol tertinggi 20000 cP dan terendah 4000 cP dan Dietanolamida tertinggi 10000 cP dan terendah 900 cP sementara untuk aspal murni tertinggi 9100 cP dan terendah 1000 cP. Energi aktivasi (Ea) yang diperoleh pada variasi perbandingan Aspal Emulsi menggunakan surfaktan Tween 80 adalah 70.5164 Kj/mol, Poilivinil Alkohol (PVA) 60.3570 Kj/mol dan Dietanolamida (DEA) 82.6867 Kj/mol, Ini membuktikan bahwa surfaktan yang digunakan dapat meningkatkan energi aktivasi, semakin tinggi konsentrasi variasi perbandingan Aspal emulsi semakin tinggi Energi aktivasinya. Pada penentuan % padatan, jumlah padatan yang diperoleh meningkat dengan penambahan surfaktan yaitu menggunakan Tween 80 adalah 84.68%, Poilivinil Alkohol (PVA) 84.88% dan Dietanolamida (DEA) 83.83%. Dan hasil morfologi dengan SEM memperlihatkan adanya perubahan struktur setelah penambahan surfaktan. Spektrum FTIR menunjukkan adanya ikatan antara aspal dengan surfaktan dan adanya gugus yang bertambah setelah aspal dicampurkan dengan surfaktan.


(8)

THE USE OF SURFACTANT TWEEN 80, POLYVINYL ALCOHOL AND DIETANOLAMIDA AS ADDITIVES IN THE MANUFACTURE OF

ASPHALT EMULSION

ABSTRACTS

It has been done the research about asphalt emulsion by using Surfactant tween 80, Polyvinyl alcohol (PVA) and Dietanolamida. Asphalt emultion can be made by mixing asphalt ratio variation, heated first at 1200C with water variation heated at temperature 550C, and then the Surfactant tween 80 variation, Polyvinyl alcohol and Dietanolamida added slowly and stirred with agiator for 5 minutes at maximum comparison of asphalt, water and Surfactant ratio (75:15:10). The use of Surfactant tween 80, Polyvinyl alcohol and Dietanolamida as additives in asphalt emulsion mixture can increase the viscosity, wherein the viscosity of asphalt emultion comparison variation at 75:15:10 is using the highest Surfactant tween 80 , 16100 cP and the lowest 1000 cP while the highest Polyvinyl alcohol is 20000 cP and the lowest is 4000 cP, and the highest Dietanolamida is 10000 cP and the lowest is 900 cP, while the highest pure asphalt is 900 cP and the lowest is 1000 cP. Obtained activation energy (Ea) in the ratio variation of asphalt emulsion that using Surfactant tween 80 is 70.5164 Kj/mol, 60.3570 Kj/mol using Polyvinyl alcohol (PVA) and 80.6867 Kj/mol using dietanoamida. This proves that the Surfactant used is able to increase the activation energy, the higher concentration of asphalt emulsion ratio variation the higher activation energy. In defining the % solid, the obtained amount of solids increased by addition of 84.64 % of Surfactant tween, 80.88 % of Polyvinyl alcohol (PVA) and 83.83 % Dietanolamida (DEA). And the result of the morphologi with SEM shows the change in structure after addition of Surfactant. FTIR spectrum shows the bond between asphalt and Surfactant ang the group that grew after mixing asphalt and Surfactant.


(9)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmad dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Penggunaan surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol dan Dietanolamida sebagai bahan aditif dalam pembuatan aspal emulsi” ini dapat diselesaikan.

Dengan diselesaikannya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Dr. Sutarman, M.Sc, Ketua Program Studi Magister Ilmu Kimia Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D, dan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Kimia Dr. Hamonangan, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya ditujukan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Tamrin, M.Sc selaku Pembimbing Utama dan Ibu Dr.Marpongahtun, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan perhatian, dorongan, bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran menuntun dan membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini.

2. Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D, Bapak Dr. Hamonangan, M.Sc, Bapak Prof. Dr. Harlem Marpaung, selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk menyelesaikan tesis ini.

3. Ibu Dr. Yugia Muis, M.Sc selaku Kepala Laboratoium Polimer FMIPA USU beserta staf atas fasilitas dan sarana yang diberikan selama penelitian.


(10)

4. Kepala Laboratorium Penelitian FMIPA USU, Kepala Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU, Kepala Laboratorium Penelitian FMIPA UGM, dan Kepala Laboratorium PT. Smart, Tbk dalam bantuannya menganalisa sampel. 5. Ayahanda Armen Dame Harahap, SH, MM dan Ibunda Rosmawaty Siregar, serta

adik-adik saya Ramadhan Saleh Harahap, Anita Rosanna Harahap, Muhammad Bismar Harahap, Rajali Haris Harahap, Rajali Hadi Harahap yang telah memberikan do’a restu serta dorongan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

6. Rekan-rekan Angkatan 2010, Mulia, Ridwan, Kak Evi, Kak Mawar, Ami, Riani, Angel, Pita dan Rekan-rekan Kimia Industri 2003, Sulwan, Bahri, Dani, Didi, Amir, Lusi, Husni, Nasrun, dan kawan-kawan lain yang tidak bisa kusebutkan satu persatu atas kekompakan dan kerjasamanya yang baik selama perkuliahan maupun selama penelitian. dan Rekan-rekan kerja di PT. Smart Tbk (Group C) yang telah banyak memberikan motivasi, dorongan dan doa.

7. Teman-teman penelitian Ibu Sukatik, Pak Kurnia, Lisik, Sigit, Putra dan Bang Edy yang telah banyak membantu memberikan dorongan moril selama menyelesaikan pendidikan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih kurang sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pihak pembaca demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat bagi penelitian dan kemajuan ilmu pengetahuan untuk masa yang akan datang.

Hormat Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

DAFTAR ISTILAH x

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 5

1.3 Pembatasan Masalah 5

1.4 Tujuan Penelitian 5

1.5 Manfaat Penelitian 6

1.6 Metodologi Penelitian 6

1.7 Lokasi Penelitian 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1 Aspal 8

2.1.1 Sumber Aspal 10

2.1.2 Kandungan Aspal 11

2.1.3 Jenis-jenis Aspal 12

2.2 Aspal Emulsi 14

2.2.1 Jenis-jenis Aspal Emulsi 15

2.2.2 Emulsi 16

2.3 Emulsifier/Surfaktan 17

2.3.1 Jenis-jenis surfaktan 18

2.3.2 Hydrophilic – liphophilic Balance (HLB) 21 2.3.3 Metode HLB untuk memilih surfaktan 23

2.4 Tween 80 25

2.5 Polivinil Alkohol (PVA) 25

2.6 Dietanol Amida 27

2.7 Viskositas 29

2.7.1 Konsep Viskositas 29

2.8 Energi Aktivasi 35


(12)

2.10 Scaning Elektron Microscopy (SEM) 38

BAB 3 METODOLOGI 39

3.1 Bahan-Bahan 39

3.2 Alat-Alat 39

3.3 Prosedur Penelitian 39

3.3.1 Preparasi Aspal, air dan surfaktan 39

3.3.2 Proses Pembutan Aspal Emulsi 40

3.3.3 Karakterisasi Aspal Emulsi 40

3.3.3.1 Karakterisasi Dengan Uji Viskositas 40 3.3.3.2 Penentuan Energi Aktivasi 41 3.3.3.3 Karakterisasi Uji % Padatan 41 3.3.3.4 Karakterisasi Dengan FTIR 42 3.3.3.5 Karakterisasi Dengan SEM 42

3.4 Bagan Penelitian 44

3.4.1 Proses Pembuatan Aspal Emulsi 44

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 45

4.1 Hasil dan Analisis Pengujian Viskositas 45 4.2 Hasil dan Analisis Penentuan Energi Aktivasi 51 4.3 Hasil dan Analisis Pengujian % Padatan 55 4.4 Hasil dan Analisis Dengan Spektroscopy FT-IR 58 4.5 Hasil dan Analisis Pengujian dengan SEM 60

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 65

5.1. Kesimpulan 65

5.2. Saran 66

DAFTAR PUSTAKA 67


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Data Jenis Pengujian dan Persyaratan Aspal grade 60/70 14 Tabel 2.2 Tingkatan Aspal Emulsi Berdasarkan ASTM dan AASHTO 15 Tabel 2.3 Aktivitas dan Harga HLB Surfaktan 21 Tabel 2.4 Harga HLB Beberapa Surfaktan 22 Tabel 2.5 Angka HLB untuk Beberapa Senyawa Organik cair 24 Tabel 2.6 Karakter fisik Polivinil Alkohol 27 Tabel 2.7 Koefisien Viskositas dari Beberapa Fluida 31 Tabel 2.8 Perbedaan antara Viskositas Cairan dengan Viskositas Gas 34 Tabel 4.1 Viskositas Aspal Murni 45 Tabel 4.2 Viskositas Aspal : Air : Tween 80 46 Tabel 4.3 Viskositas Aspal : Air : Polivinil Alkohol 47 Tabel 4.4 Viskositas Aspal : Air : Dietanolamida 48 Tabel 4.5 Data Percobaan Penentuan Energi aktivasi 51 Tabel 4.6 Hasil Energi Aktivasi dari Variasi Aspal : Air : Surfaktan 54 Tabel 4.7 Penentuan % Padatan Variasi Perbandingan Aspal : Air : Surfaktan 56


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Struktur Aspal 9

Gambar 2.2. Produksi Aspal dari Hasil Penyulingan Minyak Bumi 10

Gambar 2.3. Struktur Asphaltenes 11

Gambar 2.4. Struktur Saturate 12

Gambar 2.5. Contoh Aplikasi Aspal Emulsi 14

Gambar 2.6. Struktur Molekul Tween 80 25

Gambar 2.7. Struktur Polivinil Alkohol 26

Gambar 4.1. Grafik Hubungan Antara Viskositas dengan Suhu pada Variasi 49 Perbandingan Aspal Emulsi 55:35:10

Gambar 4.2. Grafik Hubungan Antara Viskositas dengan Suhu pada variasi 49 Perbandingan Aspal Emulsi 75:15:10 dan Aspal Murni 100

Gambar 4.3. Grafik Hubungan Antara ln 1/η dan 1/T 53 Gambar 4.4. Grafik % Padatan Variasi Perbandingan Aspal, Air dan Surfaktan 56 Gambar 4.5. Foto SEM Aspal dengan perbesaran 500 kali 61 Gambar 4.6. Foto SEM Campuran Aspal dengan Tween 80 dan Air dengan 62

Perbesaran 500 kali

Gambar 4.7. Foto SEM Campuran Aspal dengan Polivinil Alkohol dengan 63 Perbesaran 500 kali

Gambar 4.8. Foto SEM Campuran Aspal dengan Dietanolamida dengan 64 Perbesaran 500 kali


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman Lampiran 1. Spektrum Campuran Aspal, Emulsi Tween 80 Dan Air 75:15:10 72 Lampiran 2. Spektrum Campuran Aspal, PVA Dan Air 75:15:10 73 Lampiran 3. Spektrum Campuran Aspal, Dietanolamida 80 Dan Air 75:15:10 74

Lampiran 4. Spektrum Aspal 75

Lampiran 5. Foto Bahan-bahan Penelitian 76 Lamipran 6. Foto Pengujian Viskositas Aspal Emulsi menggunkan 77

Surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol, Dietanolamida

Lampiran 7. Foto Pengujian Jumlah % Padatan 78

Lampiran 8. Foto Peralatan Penelitian 79

Lampiran 9. Penentuan Energi Aktivasi Aspal Emulsi menggunakan 80 Surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol, Dietanolamida

Lampiran 10. Tabel Viskositas Faktor 91

Lampiran 11. Amidasi Metil Ester Asam lemak Minyak Kelapa Menggunakan 92 Dietanolamina.

Lampiran 12. Tabel spesifikasi aspal emulsi anionik 93


(16)

DAFTAR ISTILAH

AOAC : Association of Official Agricultural Chemists ASTM : American Standart for Testing and Material CGS : Centimeter Gram Sekon

CMS : Cationic Medium Setting cP : Centie Poise

CRS : Cationic Rapid Setting CSS : Cationic Slow Setting DEA : Dietanolamida

Ea : Energi Aktivasi

FT-IR : Fourier Transform Infra Red H FMS : Hoat Float Medium Setting HLB : Hydrophyle Lypophyle Balance HMAC : Hot Mix Asphalt Concrete MC : Medium Curing

MS : Medium Setting Pa.s : Pascal Second PVA : Polivinil Alkohol RC : Rapid Curing RS : Rapid Setting

SEM : Scanning Electron Microscopy SC : Slow Curing

SI : Satuan Internasional SS : Slow Setting


(17)

PENGUNAAN SURFAKTAN TWEEN 80, POLIVINIL ALKOHOL DAN DIETANOLAMIDA SEBAGAI BAHAN ADITIF DALAM

PEMBUATAN ASPAL EMULSI ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang aspal emulsi dengan menggunakan surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol (PVA) dan Dietanolamida. Aspal emulsi dapat dibuat dengan mencampurkan variasi perbandingan aspal yang terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 120oC dengan variasi air yang dipanaskan pada suhu 55oC dan variasi surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol dan Dietanolamida kemudian ditambahkan secara perlahan-lahan dan diaduk dengan agitator selama 5 menit dengan komposisi maksimum perbandingan aspal, air dan surfaktan (75:15:10). Penggunaan surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol, dan Dietanolamida sebagai aditif dalam campuran aspal emulsi dapat meningkatkan viskositas dimana viskositas dari variasi perbandingan Aspal emulsi 75:15:10 dengan menggunakan surfaktan Tween 80 tertinggi 16100 cP dan terendah 1000 cP sedangkan pada Polivinil Alkohol tertinggi 20000 cP dan terendah 4000 cP dan Dietanolamida tertinggi 10000 cP dan terendah 900 cP sementara untuk aspal murni tertinggi 9100 cP dan terendah 1000 cP. Energi aktivasi (Ea) yang diperoleh pada variasi perbandingan Aspal Emulsi menggunakan surfaktan Tween 80 adalah 70.5164 Kj/mol, Poilivinil Alkohol (PVA) 60.3570 Kj/mol dan Dietanolamida (DEA) 82.6867 Kj/mol, Ini membuktikan bahwa surfaktan yang digunakan dapat meningkatkan energi aktivasi, semakin tinggi konsentrasi variasi perbandingan Aspal emulsi semakin tinggi Energi aktivasinya. Pada penentuan % padatan, jumlah padatan yang diperoleh meningkat dengan penambahan surfaktan yaitu menggunakan Tween 80 adalah 84.68%, Poilivinil Alkohol (PVA) 84.88% dan Dietanolamida (DEA) 83.83%. Dan hasil morfologi dengan SEM memperlihatkan adanya perubahan struktur setelah penambahan surfaktan. Spektrum FTIR menunjukkan adanya ikatan antara aspal dengan surfaktan dan adanya gugus yang bertambah setelah aspal dicampurkan dengan surfaktan.


(18)

THE USE OF SURFACTANT TWEEN 80, POLYVINYL ALCOHOL AND DIETANOLAMIDA AS ADDITIVES IN THE MANUFACTURE OF

ASPHALT EMULSION

ABSTRACTS

It has been done the research about asphalt emulsion by using Surfactant tween 80, Polyvinyl alcohol (PVA) and Dietanolamida. Asphalt emultion can be made by mixing asphalt ratio variation, heated first at 1200C with water variation heated at temperature 550C, and then the Surfactant tween 80 variation, Polyvinyl alcohol and Dietanolamida added slowly and stirred with agiator for 5 minutes at maximum comparison of asphalt, water and Surfactant ratio (75:15:10). The use of Surfactant tween 80, Polyvinyl alcohol and Dietanolamida as additives in asphalt emulsion mixture can increase the viscosity, wherein the viscosity of asphalt emultion comparison variation at 75:15:10 is using the highest Surfactant tween 80 , 16100 cP and the lowest 1000 cP while the highest Polyvinyl alcohol is 20000 cP and the lowest is 4000 cP, and the highest Dietanolamida is 10000 cP and the lowest is 900 cP, while the highest pure asphalt is 900 cP and the lowest is 1000 cP. Obtained activation energy (Ea) in the ratio variation of asphalt emulsion that using Surfactant tween 80 is 70.5164 Kj/mol, 60.3570 Kj/mol using Polyvinyl alcohol (PVA) and 80.6867 Kj/mol using dietanoamida. This proves that the Surfactant used is able to increase the activation energy, the higher concentration of asphalt emulsion ratio variation the higher activation energy. In defining the % solid, the obtained amount of solids increased by addition of 84.64 % of Surfactant tween, 80.88 % of Polyvinyl alcohol (PVA) and 83.83 % Dietanolamida (DEA). And the result of the morphologi with SEM shows the change in structure after addition of Surfactant. FTIR spectrum shows the bond between asphalt and Surfactant ang the group that grew after mixing asphalt and Surfactant.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dewasa ini infrastruktur jalan raya di Indonesia masih merupakan masalah besar karena sebahagian jalan raya ini perlu peremajaan atau perbaikan setiap tahunnya dan ini sangat memerlukan dana yang tidak sedikit dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Oleh karena itu perlu dicari solusi untuk dapat mengurangi pengeluaran tersebut. Salah satu yang sangat memungkinkan untuk menghindari kerugian negara adalah dengan mengkaji parameter ketahanan aspal dan kualitasnya. Jika dilihat kekuatan atau ketahanan dari jalan yang dibuat begitu cepat rusak, tentu banyak faktor yang menyebabkannya. Hal ini jika dipandang dari sudut sains kimia boleh jadi akibat kurang kuatnya ikatan kimia antara aspal dengan agregatnya (Tamrin, 2011).

Aspal konvensional dengan penetrasi 60/70 yang biasa digunakan sebagai bahan campuran panas (hotmix) cenderung memiliki viskositas dan titik lembek yang rendah, mudah dipengaruhi oleh suhu dan beban yang melintas diatasnya. Suhu yang tinggi disiang hari dan ditambah dengan adanya beban dari lalu lintas yang besar akan semakin memperbesar kemungkinan perkerasan jalan mengalami kerusakan yang permanen. Sementara itu, terkait dengan curah hujan yang tinggi, air hujan akan sering menggenangi permukaan jalan. Tipikal kerusakan karena pengaruh air adalah lubang. Sekali lubang terbentuk maka air akan tertampung didalamnya sehingga dalam hitungan minggu lubang yang semula kecil dapat membesar lebih cepat. Selain itu, kerusakan pada jalan aspal umumnya berkaitan dengan roda yang berat, peningkatan tekanan ban, eskalasi atau meningkatnya jumlah lalu lintas (Brown, 1990).

Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan dari aspal konvensional penetrasi 60/70 adalah dengan menggunakan aspal modifikasi sebagai material campuran. Para peneliti aspal telah memfokuskan perhatian pada sifat – sifat


(20)

pemodifikasi aspal yang diperoleh dari interaksi antara komponen aspal dan aditif polimer. Dalam hal ini terlihat bahwa keterpaduan aditif polimer yang sesuai kedalam campuran aspal dapat dipersiapkan sifat – sifat yang dibutuhkan untuk meningkatkan kontribusi pengikat aspal untuk kinerja pengaspalan (Terrel, 1986).

Penggunaan aspal emulsi untuk campuran perkerasan jalan meningkat secara luas di negara-negara yang sedang berkembang. Keuntungan-keuntungan aspal emulsi dapat terjadi karena tidak diperlukannya pemanasan waktu pencampuran dengan batuan bahan jalan, dan relatif bebas polusi. Meskipun penerapan aspal emulsi lebih banyak berhubungan dengan kegiatan pemeliharaan jalan, pada hakekatnya pengunaan aspal emulsi sebagai bahan perekat lapis pondasi atas untuk kondisi Indonesia dapat dianggap sebagai penelitian yang berguna (Muharabanta, 2007).

Penggunaan campuran polimer aspal merupakan tren yang semakin meningkat tidak hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga demi mendapatkan kualitas aspal yang lebih baik dan tahan lama. Modifikasi polimer aspal yang diperoleh dari interaksi antara komponen aspal dengan bahan aditif polimer dapat meningkatkan sifat-sifat dari aspal tersebut. Dalam hal ini terlihat bahwa keterpaduan aditif polimer yang sesuai dengan campuran aspal. Penggunaan polimer sebagai bahan untuk memodifikasi aspal terus berkembang dalam dekade terakhir ini (Pei-Hung, 2000).

Tujuan modifikasi aspal adalah untuk memperluas daya guna, meningkatkan kualitas dan memudahkan pemakaian. Modifikasi dapat dilakukan dengan penambahan material tertentu seperti karet, polimer, resin, fiber dan lain-lainnya. Disamping itu dapat juga dibuat dalam bentuk emulsi dengan penambahan emulsifier (Daswiyanto, 1998).

Emulsifier atau zat pengemulsi merupakan senyawa yang mempunyai aktifitas

permukaan (surface-active agent) sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan


(21)

sistem. Kemampuan menurunkan tegangan permukaan menjadi hal yang menarik disebabkan oleh struktur kimianya yang mampu menyatukan dua senyawa yang berbeda polaritasnya (Sibuea, 2003).

Surfaktan digunakan secara luas dan ditemukan dalam berbagai aplikasi seperti pada industri perminyakan karena kemampuannya yang baik sekali dalam mempengaruhi sifat-sifat permukaan dan antarmuka. Sifat yang luar biasa dari larutan encer surfaktan berasal dari keberadaan gugus hidrofilik (kepala) dan gugus hidrofobik (ekor) pada molekulnya. Gugus polar atau ionik biasanya berinteraksi kuat dengan lingkungan berair melalui interaksi dipol-dipol (Schramm, 2000).

Berdasarkan gugus hidrofilik, surfaktan dibagi menjadi tiga, yaitu ionik (kationik dan anionik), nonionik (gugus hidrofilik tidak bermuatan), dan amfoterik (dapat bermuatan positif dan negatif). Umumnya surfaktan nonionik mengandung rantai poli(etilen oksida) sebagai gugus hidrofilik. Poli(etilen oksida) adalah polimer yang larut dalam air (Tharwat 2005). Rantai poli(etilen oksida) dari surfaktan non ionik biasanya sangat panjang sedangkan rantai yang sedang dan lebih pendek dimiliki oleh surfaktan kationik (Holmberg,2003).

Polioksietilen (20) sorbitan monooleat yang biasa disebut juga dengan Tween 80 termasuk dalam jenis surfaktan nonionik yang berasal dari sorbitan polioksilat dan asam oleat. Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan larut dalam air. Rumus molekulnya adalah C64H124O26

Polivinil alkohol dapat membentuk film yang sangat baik, bersifat

. Tween 80 memiliki bobot molekul 1310 gram/mol, densitas sebesar 1.06 - 1.09 gram/mL. Gugus hidrofiliknya adalah polieter yang disebut juga gugus polioksietilen (polimer dari etilen oksida). Tween 80 biasa digunakan dalam es krim dan obat tetes mata. Tween 80 bersifat biodegradabel dan tidak toksik (Quintero,2005).

da


(22)

tahan terhadap minyak, lemak da kekuatan tarik yang tinggi dan fleksibilitas, serta oksigen yang tinggi dan sifat aromanya sebagai penghalang. Namun sifat ini tergantung pada kata lain, dengan kelembaban tinggi lebih banyak menyerap air, yang bertindak sebagai peliat, sehingga mengurangi kekuatan tarik, tetapi meningkatkan elongasi dan kekuatan sobek. PVA memiliki titik leleh 230 °C dan 180 – 190 °C (356 - 374 oF) untuk nilai hidrolisis penuh dan hidrolisis sebagian masing-masing terurai dengan cepat di atas 200 °C

Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Dietanolamida biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur 150

oC selama 6-12 jam (Herawan, dkk. 1999). Dari hasil reaksi akan dihasilkan dietanolamida dan hasil samping berupa sabun amina. Dietanolamida berfungsi sebagai bahan penstabil dan pengembang busa. Dietanolamida merupakan surfaktan anionik yang memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan cairan atau antar permukaan dua cairan yang tidak saling campur.

Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester (Gennaro, 1990).

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mencoba melakukan penelitian tentang pembuatan aspal emusi dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Poli Vinil Alkohol dan Dietanolamida. Diharapkan dalam penelitian ini penggunaan surfaktan tersebut dapat meningkatkan sifat-sifat fisik dan kimia dari aspal emulsi yang dihasilkan.


(23)

1.2 Permasalahan

Adapun permasalahan pada penelitian ini adalah:

1. Apakah Tween 80, Polivinil Alkohol dan Dietanolamida dapat digunakan sebagai surfaktan dalam pembuatan aspal emulsi.

2. Apakah surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol dan Dietanolamida efektif dalam meningkatkan Viskositas, Energi aktivasi, Jumlah % padatan dan sifat morfologi dari campuran aspal emulsi.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada:

1. Sampel yang digunakan yaitu aspal produksi asal Iran dengan type grade 60/70 yang diperoleh dari distributor PT. Gudang Aspal 51 Medan-Sumatera Utara. 2. Surfaktan yang digunakan adalah Tween 80 dan Polivinil Alkohol dari Toko

Kimia Rudang Jaya dan surfaktan Dietanolamida diperoleh dari Hasil Penelitian Saudara Cristy Halomoan Ginting (Mahasiswa S1 Kimia USU).

3. Analisis dan karakterisasi yang dilakukan adalah Uji Viskositas, Uji % Padatan, Uji Sedimentasi, Uji FT-IR dan Uji SEM.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah diatas maka, tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Apakah Tween 80, Polivinil Alkohol dan Dietanolamida dapat digunakan sebagai surfaktan dalam pembuatan aspal emulsi. sehingga dapat mengikat agregat dengan baik.

2. Untuk mengetahui Apakah surfaktan Tween 80, Polivinil Alkohol dan Dietanolamida efektif dalam meningkatkan Viskositas, Energi aktivasi, % Jumlah padatan dan sifat morfologi dari campuran aspal emulsi, sehingga dapat memberikan data modifikasi aspal emulsi yang paling baik.


(24)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Sebagai informasi tambahan mengenai penggunaan surfaktan Tween 80 dan Polivinil Alkohol dan Dietanolamida Sebagai bahan aditif dalam pembuatan aspal emulsi.

2. Sebagai solusi alternatif terhadap permasalahan pembangunan jalan lalu lintas agar kualitas aspal sebagai bahan dasar jalan raya lebih baik dan lebih tahan lama.

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, dimana pada penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu :

1. Tahapan Preparasi Aspal dan Surfaktan 2. Tahapan Pembuatan Aspal Emulsi

Pada tahapan ini ditimbang variasi aspal dan dipanaskan 120oC dan variasi air dipanaskan 55o

3. Tahapan Karakterisasi Aspal Emulsi

C dan ditambah surfaktan kemudian dicampurkan secara bertahap dan diaduk dengan agitator dengan kecepatan 500 rpm selama 5 menit.

Untuk karakterisasi yaitu dengan Uji Viskositas, Penentuan Energi aktivasi, Uji % Padatan, Uji gugus fungsi dengan FTIR dan Morfologi dengan Uji permukaaan (SEM).

Variabel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

- Variabel Bebas : Aspal, Air dan Surfaktan dengan variasi perbandingan (b/b) dalam 100 gram : 55:35:10; 60:30:10; 65:25:10; 70:20:10;

75:15:10.

- Variabel Tetap : Penambahan surfaktan 10 g, dan pengadukan dengan agitator dengan kecepatan 500 rpm selama 5 menit.


(25)

- Variabel Terikat : Uji Viskositas, Penentuan Energi aktivasi, Uji % Padatan, Uji Gugus fungsi dengan FTIR, dan Morfologi dengan uji permukaan (SEM).

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Polimer dan Laboratorium Penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Analisis FTIR dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU Medan, dan analisis SEM di Laboratorium Penelitian UGM Yogyakarta, Analisis Uji Viskositas di lakukan di PT. Smart, Tbk (Sinarmas Group) Belawan – Medan.


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspal

Aspal didefinisikan sebagai material perekat (cementitious), berwarna hitam

atau coklat tua dengan unsur utama bitumen. Aspal dapat diperoleh di alam ataupun juga merupakan hasil residu dari pengilangan minyak bumi. Aspal merupakan material yang umum digunakan untuk bahan pengikat agregat, oleh karena itu seringkali bitumen disebut pula sebagai aspal. Pada suhu ruang, aspal adalah material yang berbentuk padat sampai agak padat, dan bersifat termoplastis. Jadi, aspal akan mencair jika dipanaskan sampai dengan temperatur tertentu, dan kembali membeku jika temperatur turun. Bersama dengan agregat, aspal merupakan material pembentuk campuran perkerasan jalan (Sukirman, 2003).

Aspal dikenal sebagai bahan atau material yang bersifat viskos atau padat, berwarna hitam atau coklat, yang mempunyai daya lekat (adhesif), mengandung bagian-bagian utama yaitu hidokarbon yang dihasilkan dari minyak bumi atau kejadian alami (aspal alam) dan terlarut dalam karbon disulfida. Aspal sendiri dihasilkan dari minyak mentah yang dipilih melalui proses destilasi minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga temperatur 350oC dibawah tekanan atmosfir untuk memisahkan fraksi-fraksi ringan, seperti gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah), dan gas oil (Wignall, 2003).

Aspal adalah material yang termoplastik, berati akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap jenis aspal berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh komposisi kimiawi aspalnya, walaupun mungkin mempunyai nilai penetrasi atau viskositas yang sama pada temperatur tertentu. Pemeriksaan sifat kepekaan aspal


(27)

terhadap perubahan temperatur perlu dilakukan sehingga diperoleh informasi rentang temperatur yang baik untuk pelaksanaan pekerjaan.

Aspal yang mengandung lilin (wax) lebih peka terhadap temperatur dibandingkan dengan aspal yang tidak mengandung lilin. Hal ini terlihat pada aspal yang mempunyai viskositas yang sama pada temperatur tinggi, tetapi sangat berbeda viskositas pada temperatur rendah. Kepekaan terhadap temperatur akan menjadi dasar perbedaan umur aspal untuk menjadi retak/mengeras. Parameter pengukur kepekaan aspal terhadap temperatur adalah indeks penetrasi (penetration index = PI) (Sukirman, 2003). Struktur Aspal ditunjukkan pada gambar 2.1.


(28)

2.1.1 Sumber Aspal

Aspal yang dihasilkan dari industri kilang minyak mentah (crude oil) dikenal

sebagai refinery bitumen, residual bitumen, straight bitumen atau steam refined bitumen. Isitilah aspal kilang minyak atau refinery bitumen merupakan nama yang

tepat dan paling umum digunakan. Jenis-jenis aspal dan proses pemisahannya dari bahan dasar (minyak bumi) ditunjukkan pada Gambar 2.2.


(29)

Aspal yang dihasilkan dari minyak mentah yang diperoleh melalui proses destilasi minyak bumi. Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga suhu 350 oC di bawah tekanan atmosfir untuk memisahkan fraksi-fraksi minyak seperti

gasoline (bensin), kerosene (minyak tanah) dan oil (Wignall, 2003).

2.1.2 Kandungan Aspal

Kandungan aspal terdiri dari senyawa asphaltenes dan maltene. Asphaltenes

merupakan campuran kompleks dari hidrokarbon, yang terdiri dari cincin aromatik kental dan senyawa heteroaromatik yang mengandung belerang, serta amina, amida, senyawa oksigen (keton, fenol atau asam karboksilat), nikel dan vanadium

Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturates, aromatis, dan resin, dengan struktur ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan 2.4. Dimana masing-masing komponen memiliki struktur dan komposisi kimia yang berbeda, dan sangat menentukan dalam sifat rheologi bitumen. Aspal merupakan senyawa yang kompleks, bahan utamanya disusun oleh hidrokarbon dan atom-atom N, S, dan O dalam jumlah yang kecil, juga beberapa logam seperti Vanadium, Ni, fe, Ca dalam bentuk garam organik dan oksidanya. Dimana unsur-unsur yang terkandung dalam bitumen adalah Karbon (82-88%), Hidrogen (8-11%), Sulfur (0-6%), Oksigen (0-1,5%), dan Nitrogen (0-1%).


(30)

Gambar 2.4. Struktur Saturate

Dengan demikian maka aspal atau bitumen adalah suatu campuran cairan kental senyawa organik, berwarna hitam, lengket, larut dalam karbon disulfida, dan struktur utamanya oleh ”polisiklik aromatis hidrokarbon” yang sangat kompak (Nuryanto, A. 2008).

2.1.3 Jenis – Jenis Aspal

Secara umum, jenis aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan asal dan proses pembentukannya adalah sebagai berikut :

a) Aspal Alamiah

Aspal alamiah ini berasal dari berbagai sumber, seperti pulau Trinidad dan Bermuda. Aspal dari Trinidad mengandung kira-kira 40% organik dan zat-zat anorganik yang tidak dapat larut, sedangkan yang berasal dari Bermuda mengandung kira-kira 6% zat-zat yang tidak dapat larut. Dengan pengembangan aspal minyak bumi, aspal alamiah relatif menjadi tidak penting.

b) Aspal Batuan

Aspal batuan adalah endapan alamiah batu kapur atau batu pasir yang diperpadat dengan bahan-bahan berbitumen. Aspal ini terjadi di berbagai bagian di Amerika Serikat. Aspal ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat tahan lama dan stabil, tetapi kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal terbatas pada daerah-daerah tertentu saja.


(31)

c) Aspal Minyak Bumi

Aspal minyak bumi perrtama kali digunakan di Amerika Serikat untuk perlakuan jalan pada tahun 1894. Bahan-bahan pengeras jalan aspal sekarang berasal dari minyak mentah domestik bermula dari ladang-ladang di Kentucky, Ohio, Michigan, Illinois, Mid-Continent, Gulf-Coastal, Rocky Mountain, California, dan Alaska. Sumber-sumber asing termasuk Meksiko, Venezuela, Colombia, dan Timur Tengah. Sebesar 32 juta ton telah digunakan pada tahun 1980 (Oglesby, 1996).

Aspal pabrik, merupakan aspal yang terbentuk oleh proses yang terjadi dalam pabrik, sebagai hasil samping dari proses penyulingan minyak bumi. Aspal pabrik ini, mempunyai kualitas standard. Aspal pabrik terbagi kedalam tiga jenis, yaitu :

1) Aspal emulsi, yaitu campuran aspal (55%-65%), air (35%-45%) dan bahan emulsi 1% sampai 2%. Di pasaran ada dua macam aspal emulsi, yaitu jenis aspal emulsi anionik (15%) dan jenis aspal emulsi kationik (di pasaran lebih banyak, yaitu sebesar 85%).

2) Aspal cair, disebut juga aspal cut-back, yang dibagi-bagi menurut proses fraksinya. Misalnya Slow Curing (SC), Medium Curing (MC) dan Rapid Curing (RC).

3) Aspal beton, disebut juga Asphalt Concrete (AC) yang dibagi-bagi menurut angka

penetrasinya. Misal : AC 40/60, AC 80/100, dan seterusnya. Umumnya aspal beton yang digunakan dalam proyek-proyek konstruksi jalan terbagi atas beberapa jenis yaitu jenis aspal beton campuran panas atau dikenal dengan Hot Mix Asphalt

Concrete (HMAC) merupakan aspal yang paling umum digunakan dalam jalan

raya, sedangkan jenis lainya seperti aspal beton campuran hangat, aspal beton campuran dingin, dan aspal mastis (Asiyanto, 2008).

Aspal iran merupakan salah satu jenis aspal yang diimpor dari Iran-Teheran. Aspal jenis ini direkomendasikan untuk negara-negara yang mempunyai iklim tropis termasuk Indonesia, karena di desain untuk bisa elastis menyesuaikan suhu yang naik dan turun, contohnya aspal tipe grade 60/70. Untuk data jenis pengujian dan persyaratan aspal tersebut tercantum seperti pada tabel 2.1.


(32)

Tabel 2.1 Data Jenis Pengujian dan Persyaratan Aspal Grade 60/70

Sifat Ukuran Spesifikasi Standart Pengujian Densitas pada T 25 oC K/m3 1010 - 1060 ASTM-D71/3289

Penetrasi pada T 25 oC 0,1 mm 60/70 ASTM-D5

Titik leleh oC 49/56 ASTM-D36

Daktilitas pada T 25 oC Cm Min. 100 ASTM-D113

Kerugian pemanasan %wt Max. 0,2 ASTM-D6

Penurunan pada penetrasi setelah

pemanasan % Max. 20 ASTM-D6&D5

Titik nyala oC Min. 250 ASTM-D92

Kelarutan dalam CS2 %wt Min. 99,5 ASTM-D4

Spot Test Negatif AASHO T102

2.2 Aspal Emulsi

Aspal emulsi merupakan hasil dispersi bahan aspal dalam air secara merata dengan menggunakan emulsifier yang berfungsi mengikat molekul aspal dengan

molekul air. Dalam suatu campuran emulsi, kandungan aspal umumnya berkisar ± 55-75% dan kandungan bahan pengemulsi (emulsifier) ± 3 %.


(33)

2.2.1 Jenis-Jenis Aspal Emulsi

Aspal emulsi dapat dikelompokan menurut jenis muatan listriknya dan menurut kecepatan pengerasannya. Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, aspal emulsi dapat dibedakan menjadi (Martens, 1985).

1. Aspal emulsi kationik

Aspal cair yang dihasilkan dari aspal keras dengan cara mendefersikan kedalam air dengan bantuan bahan pengemulsi. Aspal emulsi kationik mengikat cepat adalah aspal emulsi yang bermuatan positif yang aspalnya memisah cepat dengan air setelah kontak dengan batuan. Aspal emulsi kationik mengikat sedang adalah aspal emulsi yang bermuatan positif yang aspalnya memisah dengan air sedang setelah kontak dengan batuan. Aspal emulsi kationik mengikat lambat adalah aspal emulsi yang bermuatan positif yang aspalnya memisah dengan air lambat setelah kontak dengan batuan (SNI 03-4798-1998).

Aspal emulsi yang termasuk jenis aspal emulsi kationik tersebut yang cocok digunakan untuk membuat campuran dingin adalah CSS-1,CSS-1h, 2, dan CMS-2h. Tingkatan aspal emulsi pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Tingkatan aspal emulsi berdasarkan ASTM dan AASHTO

Aspal Emulsi Anionik Aspal Emulsi Kationik RS-1

RS-2 MS-1 MS-2 MS-2h H FMS-1 H FMS-2 H FMS-2h H FMS-2s

SS-1 SS-2

CRS-1 CRS-2 -CMS-

2 CMS-2h

- - - - CSS-1 CSS-1 h Sumber: (Departemen Pekerjaan Umum, 1991)


(34)

2. Aspal emulsi Anionik

Aspal emulsi yang mengandung elmugator anionik sehingga partikel – partikel aspal bermuatan elektro negativ. Aspal emulsi anionik mempunya tiga jenis, aspal emulsi mengikat cepat, mengikat sedang dan mengikat lambat ( SNI 03-6832-2002).

3. Aspal emulsi monionik

Aspal emulsi monionik merupakan aspal emulsi yang tidak bermuatan lsitrik karena tidak mengalami ionisasi.

Berdasarkan kecepatan pengerasannya, aspal emulsi dibedakan menjadi 3 yaitu : (Hendarsin, 2000 dalam Mutohar, 2002; Atkins, 1997):

a. Aspal emulsi RS (Rapid Setting), direncanakan mempunyai tingkat reaksi yang

cepat dengan agregat penyertanya dan berubahnya emulsi ke aspal. Jenis RS akan menghasilkan lapisan film yang relatif tebal.

b. Aspal emulsi MS (Medium Setting), direncanakan memiliki tingkat

pencampuran medium dengan sasaran agregat kasar. Karena jenis ini tidak akan memecah jika berhubungan dengan agregat, maka campuran yang menggunakan jenis ini akan tetap dapat dihamparkan dalam beberapa menit. c. Aspal emulsi SS (Slow Setting), jenis ini direncanakan untuk hasil

pencampuran yang memiliki stabilitas tinggi. Jenis ini digunakan dengan agregat bergradasi padat dan mengandung kadar agregat halus yang tinggi.

2.2.2 Emulsi

Emulsi adalah campuran dua cairan immiscible, dimana salah satu cairan

terdispersi sebagai droplet pada cairan yang lain oleh adanya zat ke tiga sebagai

penyetabil. Pada dasarnya emulsi terdiri dari tiga fase yaitu internal, eksternal dan interface. Fase internal atau fase dispersi berada dalam bentuk droplet halus sementara


(35)

fase eksternal atau fase kontinyu membentuk matriks dimana droplet tersuspensi. Agar sistem menjadi stabil dalam jangka waktu yang lama perlu ditambahkan zat ketiga yang aktif pada interface yang disebut emulsifier. Definisi - definisi lain tentang emulsi telah dijelaskan oleh Clayton atau Becher (Shinoda, 1986).

Secara umum, jenis emulsi dapat digolongkan dalam dua kelompok ”air” dan ”minyak”. Semua air atau fase fase yang larut dalam air diklasifikasikan sebagai air sedangkan yang lain diklasifikasikan sebagai minyak. Jika air terdispersi dalam minyak maka disebut jenis emulsi air-dalam-minyak (W/O), dengan demikian air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase kontinyu. Sebaliknya jika minyak terdispersi ke air maka emulsi tersebut merupakan jenis emulsi minyak-dalam-air (O/W). Dibandingkan dengan emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam minyak kurang sensitif terhadap pH, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas (Holmberg, 2003).

2.3 Emulsifier / Surfaktan

Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Jatmika, 1998).


(36)

Permintaan surfaktan di dunia internasional cukup besar. Pada tahun 2004, permintaan surfaktan sebesar 11,82 juta ton per-tahun dan pertumbuhan permintaan surfaktan rata-rata 3 persen per-tahun (Widodo, 2004). Penggunaan surfaktan sangat bervariasi, seperti bahan deterjen, kosmetik, farmasi, makanan, tekstil, plastik dan lain-lain. Beberapa produk pangan seperti margarin, es krim, dan lain-lain menggunakan surfaktan sebagai satu bahannya. Syarat agar surfaktan dapat digunakan untuk produk pangan yaitu bahwa surfaktan tersebut mempunyai nilai Hydrophyle Lypophyle

Balance (HLB) antara 2-16, tidak beracun, serta tidak menimbulkan iritasi.

Penggunaan surfaktan terbagi atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent). Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi

dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, antara fasa minyak dan fasa air. Surfaktan dipergunakan baik berbentuk emulsi minyak dalam air maupun berbentuk emulsi air dalam minyak (Genaro, 1990).

2.3.1 Jenis – Jenis Surfaktan. a. Surfaktan anionik

• Jenis surfaktan yang paling besar (jumlahnya) • Tidak compatibel dengan jenis surfaktan kationik

• Sensitif terhadap air sadah atau hard water. Derajat sensitifitasnya :

carboxylate > phosphate > sulfate (sulfonate)

• Rantai pendek polyoxyethylene antara gugus anionik dan hidrokarbon meningkatkan toleransi terhadap garam

• Rantai pendek polyoxypropylene antara gugus anionik dan hidrokarbon meningkatkan kelarutan dalam solven organik.

• Jenis sulfate mudah terhidrolisa oleh asam-asam dalam proses auto catalytic. Jenis yang lain stabil, asalkan tidak digunakan pada kondisi ekstrim.


(37)

Contoh surfaktan anionik : - Carboxylat soap RCOO – - Sulphonate RSO

- Sulfate RO SO 3

- Phosphate ROPO(OH) 3

2O flotation collector (mineral ores); dispersant (inorganic pigment); anticaking agent (fertilizers); conditioner (hair) dll.

Contoh surfaktan kationik • Diamine Hydrochloride • Polyamine Hydrochloride

• Dodecyl dimethylamine Hydrochloride • Imidazoline Hydrochloride

• Alkyl imidazoline ethylenediamine Imidazoline b. Surfaktan kationik

• Jenis surfaktan yang banyak jumlahnya setelah anionik dan nonionik. • Pada umumnya tidak kompatibel dengan jenis anionik.

• Mempunyai sifat indeks yang lebih tinggi dibanding surfaktan jenis lain

• Mempunyai sifat adsorpsi permukaan yang baik; penggunaan utama berhubungan dengan in situ surface modification : anticorrosion agent (steel);

c. Surfaktan non-ionik

• Merupakan surfaktant kedua terbesar • Kompatibel dengan semua jenis surfaktan • Sensitif terhadap hard water

• Berbeda dengan surfaktan ionik, sifat fisik-kimia surfaktan nonionik tidak terpengaruh oleh penambahan elektrolit


(38)

Contoh surfaktan nonionik - Alkohol ethoxylates

- Mono alkanolamide ethoxylates - Fatty amine ethoxylates

- Fatty acid ethoxylates

- Ethylene oxyde / propylene oxide copolymers - Alkyl phenol ethoxylates

d. Surfaktan ampoterik (Zwiter ion)

Surfaktan zwiter ion mengandung dua muatan yang berbeda dan dapat membentuk surfaktan amfoter. Perubahan muatan terhadap pH pada surfaktan amfoterik mempengaruhi pembentukan busa, pembasahan, sifat deterjen dan lainnya.

Contoh dari zwiter ion adalah : - Lauryldimethyl betaine - Cocoamidopropyl betaine - Oleyl bis (hydroxyethyl) betaine - Carboxy glycinate

- Alkylampodiacetate - Aminoalkanoate


(39)

2.3.2 Hydrophilic - Liphophilic Balance ( HLB)

Aturan dalam teknologi emulsi adalah jika emulsifier yang terlarut dalam air cenderung memberikan emulsi o/w dan emulsifier yang terlarut dalam minyak memberikan emulsi w/o. Konsep ini dikenal sebagai rumus Bancroft. Rumus Bancroft ini semuanya bersifat kualitatif, sehingga untuk membuat hubungan kuantitatif antara hidrofilisitas surfaktan dan fungsi dari larutan, Griffin pada tahun 1949 memperkenalkan konsep keseimbangan HLB dari surfaktan.

HLB adalah harga yang harus dimiliki oleh emulgator (atau campuran emulgator) sehingga pertemuan antara fase lipofil dengan air dapat menghasilkan emulsi dengan tingkat dispersitas atau stabilitas yang optimal. Dengan metode ini, tiap zat mempunyai harga HLB atau angka yang menunjukkan polaritas dari zat tersebut. Yang ditunjukkan pada table 2.3 (Supriyo, 2007).

Tabel 2.3 Aktivitas dan Harga HLB Surfaktan

Aktivitas Harga HLB

Emulsifyer (w/o) 4 – 6

Wetting Agent (Zat Pembasah) 7 – 9

Emulsifyer 8 – 18

Detergents (Zat Pembersih) 10 – 18

Griffin telah mengemukakan suatu skala ukuran HLB atau surfaktan. Dari skala daerah efisiensi HLB optimum untuk tiap golongan surfaktan, makin tinggi harga HLB surfaktan maka zat itu akan bersifat polar. Harga HLB beberapa Surfaktan yang ditunjukkan pada table 2.4.


(40)

Tabel 2.4 Harga HLB Beberapa Surfaktan

Nama Kimia Nama Dagang HLB

Sorbitan monolaurat Span 20 8.6

Sorbitan mono palmitat Span 40 6.7

Sorbitan monostearat Span 60 4.7

Sorbitan tristearat Span 65 2.1

Sorbitan monooleat Span 80 4.3

Sorbitan trioleat Span 85 1.8

Polioksietilen Sorbitan monolaurat Tween 20 16.7 Polioksietilen Sorbitan monopalmita Tween 40 15.6 Polioksietilen Sorbitan monostearat Tween 60 14.9 Polioksietilen Sorbitan tristearat Tween 65 10.5 Polioksietilen Sorbitan monooleat Tween 80 15.0 Polioksietilen Sorbitan monotrioleat Tween 85 11.0

Natrium lauril sulfat - 40.0

Natrium oleat - 18.0

Asam oleat - 1.0

(http://id.shvoong.com/ketidakstabilan-emulsi-dan-efisiensi-surfaktan). Untuk operasi pada suhu ruangan angka HLB yang diprediksi berdasarkan Griffin (atau Davies) dalam pemilihan emulsifier cukup memberikan hasil yang baik. Masalahnya adalah jika terjadi kenaikan suhu selama emulsifikasi atau ketika emulsi yang telah terbentuk disimpan pada suhu rendah. Surfaktan non-ionik dari tipe polyoethylene sangat peka terhadap suhu, dimana pada umumnya memberi emulsi o/w pada kondisi ambient dan emulsi w/o pada suhu yang meningkat. Oleh karena faktor-faktor seperti konsentrasi elektrolit, polaritas minyak dan ratio air – minyak sangat berpengaruh pada tipe emulsi yang akan terbentu, maka nampaknya angka HLB saja tidak dapat digunakan sebagai alat yang universal untuk memilih emulsifier yang tepat atau untuk menentukan tipe emulsi yang akan terbentuk.


(41)

2.3.3 Metode HLB untuk Memilih Surfaktan

Telah ditemukan secara empiris bahwa kombinasi surfaktan hydrofilik dan hidrofobic sering lebih baik daripada surfaktan tunggal. Keuntungan dari campuran emulsifier/surfaktan juga berhubungan dengan laju penyerapan molekul surfaktan selama proses emulsifikasi. Dengan adanya emulsifier yang terlarut dalam minyak maupun dalam air, maka antar muka minyak–air yang baru terbentuk akan dipenuhi oleh surfaktan dari dua sisi secara simultan. Beberapa panduan secara umum untuk memilih surfaktan sebagai emulsifier adalah sbb :

1) Surfaktan harus mempunyai kecenderungan yang kuat untuk berpindah ke interface

2) Surfaktan yang larut dalam minyak cenderung membentuk emulsi w/o atau sebaliknya

3) Emulsi yang stabil sering dibentuk dengan menggunakan campuran surfaktan hidrofilik dan surfaktan hidrofobik

4) Semakin polar fase minyak, semakin hidrofilik emulsifiernya dan sebaliknya. Pada proses emulsifikasi dengan menggunakan kombinasi beberapa emulsifier maka harga HLB dihitung dengan menggunakan persamaan.

HLB rata-rata = X1 HLB1 + X2 HLB2. Dimana :

X1 dan X2 adalah fraksi berat surfaktant 1 dan 2

HLB1 dan HLB2 adalah harga individu HLB surfaktan 1 dan 2 Harga individu masing-masing surfaktan dapat dilihat pada Tabel 2.5.


(42)

Tabel 2.5. Angka HLB untuk beberapa senyawa organik cair

Senyawa Angka

HLB

Senyawa Angka

HLB Acetophenone Acid, Lauric Acid, lonoleic Acid, oleic Acid, ricinoleic Acid, stearic Alcohol, cetyl Alcohol, decyl Alcohol, lauryl Alcohol, tridecyl Benzene Carbon tetrachloride Castor oil Chlorinated Paraffin Cyclohexane 14 16 16 17 16 17 15 14 14 14 15 16 14 8 15 Kerosene Lanolin, anhydrous Mineral oil, aromatic Mineral oil, paraffine Mineral Spirit Petrolatum Pine oil Propene, tetramer Toluene Wax, bee Wax, candelilla Wax, carnauba Wax, microcrystalline Wax, paraffin Xylene 14 123 12 10 14 7 – 8

16 14 15 9 14 – 15

12 10 10 14 Contoh cara menghitung HLB rata-rata.

Emulsifikasi dari campuran 20% parrafin oil (HLB = 10) dan 80% aromatik mineral oil (HLB = 13) dalam air Angka HLB minyak : 10 x 0.20 + 13 x 0.80 = 12.4 Pada Campuran C12E24 dengan HLB = 17.0 dan C6E2 dengan HLB = 5.3, campuran dengan ratio 60 : 40 dari dua bahan diatas akan memberikan nilai HLB surfaktan : 17.0 x 0.60 + 5.3 x 0.40 = 12.3.

Kombinasi surfaktan ini diketahui memberikan stabilias emulsi yang sangat baik. Meskipun metode HLB berguna sebagai petunjuk untuk memilih emulsifier, tetapi banyak keterbatasannya, yaitu selain sangat dipengaruhi oleh suhu, juga dipengaruhi oleh elektrolit, kemurnian minyak dan adanya aditif lain (Supriyo, 2007).


(43)

2.4 Tween 80

Polioksietilen (20) sorbitan monooleat yang biasa disebut juga dengan Tween 80 termasuk dalam jenis surfaktan nonionik yang berasal dari sorbitan polioksilat dan asam oleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26. Tween 80 memiliki bobot molekul 1310 gram/mol, densitas sebesar 1.06-1.09 gram/mL. Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan larut dalam air. Gugus hidrofiliknya adalah polieter yang disebut juga gugus polioksietilen (polimer dari etilen oksida). Tween 80 biasa digunakan dalam es krim dan obat tetes mata. Tween merupakan surfaktan nonionik yang bersifat biodegradabel dan tidak toksik (Quintero,2005). Struktur Tween 80 dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Struktur molekul Tween 80 (Schraam, 2005).

2.5 Polivinil Alkohol (PVA)

Polivinil alkohol memiliki film yang sangat baik, membentu beracun. Memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan fleksibilitas, serta oksigen yang


(44)

tinggi dan sifat aromanya penghalang. Namun sifat ini tergantung pada dengan kata lain, dengan kelembaban tinggi lebih banyak menyerap air, yang bertindak sebagai peliat, sehingga mengurangi kekuatan tarik, tetapi meningkatkan elongasi dan kekuatan sobek. PVA memiliki titik leleh 230 °C dan 180 – 190 °C (356 - 374 oF) untuk nilai hidrolisis penuh dan hidrolisis sebagian, masing-masing terurai dengan cepat di atas 200 °C (http://en.wikipedia.org/wiki/Polyvinyl_alcohol)

Gambar 2.7. Struktur Polivinil Alkohol

Polivinil alkohol adalah plastik yang larut dalam air yang paling banyak digunakan secara komersial saat ini. Polivinil alkohol memiliki beberapa singkatan yang umum dipakai yaitu, PVOH, PVA, dan PVAL. Polivinil alkohol (PVOH) merupakan zat yang tidak berasa, tidak berbau, dapat terurai oleh alam dan biokompatibel. Selain dapat terlarut dalam air, Polivinil alkohol juga dapat larut dalam etanol. Namun, zat ini tidak dapat larut dalam pelarut organik.

PVOH dikembangkan pertama kali oleh Hermann dan Haehnel pada tahun 1924. Proses pembuatan PVOH dilakukan dengan menghidrolisis polivinil asetat (PVAc). Tingkat konsumsi PVOH di dunia telah mencapai beberapa ratus ribu ton per tahun dan diprediksi akan meningkat sekitar 2,5% per tahun antara tahun 2006 dan 2011. Terdapat sejumlah produsen PVOH di seluruh dunia yang mayoritas berbasis di negara-negara Asia. Cina memiliki pangsa pasar terbesar dengan porsi 45% pada tahun 2006 dan nilai ini diperkirakan akan terus berkembang. Selain Cina, Jepang dan Amerika merupakan dua buah negara yang berperan baik sebagai konsumen maupun sebagai produsen (Ogur, 2005).


(45)

Salah satu pemanfaatan PVOH sebagai bahan sekali pakai adalah aplikasi PVOH pada kantong kotoran hewan yang akan terurai setelah dibuang. Selain itu, PVOH juga dapat diaplikasikan pada bola golf, sehingga pegolf tidak perlu mencari bolanya setelah dipukul karena bola tersebut akan terurai di alam. Di dalam industri pangan, PVOH digunakan sebagai bahan pelapis karena sifatnya kedap terhadap uap air. PVOH mampu menjaga komponen aktif dan bahan lainnya yang terkandung di dalam bahan dari kontak dengan oksigen.

Secara komersial, PVOH adalah plastik yang paling penting dalam pembuatan film yang dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan kemampuannya dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat adesifnya. PVOH memiliki kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang baik, dan sifat penghalang oksigen yang baik. Berikut ini adalah table 2.6 yang menjelaskan karakter fisik PVOH.

Tabel 2.6 Karakter fisik Polivinil Alkohol

Karakter Nilai

Densitas 1.19-1.31 g/cm3 Titik Leleh 180-240 o Titik Didih

C 228 Suhu Penguraian

o 180 oC Sumber: (Ogur, 2005)

2.6 Dietanolamida

Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama Kritchevsky

amida sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur 150oC selama 6-12 jam (Herawan, 1999). Dari hasil reaksi akan dihasilkan dietanolamida dan hasil samping berupa sabun amina. Kehadiran sabun amina ini, tentu saja akan menaikkan


(46)

pH produk. Pada tahap pemurnian diperlukan pemisahan produk utama dengan sabun amina. Dietanolamida merupakan salah satu surfaktan alkanolamida yang paling penting. Dietanolamida berfungsi sebagai bahan penstabil dan pengembang busa. Hal ini disebabkan karena adanya kotoran berminyak seperti sebum menyebabkan stabilitas busa sabun cair atau shampo akan berkurang secara drastis. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan penstabil busa yang berfungsi untuk menstabilkan dan mengubah struktur busa agar diperoleh busa yang lebih banyak, pekat dengan buih yang sedikit. Pada pembuatan sabun, dietanolamida digunakan agar sabun menjadi lembut. Pemakaian dietanolamida pada formula shampo dapat mencegah terjadinya proses penghilangan minyak yang berlebihan pada rambut (efek perlemakan berlebihan) dan produk yang dihasilkan tidak menyebabkan rasa pedih di mata, sehingga cocok untuk digunakan sebagai produk sabun dan shampo bagi bayi (Holmberg, 2001). Sintesis dietanolamida menggunakan bahan baku dietanolamina dan asam laurat. Dietanolamina adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol. Dialkohol menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Sifat-sifat dietanolamina adalah sebagai berikut:

Rumus molekul : C4H11NO

Berat Molekul : 105,1364 gr/mol 2

Densitas : 1,090 gr/cm3 Titik Lebur : 28o

Titik Didih : 269 - 270 C (1 atm)

o

Kelarutan : H

C (1 atm) 2O, alkohol dan eter

Sintesis alkanolamida dari dietanolamina akan menghasilkan alkanolamida yang memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik dibandingkan amida lainnya karena adanya dua gugus hidroksil dalam molekul alkanolamida yang dihasilkan (Holmberg, 2001).


(47)

2.7 Viskositas

Viskositas dapat dinyatakan sebagai tahanan aliaran fluida yang merupakan gesekan antara molekul – molekul cairan satu dengan yang lain. Suatu jenis cairan yang mudah mengalir dapat dikatakan memiliki viskositas yang rendah, dan sebaliknya bahan – bahan yang sulit mengalir dikatakan memiliki viskositas yang tinggi. Pada hukum aliran viskos, Newton menyatakan hubungan antara gaya – gaya mekanika dari suatu aliran viskos sebagai : Geseran dalam ( viskositas ) fluida adalah konstan sehubungan dengan gesekannya. Hubungan tersebut berlaku untuk fluida

Newtonian, dimana perbandingan antarategangan geser (s) dengan kecepatan geser (g) nya konstan. Parameter inilah yang disebut dengan viskositas. Aliran viskos dapat digambarkan dengan dua buah bidang sejajar yang dilapisi fluida tipis diantara kedua bidang tersebut. Suatu bidang permukaan bawah yang tetap dibatasi oleh lapisan fluida setebal h, sejajar dengan suatu bidang permukaan atas yang bergerak seluas A. Jika

bidang bagian atas itu ringan, yang berarti tidak memberikan beban pada lapisan fluida dibawahnya, maka tidah ada gaya tekan yang bekerja pada lapisan fluida. Suatu gaya F

dikenakan pada bidang bagian atas yang menyebabkan bergeraknya bidang atas dengan kecepatan konstan v, maka fluida dibawahnya akan membentuk suatu lapisan – lapisan yang saling bergeseran.Setiap lapisan tersebut akan memberikan tegangan geser (s) sebesar F/A yang seragam, dengan kecepatan lapisan fluida yang paling atas

sebesar v dan kecepatan lapisan fluida paling bawah sama dengan nol. Maka kecepatan

geser (g) pada lapisan fluida di suatu tempat pada jarak y dari bidang tetap, dengan tidak adanya tekanan fluida.

2.7.1 Konsep Viskositas

Fluida, baik zat cair maupun zat gas yang jenisnya berbeda memiliki tingkat kekentalan yang berbeda. Viskositas alias kekentalan sebenarnya merupakan gaya gesekan antara molekul-molekul yang menyusun suatu fluida. Jadi molekul-molekul yang membentuk suatu fluida saling gesek-menggesek ketika fluida tersebut mengalir. Pada zat cair, viskositas disebabkan karena adanya gaya kohesi (gaya tarik menarik


(48)

antara molekul sejenis). Sedangkan dalam zat gas, viskositas disebabkan oleh tumbukan antara molekul.

Fluida yang lebih cair biasanya lebih mudah mengalir, contohnya air. Sebaliknya, fluida yang lebih kental lebih sulit mengalir, contohnya minyak goreng, oli, madu dkk. Hal ini bisa dibuktikan dengan menuangkan air dan minyak goreng di atas lantai yang permukaannya miring. Pasti air mengalir lebih cepat daripada minyak goreng atau oli. Tingkat kekentalan suatu fluida juga bergantung pada suhu. Semakin tinggi suhu zat cair, semakin kurang kental zat cair tersebut. Misalnya ketika ibu menggoreng paha ikan di dapur, minyak goreng yang awalnya kental menjadi lebih cair ketika dipanaskan. Sebaliknya, semakin tinggi suhu suatu zat gas, semakin kental zat gas tersebut.

Perlu diketahui bahwa viskositas alias kekentalan cuma ada pada fluida riil (rill = nyata). Fluida riil/nyata tuh fluida yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, sirup, oli, asap knalpot, dan lainnya. Fluida riil berbeda dengan fluida ideal. Fluida ideal sebenarnya tidak ada dalam kehidupan sehari-hari. Fluida ideal hanya model yang digunakan untuk membantu kita dalam menganalisis aliran fluida (fluida ideal ini yang kita pakai dalam pokok bahasan Fluida Dinamis). Mirip seperti kita menganggap benda sebagai benda tegar, padahal dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya tidak ada benda yang benar-benar tegar/kaku. Tujuannya sama, biar analisis kita menjadi lebih sederhana. Satuan Sistem Internasional (SI) untuk koofisien viskositas adalah Ns/m2 = Pa.s (pascal detik). Satuan CGS (centimeter gram detik) untuk koofisien viskositas adalah dyne.s/cm2 = poise (P). Viskositas juga sering dinyatakan dalam sentipoise (cP). 1 cP = 1/100 P. Satuan poise digunakan untuk mengenang seorang Ilmuwan Perancis, almahrum Jean Louis Marie Poiseuille (baca : pwa-zoo-yuh). 1 poise = 1 dyne. s/cm2 = 10-1 N.s/m2. Yang ditunjukkan pada table 2.7.


(49)

Tabel.2.7 Koefisien Viskositas dari Beberapa Fluida

Fluida Temperatur (oC) Koefisien Viskositas

Air 0 1,8 x 10-3

20 1,0 x 10-3

60 0,65 x 10-3

100 0,3 x 10

Darah (keseluruhan)

-3

37 4,0 x 10

Plasma Darah

-3

37 1,5 x 10

Ethyl alkohol

-3

20 1,2 x 10

Oli mesin (SAE 10)

-3

30 200 x 10

Gliserin

-3

0 10.000 x 10-3

20 1500 x 10-3

60 81 x 10

Udara

-3

20 0,018 x 10

Hidrogen

-3

0 0,009 x 10

Uap air

-3

100 0,013 x 10-3

Setiap zat cair mempunyai karakteristik yang khas, berbeda satu zat cair dengan zat cair yang lain. Salah satunya adalah viskositas. Viskositas merupakan tahanan yang dilakukan oleh suatu lapisan fluida terhadap suatu lapisan lainnya. Sifat viskositas ini dimiliki oleh setiap fluida, gas, atau cairan. Viskositas suatu cairan murni adalah indeks hambatan aliran cairan. Aliran cairan dapat dikelompokan menjadi dua yaitu aliran laminar dan aliran turbulen. Aliran laminar menggambarkan laju aliran kecil melalui sebuah pipa dengan garis tengah kecil. Sedangkan aliran turbulen menggambarkan laju aliran yang besar dengan diameter pipa yang besar. Penggolongan ini berdasarkan bilangan Reynoldnya.

Viskositas menentukan kemudahan suatu molekul bergerak karena adanya gesekan antar lapisan material. Karenanya viskositas menunjukkan tingkat ketahanan suatu cairan untuk mengalir. Semakin besar viskositas maka aliran akan semakin lambat. Besarnya viskositas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperatur, gaya tarik antar molekul dan ukuran serta jumlah molekul terlarut. Fluida, baik zat cair maupun zat gas yang jenisnya berbeda memiliki tingkat kekentalan yang berbeda. Pada zat cair, viskositas disebabkan karena adanya gaya kohesi (gaya tarik menarik


(50)

antara molekul sejenis). Sedangkan dalam zat gas, viskositas disebabkan oleh tumbukan antara molekul.

Fluida yang lebih cair biasanya lebih mudah mengalir, contohnya air. Sebaliknya, fluida yang lebih kental lebih sulit mengalir, contohnya minyak goreng, oli, madu dll. Tingkat kekentalan fluida dinyatakan dengan koefisien viskositas (h).

Kebalikan dari Koefisien viskositas disebut fluiditas, yang merupakan ukuran kemudahan mengalir suatu fluida.

Viskositas cairan adalah fungsi dari ukuran dan permukaan molekul, gaya tarik menarik antar molekul dan struktur cairan. Tiap molekul dalam cairan dianggap dalam kedudukan setimbang, maka sebelum sesuatu lapisan melewati lapisan lainnya diperlukan energy tertentu. Sesuai hokum distribusi Maxwell-Boltzmann, jumlah molekul yang memiliki energy yang diperlukan untuk mengalir, dihubungkan oleh factor e-E/RT dan viskositas sebanding dengan e-E/RT. Secara kuantitatif pengaruh suhu terhadap viskositas dinyatakan dengan persamaan empirik, h = A e

A merupakan tetapan yang sangat tergantung pada massa molekul relative dan volume molar cairan dan E adalah energi ambang per mol yang diperlukan untuk proses awal aliran

-E/RT

Cara menentukan viskositas suatu zat menggunakan alat yang dinamakan viskometer. Ada beberapa tipe viskometer yang biasa digunakan antara lain :

1. Viskosimeter kapiler / Ostwald

Viskositas dari cairan yang ditentukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan bagi cairan tersebut untuk lewat antara 2 tanda ketika mengalir karena gravitasi melalui viskometer Ostwald. Waktu alir dari cairan yang diuji dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi suatu zat yang viskositasnya sudah diketahui (biasanya air) untuk lewat 2 tanda tersebut (Moechtar, 1990).


(51)

2. Viskosimeter Hoppler

Berdasarkan hukum Stokes pada kecepatan bola maksimum, terjadi keseimbangan sehingga gaya gesek = gaya berat – gaya archimides. Prinsip kerjanya adalah menggelindingkan bola ( yang terbuat dari kaca ) melalui tabung gelas yang berisi zat cair yang diselidiki. Kecepatan jatuhnya bola merupakan fungsi dari harga resiprok sampel (Moechtar, 1990).

3. Viskosimeter Cup dan Bob

Prinsip kerjanya sample digeser dalam ruangan antara dinding luar dari bob dan dinding dalam dari cup dimana bob masuk persis ditengah-tengah. Kelemahan viscometer ini adalah terjadinya aliran sumbat yang disebabkan geseran yang tinggi di sepanjang keliling bagian tube sehingga menyebabkan penurunan konsentrasi. Penurunan konsentras ini menyebabkab bagian tengah zat yang ditekan keluar memadat. Hal ini disebut aliran sumbat (Moechtar, 1990).

4. Viskosimeter Cone dan Plate

Cara pemakaiannya adalah sampel ditempatkan ditengah-tengah papan, kemudian dinaikkan hingga posisi di bawah kerucut. Kerucut digerakkan oleh motor dengan bermacam kecepatan dan sampelnya digeser di dalam ruang semitransparan yang diam dan kemudian kerucut yang berputar (Moechtar, 1990).

Viskositas cairan juga dapat ditentukan berdasarkan jatuhnya benda melalui medium zat cair, yaitu berdasarkan hukum Stokes. Dimana benda bulat dengan radius r dan rapat d, yang jatuh karena gaya gravitasi melalui fluida dengan rapat dm/db, akan dipengaruhi oleh gaya gravitasi sebesar :


(52)

Tabel 2.8 Perbedaan antara viskositas cairan dengan viskositas gas. Jenis Perbedaan Viskositas Cairan Viskositas Gas

Gaya gesek Lebih besar untuk mengalir Lebih kecil dibanding viskositas cairan

Koefisien viskositas Lebih besar Lebih kecil Temperatur Temperatur naik, viskositas

turun

Temperatur naik,viskositas naik Tekanan Tekanan naik,viskositas

naik

Tidak tergantung tekanan

5. Viskosimeter Brookfield

Viskometer Brookfield Termosel, yang diuraikan dalam prosedur ini,

digunakan untuk mengukur viskositas aspal minyak pada berbagai temperatur. Torsi pada spindel yang berputar pada temperatur tertentu digunakan untuk mengukur ketahanan relatif terhadap perputaran dalam tabung benda uji. Nilai viskositas aspal dalam milipascal sekon (MPa.s) diperoleh dengan mengalikan hasil pembacaan torsi dengan suatu factor. Sistem pengukuran Viskositas temperatur tinggi dari Brookfield Termosel menggunakan Brookfield Sinkroelektrik Termosel Standar, yang terdiri atas

model- model LV, RV, HA atau HB yang penggunaannya tergantung pada rentang viskositas (SNI-03-6441-2000).


(53)

2.8 Energi Aktivasi

berjalan. Istilah energi aktifasi (Ea) pertama kali diperkenalkan oleh Svante Arrhenius dan dinyatakan dalam satuan kilojule per mol. Jika terdapat suatu reaksi sebagai berikut:

Maka jika reaksi diatas berlangsung secara eksoterm maka diagram energi aktifasinya adalah sebagai berikut:

Reaktan Produk

Dan jika reaksinya endoterm maka diagramnya adalah sebagai berikut:

Persamaan Arrhenius mendefisinkan secara kuantitatif hubungan antara energi aktivasi dengan konstanta


(54)

Dimana A adalah faktor frekuensi dari reaksi, R adalah konstanta universal gas, T adalah temperatur dalam Kelvin dan k adalah konstanta laju reaksi. Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa Ea dipengaruhi oleh temperatur. Adanya katalis dalam suatu reaksi akan memperkecil besarnya energi aktifasi yang dimiliki oleh reaksi, dan dapat digambarkan dengan grafik berikut ini:

Grafik biru adalah reaksi tanpa katalis dan grafik merah adalah reaksi dengan katalis dapat dilihat Ea1 (tanpa katalis) lebih besar daripada E2 (dengan katalis). Jadi adanya katalis akan memperkecil Ea reaksi sehingga reaksi dapat berlangsung dengan lebih cepat (http://belajarkimia.com/2009/10/energi-aktifasi-dan-persamaan-arrhenius).

2.9 Karakterisasi dengan FT-IR

Intrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrofometer infra merah. Alat spektrofotometer infra merah pada dasarnya terdiri dari komponen-komponen pokok yang sama dengan alat spektrofotometer ultra lembayung dan sinar tampak, yaitu terdiri dari sumber sinar, monokromator berikut alat-alat optik seperti cermin dan lensa, sel tempat cuplikan, detektor amplifier dan alat dengan skala pembacaan atau


(55)

alat perekam spektra (recorder) akan tetapi disebabkan kebanyakan bahan dalam menstransmisikan radiasi infra merah berlainan dengan sifatnya dalam menstransmisikan radiasi ultra lembayung, sinar tampak, sifat dan kemampuan komponen alat tersebut diatas berbeda untuk kedua jenis alat spektrofotometer itu. Keuntungan pemakaian sistem berkas rangkap pada alat spektrofotometer adalah :

1. Memperkecil pengaruh penyerapan sinar infra merah oleh CO2 udara

dan uap air dari 2. Mengurangi pengaruh hamburan (scattering) sinar infra merah oleh partikel-partikel

debu yang ukurannya mendekati nilai rata-rata panjang gelombang infra merah. 3. Kalau blanko yang digunakan adalah pelarut dari cuplikan dengan sistem berkas

rangkap itu pita-pita serapan pelarut tidak akan timbul pada spektra yang direkam. 4. Sistem berkas rangkap mengurangi pengaruh ketidak stabilan pancaran sumbe sinar

dan detektor.

5. Perekaman otomatis dapat dilakukan (scanning) (Noerdin, 1985).

Sistem analisis spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisis infra merah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektra yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya. Umumnya pita serapan polimer pada spektra infra merah (IR) adalah adanya ikatan C-H regangan pada daerah 2880 cm-1 yang sampai 2900 cm-1 dan regangan dari gugus fungsi lain yang mendukung suatu analisis material (Hummel, 1985)


(56)

2.10 Scanning Electron Microscopy (SEM)

Scanning Elektron Mikroskopy (SEM) merupakan alat yang dapat membentuk

bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda uji dapat dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih udah mempelajari struktur permukaan itu secara langsung. Pada SEM suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan

menyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang akan terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi. SEM memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 Å (Stevens, 2001).


(57)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan – bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aspal dengan tipe penetrasi 60/70, Tween 80 (Polioksietilen (20) sorbitan monooleat), Polivinil Alkohol (PVA) p.a.E.Merck dan Dietanolamida, (DEA).

3.2 Alat - alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gelas Beaker 100, 250, 500 mL Pyrex, Gelas Ukur 50 mL Pyrex, Statif dan Klem, Hot Plate Corning PC 400 D dan

Agitator Fisher Dyna Mix, Neraca Sartorius BL-1500, Neraca Analitis (presisi ± 0.0001

g) Mettler Toledo, Oven Memmert UNB 40, Brookfield Viscometer model LVF

Spektroskopi FTIR IR-Prestige-21 Shimadzu,, SEM Jeol Type JSM-6360 LA, Termometer 260oC Fischer Scientifik. Desikator Duran.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Preparasi Aspal, Air dan Surfaktan Adapun Bahan-bahan yang dipreparasi adalah :

1. Ditimbang Aspal 350 g kemudian dipanaskan sampai 120o

2. Ditimbang Air dengan variasi 10, 15, 20, 25, 30, 35 g.

C lalu disaring kemudian ditimbang dengan variasi 55, 60, 65, 70, 75 g.

3. Ditimbang surfaktan Tween 80 dengan variasi 10 g.


(58)

3.3.2 Proses Pembutan Aspal Emulsi

Adapun Proses Pembuatan Aspal emulsi sebagai berikut :

1. Ditimbang 55 g Aspal kedalam beaker glass dan dipanaskan sampai suhu 120o 2. Ditimbang 35 g Air dan dipanaskan sampai dengan suhu 55

C. o

3. Ditambahkan secara perlahan-lahan antara variasi aspal dengan variasi air ditambah dengan surfaktan tween 80 dan diaduk dengan agitator dengan kecepatan 500 rpm selama 5 menit.

C dan 10 g Tween 80 dan diaduk dengan agitator dengan kecepatan 500 rpm selama 5 menit.

4. Dilakukan proses yang sama pada Polivinil Alkohol dan Dietanolamida dengan variasi perbandingan (b/b) dalam 100 gram : 55:35:10; 60:30:10; 65:25:10; 70:20:10; 75:15:10.

3.3.3 Karakterisasi Aspal Emulsi

Hasil yang diperoleh kemudian dikarakterisasi untuk menentukan sifat-sifat fisik dan kimia dari pembuatan aspal emulsi yaitu dengan Pengujian Viskositas dan Energi Aktivasi, Uji % Padatan, Uji FTIR dan Uji SEM.

3.3.3.1 Karakterisasi dengan Uji Viskositas

1. Dimasukkan aspal emulsi dengan variasi perbandingan 55 g Aspal dan 35 g surfaktan Tween 80 dan 10 g Air kedalam beaker glass 100 ml.

2. Dipanaskan diatas hot plate dengan variasi suhu 80oC sampai dengan 120o

3. Dipasang spindel ke viskosimeter dan turunkan viskosimeter sehingga masuk ke dalam beaker glass yang berisi aspal emulsi yang telah dipanaskan pada suhu 80

C. oC sampai dengan 120o

4. Dijalankan viskosimeter dengan kecepatan 30 rpm dan menggunkan spindel LV 4 dan dicatat hasil pembacaannya.


(59)

5. Dilakukan proses yang sama pada Polivinil Alkohol dan Dietanolamida dengan variasi perbandingan (b/b) dalam 100 gram : 55:35:10; 60:30:10; 65:25:10; 70:20:10; 75:15:10 dan dihitung nilai viskositas dengan menggunakan persamaan:

Viskositas (η) = Hasil Pembacaan Torsi x Factor 3.3.3.2 Penentuan Energi Aktifasi

Kelanjutan dari uji viskositas, kemudian diukur berapa energi aktivasi aspal emulsi dengan menggunakan rumus Persamaan Arrhenius dan Energi aktivasi dapat ditentukan dengan mengolah data dari grafik hubungan ln 1

� dan 1

� . Maka nilai Energi Aktivasi aspal emulsi dapat ditentukan.

Rumus : 1

= A exp

−Ea

RT

ln 1

=

ln A

-

Ea

RT

= ln k =

Ea

R

x

1

T

+

ln A

b = Slope

= -

Ea

R Ea = - R x Slope

3.3.3.3 Karakterisasi Uji % Padatan

1. Ditimbang 55 g Aspal dan 35 g surfaktan Tween 80 dan 10 g Air kedalam beaker glass yang telah diketahui berat kosongnya.

2. Dimasukkan kedalam oven dan dipanaskan pada suhu 105o

3. Dilakukan proses yang sama pada Polivinil Alkohol dan Dietanolamida dengan variasi perbandingan (b/b) dalam 100 gram : 55:35:10; 60:30:10; 65:25:10; 70:20:10; 75:15:10.

C sampai kadar airnya hilang lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali.


(60)

4. Dihitung kadar air dan % Padatan dengan rumus sebagai berikut :

Kadar air = x100% a

b c b

− −

dimana : a = berat beaker kosong

b = berat sampel + beaker sebelum dikeringkan c = berat beaker + sampel setelah dikeringkan Total (%) Padatan = 100% - Kadar air

3.3.3.4 Karakterisasi dengan FTIR

Dengan prosedur pengujian sebagai berikut :

1. Sampel yang dianalisis terlebih dahulu dipotong dalam ukuran kecil kemudian dipanaskan hingga meleleh.

2. Hasilnya dioleskan dengan tipis pada kepingan KBr. 3. Kemudian di uji dengan FT-IR.

Hasil yang diperoleh berupa kurva yang menampilkan puncak (peak) yang kemudian dapat ditentukan gugus fungsinya.

3.3.3.5 Karakterisasi dengan SEM

Pengujian dilakukan pada permukaan sampel. Dengan prosedur pengujian sebagai berikut :

1. Sampel dilapisi dengan emas bercampur palladium dalam suatu ruangan bertekanan 1492 x 102 atm.

2. Kemudian disinari dengan pancaran elektron bertenaga + 15 kV pada ruangan khusus sehingga mengeluarkan elektron skunder dan elektron terpental yang dapat


(61)

di deteksi oleh detektor Scientor yang diperkuat dengan suatu rangkaian listrik

yang menyebabkan timbulnya Cathode Ray Tube (CTD).

Hasil pemotretan dilakukan setelah memilih bagian tertentu dari objek (sampel) dan dilakukan perbesaran mencapai 100 kali, 500 kali, 1000 kali, dan 2500 kali sehingga diperoleh foto yang baik dan jelas.


(62)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Proses Pembuatan Aspal Emulsi

BAB 4 Dipanaskan sampai suhu 120oC

35 g Air

Distirer dengan kecepatan 500 rpm selama 5 menit

Ditambahkan secara perlahan-lahan antara variasi aspal dengan variasi air ditambah surfaktan tween 80

Hasil

Uji Viskositas

Energi Aktivasi

Uji % Padatan

FT-IR SEM

55 g Aspal

Dipanaskan sampai suhu 55oC

Ditambahkan 10 g Tween 80

Distirer dengan kecepatan 500 rpm selama 5 menit Dilakukan proses yang sama pada Polivinil Alkohol dan Dietanolamida dengan variasi (b/b) dalam 100 gram : 55:35:10; 60:30:10; 65:25:10; 70:20:10; 75:15:10


(63)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil dan Analisis Pengujian Viskositas

Proses pengujian viskositas mengacu pada ASTM D 4402-95 atau SNI 03-6441-2000 mengenai standart prosedur pengujian aspal. Pengujian ini mengunakan Viskosimeter Brookfield yang bertujuan untuk mengukur viskositas aspal pada berbagai temperatur. Torsi pada spindel yang berputar pada temperatur tertentu digunakan untuk mengukur ketahanan relatif terhadap perputaran dalam tabung benda uji. Satuan viskositas dalam Standar Internasional (SI) adalah Pascal detik (Pa.s). Satuan viskositas dalam sistem centimeter gram detik (cgs) adalah poise (dyne.s/cm2) dan nilai ini setara dengan 0,1 Pascal detik (Pa.s). Biasanya satuan viskositas dinyatakan dalam centipoise (cP), dimana 1 cP sama dengan 1 milipascal detik (mPa.s). Nilai Viskositas aspal dalam (MPa.s) diperoleh dengan mengalikan Hasil Pembacaan Torsi dengan suatu factor.

Berikut ini hasil nilai perhitungan viskositas aspal murni 100 gr dan aspal emulsi dengan variasi perbandingan (b/b) dalam 100 gram : 55:35:10; 60:30:10; 65:25:10; 70:20:10; 75:15:10 menggunakan surfaktan tween 80, PVA dan DEA. Tabel 4.1 Viskositas Aspal Murni

Variasi Perbandingan Aspal Suhu (o No spindel C) Kecepatan (rpm)

Faktor Nilai Pembacaan

Viskositas (cP)

100 80

90 100 110 120 4 4 4 4 4 30 30 30 30 30 200 200 200 200 200 45.5 22.5 12 7 5 9100 4500 2400 1400 1000


(64)

Tabel 4.2 Viskositas Aspal : Air : Tween 80 Variasi Perbandingan Aspal emulsi Suhu (o No spindel C) Kecepatan (rpm)

Faktor Nilai Pembacaan

Viskositas (cP) 55 : 35 : 10 80

90 100 110 120 4 4 4 4 4 30 30 30 30 30 200 200 200 200 200 8 6.5 5 4.5 3 1600 1300 1000 900 600 60 : 30 : 10 80

90 100 110 120 4 4 4 4 4 30 30 30 30 30 200 200 200 200 200 11 9 5.5 5 3.5 2200 1800 1100 1000 700 65 : 25 : 10 80

90 100 110 120 4 4 4 4 4 30 30 30 30 30 200 200 200 200 200 18.5 15.5 9 6 4 3700 3000 1800 1200 800 70 : 20 : 10 80

90 100 110 120 4 4 4 4 4 30 30 30 30 30 200 200 200 200 200 75 50 27 14 4.5 15000 10000 5400 2800 900 75 : 10 : 10 80

90 100 110 120 4 4 4 4 4 30 30 30 30 30 200 200 200 200 200 80.5 60 45 21.5 5 16100 12000 9000 4300 1000


(1)

Aspal:Dietanol A:Air 75:15:10

T (

o

K)

1/T (x)

η

1/ η

ln k 1/ η

xy

x2

353

0.002833 10000

0.0001

-9.21034 -0.02609 8.03E-06

363

0.002755 5500 0.000182

8.6125

-0.02373 7.59E-06

373

0.002681 3000 0.000333 -8.00637 -0.02146 7.19E-06

383

0.002611 1500 0.000667 -7.31322 -0.01909 6.82E-06

393

0.002545

900

0.001111 -6.80239 -0.01731 6.47E-06

1865

0.013424 20900 0.002393

-39.9448

-0.10769

3.61E-05

Rumus y = a+ bx

a =

14.78279

b =

-8481.64

R = 8.314 J/mol.K

Ea =

705164 j

/mol =

70.5164

Kj/mol

A =

2630788

y = -8481,6x + 14,783

R² = 0,9981

-10

-9

-8

-7

-6

-5

-4

-3

-2

-1

0

0,0025

0,0026

0,0027

0,0028

0,0029

ln 1/

η


(2)

Lampiran 10. Tabel Viskositas Faktor

Putaran

(rpm)

Viskometer/ No.Spindel

LV

LV

LV

LV

1

2

3

4

.3

200

1M

4M

20M

.6

100

500

2M

10M

1.5

40

200

800

4M

3

20

100

400

2M

6

10

50

200

1M

12

5

25

100

500

30

2

10

40

200

60

1

5

20

100

Catatan :

Untuk Mendapatkan Viskositas dalam bentuk centipoise (cP), kalikan

pembacaan dengan viskositas factor sesuai pembacaan diatas.


(3)

Lampiran 11.

Amidasi Metil Ester Asam Lemak Minyak Kelapa Menggunakan

Dietanolamina.

0,05 mol Metil ester asam lemak Campuran

dimasukkan kedalam labu leher dua volume 500 ml ditambahkan 0,093 mol dietanolamin

ditambahkan 0,093 mol CH3ONa (5 gr dalam 20 ml metanol)

dirangkai alat refluks

dipanasakan pada suhu 80-90oC sambil diaduk selama 5 jam

Campuran

diuapkan pelarutnya dengan alat rotarievaporator

Residu Filtrat

diekstraksi dalam 100 ml dietil eter

dicuci dengan larutan NaCl sebanyak tiga kali masing-masing 25 ml Lapisan atas

ditambahkan NaSO4 anhidrous

ditambahkan selama 45 menit disaring

Lapisan bawah

Filtrat Residu

diuapkan pelarutnya dengan alat rotarievaporator Hasil

Analisa FT-IR penentuan titik lebur Penentuan CMC

Reaksi Metil Ester Asam lemak dengan dietanolamin menghasilkan Dietanolamida

+

metil ester

asam lemak

dietanolamida

R-COOCH

3

CH2CH2OH

CH2CH2OH

3HN

dietanolamin

+ CH

3

OH

metanol

3RC-N

CH

2

-CH

2

-OH

CH

2

-CH

2

-OH


(4)

(5)

(6)