ANALISIS FUNGSIONAL DAN MUSIKAL ENSAMBEL MAMÖZI ARAMBA DALAM KEBUDAYAAN NIAS

ANALISIS FUNGSIONAL DAN MUSIKAL ENSAMBEL MAMÖZI ARAMBA DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI GUNUNGSITOLI SKRIPSI SARJANA OL H NAMA: BRIAN LASO SARO HAREFA

NIM: 080707001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012

ANALISIS FUNGSIONAL DAN MUSIKAL ENSAMBEL MAMÖZI ARAMBA DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI GUNUNGSITOLI OLEH: NAMA: BRIAN LASO SARO HAREFA NIM: 080707001

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP 196512211991031001

NIP 196605271994032010

Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012

ii

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal : Hari

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP

Panitia Ujian:

Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. 3.Drs. Kumalo Tarigan, M.A.

iii

DISETUJUI OLEH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196512211991031001

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas Rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir tentang Analisis fungsional dan musikal ensambel Mamözi Aramba pada kebudayaan Nias di Gunungsitoli.

Tugas Akhir ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Seni dari jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.

Terselesaikannya skripsi ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. selaku ketua Jurusan Etnomusikologi sekaligus yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengajari penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Segenap para dosen di Jurusan Etnomusikologi yang turut membantu proses penyelesaian tugas akhir ini.

4. Bapak Yas Harefa sebagai narasumber penulis yang telah banyak membantu untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan tugas akhir ini.

5. Seluruh staf yang ada di museum Pusaka Nias yang telah memberikan pinjaman buku dan referensi kepada penulis.

6. Kedua orangtua saya Bapak Man Harefa dan Ibu Darnis Ndruru yang membantu saya melalui materi dan motivasi yang luar biasa, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh stambuk 2008 jurusan Etnomusikologi yang membantu saya dengan dukungan motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini.

8. Semua pihak yang telah membantu saya dan tidak dapat saya sebutkan satu- persatu.

Akhirnya semua penulis kembalikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas rahmatNya penulis dapat membuat skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sesuatu karya yang memberi dampak positif.

Medan, 12 Juli 2012

Brian Laso Saro Harefa NIM: 080707001

vi vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia atau kadangkala disebut dengan Nusantara adalah sebuah negara bangsa yang memiliki berbagai kebudayaan etnik, agama, bahasa, dan lainnya. Karena kekayaan budaya ini, biasanya kurang dipublikasikan secara nasional atau internasional. Apalagi yang dipublikasikan secara ilmiah dan mengikuti kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Salah satu kebudayaan yang mendukung peradaban masyarakat Indonesia adalah kebudayaan Nias. Kebudayaan ini didukung oleh suku Nias yang berada di Pulau Nias dan sekitarnya. Yang menarik secara budaya, suku atau etnik Nias ini secara rasial masuk ke dalam ras Mongoloid Utara bukan sub ras Mongoloid Melayu atau Mongoloid Tenggara (lihat Koentjaraningrat, 1980).

Etnik Nias juga memiliki kesenian, yang terdiri dari seni rupa, seni, tari, seni arsitektur tradisional, seni musik, dan lain-lainnya. Dalam konteks Sumatera Utara dan Indonesia seni tari yang terkenal yang berasal dari Nias adalah tari hombo batu (lompat batu), maena, moyo, dan lain-lain. Begitu juga seni musiknya yang disebut dengan ensambel aramba. Kegiatan ensambel musik ini dalam kebudayaan masyarakat Nias lazim disebut dengan mamözi aramba.

Mamözi aramba adalah suatu ensambel dan seperangkat alat musik yang terdiri dari 1 buah göndra (gendang membranophone), 2 buah faritia (suspended idiophone

gongs), dan 1-3 buah aramba (idiophone knobbed gongs). Alat musik tersebut dimainkan secara bersamaan sesuai pola yang berlaku bagi masyarakat Nias. Alat musik tersebut dimainkan oleh 6-8 orang pemain, dimana masing-masing terdiri dari 2 orang gongs), dan 1-3 buah aramba (idiophone knobbed gongs). Alat musik tersebut dimainkan secara bersamaan sesuai pola yang berlaku bagi masyarakat Nias. Alat musik tersebut dimainkan oleh 6-8 orang pemain, dimana masing-masing terdiri dari 2 orang

samözi aramba. Samözi aramba adalah sebutan yang dibuat oleh masyarakat Nias. Masyarakat Nias dikenal sebagai Ono Niha yang artinya anak Nias. Masyarakat Nias berasal dari suatu pulau di bagian selatan provinsi Sumatera Utara yang disebut dengan Pulau Nias. Orang Nias menamai pulau Nias yaitu Tanö Niha. Suku Nias menggunakan bahasa ibu yang disebut bahasa Nias atau li Niha.

Dalam segi bahasa, mamözi aramba terdiri dari 2 kata dasar dalam bahasa Nias, yaitu mamözi dan aramba. Mamözi artinya memukul dan aramba artinya alat musik Nias yang bentuknya menyerupai sebuah alat musik yang terbuat dari logam, berbentuk bulat dan besar, dimana di tengahnya terdapat bulatan kecil yang menonjol ke luar. Di daerah lain, alat musik ini dinamakan sebagai gong. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mamözi aramba adalah memukul gong. Namun bagi masyarakat Nias, mamözi aramba mempunyai 2 arti, yaitu memukul gong dan memukul seperangkat aramba (yang terdiri dari göndra, faritia, dan aramba) di mana masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda.

Adapun fungsi dari mamözi aramba seperti yang dikemukakan oleh Bapak Yas Harefa disaat wawancara di Gunungsitoli pada 1 Februari 2012, yaitu sebagai pemberitahuan untuk menghimbau masyarakat untuk berkumpul, sebagai tanda pedoman waktu bagi masyarakat dalam suatu desa, sebagai simbol pengesahan bahwa telah dilakukannya pengangkatan gelar ataupun pembuatan hukum adat, dan sebagai tanda sekaligus pemberitahuan kepada masyarakat di dalam suatu desa bahwa sedang berlangsungnya acara adat, seperti owasa (acara memasuki rumah baru, ataupun pengangkatan gelar bangsawan), fondrakö (acara pengesahan hukum adat, ataupun

1 Tiap satu faritia dimainkan oleh 1 orang pemain.

wilayah suatu desa), falöwa (upacara perkawinan), dan zi mate (upacara kematian). Namun demikian, pada zaman sekarang sebagian fungsi dari mamözi aramba telah berubah. Contoh perubahan fungsi dari mamözi aramba yang terjadi adalah untuk memberitahukan ataupun mengundang kepada masyarakat untuk berkumpul dan dalam upacara kematian. Pada kedua kasus tersebut, mamözi aramba tidak lagi dipergunakan.

Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kebudayaan yang memanfaatkan teknologi seperti surat undangan atau handphone untuk mengumpulkan masyarakat, dan juga terjadinya perubahan kebudayaan yang mengikuti tradisi Barat pada upacara kematian. Namun walaupun terjadi perubahan fungsi, mamözi aramba masih tetap eksis dan masih digunakan didalam acara adat seperti pesta perkawinan.

Pada upacara perkawinan, mamözi aramba dimainkan di saat menerima pengantin, tamu, dan sebagai hiburan. Hal yang menarik yang dilihat penulis adalah pada segmen tertentu pada upacara perkawinan, pemain seperangkat alat musik aramba (samözi aramba) dipilih secara acak, tergantung siapa yang ingin dan bisa memainkannya. Ini menunjukan bahwa dalam suatu upacara perkawinan, pasti terdapat orang di sekitarnya yang bisa memainkan seperangkat aramba tersebut. Selanjutnya, penulis melihat aamözi aramba tidak diberi upah ataupun imbalan, dengan arti bahwa mereka memainkan seperangkat aramba dengan sukarela. Menurut Bapak Yas Harefa (Gunungsitoli 6 Februari 2012) hal ini disebabkan karena prinsip masyarakat Nias yang mempunyai solidaritas yang tinggi, sehingga mereka selalu bekerja sama dan ikut bepartisipasi jika dalam satu desa ada yang menggelar acara, baik acara perkawinan ataupun owasa.

Selain dalam konteks perkawinan dan owasa, mamözi aramba juga dipakai sebagai pengiring tari-tarian, seperti tari Ya’ahowu (tari yang berfungsi sebagai sambutan bagi tamu dan undangan yang dihormati), tari Moyo (tari yang dimainkan Selain dalam konteks perkawinan dan owasa, mamözi aramba juga dipakai sebagai pengiring tari-tarian, seperti tari Ya’ahowu (tari yang berfungsi sebagai sambutan bagi tamu dan undangan yang dihormati), tari Moyo (tari yang dimainkan

menjadi penentu pulsa dan tempo bagi penari. Oleh sebab itu, yang memainkan seperangkat Aramba biasanya sudah ditentukan dan latihan dengan penari sebelum pertunjukan (berbeda dengan konsep yang memainkan seperangkat Aramba disaat upacara adat). Menurut Bpk Yas Harefa, Dahulu (sebelum 1950) Mamözi Aramba tidak dipakai untuk mengiringi tari-tarian, namun sekarang Mamözi Aramba dipakai dan dibuat berdasarkan kreativitas masyarakat agar dapat mengiringi tari-tarian yang ada pada suku Nias.

Mamözi Aramba adalah alat musik yang bersifat sebagai pembawa ritme yang berulang-ulang dan bukan pembawa melodi. Dalam segi musikal, Mamözi Aramba punya pola ritme yang beragam, di mana penentu pulsanya adalah Aramba (gong) yang dipukul sekali dalam setiap empat ketuk dengan pukulan yang konstan, sedangkan faritia (berbentuk seperti canang) dan göndra (berbentuk seperti bedug) berfungi sebagai variasinya. Göndra dimainkan oleh dua orang, yang disebut sebagai Sanaha dan sanindra di mana salah satu pemain yang membuat ritme berulang-ulang dan satu lagi yang membuat variasi-variasi ritme ciri khas suku Nias. Berbeda dengan faritia yang dimainkan oleh dua orang, di mana jenis pukulannya saling bersahut-sahutan ditambah dengan sedikit variasi yang membuat musik tersebut menjadi semakin bervariatif (Bapak Man Harefa, Gunungsitoli 4 Februari 2012).

Teknik permainan mamözi aramba dapat dibedakan sesuai konteks dan tempat pemakaiannya. Jika mamözi aramba dimainkan di saat upacara adat, maka pola atau pattern permainannya hanya berulang-ulang dan divariasikan menurut kemampuan si pemain Aramba tersebut. Hal ini berbeda dengan konteks mamözi aramba yang dimainkan di saat mengiringi tari-tarian. Pada konteks ini, samözi aramba (yang Teknik permainan mamözi aramba dapat dibedakan sesuai konteks dan tempat pemakaiannya. Jika mamözi aramba dimainkan di saat upacara adat, maka pola atau pattern permainannya hanya berulang-ulang dan divariasikan menurut kemampuan si pemain Aramba tersebut. Hal ini berbeda dengan konteks mamözi aramba yang dimainkan di saat mengiringi tari-tarian. Pada konteks ini, samözi aramba (yang

Berdasarkan penjelasan di atas, dari segi pengenalan mamözi aramba, sebagian sejarah dan asal usul, fungsi, dan musikal (unsur-unsur musik) yang terdapat dalam mamözi aramba, penulis memilih untuk meneliti bahan tersebut dengan judul:

Analisis Fungsional dan Musikal Ensambel Mamözi Aramba dalam Kebudayaan

Nias di Gunungsitoli. Penelitian ini difokuskan pada upacara adat dan konteks mamözi aramba sebagai pengirimg tari-tarian. Adapun yang mewakili dari kedua bahan penelitian tersebut yaitu upacara perkawinan Rahmat Zendratö dengan April Daeli pada tanggal 13 Juni 2012 di Gunungsitoli dan mamözi aramba sebagai pengiring tari Ya’ahowu pada suatu pertunjukan di kediaman Bapak Man Harefa di desa sifalaete, Gunungsitoli tanggal 13 Juni 2012.

1.2 Pokok Permasalahan

Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan diatas, maka di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu :

1. Bagaimana fungsi ensambel musik mamözi aramba dalam kebudayaan Nias di Gunungsitoli?

2. Bagaimana struktur musikal dalam ensambel musik mamözi aramba dalam kebudayaan Nias di Gunungsitoli?

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat penelitian yang ingin dicapai oleh penulis, disesuaikan dengan latar belakang serta pokok permasalahan yang ada. Tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan penelitian

1. Untuk meganalisis fungsi ensambel Mamözi Aramba dalam Kebudayaan Nias di Gunungsitoli.

2. Untuk menganalisis konsep musikal yang terdapat dalam Ensambel musik Mamözi Aramba dalam Kebudayaan Nias di Gunungsitoli.

1.3.2 Manfaat penelitian

Adapun manfaat penelitian dari tulisan tersebut, yaitu:

1. Agar dapat menjadi bahan dokumentasi dasar bagi para peneliti, terutama etnomusikolog untuk dikembangkan berikutnya.

2. Agar dapat menjadi bahan referensi bagi masyarakat untuk dipelajari.

3. Agar dapat menjadi bahan dokumentasi dasar dan bahan acuan bagi pemerintah untuk revitalisasi dan pelestarian kesenian di Nias.

1.4 Konsep dan Teori

Dalam penulisan skripsi ini, penulis memerlukan beberapa konsep dan teori yang dapat membantu untuk melengkapi data-data dan informasi untuk keperluan skripsi ini. Selain itu penulis juga memerlukan konsep dan teori sebagai pedoman untuk Dalam penulisan skripsi ini, penulis memerlukan beberapa konsep dan teori yang dapat membantu untuk melengkapi data-data dan informasi untuk keperluan skripsi ini. Selain itu penulis juga memerlukan konsep dan teori sebagai pedoman untuk

1.4.1 Konsep

(i) Analisis atau analisa adalah kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda komponen, hubungannya satu sama lain, dan fungsi masing-masing dalam satu keseluruhan terpadu (Komaruddin, 200:53). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disingkat sebagai KBBI (2002:43), analisa adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa salah satu bagian dari penelitian adalah menganalisa objek, sehingga di setiap penelitian, pasti berkaitan dengan analisa.

(ii) Musik adalah kejadian bunyi atau suara dapat dipandang dan dipelajari jika mempunyai kombinasi nada, ritme dan dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional dalam suatu kebiasaan atau tidak berhubungan dengan bahasa (Malm dalam terjemahan Takari, 1993: 8). Dari pengertian musik tersebut, dapat dipahami bahwa musikal merupakan hal yang berkenaan atau mengandung unsur musik.

(iii) Dalam tulisan ini, fungsi diartikan sebagai kegunaan suatu objek dan dampaknya bagi sekitar, khususnya bagi masyarakatnya. Fungsi sebuah unsur kebudayaan (dalam masyarakatnya) adalah kemujarabannya dalam memenuhi kebutuhan yang ada, atau dalam mencapai tujuan tertentu (Merriam, 1964:223-226). Pemakaian kata fungsi dalam hal ini (fungsi musik) menerangkan tujuan pemakaian musik atau mengapa musik tersebut digunakan sedemikian rupa (Merriam, 1964:220).

Melalui fungsi musik akan dapat dicapai pengertian yang lebih mendalam tentang arti musik.

Pengertian masyarakat (society dalam Bahasa Inggris) dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary sixth edition (2000:1226) adalah: (1) people in general, living together in communities; (2) a particular community of people who share the same customs, laws, etc; (3) a group of people who join together for a particular purpose; (4) the group of people in a country who are fashionable, rich and powerful; (5) the state of being with other people. (Artinya masyarakat adalah orang-orang yang secara umum hidup bersama dalam komunitas; sebuah komunitas khusus oleh orang-orang yang berbagi dalam adat istiadat yang sama, norma-norma yang sama dan sebagainya; sekelompok orang-orang yang saling terikat untuk tujuan khusus; sekelompok orang- orang dalam satu negara yang modern, kaya dan berkuasa; tempat di mana tinggal dengan orang lain). Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang-orang yang tergabung dalam satu komunitas yang mempunyai kebiasaan atau adat istiadat yang sama, norma-norma yang sama, kepentingan atau tujuan yang sama, dan banyak persamaan lain yang saling terikat satu dengan yang lain.

Mamözi aramba adalah suatu kegiatan memukul seperangkat alat musik untuk sesuatu hal, bisa menjadi simbol, ataupun pengesahan terhadap sesuatu didalam sebuah upacara adat. Oleh sebab itu, bisa dikatakan mamözi Aramba adalah salah satu tradisi yang berhubungan dengan upacara adat pada kebudayaan Nias (Bapak Yas Harefa Gunungsitoli 6 Februari 2012).

1.4.2 Teori

Menurut KBBI (1991:154-155), teori merupakan pendapat-pendapat atau aturan- aturan untuk melakukan sesuatu. Menurut Kerlinger (1973) teori adalah sebuah set konsep atau construct yang berhubungan satu dengan lainnya, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan sistematis dari fenomena (Moh. Nazir, 1988:21). Oleh sebab itu penulis menjadikan teori sebagai suatu landasan untuk menjawab semua pokok permasalahan yang ada.

Transkripsi dalam etnomusikologi merupakan suatu proses penotasian bunyi menjadi simbol-simbol yang dapat dilihat atau diamati dari suara, dan simbol-simbol tersebut disebut dengan notasi. Dalam melakukan transkripsi, penulis memilih tentang notasi deskriptif yang didapat penulis selama mengikuti perkuliahan di etnomusikologi dengan berdasarkan teori dari Ernst Cassirer (1944:168) yang mengatakan bahwa “seni dapat didefinisikan melalui simbol.” Notasi deskriptif adalah notasi yang ditujukan untuk menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.

Selain itu penulis menggunakan teori pertunjukan yang diajukan oleh Milton Singer (dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1996:164-165) untuk meneliti pertunjukan tarian yang memakai seperangkat aramba. Menurut Singer untuk mendeskripsikan suatu pertunjukan maka seorang peneliti harus melihat tujuh aspek yang berkaitan, yaitu: (1) waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, (2) adanya awal dan akhir pertunjukan, (3) acara kegiatan yang terorganisasi, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukannya.

Untuk menganalisis fungsi mamözi aramba di tengah masyarakat Nias dan kebudayaan Nias, penulis menggunakan teori dari Merriam (1964:219-227) yang Untuk menganalisis fungsi mamözi aramba di tengah masyarakat Nias dan kebudayaan Nias, penulis menggunakan teori dari Merriam (1964:219-227) yang

Untuk menganalisis struktur musikal yang ada di dalam seperangkat aramba, penulis memilih salah satu teori Malm dalam terjemahan Takari (1993:13) yaitu sebagian dari teori weighted scale (khusus untuk mengkaji nada) ditambah dengan musik yang terjadi karena sesuatu yang berhubungan dengan waktu sebagai bahan dasar penelitian. Berhubungan dengan waktu yang dimaksud yaitu ritme, ketukan dan birama. Dengan teori tersebut, diharapkan tulisan ini lebih mendapatkan hasil informasi yang lebih akurat serta dapat dimengerti oleh pembaca.

Teori musikal untuk mengkaji ritme ini penulis gunakan teori deskripsi ritme yang digunakan Fadlin (1988) Beliau menulis skripsi yang bertajuk Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Skripsi

Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam skripsi ini Fadlin menggunakan sistem anomatopeik gendang ronggeng, dan kemudian menuliskan pola-pola ritme dalam rentak senandung, mak inang, dan lagu dua. Selanjutnya Fadlin menganalisis pola-pola itu dengan pendekatan etnomusikologis, dengan cara memilah-milahkannya menjadi motif dan nilai-nilai not yang digunakan, dan kemudian mentabelkannya.

1.5 Metode Penelitian

Metode ilmiah adalah segala jalan atau cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan, sedangkan penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip; suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu (menurut kamus Webster’s New International dalam Moh. Nazir 1988:13). Jadi penulis berkesimpulan bahwa metode penelitian adalah cara kerja yang dipakai untuk melakukan penyelidikan tentang fakta atau kenyataan yang ada dalam rangka memahami dan mengetahui objek penelitian yang bersangkutan. Selain itu, metode penelitian ini berfungsi untuk mendapatkan data-data yang diinginkan sesuai dengan keinginan penulis untuk melengkapi bahan dan data-data yang telah ada dan pada nantinya akan disaring dan dirangkum oleh penulis.

Penulis menggunakan penelitian jenis kualitatif dengan data-data yang banyak dari berbagai sumber. Data yang disajikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat dan datanya adalah data sekunder seperti dokumen dan data-data yang menggunakan metode pengamatan terlibat atau participant observation (M. Sitorus, 2003:25).

Penelitian kualitatif ini, dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap sebelum ke lapangan, tahap analisis data, dan tahap penulisan laporan (skripsi). Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai adalah sebagai berikut.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam bidang Etnomusikologi, untuk melakukan penelitian terdapat dua sistem kerja, yaitu desk work (kerja laboratorium) dan field work (kerja lapangan). Desk work yang dimaksudkan adalah kerja untuk mengumpulkan persiapan data-data untuk meneliti nantinya, serta merangkum data-data yang telah didapat setelah melakukan penelitian. Sedangkan field work adalah teknik kerja di lapangan, di mana penulis terjun

Selain itu, maksud dari studi kepustakaan adalah mendapatkan data berupa tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kinerja dan pengembangan tulisan ini. Hal pertama yang dilakukan penulis adalah melakukan studi kepustakaan dengan cara mempelajari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek pembahasan. Penulis mencari dan mengumpulkan informasi dan referensi dari skripsi yang ada di Departemen Etnomusikologi. Penulis juga mempelajari bahan lain seperti buku dari Museum Yayasan Pusaka Nias, Dinas Pariwisata Kabupaten Nias dan artikel-artikel lainnya yang mendukung penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengumpulkan data dengan menggunakan teknologi Internet, sesuai dengan kemajuan teknologi yang ada pada saat ini. Dengan melakukan penelusuran data online di situs www.google.com , penulis mendapat banyak anjuran-anjuran situs lain seperti www.wikipedia.com , repository Universitas Sumatera Utara, blog-blog, dokumen PDF (portable data file), dan lain-lain. Semua informasi dan data yang didapat baik melalui skripsi, buku, artikel dan internet membantu penulis untuk mempelajari dan membandingkannya untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.

1.5.2 Pengumpulan data di lapangan

Penelitian lapangan adalah seluruh kegiatan yang dilakukan penulis berkaitan dengan pengumpulan data di lapangan. Penilitian lapangan berfungsi untuk mendapat seluruh data yang diinginkan pada satu daerah yaitu objek yang akan diteliti. Pengumpulan data di lapangan terdiri dari observasi, wawancara, dan perekaman.

1.5.2.1 Observasi

Pengumpulan data dengan cara observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Metode observasi menggunakan kerja pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit (Burhan Bungin, 2007:115).

Kerja lapangan berkaitan dengan penulis dapatkan lewat cara observasi langsung ke lapangan, yaitu mengikuti dan melihat acara-acara yang menggunakan ensambel mamözi aramba, melakukan pengamatan serta analisis dan mengambil bagian menjadi salah satu pemain musik dalam ensambel mamözi aramba tersebut. Hal itu dilakukan agar mendapat komunikasi yang baik dengan masyarakat serta peserta upacara adat yang lainnya demi mendapat informasi yang lebih baik lagi.

1.5.2.2 Wawancara

Dalam hal ini, penulis mengartikan wawancara adalah percakapan dengan maksud dan tujuan tertentu, bukan seperti percakapan yang dilakukan manusia sehari- hari. Pewawancara mengajukan pertanyaan dan orang yang diwawancarai akan menjawab atas pertanyaan wawancara. Upaya tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung di lapangan. Jenis wawancara yang digunakan penulis dalam pengumpulan data adalah wawancara berstruktur, tidak berstruktur, dan kombinasi keduanya. Langkah awal yang penulis lakukan adalah menyiapkan dan menyusun sejumlah pertanyaan yang terperinci sebelum bertemu dengan informan. Kenyataan di lapangan yang dihadapi penulis adalah sering kali pertanyaan-pertanyaan lain juga muncul selain dari pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya akibat dari percakapan yang berkembang dari pertanyaan yang sudah disediakan dan rasa ingin tahu yang

Dalam wawancara kali ini, penulis menetapkan 2 narasumber, yaitu Bapak Yas Harefa dan Bapak Man Harefa. Kedua narasumber tersebut adalah Tokoh Masyarakat Nias dan budayawan, sekaligus yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang kesenian yang ada di Nias, khususnya di Gunungsitoli. Selain itu, penulis juga mewawancarai pemain musik serta beberapa tokoh masyarakat lainnya yang berkaitan dengan pengembangan tulisan ini.

1.5.2.3 Perekaman

Untuk Pelaksanaan kegiatan ini, penulis menggunakan Kamera dan handycam serta gadget lainnya. Adapun spesifikasi yang akan dipakai yaitu: kamera DSLR Nikon D5000, Handycam merk Sony, serta untuk melakukan perekaman atau pendokumentasian foto yang tak terduga atau mendadak, penulis sudah menyiapkan handphone blackberry 9980 dan ipad2. Masing-masing alat tersebut menggunakan slot kartu memori mikro, sehingga mempermudah penulis untuk mengakses dan menyimpan datanya ke komputer. Dalam keperluan penulisan ini, penulis juga memakai soundcard Lexicon alpha untuk mendapatkan hasil suara yang maksimal agar membantu penulis untu melakukan transkripsi dan analisa tentang mamözi aramba.

1.5.2.4 Analisis Data di Laboratorium

Informasi dan bahan yang dikumpulkan dan diperoleh dari studi kepustakaan dan hasil penelitian lapangan kemudian diolah, diseleksi, dan disaring dalam kerja laboratorium untuk dijadikan data sesuai dengan objek penelitian untuk penulisan

Setelah data dikumpulkan, proses selanjutnya adalah menganalisis data. Menurut Burhan Bungin (2007:153), ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan (2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial tersebut. Dengan menggunakan cara analisis ini, hasil penelitian akan diungkapkan secara deskriptif berdasarkan data-data yang diperoleh. Analisis kualitatif yang digunakan oleh penulis, dipakai untuk membahas komponen pendukung ensambel Mamözi Aramba di Gunungsitoli. Komponen pendukung tersebut adalah Pemain musik, Alat musik dan narasumber yang ada di Gunungsitoli.

1.6 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian berada Kota gunungsitoli secara keseluruhan. Untuk meneliti tentang informasi dasar mamözi Aramba, peneliti memilih meneliti di Museum Pusaka Nias. Untuk melihat dan meneliti mamözi aramba di upacara perkawinan, peneliti memilih acara perkawinan Rahmat Zendratö dan April Daeli di Gunungsitoli pada tanggal 18 Mei 2012. Dan untuk melihat dan menyaksikan cara bermain dan pertunjukan mamözi aramba sebagai pengiring tari-tarian, penulis memilih kediaman Bapak Man Harefa di desa Sifalaete, Gunungsitoli.

BAB II IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN

2.1 Gambaran umum Kota Gunungsitoli

Kota Gunungsitoli adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 Oktober 2008, sebagai salah satu hasil pemekaran dari Kabupaten Nias. Kota Gunungsitoli merupakan kota terbesar yang ada di Pulau Nias. Dahulu kota tersebut merupakan pusat perekonomian di pulau Nias, dan juga menjadi ibukota dari kabupaten Nias. Selain itu kota Gunungsitoli juga menjadi gerbang utama untuk menuju tempat pariwisata ke kabupaten lain, seperti Teluk Dalam, Sirombu, Kepulauan Hinako, dan lain-lain. Di Kota Gunungsitoli terdapat satu pelabuhan yang dikenal dengan nama Labuha Angi yang artinya pelabuhan angin dan satu bandar udara yang disebut Binaka.

Kota Gunungsitoli berasal dari nama sebuah gunung yang terletak di dalam kota Gunungsitoli, yaitu Hili Gatoli yang disebut juga Teteh ö li Ana ’ a. Kata tersebut berasal dari nama seorang pemuda keturunan seorang raja dari Nias bagian utara yang merantau dan singgah di sebuah gunung. Di gunung tersebut pemuda itu meninggal dan dikuburkan, lalu masyarakat yang ada di sekitar tersebut menamai daerah tersebut menjadi Hili Gatoli. Kata Hili Gatoli jika diterjemahkan ke bahasa Melayu, menjadi Hili: Gunung; Gatoli: Sitoli. Jadi jika diartikan ke bahasa Melayu, Hili Gatoli adalah Gunungsitoli (F. Zebua, 1996:124). Lalu terjemahan tersebut diaplikasikan ke dalam nama suatu daerah yang lama-kelamaan mengalami perkembangan menjadi sebuah kota menjadi kota yang disebut kota Gunungsitoli.

Sebelum menggunakan nama Gunungsitoli, masyarakat Nias menamai daerah tersebut dengan Luaha Nou, yang artinya muara sungai Nou. Nama ini berasal dari sebuah muara yang terdapat di pusat kota Gunungsitoli sekarang.

2.1.1 Letak Geografis Kota Gunungsitoli

Kota Gunungsitoli terletak di bagian tengah Pulau Nias. Kota tersebut menjadi daerah yang mempunyai batas dengan kabupaten Nias Utara dan kabupaten Nias. Adapun kecamatan-kecamatan dari kabupaten lain yang berbatasan dengan kota Gunungsitoli, yaitu :

- Bagian Utara: Kecamatan Sitolu Ori (Kabupaten Nias Utara), - Bagian Selatan: Kecamatan Gid ö dan Hili Serangkai (Kabupaten Nias), - Bagian Barat: Kecamatan Alasa Talumuzoi dan Namohalu Esiwa (Kabupaten Nias

Utara) dan Hiliduho (Kabupaten Nias), dan - Bagian Timur: Samudera Indonesia. Kota Gunungsitoli mempunyai 6 kecamatan, dimana kecamatan tersebut berasal dari hasil pemekaran yang dahulu hanya sebuah desa. Satu hal yang unik dari kecamatan tersebut, yaitu di dalam kota Gunungsitoli, masih terdapat sebuah kecamatan yang bernama Gunungsitoli juga. Hal ini disebabkan karena dahulu Kota Gunungsitoli merupakan ibu kota dari Kabupaten Nias sebelum pemekaran dilakukan pada tahun 2008 (Bapak Yas Harefa 12 Mei 2012). Adapun kecamatan tersebut yaitu sebagai berikut.

1. Gunungsitoli, Kelurahan Pasar Gunungsitoli ,

2. Gunungsitoli Alo'oa, Nazalou Alo'oa ,

3. Gunungsitoli Barat, Tumori ,

4. Gunungsitoli Idanoi, Dahana ,

5. Gunungsitoli Selatan, Ononamolo Lot u,

6. Gunungsitoli Utara, Afia .

Dalam kecamatan tersebut terdapat sedikit perbedaan tradisi adat dan logat bahasa, khususnya di Kecamatan Gunungsitoli Utara dengan Kecamatan Gunungsitoli yang terdapat di Kelurahan Pasar Gunungsitoli. Perbedaan yang menonjol adalah intonasi dan logat bahasa Nias yang dipakai, tetapi perbedaan tersebut tidak berpengaruh kepada kosa kata yang dipakai.

Luas kota Gunungsitoli adalah 496,36 km ², besar kota Gunungsitoli hanya 1/3 dari kota Medan yang merupakan kota terbesar yang ada di pulau Sumatera dan terletak di provinsi Sumatera Utara. Kota Gunung Sitoli termasuk dalam kotamadya satu-satunya yang ada di

pulau Nias sampai sekarang. Sampai saat ini kota tersebut masih mengalami proses pengembangan dari segi infrastuktur, perkonomian dan pendidikan (Man Harefa 4 Februari 2012). Hal ini disebabkan karena pemerintah kota Gunungsitoli yang mempunyai rencana mengubah kota Gunungsitoli menjadi ibukota provinsi nantinya apabila terjadi pemekaran di pulau Nias. Saat ini sudah empat daerah yang mengalami pemekaran di pulau Nias, yaitu Kabupaten Nias Barat, Nias Selatan, Nias Utara dan kota Gunungsitoli. Keempat daerah pemekaran tersebut berasal dari satu kabupaten, yaitu kabupaten Nias. Saat ini terdapat empat kabupaten dan satu kotamadya di pulau Nias.

2.1.2 Iklim

Kota Gunungsitoli memiliki iklim Tropis dimana rata-rata suhu daerahnya berkisar 25-

29 ˚Celcius. Namun demikian sesuai dengan perubahan iklim di dunia, sekarang kita bisa merasakan cuaca ekstrim di sana dalam musim tertentu. Apabila siang hari, kita bisa merasakan sengatan matahari yang terik dan disaat malam kita bisa merasakan dingin yang luar biasa. Hal ini disebabkan karena Kota Gunungsitoli terdapat pantai dan perbukitan. Di daerah pantai, kita akan merasakan udara yang panas, terutama pada siang hari, sebaliknya jika di daerah perbukitan kita akan merasa cuaca yang dingin. Selain itu di kota Gunungsitoli

2.1.3 Struktur Pemerintahan

Gunungsitoli adalah sebuah kota yang di pimpin Oleh Walikota yang saat ini dijabati oleh Drs. Martinus Lase, M.SP. Pada bulan April 2011, walikota tersebut memberikan kesempatan bagi Kabupaten Nias melakukan sebuah acara pertunjukan yang dinamakan sebagai Pesta Budaya Nias, yaitu sebuah acara pertunjukan kesenian, perlombaan, dan pertunjukan seni rupa ciri khas kebudayaan Nias yang berlangsung selama beberapa hari (menyerupai Pekan Raya Sumatera Utara di Medan) yang bertujuan untuk menarik turis dan melestarikan pariwisata serta kesenian yang ada di Kota Gunungsitoli. Kegiatan ini pernah diadakan sebelumnya sejak tahun 1983 yang diadakan sekali dua tahun dan lama-kelamaan berubah menjadi sekali empat tahun dan terakhir dilakukan pada tahun 2011. Dahulu nama acara tersebut dikenal sebagai pesta Ya’ahowu (Man Harefa 6 Mei 2012).

2.1.4 Demografi

Komoditas unggulan Kota Gunungsitoli yaitu sektor sub sektor perkebunan. Komoditas yang diunggulkan berupa kopi, kakao, karet, dan cengkeh. Hal ini disebabkan karena cuaca yang tropis yang menyebabkan tanaman tersebut tumbuh dan subur pada daerah-daerah yang

Dalam segi pariwisata, kota Gunungsitoli terkenal dengan rumah adat yang menunjukan ciri khas kebudayaan Nias bagian utara yang ada di daerah Tumöri, gua Tögi Ndrawa yang dikenal sebagai gua tempat persembunyian Ono Niha (Orang Nias) yang sedang berperang melawan penjajah, dan Museum Pusaka Nias yang terkenal sebagai tempat pustaka kebudayaan Nias dari alat musik sampai ke rumah adat, buku-buku peninggalan sejarah, dan lain-lain. Selain itu kita juga bisa menikmati pariwisata alam yang ada di pantai, seperti pantai Laowomaru yang terkenal dengan dongengnya yang berisikan tentang seseorang yang paling kuat di pulau Nias yang memiliki rambut kawat (mbu kawa) sebagai kekuatannya. Selain itu terdapat juga pantai Hoya, pantai Miga, teluk belukar Olora yang berbentuk seperti danau, dan sebagainya.

2.2 Masyarakat Nias di Gunungsitoli

Kota Gunungsitoli dihuni oleh berbagai suku, antara lain suku Nias, Batak, Padang, Jawa dan Aceh. Bahasa yang digunakan di sana adalah Bahasa Indonesia dan bahasa daerah (mayoritas bahasa Nias). Ada sesuatu yang unik bisa kita didapatkan di Kota Gunungsitoli, yaitu masyarakat kota Gunungsitoli yang berasal dari suku lain selain suku Nias yang sudah menetap di Nias sebagian bisa berbahasa Nias, begitu juga dengan suku Cina yang ada di Nias, bahkan mereka lebih tahu berbahasa Nias daripada bahasa suku mereka sendiri. Ini disebabkan karena pemakaian bahasa Nias lebih sering dipakai, bahkan melebihi pemakaian Bahasa Indonesia (Yas Harefa 5 April 2012).

Masyarakat Nias atau ono Niha adalah masyarakat pertama yang tinggal dan membuat Kota Gunungsitoli, berikut penjelasan tentang sejarah berdirinya kota Gunungsitoli yang dirangkum dari buku Sejarah berdirinya kota Gunungsitoli (F. Zebua 1996:124).

2.2.1 Sejarah Berdirinya Kota Gunungsitoli

Dahulu pada masa sistem kerajaan, Kota Gunungsitoli adalah kawasan kerajaan Laraga, kerajaan yang ada bermukim di Idanoi. Kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang pertama yang ada di bagian utara-timur pulau Nias. Kerajaan tersebut mempunyai beberapa perkampungan yang disebut banua/mbanua, seperti banua Turewodo dan banua Tuhemberua. Dahulu kerajaan Laraga ini terkenal kuat dalam berperang walaupun akhirnya

dikalahkan oleh kerajaan lain, yaitu Niha yöu yaitu orang nias yang berasal dari sebuah kerajaan di sebelah selatan Nias (F. Zebua ,1996:40).

Setelah kerajaan Laraga pecah, maka seorang balugu atau bangsawan bernama Samönö Tuhabadanö Zebua mengupayakan untuk menyatukan kerajaan Laraga kembali. Beliau membaharui komposisi badan pemerintahannya, kemudian meresmikannya dengan melakukan suatu upacara adat yang disebut Owasa Ori dan diteruskan dengan melakukan fondrakö laraga pada tahun 1627. Fondrakö laraga adalah suatu acara adat Nias yang bertujuan untuk mengesahkan suatu keputusan hukum adat tentang sistem pemerintahan pada zaman dahulu (F. Zebua, 1996:45).

Beberapa tahun kemudian, teman dari bangsawan Samönö Tuhabadanö Zebua beserta kedua temannya dari raja mado (marga) Harefa dan raja dari mado (marga) Telaumbanua mencoba membuat sebuah mbanua (perkampungan) yang baru, di mana areal lokasinya dari sungai Nou menyisir sampai Labua Angi-Turemba’a dan dibagian barat menyisir kaki bukit dari Sabango-Tögizareu-Hiligatoli-Turemba’a. Ketiga orang tersebut (Raja Zebua, Harefa dan Telaumbanua) dipanggil dengan Sitölu tua, yang artinya ketiga orang tua. Orang tua yang

Gunungsitoli merupakan sebuah Luaha muara dan menjadi pelabuhan yang dilalui dan sekaligus menjadi tempat persinggahan kapal-kapal untuk istirahat. Semakin lama Kota Gunungsitoli yang dulu disebut Toli’ana’a Zebua mengalami perkembangan, dari Luaha menjadi Fasa (Pasar). Hal ini disebabkan karena para pedagang yang singgah di Luaha mempunyai ide untuk mengembangkan daerah tersebut menjadi daerah pertukaran barang dan jasa atau yang disebut dengan fasa. Perkembangan semakin berlanjut sampai pada akhirnya fasa di Toli’ana’a Zebua berubah menjadi sebuah kota kecil yang disebut Kade pada tahun 1755, yaitu kota pelabuhan. Perkembangan terus berlanjut seiring dengan perkembangan zaman, dan akhirnya Gunungsitoli atau Toli ana’a Zebua menjadi Ibu kota pemerintahan dan disebut Ina Mbanua Danö Niha pada tahun 1840 sampai tahun 2008 (F. Zebua, 1996:62).

2.2.2 Perkembangan Masyarakat Nias di Gunungsitoli

Dahulu masyarakat Nias sudah memiliki mbanua (perkampungan) disekitar Luaha Nou (sekarang menjadi Kota Gunungsitoli). Mbanua tersebut merupakan tempat dari leluhur ketiga marga (zebua, harefa dan telaumbanua) yang bersatu untuk membentuk kota Gunungsitoli. Mbanua tersebut merupakan perkampungan awal yang ada dan telah dibentuk sebelum kota Gunungsitoli ada. Kumpulan dari beberapa mbanua tersebutlah yang nantinya menjadi satu daerah yang dinamakan Hili Gatoli atau Gunungsitoli. Adapun tujuh kampung (mbanua) pertama yang ada, yaitu.

Banua Hilihati adalah kampung pertama yang didirikan disekitar muara sungai Nou di pusat Kota Gunungsitoli. Kampung ini didirikan oleh seorang raja yang bernama Löchözitolu. Beliau adalah orang yang pertama menemukan daerah yang nantinya menjadi kota Gunungsitoli.

Adapun pendapat yang dikemukakan oleh alm F. Zebua (1996:48) tentang asal-usul kampung tersebut. Menurut beliau dahulu setelah terjadi sebuah peperangan besar yang disebut peperangan Öri Do, Penduduk kampung Ononamölö dan Onozitoli banyak yang pindah ke arah utara sampai ke daerah Nihayöu. Penduduk kampung Ononamölö pindah total hingga kampung itu runtuh. Di tempat mereka pindah, sebagian penduduk ada yang menganggap tempat itu membawa sial, tidak serasi, dan berefek negatif. Sehingga penduduk tersebut sebagian kembali meninggalkan daerah mereka dan terus mencari daerah yang cocok. Setelah beberapa generasi kemudian, seseorang keturunan raja yaitu baginda Löchözitölu kembali menemukan daerah disekitar Saita Göröba. Di daerah tersebut baginda Löchözitölu mempunya putra bernama Toli’ana’a. Suatu Hari putra baginda tersebut yang

biasa dipanggil Katoli meninggal lalu dikuburkan di sekitar gunung tersebut. Lalu Bukit disebut dinamakan Hili Gatoli (Gunung Sitoli). Bukit terseut membentang di sebelah barat pusat Gunungsitoli (sekarang menjadi perkuburan Cina). Karena Pemukiman Hili Gatoli dianggap sial, mereka sekeluarga pindah ke bukit sebelah bawahnya. Di situ Baginda Löchözitölu mendirikan rumah sebagai bakal kampung. Tetapi beberapa saat kemudian,

puteri beliau meninggal dunia dan dikuburkan sekitar bukit itu. Puteri itu bernama Futi Hati dan di aplikasikan ke nama daerah tersebut, sehingga menjadi Hili Hati (Gunung Hati). Dan pada akhirnya Löchözitölu pun meninggal dan dikuburkan di daerah tersebut. Banua Hilihati menjadi tempat pemukiman pertama yang ada di daerah Luaha Nou atau kota Gunungsitoli

(F.Zebua 1996:51). Daerah ini terletak di pusat kota Gunungsitoli, tepatnya di dekat lapangan Merdeka Gunungsitoli.

b. Banua Hilina’a

Kampung (mbanua) ini adalah kampung yang didirikan oleh keturunan baginda Löchözitölu, yaitu Bawögowasa Zebua. Mbanua Hilina’a terdapat di atas bukit pusat kota Gunungsitoli sekarang. Mbanua tersebut merupakan mbanua ke 2 yang ditempati masyarakat Nias di kota Gunungsitoli (F. Zebua 1996:51). Sampai sekarang masyarakat disini banyak ditinggali oleh suku Nias yang bermarga Zebua.

c. Banua Dahana

Mbanua Dahana ini didirikan oleh bangsawan dari Onozitoli, yaitu Bawölaraga Harefa. Disinilah pemukiman mado (marga) Harefa yang pertama. Keturunan Balugu Bawölaraga Harefa berkembang menjadi leluhur banua Dahadanö, Sogawu-gawu, dan Sisobahili (F.Zebua 1996:52). Mayoritas yang tinggal di daerah tersebut adalah masyarakat

yang bermarga Harefa. Kampung ini terletak di bagian atas desa Mudik, kota Gunungsitoli.

d. Banua Sifalaete

Mbanua Sifalaete didirikan oleh keturunan Balugu Tumba’ana’a Harefa, yaitu Sinungaluo Harefa. Beliau bermukim di atas perbukitan sebelah atas kampung Dahana dan

mendirikan pemukiman kedua mado Harefa. Keturunannya berkembang menjadi leluhur Ombolata. Lawindra, Lauru dan Sihare’ö (F. Zebua 1996:52-53). Kampung ini terletak di pesisir pantai yang ada di sebelah selatan kota Gunungsitoli. Bila dari Bandar Udara Binaka Gunungsitoli, kita akan melewati kampung tersebut sebelum sampai di pusat Kota Gunungsitoli.

Kampung ini didirikan oleh keluarga Harimao Harefa dan menjadi kampung ketiga mado Harefa (F.Zebua 1996:53). Kampung ini terletak di desa mudik sekarang. Kampung ini banyak dihuni oleh Dawa yaitu orang yang bukan asli suku Nias (biasanya disebut pada orang yang beragama muslim, seperti aceh, padang, jawa, dll). Karena kampung ini dihuni oleh dawa, maka sebagai adat istiadat terutama dalam upacara perkawinan berbeda dengan tradisi masyarakat Nias. Hal ini disebabkan karena perbedaan agama dimana mayoritas agama muslim yang tinggal di kampung tersebut memakai sistem upacara perkawinan berdasarkan syariat islam (Yas Harefa 3 Mei 2012).

f. Banua Bonio

Daerah ini didirikan oleh baginda Börömbanua Telaumbanua. Sebelumnya beliau tinggal di Onozitoli, yaitu kampung yang terletak di Nias bagian utara. Namun akibat karena terjadinya perpecahan dan ketidak cocokan tentang prinsip disaat musyawarah perevisian hukum adat perkawinan yang menyebabkan bentrok fisik, beliau lari ke daerah Mo’awo (daerah pelabuhan sebelah utara kota Gunungsitoli) untuk menemui saudara-saudaranya. Ternyata di tengah perjalanan, dia ditangkap dan dianiaya oleh sekelompok orang yang kontra dengannya. Lalu dia dilepaskan didaerah tersebut dan dibiarkan pergi. Setelah kejadian itu, beliau tidak melanjutkan perjalanannya lagi, namun beliau mendirikan rumah dan banua Bonio. Ini menjadi pemukiman ketiga di kawasan Sungai Nou sekaligus menjadi pemukiman pertama bagi mado Telaumbanua (F.Zebua 1996:53). Kampung ini sekarang terletak di desa saombö,sebelah utara kota Gunungsitoli.

Kampung tersebut didirikan didaerah Iraono Geba, Tuhemberua, Onozitoli-Sifaoro’asi. Kampung ini didirikan oleh penduduk yang diusir kampung tetangganya (Sihare’ö) karena alasan perkembangan desa. Kampung menjadi pemukiman mado Telaumbanua yang kedua, dan mayoritas yang tinggal dikampung tersebut adalah masyarakat Nias yang bermarga Telaumbanua (F. Zebua, 1996:54). Sekarang kampung ini terletak di atas bukit sebelah utara kota Gunungsitoli.

Setelah terbentuknya ke 7 mbanua tersebut, maka keturunan dari 3 leluhur tersebut yaitu Zebua, Harefa, dan Telaumbanua (sitölu tua) mengadakan Fondrakö Bonio Ni’owuluwulu, yaitu upacara adat untuk pengesahan penyatuan daerah (F. Zebua, 1996:55).

Hal ini diadakan karena adanya persamaan hukum adat dan adat istiadat, lalu sekaligus menjadi pengesahan untuk membagi wilayah teritorial. Adapun wilayah tersebut adalah:

1. Wilayah untuk mado (marga) Zebua adalah kawasan tengah, terbentang antar anak sungai Bogalitö sebelah utara sampai sungai Nou sebelah selatan.

2. Wilayah untuk mado (marga) Harefa adalah kawasan sebelah selatan, berbatasan dengan sungai Nou dan bagian mado Zebua.

3. Wilayah untuk mado (marga) Telaumbanua adalah kawasan sebelah utara, yang berbatas pada anak sungai Bogalitö dengan mado Zebua.

Selanjutnya sitölu tua ini mulai bersatu dan saling bekerja sama untuk membangun Luaha Nou (Gunungsitoli) dalam segi perekonomian hingga pemerintahan. Setelah itu ketiga

leluhur tersebut (sitölu tua) memilih sebuah pemimpin untuk memimpin dan memerintah daerah tersebut (F.Zebua 1996:55) . Kepala pemerintahannya disebut Salawa Sitölu Tua yang artinya orang yang memimpin ketiga leluhur.

Seiring perkembangan zaman, Luaha Nou (Kota Gunungsitoli sekarang) semakin berkembang, dan didatangi orang-orang dari luar dan akhirnya dijajahi Belanda (VOC) pada

Populasi dan adat istiadat masyarakat Nias pun mulai berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Adat istiadat masyarakat Nias di Gunungsitoli pun perlahan-lahan mulai berubah, akibat terjadinya inkulturasi dan kontak budaya lainnya. Banyak masyarakat Nias yang pada akhirnya kawin dengan suku di luar Nias, seperti Aceh, Minangkabau, dan Dawa lainnya. Hal ini menyebabkan sebagian perubahan terjadi, khususnya dalam adat-istiadat perkawinan.

Dahulu kala sebelum masuknya agama Kristen dan Isla, seluruh masyarakat Nias memakai babi sebagai makanan atau pemberian penghargaan kepada mertua atau petinggi lainnya, tetapi sekarang hal ini hanya berlaku kepada masyarakat Nias yang beragama Kristen saja. Hal ini disebabkan karena babi diharamkan oleh masyarakat beragama Islam, sehingga otomatis masyarakat Nias yang beragama islam tidak melakukan upacara tersebut. Pada umumnya masyarakat Nias yang beragama Islam mengikuti upacara dan adat istiadat menurut syariat Islam, tidak menurut adat-istiadat Nias lagi (Yas Harefa 3 mei 2012).