Idiom Musikal Minangkabau Dalam Komposisi Karawitan Institut Seni Indonesia Padangpanjang: Sebuah Analisis Dalam Konteks Adaptasi Musikal

lxvi

BAB II
MUSIK DIATONIS DALAM BEBERAPA ASPEK
Penulis memasukkan perihal musik diatonis ke dalam penelitian ini
dengan tujuan menjelaskan musik diatonis dari aspek-aspek yang nantinya dapat
dijadikan rujukan untuk menentukan sejauh mana seorang komposer, dalam
penelitian ini, mengadaptasi musik diatonis (musik Barat) dalam karya musiknya.
Dari aspek keilmuan musik, dasar-dasar musik Barat dijelaskan dengan konsep
tangganada diatonis, syarat bunyi, elemen musik, dan struktur musik. Dari aspek
penyebaran musik diatonis, akan dijelaskan secara singkat bagaimana masuknya
musik diatonis di Indonesia dan secara khusus di Minangkabau serta tokoh-tokoh
yang berperan.
Beberapa misi Kristen dan sekolah-sekolah Belanda pada masa pra
kemerdekaan sangat berperan dalam penyebaran musik diatonis di Indonesia.
Selain itu, terdapat juga orang-orang Indonesia, khususnya orang Minangkabau
yang menempuh pendidikan musik Barat di Eropa yang kelak juga memberikan
andil yang cukup besar terhadap perkembangan musik Barat di Indonesia. Peran
ini dilakukan terutama melalui institusi akademis.
Suka Hardjana berpendapat bahwa musik diatonis sangat mempengaruhi
kesadaran pendengaran anak-anak Indonesia. Menurut Suka Hardjana setiap anak

Indonesia telah menyesuaikan kesadaran pendengarannya dengan musik tradisi,
musik nasional, dan musik populer. Dua musik yang terakhir adalah diatonis
(disebut juga musik mayor-minor atau musik Barat).

lxvii

Pengaruh musik diatonis bukanlah persoalan sederhana. Suka Hardjana
berpendapat bahwa pengaruh tersebut bukan perkara main-main, tetapi akan
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam pembentukan budaya musik
anak Indonesia selanjutnya. Berikut kutipan dari pendapat Suka Hardjana tentang
kesadaran pendengaran anak-anak Indonesia yang ia beri judul Tiga Pasang
Telinga. Penulis menyebutnya sebagai Teori Tiga Pasang Telinga.
“Tiga Pasang Telinga”
(Telinga Daerah, Telinga Nasional, dan Telinga Internasional)
“Dalam hal kesadaran pendengaran musik, setiap orang Indonesia
mempunyai 3 pasang telinga, terutama bagi mereka yang berada di daerahdaerah yang seni tradisinya relatif masih kuat. ‘Telinga pertama’ adalah
memori pendengaran musikal yang terbentuk dari pengalaman budaya
‘asal-usul’ sejak dini. Contoh, orang Bali, sejak dini telah dilahirkan
dengan daya tangkap pendengaran yang akrab dengan tradisi gamelan
Bali. Lingkungan dinamik dan karakter sistem nada tradisi gamelan Bali

itulah yang mendasari latar belakang persepsi musik dan psikoestetik
budaya orang Bali. Pengalaman budaya musik ini Fundamental dan tidak
dapat di abaikan begitu saja. ‘Telinga kedua’ adalah kesadaran
pendengaran yang bersifat ‘Nasional’. Penerimaan budaya ‘baru’ dari luar
lingkungan diri ini dari sebuah toleransi yang ‘harus’, sebagai akibat dari
politik budaya ‘nasionalisasi’ musik dalam bentuk lagu-lagu nasional yang
diajarkan di sekolah. Politik pendidikan mengharuskan semua anak hafal
lagu-lagu Indonesia – baik lagu-lagu perjuangan, lagu-lagu anak, lagu-lagu
daerah atau folklor, dan lagu-lagu nasional yang sifatnya politisasi saja.
Semua lagu-lagu itu diajarkan dengan sistem nada ‘solmisasi’ yang
diambil dari bahan-bahan elementer sistem sakala nada mayor-minor
musik Barat yang paling sederhana. Demikianlah seorang anak Indonesia
mulai melatih dan membangun kesadaran telinga keduanya yang bersifat
‘Nasional’. Sampai di sini, setiap anak Indonesia telah memakai dua
pasang telinga, yaitu telinga ‘daerah’ dan telinga ‘nasional’, dalam
kesadaran pendengaran musik mereka. Ini bukan perkara main-main, tetapi
akan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam pembentukan
budaya musik anak Indonesia selanjutnya. ‘Telinga ketiga’merupakan
kesadaran pendengaran yang dipengaruhi budaya musik popular yang
bertolak dari sistem musik Barat. Sebelum beranjak dewasa, setiap telinga

anak Indonesia telah akrab dengan sistem musik mayor-minor yang
dipakai sebagai sistem dasar musik pergaulan dunia. Pada akhirnya , justru
pola perilaku budaya dan sistem musik Barat inilah – terutama kini dari

lxviii

Amerika – yang sangat berpengaruh terhadap citra musik dan kesadaran
pendengaran ‘telinga ketiga’ anak Indonesia” 39.
Pendapat Suka Hardjana tentang kesadaran pendengaran anak-anak
Indonesia yang didominasi oleh musik diatonis bisa diperkuat dengan pendapat
Bambang Sugiharto tentang musik Barat. Bambang Sugiharto (2013:282)
mengungkapkan bahwa berbagai jenis musik memiliki kecerdasan dan
kecanggihannya sendiri. Sugiharto memilih musik Barat sebagai contoh tentang
kecerdasan dan kecanggihan dengan beberapa alasan 40:
1. Musik Barat telah merupakan tradisi musik yang paling berpengaruh dan
sangat dominan di dunia kita saat ini. Posisinya serupa dengan bahasa Inggris
atau sains modern dalam sistem pendidikan kita kini.
2. Banyak hal dalam bahasa musikal yang kita gunakan hingga saat ini memang
berkembang dari dunia Barat juga, seperti sistem notasi, sistem nada, teori
harmoni, dsb.

3. Musik Barat adalah tradisi musik yang tingkat eksplorasinya atas
kemungkinan-kemungkinan musikal sangatlah ekstensif, agresif, dan kritis,
sehinggga pewacanaannya pun telah tergarap sedemikian sistemik dan
mendalam.
Pengaruh musik diatonis sangat mendominasi musik dunia. Musik-musik
yang ingin bertahan hidup ‘terpaksa’ harus beradaptasi. Tonal mayor-minor
bahkan memarjinalkan struktur dan naluri alami dan pendengaran ‘asli’ sebagian
besar penduduk bumi. Semua terpaksa harus menyesuaikan diri atau bahkan
39

Suka Hardjana, 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Periksa halaman

40

Bambang Sugiharto, 2013. “Musik dan Misterinya” dalam buku Untuk Apa Seni? Hal.

272-285.
282-283.

lxix


punah dihadapan pengaruh dominan sistem mayor minor – bukan hanya di luar
budaya musik Eropa, tetapi juga di lingkar kebudayaan musik Eropa sendiri 41.

2.1. Tetrachord Awal
Orang Yunani memiliki konsep awal tentang pertangganadaan yang
disebut sebagai tetrachord. Tetrachord merupakan empat nada dengan susunan
interval-interval yang dapat dikombinasikan. Tetrachord ini merupakan cikal
bakal tangganada diatonis yang kita kenal sekarang.
Karl Edmund (2006:24) menuliskan bahwa bangsa Yunani membuat
tangga nadanya, yang disebut tangga nada diatonis atau tangga nada asli dari
rangkaian tetrachord 42 . Dasar dari semua teori tersebut ialah tetrachord yang
berarti: empat (=tetrares) dawai (=chorda), sesuai dengan kebiasaan pada musik
instrumental asli Yunani yang hanya memakai empat dawai saja. Empat dawai
berarti empat nada yang berasal dari dawai-dawai tersebut.
Sebuah tetrachord disebut diatonis bila pada empat nada tetrachord
tersebut sekurang-kurangnya terdapat dua langkah nada yang utuh (Edmund
2006:24). Nada utuh yang dimaksudkan adalah interval satu laras atau yang lebih
umum dikenal sebagai whole tone atau a tone. Atas dasar susunan nada-nada yang
berinterval utuh pada tetrachord diatonis tersebut maka posisi langkah nada

setengah (semitone; setengah laras; setengah nada) hanya dapat ditunjukkan
dengan tiga kemungkinan, yaitu:

41
42

Op. cit. Periksa halaman 130-131.
Karl Edmund, 2006. Sejarah Musik jilid 1. Hal. 24.

lxx

a. Sesudahdua langkah nada yang utuh barulah terdapat langkah setengah nada.
Deretan ini merupakan nada diatonis yang paling asli dari Yunani, oleh karena
itu dinamai doris (dari daerah Yunani: Doris). Susunananya sebagai berikut:

Gambar 1. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada Di Ujung
Perlu dicatat bahwa tangga nada Yunani selalu turun dari nada tinggi ke
nada rendah 43. Hal ini berbeda dari tangga nada yang kita kenal sekarang yang
selalu naik dari nada rendah ke nada tinggi
b. Langkah setengah nada terdapat di tengahdua langkah nada yang utuh. Deretan

ini dinamai frigis(dari daerah Asia kecil: Phrygia). Susunannya sebagai berikut:

Gambar 2. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di tengah
c. Langkah setengah nada terletak sebelum dua langkah nada yang utuh. Deretan
nada ini dinamai lydis (dari daerah Asia kecil lain ialah: Lydia). Susunannya
sebagai berikut:

Gambar 3. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di pangkal

43

Ibid. hal. 24.

lxxi

Tangga nada yang utuh dihasilkan dari rangkaian dua tetrachord yang
persis sama susunan intervalnya. Dengan demikian diperoleh tiga tangga nada
pokokdari musik Yunani klasik:
a. Tangga nada Doris:


Gambar 4. Susunan interval tangga nada doris
b. Tangga nada Frigis:

Gambar 5. Susunan interval tangga nada frigis
c. Tangga nada Lydis:

Gambar 6. Susunan interval tangga nada lydis

Edmund (2006:25) memberi catatan bahwa ternyata tangga nada doris
Yunani berbeda dengan tangga nada doris Gregorian 44.
Dari masing-masing tanggga nada pokok di atas masih dapat ditambahi
dengan satu tetrachord lagi. Penambahan tetrachord dari sebelah atas tangga nada
akan menghasilkan tangga nada hyper-, misalnya hyper doris (hyper dalam bahasa
Yunani = atas). Sebaliknya bila sebuah tetrachord ditambahkan dari sebelah atas

44

Perikasa Karl-Edmund, Sejarah Musik jilid 1. Hal 88.

lxxii


tangga nada, maka dihasilkan tangga nada hypo-,misalnyahypo frigis (hypo dalam
bahasa Yunani = bawah).
Dengan variasi penambahan tetrachord di atas atau di bawah tangga nada
pokok Yunani kuno maka didapatkan 9 tangga nada sebagai berikut:
b’ a’ g’ f’ e’ d’ c’ b
e’ d’ c’ b a g f e
agfe dcBA

Hyperdoris = Miksolidis
Doris
Hypodoris = Eolis

a’ g’ f’ e’ d’ c’ b a
d’ c’ b a g f e d
gfed cbAG

Hyperfrigis
Frigis
Hypofrigis = Yonis


g’ f’ e’ d’ c’ b a g
c’ b a g f e d c
fedc BAGF

Hyperlydis
Lydis
Hypolidis

2.2. Modalitas Gregorian
Estetika musik Gregorian sangat bergantung pada modalitas. Edmund
(2006:87) mengatakan bahwa kekayaan estetik musik Gregorian hanya dapat
dimengerti bila modalitas dipahami. Modalitas Gregorian merupakan hasil mata
pelajaran “Musica” yang diajarkan dan dilatih dalam semua sekolah di Eropa
sepanjang Abad Pertengahan. Buku-buku yang menerangkan tentang tangga nada
Gregorian disusun oleh beberapa biarawan, seperti misalnya: Hucbald dari biara
St. Amand (840-930). Pengarang ini menjadi terkenal karena tulisannya De
harmonica institutione. Harmonica institutione diartikan sebagai tangga nada.
Lebih lanjut Edmund menuliskan bahwa dalam buku tersebut dipakai nama-nama
tangga nada yang dahulu dipakai oleh ahli-ahli musik Yunani, tetapi sayang


lxxiii

nama-nama tersebut digunakan secara berlainan. Menurut Edmund (2006:87)
perubahan agak aneh ini mungkin disebabkan oleh:
a. Karena praktek menyanyikan tangga nada-tangga nada ini berlainan dengan
metode yang biasa dalam kebudayaan Yunani klasik: dulu dimulai dari atas ke
bawah; pada Abad Pertengahan orang mulai menyanyikan tangga nada dari
bawah ke atas—suatu metode baru yang akan diteruskan sampai zaman
modern ini.
b. Karena pengaruh Boethius (480-524). Meskipun baru lahir sesudah keruntuhan
kerajaan Romawi (tahun 476) toh seringkali disebut sebagai ‘orang Romawi
sejati yang terakhir’, sebab berkat Boethius ini abad Pertengahan mewarisi
banyak kekayaan dari kebudayaan Yunani klasik. Hanya sayang sekali,
interpretasi Boethius tentang musik Yunani telah dibuktikan kurang benar.
Namun demikian pengaruh mental filsuf ini pada Abad Pertengahan mengenai
nama-nama tangga nada Yunani antara lain dapat diterangkan karena kurang
informasi ilmiah tentang kebudayaan Yunani.

2.2.1. Tetrachord Gregorian
Sebagaimana halnya musik klasik Yunani musik Gregorian juga
didasarkan pada tetrachord. Tetapi, tetrachord Gregorian terdiri dari nada D-E-FG (bergerak naik). Tetrachord ini dikembangkan menjadi empat tangga nada
Gregorian otentik, salah satunya adalah doris yang dimulai dari nada D.
Bandingkan dengan tetrachord doris dari Yunani kuno yang dimulai dari nada ED-C-B (bergerak turun). Jadi, terdapat perbedaan penggunaan kata doris untuk

lxxiv

menamai sebuah tangga nada Yunani kuno dan Gregorian. Namun, menurut
hemat penulis, konsep tentang interval diatonis dalam setiap tetrachord dari kedua
masa (Yunani kuno dan Gregorian) tersebut tetap dipertahankan yaitu kombinasi
dari dua tonos dan satu semi tonos.
Dari keempat nada yang ada dalam tetrachord Gregorian (D-E-F-G)
disusun empat tangga nada Gregorian otentik, dengan nada D atau E atau F atau G
sebagai nada dasar/finalis (=penutup).

2.3. Syarat Bunyi (Sound Property)
Sebelum menguraikan elemen musik, Kerman (1987:10) mengemukakan
tiga properti (sifat) bunyi yaitu adanya frekuensi, timbre, dan volume. Ketiga
istilah ilmiah tersebut berhubungan dengan istilah musik pitch, tone color, dan
dynamic. 45
1. Frekuensi
Frekuensi berhubungan dengan kecepatan atau tingkat vibrasi dalam
sebuah benda yang memproduksi bunyi. Frekuensi yang lebih tinggi
menghasilkan bunyi yang lebih tinggi pula. Semakin pendek sebuah benda yang
bervibrasi maka bunyi semakin tinggi. Sebuah piccolo bunyinya lebih tinggi dari
pada sebuah trombon karena piccolo meliputi getaran udara dalam tabung yang
lebih pendek. Jika kita meniup permukaan mulut botol yang berisi air di
dalamnya, maka bunyi akan lebih tinggi jika ruang udara dalam botol semakin
kecil.

45

Joseph Kerman,1987. Listen. hal. 10.

lxxv

Fenomena ini juga belaku untuk dawai. Semakin pendek dawai maka
fekuensinya atau terdengar semakin tinggi. Nada secara berurutan akan semakin
tinggi bila panjang dawai yang bergetar meliputi

setengah, seperempat,

seperdelapan dari dawai, dan seterusnya.
Fraksi atau bunyi sampingan disebut partials atau overtones. Bunyi
overtone terdengar lebih lemah (lembut) dari pada bunyi utama.
2. Timbre
Timbre merupakan kualitas bunyi yang kerap disebut tone “color” sangat
tergantung pada jumlah atau proporsi dari overtones. Dalam sebuah flut, aliran
udara menggetarkan keseluruhan panjang tabung dan semakin berkurang dalam
setengah atau seperempat panjang tabung, sehingga hanya ada sedikit overtones.
Di lain pihak, senar-senar violin bergetar serempak dalam banyak subsegment
(ruas) sehingga violin kaya dengan overtones.
3. Volume
Volume atau tingkat kelantangan bunyi bergantung pada amplitudo dari
getaran, atas sebarapa jauh atau keras sebuah senar atau getaran aliran udara.
Sebagai contoh, pada sebuah gitar, volume tergantung pada seberapa kuat kita
memetik senarnya. Frekuensi tidak akan berubah.
Pemain alat musik tiup mengontrol volume dengan mengatur tekanan
angin yang dihasilkan dari tiupan. Bukanlah kebetulan bahwa kelantangan dalam
musik diasosiasikan dengan tenaga atau kekuatan.
Synthesizer, tidak seperti kebanyakan alat musik tradisional yang dayanya
berasal dari kekuatan atau nafas manusia, bunyi synthesizer murni berasal dari

lxxvi

benda-benda elektronik. Sebuah synthesizer terdiri dari tiga elemen dasar: 1)
sebuah jaringan osilator elektronik, amplifier, speaker, dan mekanisme lainnya
untuk memproduksi dan memanipulasi bunyi; 2)sebuah alat untuk memilih dan
menentukan jenis dan kualitas bunyi yang akan dihasilkan—umumnya sebuah
keybooard untuk not dan mengontrol tone color; 3) sebuah komputer atau
microchip untuk menterjemahkan perintah-perintah dalam bentuk getaran bunyi.
Ronald Pen (1992:12-17) mengemukakan elemen dasar (basic element)
dari bunyi adalah: duration, pitch, dynamic, dan timbre. Menurut Pen, keempat
elemen dasar inilah yang digunakan untuk menyusun musik 46.
Jika kita bandingkan pendapat Kerman dan Pen, mereka hanya berbeda
satu elemen duration dalam hal properti atau elemen dasar bunyi. Penulis
berpendapat bahwa duration berhubungan erat dengan hal waktu dan sangat
penting dalam pembentukan rhythm,sebab rhythm merupakan unsur penting
dalam musik. Dengan demikian, pendapat Pen telah mencakup semua properti
bunyi yang diajukan oleh Kerman.

2.4. Elemen Musik (Music Element)
Kerman (1987:12)memaparkan, bahwa elemen (bagian penting) musik
terdiri dari: pitch, dynamics, tone color, scales, rhythm, tempo,dan pictch and
time. 47

46

Ronald Pen, 1992. Introduction to Music. Hal. 12-17.
Joseph Kerman. Op.cit. hal. 12.

47

lxxvii

2.4.1. Pitch (Tinggi-rendah)
Kita dengan jelas dapat mendengarkan bunyi-bunyi, seperti bunyi tinggi
dan bunyi rendah. Kita memberi sifat kepada bunyi tersebut dengan kata tinggi
dan rendahuntuk menggambarkan bunyi-bunyi itu dalam keraguan yang penuh
tanya, walaupun tidak dengan menggunakan alat yang layak. Kerman (1987:12)
menyebutkan, bahwa kualitas tinggi-rendahnya bunyi disebut pitch. 48
Bunyi dihasilkan dari getaran yang sangat cepat dari senar yang tegang,
gong, bell, aliran udara dalam pipa,dan benda-benda lainnya. Tinggi rendahnya
sebuah bunyi ditentukan oleh cepatnya sebuah getaran. Pengukuran ilmiah dari
pitch adalah seberapa banyak jumlah getaran perdetik. Contoh, saat permulaan
latihan, sebuah orkestra melakukan tuning dengan pitch A, dan sebuah band
melakukan tuning dengan Bb (B mol). Not-not tersebut dapat dicek dengan
sebuah garpu tala atau sebuah alat tuning elektronik.
Lazimnya, jika bunyi-bunyian digunakan dalam musik, maka pitch-nya
harus difokuskan. Jadi, tidak kabur atau tidak tetap seperti sebuah bising yang
tinggi atau rendah. Suara knalpot sepeda motor dianggap sebagai noise (bising)
karena pitch-nya tidak difokuskan pada sebuah frekuensi tertentu. Namun
demikian, ada alat musik yang penalaannya tidak berdasarkan frekuensi tertentu,
seperti dram, simbal, cow bell, dan sebagainya.
Menurut Kerman (1987:12) pengalaman kita tentang pitch diperoleh
ketika kita masih kecil 49. Bayi yang baru berumur beberapa jam dapat merespon
suara orang dewasa, mereka segera membedakan mana bunyi atau suara yang
48
49

Joseph Kerman. Ibid. hal. 12.
Joseph Kerman. Ibid. hal. 12.

lxxviii

tinggi dan mana yang rendah. Bayi-bayi itu sangat responsif terhadap bunyi yang
tinggi. Biasanya bunyi yang tinggi itu mereka kenal dari suara ibunya.
Berikut ini adalah rentang suara yang normal. Rentang suara ini lazim
digunakan saat bercakap-cakap atau bernyanyi oleh pria maupun wanita. Kerman
mendeskripsikannya dalam notasi berikut:

Gambar 7. Rentang suara normal sebagaimana dalam sebuah chorus

2.4.1.1. Interval: Oktaf
Kerman (1987:13) mendefinisikan interval sebagai perbedaan, atau jarak,
antara sebarang dua pitch. Dari sekian banyak perbedaan interval yang digunakan
dalam musik, sebuah interval memiliki karakter khusus yang membuatnya secara
khusus menjadi penting yaitu interval oktaf.
Interval oktaf merupakan jarak antara dua nada di mana kedua nada
tersebut sama tetapi tidak identik. Nada yang satu menduplikasi nada yang lain
dalam jarak oktaf. Duplikasi inilah yang disebut dengan oktaf.
Jika pria dan wanita menyanyikan lagu yang sama, maka secara insting
mereka menyanyi dalam jarak oktaf. Mereka saling menduplikasi suara dalam

lxxix

jarak oktaf. Jika kita tanyakan pada mereka, maka mereka akan menjawab bahwa
mereka sedang menyanyikan lagu yang sama.
Interval oktaf digunakan untuk menentukan seberapa lebar rentang suara
manusia atau sebuah alat musik. Rata-rata suara manusia dan alat musik memiliki
rentang dua hingga tiga oktaf. Kecuali beberapa alat musik, misalnya piano
memiliki rentang suara hingga tujuh oktaf.
Interval nada-nada dalam satu oktaf dari sebuah tangga nada diatonis
C,D,E,F,G,A,B,c adalah sebagai berikut:
C-C = perfect first(prim murni)

C-G = perfect fifth (kuint murni)

C-D = major second (sekonde besar)

C-A = major sixth(sekt besar)

C-E = major third (ters mayor)

C-B = major seventh(septim besar)

C-F = perfect fourth (kuart murni)

C-c = perfect eighth (oktaf murni)

2.4.2. Dinamik (Dynamic)
Syarat

dasar

kedua

dari

bunyi

musikal

adalah

loudness

atau

softness(kelantangan atau kelirihan) atau disebut dynamic (dinamik).
Ilmuan mengukur dinamik secara kuantitatif dalam satuan yang disebut
decibels (db); gergaji mesin kelantangan bunyinya kira-kira 85 db, dan
operatornya terpaksa mengenakan peredam bunyi di telinga. Seorang ahli
kesehatan pernah mengukur sistem pengeras suara musik rock yang mencapai
128,5 db.

lxxx

Musisi menggunakan istilah dalam bahasa Italia untuk menggambarkan
dinamik, sebab di masa-masa awal dulu, orang Italia menguasai kancah musik
Eropa. Beberapa contoh istilah dinamik:
pianissimo (pp)

sangat lembut

piano (p)

lembut

mezzo piano (mp)

agak lembut

mezzoforte (mf)

agak keras

forte (f)

keras

fortissimo (ff)

sangat keras

Kadang-kadang perubahan dinamik terjadi dengan tiba-tiba (subito)
kadang secara berangsur-angsur lantang atau lirih. Berikut adalah istilah dan
notasi perubahan dinamik (kadang-kadang disebut “pasak sanggul”):

crescendo (cresc.)
(berangsur-angsur lantang)
decrescendo(decresc.) atau diminuendo (dim)
(berangsur-angsur lirih)

2.4.3. Warna bunyi(Tone color)
Kerman (1978:14) mengatakan, bahwanot-not tunggal dalam musik, baik
keras

maupun

lembut,

secara

umum

berbeda

kualitas

bunyinya. 50 Perbedaankualitas itu tergantung dari instrumen atau suara yang

50

Joseph Kerman. Ibid. hal. 14.

lxxxi

memproduksinya. Kerman memberikan istilah tone color untuk menandai kualitas
bunyi tersebut.
Tone color hampir tidak mungkin untuk digambarkan. Orang kadangkadang menggunakan istilah yang kurang pas seperti bright, harsh, hollow, atau
brassy. Kerman menuliskan, Tone color adalah elemen musikal yang dengan
mudah dapat dikenali. Orang yang tidak dapat menyanyikan sebuah lagu pun
dapat membedakan bunyi dari berbagai alat musik melalui nama instrumen
tersebut. Setiap orang dapat mendengar perbedaan antara bunyi yang halus, bunyi
yang penuh dari violin, bunyi cemerlang dari trumpet, dan gebukan dram.
Tetunya sangat mengagumkan bagaimana alat-alat musik yang berbeda
dipertemukan dalam sebuah kelompok untuk memproduksi tone coloryang
berbeda. Saat ini teknologi komputer memungkinkan penemuan bunyi-bunyi baru.

2.4.4. Tangga nada(Scales)
Kerman

(1978:15)

mengatakan,

musik

tidak

dibuat

berdasarkan

keseluruhan rentang bunyi yang secara alami ada di alam, tetapi dibuat
berdasarkan sejumlah pitch yang sudah ditetapkan dalam setiap ruas oktaf. 51 Pitch
tersebut dapat disusun dalam sebuah kumpulan yang disebut scale (“ladder”=
tangga atau jenjang). Kerman menambahkan, sebenarnya sebuah scalemerupakan
sekumpulan pitch yang disediakan untuk membuat musik.
Pitch mana yang digunakan dalam sebuah scaledan berapa banyak dalam
setiap oktafnya adalah berbeda dari satu kultur dengan kultur yang lain. Dua belas

51

Joseph Kerman. Ibid. Hal. 15.

lxxxii

pitch telah ditetapkan sebagai yang paling banyak digunakan dalam berbagai
musik. Lima nada digunakan di Jepang, sebanyak 24 nada digunakan di negerinegeri Arab, dan Eropa Barat pada dasarnya menggunakan tujuh nada.
Menurut Ronald Pen, sebuah scale (tangga nada) adalah serangkaian nadanada yang berurutan yang merupakan dasar dari pengaturan susunan melodi dan
harmoni 52 . Tangga nada memberikan kerangka susunan yang berjenjang untuk
mengorganisasikan konsonan dan disonan dalam sebuah kerangka tonal.
Pendapat Kerman dan Pen tentang tangga nada dapat disimpulkan sebagai
sekumpulan pitch yang berurutan yang digunakan sebagai dasar untuk menyusun
melodi dan harmoni. Sekumpulan pitch sebagai penyusun tangga nada dalam
musik Barat terdiri dari tujuh nada.

2.4.5. Tangga nada diatonis (The Diatonic scale)
Kerman (1978:15) menjelaskan, bahwa rangkaian tujuh nada yang secara
asli digunakan dalam musik Barat disebut tangga nada diatonik 53 . Tujuh nada
tersebut berasal dari era Yunani kuno, dan masih digunakan hingga saat ini. Bila
nada pertama diulang dengan duplikasi nada yang lebih tinggi, keseluruhannya
berjumlah delapan nada—oleh karena itu dinamakan “octave” berarti “delapan
jengkal”.
Menurut Kerman, Siapa pun yang mengetahui rangkaian “do, re, mi, fa,
sol, la, si, do” berarti ia terbiasa dengan tangga nada diatonis. Oktaf dapat dihitung
dengan memulai dari “do” pertama sebagai satu dan diakhiri dengan “do” kedua
52
53

Ronald Pen, 1992. Introduction to Music. Hal. 77.
Joseph Kerman. Op. cit. Hal. 15.

lxxxiii

sebagai delapan. Serangkaian tuts putih pada piano atau keyboard merupakan
merupakan tangga nada ini (diatonis). Berikut ini sebuah gambar not-not pada
keyboard dengan rentang dua oktaf serta posisi not-not tersebut pada garis
paranada.
Pendapat Kerman di atas menyatakan bahwa orang yang mengetahui
rangkaian tangga nada diatonik dianggap sudah terbiasa dengan tangga nada
tersebut. Hal ini sangat berhubungan erat dengan dengan tetrakord diatonik yang
ada dalam musik Minangkabau.

Gambar 8. Posisi nada-nada keyboard dalam notasi balok
(Sumber : Kerman)

2.4.5.1. Tangga nada kromatik (The Chromatic scale)
Pada sebuah periode terakhir, lima buah pitch lagi ditambahkan di antara
tujuh nada anggota tangga nada diatonis, hingga berjumlah dua belas. Berikut ini
tangga nada kromatik yang disajikan dengan rangkaian dari not-not (tuts) pada
keyboard.

lxxxiv

Gambar 9. Nada-nada kromatik
(Sumber : Kerman)

2.4.5.2. Instrumen dan tangga nada (Scales and instrument)
Hingga masa kini, musik Barat menggunakan 12 pitch dari tangga nada
kromatik yang diduplikasi dalam semua tingkatan oktaf dan pada dasarnya tidak
ada tangga nada yang lain 54 . Banyak jenis instrumen yang didisain untuk
menghasilkan pitch yang khusus: gitar dengan fret, lobang-lobang yang terukur
secara cermat pada flute, dan serangkaian senar yang tersetem pada piano dan
harpa. Termasuk juga, katup-katup dan pipa-pipa pada trompet dan tuba yang
didisain sedemikian rupa agar bisa mengahasilkan pitch kromatik.
Instrumen lain, seperti violin dan trombon gelincir (slide) memiliki
rentang pitch yang berkesinambungan (seperti sirine atau suara manusia). Dalam
menguasai instrumen ini, salah satu yang harus dikuasai adalah mempelajari
54

Joseph Kerman. Ibid. Hal. 16.

lxxxv

bagaimana cara mengambil sebuah pitch dengan tepat sebagai sebuah patokan.
Hal ini disebut sebagai playing in tune (bermain dalam keselarasan).

2.4.5.3. Langkah setengah dan langkah penuh (Half steps and whole steps)
Ada dua macam langkah nada yaitu langkah setengah (half step) dan
langkah penuh (whole step).
1. Interval paling kecil adalah langkah setengah (half step), atau semitone, yang
merupakan jarak antara dua not yang bergerak dari scale kromatik. Langkah
setengah merupakan interval antara not-not yang paling dekat. Jarak dari E ke
F dan dari B ke C adalah setengah langkah; demikian juga dari F ke F kres
(F#), G ke A flat (Ab), dan seterusnya.
2. Langkah penuh (whole step) atau nada penuh,ekuivalen dengan dua langkah
setengah atau dua semi tone. D ke E, E ke F#, F# ke G#, dan seterusnya.

Gambar 10. Whole step dan Semitone
(Sumber : Kerman)

lxxxvi

2.4.6. Rhythm (Ritme)
Rhythm, dalam pengertian yang paling umum adalah, istilah yang merujuk
pada keseluruhan aspek waktu dari musik 55. Joseph Kerman menjelaskan aspek
waktu dalam musik dengan istilah-istilah beat, accent, meter, dan rhythm and
rhythms.

2.4.6.1. beat (ketukan)
Beat merupakan satuan ukuran waktu dalam musik. Seseorang dapat
dengan mudah mengetukkan waktu dalam musik dengan mengayunkan tangan
atau mengetukkan kaki seirama dengan yang dilakukan oleh konduktor dengan
button-nya(tongkat kecil pengaba). Para komposer harus memanipulasi dan
mengelola elemen waktu sebagaimana tangga nada, harmoni, instrumentasi, dsb.
Mereka (komposer) menata (mengontrol) waktu sebagai mana seorang pelukis
menata ruang dalam dimensi dua atau seorang arsitek menata ruang dalam
dimensi tiga. Hanya dengan mengukur dan mengontrol waktu, para komposer
dapat menentukan kapan sebuah efek artistik dapat diterapkan 56.

2.4.6.2. accent (tekanan)
Lazimnya waktu jam diukur dalam detik, dan waktu musik diukur dalam
beats(ketukan-ketukan). Terdapat perbedaan penting antara detik jam dengan
ketukan waktu dalam permainan dram. Secara mekanis detik jam selalu sama,
tetapi sebenarnya tidaklah mungkin untuk mengetuk (to beat) waktu tanpa
55

Joseph Kerman. Ibid. Hal. 18.
Joseph Kerman. Ibid. Hal. 18

56

lxxxvii

membuat beberapa beat lebih tegas dari yang lainnya. Penegasan ini di sebut
sebagai pemberian accent (tekanan) pada sebuah beat 57.
Cara alami dalam mengetuk waktu adalah dengan bergantiannya ketukan
kuat dan lemah dalam sebuah pola sederhana seperti: satu dua, satu dua, satu dua
atau satu dua tiga, satu dua tiga, satu dua tiga. Jadi, dalam mengetuk waktu tidak
hanya berarti mengukurnya tetapi juga mengelompokkannya, paling tidak dalam
bentuk biner atau terner. Dengan cara inilah mengapa sebuah dram dikatakan
sebagai intrumen musikal sedangkan sebuah jam tidak.

2.4.6.3. Meter (meter)
Setiap pola ketukan kuat dan lemah yang berulang-ulang disebut meter.
Meter adalah suatu pola kuat/lemah yang berulang-ulang untuk membentuk
sebuah denyut yang teratur dan berkesinambungan 58 . Setiap unit dari pola
berulang tersebut terdiri dari sebuah beat kuat dan satu atau lebih beat yang lebih
lemah, ini disebut sebagai mausure (birama) atau bar.
Dalam notasi musik, measure ditandai dengan garis vertikal yang disebut
garis bar.

Gambar 11. Birama dan garis bar
Ada dua jenis dasar penggunaan simple meter (meter sederhana), yaitu
duple meter dan triple meter. Kombinasi dari keduanya membentuk compound
57
58

Ibid. Hal. 18
Ibid. Hal. 19.

lxxxviii

meter (birama gabungan) 59. Contoh pola duple meter: 1 2 1 2 1 2 1 2. Contoh pola
triple meter: 12 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3. Contoh pola compound meter: 1 2 3 4 5 6

1

2 3 4 5 6 12 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6.

2.4.6.4. rhythm dan rhythms
Kerman telah menegaskan bahwa istilah rhythm merujuk pada keseluruhan
aspek waktu dari musik. Dalam pengertian yang lebih spesifik rhythms merujuk
pada susunan khusus dari panjang-pendek not dalam melodi atau bagian musik
lainnya.
Dalam sebagian besar musik Barat, duple, triple, atau compound meter
berperan sebagai latar belakang yang bersifat teratur melawan rhythm yang
sebenarnya selalu lebih kompleks. Sepanjang rhythm bertepatan dengan meter,
kemudian berjalan dengan caranya sendiri, bermacam-macam ragam, tension
(tegangan), dan kehebohan dapat terjadi.

2.4.7. Tempo
Istilah tempo merujuk pada kecepatan perpindahan beat. Sering juga
disebut sebagai laju beat. Dalam musik yang bersifat metris, tempo merupakan
kecepatan dasar, beat-beat yang beraturan dari sebuah meter saling mengikuti satu
sama lain.
Tempo dapat diekspresikan secara kuantitatif dengan petunjuk seperti
, berarti 60 (not seperempat) beats per menit. Petunjuk demikian adalah

59

Ibid. Hal. 19.

lxxxix

tanda metronom. Metronom 100 adalah sebuah rata-rata tempo mars yang tenang;
42 adalah sangat lambat, 160 adalah sangat cepat.

2.4.7.1. tempo indications (petunjuk tempo)
Nada-nada dalam musik memiliki durasi relatif. Laju beat pun bersifat
relatif. Bila para komposer memberikan arahan untuk tempo (laju beat), mereka
biasanya lebih suka menggunakan istilah-istilah yang umum. Istilah konvensional
yang digunakan sebagai petunjuk tempo adalah dalam bahasa Italia.
Petunjuk tempo yang lazim digunakan:
adagio
andante
moderato
allegretto
allegro
presto

: lambat
: mendekati lambat, tapi tidak terlalu lambat
: sedang
: mendekati cepat, tapi tidak terlalu cepat
: cepat
: sangat cepat

Petunjuk tempo yang jarang digunakan:
lento, largo, grave
larghetto
vivace, vivo
molto allegro
prestissimo

: lambat, sangat lambat
: agak lebih cepat dari pada largo
: berkesan
: lebih cepat
: sangat cepat

xc

2.5. Pitch dan Time: Dua dimensi musik
Pitchdan time merupakan dua dimensi penting atau merupakan koordinat dari
musik. Grafik pitch dengan pembacaan turun naik berada pada sumbu vertikal,
dan time yang bergerak dari kiri ke kanan pada sumbu horizontal dapat membantu
dalam konseptualisasi musik sebagai mana grafik harga makanan dan waktu yang
dapat membantu kita melacak perubahan harga di toko grosir dari bulan ke bulan.
Faktanya, demikian pulalah grafik pitch/time menjadi sangat terkait erat dengan
notasi musik. Dalam notasi musik, tinggi dan rendahnya nada-nada ditempatkan
pada kisi-kisi yang berderet secara horizontal yang sesekali bersilangan dengan
garis-garis vertikal. Garis-garis vertikal menandai pitch, dari rendah ke tinggi;
garis-garis horizontal menandai waktu dalam pecahan menit (seperti bulan atau
minggu, sebagaimana indeks harga):

Grafik 1. Grafik dua dimensi musik (pitch dan time)
(Sumber : Kerman)

2.6. The Structures of Music(Struktur Musik)
Musik terdiri dari struktur sederhana dan kompleks yang dibangun dari
pitch, ritme, tone color, dan dinamik. Keempat elemen ini tidak bisa dipsahkan
satu sama lain dalam membentuk struktur musik.

xci

2.6.1. Melody (Melodi)
Kerman (1987) mendefenisikan melodi sebagai perpindahan serangkaian
nada yang dimainkan atau dinyanyikan dalam sebuah ritme tertentu 60. Pen (1992)
mendefenisikan melodi sebagai urutan perpindahan interval yang merupakan ide
musikal yang bertalian secara logis. Penulis menyimpulkan pendapat Kerman dan
Pen tentang melodi sebagai suatu ide yang tertuang dalam bentuk perubahan
interval dalam ritme tertentu.

2.6.2. Texture (Anyaman)
Kerman (1987) menjelaskan bahwa tekstur merupakan istilah yang
digunakan untuk menyatakan perpaduan berbagai macam bunyi dan melodi
(banyak melodi) yang terjadi secara serempak dalam sebuah musik.
Tekstur yang paling sederhana adalah sebuah melodi tanpa iringan yang
disebut sebagai monofoni(monophony). Bila dua atau lebih melodi dimainkan atau
dinyanyikan secara bersamaan maka perpaduan tersebut dinamakan sebagai
polofoni(polyphony). Tekstur polifoni ada yang bersifat imitatif ada yang tidak.
Polifoni imitatif (imitative poliphony) terjadi bila beberapa jalur suara berbunyi
bersama dengan menggunakan melodi yang sama atau mirip, tetapi dimulai pada
waktu yang tidak bersamaan sehingga satu melodi disusul oleh melodi lainnya
dalam jeda interval waktu tertentu. Sedangkan polifoni nonimitatif (nonimitative
poliphony) terjadi bila beberapa melodi memang berbeda secara esensi. Bila ada
sebuah melodi saja dikombinasikan dengan bunyi-bunyi yang lain maka tekstur

60

Kerman, 1987. Listen. Hal. 30

xcii

ini disebut homofoni (homophony). Bisa saja berupa sebuah melodi yang diringi
dengan akor-akor atau setiap pergerakan nada yang diharmonisasi dengan sebuah
akor tertentu seperti yang kita dapati pada himne koor atau lagu himne (hymn
tune).
Harmoni

merupakan

bagian

dari

tekstur.

Sebuah

melodi

dapat

diharmonisasi dengan banyak cara menggunakan akor-akor yang berbeda.
Kerman (1987) berpendapat bahwa, keseluruhan efek dari musik bergantung pada
perluasan akor-akor natural tersebut yang secara umum di sebut harmoni.

Grafik 2. Grafik tekstur
(Sumber : Kerman)

xciii

Grafik 3. Grafik tekstur polifoni imitatif
(Sumber : Kerman)

Grafik 4. Grafik tekstur polifoni non imitatif
(Sumber : Kerman)

xciv

Grafik 5. Grafik tekstur homofoni
(Sumber : Kerman)
2.6.3. Key dan Mode
Key berkaitan dengan tonalitas yang mengacu pada kombinasi susunan
interval tertentu. Menurut Kerman (1987) key bisa diawali oleh sebarang nada
sehingga tersusun menjadi sebuah key mayor atau minor. Misalnya, berawal dari
nada C dengan skala interval 1-1-1/2-1-1-1-1/2 akan dihasilkan susunan C-D-E-FG-A-B-C dengan nama key C mayor. Jika skala yang sama kita gunakan dengan
nada permulaan D akan dihasilkan susunan D-E-Fis-G-A-B-Cis-D maka kita
dapatkan key D mayor. Bila nada permulaan C dengan skala interval 1-1/2-1-11/2-1-1 akan dihasilkan susunan C-D-Es-F-G-As-Bes-C dengan nama key C
minor. Jika skala yang sama kita gunakan dengan nada permulaan A akan
dihasilkan susunan nada A-B-C-D-E-F-G-A maka kita dapakan key A minor.

xcv

Posisi nada permulaan yang berbeda-beda dengan skala interval yang sama inilah
yang dimaksud dengan key.
Ronald Pen (1992) mengatakan, secara struktur, delapan buah not yang
menyusun mode menyerupai pola dari langkah penuh (whole step) dan langkah
setengah (hal step) yang terdapat dalam mode mayor dan minor. Setiap mode
memiliki pola half step yang unik. Berikut ini adalah susunan tujuh mode dengan
posisi half step yang berbeda-beda:
Ionian

Dorian

Phrygian

Lydian

Mixolydian

Aeolian

Locrian

xcvi

Gambar 12. Skala mode mayor dan minor
(Sumber : Kerman)

xcvii

Musik dengan struktur yang telah dirancang sedemikian rupa diwujudkan
dengan permainan berbagai alat musik. Sebagai contoh adalah ansambel besar
berupa orkestra yang terdiri dari seksi gesek (strings): violin, viola, cello, dan
kontra bas; tiup kayu (woodwind): flut, obo, klarinet, dan bason; tiup logam
(brass): trompet, horn, trombon,dan tuba, dan perkusi (percussion): timpani,
vibrafon, marimba, bell, grand cassa, simbal, dsb.

Gambar 13. Penataan alat musik dalam orkestra
(Sumber : Kerman)

2.7. Bentuk dan Stil Musik (Musical Form dan Musical Style)
Kerman (1987) menyatakan, bahwa bentuk secara umum merupakan
penataan elemen musikal dalam sebuah karya musik yang terdiri dari ritme,

xcviii

dinamik, tone color, melodi, tonalitas, dan tekstur 61. Sedangkan stil merupakan
kebiasaan atau kecenderungan seorang komposer dalam menggunakan ritme,
melodi, harmoni, tone color, bentuk tertentu, dsb 62.

2.7.1. Bentuk Musik(Form in Music)
Bentuk musikal, sebagai pola yang baku, biasanya ditunjukkan dengan
huruf-huruf. Dua faktor yang menghasilkan bentuk musik adalah: repetisi dan
kontras. Bentunya ditulis dengan diagram A B A, A sebagai elemen repetisi dan B
sebagai kontras. Jika pada A terjadi modifikasi maka secara konvensional ditandai
dengan A' sehingga susunan dapat berupa A B A'

2.7.2. Stil Musik(Musical Style)
Menurut

Bambang

Sugiharto

(2013:283)

Styleadalah

cara

khasmemperlakukan unsur-unsur musikal seperti: melodi, ritme, warna tone,
dinamika, harmoni, tekstur, dan bentuk 63. Sugiharto menerangkan bahwa, Style
musik itu berubah-ubah dari zaman ke zaman, meskipun batas perubahan itu tidak
selalu sangat jelas, tidak mendadak dan tegas. Selanjutnya dijelaskan, bahwa
Stylememang bisa menunjuk gaya pribadi seseorang komposer, sekelompok
komposer, atau suatu negara, tapi bisa juga menunjuk pada periode-periode

61

Ibid. Hal. 56
Ibid. Hal. 60
63
Bambang Sugiharto, 2013. “Musik dan Misterinya” dalam buku Untuk Apa Seni? Hal.
62

283.

xcix

tertentu. Menurut periode stilistiknya musik-seni di Barat dapat dibagi ke dalam
kategori sebagai berikut 64:
1. Abad Pertengahan (450-1450)
2. Renaisanse (1450-1600)
3. Barok (1600-1750)
4. Klasik (1750-1820)
5. Romantik (1820-1900)
6. Modern (1900-1950)
7. Kontemporer (1950- )

2.8. Musik Diatonis di Sekolah-Sekolah
Pelajaran musik di sekolah-sekolah umum di Indonesia wajib diisi dengan
materi pembelajaran lagu-lagu nasional yang juga kita kenal sebagai lagu-lagu
wajib nasional. Sejak Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-Kanak, hingga
Sekolah Menengah Tingkat Atas anak-anak Indonesia secara tidak langsung sudah
fasih menyanyikan lagu-lagu yang berdasarkan sistem nada diatonis. Selain dari
pelajaran musik di sekolah, anak-anak Indonesia juga terbiasa dengan musikmusik populer Indonesia dan Barat (Amerika) yang juga didominasi oleh sistem
nada diatonis.
PaEni (2009) menuliskan, bahwa di sekolah-sekolah pelajaran menyanyi
masuk ke dalam kurikulum, dan isinya adalah menyanyi dalam sistem nada

64

Ibid. hal. 283. Silakan periksa halaman 283-304.

c

diatonik 65. PaEni berpendapat bahwa orientasi musik anak sekolahan adalah ‘ke
Barat’. Bersama dengan sistem nada diatonik tersebut diperkenalkan pula
instrumen-instrumen musik dari Eropa seperti biola, piano, gitar, dan sebagainya.
Sekali dalam hidup, kita tentu pernah mengalami peristiwa musik.
Setidak-tidaknya setiap upacara bendera khususnya pada hari kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus semua murid Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Perguruan Tinggi, kantor-kantor
pemerintahan, dan organisasi-organisasi sosial politik serta seluruh rakyat
Indonesia, secara langsung atau pun tidak, tentunya pernah menyanyikan lagu
Indonesia Raya.
Sebagai sebuah karya musik, lagu kebangsaan kita Indonesia Raya
diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman melalui aturan nada yang umum
dikenal di seluruh dunia. Aturan nada yang dikenal di seluruh dunia ini disebut
diatonis (Remy Sylado, 1983:8) 66. Sylado mengatakan bahwa perkataan diatonis
dipetik dari bahasa Latin, diatonicus, maksudnya nada-nada yang terdiri dari tujuh
jenis bunyi yang ditulis di atas garis titi, yaitu do re mi fa sol la si 67.

2.9. Tetrachord Diatonis dalam Lagu-Lagu Tradisional Minangkabau
Karawitan Minangkabau yang berasal dari Darek (Luhak Tanah Datar,
Luhak Agam, Luhak Lima Puluh Kota) juga memiliki sistem tangga nada yang
mirip dengan konsep diatonis seperti yang dikemukakan dalam kajian sejarah
65

Mukhlis PaEni, 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni
Media. Hal. 102.
66
Remy Sylado, 1983. Apresiasi Musik. Hal. 8
67
Remy Sylado, Ibid. hal.8

ci

musik 68 . Lagu tradisional Minangkabau berikut ini memenuhi konsep dasar
tangga nada diatonis:
a. Lagu Malereang Tabiang:

Gambar 14. Notasi lagu Malereang Tabiang dari Agam (Bukittinggi)

b. Lagu Duo-duo:

Gambar 15. Notasi Lagu Duo Duo dari Muara Labuh
c. Lagu Tak Tong Tong:

Gambar 16. Notasi lagu Tak Tong Tong dari Darek
d. Lagu Simarantang:

68

Periksa Karl Edmund Prier sj, 2006. Sejarah Musik jilid 1.

cii

Notasi 17. Lagu Simarantang dari Kabaupaten 50 Kota

2.10.

Musik Diatonis di Indonesia (Awal Penyebaran)
Triyono Bramantyo dalam bukunya Disseminasi Musik Barat Di Timur

mengungkap bagaimana penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang. Buku
ini sebenarnya merupakan sebuah desertasi yang berjudul Studi Historis
Penyebaran Musik Barat di Indonesia dan Jepang lewat aktivitas misionaris pada
kbad ke16. Tesis ini diselesaikan oleh Triyono Bramantyo di Universitas Osaka,
Jepang pada bulan Desember 1996. Buku ini merupakan studi komparatif tentang
sejarah penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang pada abad keenam belas
khususnya dari Serikat Yesus.
Fransisco Xaverius (1506-1552) menyadari bahwa orang Indonesia dan
Jepang memiliki kegemaran dalam musik. Xaverius sudah mempersiapkan
katekismus 69 dalam bahasa Melayu untuk misinya di Maluku, Indonesia dan
bahasa Jepang untuk misinya di Kyushu, Jepang. Termasuk dalam katekismus
tersebut adalah lagu-lagu Gregorian yang untuk pertama kalinya diperkenalkan di

69

2004:46).

Katekismus: kitab pelajaran agam Kristen dalam bentuk daftar tanya jawab (Bramantyo,

ciii

Indonesia dan di Jepang sebagai benih dari musik Barat 70 . Selain lagu-lagu
Gregorian juga disebarkan lagu-lagu sekular, khususnya oleh saudagar dan pelaut
Portugis. Disebutkan bahwa musik keroncong mendapat pengaruh dari musik
sado, salah satu jenis musik rakyat Portugis.
Francisco Xafier tiba di Ambon pada tanggal 4 Pebruari1546. Dia sudah
mempersiapkan katekismus dalam bahasa Melayu yang dipahami oleh masyarakat
Maluku. Katekismus itu meliputi Credo, Deklarasi, Pater noster, Ave Maria, dan
Salve Regina 71 (Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46). Peristiwa ini menandai karya
Jesuit di Maluku.
Francisco Xafier tinggal di Ambon sampai Juni 1546 sambil berkarya di
antara umat Kristen di Morotai dan mengajari anak-anak bernyanyi Credo. Dia
melanjutkan tugasnya dengan harapan bahwa seluruh Ambon akan menjadi
Kristen. Dia merubah kepercayaan banyak penduduk dan mengajar agama Kristen
pada anak-anak dan mengenalkan doa-doa malam untuk orang-orang sekarat dan
pendosa 72 (Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46).
Dari Ambon, Xavier dikirim ke Ternate dan bertugas di sana hingga
September 1546. Di ambon dia menulis katekismus bersajak dalam bahasa
Portugis dan mendirikan Misericordia

73

di Ternate. Dari Ternate, Xavier

mengunjungi umat Kristen di Moro. Dia menghabiskan waktunya tidak hanya
untuk kegiatan pengajaran agama tetapi juga untuk mengajar anak-anak. Setelah
menghabiskan beberapa waktu di Moro, dia berlayar kembali ke Ternate dan

70

Triyono Bramantyo,2004. Hal. viii.
Bramantyo, Ibid. hal. 46. Periksa buku Disseminasi Musik Barat Di Timur.
72
Bramantyo, Ibid. hal. 46.
73
Misericordia: suatu lembaga amal yang didirikanpada tahun 1498 di Portugal.

71

civ

bertugas di sana hingga April 1547, sebelum meninggalkan Ambon lagi guna
berlayar kembali ke Malaka dan India 74(Bramantyo, 2004:47).
Selama tinggal di Maluku, Xavier (beserta para Jesuit lainnya) menyadari
bahwa apa yang benar-benar dia lakukan untuk menarik umat Kristen pribumi
bukan hanya lewat ajarannya saja tetapi berbagai macam seperti upacara-upacara,
cahaya lilin, musik ritual gereja (Wicki dalam Bramantyo, 2004:47). Dapat kita
pahami bahwa salah satu usaha Xavier dalam menyebarkan ajaran Kristen—selain
ajaran—adalah melalui musik khususnya musik ritual gereja. Salah satu trik jitu
yang dilakukan oleh Xavier adalah memadukan kecintaan musik pribumi dengan
ritual Katolik. Dengan cara seperti ini akan membuat orang Maluku semakin
familiar dengan

musik

diatonis.

Andaya (dalam

Bramantyo,

2004:47)

menggambarkan sebuah contoh dengan menyatakan bahwa “daerah terbuka di
Ternate dan di rumah-rumah, para wanita dan anak-anak sepanjang waktu
menyanyi Creed (Syahadat), Bapa Kami (Pater Noster), Salam Maria (Ave
Maria), Pengakuan (Confiteor), dan doa-doa lain, Firman-firman, dan karya-karya
kerahiman” 75.

2.11.

Musik Diatonis di Minangkabau (Peran Sekolah Belanda)
Penyebaran musik diatonis di Minangkabau tidak melalui misi Kristen

seperti halnya di Maluku dan Flores. Belanda berusaha agar hanya mencampuri
lalu lintas perdagangan dan tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan setempat

74

Bramantyo, Ibid. hal. 47. Untuk lebih lengkapnya silakan buka
Bramantyo, Ibid. hal. 47.

75

cv

dan kehidupan sehari-hari orang Asia (Denys Lombart, 2005:95) 76. Selanjutnya
Lombard menuliskan, selain tidak terpikir untuk mengekspor agama mereka,
orang-orang Belanda juga sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa
mereka.
Graves menuliskan, bahwa setelah menaklukkan Sumatera Barat pada
tahun 1837, Belanda membutuhkan penduduk setempat, yang memiliki
keterampilan teknis dasar – membaca, menulis, dan pengetahuan berhitung
secukupnya – untuk mengisi struktur birokrasi pemerintah kolonial yang semakin
luas 77. Kesempatan-kesempatan tersebut diisi oleh golongan menengah. Golongan
inilah yang yang memberikan tanggapan kreatif terhadap kehadiran kekuatan
kolonial dan peluang-peluang baru yang ditawarkannya untuk memperoleh
kekayaan, prestise, kekuasaan, dan kedudukan. Graves (2007:xii) mengatakan,
bahwa golongan menegah ini sangat menyadari bahwa jalan terbaik untuk maju
adalah terdapat dalam upaya adaptasi mereka dengan pemerintah kolonial 78 dan
untuk itu mereka harus belajar keterampilan dan teknik-teknik baru yang menjadi
prasyarat masuk lapangan kerja baru.
Dengan pernyataan Graves di atas dapat kita pahami bahwa ada
segolongan orang Minangkabau yang telah memiliki pemikiran bahwa jalan
terbaik untuk maju adalah dengan cara beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan
“Barat” dalam hal ini kekuasaan kolonial Belanda. Ini berarti bahwa mempelajari
bahasa Belanda, membaca, menulis, berhitung, berperilaku beradab, berkesehatan
76

Denys Lombard, 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 1 Batas-batas Pembaratan. Hal.

95.
77

Elisabeth E. Graves, 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX /XX. Hal. x.
78
Elisabeth E. Graves, Ibid. hal. xii.

cvi

yang baik, dan – poin berikut ini menjadi bagian penting bagi tulisan penulis –
mempelajari aspek-aspek lain dari gaya hidup dan budaya Eropa. Poin terakhir
yang berupa gaya hidup dan budaya Eropa tentulah di dalamnya juga termuat hal
kesenian yang di dalamnya terdapat musik Barat atau musik diatonis.
Selain untuk kepentingan Belanda dalam urusan perdagangan dan
administrasi, pendirian Nagari School merupakan akses bagi orang muda
Minangkabau untuk mengenal kebudayaan dan musik Barat (diatonis) secara
khusus, karena di Sekolah Nagari musik Barat diperkenalkan, salah satunya,
melalui nyanyian atau pelajaran musik.
Sekolah Normal School/”Sekolah Radja” Bukittinggi (dalam bahasa
Belanda disebut Kweekschool) didirikan lewat dekrit pemerintah pada tanggal 1
April 1856. Kweekschool menyajikan lebih banyak pelajaran dari pada Sekolah
Nagari yang hanya mengajarkan keterampilan dasar membaca, menulis, dan
berhitung. Kurikulum di Sekolah Radja diarahkan pada semua mata pelajaran –
bahasa Belanda, bahasa Melayu, menulis indah, berhitung, geometri, sejarah dan
geografi Hindia Belanda, sejarah Belanda, ilmu alam, survei, menggambar,
keahlian membuat draf, teknik-teknik pertanian, pedagogi (ilmu mendidik),
menyanyi, dan pendidikan jasmani (Graves, 2007:222) 79.
Sebuah pemikiran yang masih bersifat sangat umum muncul dari kalangan
menengah Minangkabau dalam rangka mencapai kemajuan. Seperti telah
dituliskan di atas, golongan ini sangat yakin bahwa kemajuan pada masa itu hanya
bisa dicapai dengan jalan beradaptasi dengan pemerintah kolonial. Beradaptasi di

79

Elisabeth E. Graves, Ibid. hal. 222.

cvii

sisni dalam arti menyesuaikan diri di mana orang Minang dari golongan menegah
ini merasa nyaman diperlakukan secara profesional atas keterampilan dan
pengetahuan yang dimilikinya. Penulis berkesimpulan bahwa adaptasi yang
dilakukan oleh orang Minangkabau lebih kepada tuntutan atas kesetaraan hak-hak
hidup, sosial, dan ekonomi.
Jika persoalan adaptasi ini kita tarik ke ranah budaya, sesuai dengan
konsep adaptasi, bahwahal yang menghambat atau mengendala suatu teknologi
yang sederhana ternyata sering ditanggulangi atau malah diubah menjadi peluang
oleh budaya yang memilki sistem lebih maju dalam hal ini kebudayaan Barat
(Eropa).
Salah

satu

putra

Minangkabau

yang

menyelesaikan

studi

di

Kweekschooladalah Mohammad Sjafei. Ia adalah seorang tokoh pendidikan
nasional Indonesia yang juga mencintai seni musik. Melalui asuhannya
berkembang pula bakat musik dua anak didiknya di INS Kayu Tanam. Mereka
adalah dua bersaudara Boestanoel Arifin Adam dan Irsyad Adam.

2.12. Peran Beberapa Tokoh dalam Memperkenalkan Musik Diatonis Di
Minangkabau (Sumatera Barat)
Pada bagian ini penulis memaparkan beberapa orang putra Minangkabau
yang meraih pendidikan musik Barat di Eropa. Kelak mereka berjasa dalam
mendirikan institusi kesenian di Minangkabau. Pendidikan dasar musik mereka
adalah musik Barat. Mereka mengajarkan dan mengembangkan ilmu musiknya
tidak hanya di jurusan musik Barat tetap ju