BOOK Sanusi Model Pendekatan Fenomena

MODEL PENDEKATAN FENOMENA
KOMUNIKASI TERAPEUTIK
KEMOTERAPI DI BANJARMASIN
Sanusi
Ilmu Komunikasi-FISIP Universitas Islam Kalimantan
Muhammad Arsyad Al Banjary Banjarmasin
[email protected]

Pendahuluan
Komunikasi kesehatan merupakan sebuah kajian dan kebutuhan
utama dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan masyarakat.
Terutama untuk pengobatan penyakit kanker yang mengancam semua
orang, tanpa kecuali, dan biasanya tanpa terdeteksi dengan baik.
Kondisi sakit seorang yang menderita kanker sangat mempengaruhi
emosional dan alur pikir, diperlukan keseimbangan yang potisif untuk
bisa bersinergi menyelesaikan masalahan penyakit tersebut. Berbagai
upaya yang bisa dlakukan tenaga medis untuk menanggulangi penyakit
kanker, antara lain dengan pengobatan oral, operasi mengangkat
penyakitnya, kemoterapi, radiasi, terapi hormonal, terapi biologik dan
berbagai pengobatan tradisional.
Fenomena perjuangan pasien penderita kanker dengan pengobatan

kemoterapi yang biasanya proses waktu lama, memerlukan komunikasi
terapeutik yang efektif dalam berbagai proses penyembuhan, juga
dibutuhkan pemahaman dan kepatuhan yang tinggi diantara pihak
yang terlibat. Komunikasi terapeutik yang dilakukan dokter dan tenaga
medis serta keluarganya sangat mempengaruhi percepatan dan kualitas
penyembuhan pasien.
Berbagai bentuk atau model pendekatan inilah yang juga perlu
diperdalam untuk lebih memberikan kontribusi positif dalam
penyembuhan pasien. Kemampuan komunikasi terapeutik yang dimiliki
dokter merupakan kompetensi klinis yang harus dimiliki selain dasar
kemampuan klinis yang dimiliki, kemampuan menyelesaikan masalah

311

Kolase Komunikasi di Indonesia

dan pemeriksaaan isik. Keterampilan / kompetensi komunikasi seorang
dokter merupakan kunci efektifnya tindakan klinis yang dilakukan oleh
dokter. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa tujuan
akhir pendidikan dokter adalah meghasilkan, yaitu dokter sebagai

seorang care provider, decision maker, manager, community leader, dan
communicator.
Fenomena komunikasi terapeutik bagi pasien yang menjalani
kemoterapi dalam penyembuhan kanker terdapat sangat banyak
permasalahannya. Secara personal, masalah tersebut bisa dari pasiennya
sendiri, dari lingkungan keluarganya atau bisa dari petugas kesehatan.
Setiap pasien tersebut akan mendapatkan berbagai masalah yang
berbeda yang sesuai dengan cara pandangnya, memberikan makna
terhadap permasalahan yang dihadapi dan solusinya, pemahaman serta
pendekatan bagaimana untuk mencapai tujuan dalam menyembuhkan
penyakit tersebut, juga berbeda.
Penelitian ini mensintesis makna dan esensi fenomena komunikasi
terapeutik yang dilakukan dokter dan petugas kesehatan kepada pasien.
Model pendekatan dalam penyembuhan kanker tersebut terdapat beberapa
macam yang bisa dilakukan oleh petugas kesehatan yaitu : Model Informasi,
Model Paternalistik, dan Model Kebersamaan. Sistem penyembuhan
sangat berbeda dan tergantung pada pengetahuan, pengalaman, tradisi
dan budaya dalam memaknai kondisi sakit (sick) seseorang. Perbedaan
pengetahuan dan pengalaman tersebut terbagi pada sistem biomedis,
sistem naturalistik, dan sistem personalistik. Sistem biomedis yang menjadi

pegangan petugas kesehatan, dalam penyembuhan penyakit harus dengan
menggunakan obat-obatan atau zat kimia untuk melawan intervensi virus
atau bakteri yang menyerang manusia sebagai penyebab penyakitnya.
Sedangkan sistem naturalistik, menganggap bahwa manusia sakit karena
terjadi ketidakseimbangan fungsi yang bekerja dalam tubuh manusia, oleh
sebab itu penyembuhannya bisa dilakukan dengan cara menyeimbangkan
fungsi yang bekerja dalam tubuh manusia, diyakini ada unsur panas (Yang)
dan unsur dingin (Yin). Bila kedua unsur ini seimbang, maka orang akan
sehat, demikian juga kalau sakit, maka harus diketahui unsur mana yang
kurang berfungsi, sehingga harus dicarikan unsur penyeimbangnya.
Menurut data survei awal di Unit Kemoterapi Rumah Sakit Umum
Ulin Banjarmasin tanggal 12 Mei 2015, jam 10:30 sampai jam 15:45.

312

Sanusi, Model Pendekatan Fenomena...

Jumlah pasien kemoterapi di Rumah Sakit Umum Ulin Banjarmasin
setiap hari 16 orang sesuai dengan ketersediaan ranjang pasien, seorang
pasien diberikan kemoterapi setiap 20 hari sekali, sebanyak 6-8 kali.

Berarti jumlah pasien kemoterapi kanker yang terdata minimal 16
orang/hari x 20 hari = 320 orang.
Data lain didapat dari petugas medis di ruang Edelweis Rumah
Sakit Umum Ulin Banjarmasin 29 Januari 2016. Selama dua bulan
terdapat 367 orang pasien yang menjalani kemoterapi, tercatat 4,5
persen meninggal dunia, jumlahnya sama dengan yang berhasil sehat,
terdapat 11,9 persen pasien tidak aktif lagi melanjutnya pengobatan
kemoterapi, dan selebihnya masih dalam proses kemoterapi. Dari
jumlah pasien yang tidak aktif lagi dan yang gagal serta yang masih
dalam proses penyembuhan, diperlukan data dan fakta mengapa hal ini
terjadi, diluar dari kemampuan manusia untuk mengatasi hambatan
komunikasi diantara pasien dengan petugas kesehatannya.
Keberhasilan proses penyembuhan kanker dengan kemoterapi
ini, sangat ditentukan banyak hubungan, antara lain : efektivitas
komunikasi dan intensitas hubungan pihak medis dengan pasien
sangat menentukan pemahaman pasien dalam proses penyembuhan
kanker tersebut. Efektivitas komunikasi yang terjadi sangat ditentukan
bagaimana pihak medis dan pasien memaknai komunikasi yang
dipergunakan. Dalam melakukan komunikasi yang benar juga
ditentukan oleh proses pemahanan budaya yang dimiliki kedua

belah pihak, bahasa serta kondisi situasional yang bisa mendukung
komunikasi terjadi dengan efektif.
Penderita kanker di dunia, termasuk di Indonesia cukup
mengkhawatirkan. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI tahun 2015 :
“Setiap tahun diperkirakan 12 juta orang di dunia menderita kanker
dan 7,6 juta diantaranya meninggal dunia. Diperkirakan pada tahun
2030 kejadian tersebut dapat mencapai hingga 26 juta orang dan 17
juta di antaranya meninggal akibat kanker, dan peningkatan lebih
cepat terjadi di negara miskin dan berkembang. Laporan Global
Burden Cancer (Globocan, 2012)  memperkirakan insidens kanker di
Indonesia sebesar 134 per 100.000 penduduk. Estimasi ini tidak jauh
berbeda dengan  hasil  Riskesdas 2013 yang mendapatkan prevalensi
kanker di Indonesia sebesar 1,4 per 1000 penduduk.”

313

Kolase Komunikasi di Indonesia

Prinsip sebesar apapun permasalahan bangsa, jika dipikirkan

dan diselesaikan bersama, sebagai hakekat dari komunikasi yaitu
kebersamaan, maka permasalahan tersebut akan menjadi ringan.
Penyakit kanker, setiap saat bisa menyerang siapun juga tanpa
kecuali. Sikap yang paling baik adalah dengan mengetahui berbagai
karakteristik kanker secara dini, dan menjaga pola hidup yang sehat.
Lebih mengkhawatirkan lagi menurut Surveillance and Health
Services Research Program, di Amerika 600.920 orang diperkirakan
meninggal karena kanker pada tahun 2017, yang berarti sekitar 1.650
orang per hari, kanker adalah penyebab kematian kedua, setelah
penyakit jantung, dan menyumbang hampir 1 dari setiap 4 kematian,
disebabkan akibat kanker pada tahun 2017.
“About 600,920 Americans are expected to die of cancer in 2017,
which translates to about 1,650 people per day (Table 1, page 4).
Cancer is the second most common cause of death in the US, exceeded
only by heart disease, and accounts for nearly 1 of every 4 deaths.
Table 3 (page 6) provides estimated cancer deaths by state in 2017”
Begitu mengkhawatirkan penyakit kanker ini bagi kehidupan
umat manusia, sesuai dengan Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI tahun 2015, bahwa prevalensi kanker di Indonesia sebesar
1,4 per 1000 penduduk.

Cara pengobatan yang dikembangkan dunia kedokteran untuk
mengatasi kanker, antara lain dengan kemoterapi, tetapi apapun
alternatif yang digunakan dalam penyembuhan penyakit, pasti
menimbulkan sisi negatifnya. Dampak pemberian kemoterapi yang
cukup tinggi adalah tingkat kecemasan kematian bagi penderita, bagi
mereka yang mampu bertahan akan mengalami efek samping yang juga
cukup menyiksa. Saat menjalani proses kemoterapi, biasanya mereka
mengalami, mula-mual yang hebat, nafsu makan berkurang, tenaga
hampir habis terkuras. Kemudian sesudah menjalani kemoterapi akan
mengalami kebotakan dan tentu juga berat badan drastis turun.
Pada akhirnya, kemoterapi merupakan upaya bersama, suatu “joint
efort”. Keluarga, kerabat, atasan beserta rekan kerja amat perlu untuk
mendukung dan berperan dalam proses. Pasien adalah tokoh utama
dalam proses ini, dituntun oleh tim dokter dengan perawat terampil
yang biasa menghadapi pasien kanker serta menguasai perihal obat314

Sanusi, Model Pendekatan Fenomena...

obatan antikanker serta efek samping. Namun, keberhasilan menjadi
tanggungjawab semua orang disekeliling pasien, karena pasien akan

berhasil dengan dukungan orang-orang disekitarnya. 
Penelitian berkaitan fenomena komunikasi terapeutik ini
diharapkan memberikan solusi dengan memberikan model komunikasi
yang tepat dan mudah dipahami dan dilakukan oleh masyarakat. Model
pendekatan komunikasi terapeutik yang didapatkan tentunya sesuai
dengan nilai-nilai budaya yang sedang berkembang dalam penanganan
penyembuhan penyakit selama ini.
Komunikasi terapeutik yang dilakukan tim medis dan keluarga
serta sahabatnya sangat diperlukan untuk membantu melawan
penyakit kanker, sebagaimana dari pengalaman Anne E. Frahm,
(2007:163) yang menulis pengalamannya dalam buku “Melawan
Kanker”.
“Saya menderita kanker yang menyebar dari payudara ke bahu,
iga, tengkorat, dan tulang punggungnya; tulang belakngnya
bahkan patah akiat tekanan. Seperti kebanyakan pasien lainnya,
respon pertamanya adalah menjalani semua bentuk pengobatan,
pembedahan, biopsy, dan kemoterapi. Namun semuanya
menunjukkan prognosis sia-sia. Penyakit ganas itu masih berakar
dalam sumsum tulang”.
Kondisi Anne sudah dinyatakan tak ada harapan bisa bertahan

untuk hidup, dan dr. Schubert yang menanganinya sudah angkat
tangan. Program transpalantasi sumsum tulang sudah dilakukan di
Rumah Sakit Midwestern, kemoterapi juga diberikan sampai jenuh
dan membunuh bagian dalam tubuh, menghancurkan sel darah yang
baik dan sistem kekebalan.

Metode
Penelitian ini adalah penelitian fenomenologi komunikasi terapeutik
dengan mengambil beberapa informan dari pasien kemoterapi dan
dokter spesialis kanker di Rumah Sakit Umum Ulin Banjarmasin. Data
pasien kemoterapi selama 2016 sebanyak 875 orang, diambil sebagai
sasaran sampel 52 orang yang memenuhi kreteria dalam penelitian ini,
yaitu mereka yang sudah lebih dari 6 kali kemoterapi, punya alamat di
sekitar Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala.

315

Kolase Komunikasi di Indonesia

Penelitian dilakukan wawancara mendalam dengan pasien yang bersedia

menjadi informan. Jumlah informan yang efektif bisa diwawancarai
adalah sebanyak 13 orang, sesuai dengan sifat penelitian fenomenologi,
dan sudah cukup data untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian
ini. Beberapa sasaran sampel lainnya tidak memenuhi syarat : sebanyak 12
orang pasien sudah meninggal dunia, sebagian sudah pindah alamat, dan
ada yang memang tidak bersedia diwawancarai.
Secara bersamaan kurun waktunya juga dilakukan wawancara dan
observasi dengan dokter spesialis kanker yang paling senior dan paling
banyak menangani pasien dengan kemoterapi. Observasi mendalam
dilakukan dengan mendampingi dokter tersebut secara intensif ketika
melakukan komunikasi kepada pasiennya. Peneliti mengeksplorasi sikap
dokter sub spesialis Homadialisis (Dr. dr. Muh. Darwin Prenggono,
SpPD(K), SpHom., PINASIM), dengan bantuan rekaman dan kamera
video untuk merekam apa yang dikomunikasikan dan bagaimana dialog
yang terjadi dengan pasiennya. Bersamaan juga memperhatikan reaksi
pasien dan dokternya selama terjadi komunikasi terapeutik tersebut.
Penelitian ini telah mendapat izin dari Direktur Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin melalui Kepala Bidang
Diklit RSUD Ulin Banjarmasin yang waktunya sampai penelitian
ini selesai dilakukan. Tempat penelitian dilakukan di ruang praktek

dokter, di ruang perawatan Edelwes Rumah Sakit Umum Daerah Ulin
Banjarmasin, dan juga diberbagai alamat rumah pasien.
Analisis data dilakukan dengan analisis fenomenologis, dimana
sistem analisa tidak bebas nilai dengan mempertimbangkan nilai-nilai
kemanusiaan, etika, dan juga efesien serta efektif. Data yang didapat dari
berbagai hasil wawancara, setelah ditranskrip, sebelum di reduksi dan
eliminasi dilakukan epoche atau diam, untuk mampu mengungkapkan
pengertian dari berbagai pengalaman dokter dan pasien, yang
menekankan pada aspek subyektif dari perilaku informan tersebut.
Kemudian dilakukan bracketing dan horizontalizing, pemadatan makna
data dan saling konirmasi sesuai dengan unit makna. Selanjutnya
dilakukan reduksi fenomenologi dan dengan menggunakan intuisi
untuk mendiskripsikan data secara tekstural maupun struktural. Pada
akhirnya diperoleh sintesa makna dan esensi fenomena komunikasi
terapeutik penyakit kanker tersebut.

316

Sanusi, Model Pendekatan Fenomena...

Hasil
Dari sampel sasaran yang menjadi target penelitian ini, berjumlah
52 orang terdiri dari 12 orang laki-laki dan 40 orang perempuan.
Dilihat dari jumlah yang meninggal, sama banyaknya antara laki-laki
dan perempuan, yaitu masing-masing 6 orang. Data ini menunjukkan
bahwa sangat besar resiko kematian akibat kanker tersebut.
Persentase dari sampel perempuan 40 orang, yang menderita
kanker payudara sangat besar yaitu 26 orang (65 %), data ini dengan
perbandingan jumlah penderita kanker perempuan yang dilaporkan
Kementerian Kesehatan tahun 2015. Jumlah perempuan yang
meninggal 6 orang, dan 5 diantaranya (83%) penderita kanker payudara
dan sisanya 1 orang karena kanker tulang.
Sedangkan dari 12 orang sampel laki-laki, terdapat 6 orang yang
meninggal. Penyebab kematiannya dari 2 kanker paru, dan masingmasing satu dari kanker (limpoma, nasofaring, lidah, pancreas, dan
rekti). Ini menunjukkan bahwa bagi laki-laki mempunyai persentase
lebih tinggi terhadap kematian akibat kanker, hal ini disebabkan antara
lain, laki-laki sebagai tulang punggung mencukupi keperluan keluarga,
sehingga mereka berobat secara intensif apabila memang sudah pada
stadium lanjut.
Komunikasi antara dokter dengan pasien berjalan dengan penuh
keakraban, semua penjelasan yang berkaitan dengan penyakit pasien
sangat jelas, karena setiap sesi penjelasan, atau setiap mau mengakhiri
dialog tersebut selalu ditanyakan, “apakah ada pertanyaan?”.
Dokter selalu memberi penjelasan dengan memberikan contohcontoh yang mudah dimengerti oleh pasien. Ketika menjelaskan rencana
pengambilan contoh sumsum tulang belakang, sementara banyak
informasi bahkan tindakan laboratorium tersebut menimbulkan rasa
yang sangat menyakitkan, sebagai tindakan awal untuk pasien leukimia.
Dokter tersebut menjelaskan bahwa sesuatu itu adalah hal yang sangat
wajar, tetapi dalam pelaksanaannya tidak sakit karena “nanti disuntik
terlebih dahulu disekeliling bagian yang akan diambil, dan itupun hanya
memasukkan ujung jarum untuk mengambil cairan beberapa cc saja”.
Selanjutnya dokter menjelaskan bahwa tindakan pemeriksaan sampel
untuk laboratorium tersebut dimaksudkan untuk memastikan apakah
“mesin” pembuat darah tersebut masih bisa berfungsi dengan baik ?,
317

Kolase Komunikasi di Indonesia

atau mungkin ada beberapa komponen “pabrik” tersebut sudah aus,
atau mungkin saja “para pekerja dalam pabrik” tersebut malas bekerja,
atau bisa jadi “bahan baku” darahnya yang kurang memadai. Kalau itu
diketahui sudah normal semua, maka analisa berikutnya, apakah ada
“hambatan dalam penyaluran darah tersebut”. Kalau terjadi hambatan
dalam distribusi darah, apakah karena penumpukkan kolesterol pada
saluran vena, maka bagian ini harus diterapi. Kemudian kalau itu sudah
dipastikan semua baik, dokter menjelaskan bahwa tindakan selanjutnya
adalah mensintesa jaringan metabolismenya. Tapi dijelaskan lagi
oleh dokter, tindakan analisa pemeriksaan metabolism itu mahal
biayanya, namun hasil semuanya akan jelas, terukur, lebih detail, dan
“tindakan pengobatannya sudah sangat jelas”. Sampai disini, dokterpun
tidak membiarkan pasiennya dalam keadaan bingung, beliau tetap
memberikan ruang bagi pasien untuk terlebih dahulu berkonsultasi
dengan keluarganya mengenai rencana tindakan yang harus dijalani.
Dokter mengulangi lagi dan menanyakan apakah ada sesuatu yang
kurang jelas dan perlu ditanyakan. Disini sangat jelas betapa dokter
bisa memahami situasi yang sedang dihadapi oleh pasiennya, dan
sangat jelas kelihatan bahwa pasien dan keluarga pendampingnya bisa
memahami apa yang dijelaskan oleh dokter. Semua menjadi jelas, dari
tindakan yang akan dijalani, efek samping, dan juga berapa biaya yang
diperlukan, serta tahapan-tahapan waktu dalam prosedur pengobatan
penyakit yang diderita oleh pasien.
Dokter selalu memberikan kepastian ilmiah tentang tindakan
medis yang dilakukannya. Ketika pasien menanyakan sesuatu dan
dengan nada meragukan tentang obat yang diberikan dokter, maka
dengan cepat dokter menjelaskan, bahwa “apa yang dia berikan kepada
pasien semua berupa obat paten”. Sebagai seorang profesonal “saya
tidak mau mempertaruhkan ilmu saya, kalau dengan pengobatan
yang sangat menentukan ini menggunakan obat dibawah standar”.
Selanjutnya dokter menekankan bahwa “Anda jangan under estimate,
Anda berobat di luar negeri, bukan segala-galanya bagus, di Indonesia
bahwa pemerintah tidak mau mempertaruhkan harkat pengobatan
sedemikian rendah. Anda tahu bahwa pengobatan BPJS yang
dilakukan ini, satu kali tindakan nilai obatnya diatas lima juta rupiah.
Bahkan ini, sambil dokter mengangkat plastik berisi kotak obat, “saya
kasihkan contohnya, ini obat pasien, dan harganya 27 juta sebulan,
318

Sanusi, Model Pendekatan Fenomena...

dia minum selama 3 tahun, semua ini kalau BPJS, gratis”, kemudian
dokter mengangkat kantongan satu lagi, “ini harganya 29 juta sekali
kemo”. Tapi semua itu gratis, “semua dibayar cash oleh pemerintah
kalau menggunakan BPJS”. Sementara pasien sedikit terdiam, dan
menanyakan kepada dokter, berapa anggaran kemoterapi untuk kasus
yang dihadapi pasien. Dokternya menjelaskan bahwa “bisa sampai 13
jutaan, kalau mau beli, beli aja gitu”. Dialog yang dilakukan dokter
tersebut sangat menunjukkan betapa kredibilitas seorang professional,
dialognya mengalir, dan semua dapat dimengerti dengan baik oleh
pasiennya. Ditegaskan lagi oleh dokter bahwa “Didalam ilmu kedokteran,
ada namanya SOP, itu apa artinya kalau pasien dapat penyakit A,
maka jelas obatnya adalah untuk A, tidak bisa jadi B, itu namanya
berantakan”. Dokter sambil memberikan penjelasan kepada pasien,
dengan memperhatikan catatan medis pasien tersebut yang dibawa
dari salah satu dokter klinik di Singapura, “ini saya tidak mengerti, saya
tidak tahu, mengapa penyakit ibu diberi obat ini, menurut catatan ini,
bahwa digunakan obat NPC, ini sangat cocok untuk paru, bukan untuk
nasofaring, ini yang menyebabkan pengobatan itu mahal”. Selanjutnya
pada keputusan terakhir dokter masih memberikan ruang, agar pasien
bisa berpikir tenang dan dapat konsultasi dengan keluarganya tentang
alternatif tindakan medis yang akan dipilih.
Penjelasan dokter mengenai berbagai penyebab penyakit dan
rencana tindakan medis kepada pasiennya, biasanya disertai dengan
menulis di kertas dengan memberikan diagram dan alur rencana
tindakan medis. Diagram yang ditulis dokter tersebut, beberapa bagian
diberikan lingkaran-lingkaran untuk lebih memberikan kejelasan
kepada pasiennya, sesekali dokter memperagakan dengan gerakan
gerakan tangan dan telunjuknya, sambil memegang atau menunjuk
bagian-bagian tubuh yang dimaksud.
Pendekatan dokter dalam memberikan penjelasan penyakit kanker
kepada pasiennya, juga dipengaruhi oleh pengalaman dan status
pendidikan dari dokter yang bersangkutan. Ini sangat menentukan
efektivitas komunikasi yang dilakukan oleh dokter. Pendekatan dokter
yang belum sub spesialis, kalau sudah menemukan pasien sudah
menjalani dua kali paket kemoterapi ( 2 x 6 periode kemoterapi ), maka
beberapa pasiennya dianjurkan untuk meneruskan pengobatannya ke
Rumah Sakit yang dianggap lebih lengkap lagi, dianjurkan untuk segera
319

Kolase Komunikasi di Indonesia

berobat ke pulau Jawa
( RS Ciptomangunkusumo Jakarta, atau RS
Karang Menjangan Surabaya ). Berbeda dengan dokter yang sudah Sub
Spesialis (S3), beliau menganggap bahwa obat itu dimana-mana sudah
sama, ada SOP-nya, semuanya bisa di lihat pada pedoman pengobatan
atau bisa dilihat melalui website medical instructions and treatment
atau yang sejenisnya, bahkan dokter tersebut menyampaikan bahwa
kita tidak kalah keberhasilan pengobatan jika dibandingkan dengan
pengobatan dari luar negeri. Terbukti dengan beberapa pasien yang
diterapi oleh dokter tersebut; “ada beberapa pasien yang datang kepada
saya, sebelumnya mereka sudah di terapi di rumah sakit terkenal di
luar negeri, dan dokternya menyarankan supaya kembali berobat di
Indonesia saja, itu ada di Kalimantan”. Situasi ini yang menyebabkan
pengobatan itu menjadi semakin mahal, biaya perjalanan, dan biaya
pendampingnya, dan juga banyak pekerjaan yang mestinya bisa
menambah penghasilan keluarga menjadi tidak produktif. Kodisi
kesulitan pasien ini sesuai dengan pengakuan beberapa pasien, bahwa
mereka tidak bisa mengikuti anjuran supaya berobat ke Jawa; tidak
cukup biaya dan juga secara teknis sulit untuk dituruti, pasien dan
keluarganya tidak memahami kondisi rumah sakit yang dituju, bahkan
ini akan menjadi tambahan beban yang cukup berat selain beratkan
kondisi penyakit yang disandang pasien.

Diskusi
Dari berbagai perilaku pasien dan dokter dalam pengobatan
kemoterapi tersebut menemukan beberapa yang perlu ditindaklanjuti
sehingga penyembuhan kanker akan bisa menghasilkan yang lebih
maksimal. Pengetahuan masyarakat belum sepenuhnya mendukung
bisa membuat pengobatan kanker secara dini dan tuntas, selain
keterbatasan fasilitas pengobatan dan biaya yang sangat mahal untuk
bisa mencapai pengobatan yang maksimal.
Informasi mengenai efek samping akibat pengobatan kanker,
terutama pengobatan dengan kemoterapi. Kerontokan rambut pasien,
merupakan hal yang cukup membebani psikis pasien, terutama mereka
yang punya status tinggi dalam masyarakat, atau mereka yang cukup
kaya, sehingga dengan kondisi rambut rontok, dianggap sebagai
merendahkan derajat. Pihak wanita, sebagai kebanyakan penderita
kanker, merasakan beban itu semakin bertambah. Efek samping
320

Sanusi, Model Pendekatan Fenomena...

berikutnya adalah menurunnya nafsu makan, bahkan beberapa
pasien tidak bisa makan sampai satu minggu, dan ini dianggap tidak
menunjang program penyembuhan yang diharapkan oleh pasiennya.
Menurut pengakuan pasien: “untuk mendapatkan obat yang bisa
membantu meningkatkan nafsu makan, harus membeli sampai
lima ratus ribu perbotol untuk dikonsumsi sati minggu”. Tambahan
pengobatan ini, untuk menambah nafsu makan, tidak semua pasien
bisa membelinya, apalagi mereka yang sangat keterbatasan beban
biaya diluar jaminan BPJS. Informasi yang kurang memadai tersebut,
menyebabkan semakin memperparah kondisi pasien. Mereka tidak
beroba, apabila tidak terpaksa, dan tidak ada pilihan lain karena sudah
merasakan sakita yang berlebihan.
Keterbukaan dokter dan semangat kebersamaan dengan pasien
perlu ditingkatkan, beberapa pasien tidak berani menanyakan kalau
ada keinginan untuk mempercepat penyembuhan dengan menambah
dengan pemahaman pengobatan tradisional, baik dengan personalistik
ataupun dengan naturalistik. Sistem pengobatan personalistik
menganggap adanya intervensi kekuatan gaib yang bisa mempengaruhi
kesehatan manusia. Sedangkan pengobatan naturalistik, diyakini
bahwa penyakit manusia akibat ketidakseimbangan fungsi yang bekerja
dalam tubuh manusia, sehingga penyembuhannya harus diketahui
unsur penyebab dan diterapi dengan memberikan penyeimbangnya.
Ada penyakit yang menyebabkan rasa panas atau dingin dalam tubuh
manusia, maka diobati dengan berbagai makanan, ramuan, atau
herbal yang sifatnya bisa menyeimbangkan atau melawan sifat-sifat
panas atau dingin tersebut. Sugesti, merupakan unsur penting untuk
membantu penyembuhan penyakit. Pengelolaan sugesti yang baik dan
produktif sangat membantu mengkondisikan pikiran pasien untuk
cepat sembuh. Sakit dan sehatnya seseorang sangat dipengaruhi oleh
konstruksi pikiran manusia itu sendiri.
Bagi dokter, sangat sulit menerima pengobatan penyakit selain
dengan sistem biomedis, sesuai dengan disiplin ilmu kedokteran.
Bagi dokter bahwa untuk menyembuhkan penyakit akibat intervensi
virus atau bakteri, harus diberikan obat-obatan atau zat kimia untuk
menghentikan serangan virus atau bakteri tersebut. Kemudian kalau
penyakitnya parah dan bisa dilokalisir pada jaringan tubuh manusia,
maka bisa disembuhkan dengan menghilangkan jaringan tersebut
321

Kolase Komunikasi di Indonesia

dengan cara bedah atau operasi membuang jaringan rusak tersebut
bersama virus atau bakteri penyebab penyakitnya.
Program jaminan kesehatan masyarakat melalui BPJS belum
dipahami secara komprehensif dan benar oleh masyarakat. Banyak
masyarakat merasa beban dalam membayar iuran dan menganggap
obat yang diberikan hanya sekadarnya, obat generik standar, yang
pada akhirnya dianggap kurang memberikan efek penyembuhan
yang memadai. Cara pandang masyarakat yang harus diperbaiki,
diperlukan ada lembaga yang bisa memberikan penjelasan pencerahan
bagi masyarakat. Sifat gotong royong membantu saudaranya dalam
memenuhi obat yang diperlukan, merupakan kondisi menyehatkan
secara psikis bagi mereka yang tetap sehat. Mereka beramal, sebagai
tanda syukur tidak sakit, bisa membantu dan dapat pahala, serta
menambah semangat untuk tidak mau sakit. Manfaat yang bisa
dirasakan saudaranya, bisa menggunakan fasilitas puluhan, bahkan
ratusan juta atau bisa mencapai lebih satu milyar rupiah, bisa dinikmati
secara gratis. Bagi orang kaya yang menurut kebiasaan berobat ke luar
negeri, tidak perlu lagi, karena menurut dokter sub-spesialis: ”standar
mutu obatnya sama seluruh dunia, ada stnadar pengobatan da nada
standar terapi yang diinformasikan secara gampang dan merata
diantara sesama dokter medis”. Under estimate mengenai mutu obat dan
pelayanan kesehatan di Indonesia perlu mendapatkan penyampaian
informasi yang merata kepada masyarakat.
Tidak merata sarana dan prasarana pengobatan kanker, jumlahnya
terbatas, sangat memberatkan masyarakat yang memerlukannya.
Masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendatangi
tempat perawatan, dan juga antre lama untuk mendapatkan giliran
bisa dilayani. Kondisi ini bisa lebih memperparah kondisi sakitnya
pasien. Semakin parah sakitnya pasien, menambah ketidakpastian
kesembuhan yang diharapkan.

Kesimpulan
Komunikasi terapeutik yang dilakukan dokter terhadap
pasiennya sangat membantu usaha penyembuhan penyakit secara
kebersamaan. Model pendekatan kemoterapi memerlukan prinsip
kemitraan antara dokter dengan pasien. Kemampuan komunikasi

322

Sanusi, Model Pendekatan Fenomena...

dokter sangat diperlukan untuk meyakinkan bahwa tindakan medis
yang dilakukan memang sudah yang terbaik dan sesuai dengan SOP
kepastian penyembuhannya. Sebagian pasien yang berobat ke dokter
ada yang under estimate terhadap tindakan dokter dan mutu obat di
Indonesia. Akibat tidak merata, keterbatasan sarana dan prasarana
pengobatan kanker, menyebabkan belum tertangani segera semua
keperluan pengobatan kanker membuat semakin kronis kondisi
pasien, dan akhirnya jumlah penderita semakin banyak. Keterbatasan
informasi tentang jenis penyakit, penyebab penyakit, gejala penyakit,
dan tindakan yang harus dilakukan masyarakat, menambah beban
pengobatan kanker semakin berat.
Data testimoni dan bantuan teknologi informatika sangat
membantu analisa penyakit dan alternatif tindakan terapi yang
dilakukan dokter. Tindakan pengobatan terhadap pasien yang
sudah di kemoterpi, tidak semuanya bisa sembuh total, tetapi yang
diperlukan adalah perubahan sikap pasien menjadi perilaku sembuh.
Komunikasi efektif dari hasil dialog dengan pasien yang intensif sangat
membantu penyembuhan dengan merubah perilaku perilaku sembuh,
mengkondisikan suasana perilaku manusia sehat.
Model pendekatan yang ditemukan adalah bagaimana suasana
empati dokter dalam fenomena terapeutik kemoterapi sebagaimana
tergambar berikut ini :

323

Kolase Komunikasi di Indonesia

Saran
Perlu upaya dari berbagai pemangku kebijakan untuk lebih
meningkatkan pengetahuan masyarakat akan berbagai penyakit,
terutama penyakit kanker, agar penyembuhan penyakitnya bisa tuntas.
Diperlukan pemerataan sarana dan prasarana untuk mendekatkan
tempat pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkannya,
kemoterapi nantinya bisa dilakukan di semua sarana pengobatan
pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota. Selanjutnya secara
bertahap dan terencana untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
sarana/prasarana, serta kualitas pelayanan yang prima.
Diperlukan untuk memaksimalkan upaya penyembuhan dengan
berbagai cara selain sistem penyembuhan penyakit secara biomedis.
Memanfaatkan seluruh potensi masyarakat baik pengobatan
naturalistik, maupun pengobatan personalistik, dimulai dengan
komunikasi terapeutik dari tenaga medis bekerjasama dengan keluarga
pasien untuk meningkatkan kemampuan pribadi pasien supaya
mempunyai sugesti untuk mampu dalam penyembuhan penyakit
tersebut.
Diperlukan dibentuk satuan unit kerja di setiap kecamatan sebagai
pendamping Puskesmas dengan tugas khusus untuk memberikan
penyuluhan dan pemahaman yang baik terhadap pengetahuan penyakit,
cara pencegahan, cara pemeliharaan kesehatan, pemahanan pentingnya
kebersamaan untuk saling menjaga kesehatan dari lingkungan terkecil
sampai menjaga kesehatan dalam etika pergaulan masyarakat.

324

Sanusi, Model Pendekatan Fenomena...

Datar Pustaka
Ahmad A.S. (2006), Panduan Komunikasi Kesehatan, Yogyakarta : Indarti.
Alex Sobur, Drs., MSi, 2014, Komunikasi Naratif, Paradigma, Analisis, dan
Aplikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Andi Bulaeng Drs., MS, 2000, Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer,
Hasanuddin University Press, Makassar.
Ashikaga T, Bosompra K, O’Brien P, Nelson L.2002 ”Use of complimentary
and alternative medicine by breast cancer patients: prepalence, patterns
and communicaiton with phsycians”. Supportive Care Cancer. 10:542547.
A.Samovar, Larry, Richar E.Porter, Edwin R.McDaniel, 2010,
Communication Between Cultures, Cengage Learning Asia Pte Ltd,
Singapore, Salemba Humanika-Jakarta.
Blais Koenig Kathleen, 2007, Praktik Keperawatan Profesional, Konsep &
Perspektif, Edisi 4. Jakarta. EGC.
Cameron. L.D. & Leventhal, Howard. 2003. he Self Regulation of Health
and Illness Behavior. New York; Routledge.
Cangara, Haied. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja Graindo
Persada, Jakarta.
Christina,L.U., Untung S.,dan Tatik Indrawati, 2003, Komunikasi
Kebidanan, Jakarta, EGC.
Creswell, Clark E., 1994. Qualitative Inquiry and Research Methods. United
States of America:Sage Publications Inc.
Creswell, John W, 2009, Research Design Qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approachches, hirth Edition, Sage publications,
housand Oaks California.
Daniels, RS. 1975. he Hospital as a herapeutic Community. Bab 32 Milieu
herapy. dalam Comprehensive Text Book of Psychiatry/II. Alfred
M.Freedman, et al. halaman 1990-1995. Baltimore. Maryland USA:
Williams dan Wilkins Co.
De Jong, W. 2005. Kanker, Apakah itu? Pengobatan, Harapan Hidup, dan
Dukungan Keluarga (alih bahasa oleh Astoeti Suharto Herdjan).
Jakarta: Arcan.
DeVito, A.Joseph, 2013. Komunikasi Antarmanusia, Tangerang Selatan,
Karisma Publishing Group.
325

Kolase Komunikasi di Indonesia

DeVito, J. 1997. Komunikasi Antarmanusia, Terjemahan Agus Maulana.
Jakarta: Profesional Books.
Efendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti.
Engkus Kuswarno, Prof.Dr.,MS., 2013, Metode Penelitian KomunikasiFenomenologi, Widya Padjadjaran, Bandung.
Foster, GM, Anderson, BA. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta: UIPress.
Frahm, Anne E dan David J.Frahm, 2007. Melawan Kanker, Mitra Media,
Jakarta
Haro, Sl. 1977. Exploration in Personal Health, Boston USA: Houghton
Milin.
Heri Purwanto, 1994. Komunikasi untuk Perawat, Jakarta, EGC.
Husserl, Edmund, 1962, Ideas : General Introduction to the Pure
Phenomenology, United State of America: Collier Books Edition.
Katzung BG, 10th ed. Basic & Clinical Pharmacology. San Fransisco:
McGraw-Hill Professional, 2006: 882-894.
Larry A.Samovar, Richard E.Poreter dan Edwin R.McDaniel, 2010,
Komunikasi Lintas Budaya-Communication Between Cultures,
Jakarta, Salemba Humanika.
Liliwer, Alo, 2008, Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan, Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Liliweri, Alo, 2002.Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya,
Jogyakarta : LKiS
Meidiana Dwidiyani, 2008. Keperawatan Dasar. Konsep ”caring”,
Komunikasi, Etik dan Spiritual dalam pelayanan keperawatan,
Semarang. Hasani.
Mcleod. 2008. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta :
University Press.
Miller, Katherine, 2005. Communication heories: Perspectives, Processes
and context, McGraw Hill.
Moeloeng.L.J., 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif,
Remaja Rodakarya.

Bandung. PT

Muhadjir, Noeng, 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin,
Yogyakarta.
326

Sanusi, Model Pendekatan Fenomena...

Mulyana, Deddy. 2016. Health and herapeutic Communication, , PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyana, Deddy. 2012. Cultures and Communication, An Indonesian
Scholar’s Perspective, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyana, Deddy. 2011. Komunikasi Lintas Budaya;Pemikiran Perjalanan
dan Khayalan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyana, Deddy. 2008. Membangun Komunikasi Kesehatan di Indonesia;
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Komunikasi pada Fakultas
Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung.
Mulyana, Deddy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Mulyana, Deddy. Prof.MA,Ph.D., 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif,
PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Mulyana, Deddy. Prof.MA,Ph.D., 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,
PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Mundakir. 2006, Komunikasi Keperawatan, Aplikasi dalam pelayanan,
Yogyakarta. Graha Ilmu.
Rebecca Siegel, MPH; Kimberly Miller, MPH, 2017, Surveillance and
Health Services Research Program, Cancer Facts & Figures is an
annual publication of the American Cancer Society, Atlanta, Georgia
Schutz, Alfred, 1970. On Phenomenology and Social Relations, Chicago :
he University of Chicago Press.
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R & D.
cetakan ke 7. CV Alfabeta. Bandung.
Suryani. 2015, Komunikasi Terapeutik : Teori & Praktik. Jakarta. EGC.
Suyanto, Bagong dan Sutina, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan, Kencana, Jakarta.
Tauik, M. dan Juliane, 2010. Komunikasi Terapeutik dan Konseling dalam
Praktik Kebidanan, Jakarta. Salemba Medika.
Uripni, Christina Lia dkk, 2003, Komunikasi Kebidanan, Jakarta, ECG.
-------------, Kemenkes RI, 2015, Pusat Data dan Informasi.
-------------, Kemenkes RI, 2014, Upaya Kemenkes Kendalikan Kanker.

327