Identifikasi Retinoblastoma Menggunakan Backpropagation Neural Network

BAB 2
LANDASAN TEORI

Bab ini membahas tentang teori penunjang dan penelitian terdahulu yang berhubungan
dengan penerapan metode backpropagation neural network untuk mengidentifikasi
penyakit retinoblastoma.
2.1 Retinoblastoma
Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel batang dan
kerucut) atau sel glia yang bersifat ganas. Kelainan ini bersifat kongenital autosom
dominan bila mengenai kedua mata atau bersifat mutasi somatik bila mengenai satu mata
saja. Tumor ini tumbuhnya sangat cepat sehingga vaskularisasi tumor tidak dapat
mengimbangi tumbuhnya tumor sehingga terjadi degenerasi dan nekrosis yang disertai
kalsifikasi (penumpukan kalsium pada jaringan tubuh) (Wijana, 1993).
Retinoblastoma merupakan tumor yang dapat terjadi secara herediter (40%) dan
non-herediter (60%). Retinoblastoma herediter meliputi pasien dengan riwayat keluarga
positif (10%) dan yang mengalami mutasi gen yang baru pada waktu pembuahan (30%).
Bentuk herediter dapat bermanifestasi sebagai penyakit unilateral atau bilateral. Pada
bentuk herediter, tumor cenderung terjadi pada usia muda. Tumor unilateral pada bayi
lebih sering dalam bentuk herediter, sedangkan anak yang lebih tua lebih sering
mengalami bentuk yang non-herediter (Rares, 2016).


Universitas Sumatera Utara

8

Retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai perkembangannya cukup
lanjut sehingga sudah menimbulkan kelainan pada mata berupa pupil putih,
strabismus atau peradangan (Harbour, 2001). Secara umum, semakin dini
penemuan tumor dan semakin dini dilakukannya terapi tumor, semakin besar
kemungkinan kita mencegah perluasan tumor melalui saraf optikus dan jaringan
orbita. Retinoblastoma dapat berakibat fatal apabila tidak mendapatkan
pengobatan yang tepat.
2.1.1. Penyebab retinoblastoma
Retinoblastoma disebabkan oleh adanya mutasi gen. Suatu alel di dalam satu
lokus di dalam pita kromosom 13q14 mengontrol tumor tersebut, baik dalam
bentuk herediter maupun non herediter (Harbour, 2001).
Gen retinoblastoma normal, yang biasa terdapat pada semua orang
merupakan suatu gen supresor tumor atau anti onkogen. Individu dengan penyakit
herediter memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya. Apabila alel
pasangannya di sel retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan,
terbentuklah tumor. Pada bentuk penyakit non herediter, kedua alel gen

retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh suatu
mutasi spontan (Harbour, 2001). Penyebab dari mutasi gen ini tidak diketahui
dengan pasti hingga saat ini. Diduga adanya Human Papilloma Virus dalam
jaringan retina yang sedang tumbuh dapat meyebabkan mutasi yang meningkatkan
resiko terjadinya retinoblastoma, adapula dugaan bahwa prosedur bayi tabung
dapat

meningkatkan

resiko

terjadinya

retinoblastoma

pada

calon

bayi


(Chintagumpala, et al. 2007).
Retinoblastoma dapat tumbuh ke luar yang disebut dengan retinoblastoma
eksofitik atau dapat tumbuh ke dalam yang disebut retinoblastoma endofitik.
Retinoblastoma endofitik kemudian meluas ke korpus vitreum. Kedua jenis
retinoblastoma secara bertahap akhirnya mengisi mata (Hardy, 2000). Metastase
pada retinoblastoma dapat terjadi melalui nervus optikus menuju ke kiasma
optikum dan ke ruang sub arakhnoid. Dari ruang sub arachnoid sel tumor dapat
bermetastase ke otak dan serebrospinal. Tumor dapat juga bermetastase melalui

Universitas Sumatera Utara

9

koroid dan pembuluh darah yang terdapat di dalamnya kemudian menyebar secara
hematogen hingga ke tulang. Selain itu tumor dapat pula bermetastase secara
limfogen (Kaneko & Suzuki, 2006).
Secara mikroskopis, sebagian besar retinoblastoma terdiri dari sel-sel kecil
yang tersusun rapat, bundar atau poligonal dengan inti besar berwarna gelap dan
sedikit


sitoplasma.

Sel-sel

ini

kadang

membentuk Rossete

Flexner-

Wintersteiner yang khas, yang merupakan indikasi diferensiasi fotoreseptor
(Hardy, 2000).

2.1.2. Gejala retinoblastoma
Gejala subyektif sukar untuk didapatkan karena anak tidak memberikan keluhan
apapun (bila dijumpai pada anak yang lebih besar, gejala subyektif yang
dikeluhkan umumnya adalah penglihatan yang menurun) sehingga retinoblastoma

biasanya tidak disadari sampai perkembangannya cukup lanjut sampai
menimbulkan gejala obyektif. Gejala obyektif pada retinoblastoma dari yang
disadari hingga yang jarang disadari (Chintagumpala, et al. 2007) :
1.

Leukokoria ( refleks putih pada pupil ).

Gambar 2.1. Gejala leukocoria pada anak penderita RB (Abramson,
et al. 2014)
2.

Amauritic cat’ eye ( bila mata kena sinar akan memantulkan cahaya
seperti mata kucing )

Universitas Sumatera Utara

10

3.


Strabismus atau juling.

4.

Heterokromia atau perbedaan warna kedua iris mata.

5.

Glaukoma atau kerusakan saraf optik akibat tekanan cairan dalam bola
mata yang terlalu tinggi.

6.

Hifema atau pendarahan pada mata.

7.

Peradangan orbita.

2.1.3. Diagnosis retinoblastoma

Dianosis dari retinoblastoma dapat dilakukan melalui berbagai jenis pemeriksaan.
Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan gambaran tumor dengan warna putih
atau krem kekuningan, dengan lesi satelit pada retina, ruang sub retina dan
terdapat sel-sel tumor pada korpus vitreus (Vitreus Seeding). Untuk mendapatkan
pemeriksaan funduskopi yang lebih detail sebaiknya pemeriksaan dilakukan
dengan midriatil untuk melebarkan pupil (Kaneko & Suzuki, 2006). Gambar 2.2
dan Gambar 2.3 merupakan contoh citra yang menunjukkan fundus retina normal
dan yang terkena retinoblastoma yang di dalamnya terdapat tumor berwarna putih
atau putih kekuningan.

Gambar 2.2. Fundus Retina Normal

Universitas Sumatera Utara

11

tumor

Gambar 2.3. Fundus retina dengan Retinoblastoma.


Pada

pemeriksaan

fluoresen

angiografi

didapatkan

gambaran

berupa massa tumor dan neovaskularisasi pada daerah tumor, tetapi tidak dapat
menampilkan gambaran Vitreus Seeding (Kaneko & Suzuki, 2006). USG pada
mata dapat memberikan gambaran heterogenitas dan kalsifikasi jaringan yang
identik dengan massa pada retinoblastoma. USG tidak lebih sensitif jika
dibandingkan dengan Computed Tomografi (CT) yang ideal untuk mendeteksi
adanya kalsifikasi intraokuler. Namun, CT dikhawatirkan dapat memperburuk
mutasi gen pada penderita retinoblastoma dengan usia di bawah 1 tahun karena
adanya radiasi dari alat tersebut (Chintagumpala, et al. 2007). Magnetic

Resonance Imaging (MRI) merupakan alat yang paling sensitif untuk
mengevaluasi retinoblastoma karena memberikan gambaran yang paling baik
yang dapat memantau ada tidaknya metastase pada nervus optikus. Pemeriksaan
foto polos diindikasikan bila pada gambaran klinis didapatkan kecurigaan adanya
metastase ke tulang (Chintagumpala, et al. 2007).

2.1.4. Pencegahan dan pengobatan retinoblastoma
Pencegahan dilakukan dengan skrining genetik kemudian jika di dalam keluarga
terdapat riwayat retinoblastoma, sebaiknya mengikuti konsultasi genetik untuk
membantu memprediksi resiko terjadinya retinoblastoma pada keturunannya.

Universitas Sumatera Utara

12

Selain itu pencegahan dapat juga dilakukan pemeriksaan mata secara rutin sejak
anak lahir.
Salah satu cara mengobati Retinoblastoma adalah menggunakan terapi
laser (laser photocoagulation). Terapi sinar laser dapat digunakan untuk
menghancurkan pembuluh darah yang menutrisi tumor dan menyebabkan matinya

sel kanker. Pilihan terapi lainnya adalah dengan krioterapi atau terapi dingin.
Terapi ini menggunakan cairan nitrogen yang sangat dingin untuk membekukan
sel kanker sebelum diangkat. Proses pembekuan dan pengangkatan ini dapat
dilakukan beberapa kali selama prosedur perawatan. Proses ini dilakukan hingga
sel kanker mati. Selain itu, terdapat terapi panas yang merupakan kebalikan dari
terapi dingin. Termoterapi menggunakan gelombang ultrasonik, gelombang
mikro, atau laser untuk mengarahkan panas dan membunuh sel kanker.
Obat kemoterapi dan terapi radiasi (radioterapi) dapat juga digunakan
untuk membasmi sel kanker Retinoblastoma. Jika kemoterapi menggunakan obat
untuk membunuh sel kanker, maka terapi radiasi menggunakan penyinaran Xray untuk melakukannya. Radiasi internal atau brachytherapy menggunakan alat
yang ditempatkan di dekat tumor untuk mengurangi risiko terpaparnya jaringan
sehat terhadap radiasi. Bagi penderita retinoblastoma parah, terapi radiasi
eksternal dapat dilakukan untuk memberikan paparan radiasi yang lebih besar.
Dibandingkan terapi internal, terapi ini berisiko turut merusak jaringan yang sehat.
Tindakan operasi pengangkatan mata dilakukan bila ukuran tumor sudah terlalu
besar dan/atau tumor sudah tidak bisa diobati dengan perawatan lainnya. Operasi
pengangkatan mata terdiri dari beberapa tahapan yang diawali dengan
pengangkatan bola mata yang terjangkit kanker atau disebut enukleasi. Setelah itu,
sebuah bola buatan (implan) dipasang dan disambungkan dengan otot-otot mata.
Jaringan otot ini akan beradaptasi dengan jaringan mata seiring proses

penyembuhan anak, sehingga nantinya mata implan dapat bergerak seperti mata
alami walaupun tidak bisa melihat. Mata tiruan baru akan dipasang beberapa
minggu setelah operasi dan diletakkan bersama implan mata di balik kelopak
mata. Selain berdampak kepada penglihatan anak, prosedur operasi ini juga
memiliki efek samping pendarahan dan infeksi.

Universitas Sumatera Utara

13

2.2 Pengenalan Dasar Citra
Sebuah citra direpresentasikan sebagai fungsi f(x,y) yaitu fungsi dua dimensi, dimana x
dan y adalah koordinat posisi, dan nilai f pada setiap koordinat (x,y) disebut sebagai nilai
intensitas citra. Sebuah citra dinyatakan sebagai citra digital jika nilai x, y dan nilai
intensitas dari f bersifat terbatas dan dalam bentuk discrit. Sebuah citra digital dibentuk
oleh sejumlah elemen yang disebut sebagai piksel dimana setiap piksel tersebut memiliki
posisi dan nilai tertentu (Gonzales, 2008).
2.2.1. Citra biner
Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai piksel
yaitu hitam dan putih. Hitam direpresentasikan dengan nilai intensitas 0
sedangkan putih direpresentasikan dengan nilai intensitas 1. Citra biner juga
disebut dengan citra B&W (black and white) atau citra monokrom. Karena hanya
dibutuhkan 1 bit untuk mewakili nilai setiap piksel dari citra biner.
Citra biner sering kali muncul sebagai hasil dari proses pengolahan seperti
segmentasi, morfologi, ataupun dithering. Contoh citra biner dapat dilihat pada
Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Citra Biner

2.2.2. Citra grayscale
Citra grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada
setiap pikselnya, dengan kata lain nilai bagian RED = GREEN = BLUE. Nilai

Universitas Sumatera Utara

14

tersebut digunakan untuk menunjukan tingkat itensitas. Warna yang dimiliki
adalah warna dari hitam, keabuan, dan putih.
Tingkat keabuan disini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan
dari hitam hingga mendekati putih. Jika citra skala keabuan memiliki jumlah 8
bit, maka jumlah warna pada citra adalah 28 atau 256, dimana nilai intensitas
berkisar antara 0 - 255. Nilai 0 merupakan warna hitam, nilai 255 merupakan
warna putih dan nilai diantara itu adalah warna keabuan (Fatihah, 2016). Contoh
citra grayscale dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Citra Grayscale

2.2.3. Citra Warna
Citra warna merupakan jenis citra yang menyediakan warna dalam bentuk RGB
(red, green, dan blue). Setiap komponen warna menggunakan 8 bit, nilainya
terletak antara 0-255. Warna yang disediakan yaitu 255 x 255 x 255. Warna ini
disebut juga dengan true color dikarenakan memiliki jumlah warna yang cukup
besar (Chairani, 2016). Contoh citra warna dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Universitas Sumatera Utara

15

Gambar 2.6 Citra Warna

2.3. Pengolahan Citra Digital
Pengolahan citra digital merupakan suatu teknologi yang menerapkan sejumlah
algoritma komputer untuk dapat memproses citra digital. Hasil keluaran dari proses
tersebut dapat berupa citra atau karakteristik yang merepresentasikan citra. Tujuan
utama pengolahan citra ini yaitu untuk mendapatkan citra yang berkualitas tinggi
atau deskriptif dari citra asli sehingga dapat meningkatkan informasi tentang citra
tersebut (Zhou et al., 2010). Beberapa teknik pengolahan citra yang diterapkan pada
penelitian ini diantaranya sebagai berikut.

2.3.1. Resize
Resize adalah suatu operasi pada pengolahan citra digital untuk mengubah ukuran
citra dengan memperbesar atau memperkecil ukuran citra pada arah horizontal
dan/atau vertikal.
2.3.2. Grayscaling
Grayscaling merupakan suatu proses mengubah citra berwarna (RGB) menjadi
citra keabuan. Setiap piksel pada citra berwarna yang megandung tiga komponen
warna RGB akan diubah menjadi memiliki satu informasi saja yaitu intensitas
keabuan. Konversi citra RGB menjadi citra grayscale ditunjukkan pada
persamaan 2.1 (Kadir & Susanto, 2012). Konversi dilakukan dengan

Universitas Sumatera Utara

16

menjumlahkan hasil perkalian masing-masing komponen RGB dengan nilai
konstantanya.
I = a x R + b x G + c x B,

a+b+c=1

(2.1)

Dimana :
I

= nilai intensitas keabuan sebuah piksel citra hasil grayscalling

R

= nilai komponen merah pada sebuah piksel

G

= nilai komponen hijau pada sebuah piksel

B

= nilai komponen biru pada sebuah piksel

a,b,c

= konstanta yang penjumlahannya bernilai 1

2.3.3. Morphological operator
Morphological operator merupakan suatu teknik pengolahan citra berdasarkan
pada pengolahan bentuk. Teknik ini menerapkan structuring element (SE) pada
citra yang diolah dan menghasilkan citra dengan

ukuran yang sama. SE

merupakan sebuah operator yang dapat mempengaruhi kinerja pengolahan
morphological . Nilai setiap piksel pada citra yang dimasukkan berdasarkan pada
perbandingan antara piksel yang bersesuaian dari citra masukan dengan nilai
piksel tetangganya. Dengan memilih ukuran dan bentuk tetangga tersebut, maka
dapat membangun sebuah morphological operator untuk mengolah citra yang
dimasukkan agar lebih spesifik (Kaur & Kaur, 2013).
Morphological operator mempunyai dua operasi dasar yaitu dilation dan
erosion. Dilation merupakan suatu proses untuk meningkatkan batas piksel
foreground sehingga pada daerah tersebut ukurannya akan bertambah dan
menebal.
Dilation dilakukan dengan persamaan 2.2.

(2.2)

Universitas Sumatera Utara

17

Dimana :
D = citra hasil dari dilation
A = citra masukan
B = structure element
= translasi B
Sedangkan erosion kebalikan dari dilation yang akan mengurangi
batas piksel foreground sehingga pada daerah tersbut ukurannya akan
berukurang dan menipis (Chudasama et al,2015). Erosion dilakukan
dengan persamaan 2.3.
(2.3)
Dimana :
E

= citra hasil dari erosion
= citra masukan
= structure element
= translasi B

Operasi dasar tersebut telah banyak dikombinasikan, sehingga terdapat
operasi-operasi lainnya salah satunya yaitu morphological close. Morphological
close operation merupakan kombinasi dimana suatu citra diterapkan dilation
terlebih dahulu kemudian diterapkan operasi erosion. Morphological close
bertujuan untuk memperhalus objek pada citra dengan cara menyambungkan
pecahan-pecahan dan menghilangkan lubang-lubang kecil pada citra. Operasi
morphologial close diterapkan pada penelitian ini bertujuan untuk menghaluskan
pembuluh darah retina beserta struktur retina yang lain sehingga background dari
retina lebih kelihatan lebih menonjol.

Universitas Sumatera Utara

18

2.3.4. Thresholding
Thresholding merupakan suatu proses untuk mengubah citra menjadi citra biner
atau sering disebut dengan proses binerisasi. Proses ini menggunakan nilai batas
(threshold) untuk dapat mengubah nilai piksel menjadi warna hitam atau putih.
Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka
nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan
angka biner 1. Sementara apabila nilai piksel lebih kecil dari nilai threshold maka
akan diubah menjadi warna hitam dan diinisialkan dengan angka biner 0
(Febriani, 2014). Proses tersebut dilakukan dengan persamaan 2.4.

(2.4)
Dimana

:

= piksel citra hasil biner
= piksel citra masukan
= nilai threshold

2.4. Gray-Level Co-Occurrence Matrix
Gray-Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) merupakan suatu metode yang digunakan
untuk ektraksi fitur, baik fitur citra maupun data lainnya berdasarkan analisis tekstur.
Ekstraksi fitur dilakukan untuk mengambil informasi pokok dari suatu data tertentu untuk
sebelum digunakan pada proses tertentu. Metode GLCM ini diperkenalkan oleh Haralick
di tahun 1973 yang merupakan bagian dari project yang didukung olah NASA yaitu
tepatnya NASA Goddard Space Flight Center. Haralick menggunakan citra dari NASA
ERTS untuk melakukan klasifikasi dengan tingkat akurasi diatas 80%. GLCM dapat juga
disebut sebagai Gray Level Dependency Matrix (Gadkari, 2004).
Metode GLCM digunakan untuk analisis terhadap pixel citra dan termasuk dalam
metode statistik, dimana dalam perhitungan statistiknya menggunakan distribusi derajat

Universitas Sumatera Utara

19

keabuan (histogram) dengan mengukur tingkat kekontrasan, granularitas, dan kekasaran
suatu daerah dari hubungan ketetanggaan antar pixel untuk tabulasi tentang frekuensi
kombinasi nilai pixel yang muncul pada suatu citra. Matrix GLCM dihitung dari nilai
pixel yang berpasangan dan memiliki nilai intensitas tertentu. Misalkan d adalah jarak
antara dua pixel yaitu (x1,y1) dan (x2,y2) dan Ѳ didefinisikan sebagai sudut antara
keduanya, maka matrix GLCM merupakan distribusi spasial dari Pd Ѳ(i,j). Jarak
dinyatakan dalam pixel dan orientasi dinyatakan dalam derajat. Orientasi dibentuk dalam
empat arah sudut dengan interval sudut 45º, yaitu 0º, 45 º, 90 º, dan 135 º.
Beberapa fitur statistik pada GLCM diantaranya energy atau Angular Second
Moment (ASM) digunakan untuk mengukur keseragaman tekstur dari suatu objek,
menghighlight geometri dan kemenerusan lapisan. Entropy digunakan untuk mengukur
ketidakteraturan atau kompleksitas dari suatu objek. Contrast menunjukkan variasi
pasangan keabuan pada sebuah citra. Homogeneity atau Inverse Difference Moment
digunakan untuk mengukur keseragaman dari suatu objek. Dissimilarity untuk
menghitung nilai ketidakmiripan suatu tekstur. Persamaan untuk mengukur nilai masingmasing dapat dilihat pada persamaan 2.5, 2.6, 2.7, 2.8, 2.9.
(2.5)

(2.6)

(2.7)

(2.8)
Dissimilarity =

(2.9)

Universitas Sumatera Utara

20

2.5. Jaringan Saraf Tiruan (JST)
Jaringan saraf tiruan merupakan sistem yang memiliki komputasi dengan kesamaan
tertentu dengan cara kerja sistem saraf manusia. JST mengadaptasi cara kerja sistem
saraf manusia dengan beberapa asumsi yaitu sebagai berikut (Darmawan, 2010).
1. Unit pemroses informasi disebut dengan neuron.
2. Sinyal ditransmisikan antar neuron melalui penghubung (sinapsis).
3. Setiap penghubung memiliki bobot dimana akan dilakukan operasi perkalian
antara sinyal yang disalurkan dengan bobot.
4. Setiap neuron memiliki fungsi aktivasi yang memproses input sehingga
menghasilkan output tertentu.
Komponen utama pada jaringan saraf tiruan adalah sebagai berikut.
1. Neuron
Neuron atau node merupakan tempat untuk memproses informasi. Setiap
neuron akan menerima input, memproses input lalu menghasilkan sebuah
output (Purnamasari, 2013).
2. Bobot
Bobot atau weight merupakan nilai yang merepresentasikan koneksi antar
neuron (Purnamasari, 2013). Pada setiap penghubung akan dilakukan operasi
perkalian bobot dengan sinyal yang melewati penghubung tersebut.
3. Fungsi Aktivasi
Fungsi aktivasi adalah fungsi yang menentukan output dari suatu neuron
berdasarkan sinyal masukan yang diterima. Setiap neuron akan menetapkan
fungsi aktivasi (Wicaksono, 2008). Ada empat jenis fungsi aktivasi yang
secara umum digunakan yaitu : step function, sign function, sigmoid function
dan linear function. Gambar ke empat fungsi aktivasi dapat dilihat pada
Gambar 2.7.

Universitas Sumatera Utara

21

Gambar 2.7. Fungsi Aktivasi Neuron (Negnevitsky, 2005)

Step function dan sign function disebut sebagai fungsi pembatasan kasar
yang digunakan secara umum pada permasalahan klasifikasi dan pengenalan
pola. Sigmoid function digunakan pada jaringan propagasi balik dan dapat
mengubah input yang memiliki jangkauan nilai [-∞, ∞] menjadi output dengan
jangkauan nilai [0.0, 1.0]. Linear activation function digunakan pada
pendekatan linear dan dapat menghasilkan output yang sama dengan input
yang diterima oleh neuron.
4.

Layer
Layer merupakan lapisan pada JST. Pada arsitektur JST terdapat dua tipe layer
yaitu jaringan layer tunggal dan jaringan layer jamak. Jaringan layer tunggal
terdiri dari lapisan input dan output. Sementara jaringan layer jamak terdiri
dari lapisan input, output dan lapisan tersembunyi yang terletak di antara
lapisan input dan output.

JST memiliki metode pembelajaran untuk memproses input yaitu supervised
learning (memiliki target) dan unsupervised learning (tidak memiliki target). Pada
pembelajaran supervised learning, target akan ditentukan dan kemudian nilai input
dan output akan dilatih hingga nilai error (selisih output dan target) dapat seminimal
mungkin (Wicaksono, 2008).

Universitas Sumatera Utara

22

2.6.Backpropagation
Backpropagation merupakan salah satu metode pelatihan jaringan saraf tiruan yang
terawasi (supervised learning) yang melakukan pengubahan bobot-bobot penghubung
antarneuron pada lapisan tersembunyi (Priyani, 2009). Backpropagation berusaha
menyeimbangkan kemampuan jaringan dalam mengenali pola selama waktu pelatihan
dan melatih jaringan agar menghasilkan output yang benar berdasarkan pola masukan
yang tidak sama dengan pola yang dipakai pada saat pelatihan (Purnamasari, 2013).
Metode backpropagation terdiri atas dua fase , yaitu fase perambatan maju
(feedforward) dan fase arah mundur (backward). Metode backpropagation melakukan
pengubahan nilai bobot-bobot pada fase arah mundur dengan menggunakan error
output. Fase perambatan maju harus dilalui terlebih dahulu untuk dapat memperoleh
nilai output tersebut. Pada fase perambatan maju, setiap neuron diaktifkan oleh fungsi
aktivasi (Priyani, 2009).
Arsitektur backpropagation dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Arsitektur backpropagation (Purnamasari, 2013)

Universitas Sumatera Utara

23

Berikut adalah algoritma backpropagation untuk jaringan dengan satu layer
tersembunyi dengan fungsi aktivasi yang digunakan adalah sigmoid biner (Purnamasari,
2013).
Langkah 0 : Inisialisasi semua bobot (gunakan bilangan kecil secara acak).
Langkah 1 : Jika belum terdapat kondisi untuk berhenti, lakukan langkah 2-9.
Langkah 2 : Lakukan langkah 3-8 untuk setiap pasang data pelatihan.

Fase I : Propagasi Maju (feed forward)
Langkah 3: Tiap unit masukan menerima sinyal dan meneruskan sinyal tersebut ke unit
selanjutnya (lapisan tersembunyi).
Langkah 4: Hitung semua keluaran di unit tersembunyi

(j = 1, 2, ..., p)

(2.10)
(2.11)

Langkah 5: Hitung seluruh output jaringan pada unit

( k = 1,2,…, m).
(2.12)

(2.13)
Fase II: Propagasi Mundur (backward)
Langkah 6: Hitung faktor ∂ unit keluaran berdasarkan kesalahan di setiap unit keluaran
( k = 1,2,…, m).
(2.14)

Universitas Sumatera Utara

24

� merupakan unit kesalahan yang digunakan untuk mengubah bobot layer pada langkah

selanjutnya (langkah 7).

Kemudian hitung suku perubahan bobot (yang akan digunakan untuk memperoleh bobot
yang baru) dengan learning rate menggunakan persamaan 2.14.
(2.15)
Langkah 7: Hitung faktor ∂ unit tersembunyi berdasarkan kesalahan di setiap unit
tersembunyi

(j = 1, 2, ..., p)

(2.16)
Faktor ∂ unit tersembunyi
(2.17)
Hitung suku perubahan bobot �

(yang dipakai nanti untuk mengubah bobot

� )

(2.18)

Fase III: Perubahan Bobot
Langkah 8: Hitung semua perubahan bobot.
Perubahan bobot pada unit keluaran ditunjukkan pada persamaan 2.18.
(2.19)
Perubahan bobot menuju unit tersembunyi ditunjukkan pada persamaan 2.18.
(2.20)
Setelah pelatihan jaringan selesai dilakukan, maka pengenalan pola dapat
dilakukan. Pada pelatihan backpropagation, nilai output jaringan hanya diperoleh pada
fase propagasi maju (langkah 4 dan 5). Fungsi aktivasi yang dipakai adalah fungsi

Universitas Sumatera Utara

25

sigmoid biner. Apabila dilakukan penggantian fungsi aktivasi, maka persamaan 2.11 dan
persamaan 2.13 harus disesuaikan. Penggantian fungsi aktivasi akan mempengaruhi
output yang akan dihasilkan, oleh karena itu langkah selanjutnya (langkah 6 dan langkah
7) harus disesuaikan.

2.7. Penelitian Terdahulu
Penelitian dengan memanfaatkan fundus retina dari kamera fundus sebelumnya
sudah diterapkan dalam mengidentifikasi retinoblastoma dengan menggunakan
Gaussian Filter, Fast Fourier Transform, kemudian dilakukan Log Transform
untuk mengkompres light pixels image (Balasundari et al., 2016 ). Selain itu
penelitian juga pernah dilakukan melalui citra iris mata dengan menggunakan
metode wavelet transform setelah sebelumnya dilakukan preprocessing image
enhancement median filtering. Selanjutnya dilakukan histogram equalization dan
thresholding untuk membedakan mata yang terkena kanker dan yang tidak terkena
kanker (Gupta et al., 2015).
Penelitian berikutnya yaitu mendeteksi adanya leukocoria melalui
sejumlah gambar yang diambil melalui camera handphone. Deteksi dilakukan
melalui iris mata dengan menggunakan convolutional neural network tanpa
adanya proses preprocessing dari citra digital mata ( kecuali rescaling). Penelitian
ini memberikan hasil yang cukup akurat dengan hanya menggunakan learning
process (Henning et al., 2014) .
Selanjutnya ada juga penelitian yang dilakukan untuk mendeteksi adanya
leukocoria melalui analisis iris mata dengan menggunakan median filtering untuk
menghilangkan noise. Setelah dilakukan denoising selanjutnya dilakukan equalize
histogram untuk deteksi sudut yang lebih baik dengan menggunakan waveletbased filtering, kemudian dilakukan Hough Transform (Perea et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara

26

Penelitian dengan menerapkan algoritma propagasi balik seperti yang akan
penulis lakukan pada penelitian ini sebelumnya sudah dilakukan pada
pendeteksian ganguan lambung (Priyani, 2009).
Penelitian terdahulu yang telah penulis paparkan akan diuraikan secara singkat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
No

Peneliti

Judul Penelitian

1

Perea et al.

Finding

the

containing

Tahun Metode
smallest

the

iris

circle
in

2014

the

denoised wavelet domain

Median

Filter,

two-

dimensional

discrete

stationary

wavelet,

Hough Transform
2

Henning et A
al.

Convolutional

Network

Neural

Approach

2014

Convolutional

Neural

Network

for

Classifying Leukocoria
3

Gupta et al.

Finding Retinoblastoma Cancer

2015

Wavelet Transform

2016

Gaussian Filter, Fast

Using Image Processing
4

Balasundari Diagnosing
et al.

Using

Retinal

Image

Diseases

Fourier Transform, Log

Processing

Transform

Technique
5

Priyani

Aplikasi

Diagnosa

Gangguan

Lambung melalui Citra Iris Mata

2009

Backpropagation
neural network

dengan Syaraf Tiruan Propagasi
Balik

Universitas Sumatera Utara

27

Pada penelitian ini penulis mengimplementasikan metode Backpropagtion Neural
Network yang sebelumnya dilakukan tahapan preprocessing (resize, grayscaling,
morphological close operation, dan optic disc elimination) serta fitur ektraksi
dengan

menggunakan

GLCM

agar

dapat

mengidentifikasi

penyakit

Retinoblastoma melalui citra fundus retina.

Universitas Sumatera Utara