Teori Psikologi Sastra ala Sigmund Freud

Teori Psikologi Sastra ala Sigmund Freud
Membedah Karya Sastra dengan Teori Psikologi Sigmund Freud
Pengantar
Menurut Endraswara (2003:97) psikologi sastra merupakan kajian yang memandang karya
sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Dalam arti luas bahwa karya sastra tidak lepas dari
kehidupan yang menggambarkan berbagai rangkaian kepribadian manusia
Ratna (dalam Albertine, 2010:54) berpendapat psikologi, khususnya psikologi analitik
diharapkan mampu menemukan aspek-aspek ketaksadaran yang diduga merupakan sumbersumber penyimpangan psikologis sekaligus dengan terapinya. Selain itu, teknologi dengan
berbagai dampak negatifnya dan lingkungan hidup merupakan salah satu sebab utama
terjadinya gangguan psikologis.
Psikologi sastra tidak bermaksud memecahkan masalah psikologis. Namun secara definitif,
tujuan psikologi sastra ialah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu
karya. Psikologi lahir untuk mempelajari kejiwaan manusia, yakni manusia yang ada di bumi
inilah yang menjadi objek penelitian psikologi, sastra lahir dari masyarakat, pengarang hidup
dalam tengah-tengah masyarakat dan pengarang juga menciptakan karya sastranya termasuk
tokoh yang ada didalamnya. Tokoh yang diciptakan secara tidak sadar oleh pengarang
memiliki muatan kejiwaan yang timbul dari proyeksi pelaku yang ada dalam masyarakat,
karya sastra berupa novel lebih panjang dan terperinci dalam penggambaran tokohnya, oleh
karena itu kejiwaan yang ada dalam novel lebih kental pula.
Pendapat yang sama mengenai kejiwaan tokoh dalam karya sastra, dikemukakan oleh Ratna
(dalam Albertine 2010:54) ialah berpendapat bahwa pada dasarnya psikologi sastra

memberikan perhatian pada masalah unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung
dalam karya.
Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Menurut Albertine (2010:11), psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun
1900-an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis ini berhubungan dengan fungsi dan
perkembangan mental manusia, serta ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang
memberikan kontibusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini.
Psikoanalisis merupakan sejenis psikologi tentang ketidaksadaran; perhatian-perhatiannya
terarah pada bidang motivasi, emosi, konflik, sistem neurotic, mimpi-mimpi, dan sifat-sifat
karakter. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2002:3), psikoanalisis adalah sebuah metode
perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf. Psikoanalisis merupakan
suatu jenis terapi yang bertujuan untuk mengobati seseorang yang mengalami penyimpangan
mental dan syaraf.
Dalam struktur kepribadian Freud, ada tiga unsur sistem penting, yakni id, ego, dan superego.
Menurut Bertens (2006:32) istilah lain dari tiga faktor tersebut dalam psikoanalisis dikenal
sebagai tiga “instansi” yang menandai hidup psikis. Dari ketiga sistem atau ketiga instansi ini
satu sama lain saling berkaitan sehingga membentuk suatu kekuatan atau totalitas. Maka dari
itu untuk mempermudah pembahasan mengenai kepribadian pada kerangka psikoanalisa, kita
jabarkan sistem kepribadian ini.
1. Id

Menurut Bertens (2006:32-33), id merupakan lapisan psikis yang paling mendasar sekaligus
id menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis lebih lanjut. Artinya id merupakan
sisitem kepribadian asli paling dasar yakni yang dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian
akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologik yang

diturunkan, seperti insting, impuls, dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah
unconscious, mewakili subyektivitas yang tidak pernah disadari sepanjang usia. Id
berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk
mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya.
Energi psikis dalam id itu dapat meningkat oleh karena perangsang, dan apabila energi itu
meningkat maka menimbulkan tegangan dan ini menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak
menyenangkan). Dari situlah id harus mereduksikan energi untuk menghilangkan rasa tidak
enak dan mengejar keenakan.
Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu berusaha
memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Bagi Id, kenikmatan adalah keadaan
yang relative inaktif atau tingkat enerji yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau
peningkatan enerji yang mendambakan kepuasan. Jadi ketika ada stimulasi yang memicu
enerji untuk bekerja-timbul tegangan energi-id beroperasi dengan prinsip kenikmatan;
berusaha mengurangi atau menghilangkan tegangan itu; mengembalikan diri ke tingkat energi
rendah.

Penerjemahan dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut dengan proses primer. Proses
primer ialah reaksi membayangkan atau mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau
menghilangkan tegangan-dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang
lapar membayangkan makanan atau putting ibunya.
Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan
kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau
membedakan benar-salah , tidak tahu moral. Jadi harus dikembangkan jalan memperoleh
khayalan itu secara nyata, yang member kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru
khususnya masalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego.
2. Ego
Ego adalah aspek psikologis daripada kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme
untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan atau realita (Freud dalam Suryabrata
2010:126). Ego berbeda dengan id. Menurut Koeswara (1991:33-34), ego adalah sistem
kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada objek dari kenyataan, dan
menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan.
Menurut (Freud dalam Bertens 2006:33), ego terbentuk dengan diferensiasi dari id karena
kontaknya dengan dunia luar, khususnya orang di sekitar bayi kecil seperti orang tua,
pengasuh, dan kakak adik.
Ego timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan transaksi-transaksi
yang sesuai dengan dunia realita atau kenyataan.

Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama; pertama,
memilih stimuli mana yang hendak direspon dan atau insting mana yang akan dipuaskan
sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu
dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal.
Menurut Bertens (2006:33), tugas ego adalah untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri
dan menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar, lagi untuk memecahkan konflikkonflik dengan realitas dan konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok satu
sama lain.
Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id
sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapaikesempurnaan dari superego. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego
yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id.
Untuk itu sekali lagi memahami apa yang dimaksudkan dengan proses sekunder, perlu untuk
melihat sampai dimana proses primer membawa seorang individu dalam pemuasan keinginan

sehingga dapat diwujudkan dalam sebuah kenyataan. Proses sekunder terdiri dari usaha
menemukan atau menghasilkan kenyataan dengan jalan suatu rencana tindakan yang telah
dikembangkan melalui pikiran dan oral (pengenalan).
3. Superego
Menurut Bertens (2006:33-34), superego dibentuk melalui internalisasi (internalization),
artinya larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal dari luar (para pengasuh,
khususnya orang tua) diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam.

Dengan kata lain, superego adalah buah hasil proses internalisasi, sejauh larangan-larangan
dan perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu yang “asing” bagi si subyek, akhirnya
dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari subyek sendiri, seperti “Engkau tidak boleh…atau
engkau harus…” menjadi “Aku tidak boleh…atau aku harus…”
Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2010:127) Super Ego adalah aspek sosiologi kepribadian,
merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana
ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan
larangan. Super Ego lebih merupakan kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu,
Super Ego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian. Fungsinya yang pokok
ialah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan
dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat.
Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip
idealistic sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realitik dari ego
(alwisol,2004:21).
Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras
kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Superego dalam hal
mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tapi merintangi pemenuhannya.
Fungsi utama dari superego yang dihadirkan antara lain adalah:
1. Sebagai pengendali dorongan atau impuls-impuls naluri id agar impuls-impuls tersebut
disalurkan dengan cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.

2. Untuk mengarahkan ego pada tujuan-yang sesuai dengan moral ketimbang dengan
kenyataan.
3. Mendorong individu kepada kesempurnaan. Superego senantiasa memaksa ego untuk
menekan hasrat-hasrat yang berbeda kealam sadar. Superego bersama dengan id, berada
dialam bawah sadar (Hall dan Lindzey, 1993:67-68).
Jadi superego cenderung untuk menentang, baik ego maupun id, dan membuat dunia menurut
konsepsi yang ideal. Ketiga aspek tersebut meski memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam
prakteknya, namun ketiganya selalu berinteraksi secara dinamis.
Proses Distribusi dan Pemakaian Energi Psikis
Proses distribusi dan penggunaan energi psikis ini pada hakekatnya merupakan bagian dari
Dinamika kepribadian teori Freud. Dinamika kepribadian Freud, secara langsung
membutuhkan energi psikis untuk memenuhi kebutuhan struktur kepribadian, yakni Das Es
(the Id), Das Ich (the Ego), dan Das Ueber Ich (the Super ego). Seperti halnya Freud (dalam
Alwisol, 2004 23), berpendapat bahwa manusia sebagai sistem yang kompleks memaikai
energi untuk berbagai tujuan seperti bernafas, bergerak, mengamati, dan mengingat. Kegiatan
psikologik juga membutuhkan energi, yang disebutnya energi psikik (psychic energy). Energi
yang ditransfrom dari energi fisik melalui Id beserta insting-instingnya, dan ini bagi Freud
sesuai dengan kaidah Fisika, bahwa energi tidak dapat lepas pada diri manusia namun energi
itu dapat berpindah-pindah dan berubah bentuk.
Dinamika kepribadian ditentukan oleh cara energi psikis yang didistribusikan serta digunakan

oleh id, ego dan superego. Oleh karena jumlah energi itu terbatas, maka akan terjadi

semacam persaingan diantara ketiga sistem itu dalam menggunakan energi tersebut. Salah
satu sistem mengontrol energi itu dengan mengorbankan dua sistem lain. kalau salah satu
sistem ini menjadi lebih kuat, kedua sistem lain dengan sendirinya menjadi lebih lemah,
kecuali energi baru ditambahkan pada seluruh sistem.
Pada mulanya, id memiliki semua energi yang digunakan untuk merefleksikan gerakan dan
memenuhi hasrat melalui proses primer. Energi id sangat mudah berubah karena id tidak
mampu mengadakan diskriminasi atau perbedaan secara cermat diantara objek-objek. Objekobjek yang berbeda diperlakukan seolah-olah sama, yakni tidak ada perbedaan antara
lambang mental dan acuan fisiknya.
Contohnya adalah terdapat pada bayi yang sedang haus, dia akan mengambil apa saja yang
dapat dipegangnya dan memasukkannya ke mulutnya. Karena ego tidak mempunyai sumber
energi sendiri, maka ia harus meminjamnya dari id. Pengalihan energi dari id ke prosesproses yang membentuk ego terlaksana lewat suatu mekanisme yang disebut “identifikasi”.
Prosesnya adalah ketika id sudah tak bisa membedakan mana lambang mental dan acuan
fisiknya, maka sang pribadi terpaksa membedakan antara dunia batin dengan dunia luar. Ia
harus mempelajari perbedaan antara ingatan atau gagasan tentang suatu objek yang tidak ada
dengan kesan indera atau persepsi tentang objek yang benar-benar ada.
Pencocokkan antara suatu perwujudan mental dengan kenyataan fisik antara ada dalam batin
dan dunia luar inilah yang dimaksud identifikasi.
Ego berusaha membuat lambang secara tepat mempresentasikan kenyataan yang

dilambangkanya. Dengan kata lain,identefikasi memungkinkan proses sekunder mengeser
proses primer. Karena proses sekunder lebih berhasil dalam mereduksi tengangganteganggan,maka semakin banyak kateksis atau pendorong ego terbentuk. Lambat laun
semakin efisien ego memonopoli persediaan psikis.
Begitu ego telah menguasai cukup energi, ia dapat menggunakanya untuk maksud-maksud
lain selain memuaskan insting-insting melalui proses sekunder.
Sebagian energi dipergunakan untuk meningkatkan perkembangan aneka proses psikologis
seperti mempresepsikan, mengingat, membuat penilaian, mendiskriminasikan, dan befikir.
Sebagian lagi harus digunakan untuk mengekang Id agar tidak bertindak secara impulsive dan
irasional.daya kekang ini bisa juga disebut anti kateksis atau daya anti dorong. Apabila id
menjadi terlalu mengancam, maka ego akan membentuk pertahanan-pertahanan terhadapnya.
Namun bisa saja pertahanan-pertahanan yang dilakukan oleh ego menjadi lebih lemah karena
energinya tidak cukup untuk menahan besarnya dorongan yang dilakukan oleh id, sehingga
memunculkan bentuk ketakutan atau kecemasan dari id sekitarnya penekanan atau pertahanan
yang dilakukan ego untuk mengekang dorongan id menjadi gagal. Kecemasan seperti ini
biasanya disebut dengan kecemasan neurotic.
Pertahanan ini bisa juga digunakan menanggulangi tekanan-tekanan super ego tehadap ego.
Untuk menjaga kelangsungan dari pertahanan-pertahanan ini juga dibutuhkan energi yang
cukup.
Enegi ego juga dapat dapat dipindahkan untuk membentuk kateksis-kateksis objek yang baru
sehingga terbentuklah jaringan minat, sikap dan preferensi turunan dalam ego. Seperti contoh

haus tadi, haus dapat meliputi kateksis-kateksis seperti minat mengumpulkan aneka resep
minuman, mengunjungi restoran atau rumah makan yang menyediakan aneka minuman
sepesial dan lainya.
Akhirnya, ego sebagai eksekutif organisasi kepribadian menggunakan energi untuk
menciptakan integrasi diantara ketiga sistem. Tujuan dari fungsi itegrasi dari ego ini adalah
untuk menciptakan keselarasan batin dalam kepribadian sehingga transaksi-transaksi ego
dengan lingkungan dapat berjalan dengan lancar dan efektif.
Sekali energi yang disediakan oleh insting-insting disalaurkan ke Ego dan Super Ego lewat
mekanisme identifikasi, maka interaksi daya-daya mendorong dan menahan atau kateksis dan

anti kateksis bisa berlangsung. Ego harus mengendalikan baik id maupun Super Ego agar dia
mampu mengarahkan kepribadian secara bijak, namun dia juga harus memiliki persediaan
sisa energi untuk bisa berhubungan dengan dunia luar.
Disamping ego harus mengekang id, ego juga harus membuat pertahanan atas dorongan atau
tekanan yang dilakukan oleh Super Ego. Bisa saja tekanan-tekanan dari Super Ego nantinya
juga bisa menjadi lebih besar dari tekanan yang dilakukan oleh Ego, atau bisa juga energi
Ego untuk mengekang Super Ego menjadi lemah karena Ego juga harus mengekang Id
sehingga memunculkan bentuk kecemasan secara moral atau kata hati atau norma-norma
yang ada yang dihasilkan dari dunia luar jika pertahanan yang dilakukan Ego untuk
mengekang dorongan Super Ego dan dikendalikannya, serta diarahkan oleh Super Ego pada

tujuan-tujuan yang sesuai dengan moral ketimbang kenyataan dan sekaligus mengendalikan
Id agar energinya disalurkan dalam cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.
Ketakutan atas lemahnya pertahanan Ego dalam mengekang Super Ego bisa juga ditimbulkan
dari kenyataan yang ada biasanya berasal dari lingkungan dan langsung diterima oleh si
pelaku dan berasal dari dunia luar, dan kecemasan yang secara nyata ini biasanya disebut
sebagai kecemasan realitas.
Apabila Super Ego menguasai sebagian besar energi, maka fungsi kepribadian akan di
dominasi oleh pertimbangan-pertimbangan moral daripada pertimbangan-pertimbangan
realitas. Perpindahan-perpindahan energi ini menyebabkan kepribadian dalam diri seseorang
terus menerus bergerak secara dinamis.
Daerah tidak sadar yang besar ini berisi dorongan-dorongan, nafsu, ide-ide, dan perasaanperasaan yang ditekan, merupakan suatu dunia jiwa yang besar. Bagian tidak sadar ini berisi
ketakutan-ketakutan vital dan tidak nampak oleh mata, tetapi melaksanakan control penting
atas pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan sadar seseorang. Dari segi ketidak sadaran ini,
maka psikologi yang membatasi diri hanya mempellajari kesadaran saja, sama sekali tidak
sesuai untuk memahami motif-motif yang mendasari tingkah laku manusia.
Di dunia luar ini terdapat berbagai macam objek yang dapat member kepuasan insting atau
kebutuhan manusia. Jika manusia tidak mampu mereaksi atau menanggulangi macam-macam
rasa sakit atau perusakan dari dunia luar, maka orang menjadi takut. Seterusnya jika orang
tidak berdaya atau kewalahan menghadapi stimulus-stimulus yang berlebihan yang tidak
berhasil dikendalikan oleh Ego, maka ego menjadi terbelenggu oleh kecemasan. Jadi rasa

cemas adalah rasa was-was, rasa ketakutan, rasa bimbang, kalau apa yang dihadapi itu akan
menimbulkan bahaya, susah tidak senang, gagal dan sebagainya. Takut adalah rasa tidak
berani menghadapi kenyataan.
Teori Kecemasan
Kecemasan merupakan bagian yang tak kalah penting dari teori Freud, artinya kecemasan ini
merupakan variabel penting dari hampir semua teori kepribadian. Pada umumnya kecemasan
dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau
takut dari kenyataan.
Orang yang merasa terancam umumnya adalah orang yang penakut, kalau das Ich (id)
mengontrol soal ini, maka orang lalu menjadi dikejar oleh kecemasan atau ketakutan.
Kecemasan berfungsi sebagai tanda adanya bahaya yang akan terjadi, suatu ancaman
terhadap ego yang harus dihindari atau dilawan. Dalam hal ini ego harus mengurangi konflik
antara kemauan Id dan Superego. Konflik ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia
karena menurut Freud, insting akan selalu mencari pemuasan sedangkan lingkungan sosial
dan moral membatasi pemuasan tersebut. Oleh karena itu pertahanan akan selalu beroperasi
secara luas dalam segi kehidupan manusia, layaknya semua perilaku dimotivasi oleh insting.
Begitu juga semua perilaku mempunyai pertahanan secara alami, dalam hal untuk melawan.
Menurut (Suryabrata, 2010:139), Fungsi kecemasan adalah memperingatkan sang pribadi

akan bahaya, ia merupakan isyarat bagi ego bahwa kalau tidak dilakukan tindakan-tindakan
tepat, maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan, (Suryabrata, 2010:139).
Apabila kecemasan timbul, maka akan mendorong orang untuk melakukan sesuatu atau
tindakan supaya tegangan dapat direduksikan atau dihilangkan. Untuk menghadapi
kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk
menghilangkan tekanan itu. Tindakan tekanan itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab
tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap kecemasan.
Freud mengemukakan tiga jenis kecemasan, yakni:
1. Kecemasan realitas (riel)
2. Kecemasan neurotic
3. Kecemasan moral

2.5.1 Kecemasan Realitas
Menurut E Koeswara (1991:45), kecemasan realitas ialah kecemasan individu terhadap
bahaya-bahaya yang akan datang dari luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat
tergantung kepada ancaman nyata.
Kecemasan realitas ini merupakan kecemasan individu yang diakibatkan dari rasa ketakutan
dalam menghadapi suatu kenyataan disekitarnya atau ketakutan terhadap dunia luar dengan
taraf kecemasan yang sesuai derajat ancaman yang ada. Kecemasan realitas itu merupakan
suatu pengalaman perasaan sebagai akibat pengamatan suatu bahaya dalam dunia luar.
Bahaya itu berasal dari keadaan dalam lingkungan seseorang yang mengancam untuk
mencelakakannya. Kecemasan realitas ini hanya bersifat fisik. Ketakutan akan mengancam
bahaya dari kondisi yang mencelakakannya.
Kecemasan realitas adalah takut kepada bahaya yang nyata ada di dunia luar (Alwisol,
2004:29). Kecemasan ini menjadi asal-muasal timbulnya kecemasan neurotic dan kecemasan
moral.
Kecemasan Neurotik
Menurut Freud, (dalam Suryabrata, 2002:139), kecemasan neurotis adalah kecemasan kalau
insting-insting tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang dapat
dihukum. Kecemasan neurotis ini merupakan suatu gangguan keseimbangan fungsi mental
oleh sebab-sebab khusus dari dinamika gangguan kehidupan emosi dan perasaan. Gangguan
perasaan semacam ini umumnya diderita oleh penderita neurotis dan tidak berkaitan dengan
orang lain.
Jadi, seseorang yang cerdas pun bisa saja terkena gangguan yang secara rasional tidak masuk
akal ini. Walaupun secara objektif pemeriksaan fisik jelas dikatakan sehat, namun penderita
tetap saja merasa dirinya diliputi ketakutan berlanjut akan kemungkinan penyakit fisik berat
yang akan dideritanya.
Kecemasan neurotis ialah kecemasan karena khawatir tidak mampu mengatasi atau menekan
keinginan-keinginan primitifnya, ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang
menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan yang bisa mendatangkan hukuman.
Pada kecemasan neurotis, perasaan terancam memungkinkan kegagalan dalam meraih tujuan
atau posisi formal tertentu. Ancaman akan kehilangan sesuatu yang berkaitan dengan status
sosial, benar-benar sulit mendapatkan toleransi dari penderita neurotis, terutama bagi orang
yang sangat ambisius, dinamis dan energik yang secara berlanjut didominasi target materi
yang harus diraih. Biasanya orang ini sejak beberapa waktu sebelumnya telah diliputi rasa tak
aman karena menempatkan ambisi berlebihan yang justru membuatnya kegagalan yang
dihadapinya.
Kecemasan neurotis bukanlah kekuatan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan

ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika insting tersebut dipuaskan (Hall dan
Lindzey 1993:81).
Kecemasan Moral
Menurut Suryabrata (2010:139), kecemasan moral adalah kecemasan kata hati. Orang yang
da Ueber Ichnya berkembang baik cenderung untuk merasa dosa apabila dia melakukan atau
bahkan berpikir untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma moral.
Kecemasan moral ini juga mempunyai dasar dalam realitas; karena di masa yang lampau
orang telah mendapatkan hukuman sebagai akibat dari perbuatan yang melanggar kode
moral, dan mungkin akan mendapat hukuman lagi.
Kecemasan moral adalah hasil dari konflik antara Id dan superego. Secara dasar merupakan
ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi untuk
mengekspresikan impuls instingtual yang berlawanan dengan nilai moral yang termaksud
dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah. Kecemasan moral
menjelaskan bagaimana berkembangnya superego. Biasanya individu dengan kata hati yang
kuat dan puritan akan mengalami konflik yang lebih hebat daripada individu yang
mempunyai kondisi toleransi moral yang lebih longgar. Seperti kecemasan neurosis,
kecemasan moral juga mempunyai dasar dalam kehidupan nyata. Anak-anak akan dihukum
bila melanggar aturan yang ditetapkan orang tua mereka. Orang dewasa juga akan
mendapatkan hukuman jika melanggar norma yang ada di masyarakat. Rasa malu dan
perasaan bersalah menyertai kecemasan moral. Dapat dikatakan bahwa yang menyebabkan
kecemasan adalah kata hati individu itu sendiri. Freud mengatakan bahwa superego dapat
memberikan balasan yang setimpal karena pelanggaran terhadap aturan moral
(http//warrtawarga.gunadarma.ac.id).
Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati
nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan norma moral. Kecemasan moral ini juga mempunyai dasar dalam
realitas, karena dimasa lampau orang telah mendapat hukuman sebagai akibat dari perbuatan
yang melanggar kode moral, dan mungkin akan mendapat hukuman lagi. Kecemasan moral
bisa juga adalah rasa takut terhadap suara hati (Hall dan Lindzey, 1993:81).