Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pembinaan Narapidana Narkotika (Studi Pengadilan Negeri Sibolga dan Lembaga Pemasyarakatan Sibolga)

(1)

PERAN HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT TERHADAP

PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA

(Studi Pengadilan Negeri Sibolga dan Lembaga Pemasyarakatan Sibolga)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

OLOAN SIREGAR NIM : 070200244

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PERAN HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT TERHADAP

PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA

(Studi Pengadilan Negeri Sibolga dan Lembaga Pemasyarakatan Sibolga)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

OLOAN SIREGAR NIM : 070200244

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DR. M. Hamdan, SH, MH NIP: 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Nurmalawaty, SH, M.Hum DR. Marlina, SH, M.Hum NIP. 196209071988112001 NIP. 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

ABSTRAK

Oloan Siregar*

Nurmalawaty, SH, M.Hum** Dr. Marlina, SH, M.Hum***

*

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Pembimbing 2, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Hak dan kewajiban seseorang menjadi modal utama dalam pelaksanaan tugas. Tapi pada kenyataannya banyak sekali ditemukan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut sehingga menimbulkan berbagai penyelewengan terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban. Hal tersebut banyak sekali kita temukan di dalam pelaksanaan kerja para aparat penegak hukum. Salah satu nya adalah kinerja hakim khususnya hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana. Pada Prakteknya Hakim ini hampir tidak melaksanakan kegiatannya sesuai dengan yang diharapkan oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009. Pengamatan dan pengawas ini sangat di perlukan terhadap pembinaan narapidana khususnya terhadapa narapidana narkotika. Karena hal tersebut berpengaruh langsung terhadap dirinya dan masyarakat. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa dalam tindak pidana narkotika, bagaimanakah pelaksanaan peran hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana narkotika serta apakah hambatan dan upaya yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan peran dan tugas hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana.

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data sekunder dan menekankan pada langka-langka spekulatif teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tugas dan fungsi hakim tidak saja selesai sampai batas pemberian sanksi. Akan tetapi berlanjut kepada pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim terhadap pelaksanan putusan pengadilan yang diberikan kepada narapidana narkotika oleh jaksa sebagai eksekutor. Pengawasan dan pengamatan inilah yang menjadi permasalahan utama didalam skripsi ini. Dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang tidak mendukung dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pengamatan oleh hakim. Dimana, pada dasarnya pengawasan dan pengamatan ini sangat di butuhkan sekali dalam pelaksaan putusan pengadilan. Apakah putusan pengadilan itu telah dilaksanakan sebagaimana mestinya di lembaga permasyarakatan ataupun di lembaga rehabilitasi.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas berkat dan anugerahNya, penulis dapat menyelesaikan menyusun skripsi yang berjudul “Peran Hakim Pengawas dan Pengamat Terhadap Pembinaan Narapidana Narkotika (Studi Pengadilan Negeri Sibolga dan Lembaga Pemasyarakatan Sibolga)”.

Penyusunan ini dilakukan untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Untuk orang tua penulis yang sangat mendukung dan senantiasa memberi masukan atas pengerjaan skripsi ini. Dan untuk seluruh keluarga yang turut membantu atas penyelesaian skripsi ini, hanya beribu terima kasih yang dapat penulis ucapkan.

Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Dr.M.Hamdan, SH. M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana;

3. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul di awal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;


(5)

4. Ibu Dr.Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;

5. Bapak Malem Ginting, SH, M.Hum selaku Dosen Akademik penulis, dimana telah banyak membantu penulis selama di bangku perkuliahan;

6. Untuk semua Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terutama Dosen Jurusan Hukum Pidana;

7. Untuk orangtua yang paling saya cintai, untuk Almarhum bapak B.Siregar dan mama L. Br Siahaan, terima kasih buat doa dan dukungannya serta kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama ini dari membesarkan anakmu hingga mendapatkan gelar Sarjana Hukum ini, hanya ucapan terima kasih dan doa yang dapat penulis berikan;

8. Untuk kakak dan abang saya, Mona Siregar ,Lambok Siregar dan Magdalena Siregar atas bantuan dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

9. Keluarga Siregar dan Siahaan atas doa dan dukungannya;

10.Untuk anak-anak MTN yang dasyat (Inchen, Andika, Koling, Daniel dan teman lain nya) yang telah banyak membantu penulis dalam hal-hal semasa kuliah dan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, terima kasih sahabat-sahabatku, pertemanan yang paling dasyhat kudapat dari kalian semua;


(6)

11.Untuk pacar saya Mawi Anna Rumerah Berutu yang banyak membantu perkuliahan penulis dan penulisan skripsi dan yang telah memberikan semangat dan doa bagi penulis menyelesaikan skripsi ini; 12.Untuk teman-teman seangkatan stambuk 2007 (Andre, Putra, Nimrot, Andi, Ivan, Immanuel, Ignatius dan teman-teman lainnya), terima kasih atas doa dan dukungannya;

13.Untuk teman-teman akrabku di wamar ( Bang Tondy, Bang Ade, Bang Chandra, David, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu) terima kasih buat semua bantuan di dalam segala hal dan doa serta dukungannya;

14.Untuk teman-teman, kakanda-kakanda, adinda-adinda segerakan GMKI Komisariat Hukum USU terima kasih buat segala pengalaman dan doanya;

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya, meskipun penulis menyadari kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.

Medan, Juni 2011 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 4

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

1. Pengertian Hakim Pengawas dan Pengamat ... 5

2. Pengertian Narapidana dan Pembinaan Narapidana ... 6

3. Narkotika dan Perkembangan Hukumnya ... 13

F. Metode Penelitian ... 25

1. Jenis Penelitian ... 25

2. Metode Pengumpulan Data ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II : PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA ... 30

A. Ketentuan Hukum dan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Narkotika ... 30

B. Dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Sanksi Terhadap Terdakwa ke Lembaga Rehabilitasi ... 48


(8)

BAB III : PERAN HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT

TERHADAP PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA 56

A. Latar Belakang Pembentukan Lembaga Hukum Hakim Pengawas dan Pengamat ... 56

B. Peran Hakim Pengawas dan Pengamat di Dalam Pembinaan Narapidana Narkotika ... 58

C. Mekanisme Kerja Hakim Pengawas dan Pengamat Terhadap Pembinaan Narapidana di Lembaga Permasyarakatan ... 70

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN DAN UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM MELAKSANAKAN PERAN DAN TUGAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT TERHADAP PEMBINAAN NARAPIDANA 72 A. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat ... 72

1. Faktor Hukum... 72

2. Faktor Kelembagaan ... 76

B. Upaya yang Dapat Dilakukan Dalam Terhadap Pelaksaanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat Dalam Pembinaan Narapidana ... 79

1. Bidang Hukum ... 79

2. Bidang Kelembagaan ... 81

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 85


(9)

ABSTRAK

Oloan Siregar*

Nurmalawaty, SH, M.Hum** Dr. Marlina, SH, M.Hum***

*

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Pembimbing 2, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Hak dan kewajiban seseorang menjadi modal utama dalam pelaksanaan tugas. Tapi pada kenyataannya banyak sekali ditemukan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut sehingga menimbulkan berbagai penyelewengan terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban. Hal tersebut banyak sekali kita temukan di dalam pelaksanaan kerja para aparat penegak hukum. Salah satu nya adalah kinerja hakim khususnya hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana. Pada Prakteknya Hakim ini hampir tidak melaksanakan kegiatannya sesuai dengan yang diharapkan oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009. Pengamatan dan pengawas ini sangat di perlukan terhadap pembinaan narapidana khususnya terhadapa narapidana narkotika. Karena hal tersebut berpengaruh langsung terhadap dirinya dan masyarakat. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa dalam tindak pidana narkotika, bagaimanakah pelaksanaan peran hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana narkotika serta apakah hambatan dan upaya yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan peran dan tugas hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana.

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data sekunder dan menekankan pada langka-langka spekulatif teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tugas dan fungsi hakim tidak saja selesai sampai batas pemberian sanksi. Akan tetapi berlanjut kepada pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim terhadap pelaksanan putusan pengadilan yang diberikan kepada narapidana narkotika oleh jaksa sebagai eksekutor. Pengawasan dan pengamatan inilah yang menjadi permasalahan utama didalam skripsi ini. Dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang tidak mendukung dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pengamatan oleh hakim. Dimana, pada dasarnya pengawasan dan pengamatan ini sangat di butuhkan sekali dalam pelaksaan putusan pengadilan. Apakah putusan pengadilan itu telah dilaksanakan sebagaimana mestinya di lembaga permasyarakatan ataupun di lembaga rehabilitasi.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Berbeda dengan dahulu, peristilahan penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Istilah lembaga pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan narapidana kembali ke masyarakat. Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawahtawan keadilaan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat.

Kesadaran akan hak dan kewajiban setiap warga Negara terutama pada Negara yang sedang berkembang dan sedang membangun seperti Negara Indonesia, perlu ditingkatkan secara terus-menerus karena di setiap kegiatan maupun di setiap organisasi tidak dapat disangkal bahwa peranan hak dan kewajiban, amat menentukan dalam pencapaian tujuan.1

1

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Kata Pengantar, Jakarta, Sinar Grafika, 2010


(11)

Upaya penegakan hukum, dilakukan berdasarkan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara, dan juga kesadaran penggunaan kewenangan aparat penegak hukum, karena penyalahgunaan kewenangan tersebut selain sangat memalukan dan dapat merugikan keuangan Negara juga dapat mengakibatkan timbulnya kekhawatiran atau ketakutan warga jika berhadapan dengan aparat hukum.

Disinilah peran aparat hukum untuk meningkatkan kinerjanya agar tidak melakukan penyelewengan terhadap hak dan kewajiban, sehingga masyarakat dapat menjadikan aparat hukum sebagai pedoman untuk melaksanakan segala sesuatunya sesuai dengan aturan yang ada.

Salah satu kunci dalam penegakan hukum di Negara kita adalah hakim. Dimana hakim selaku pemimpin dalam sidang harus dapat menentukan mana yang salah dan mana yang benar di dalam suatu perkara yang dihadapi oleh masyarakat. Kesalahan hakim dalam memberikan keputusan sangat berpengaruh terhadap pihak yang dirugikan.

Fakta yang ada di lapangan, bahwa sangat banyak penyimpangan hak dan kewajiban yang dilakukan oleh hakim. Salah satunya adalah penyimpangan hak dan kewajiban yang dilakukan oleh hakim pengawas dan hakim pengamat khususnya pengawasan dan pengamatan terhadap narapidana narkotika. Dimana narapidana ini harus mendapat perhatian lebih dalam pelaksanaan sanksinya. Karena sangat banyak terjadi penyimpangan-penyimpang yang terjadi di lembaga permasyarakatan. Terlihat jelas bahwa hakim ini hampir tidak terlihat oleh masyarakat peranannya di dalam penegakan hukum.


(12)

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa hakim pengawas dan hakim pengamat tidaklah menjalankan hak dan kewajibanya sesuai Pasal 280 KUHAP. Dimana dalam pasal tersebut menyatakan bahwa :

1. Hakim pengawas dan hakim pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya

2. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga kemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya.

Sesuai dengan Pasal 280 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, bahwa hak dan kewajiban aparat penegak hukum tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Karena sangat jarang sekali pelaksanaan dari pada isi pasal di atas dilaksanakan oleh hakim pengawas dan pengamat. Oleh karena itu untuk mencapai penegakan hukum di Negara Indonesia ini, semua warga Negara baik itu aparatur pemerintahan, aparat kepolisian maupun TNI, masyarakat sampai kepada aparat penegak hukum itu sendiri secara bersama-sama melaksanakan hak dan kewajban dengan baik dan tidak melakukan penyimpangan terhadap kekuasaan ataupun jabatannya.

Latar belakang di atas menjadi landasan dalam penulisan skripsi ini, maka penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang “Peran hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana narkotika”.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti pada penelitian ini :

1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika?


(13)

2. Bagaimana pelaksanaan peran hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana narkotika?

3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan peran hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana serta upaya apa yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan peran hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dasar dan sebab pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika

2. Untuk mengetahui peran hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana narkotika

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan upaya yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan tugas hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana

D. Keaslian Penulisan

Dalam penyusunan karya ilmiah ini, pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada, baik melalui literatur yang telah diperoleh dari perpustakaan maupun dari media-media lainnya seperti internet.

Sepanjang pengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada tulisan karya ilmiah yang mengangkat judul “Peran Hakim Pengawas dan Pengamat Terhadap Pembinaan Narapidana Narkotika. Judul penulisan ini diangkat karena penulis ingin mengetehui lebih lanjut tentang Tugas, Fungsi, serta Peran Hakim Pengawas dan Pengamat Dalam Pembinaan Narapidana.


(14)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Hakim Pengawas dan Pengamat

Pengertian hakim pengawas dan pengamat tidak ada diatur dalam undang-undang akan tetapi menurut kamus pintar Bahasa Indonesia Perkataan “pengawas adalah merupakan kata dasar dari awas yang disertai awalan pe- dan akhiran -an yang secara umum diartiakan hati-hati, menjagai, mengamati”.2

Hakim Pengawas dan Pengamat (Wasmat) sebagaimana dijelaskan oleh Mardjono Reksodiputro merupakan suatu adaptasi dari lembaga serupa yang mulai berlaku di Perancis pada tahun 1959 yang dikenal dengan nama judge de l’application des paines, artinya hakim untuk penerapan hukuman.3

Selanjutnya T. Hani Handoko berpendapat bahwa pengawasan yang sekarang banyak digunakan istilah pengendalian adalah penemuan dan penerapan cara dan peralatan untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Pengawasan positif

Secara khusus pengertian hakim Wasmat tidak ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan, namun secara tersirat dari Pasal 227 ayat (1) KUHAP dapat diartikan hakim Wasmat itu adalah hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua pengadilan dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.

2

Sulchan Yasin, 1997, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Penerbit Amanah, Surabaya, hal. 20

3

Mardjono Reksodiputro, 1997, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, hal. 70


(15)

mencoba untuk mengetahui apakah tujuan organisasi dicapai dengan efisien dan efektif. Pengawasan negatif mencoba untuk menjamin bahwa kegiatan yang tidak diinginkan atau dibutuhkan tidak terjadi atau terjadi kembali. Fungsi pengawasan pada dasarnya mencakup 4 (empat) unsur yaitu : 1. Penetapan standar pelaksanaan

2. Penentuan ukuran-ukuran pelaksanaan

3. Pengukuran pelaksanaan nyata dan membandingkannya dengan standar yang telah ditetapkan, dan

4. Pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan bila pelaksanaan menyimpang dari standar.4

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pengawasan dan pengamatan itu adalah suatu tindakan yang sangat penting dilakukan untuk mengawasi suatu kegiatan yang terorganisir dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Demikianlah pentingnya hakim wasmat bagi pengawasan dalam pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009.

2. Pengertian Narapidana dan Pembinaan Narapidana

Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan pengertian narapidana adalah “Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan”.

4

T. Hani Handoko, 1997, Manajemen, Badan Press Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 25


(16)

Terpidana itu sendiri sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 1 angka 32 KUHAP dan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Pemasyarakatan adalah “seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Istilah narapidana tidak identik dengan istilah terpidana. Terpidana meliputi tidak hanya seseorang yang dipidana hilang kemerdekaan (narapidana), tetapi juga meliputi seseorang yang dipidana bukan hilang kemerdekaan, seperti orang yang dipidana denda. Seorang narapidana secara otomatis juga merupakan seorang terpidana, tetapi seorang terpidana belum tentu merupakan seorang narapidana. Bilamana seorang terpidana hilang kemerdekaan statusnya berubah menjadi narapidana, disebutkan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah pada saat terpidana diterima/didaftarkan di Lembaga Pemasyarakatan.

Narapidana sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah narapidana dewasa, disamping itu ada pula narapidana anak (anak didik pemasyarakatan) dan narapidana wanita. Di dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan :


(17)

Anak didik pemasyarakatan adalah :

a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasar putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS paling lama sampai berumur 18 tahun (delapan belas) tahun;

b. Anak Negara,yaitu anak yang berdasar putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk di didik dan ditempatkan di LAPAS paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun ;

c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orangtua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk di didik di LAPAS paling lama sampaia berumur 18 (delapan belas) tahun.

Pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan secara berdayaguna untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.5

5

Sulchan Yasin, 1997, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Penerbit Amanah, Surabaya Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yang telah melakukan tindak pidana dan dijatuhi vonis oleh pengadilan akan menjalani hari-harinya di dalam Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan sebagai perwujudan dalam menjalankan hukuman yang diterimanya. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu, orang tersebut akan menyandang status sebagai narapidana dan menjalani pembinaan yang telah diprogramkan.


(18)

Pada awalnya pembinaan narapidana di Indonesia menggunakan sistem kepenjaraan. Model pembinaan seperti ini sebenarnya sudah dijalankan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dasar hukum atau Undang-undang yang digunakan dalam sistem kepenjaraan adalah

Reglemen penjara, aturan ini telah digunakan sejak tahun 1917. Bisa dikatakan bahwa perlakuan terhadap narapidana pada waktu itu

adalah seperti perlakuan penjajah Belanda terhadap pejuang yang tertawan. Mereka diperlakukan sebagai obyek semata yang dihukum kemerdekaannya, tetapi tenaga mereka seringkali dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan fisik. Ini menjadikan sistem kepenjaraan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Dengan demikian tujuan diadakannya penjara sebagai tempat menampung para pelaku tindak pidana dimaksudkan untuk membuat jera (regred) dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Untuk itu peraturan-peraturan dibuat keras, bahkan sering tidak manusiawi.

Gagasan yang pertama kali muncul tentang perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan adalah dikemukakan oleh Sahardjo. Menurut Sahardjo tujuan pemasyarakatan mempunyai arti :

“bahwa tidak saja masyarakat yang diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna


(19)

dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara ... Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana penyiksaan, melainkan pidana hilang kemerdekaan ... Negara mengambil kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dalam masyarakat.”6

Sistem pemasyarakatan akan mampu merubah citra negatif sistem kepenjaraan dengan memperlakukan narapidana sebagai subyek sekaligus sebagai obyek yang didasarkan pada kemampuan manusia untuk tetap memperlakukan manusia sebagai manusia yang mempunyai eksistensi sejajar dengan manusia lain.

Sistem pemasyarakatan menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 adalah :

“Suatu tatanan mengenai arahan dan batasan serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab”.

6


(20)

Sistem ini menjanjikan sebuah model pembinaan yang humanis, tetap menghargai seorang narapidana secara manusiawi, bukan semata-mata tindakan balas dendam dari negara. Hukuman hilang kemerdekaan kiranya sudah cukup sebagai sebuah penderitaan tersendiri sehingga tidak perlu ditambah dengan penyiksaan serta hukuman fisik lainnya yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Peranan sistim kepenjaraan terhadap pembinaan narapidana untuk membina dirinya sendiri sama sekali tidak diperhatikan. Narapidana juga tidak dibina tetapi dibiarkan, tugas penjara pada waktu itu tidak lebih dari mengawasi narapidana agar tidak membuat keributan dan tidak melarikan diri dari penjara. Pendidikan dan pekerjaan yang diberikan hanyalah sebagai pengisi waktu luang, namun dimanfaatkan secara ekonomis. Membiarkan seseorang dipidana, menjalani pidana, tanpa memberikan pembinaan tidak akan merubah narapidana. Bagaimanapun narapidana adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan ke arah perkembangan yang positif, yang mampu merubah seseorang menjadi produktif.

UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan pada pasal 14, sangat jelas mengatur hak-hak seorang narapidana selama menghuni Lembaga Pemasyarakatan yaitu :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan

b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani. c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.


(21)

e. Menyampaikan keluhan.

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.

g. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya

h. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang telah dilakukan. i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat. l. Mendapatkan cuti menjelang bebas.

m. Mendapatkan hak-hak lainnya sesuai perundangan yang berlaku. Pembina narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang dan harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana. Ada empat komponen penting dalam membina narapidana yaitu :

a. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri

b. Keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau keluarga dekat

c. Masyarakat, adalah orang-orang yang berada di sekeliling narapidana pada saat masih di luar Lembaga Pemasyarakatan/Rutan, dapat masyarakat biasa, pemuka masyarakat, atau pejabat setempat.

d. Petugas, dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas Lembaga Pemasyarakatan, Rutan, BAPAS, hakim dan lain sebagainya.7

7

Ibid


(22)

Sistem pemasyarakatan, bertujuan untuk melakukan pembinaan dan bimbingan, dengan tahap-tahap admisi/orientasi, pembinaan dan asimilasi. Pada tahap pembinaan, narapidana dibina, dibimbing agar dikemudian hari tidak melakukan tindak pidana lagi, sedang pada tahap asimilasi, narapidana diasimilasikan ke tengah-tengah masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan. Hal ini sebagai upaya memberikan bekal kepada narapidana agar ia tidak lagi canggung bila keluar dari lembaga pemasyarakatan.

3. Narkotika dan Perkembangan Hukumnya

Dari literatur lama, dapat kita ketahui bahwa pada saat itu tidak dibedakan secara jelas antara narkotika dan psikotropika. Setidak-tidaknya pada saat itu kedua masalah tersebut dikelompokkan menjadi satu.8

Menurut Smith kline dan french Clinical Staff membuat defenisi “Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi saraf sentral. Dalam defenisi narkotika inisudah termasuk jenis candu dan turun-turunan candu (morphine, codein, heroine) dan candu sintesis (meperidine dan methadone).”9

Sedangkan defenisi lainnya dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku “Narcotic Identifiction Manual” antara lain menerangkan tentang :

8

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Bandung, 2003, hal. 33

9


(23)

“bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah candu, ganja, cocaien. Zat-zat bahn mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni

morphine, heroine. Codeine, dan hashish, cocaine, dan termasuk juga

narkotika sintesis yang menghilangkan zat-zat. Obat-obat yang tergolong dalam hallucinogen, depressant dan stimulant”.10

a. Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintesis. Yang termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu,

morphine, heroin, ganja, hashish, codein, cocaine. Narkotika alam ini

termasuk dalam narkotika sempit. Sedangkan narkotika sintesis adalah termasuk di dalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat, yaitu : hallucinogen, depressant dan stimulant.

Dari kedua defenisi tersebut, M. Ridha Ma’roef menyimpulkan :

b. Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Berbahaya apabila disalahgunakan.

c. Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat-obat bius atau obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs.11

Di Indonesia pada waktu itu narkotika golongan alam digolongkan dalam obat-obatan daftar O, dan narkotika sintesis digolongkan dalam obat-obatan daftar G. Karena kebanyakan orang tidak tahu suatu obat dikategorikan dalam daftar O atau daftar G. Maka mereka menggunakan istilah baru : Obat yang disalahgunakan (drugs abuse).

10

Ibid, hal. 34

11


(24)

Obat yang dilahgunakan secara klinik dapat dibagi dalam 4 kelompok : 1. Obat narkotik : candu, morphine, heroine dan sebagainya 2. Obat halusinogen : ganja, LSD, Mescaline dan sebagainya 3. Obat depresan : obat tidur, obat pereda dan obat penenang 4. Obat stimulan : amfetamin, phenmetrazine dan sebagainya.12

Menurut Sudarto pengertian narkotika berasal dari kata Yunani

“narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa, namun menurut B. Simanjuntak mengatakan bahwa narkotika berasal

dari kata Narcissus, sejenis tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat membuat orang menjadi tidak sadar.13

Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaiut dengan cara memasukkan ke dalam tubuh.

14

a. Mempengaruhi kesadaran

Istilah narkotika disini bukanlah “narcotics” pada Farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drugs”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu :

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia

12

Ibid, hal. 35

13

Ibid, hal. 35

14


(25)

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa : 1. Penenang

2. Perangsang (bukan ransangan sex)

3. Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).15

Dalam bagian pembahasan pada tulisan ini, penulis mencoba membandingkan Undang-undang Narkotika yang pernah berlaku di Indonesia dimulai dari Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika sampai dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam perbandingan kali ini, yang digunakan acuan atau parameter pembanding adalah mengenai permasalahan penyidikan dan ketentuan pidana.

Pada dasarnya kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan narkoba di Indonesia sudah sejak lama dilakukan. Diawali dengan berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Stbl. 1927 No. 278 jo. No. 536). Ordonansi ini kemudian diganti dengan UU No. 9 Tahun 1976 tentang narkotika. Selanjutnya undang-undang ini diganti menjadi UU No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika sampai dengan munculnya UU No. 35 tahun 2009 sebagai pembaharuan terbaru dari undang-undang tentang Narkotika.

15


(26)

Pada UU Nomor 9 tahun 1976, masalah penyidikan diatur pada Bab V tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di depan Pengadilan, sebagaimana disebutkan pada pasal 25 ayat (2) bahwa Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan terhadap tindak pidana yang menyangkut narkotika dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Satu hal yang perlu kita cermati bahwa Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 ini berlaku sebelum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP disahkan, artinya ketentuan mengenai beracara dalam pidana belum berlaku sebagaimana KUHAP yang ada saat ini. Selanjutnya, ketentuan mengenai penyidik yang berwenang melakukan penyidikan kaitannya dengan tindak kejahatan Narkotika mengacu pada undang-undang nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2289). Di lain pihak pada UU No. 22 tahun 1997 peranan Badan Narkotika Nasional tidak diatur dalam perundang-undangan tentang narkotika. Pada UU No. 35 tahun 2009, secara jelas peranan dan kewenangan dari BNN sebagai Badan Nasional diatur sedemikian rupa terutama mengenai kewenangan penyidikan. Pada UU No. 22 tahun 1997, penyidikan hanya dilakukan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan PPNS sesuai pasal 65, sedangkan pada undang-undang terbaru dikatakan pada pasal 81 bahwa Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan


(27)

undang-undang ini, ditambah dengan PPNS tertentu. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih. Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan

penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Selanjutnya, teknik penyidikan ini juga membuka peluang terhadap perluasan alat bukti elektronik sebagaimana yang tercantum dalam pasal 86 ayat (2) yang menyatakan bahwa : Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :

1. tulisan, suara, dan/atau gambar;

2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau

3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.


(28)

Perluasan terhadap alat bukti khususnya yang menyangkut alat bukti elektronik ini memang sangat dibutuhkan, hal ini mengingat sebagai salah satu tindak kejahatan, peredaran narkotika merupakan jenis kejahatan dalam bentuk jaringan dimana antara para pelaku sering tidak bertemu secara face to face bahkan nyaris tidak saling mengenal satu dengan yang lain, dan komunikasi diantara para pelaku menggunakan media alat komunikasi elektronik seperti handphone maupun media chatting. Ketentuan mengenai penyidikan dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 jika dicermati maka akan terlihat mengenai peranan Badan Narkotika Nasional yang semakin memiliki kewenangan dalam hal melakukan penyidikan walaupun tidak menghapus kewenangan penyidik Polri sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian diatas. Jika kita melihat dan membandingkannya dengan UU No. 9 tahun 1976 maka hal itu sangat terlihat perbedaan signifikan, dimana pada UU No. 9 tahun 1976 kewenangan penyidikan sangat bertumpu pada penyidik Kepolisian terlebih lagi saat itu kejahatan Narkotika masih tergabung dalam kejahatan konvensional lainnya, dimana Polri belum memiliki fungsi teknis Narkoba sebagaimana yang dimiliki Polri saat ini (Direktorat Narkoba). Pada UU No. 9 tahun 1976 dikatakan pada Pasal 30 bahwa Selain kepada penyidik umum yang mempunyai wewenang dalam penyidikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, kepada pejabat kesehatan tertentu dapat diberi wewenang penyidikan


(29)

terbatas. Pasal tersebut kemudian dijelaskan ialah memberikan wewenang penyidikan terbatas, karena keahliannya dapat membantu dalam memperlancar pemeriksaan. Wewenang penyidikan yang diberikan kepada pejabat kesehatan meliputi :

a) Menyita atau memerintahkan penyerahan semua barang-barang yang bersangkutan dengan penyalahgunaan narkotika.

b) Minta memperlihatkan semua dokumen-dokumen yang menurut pandangan mereka diperlukan untuk menjalankan tugas dengan baik. c) Memasuki semua tempat yang diperlukan untuk menjalankan tugas

dengan baik. Mereka yang menjalankan tugas ini dapat minta bantuan pejabat-pejabat lain yang mempunyai wewenang.

Ketentuan pidana pada undang-undang nomor 9 tahun 1976 mengacu pada pelanggaran sebagaimana dimaksud pada pasal 23, yaitu :

(1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja. Dalam hal perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja maka dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.


(30)

(2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. Dimana dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman

Ganja serta dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

(3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika. Dimana dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja dan dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

(4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika. Dimana dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja dan dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur


(31)

hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

(5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. Dimana dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja dan dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

(6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. Dimana dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman

Ganja dan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,-

(lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.


(32)

(7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya

sendiri. Dimana dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau

tanaman Ganja dan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Kondisi ini mengalami perubahan seiring dengan semakin meningkat dan berkembangnya kejahatan Narkotika di Indonesia. Pada bagian ketentuan pidana ini telah terjadi beberapa perubahan yang cukup prinsipal dan mendasar dari UU No 22 tahun 1997 ke UU No 35 tahun 2009 ini, dimana pada undang-undang terdahulu jumlah pasal dalam ketentuan pidana ini hanya berjumlah 23 pasal dan berkembang menjadi 35 pasal pada undang-undang terbaru.Secara umum UU No 35 tahun 2009 ini memiliki ancaman hukuman pidana penjara yang lebih berat daripada UU No 22 tahun 1997 demikian pula dengan ancaman hukuman denda yang diberikan juga lebih berat. Beberapa pokok perubahan tersebut diantaranya adalah :

a. Penggunaan sistem pidana minimal

Pada undang-undang terbaru dikenal sistem pidana minimal dimana pada undang-undang sebelumnya hal tersebut tidak ada. Hal ini terutama pada para pelaku penyalahgunaan narkotika Golongan I.


(33)

b. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melanggar penggunaan narkotika baik jenis Golongan I , II, maupun III dibandingkan UU No. 22 tahun 1997,misalnya untuk Golongan I baik itu menyimpan,

membawa maupun memiliki dan menggunakan menjadi minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, kemudian di ikuti dengan semakin

beratnya pidana denda dari Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) menjadi minimal Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) dan maksimal Rp. 8.000.000.000 (delapan milyard rupiah).

c. Semakin beratnya hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang banyak/jumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap narkotika Golongan I yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon (jenis tanaman) atau barang bukti melebihi 5 gram (untuk jenis bukan tanaman) maka pelaku di pidana dengan pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 1/3.

d. Selanjutnya bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Pasal 127 ayat (3) UU No 35 tahun 2009).

e. Yang cukup menarik adalah apa yang tertera dalam pasal 128 UU No. 35 tahun 2009 dimana orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang tidak melaporkan maka dapat dipidana dengan pidana kurungan 6 bulan atau denda 1 juta rupiah (ayat 1), sedangkan untuk pecandu narkotika dibawah umur dan telah dilaporkan


(34)

sebagaimana pasal 55 ayat (1) maka dia tidak dapat dipidana, kemudian untuk pecandu narkotika yang telah cukup umur dan sedang menjalani rehabilitasi medis juga tidak dituntut pidana (ayat 3).16

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam rangka penulisan skripsi ini adalah melaui metode dengan cara yuridis normatif. Jenis penelitian yuridis normatif yang dipergunakan dalam penulisan ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peran hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana narkotika, penelusuran terhadap sistematika hukum, dan penelusuran terhadap penyesuaian peraturan-peraturan hukum serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya.17

Penelitian yuridis normatif ini dilakukan dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan judul skripsi ini baik yang bersifat teoritis ilmiah, serta dapat menganalisa masalah-masalah yang dibahas dalam permasalahan skripsi ini.

16

http://ferli1982.wordpress.com/2011/01/04/perkembangan-uu-narkoba-dari-waktu-ke-waktu/

17

Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 41


(35)

2. Metode Pengumpulan Data

Di dalam penelitian pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview. Ketiga alat tersebut dapat dugunakan secara bersama-sama atau masing-masing.18

a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera.

Studi dokumen atau bahan pustaka merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan sistem analisis terhadap data-data yang diperoleh.

Dalam penulisan skripsi ini alat yang digunakan dalam upaya untuk mendukung penulisan dan pemecahan permasalahannya adalah dengan menggunakan alat studi dokumen ataupun disebut dengan data sekunder yaitu penelitian dengan menggunakan bahan-bahan pustaka yang telah tersedia. Data sekunder antara lain mencakup tentang dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, ensiklopedia dan sumber-sumber tertulis lainnya yang mendukung terhadap skripsi ini.

Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah :

b. Baik bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan disiapkan oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpul, pengelola, analisa maupun terhadap konstruksi data.

18


(36)

Dari sudut tipe-tipenya maka data sekunder dapat dibedakan antara lain : 1. Data sekunder yang bersifat pribadi, yang antara lain mencakup :

a. Dokumen pribadi, seperti surat surat dan buku harian

b. Data pribadi yang tersimpan di lembaga dimana yang bersangkutan pernah bekerja atau sedang bekerja

2. Data sekunder yang bersifat publik mencakup :

a. Data arsip yaitu data yang dapat dipergunakan untuk kepentingan ilmiah oleh para ilmuan.

b. Data resmi pada instansi pemerintah, yang kadang-kadang tidak mudah untuk diperoleh, oleh karena kemungkinan bersifat rahasia. c. Data lain yang dipulikasikan seperti yurisprudensi Mahkamah Agung.

Selanjutnya untuk memperoleh data pendukung dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara melakukan observasi (studi riset), dan juga wawancara secara mendalam dengan narasumber yang berkenaan dengan judul skripsi ini dengan mempergunakan petunjuk umum wawancara yang telah disiapkan terlebih dahulu.

3. Analisis data yang digunakan

Analisis data terdiri dari 2 jenis, antara lain :

a. Analisis data secara kualitatif yang bertujuan dan bermanfaat untuk melakukan analisis terhadap literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet bahkan terhadap norma-norma hukum yang dilakukan secara menyeluruh dan merupakan suatu kesatuan yang berkesinambungan dan saling terkait.


(37)

b. Analisis data secara kuantitatif dimana dalam memperlakukan data ukuran kuantitatif yang lazim harus dipergunakan, kecuali untuk atribut yang tidak dapat dikuantitatifkan seperti ton, kilogram, milimeter per detik, ihm, dan sebagainya harus selalu dipergunakan. Oleh karena itu, harus dihindari ukuran-ukuran semisal sejauh mata memandang, sehitam aspal, sejauh sebatang rokok dan sebagainya. Kuantitatif yang termuda adalah dengan menggunakan ukuran nominal, ragking dan rating.19

Analisis data yang dipergunakan penulis adalah analisis data secara kualitatif, dimana penulis membuat tulisan ini berdasarkan literatur yang ada seperti buku, undang-undang dan sebagainya.

G. Sistematika Penulisan

Dalam rangka memberikan gambaran yang jelas dari maksud dan tujuan serta hubungan antara bagian yang terpenting dalam tulisan ini, maka sistematika

penulisan skripsi ini dibagi dalam bab-bab dan masing-masing bab dibagi ke dalam sub yang secara garis besar terdiri dari :

BAB I Bab ini di mulai dengan mengemukakan latar belakang permasalahan, perumusan permasalahan, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan. BAB II Pada bab ini mengemukakan tentang ketentuan hukum dan dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap tindak pidana narkotika serta dasar pertimbangan hakim menjatuhkan sanksi terhadapa terdakwa ke lembaga rehabilitasi.

19


(38)

BAB III Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang dibentuknya lembaga hakim pengawas dan pengamat dalam pembinaan narapida, kemudian dilanjutkan dengan peran hakim pengawasa dan pengamat terhadap pembinaan narapidana serta mekanisme kerja hakim pengawas dan pengamat dalam pembinaan narapidana.

BAB IV Pada bab ini menjelaskan tentang hambatan hambatan yang dihadapi oleh hakim pengawas dan pengamat serta upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan tugas terhadap pembinaan narapidana BAB V Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan penyimpulan dari

seluruh bab-bab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban dari permasalahan dan kemudian dibuat saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi ini.


(39)

BAB II

PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN

DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Ketentuan Hukum dan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Narkotika

Hukuman atau pidana yang dijatuhkan adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih dahulu telah tercantum dalam undang-undang pidana, artinya jika tidak ada undang-undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.20

1. Sudarto, menyatakan bahwa pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.

Bab I pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut nullum delictum

nulla poena sine praevia lege poenali, yang pada intinya menyatakan bahwa

tidak ada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Jadi disinilah letak perbedaan istilah hukum dan pidana. Artinya adalah bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya. Beberapa ahli hukum mengemukakan mengenai pidana, hukum, dan hukum pidana, diantaranya :

20


(40)

2. Sedangkan tentang hukum, Simorangkir dalam bukunya Pelajaran Hukum

Indonesia menyebutkan bahwa hukum sebagai peraturan-peraturan

yang sifatnya memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu.21

Pada zaman sekarang ini, tindak pidana semakin meningkat. Hal ini dapat dibuktikan dari semakin banyaknya kasus-kasus yang dihadapi, khususnya tentang penyalahgunaan narkotika. Dalam melaksanakan putusan, hakim berpedoman kepada Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika sebagai dasar pertimbangannya memberikan sanksi.

Masyarakat modern sekarang ini dimana kehidupan itu sudah sangat rumit, maka diperlukan aturan-aturan yang mengatur kehidupan para warga atau masyarakat, apalagi jika diamati bahwa dirasakan adanya perubahan-perubahan kondisi sosial dalam masyarakat begitu cepat.22

“Akan tetapi, jika dilihat secara sosiologis bahwa masyarakat pun harus bertanggung jawab pula atas timbulnya kejahatan tersebut, sebab masyarakat itu juga merupakan korban dari kejahatan, dengan pengertian bahwa tidak mungkin terjadi kejahatan jika tidak menimbulkan korban, meskipun ada beberapa kejahatan yang tidak menimbulkan korban di pihak lain (crime without victim), seperti perjudian, prostitusi dan penyalahgunaan obat-obat terlarang”.23

21

Ibid, hal. 36

22

Ibid, hal. 26

23


(41)

Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika disamping mengatur penggunaan narkotika, menetapkan perbuatan-perbuatan yang dilarang berhubungan dengan narkotika, yang bilamana dilakukan merupakan perbuatan penyalahgunaan narkotika yang tergolong tindak kejahatan.

Adapun pasal-pasal yang menjadi acuan atau dasar pertimbangan hakim dalam memberikan sanksi terhadap pelaku adalah sebagai berikut :

Pasal 111

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I

dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).


(42)

Pasal di atas diterangkan bahwa kegiatan menanam, memiliki sampai dengan menyediakan narkotika golongan I merupakan tindak pidana. Hal tersebut disamakan dengan kegiatan produksi dimana di dalam ketentuan umum Undang-undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009 menyebutkan bahwa kegiatan produksi merupakan kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat dan menghasilkan narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami ataupun sintesis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk narkotika.

Pasal 112

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).


(43)

Penjelasan terhadap pasal di atas, narkotika golongan I yang bukan tanaman memiliki arti bahwa narkotika tersebut dihasilkan melalui proses kimia secara farmakologi yang sering disebut dengan istilah Napza, yaitu kependekan dari Narkotika Alkohol Psikotropika dan zat adiktif lainnya.

Pasal 113

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 menjelaskan tentang pengetian impor adalah kegiatan memasukkan narkotika dan prekusor narkotika ke dalam daerah pabean sedangkan mengekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dan prekusor narkotika dari daerah pabean. Kegiatan impor dan ekspor narkotika dan prekusor narkotika tersebut dapat di legalkan melalui surat persetujuan impor dan ekspor oleh menteri.


(44)

Pasal 114

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram,

pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 menjelaskan bahwa pasal diatas mengacu pada peredaran narkotika. Dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 menjelaskan tentang peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatandan pengemangan ilmu dan teknologi. Dan pasal 38 Undang-undang nomor 38 Tahun 2009 menerangkan bahwa setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.


(45)

Pasal 115

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,-

(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 menjelaskan, transito narkotika harus dilengkapi dengan dokmen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari pemerintah negara yang mengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.


(46)

Pasal 116

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal di atas mengacu pada sesorang yang melakukan perbuatan tindak pidana narkotika dengan melibatkan orang lain untuk melakukan kejahatan tersebut, dan yang dimaksud dengan cacat permanen dalam pasal tersebut adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang berifat tetap atau tidak dapat dipulihkan/disembuhkan berdasarkan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.


(47)

Pasal 117

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal di atas tidak jauh berbeda maknanya dengan Pasal 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Hanya saja dalam Pasal 117 dimaksudkan kepada narkotika untuk golongan II, sedangkan dalam pasal 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dimaksudkan kepada narkotika golongan I. Pasal 118

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).


(48)

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal ini juga tidak jauh berbeda dengan Pasal 113 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Perbedaannya hanya terletak pada penggolongan narkotika. Dalam Pasal 113 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 mengacu pada narkotika golongan I

Pasal 119

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,-

(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).


(49)

Pasal ini mengacu pada peredaran narkotika untuk golongan II, dimana dalam Pasal 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 telah dijelaskan terlebih dahulu mengenai peredaran narkotika. Hanya saja dalam Pasal 114

Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 mengacu pada narkotika untuk golongan I.

Pasal 120

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dijelaskan bahwa kegiatan transito harus dilengkapi dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika mendapat izin dari pemerintah yang mengekspor narkotika tersebut dan sebaliknya untuk kegiatan transito impor narkotika, juga harus mendapat izin dari pemerintah pengimpornya.


(50)

Pasal 121

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal di atas ditujukan terhadap orang yang mengikutsertakan orang lain untuk secara bersama-sama melakukan tindak pidana narkotika, serta mengakibatkan orang lain tersebut mati atau cacat permanen, cacat fisik, dan/atau cacat mental yang bersifat tetap atau tidak dapat disembuhkan atau dipulihkan.

Pasal 122

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,-

(empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah).


(51)

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal di atas tidak jauh berbeda pengertiannya dengan Pasal 112 dan 117 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Hanya saja pada pasal 122 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 mengacu untuk jenis narkotika golongan III sedangkan Pasal 122 dan 177 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 mengacu kepada narkotika untuk golongan I dan II.

Pasal 123

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).


(52)

Pasal di atas di tujukan terhadap narkotika untuk golongan III. Agar hal diatas dapat dilegalkan, maka stiap kegiatan diatas haruslah terlebih dahulu mendapat persetujuan yang sah dari menteri

Pasal 124

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal di atas dikhususkan terhadap peredaran narkotika untuk golongan III saja, berbeda dengan Pasal 133 dan 118 Undang-undang Nomor 35

tahun 2009. Pasal tersebut mengacu pada penggolongan narkotika untuk golongan I dan II.


(53)

Pasal 125

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,-

(empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Kegiatan mentransito dalam pasal diatas ditujukan kepada jenis narkotika untuk golongan III dan menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 agar kegiatan diatas dapat dilegalkan, haruslah setiap kegiatan tersebut mendapatkan izin dari pemerintah yang melakukan kegiatan tersebut.

Pasal 126

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).


(54)

(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal diatas berdasarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 ditujukan kepada seorang yang melakukan tindak pidana narkotika yang melibatkan orang lain dalam kegitannya atau menimbulkan cacat permanen, cacat fisik atau pun cacat mental yang bersifat tetap dan tidak dapat dipulihkan/disembukan.

Pasal 127

(1) Setiap Penyalahguna :

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.


(55)

Jadi dari ketentuan pasal undang-undang narkotika di atas jelas terlihat ada beberapa macam perbuatan yang berhubungan dengan larangan penyalahgunaan narkotika. Akan tetapi, untuk memperkecil peluang penyalahgunaan narkotika oleh orang atau badan/lembaga, mereka di beri hak oleh undang-undang untuk berurusan dengan pemanfaatan atau penggunaan narkotika, dalam Undang-undang No. 35 Tahun 200924

1. Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu bpengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri.

tersebut pada : Pasal 13

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Disamping pasal-pasal di atas yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam melakukakan putusan terhadap terdakwa yang melakukan penyalahgunaan narkotika, penulis juga ingin sedikit mengutarakan tentang hak kewajiban hakim dalam melaksanakan tugasnya. Di dalam buku Ooemar Seno Adji, faktor peradilan dalam soal “rechtsvinding” yang merupakan suatu terminologi yang bersumber pada Prof. Paul Scholten, seperti diketahui menggambarkan tentang pembentukan undang-undang dan hakim (pidana) sebagai aplikator atau penerap hukum,

24


(56)

yang tidak mengecualikan persoalan penghukuman dalam hal ini. Diketahui bahwa hakim sekarang dipandang bukan lagi sebagai “des etres ininimees” yang “prononces les paroles de la loi” : ”loi” yang sewaktu masa Montesquieu dipandang lengkap dan sempurna.25

25

Oemar Senoadji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta : Erlangga, 1979, hal. 4

Lama kelamaan kita terpental jauh dari gambaran montesquiue,dimana hakim itu tugas nya adalah sekedar subsumsi dari fakta, di bawah peraturan perundang-undangan yang hendak diterapkan, sekedar mengadakan suatu syllogisme dengan mayor dan minor conclusionnya, dan dengan demikian sekedar melaksanakan “schablonenarbeit”. ”Open system

van het recht” seperti di introdusir oleh Paul Scholten yang menumbuhkan soal

“rechtvinding”. Ia melebarkan soal-soal metode interprestasi, tidak saja pada metode klasik seperti interprestasi gramatica, historisch systematisch, analogisch (yang tidak diperkenankan dalam hukum pidana). Bahkan Scholten berbicara soal interprestasi sosiologisch, jika ia mencari sesuatu pemecahan yang memuaskan dan menyesuaikan, sedapat mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, khususnya dalam hukum pidana dihadapkan kepada kita interprestasi metode baru yang kita kenal sebelumnya. Interprestasi merupakan suatu banding terhadap perundang-undangan yang baru yang belum berlaku bagi kasus yang bersangkutan, adalah suatu metode yang kita kenal dalam yurisprudensi pada waktu-waktu ahkir ini. Interprestasi perbandingan hukum khususnya dalam hukum lalu lintas pidana adalah suatu metode yang tidak begitu asing lagi dan yang oleh Mahkamah Agung pernah dipergunakan sebagai landasan kasasi dalam perkara mengenai “haatzaai-artikelen.” Suatu tujuan restriktif dan bukan extensi


(57)

diperkirakan oleh hakim dengan mempergunakan interprestasi creatif, dimana ia membaca dalam suatu peraturan pidana suatu unsur, yang tidak begitu tegas dicantumkan di dalamnya.26

B. Dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Sanksi Terhadap Terdakwa ke Lembaga Rehabilitasi

Setiap perbuatan tindak pidana pada akhirnya bermuara pada sanksi. Sanksi tersebut disusun dan diberikan kepada terdakwa sebagai pelaku tindak pidana. Akan tetapi, sebelum sanski tersebut diberikan kepada terdakwa, terlebih dahulu seorang hakim harus melakukan perumusan sanksi mengacu pada undang-undang yang ada sebagai dasar untuk penjatuhan vonis.

Dalam hal ini, penulis ingin mengutarakan sedikit tentang penyebab hakim menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika. Penulis juga ingin mengutarakan kapan hakim menjatuhkan sanksi penjara atau rehabilitasi terhadap seorang terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika.

Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur bahwa : Pasal 54

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

26


(58)

Pasal 55

1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 56

1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.

2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 57

Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.


(59)

Pasal 58

Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.

Kemudian di dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 dinyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Selanjutnya, didalam Rancangan KUHP Tahun 2008 dalam pasal 110 juga telah mengatur mengenai tindakan rehabilitasi tersebut yaitu :

1. Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang : a. Kecaduan alcohol, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya

dan/atau;

b. Mengidap kelainan seksual atau mengidap kelainan jiwa

2. Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah ataupun swasta.27

Perbedaan pengaturan tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam Rancangan Undang-undang KUHP (RUU KUHP) tahun 2008 dengan Undang-undang No. 35 tahun 2009 adalah dimana di dalam RUU KUHP mengatur mengenai sanksi tindakan dapat dikenakan kepada pembuat tindak pidana kecanduan narkotika. Sedangkan di dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009 berkaitan dengan kewenangan hakim dalam menjatuhkan bentuk putusan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.

27


(1)

tersebut secara perlahan-lahan akan hilang secara alami. Namun untuk mempercepat prosesnya perlu diadakan program-program yang mengarah kepada demitologisasi image tersebut. Plan action untuk menyamakan visi dan persepsi diantara pengadilan dan Lapas tentang tugas Hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana perlu dilakukan dan petugas Pemasyarakatan diikutsertakan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang menyangkut pembinaan narapidana.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian bab-bab terdahulu, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan oleh penulis :

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika adalah berdasarkan undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut dan pelaksanaannya diatur di dalam kitab undang-umdang hukum acara pidana. Sebelum hal di atas dilakukan,hakim juga dapat melihat fakta yang ada atau

terdapat dalam pengadilan. Apa yang dijadikan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum menjadi petimbangan hakim yang mengacu

kepada undang-undang yang ada.

Selanjutnya, dalam memutuskan pemidanaan terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika, hakim dapat memberikan pidana

kurungan atau justru hanya diserahkan ke lembaga rehabilitasi. Apapun putusan yang diberikan oleh hakim terlebih dahulu hakim

melihat fakta yang terdapat di pengadilan. Apakah sanksi yang sepantasnya yang diberikan kepada terdakwa berdasarkan undang-undang yang ada. Kemudian sebisa mungkin hakim melakukan penafsiran hukum terhadap tuntutan jaksa penuntut.


(3)

2. Yang mendasari pembentukan hakim pengawas dan pengamat adalah undang-undang karena dirasa amat perlu lembaga ini dibentuk. Mengingat putusan pengadilan terhadap terdakwa agar dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Dimana hak dan kewajiban narapidana dapat terlaksana sesuai putusan pengadilan.

Peran hakim pengawas dalam pengawas dan pengamat adalah sejauhmana narapidana melakukan hak dan kewajibannya baik di lembaga permasyarakatan ataupun di lembaga rehabilitasi. Apakah narapidana tersebut telah melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah diputus pengadilan.

Dalam pelaksanaan putusan pengadilan tersebut secara administrasi jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh jaksa, kepala lembaga permasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam hal register pengawasan dan pengamatan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, hakim pengawas dan pengamat memeriksa dan menandatangani register pengawasan dan pengamatan tersebut setiap kali ada pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim pengawas dan pengamat memeriksanya secara berkala dan tidak teratur. Sedangkan inti dari pengamatan yang dilakukan adalah mengumpulkan data-data mengenai perilaku narapidana dan mengadakan evaluasi mengenai hubungan antara perilaku narapidana dengan pidana yang dijatuhkan.


(4)

3. Hambatan yang dihadapi oleh hakim pengawas dan pengamat terhadap pembinaan narapidana narkotika adalah minimnya jumlah hakim di pengadilan tidak sebanding dengan kinerja hakim yang sebenarnya, dimana disatu sisi hakim bertugas mengadili perkara, disisi lain hakim tersebut juga melakukan pengawas dan pengamatan terhadap putusan yang dijatuhkan kepada terpidana narkotika.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memaksimalkan kuantitas hakim di pengadilan agar setiap hak dan kewajiban hakim tersebut dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan yang ada.

B. Saran

1. Pada bagian ini penulis ingin sedikit memberikan saran atau komentar bahwa kiranya hakim sebelum menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika, haruslah mencari penafsian hukum secara mendalam. Putusan hakim tersebut tidak merugikan pihak siapapun.karena belum tentu tuntutan yang diberikan oleh jaksa sesuai dengan fakta yang ada yang dapat merugikan terdakwa.

2. Peran hakim pengawas dan pengamat ini sebenarnya sangat perlu. Teramat disayangkan kinerja hakim pengawas dan pengamat ini tidak berjalan dengan baik. Penulis mengharapkan agar undang-undang segera membentuk ketentuan lebih jelas terhadap peran dan tanggung jawab hakim pengawas dan pengamat agar kinerja dari hakim pengawas dan pengamat dapat berjalan secara efektif.


(5)

3. Hambatan-hambatan yang terlebih dahulu di tulis oleh penulis sekiranya dapat diselesai atau mendapat perhatian khusus oleh aparatur pemerintahan bidang hukum, agar apa yang menjadi tujuan dari pembentukan lembaga hakim pengawas dan pengamat ini dapat tercapai.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Bandung, 2003 Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta : Djambatan

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2010

Mardjono Reksodiputro, 1997, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan

Pidana, Jakarta

Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta

Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Jakarta : Erlangga, 1984

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 1984

Sulchan Yasin, 1997, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Penerbit Amanah, Surabaya

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 1985 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat

T. Hani Handoko, 1997, Manajemen, Badan Press Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta


Dokumen yang terkait

Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong

1 52 193

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM REHABILITASI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta)

0 10 72

PELAKSANAAN TUGAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT BAGI NARAPIDANA TINDAK PIDANA PELAKSANAAN TUGAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT BAGI NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA.

0 2 12

PENULISAN HUKUM PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SLEMAN.

0 4 13

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI DI Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen).

0 0 13

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI DI Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen).

0 1 19

EFEKTIVITAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA EFEKTIVITAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA.

0 2 9

PENDAHULUAN EFEKTIVITAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA.

1 7 18

PENDAHULUAN EFEKTIVITAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA.

0 5 19

PELAKSANAAN TUGAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PADANG (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Kelas IA Padang).

0 0 9