PEMASYARAKATAN SEBAGAI KONSEP INTEGRAL DALAM POLA PEMBINAAN NARAPIDANA | Yuhermansyah | Jurnal Dusturiah 1195 2311 1 SM

PEMASYARAKATAN SEBAGAI KONSEP INTEGRAL
DALAM POLA PEMBINAAN NARAPIDANA
Edi Yuhermansyah
Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ar-Raniry

Abstract
The concept of prisoning based on the humanistic views that prisoner is a human which is not
different from other people who may at any time make a mistake that can be a criminal. They
doesn’t have to be eradicated, but only to the factors that caused them to do things that are
contrary to law, morals, religion, and other social obligations. Thus, the existence of prison
is to educate a prisoner. Good coaching is start by classifying and identifies the problem of
each prisoner, so it will be easily to be solved and nurtured.
This study uses a juridical-normative approach that focuses on literature or secondary data.
Normative juridical approach is used in order to discuss the provisions of national
legislation relating to the Penitentiary (LAPAS). This study is also a descriptive Analytical
study, which is describing the main point of prisoning in relation with educating prisoner as
an integral concept.
The study shows that the concept of educating prisoner is based on the ideas of
individualization and resosialisation. Individualization means that the coaching/educating
system based on the characteristics of each prisoner. Resosialisation means that coaching
must restored social and humanities value to the prisoner, to prepare them back to their

community
Kata Kunci: Pemasyarakatan, Pembinaan, Narapidana

A. Latar Belakang
Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus
narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang lebih baik. Di antara sasaran
yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk
membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada orang lain, serta mengembangkan
rasa tanggungjawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera
dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur
dan bermoral tinggi. Pembinaan terhadap pribadi dan budi pekerti yang dimaksudkan tidaklah
tanpa batas, akan tetapi selama waktu tertentu memberi warna dasar agar narapidana kelak
dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum yang berlaku di
masyarakat.1
Narapidana yang menjalani masa pemidanaan di Lapas harusnya mendapatkan
perlakuan dan pembinaan yang mendorong re-orientasi pemahamannya terhadap nilai-nilai
kehidupan. Apabila pembinaan bersifat rutinitas dan prosedural dapat dinilai pola pembinaan
1

Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty,

Yogyakarta, Hlm. 186-187.

belum mencapai sasaran dari paradigma pemasyarakatan. Bukan berarti pola pembinaan
baku-prosedur akan berakibat kegagalan dalam mengimplementasikan paradigma
pemasyarakatan, namun perlu dipahami keberadaan Lapas memang mempunyai orientasi
berbeda dibandingkan, lembaga Kepolisian, Kejaksaan atau Pengadilan.
Lapas dalam fungsi dan perannya lebih menitikberatkan rehabilitasi dan re-sosialisasi
bagi setiap narapidana yang didasarkan ketentuan formal sebagai bahan acuan dan parameter
dalam pola pembinaan narapidana. Lapas berorientasi pada “pembinaan” maka perlu
dinamisasi perlakuan yang mengacu pada kebutuhan dan kondisi riil dari setiap narapidana.
Lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan dalam fungsi dan perannya lebih
menitikberatkan upaya law enforcement yang berorientasi asas pada kepastian hukum.
Tersangka dan terdakwa dalam efek phsykologis sebagai pesakitan, yang membutuhkan
proses hukum selanjutnya untuk membuktikan ada atau tidaknya kesalahan.
Paradigma Pemasyarakatan yang menjadi jiwa dan orientasi pembinaan bagi
narapidana dikembangkan berdasarkan beberapa landasan konstitusional, yaitu Pancasila,
khususnya Sila Kedua “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau UUD NRI 1945 khususnya Pembukaan Alinea
Kedua dan Keempat serta BAB X Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners

(SMR) dan pola pembinaan yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Realita dan pengamatan bahwa pola pembinaan di Lapas mengacu sekedar mengisi
waktu selama narapidana menjalani masa hukumannya dan sebagai institusi tertutup sehingga
membatasi kebebasan individu dan sosial bagi narapidana, namun tertutupnya dari akses
publik justru menjadi kartel kejahatan yang sepak-terjangnya tak jauh beda dengan perilaku
jahat para penghuninya sebelum mendapat vonis hukuman.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam hal ini penulis memberikan rumusan
masalah yaitu bagaimana sistem pemasyarakatan sebagai konsep integral dalam
melaksanakan pola pembinaan terhadap narapidana dan bagaimana upaya-upaya progresif
sebagai bagian dari konsep integral sistem pemasyarakatan dalam mempersiapkan narapidana
supaya mampu menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab. Dalam membahas
persoalan tersebut, maka penulis menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian
yang didasarkan pada penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder di bidang
hukum yang terkait dengan pembahasan.
B. Pidana dan Pemidanaan.
Menurut Sudarto pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.2 Roeslan Saleh,
menyatakan bahwa Pidana, adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.3

Dalam Black’s Law Dictionary, dinyatakan bahwa “Punishment” adalah any fine,
penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and the judgement and
2

Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, Hlm. 2.
Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, Hlm. 9.

3

sentence of a court, for some crime or offence committed by him, or for his omission of a duty
enjoined by law.4
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
(oleh yang berwenang);
3. Pidana itu dikenakan seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undangundang.5
Alf Ross, sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, menambahkan
secara eksplisit untuk membedakan secara jelas antara Pidana dengan Tindakan Perlakuan

(Treatment). Menurut Alf Ross, “Concept of Punishment” bertolak pada dua tujuan, yaitu:
1. Pidana ditujukan pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan;
2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.
Menurut Alf Ross perbedaan antara “Punishment” dan “Treatment” tersebut tidak
didasarkan pada ada tidaknya unsur pertama (unsur penderitaan), tetapi harus didasarkan
pada ada tidaknya unsur kedua (unsur pencelaan).6 Adapun menurut H.L.Parker bahwa tujuan
utama dari Treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang
yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan
datang, tetapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya. Jadi dasar pembenaran
Treatment ialah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi
lebih baik.
Sedangkan Punishment menurut H.L.Parker, pembenarannya didasarkan pada tujuan sebagai
berikut:
1. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau
perbuatan yang salah
2. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar7
Hukum pidana atau pidana sebagai suatu tindakan atau perlakuan berorientasi pada
punishment, sehingga dalam pelaksanaannya membutuhkan suatu mekanisme atau sistem
yang melembaga untuk dapat melaksanakan kaidah-kaidah hukum pidana dengan
bertanggungjawab.

Apabila diperbandingkan antara Punishment dengan treatment, maka terlihat punishment
berorientasi perlakuan terhadap subyek hukum yang melakukan perbuatan pidana dengan
tujuan mencegah terulangnya perbuatan pidana tersebut dan mengenakan penderitaan
terhadap si pelaku. Sedangkan, Treatment berorientasi pada upaya memperlakukan subyek
4

Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Hlm. 3-4.
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Ibid., Hlm. 4
6
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Ibid., Hlm. 4-5
7
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Ibid., Hlm. 5-6.
5

hukum karena adanya keyakinan bahwa upaya-upaya tersebut akan membuat menjadi lebih
baik.
C. Sistem Pemidanaan.
Sistem pemidanaan merupakan sistem penjatuhan pidana, terdiri dari :
a. Aspek Fungsional yaitu sistem pemidanaan yang berorientasi pada fungsi dan proses,
terdiri dari:

1) Sistem peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berperan dalam law
enforcement atau ius operatum guna melaksanakan kaedah-kaedah hukum pidana
sehingga dapat diterapkan secara konkret pada subyek hukum atau peristiwa
hukumnya;
2) Sistem manajemen pengelolaan aparatur penegak hukum yang memiliki capability
dan komitmen dalam upaya-upaya law enforcement.
b. Aspek Normatif yaitu sistem pemidanaan dari tata nilai substantif atau isi normatif
peraturan perundang-undangan hukum pidana, terdiri dari:
1) Sistem peraturan perundang-undangan hukum pidana yang bertujuan meletakkan
asas-asas dan teori-teori hukum pidana;
2) Hukum pidana materiil untuk pemidanaan.
Tujuan pemidanaan diformulasikan sebagai bagian integral dari sistem pemidanaan
sebagai pedoman (quidance of sentencing), landasan filosofi dan justifikasi pemidanaan, agar
tidak hilang dan tidak dilupakan dalam praktek. Sistem pemidanaan yang dituangkan dalam
konsep dilatarbelakanggi oleh berbagai ide dasar atau prinsip-prinsip, sebagai berikut:
a. Ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat (umum dan kepentingan
individu);
b. Ide keseimbangan antara social welfare dengan social defence;
c. Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku atau offender
(individualisasi pidana) dan victim (korban);

d. Ide penggunaan double track system (antara pidana atau punishment dengan tindakan atau
treatment atau measures);
e. Ide mengefektifkan non custodial measures (alternatif to imprisonment);
f. Ide elastisitas atau fleksibilitas pemidanaan (elasticity atau flexcibility of sentencing);
g. Ide modifikasi atau perubahan atau penyesuaian pidana (modification of sanction the
alteration or annulment or revocation of sanction; redetermening of punishment);
h. Ide subsidiritas di dalam memilih jenis pidana;
i. Ide permaafan hakim (rechterlijk pardon atau judicial pardon);
j. Ide mendahulukan atau mengutamakan keadilan dan kepastian hukum.8

8

Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, Hlm. 20-21.

Berkaitan dengan sistem pemidanaan, dalam RUU KUHP terdapat beberapa pasal yang
langsung terkait dengan aspek pemidanaan. RUU KUHP Tahun 2005, dalam Pasal 54
dinyatakan sebagai berikut:
a. Pemidanaan bertujuan :
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat;
2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna;
3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan
4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
D. Lembaga Pemasyarakatan Atau Lapas.
1. Pidana Penjara.
Ada beberapa sistem dalam pidana penjara yang dipakai di dunia, yaitu:
1) Pensylvanian System, yaitu terpidana dimasukkan dalam sel-sel tersendiri, ia tidak
boleh menerima tamu baik dari luar maupun sesama narapidana, ia tidak boleh
bekerja diluar sel satu-satunya pekerjaan ialah membaca buku suci yang diberikan
kepadanya. Karena pelaksanaannya dilakukan di sel-sel maka disebut juga
Cullulaire System.
2) Auburn System atau Silent System, yaitu pada waktu malam ia dimasukkan dalam
sel secara sendiri-sendiri, pada waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan
narapidana lainnya tetapi tidak boleh saling berbicara diantara mereka.
3) English atau Ire atau Progessive System, cara pelaksanaan pidana menurut sistem
ini adalah bertahap. Pada tahap pertama selama kurang lebih 3 bulan, terpidana

menjalani seperti Cullulaire System. Tetapi setelah 3 bulan terbukti ia ada
kemajuan kesadaran terpidana maka diikuti dengan pelaksanaan yang lebih
ringan, yaitu ia boleh menerima tamu, berbincang-bincang dengan narapidana
lainnya, sedang tahap berikutnya adalah lebih ringan yaitu terpidana boleh
menjalani di luar tembok penjara.9
Didalam KUHP Pasal 10 dibutkan 2 (dua) jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak,
yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. Sifatnya menghilangkan dan/membatasi
kemerdekaan bergerak, menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lapas).
Perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan adalah dalam segala hal
pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Lebih ringannya itu terbukti sebagai
berikut:
1) Dari sudut macam atau jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan,
tampak bahwa pidana kurungan itu hanya diancamkan pada tindak pidana yang lebih
ringan daripada tindak pidana yang diancamkan dengan pidana penjara. Pidana kurungan
9

Teguh Prasetyo, 2005, Hukum Pidana Materiil, Kurnia Kalam, Yogyakarta, Hlm. 132.

2)


3)
4)

5)

6)

7)

banyak diancamkan pada jenis pelanggaran. Sementara itu, pidana penjara banyak
diancamkan pada jenis kejahatan. Tindak pidana kejahatan lebih berat daripada tindak
pidana pelanggaran;
Ancaman maksimum umum dari pidana penjara (yakni 15 tahun) lebih tinggi daripada
ancaman maksimum umum pidana kurungan (yakni 1 tahun). Bila dilakukan dalam
keadaan yang memberatkan, pidana kurungan boleh diperberat tetapi tidak boleh lebih
dari 1 tahun 4 bulan (KUHP, Pasal 18 Ayat (2), sedangkan untuk pidana penjara bagi
tindak pidana yang dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, misalnya pembarengan
(KUHP, Pasal 65 Ayat (1) dan Ayat (2) dan pengulangan dapat dijatuhi pidana penjara
dengan ditambah sepertiganya, yang karena itu bagi tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara maksimum 15 tahun dapat menjadi maksimum 20 tahun;
Pidana penjara lebih berat daripada pidana kurungan (KUHP, Pasal 69 Ayat (1), Ayat (2),
Ayat (3) dan Ayat (4);
Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara. Akan
tetapi, pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan kurungan disebut
kurungan pengganti denda (KUHP, Pasal 30 Ayat (2);
Pelaksanaan pidana penjara dapat saja dilakukan di lembaga pemasyarakatan di seluruh
Indonesia (dapat dipindah-pindahkan). Akan tetapi, pidana kurungan dilaksanakan di
tempat (lembaga pemasyarakatan) di mana ia berdiam ketika putusan hakim dijalankan
(tidak dapat dipindah) apabila ia tidak mempunyai tempat kediaman di daerah ia berada,
kecuali bila Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, atas permintaan terpidana, meminta
menjalani pidana di tempat lain (KUHP, Pasal 21);
Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara lebih berat daripada
pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana kurungan (KUHP, Pasal 19 Ayat
(1) dan Ayat (2);
Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekedar meringankan nasibnya dalam
menjalankan pidananya menurut aturan yang ditetapkan (Hak Pistole10, KUHP, Pasal
23).11

Pidana penjara merupakan salah satu sanksi pidana yang paling sering digunakan
sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan, penggunaan pidana penjara sebagai
sarana untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru dimulai pada akhir abad ke-18 yang
bersumber pada paham individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara
ini semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana
badan yang dipandang kejam.12
10

Hak Pistole, adalah: hak yang dimiliki oleh narapidana untuk mengadakan kebutuhan pribadinya
dengan menggunakan biaya dan kemampuan sendiri, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
tidak diperkenankan melewati batas kewajaran. Hak Pistole, menurut KUHP, Pasal 23, hanya diberikan kepada
narapidana yang dijatuhi oleh Hakim dengan sanksi pidana kurungan, sesuai KUHP, Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2)
dan Ayat (3).
11
Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 32-34.
12
Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Undip,
Semarang Hlm. 42.

P.A.F. Lamintang, mengemukakan bahwa pidana penjara adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebasan dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang
tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang tersebut untuk
mentaati semua peraturan tata-tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang
dikaitkan dengan suatu tindakan tata-tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.13
Barda Nawawi Arief, mengemukakan bahwa pidana penjara tidak hanya
mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap
hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri.14 Andi Hamzah,
menyampaikan bahwa pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan
kemerdekaan, kehilangan kemerdekaan tersebut bukan hanya dalam bentuk pidana penjara
tetapi juga pidana pengasingan.15
Menurut Barda Nawawi Arief, efektifitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek
pokok tujuan pemidanaan yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si
pelaku, yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah,
mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat
(antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerusakan atau
kerugian, menghilang noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat
sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara
lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari
perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.16
Efektifitas pidana penjara jika dilihat dari aspek perlindungan masyarakat, maka suatu
pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi
kejahatan. Jadi kriteria efektifitas dilihat dari seberapa jauh frekwensi kejahatan dapat
ditekan. Jadi kriteria terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention)
dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak
melakukan kejahatan.17
2. Sistem Pemasyarakatan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 Ayat (6) menyebutkan seorang yang
dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(inkarcht van gewijsdezaak), disebut terpidana, dan dalam Pasal 1 Ayat (7) menyatakan
narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas.
Dalam perspektif sejarah bahwa sistem pemasyarakatan yang sekarang diterapkan
tidak terlepas dari adanya revitalisasi konsep sistem pemidanaan. Sejarah sistem pemidanaan
dimulai dengan adanya sistem kepenjaraan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, yang
dikenal dengan adanya jenis tempat pemidanaan atau rumah tahanan, seperti: rephuis, bui,
ketting kwartier, vrouwenttuchuis.18
13

P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitersier Indonesia, Armico, Bandung, Hlm. 69.
Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm. 44.
15
Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,

14

Hlm. 37
16

Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hlm. 82.
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, Hlm. 224-225.
18
Andi Hamzah Dan Siti Rahayu, 1993, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia,
17

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 Ayat (1) disebutkan:
“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan
bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.”
Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
disebutkan:
“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara
terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik
dan bertanggung jawab.”
Konsep sistem pemasyarakatan bertujuan untuk memberikan bimbingan dan
pembinaan para narapidana, menurut Sahardjo terdapat prinsip-prinsip pokok dari konsep
sistem pemasyarakatan, yaitu:
a. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup
sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat;
b. Menjatuhkan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara;
c. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan;
d. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat
daripada sebelum ia masuk lembaga;
e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada
masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;
f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau
hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang
diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara;
g. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila;
h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah
tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat;
i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan;
j. Sarana phisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan
pelaksanaan sistem pemasyarakatan.19
3. Konsep Pembinaan.
Pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang sering disebut
therapeutics process, maka jelas bahwa membina narapidana itu sama artinya dengan
menyembuhkan seseorang dari penyakitnya, yaitu kesesatan hidupnya karena adanya
kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Untuk melaksanakan therapeutics process tentunya
Akademika Presindo, Hlm. 77.
19
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty,
Yogyakarta, Hlm. 142.

pembinaan dilakukan dengan sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan
asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan,
penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satusatunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu.20
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 1 Ayat (1), menyebutkan
“Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan
rohani dari narapidana.”
Dalam konsep pembinaan di Lapas, narapidana bukan saja obyek melainkan juga
subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan
kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas,
yang diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban sosial lain yang dapat
dikenakan pidana.
Oleh karena itu, proses pembinaan narapidana oleh Lapas dibutuhkan sarana dan
prasarana pendukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai, meliputi:
1. Sarana Pemasyarakatan, dan
2. Petugas Pembinaan Di Lapas.
E. Sistem Pemasyarakatan Sebagai Konsep Integral Dalam Melaksanakan Pembinaan
Terhadap Narapidana.
Lapas “dingin publikasi”, artinya tempat menghukum orang-orang bermasalah
sehingga ada pembiaran atas kondisi mereka dengan pendapat tidaklah mudah merubah
karakter dan paradigma pemikiran mereka (narapidana) dikarenakan dalam hidupnya orangorang tersebut tidak mempunyai banyak pilihan. Secara politik tidak banyak kondisi yang
layak diangkat ke media publik dengan asumsi tidak mempunyai nilai jual yang tinggi.
Seorang terpidana sejak dijatuhkannya amar putusan hakim berupa putusan hilang
kemerdekaan atau pidana penjara dan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka terpidana
akan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk menjalani hukuman dan
sekaligus mendapatkan pembinaan sampai waktu tertentu. Narapidana akan menjalani proses
pembinaan yang terbagi dalam tahap-tahap pembinaan dan pembimbingan yang dilaksanakan
dari satu tahap ke tahap berikutnya sesuai waktu yang dijalani dan hasil pembinaan yang
ditunjukkan.
Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999, khususnya Pasal 6 s/d Pasal 10
dinyatakan:
1. Kepala LAPAS wajib melaksanakan pembinaan Narapidana.

20

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1999, Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan, Jakarta, Hlm. 50.

2.

3.

Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala
LAPAS wajib mengadakan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian atas
kegiatan program pembinaan.
Kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diarahkan pada
kemampuan Narapidana untuk berintegrasi secara sehat dengan masyarakat.

Melihat ketentuan Ayat (2) maka Kalapas mempunyai kewenangan untuk
“perencanaan”, ditafsirkan perencanaan dilaksanakan berdasarkan kondisi riil yang
melingkupi setiap Lapas. Salah satu faktor penentu yang menciptakan karakter suatu Lapas
adalah “dominasi kasus”, artinya narapidana yang dihukum karena suatu kasus tertentu yang
kasus tersebut mempunyai populasi yang paling banyak dibanding dengan kasus lainnya.
Sehingga Kalapas dapat melakukan inovasi pembinaan sesuai kebutuhan dan dikoordinasikan
dengan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Depkumham.
Adapun tahap-tahap pembinaan dan pembimbingan tersebut adalah :
1. Pembinaan Tahap Awal.
Narapidana yang masuk ke Lapas, terlepas apakah narapidana baru atau pindahan dari
Rutan atau Lapas tertentu maka yang bersangkutan akan melewati serangkaian
pemeriksaan administratif-individual dengan teliti, terkait dengan:
1) Aspek Administratif, bahwa proses penerimaan dan pendataan awal dilaksanakan oleh
Bagian Register Pemasyarakatan. Diperiksa kelengkapan data kependudukan dan
penggeledahan terhadap barang-barang bawaan maupun badan terpidana untuk
memastikan tidak ditemukan barang-barang terlarang dan tidak diijinkan dibawa ke
dalam penjara (sel). Barang-barang bawaan yang tidak diperbolehkan dibawa masuk
kedalam sel maka disimpan secara baik oleh petugas register yang pada akhir masa
hukuman akan diberikan kepada narapidana yang bersangkutan atau diarahkan
dibawa pulang oleh keluarga narapidana tersebut atau sementara waktu disimpan
petugas yang nantinya akan diserahkan kepada keluarga narapidana.
2) Aspek Yuridis-Formal, kelengkapan berkas-berkas salinan putusan pengadilan,
seperti ; peraturan perundang-undangan yang dilanggar si terpidana, lama hukuman,
alasan penghukuman, residivis atau bukan residivis, berita acara serah terima
terpidana. Kode registrasi berdasarkan vonis hukuman :
a. B. 1: dipidana lebih dari 1 (satu) tahun;
b. B. 2.A: dipidana lebih dari 3 (tiga) bulan sampai 1 (satu) tahun;
c. B. 3.B: dipidana 1 (satu) hari sampai 3 (tiga) bulan;
d. B. 3.S: hukuman kurungan, hukuman penganti denda atau subsider.
3) Aspek Identitas Personal, mengambil sidik jari dan dicocokkan dengan sidik jari
dalam lampiran vonis hakim pengadilan, pas foto, ciri-ciri fisik baik alami atau
bawaan, apakah orang tersebut benar-benar yang terdaftar dalam vonis, wawancara
untuk mengetahui kondisi kejiwaan.
4) Aspek Kesehatan, diperiksa kesehatan phsykis, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan organ vital dan kulit-kelamin. Sifatnya untuk menemukan gejala-gejala
awal penyakit atau bahkan menemukan penyakit tertentu.

Proses selanjutnya disebut Masa Pengenalan Lingkungan atau Mapenaling.
Narapidana ditempatkan pada sel tersendiri (narapidana yang bersangkutan sementara waktu
dijadikan satu blok sel dengan narapidana yang menjalani mapenaling) terpisah dengan
narapidana lain yang telah lebih dahulu menghuni Lapas. Mapenaling wajib diikuti semua
narapidana baru, waktunya antara 1 (satu) bulan sampai dengan 2 (dua) bulan. Mapenaling
dijadikan dasar pertimbangan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) untuk nantinya apakah
akan memberikan hak-hak narapidana atau ditunda.
1) Masa pengenalan lingkungan atau Mapenaling, meliputi :
a) Kepribadian: membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan supaya menemukan jati-diri
sebenarnya terlepas dari sifat jahat yang pernah melingkupinya dan mampu menilai
hal benar dan salah.
b) Agama (sesuai agama masing-masing): reorientasi kembali kepada nilai-nilai hakiki
dari ajaran agama yang dianut oleh narapidana.
c) Hak dan Kewajiban: Lapas merupakan masyarakat mini atau laboratoium hidup mini
yang tugas utamanya menghilangkan residu yang menempel pada komponenkomponen yang ada di kelompok masyarakat tersebut.
d) Kesamaptaan: memupuk sikap disiplin dan pemahaman bahwa untuk mendapatkan
sesuatu kebutuhan ada tata cara yang baik dan lazim digunakan oleh masyarakat
sehingga perlu proses yang bertanggungjawab.
e) Etika: kebanyakan narapidana mempunyai nilai etika yang kurang namun jenis kasus
tertentu perwujudan etiket mereka sangat baik, misal penipuan-penggelapan, kasus
korupsi, kasus terorisme, dll.
2) Latihan Kriminon atau Tidak Jahat atau Crime Non.
Crime Non: memberikan pemahaman dan tekanan phsykologis pada pribadi si narapidana
supaya merasa bersalah dan akhirnya menyadari kesalahannya, sehingga dalam menjalani
masa hukuman akan dijalani dengan ikhlas, penuh tanggungjawab dan bermoral.
Instruktur adalah eks.narapidana, dipilih berdasar kriteria tertentu sejak eks.narapidana
masih jadi narapidana.
3) Pengenalan Ketrampilan Kerja atau PKK.
Memperkenalkan kegiatan-kegiatan ketrampilan yang terdapat di Lapas, walaupun belum
terlibat penuh tapi narapidana tersebut mulai membantu dari keberadaan kegiatan
ketrampilan yang ada. Tujuannya setelah selesai menjalani tahap mapenaling, akan
memiliki rencana kegiatan apa yang akan diikuti sesuai ketersediaan sarana ketrampilan
kerja.
Pembinaan Tahap Awal.
Pembinaan Tahap Awal dijalani sampai 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Pengamatan
terhadap narapidana meliputi kepribadian, motifasi kejahatan, lingkungan kejahatan dan
lingkungan kehidupan. Sedangkan untuk narapidana, mengenal lebih jauh situasi dan kondisi

Lapas, proses pembinaan dan hak-hak narapidana serta pembinaan pribadi dan pembinaan
kemandirian.
TPP akan memberikan rekomendasi, apabila hasil temuan dari TPP “negatif” maka
narapidana yang bersangkutan akan dibina kembali dalam masa Mapenaling sampai 1 (satu)
atau 2 (dua) bulan kedepan, apabila tahap kedua ini narapidana tetap sulit dibina atau tidak
bisa melewati crime non maka akan dipindah ke Lapas lain.
Apabila hasilnya “positif” narapidana akan ditentukan penempatannya baik nama
blok maupun nomor selnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 12
dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990
tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan, maka penempatan dilakukan dengan
memperhatikan penggolongan narapidana, yaitu: Jenis kelamin, Umur, Lama pidana yang
dijatuhkan, Jenis kejahatan, Residivis dan bukan residivis, dan Kriteria lainnya sesuai dengan
kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Tujuan pendataan dan pemisahan berdasarkan kategori, adalah :
1) Perlindungan harkat, martabat dan hak asasi manusia;
2) Melindungi dari dampak buruk kehidupan sosial di lembaga pemasyarakatan;
3) Melindungi dan menjaga nilai-nilai kehidupan pribadi ;
4) Optimalisasi pembinaan;
5) Meminimalkan permasalahan;
6) Memudahkan pengawasan.
Pembinaan Tahap Lanjutan.
1) Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½
(setengah) dari masa pidana, bahwa secara normal dijalani narapidana selama 1 (satu)
sampai 2 (dua) bulan saja selanjutnya menjalani masa pembinaan dan resosialisasi, yaitu
pada Tahap Pembinaan Lanjutan.
2) Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai
dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana, bahwa rentang waktu masa hukuman sesuai
sanksi pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. Setelah dijalani sampai ½ (setengah) dari
masa pidananya, pembinaan mulai diarahkan pada proses asimilasi dan tahap integrasi
awal dengan masyarakat luar dengan pengawasan minimum. Berupa cuti mengunjungi
keluarga dan kegiatan yang melibatkan masyarakat (community treatment).
Pembinaan Tahap Akhir.
Sejak berakhirnya tahap lanjutan kedua (telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa
hukumannya termasuk penggurangan masa hukuman yang diperoleh karena mendapatkan
remisi umum atau remisi khusus) sampai berakhirnya masa pidana dan/atau narapidana telah
memenuhi syarat-syarat pembebasan (pengembalian ke masyarakat). Pembinaan dilakukan
diluar Lapas yaitu oleh Balai Pemasyarakatan atau Bapas yang dilakukan dengan pemberian
Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB). Dalam hal-hal tertentu
pembinaan tahap akhir dilakukan di Lapas.
F. Metode Pembinaan Narapidana Dengan Sistem Pemasyarakatan.

Konsep pemasyarakatan yang berkembang pada arah pembinaan dengan
mengedepankan nilai-nilai community service atau Lapas terbuka.Masyarakat umum bebas
untukberinteraksi dengan narapidana dan petugas namun hanya di dalam area tersebut dan
mendapatkan pengawasan dari Polsuspas.
Adapun ruang lingkup Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
mencakup pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian, seperti Pembinaan
Kesadaran Beragama, Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, Pembinaan
Kemampuan Inteletual, Pembinaan Kesadaran Hukum dan Pembinaan mengintegrasikan diri
dengan masyarakat atau pembinaan sosial kemasyarakatan.
Pembinaan dan pembimbingan kemandirian, meliputi: Ketrampilan untuk mendukung
usaha-usaha mandiri, Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha indutri kecil, Ketrampilan
yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing dan Ketrampilan untuk mendukung
usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian (perkebunan) dengan menggunakan teknologi.
Orientasi pembimbingan dan pembinaan kemandirian diarahkan :
1) Praktis : setelah dipelajari langsung dapat dipraktekkan ;
2) Minim modal : dengan peralatan seadanya mampu mendukung dan menciptakan lapangan
kerja ;
3) Tidak melihat lokasi : bersifat fleksibel tanpa mempermasalahkan lokasi apalagi butuh
lokasi strategis ;
4) Prospek : prospek keberlanjutan usaha dan prospek membuka networking, sehingga
diharapkan media usaha tersebut mampu membuka hubungan sosial.
Dalam sistem pemidanaan dikenal ide individualisasi, artinya membina narapidana
sesuai dengan karakteristik narapidana secara pribadi. Terkait dengan ide individualisasi
pemidanaan maka titik-tolak pemahaman dimulai bahwa tujuan sistem pemasyarakatan
adalah pembinaan dan resosialisasi narapidana. Guna menjabarkan dan mengaktualisasikan
konsep pembinaan dan resosialisasi narapidana tersebut maka diperlukan Lapas dengan
karakter pembinaan dan berbagai jenis kegiatan pendukung yang mampu menterjemahkan
nilai-nilai yang terkandung dalamkonsep pembinaan dan konsep resosialisasi tersebut.
Bahwa ide individualisasi atau kategori penempatan narapidana sebenarnya
merupakan ide yang sudah lama dipikirkan dan juga sudah tertuang dalam Undang-Undang
Tentang Pemasyarakatan, namun dalam perkembangan ide individualisasi ini belum secara
konsisten dan terkonsep untuk diwujudkan dikarenakan berbagai kendala yang masih
melingkupinya. Misalnya kendala pendanaan, infrastruktur, sumber daya manusia, formulasi
kebijakan, penelitian yang berkelanjutan tentang ilmu penologi dan stigma buruk terhadap
narapidana.
Ide individualisasi merupakan konsep sistem pemasyarakatan yang dipandang baik
setidaknya dalam sudut pandang aspek keamanan, fokus pembinaan dan meminimalkan
pengaruh negatif yang mungkin terjadi antara sesama narapidana. Jenis kejahatan juga
merupakan salah satu karakteristik ide individualisasi pemidanaan dalam pembinaan
narapidana. Untuk itu di dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana haruslah dipisahpisahkan berdasarkan jenis kejahatannya. Konsep individualisasi tersebut dapat diwujudkan
dalam ketegorisasi:

1) Rumah Tahanan Negara atau Rutan, bahwa fungsi penjara untuk menempatkan tahanan.
Tahanan, adalah subyek hukum yang masih menjalani proses hukum atas perkara yang
didakwakan terhadapnya, atas kesalahannya belum mendapatkan kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan presumption not innocence yang bersangkutan tetap dianggap belum
bersalah sampai mendapatkan putusan pengadilan atas kesalahan yang didakwakan
terhadapnya. Sekaligus memenuhi alasan-alasan penahanan dalam KUHAP, Pasal 21
Ayat (1). Di dalam Rutan dapat ditempatkan narapidana dengan pidana jangka pendek,
yaitu narapidana yang dipidana paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.
2) Lembaga Pemasyarakatan Terbuka.
Fungsi LapasTerbuka (open prison)21 tidak bisa dilepaskan dari tahap-tahap
pemasyarakatan. Pembinaan bagi narapidana menurut sistem pemasyarakatan menitik
beratkan kepada upaya pemulihan kesatuan hubungan hidup dan kehidupan antara
narapidana dengan masyarakat (reintegrasi). Ada 3 (tiga) Lapas terbuka di Indonesia,
yakni; Lapas Terbuka di Jakarta, di Cinere, Lapas Terbuka Plantungan di Kendal Jawa
Tengah, dan Lapas Terbuka Nusakambangan di Cilacap Jawa Tengah.
Lapas terbuka dapat berpengaruh terhadap narapidana dalam proses pemasyarakatan,
yakni narapidana menjadi tidak terasing dari masyarakat, karena salah satu fungsi lembaga
pemasyarakatan terbuka adalah sebagai lembaga pembangunan yang mengikut sertakan
manusia narapidana menjadi manusia pembangunan yang produktif.
Selain itu, guna mengatasi kelebihan kapasitas maka bagi narapidana yang dijatuhi
pidana jangka pendek tidak harus masuk Lapas karena dapat menambah padatnya jumlah
narapidana yang berada di dalam Lapas, sehingga dapat membawa dampak negatif terhadap
narapidana.Adapun tujuannya mencegah agar jangan terjadi pemaksaan pengaruh dari
narapidana yang satu terhadap narapidana lainnya, maupun bentuk pemerasan terlebih-lebih
prisonisasi (Prisonitation).22
G. Kesimpulan
1. Lapas mempunyai tugas dan kewenangan yang berbeda dengan lembaga lainnya
dilingkup criminal justice system, bahwa Lapas merupakan muara terakhir sebagai tempat
untuk membina dan melakukan reorientasi dari narapidana. Sehingga dalam pelaksanaan
tugasnya Lapas menggabungkan antara kaidah-kaidah hukum normatif dengan aspek
sosio-phsykologis dari narapidana;
2. Pembinaan narapidana yang dilakukan dengan konsep monoton dan bersifat umum
dipandang tidak mampu secara optimal membentuk narapidana menjadi manusia-manusia
dengan memiliki bekal keterampilan dan kesadaran yang mendalam atas kesalahannya
dan keinginan menjadi manusia yang lebih baik, sehingga pada waktu nantinya kembali
menjadi anggota masyarakat betul-betul mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan
21

Pengertian lembaga pemasyarakatan terbuka dapat diambil padanannya dari: Prison Camp, Minimum
security camp for the detention of trustworthy prisoners who are often employed, on government projects.
Black’s Law Dictionary, Bryan A. Garner, editor inchhief, West Group, St. Paul, Min, 1999, Hlm. 121.
22
Prisonitation (prisonisasi), istilah yang digunakan oleh TP. Morris dalam bukunya yang berjudul
“Pentoville” (1963) untuk menggambarkan tingkah laku nyata narapidana yang bertujuan untuk menyesuaikan
diri dengan kehidupan penjara namun sebenarnya mereka menolak untuk mentaati aturan. Soerjono Soekanto
dan Pudji Santoso, 1985,Kamus Kriminologi, Ghalia, Jakarta, Hlm. 77.

hidupnya dan mampu memiliki kejiwaan dan emosional yang stabil sehingga tidak mudah
terhasut atau terbawa arus kesesatan.

DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001.
Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita,
1993.
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia,
Jakarta: Akademika Presindo, 1993.
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Yogyakarta: Liberty, 1986.

Pemasyarakatan,

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan
Penerbit Undip, 1996.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1999,
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemasyarakatan, Jakarta, 1999.
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2006.
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitersier Indonesia, Bandung: Armico, 1984.
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983.
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materiil, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005