PEREDARAN IKLAN YANG MENYESATKAN KONSUMEN DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, PERS DAN PENYIARAN | Widijowati | IUS CONSTITUTUM 139 1272 2 PB

(1)

IKLAN YANG MENYESATKAN KONSUMEN DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Rr. Dijan Widijowati

ABSTRACT

Advertisement that an information tool for . businessman in marketing their products owned had a negative impact on consumers . businessman attempt to deliberately create ads with a variety of ways to attract consumer interest in buying and using the products offered . In an effort to attract consumers, businesses often create ads that are misleading and harm consumers . Consumer protection associated with advertisements that mislead not get optimal handling in practice .

The method used in the study is normative juridical approach to literature . Studies have properties that descriptive analytical assessment phase which focuses on the assessment of secondary data . Data was collected by means of literature study to support the object assessment.

The results of the assessments that have been conducted revealed that , the number of advertisements that are misleading in the community due to lack of awareness of consumer law and has been the formation of the society's perspective on the difference between the position of consumers and businessman . In the legal structure , the substance of the law and legal culture has a positive contribution to the protection of consumers from misleading advertisements .

Keywords : Advertisement, consumer protection law

A. PENDAHULUAN

Pertumbuhan perekonomian nasional harus dapat meningkatkan pertumbuhan dunia usaha yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan barang dan jasa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa mengakibatkan kerugian konsumen memiliki arti adanya kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan jasa yang didapatkan di pasar oleh masyarakat sebagai konsumen.1

1


(2)

Istilah “konsumen” berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diartikan sebagai “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”, sedangkan perlindungan konsumen diartikan sebagai “Segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.2

Barang yang digunakan oleh konsumen dapat diartikan sebagai “Setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen”, sedangkan jasa yang digunakan oleh konsumen diartikan sebagai “setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.3

Secara filosofis, perlindungan konsumen dilakukan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban diantara pelaku usaha dan konsumen, sehingga paradigma uzur let be consumer beware (konsumen yang harus berhati -hati dalam mengkonsumsi barang dan jasa) menjadi paradigma let producer beware (pelaku usaha harus berhati -hati sebelum memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa ke pasar).

Secara sosiologis, pengaturan perlindungan konsumen ditujukan untuk masyarakat sebagai konsumen dan masyarakat sebagai pelaku usaha. Masyarakat sebagai konsumen memiliki arti bahwa, konsumen harus cerdas dan cermat dalam memilih dan menggunakan suatu produk supaya dapat sesuai dengan kebutuhan dan harapan konsumen itu sendiri.

Masyarakat sebagai pelaku usaha memiliki arti bahwa, pelaku usaha harus selalu berhati-hati dalam merancang, memproduksi, mendistribusikan dan mempromosikan setiap produk yang dimilikinya. Pelaku usaha harus memiliki pemahaman bahwa, pertumbuhan usaha yang dijalankan harus dapat memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen berdasarkan dua (2) kriteria, yaitu:

1. Produk yang dihasilkan harus aman untuk konsumen; dan 2. Produk yang dihasilkan harus nyaman untuk konsumen.

2

). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya cukup disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

3


(3)

Secara yuridis, perlindungan konsumen diatur dalam UUD 1945 sebagai konstitusi Bangsa Indonesia yang mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, yang diwujudkan dengan pembangunan nasional melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis, sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.

Penjabaran UUD 1945 dalam aspek perlindungan konsumen telah terabstraksi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen didasarkan atas semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi yang harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan produk yang diperolehnya di pasar, selain pembangunan perekonomian nasional dalam negeri pada era globalisasi harus tetap dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha yang mampu menghasilkan berbagai produk yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak serta mendapatkan kepastian atas produk yang diperoleh dari perdagangan, tanpa mengakibatkan kerugian bagi konsumen itu sendiri.

Pada hakikatnya, perlindungan konsumen harus dilakukan dengan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk memiliki kemampuan dalam melindungi, mencegah dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan perlindungan konsumen, selain meningkatkan sikap pelaku usaha untuk dapat bertanggungjawab dalam melakukan produksi, distribusi hingga promosi atas barang dan jasa yang dimilikinya.

Permasalahan dalam praktik, perlindungan konsumen di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1999 ternyata belum mampu memberikan perlindungan konsumen yang optimal. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam praktik terus terjadi dan terus berulang tanpa adanya tindakan yang kongkrit dalam mencegah dan menyelesaikan persoalan perlindungan konsumen (khususnya terhadap permasalahan peredaran iklan-iklan yang menyesatkan).

Beberapa permasalahan perlindungan konsumen yang masih terus terjadi dan belum mendapatkan perhatian, seperti :


(4)

Iklan obat anti nyamuk semprot dan bakar yang memiliki kesegaran aroma wangi-wangian yang seolah-olah dapat dengan bebas dan aman untuk dihirup, hingga iklan obat anti nyamuk lotion yang menghaluskan kulit yang seolah-olah dapat digunakan sebagai pelembab dan perawat kulit.4

Iklan-iklan yang beredar di masyarakat cenderung memiliki unsur menghasut dan unsur kebohongan yang sangat merugikan konsumen. Janji-janji yang ditawarkan dalam media promosi perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut, karena ditemukan penyimpangan-penyimpangan terhadap janji-janji yang telah ditawarkan oleh pelaku usaha kepada para konsumen.5

Permasalahan semakin kompleks ketika tidak adanya penegakan hukum yang dilakukan secara terintegrasi untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hingga saat ini dianggap sebagai hal yang wajar dalam melakukan suatu promosi sebuah produk. Hal ini semakin diperburuk dengan kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat dalam menggunakan suatu produk.

Keberadaan iklan memang sangat penting bagi konsumen, karena keberadaan iklan dapat memberikan informasi, pengetahuan dan wawasan bagi konsumen itu sendiri. Keberadaan iklan-iklan juga sangat penting bagi eksistensi lembaga-lembaga penyiaran, karena iklan sebagai sarana yang efektif dalam memberikan informasi produk kepada konsumen, selain iklan merupakan salah satu sumber pendapatan bagi lembaga penyiaran.6

Untuk lembaga penyiaran, siaran iklan diartikan sebagai siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Siaran iklan terdiri dari dua (2) jenis, yaitu :7

1. Siaran iklan niaga yang merupakan siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak

4

). Rizky Harta Cipta, Iklan Yang Menarik Hati Namun Menyesatkan Dan Membahayakan Masyarakat, Surat Kabar Kompas, 22 Januari 2009.

5

). Rizky Harta Cipta, Promosi Operator Seluler Di Indonesia Dalam Kondisi Mengkhawatirkan, Surat Kabar Kompas, 29 Mei 2008.

6

). Pasal 15 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Selanjutnya cukup disebut : Undang-Undang Penyiaran).

7


(5)

sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan.

2. Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dijelaskan di atas, penulis bermaksud mengkaji efektifitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam melindungi hak-hak konsumen dari iklan-iklan yang menyesatkan. Penulis juga bermaksud mengkaji undang-undang yang terkait sebagai bentuk regulasi dari larangan terhadap iklan-iklan yang menyesatkan konsumen. Hak-hak konsumen yang dimaksud dalam jurnal ini ialah hak-hak konsumen dalam mendapatkan promosi yang wajar dan tidak menyesatkan

Oleh karena itu, dapat dilakukan beberapa identifikasi terhadap permasalahan yang telah dijelaskan, yaitu:

Bagaimana Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat mencegah dan mengatasi iklan yang dapat merugikan konsumen?

Bagaimana efektifitas penegakan hukum terhadap iklan-iklan yang menyesatkan bagi konsumen?

B. Pembahasan

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang memiliki sifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen. Hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.8

Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen pada prinsipnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, selain memiliki tujuan untuk:

1. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

8

). Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006), Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, Hlm. 3


(6)

dari ekses negatif pemakaian produk.

2. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

3. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

4. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.

5. Meningkatkan kualitas produk yang menjamin kelangsungan usaha produksi produk, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Eksistensi Undang-Undang Perlindungan Konsumen ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen yang melakukan transaksi produk dengan pelaku usaha tanpa menghilangkan hak-hak yang dimiliki oleh pelaku usaha dan sejumlah kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen, baik sebelum dan setelah menggunakan produk. Undang-Undang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat menjadi titik keseimbangan di antara konsumen dan pelaku usaha, karena konsumen dan pelaku usaha memiliki hubungan (interaksi) yang saling mempengaruhi dan menguntungkan (simbiosis mutualisme).

Pandangan di atas selaras dengan pandangan Zen Umar Purba yang menjelaskan mengenai konsep perlindungan konsumen, yaitu : ”Kunci Pokok Perlindungan Konsumen adalah bahwa konsumen dan pengusaha (produsen atau pengedar produk) saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi secara aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi pengusaha”9

Meninjau interaksi konsumen dan pelaku usaha dihubungkan dengan keberadaan iklan sebagai sarana komunikasi dan informasi di antara pelaku usaha dan konsumen, maka iklan itu sendiri dapat diartikan sebagai bentuk penyajian dan promosi ide, barang atau jasa secara nonpersonal oleh suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran. Iklan merupakan pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan

9

). Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008, Hlm. 47.


(7)

oleh suatu masyarakat lewat suatu media . Iklan merupakan berita atau pesan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan.10

Mengkaji iklan-iklan yang menyesatkan dan menjebak konsumen dalam praktik, sebenarnya eksistensi iklan telah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa, pelaku usaha dilarang untuk memproduksi atau memperdagangkan produk yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan produk.

Lebih lanjut, dalam mencegah dan mengatasi iklan-iklan yang bermasalah bagi konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara deskriptif telah mengatur karakteristik-karakteristik iklan yang dilarang, yaitu :11

1. Iklan produk yang seolah-olah telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.

2. Iklan produk yang seolah-olah dalam keadaan baik dan/atau baru.

3. Iklan produk yang seolah-olah telah mendapatkan dan memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.

4. Iklan produk yang seolah-olah dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.

5. Iklan produk yang seolah-olah tersedia.

6. Iklan produk yang seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.

7. Iklan produk yang seolah-olah merupakan kelengkapan dari barang tertentu. 8. Iklan produk yang seolah-olah berasal dari daerah tertentu.

9. Iklan produk yang seolah-olah secara langsung atau tidak langsung merendahkan produk lain.

10. Iklan produk yang seolah-olah menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan

10

). Philip Kotler, Manajemen Pemasaran (Edisi Milenium), PT.Prenhallindo.Jakarta, 2002, Hlm. 658; Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan, PT.Pustaka Utama Grafitti, Jakarta, 1995, Hlm. 21; dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

11

). Pasal 47 Undang-Undang Penyiaran menjelaskan bahwa, iklan yang disiarkan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang.


(8)

tanpa keterangan yang lengkap.

11. Iklan produk yang seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Selanjutnya cukup disebut sebagai Undang-Undang Pers) perusahaan iklan dilarang membuat dan mengiklankan:12

1. Iklan yang berisi merendahkan martabat suatu agama, mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama dan bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

2. Iklan yang berisi tentang minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya.

3. Iklan yang berisi peragaan wujud rokok dan penggunaan rokok.

Iklan-iklan yang disiarkan wajib memenuhi persyaratan yang telah dikeluarkan oleh KPI dan iklan yang disiarkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran yang merupakan bagian dari pelaku usaha dalam Undang-Undang Penyiaran juga telah diberikan batasan-batasan yang jelas dalam melakukan siaran iklan, yaitu:13

1. Iklan yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok yang menyinggung perasaan atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain.

2. Iklan minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif. 3. Iklan rokok yang memperagakan wujud rokok.

4. Iklan yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama. 5. Iklan yang berisi eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun.

Mengkaji perlindungan konsumen dihadapkan dengan iklan-iklan yang dianggap menyesatkan konsumen harus dapat dipandang berdasarkan hubungan sebab akibat (kausalitas) secara subjektif dan objektif, baik dari sisi konsumen maupun dari sisi pelaku usaha.

1. Kausalitas Subjektif Konsumen.

12

). Pasal 13 Undang-Undang Pers. 13

). Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak-anak. Lihat: Pasal 46 Undang-Undang Penyiaran.


(9)

Kausalitas subjektif konsumen memiliki arti bahwa, pengkajian harus dilakukan terhadap cara penggunaan konsumen pada suatu produk dihubungkan dengan iklan yang ditawarkan oleh pelaku usaha.

Contoh: Iklan penghematan konsumsi bahan bakar pada suatu produk kendaraan sangat dipengaruhi oleh cara konsumen menggunakan produk tersebut, selain dipengaruhi kualitas kepadatan jalan yang dilalui oleh konsumen.

2. Kausalitas Objektif Konsumen.

Kausalitas objektif konsumen memiliki arti bahwa, pengkajian telah dilakukan berdasarkan metode tertentu yang dibandingkan dengan metode yang digunakan oleh pelaku usaha sebagai dasar janji iklan.

Contoh: Konsumen dan pelaku usaha menggunakan metode kecepatan tetap dikalikan dengan simulasi jarak yang akan ditempuh oleh suatu produk kendaraan, memiliki konsumsi bahan bakar yang sama atau berbeda.

Konsumsi bahan bakar yang berbeda antara pengujian yang dilakukan oleh konsumen dan janji pelaku usaha dalam iklannya dapat disimpulkan bahwa, iklan yang diberikan oleh pelaku usaha tersebut memiliki unsur yang menyesatkan.

3. Kausalitas Subjektif Pelaku Usaha.

Kausalitas subjektif pelaku usaha memiliki arti bahwa, pengkajian yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap suatu produk hanya didasarkan atas sebagian kualitas produk terbaik tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai suatu kualitas produk.

Contoh: Pelaku usaha mengiklankan suatu produk kendaraan dengan hasil pengkajian konsumsi bahan bakar 1 liter untuk 25 KM tanpa memperhatikan kualitas jalan, kualitas kepadatan jalan, kualitas geografis yang dilalui dan cara mengendarai produk kendaraan tersebut.

Pelaku usaha hanya mengambil hasil kualitas nilai tertinggi sebagai dasar iklan tanpa melakukan pengujian berkali-kali dengan metode tertentu dan tanpa memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi.

4. Kausalitas Objektif Pelaku Usaha.

Kausalitas objektif pelaku usaha memiliki arti bahwa, janji produk yang terdapat pada iklan yang dibuat oleh pelaku usaha telah didasarkan atas metode tertentu


(10)

dengan mempertimbangkan beragam faktor yang dapat mempengaruhi nilai kualitas suatu produk. Iklan yang ditampilkan menerangkan metode dan faktor yang mempengaruhi untuk mencapai nilai optimal suatu kuallitas produk yang dijanjikan.

Contoh: Iklan produk kendaraan yang menjanjikan konsumsi bahan bakar sebesar 1 Liter untuk 25 KM berlaku jika dilakukan dengan kecepatan tertentu, RPM tertentu, Mode tertentu dan kemiringan jalan tertentu berdasarkan nilai kuantitatif tertentu.

Meninjau penegakan hukum yang dilakukan terhadap iklan-iklan menyesatkan yang dilakukan oleh pelaku usaha, penegakan hukum di Indonesia telah menunjukan penegakan yang cukup baik, meskipun masih sangat sedikit yang mendapatkan perhatian dari para penegak hukum. Hal ini disebabkan beberapa alasan, mengapa iklan-iklan yang menyesatkan masih banyak ditemui di masyarakat.

Adapun beberapa alasan yang menyebabkan iklan-iklan yang menyesatkan masih terus berkembang dalam praktik di antaranya ialah sebagai berikut:

1. Konsumen tidak memahami dan menyadari jenis-jenis iklan yang menyesatkan.

2. Konsumen tidak memiliki keberanian, pengetahuan, waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku usaha.

3. Konsumen takut gugatan dan tuntutan terhadap pelaku usaha akan menjadi bumerang (gugatan dan tuntutan balik) kepada konsumen itu sendiri.

4. Konsumen menilai penegakan hukum untuk meminta pertanggungjawaban pelaku usaha masih sangat sedikit dan tidak konsisten.

5. Konsumen lebih baik memiliki sikap memaklumi, mengalah dan memafkan pelaku usaha atas iklan-iklan yang menyesatkan.

6. Konsumen lebih menganggap penyebaran kekecewaan secara sosial (non-llitigasi) lebih efektif dalam memberikan dampak negatif bagi pelaku usaha. Secara filosofis, pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh konsumen terhadap pelaku usaha yang membuat iklan-iklan yang menyesatkan dan merugikan konsumen disebabkan kesadaran hukum yang kurang dalam memahami perlindungan konsumen sebagaimana asas-asas yang menjiwai Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seperti:


(11)

1. Asas Manfaat.

Asas manfaat merupakan asas yang menghendaki segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas Keadilan.

Asas keadilan merupakan asas yang menghendaki partisipasi seluruh rakyat, selain memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas Keseimbangan.

Asas keseimbangan merupakan asas yang menghendaki keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen merupakan asas yang menghendaki jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam menggunakan, memakai dan memanfaatkan barang dan jasa yang digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum.

Asas kepastian hukum merupakan asas yang menghendaki adanya dasar hukum yang jelas bagi pelaksanaan hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen, sehingga dapat tercipta keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Kesadaran hukum masyarakat yang kurang juga didasarkan atas kurangnya pengetahuan konsumen terhadap hak-hak dasar yang dimiliki oleh konsumen, seperti:14

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety). 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to informed). 3. Hak untuk memilih (the right to choose).

4. Hak untuk didengar (the right to be heard).

Contoh kasus penegakan hukum yang dilakukan dalam praktik yang dapat dijadikan contoh baik bagi konsumen dalam menghadapi iklan yang menyesatkan dapat

14


(12)

dilihat dari perkara PT. NMI melawan konsumen yang kecewa produk yang dibeli tidak sesuai dengan janji yang diiklankan.15

Dalam perkara PT. NMI melawan konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Mahkamah Agung menguatkan dalil-dalil yang diajukan oleh konsumen dan menolak setiap keberatan yang diajukan oleh PT. NMI. PT. NMI dianggap telah melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga PT. NMI diminta membatalkan transaksi dan mengembalikan uang pembelian Rp. 150,000,000.16

Mengkaji penegakan hukum perlindungan konsumen terhadap permasalahan iklan yang menyesatkan dihubungkan dengan konsepsi efektifitas penegakan hukum yang dikemukakan oleh Friedman, maka dapat dikaji berdasarkan empat (4) konsep pelaksanaan hukum yang telah dibentuk dalam praktik, yaitu:17

1. Struktur Hukum (Legal Structure) yang merupakan tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem.

Struktur hukum dalam perlindungan konsumen dianggap telah cukup baik dan efektif dengan dibentuknya lembaga-lembaga perlindungan konsumen, seperti BPSK dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), selain lembaga peradilan yang masing-masing dapat melakukan pengawasan terhadap penerapan hukum perlindungan konsumen (khususnya terhadap permasalahan iklan-iklan yang menyesatkan).

2. Substansi Hukum (Legal Substance) yang merupakan aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam system.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara substansi telah cukup mengatur dan memberikan kontribusi positif bagi perlindungan konsumen.

15

).Rofiq Hidayat, Kasus Iklan Nissan March Masuk Pengadilan, Hukumonline.com,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f8503fecc5fb/kasus-iklan-nissan-march-masuk-pengadilan, Diakses pada 06 Januari 2016 11:26 WIB. 16

). Nurmalia Rekso P, Pengadilan Jaksel Memenangkan Konsumen Nissan March, Tribunnews.com, http://www.tribunnews.com/nasional/2012/04/17/pengadilan-jaksel-memenangkan-konsumen-nissan-march?page=2, Diakses pada 06 Januari 2016 12:33 WIB. Lihat Juga:

Arry Anggadha, MA Tolak Kasasi Nissan Soal Gugatan March Boros, Liputan6.com, http://news.liputan6.com/read/707701/ma-tolak-kasasi-nissan-soal-gugatan-march-boros, Diakses pada 06 Januari 2016 13:03 WIB.

17

). Lawrence M. Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977, Hlm. 6-7.


(13)

Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur beragam aspek perlindungan konsumen termasuk mengatur penggunaan iklan-iklan bagi konsumen.

3. Budaya Hukum (Legal Culture) yang merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan setiap pendapat tentang hukum. Budaya hukum masyarakat dianggap belum memberikan kontribusi positif terhadap perlindungan konsumen, karena masih banyaknya paradikma masyarakat yang menganggap iklan-iklan yang menyesatkan merupakan hal yang wajar untuk menarik calon konsumen, selain terdapat suatu anggapan bahwa, pelaku usaha memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi, sehingga sangat sulit untuk dimintakan pertanggungjawaban oleh konsumen.

4. Dampak Hukum (Legal Impact) yang merupakan dampak dari suatu keputusan hukum yang diberlakukan di dalam masyarakat.18

Lembaga-lembaga perlindungan konsumen mulai dari BPSK hingga lembaga peradilan hingga saat ini telah cukup memberikan dampak positif bagi penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, karena dari beragam kasus yang diputus telah mencerminkan kepentingan konsumen tanpa mengenyampingkan hak yang dimiliki oleh pelaku usaha.

C SIMPULAN DAN SARAN

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat mencegah dan mengatasi iklan yang dapat merugikan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah secara kongkrit mengatur bentuk iklan-iklan yang dilarang dan mengatur dari beragam aspek perlindungan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan kontribusi positif terhadap permasalahan iklan-iklan yang menyesatkan konsumen. Perlindungan konsumen terhadap iklan-iklan yang menyesatkan juga diatur dalam Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran secara lengkap yang menciptakan suatu harmonisasi hukum di bidang perlindungan konsumen terhadap iklan-iklan yang menyesatkan.

Penegakan hukum terhadap iklan-iklan yang menyesatkan bagi konsumen dianggap telah cukup efektif. Penegakan hukum perlindungan konsumen terhadap iklan-iklan yang menyesatkan telah memenuhi aspek struktur hukum, substansi hukum

18

). Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, Hlm. 16.


(14)

dan dampak hukum. Penegakan hukum perlindungan konsumen terhadap iklan-iklan yang menyesatkan masih terhambat oleh budaya hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat sebagai konsumen masih sangat rendah untuk mampu memperjuangkan hak-hak konsumen yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

I. Sumber Buku dan Jurnal

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008.

Lawrence M. Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977.

Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984.

Philip Kotler, Manajemen Pemasaran (Edisi Milenium), PT.Prenhallindo.Jakarta, 2002. Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan, PT.Pustaka Utama Grafitti, Jakarta, 1995. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006), Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006.

II. Sumber Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.


(1)

Kausalitas subjektif konsumen memiliki arti bahwa, pengkajian harus dilakukan terhadap cara penggunaan konsumen pada suatu produk dihubungkan dengan iklan yang ditawarkan oleh pelaku usaha.

Contoh: Iklan penghematan konsumsi bahan bakar pada suatu produk kendaraan sangat dipengaruhi oleh cara konsumen menggunakan produk tersebut, selain dipengaruhi kualitas kepadatan jalan yang dilalui oleh konsumen.

2. Kausalitas Objektif Konsumen.

Kausalitas objektif konsumen memiliki arti bahwa, pengkajian telah dilakukan berdasarkan metode tertentu yang dibandingkan dengan metode yang digunakan oleh pelaku usaha sebagai dasar janji iklan.

Contoh: Konsumen dan pelaku usaha menggunakan metode kecepatan tetap dikalikan dengan simulasi jarak yang akan ditempuh oleh suatu produk kendaraan, memiliki konsumsi bahan bakar yang sama atau berbeda.

Konsumsi bahan bakar yang berbeda antara pengujian yang dilakukan oleh konsumen dan janji pelaku usaha dalam iklannya dapat disimpulkan bahwa, iklan yang diberikan oleh pelaku usaha tersebut memiliki unsur yang menyesatkan.

3. Kausalitas Subjektif Pelaku Usaha.

Kausalitas subjektif pelaku usaha memiliki arti bahwa, pengkajian yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap suatu produk hanya didasarkan atas sebagian kualitas produk terbaik tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai suatu kualitas produk.

Contoh: Pelaku usaha mengiklankan suatu produk kendaraan dengan hasil pengkajian konsumsi bahan bakar 1 liter untuk 25 KM tanpa memperhatikan kualitas jalan, kualitas kepadatan jalan, kualitas geografis yang dilalui dan cara mengendarai produk kendaraan tersebut.

Pelaku usaha hanya mengambil hasil kualitas nilai tertinggi sebagai dasar iklan tanpa melakukan pengujian berkali-kali dengan metode tertentu dan tanpa memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi.

4. Kausalitas Objektif Pelaku Usaha.

Kausalitas objektif pelaku usaha memiliki arti bahwa, janji produk yang terdapat pada iklan yang dibuat oleh pelaku usaha telah didasarkan atas metode tertentu


(2)

dengan mempertimbangkan beragam faktor yang dapat mempengaruhi nilai kualitas suatu produk. Iklan yang ditampilkan menerangkan metode dan faktor yang mempengaruhi untuk mencapai nilai optimal suatu kuallitas produk yang dijanjikan.

Contoh: Iklan produk kendaraan yang menjanjikan konsumsi bahan bakar sebesar 1 Liter untuk 25 KM berlaku jika dilakukan dengan kecepatan tertentu, RPM tertentu, Mode tertentu dan kemiringan jalan tertentu berdasarkan nilai kuantitatif tertentu.

Meninjau penegakan hukum yang dilakukan terhadap iklan-iklan menyesatkan yang dilakukan oleh pelaku usaha, penegakan hukum di Indonesia telah menunjukan penegakan yang cukup baik, meskipun masih sangat sedikit yang mendapatkan perhatian dari para penegak hukum. Hal ini disebabkan beberapa alasan, mengapa iklan-iklan yang menyesatkan masih banyak ditemui di masyarakat.

Adapun beberapa alasan yang menyebabkan iklan-iklan yang menyesatkan masih terus berkembang dalam praktik di antaranya ialah sebagai berikut:

1. Konsumen tidak memahami dan menyadari jenis-jenis iklan yang menyesatkan.

2. Konsumen tidak memiliki keberanian, pengetahuan, waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku usaha.

3. Konsumen takut gugatan dan tuntutan terhadap pelaku usaha akan menjadi bumerang (gugatan dan tuntutan balik) kepada konsumen itu sendiri.

4. Konsumen menilai penegakan hukum untuk meminta pertanggungjawaban pelaku usaha masih sangat sedikit dan tidak konsisten.

5. Konsumen lebih baik memiliki sikap memaklumi, mengalah dan memafkan pelaku usaha atas iklan-iklan yang menyesatkan.

6. Konsumen lebih menganggap penyebaran kekecewaan secara sosial (non-llitigasi) lebih efektif dalam memberikan dampak negatif bagi pelaku usaha. Secara filosofis, pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh konsumen terhadap pelaku usaha yang membuat iklan-iklan yang menyesatkan dan merugikan konsumen disebabkan kesadaran hukum yang kurang dalam memahami perlindungan konsumen sebagaimana asas-asas yang menjiwai Undang-Undang Perlindungan Konsumen, seperti:


(3)

1. Asas Manfaat.

Asas manfaat merupakan asas yang menghendaki segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas Keadilan.

Asas keadilan merupakan asas yang menghendaki partisipasi seluruh rakyat, selain memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas Keseimbangan.

Asas keseimbangan merupakan asas yang menghendaki keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen merupakan asas yang menghendaki jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam menggunakan, memakai dan memanfaatkan barang dan jasa yang digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum.

Asas kepastian hukum merupakan asas yang menghendaki adanya dasar hukum yang jelas bagi pelaksanaan hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen, sehingga dapat tercipta keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Kesadaran hukum masyarakat yang kurang juga didasarkan atas kurangnya pengetahuan konsumen terhadap hak-hak dasar yang dimiliki oleh konsumen, seperti:14

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety). 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to informed). 3. Hak untuk memilih (the right to choose).

4. Hak untuk didengar (the right to be heard).

Contoh kasus penegakan hukum yang dilakukan dalam praktik yang dapat dijadikan contoh baik bagi konsumen dalam menghadapi iklan yang menyesatkan dapat

14


(4)

dilihat dari perkara PT. NMI melawan konsumen yang kecewa produk yang dibeli tidak sesuai dengan janji yang diiklankan.15

Dalam perkara PT. NMI melawan konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Mahkamah Agung menguatkan dalil-dalil yang diajukan oleh konsumen dan menolak setiap keberatan yang diajukan oleh PT. NMI. PT. NMI dianggap telah melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga PT. NMI diminta membatalkan transaksi dan mengembalikan uang pembelian Rp. 150,000,000.16

Mengkaji penegakan hukum perlindungan konsumen terhadap permasalahan iklan yang menyesatkan dihubungkan dengan konsepsi efektifitas penegakan hukum yang dikemukakan oleh Friedman, maka dapat dikaji berdasarkan empat (4) konsep pelaksanaan hukum yang telah dibentuk dalam praktik, yaitu:17

1. Struktur Hukum (Legal Structure) yang merupakan tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem.

Struktur hukum dalam perlindungan konsumen dianggap telah cukup baik dan efektif dengan dibentuknya lembaga-lembaga perlindungan konsumen, seperti BPSK dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), selain lembaga peradilan yang masing-masing dapat melakukan pengawasan terhadap penerapan hukum perlindungan konsumen (khususnya terhadap permasalahan iklan-iklan yang menyesatkan).

2. Substansi Hukum (Legal Substance) yang merupakan aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam system.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara substansi telah cukup mengatur dan memberikan kontribusi positif bagi perlindungan konsumen.

15

).Rofiq Hidayat, Kasus Iklan Nissan March Masuk Pengadilan, Hukumonline.com,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f8503fecc5fb/kasus-iklan-nissan-march-masuk-pengadilan, Diakses pada 06 Januari 2016 11:26 WIB. 16

). Nurmalia Rekso P, Pengadilan Jaksel Memenangkan Konsumen Nissan March, Tribunnews.com, http://www.tribunnews.com/nasional/2012/04/17/pengadilan-jaksel-memenangkan-konsumen-nissan-march?page=2, Diakses pada 06 Januari 2016 12:33 WIB. Lihat Juga:

Arry Anggadha, MA Tolak Kasasi Nissan Soal Gugatan March Boros, Liputan6.com, http://news.liputan6.com/read/707701/ma-tolak-kasasi-nissan-soal-gugatan-march-boros, Diakses pada 06 Januari 2016 13:03 WIB.

17

). Lawrence M. Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977, Hlm. 6-7.


(5)

Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur beragam aspek perlindungan konsumen termasuk mengatur penggunaan iklan-iklan bagi konsumen.

3. Budaya Hukum (Legal Culture) yang merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan setiap pendapat tentang hukum. Budaya hukum masyarakat dianggap belum memberikan kontribusi positif terhadap perlindungan konsumen, karena masih banyaknya paradikma masyarakat yang menganggap iklan-iklan yang menyesatkan merupakan hal yang wajar untuk menarik calon konsumen, selain terdapat suatu anggapan bahwa, pelaku usaha memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi, sehingga sangat sulit untuk dimintakan pertanggungjawaban oleh konsumen.

4. Dampak Hukum (Legal Impact) yang merupakan dampak dari suatu keputusan hukum yang diberlakukan di dalam masyarakat.18

Lembaga-lembaga perlindungan konsumen mulai dari BPSK hingga lembaga peradilan hingga saat ini telah cukup memberikan dampak positif bagi penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, karena dari beragam kasus yang diputus telah mencerminkan kepentingan konsumen tanpa mengenyampingkan hak yang dimiliki oleh pelaku usaha.

C SIMPULAN DAN SARAN

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat mencegah dan mengatasi iklan yang dapat merugikan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah secara kongkrit mengatur bentuk iklan-iklan yang dilarang dan mengatur dari beragam aspek perlindungan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan kontribusi positif terhadap permasalahan iklan-iklan yang menyesatkan konsumen. Perlindungan konsumen terhadap iklan-iklan yang menyesatkan juga diatur dalam Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran secara lengkap yang menciptakan suatu harmonisasi hukum di bidang perlindungan konsumen terhadap iklan-iklan yang menyesatkan.

Penegakan hukum terhadap iklan-iklan yang menyesatkan bagi konsumen dianggap telah cukup efektif. Penegakan hukum perlindungan konsumen terhadap iklan-iklan yang menyesatkan telah memenuhi aspek struktur hukum, substansi hukum

18

). Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, Hlm. 16.


(6)

dan dampak hukum. Penegakan hukum perlindungan konsumen terhadap iklan-iklan yang menyesatkan masih terhambat oleh budaya hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat sebagai konsumen masih sangat rendah untuk mampu memperjuangkan hak-hak konsumen yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

I. Sumber Buku dan Jurnal

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan

Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008.

Lawrence M. Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977.

Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984.

Philip Kotler, Manajemen Pemasaran (Edisi Milenium), PT.Prenhallindo.Jakarta, 2002. Rhenald Kasali, Manajemen Periklanan, PT.Pustaka Utama Grafitti, Jakarta, 1995. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006), Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006.

II. Sumber Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.