Standar Penentuan Informasi Iklan Menyesatkan

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008

STANDAR PENENTUAN INFORMASI
IKLAN MENYESATKAN
Dedi Harianto
Abstract: Advertisement is used to relate a business practitioner and the
consumers. To the businessman, advertisement is a facility to introduce his
product(s), while to the consumers, advertisement is a source of information to
choose and/or to buy the product(s) that meets their needs. But in practice, most
businessman still treat advertisement only as their media of promotion to
increase the selling of their products by ignoring the rights of consumers to know
the truth and accurate information found in the advertisement. Misleading
advertisement has a potential to inflict loss to the consumers if it is not improved
and controlled well.
Kata Kunci: Perlindungan konsumen, Informasi, Iklan menyesatkan

Iklan merupakan salah satu sarana pemasaran yang cukup banyak dipergunakan oleh
pelaku usaha untuk memperkenalkan aneka produk yang dihasilkannya kepada konsumen serta
untuk meningkatkan kesadaran konsumen terhadap aneka produk yang dihasilkan (Leder,
1996).
Melalui iklan, pelaku usaha berupaya untuk menginformasikan berbagai hal

mengenai produk yang dipasarkannya kepada konsumen, antara lain tentang ketersediaan
barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat, kualitas produk, keamanan, harga, tentang
berbagai persyaratan dan atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk,
ketersediaan suku cadang, pelayanan purna jual, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan itu.
(Nasution, 2001).
Pentingnya media iklan bagi pelaku usaha dapat tergambar dalam pendapat yang
disampaikan oleh David Oughnton dan John Lowry, yang menulis “Advertising is the central
symbol of consumer society, advertising plays a central role in making available to consumers
information which the producers of the advertised product wishes the consumer to have.”
(Oughton, 1997 : 81). Melalui iklan, pelaku usaha seharusnya dapat lebih mendekatkan diri
kepada konsumen, dengan menghasilkan beraneka produk yang sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan konsumen.
Setiap pelaku usaha pasti mengharapkan agar iklannya menimbulkan efek tertentu
kepada khalayak/konsumen yang dituju, efek ini menjadi tujuan komunikasi dari suatu iklan.
Namun, bukan berarti efek yang diharapkan adalah khalayak/konsumen langsung membeli
produk yang mereka iklankan, karena walaupun tugas utamanya membantu menciptakan
penjualan, iklan tidak dirancang untuk menciptakan penjualan seketika. Dengan perkataan lain,
efek iklan bersifat jangka panjang (Sandage, 1968). Terlebih-lebih dengan adanya beberapa
bentuk iklan yang hanya ditujukan untuk meningkatkan keperdulian konsumen terhadap
merek-merek tertentu (brand awareness), sehingga merek-merek tersebut seolah-olah melekat

dibenak konsumen pada saat akan melakukan pilihan. Pada bentuk iklan seperti ini masalah
penjualan bukan merupakan skala prioritas.
41

Dedi Harianto: Standar Penentuan Informasi...

Kebutuhan konsumen akan informasi produk ini sangat penting
artinya
terutama dalam Tahap Pra-transaksi Konsumen (Sudaryatmo, 1999), karena dengan
ketersediaan informasi tersebut konsumen dapat lebih berhati-hati mempergunakan sumber
dana yang tersedia untuk membeli produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Apabila
konsumen memperoleh informasi yang salah, maka akan berakibat konsumen akan salah pula
dalam menjatuhkan pilihan sehingga dapat menimbulkan kerugian. Selain itu, dapat pula
merusak citra pelaku usaha dalam jangka panjang, serta menghilangkan kepercayaan dan
loyalitas konsumen terhadap produk yang dihasilkan pelaku usaha.
Namun, realitas yang terjadi di masyarakat tidak selamanya berjalan sebagaimana
yang diharapkan. Masih kerap kali ditemukan tindakan pelaku usaha yang menyampaikan
informasi menyesatkan melalui iklan, misalnya dengan membuat pernyataan yang tidak benar
atau menyesatkan mengenai harga, kegunaan, tanggungan, jaminan, bahaya penggunaan
barang dan/atau jasa dan sebagainya.

Kondisi tersebut dapat dilihat dari gugatan class action yang diajukan oleh Drs.
Janizal. Dkk vs. PT. Kentanik Super Internasional, pengembang Perumahan Taman Narogong
Indah yang tidak konsisten dengan brosur yang telah diterbitkannya, di mana dalam bosur
tersebut pengembang mencantumkan fasilitas pemancingan dan rekreasi di lokasi perumahan,
tetapi ternyata di atas lokasi di mana akan dibangun fasilitas kolam pancing belakangan di
bangun rumah-rumah baru yang akan dijual kepada konsumen perumahan tahap berikutnya.
Kasus ini telah terdapat Putusan Mahkamah Agung No. 3138/K/Pdt/1994, yang pada intinya
tidak memperkenankan para pengembang (developer), para pelaku usaha pada umumnya untuk
mempromosikan produk secara berlebihan melalui brosur-brosur yang diedarkannya kepada
konsumen, serta membuat terobosan baru dari segi hukum menyangkut pemberitaan
kekecewaan konsumen atas promosi yang berlebihan dari pengembang, karena pemberitaan
seperti ini bukanlah dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Perumpamaan lain dapat dikutip pengaduan 2 (dua) orang konsumen jasa
penerbangan di harian Kompas on line dan Republika yang terbit melalui media internet, pada
pokoknya mereka mempertanyakan kebenaran isi iklan perusahaan jasa penerbangan PT
AWAIR Airlines pada berbagai media cetak nasional dengan memberikan tarif penerbangan
murah Jakarta – Singapura hanya Rp. 99.000,- (sembilan puluh sembilan ribu rupiah) sekali
perjalanan untuk keberangkatan bulan Januari dan Februari. Kedua konsumen sangat tertarik
dengan promosi iklan tersebut serta telah melakukan booking ticket untuk penerbangan bulan
Januari dan Februari. Tetapi pada saat konsumen akan melakukan perjalanan sesuai dengan

jadwal yang telah ditentukan dalam tiket, mereka dikejutkan dengan adanya pembatalan
penerbangan secara sepihak oleh PT AWAIR Airlines. Melalui salah seorang staf AWAIR,
serta layanan call centre, konsumen memperoleh informasi bahwa penyebab pembatalan
jadwal penerbangan karena perusahaan penerbangan AWAIR tidak diberikan izin untuk
mendarat di bandara Changi, Singapura, pada tanggal 15 Januari 2005. Walaupun dalam
penjelasannya PT AWAIR Airlines bersedia memberikan kompensasi kepada konsumen, tetapi
konsumen tetap merasa dirugikan atas kebohongan yang dilakukan AWAIR, serta sangat
menyesalkan mengapa AWAIR telah mempromosikan jadwal penerbangan yang sama sekali
belum memperoleh kepastian mengenai izin mendarat (http://www.kompas.com/kompascetak/0503/07/opini/1601377.htm).
Praktek bisnis tidak sehat (unfair trade parctice) yang dilakukan pelaku usaha dengan
mempergunakan iklan akan berpotensi dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Kerap
kali ditemukan konsumen yang merasa tidak puas terhadap produk yang telah dipilih dan
dibelinya karena terdapat perbedaan kondisi, harga, fasilitas, mutu sebagaimana dilihatnya
melalui iklan dengan kenyataan yang sebenarnya, bahkan dalam beberapa kasus tertentu
janji-janji yang disampaikan melalui iklan tidak terbukti sama sekali. Oleh karena itu, kepada
42

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
konsumen yang mengalami kerugian akibat menerima informasi menyesatkan melalui iklan
dapat menuntut pertanggungjawaban pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan periklanan

tersebut (Miru, Yodo, 2004).
Melihat masih maraknya iklan-iklan yang memuat informasi menyesatkan konsumen,
maka menjadi hal yang cukup menarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai apa yang
dimaksudkan dengan iklan menyesatkan serta ukuran untuk menentukan apakah informasi
iklan tersebut dapat digolongkan menyesatkan atau tidak.
PENGERTIAN IKLAN MENYESATKAN
Sebagai bagian dari praktek bisnis tidak sehat, iklan menyesatkan tidak terdapat
perumusannya dalam peraturan perundang-undangan berbagai negara, termasuk di Amerika
Serikat, Australia, maupun di New Zealand. Sehingga sulit untuk memperoleh kejelasan
mengenai apa yang dimaksud dengan iklan menyesatkan (Lysonski, 1992).
Demikian pula FTC, sebagai salah satu badan pengawasan periklanan di Amerika
Serikat, tidak memberikan pengertian dengan tegas mengenai iklan menyesatkan. Hanya dalam
The FTC’s Deception Policy Statement dijelaskan bahwa (www. FTC.Gov): “An Ad is
deceptive if it contains a statement – or omits information – that:
1. is likely to mislead consumers acting reasonably under the circumstances; and
2. is “material” – that is important to a consumer’s decision to buy or use the product”.
Merujuk panduan FTC tersebut dapat diterangkan bahwa suatu iklan mengandung
misrepresentation jika penyataan eksplisit atau implisit bertolak belakang dengan fakta, atau
jika informasi penting untuk mencegah terjadinya misleading dalam suatu praktek, klaim,
representasi, atau kepercayaan yang reasonable tidak dipaparkan (omission) (Hamblin dan

Wright, 1998), sehingga konsumen rasional memperoleh kesimpulan yang salah atau
menyesatkan (Terence A. Shimp, Selain itu, fakta penting tersebut bersifat “material” karena
penting untuk dijadikan panduan bagi konsumen untuk memutuskan apakah akan membeli atau
mempergunakan produk yang diiklankan.
Pada Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam The Control of Misleading
Advertisements Regulation 1988 SI 1988/915 (Sallie Spilsbury, 1998), dinyatakan:
“ An advertisements is misleading if it in any way deceives or is likely to deceive those to
whom it reaches or is addressed and if, by reason of its deceptive nature, its likely to affect
their economic behaviour or, for those reasons, injures or is likely to injure a competitor
of the person whose interests the advertisement seeks to promote”.
Dalam pengertian iklan menyesatkan pada MEE tersebut, terangkum 2 (dua) pihak
yang akan merasakan dampak iklan menyesatkan tersebut, yaitu konsumen sebagai sasaran
utama pembuatan iklan, dan pelaku usaha lain sebagai kompetitor dari produk yang diiklankan
yang akan mengalami kerugian. Dalam jangka panjang konsumen akan kehilangan seluruh
kepercayaannya terhadap setiap pesan iklan yang disampaikan pelaku usaha, walaupun
sebenarnya pesan iklan tersebut disampaikan dengan jujur.
Seperti halnya Amerika Serikat, New Zealand, maupun Australia, Undang-undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) di Indonesia–pun tidak merumuskan dengan tegas
pengertian iklan menyesatkan, namun dalam Pasal 10 Bab IV Perbuatan yang Dilarang Bagi
Pelaku Usaha, meneegaskan:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan. Mempromosikan, mengiklankan atau membuat
penyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: Harga atau tarif suatu barang
dan/atau jasa; Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; Kondisi, tanggungan, jaminan, hak
43

Dedi Harianto: Standar Penentuan Informasi...

atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; Tawaran potongan harga atau hadiah
menarik yang ditawarkan; Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa”.
Tampaknya, apa yang dirumuskan dalam Pasal 10 UUPK tersebut berkaitan dengan
adanya “fakta material” dalam suatu iklan, di mana pernyataan menyesatkan mengenai harga,
kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, tawaran potongan harga, hadiah, maupun bahaya
penggunaan barang dan/atau jasa dapat mempengaruhi konsumen dalam memilih atau membeli
produk yang diiklankan.
Menurut Milton Handler, Iklan Menyesatkan (False Advertising) adalah “jika
representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk
pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut merugikan pembeli, serta
dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan (Handler, 1972 : 475).
Dalam praktek bisnis kerap akan timbul pernyataan palsu yang tidak sesuai dengan

kondisi produk yang sebenarnya, yang menyesatkan (Mislead Statement) atas suatu produk
yang dijual atau iklan yang membohongi konsumen dengan cara mengungkapkan hal-hal yang
tidak benar (False statement), serta mempergunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa
didukung fakta (Puffery).
STANDAR PENENTUAN INFORMASI IKLAN MENYESATKAN
Pada dasarnya standar kriteria periklanan di Indonesia sedikit banyaknya telah
disesuaikan dengan standar kriteria yang berlaku di negara-negara maju, misalnya di Amerika
Serikat, yaitu dengan telah mempergunakan unsur-unsur fakta material sebagaimana tertuang
dalam Pasal 10 UUPK serta konsumen rasional sebagaimana terdapat dalam Pasal 17 Ayat (1)
huruf a dan b UUPK. Tetapi keberadaan fakta material dan konsumen rasional tersebut belum
cukup jelas diatur dalam ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia sehingga pada
prakteknya belum secara tegas dijadikan sebagai dasar penentuan iklan menyesatkan.
Sedikitnya kasus-kasus periklanan yang sampai ke pengadilan, maupun keterbatasan
peran serta hakim yang hanya bertindak “sebagai corong undang-undang” dalam proses
beracara di pengadilan, juga menjadi penyebab standar kriteria iklan tersebut belum dapat
diterapkan secara maksimal dalam menangani kasus-kasus periklanan serta perkembangannya
berjalan dengan lambat.
Mencermati kelemahan-kelemahan dalam pengaturan kegiatan periklanan dan praktek
pengawasan informasi iklan, maka dipandang perlu untuk memberikan penegasan mengenai
keberadaan fakta material dan konsumen rasional sebagai standar penentuan iklan menyesatkan

di Indonesia dengan membandingkannya dengan standar penentuan informasi iklan yang
terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik di tingkat federal maupun negara
bagian, serta dalam kode etik periklanan di Amerika Serikat, standar penentuan informasi iklan
juga telah ditetapkan Federal Trade Commission (FTC) maupun pengadilan dalam menangani
berbagai kasus periklanan:
Adanya Penyesatan Informasi (Misleading)
Untuk menentukan adanya misrepresentation dalam suatu iklan maka akan dilihat
apakah dalam iklan tersebut terdapat pernyataan yang secara eksplisit atau implisit bertolak
belakang dengan fakta, atau jika informasi penting untuk mencegah terjadinya misleading
dalam suatu praktek, klaim, representasi, atau kepercayaan yang reasonable tidak
dipaparkan (omission), sedangkan dalam EPI dijelaskan bahwa praktek pemberian informasi
yang menyesatkan dapat berupa memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabui dan
memberikan janji yang berlebihan.

44

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Penjelasan yang hampir bersamaan dapat ditemukan dalam kasus Myzel v. Fields
(386 F.2d 718, 734 C.A. Minn (1967)), di mana pengadilan menetapkan batasan
misrepresentation dan Ommission yang menyebabkan suatu pernyataan yang menyesatkan,

yaitu apabila pernyataan fakta materil yang diungkapkan adalah salah atau tidak lengkap dan
pihak yang melakukannya mempunyai maksud untuk melakukan penipuan.
Di samping itu, pihak yang mengajukan pengungkapan mengenai terdapatnya
pernyataan iklan yang salah (misrepresentation) harus pula menunjukkan bagian yang mana
dari pernyataan iklan tersebut yang mengandung kesalahan dengan disertai bukti-bukti yang
kuat, seperti keterangan ahli atau hasil test. Misalnya dalam kasus Coca Cola Co. v. Tropicana
Prod. Inc. (690 F.2d 312, 318 (2d Cir. 1982), terdapat kalimat “It’s pure pasteurized juice as it
comes from the orange”. Kalimat dalam iklan ini mengandung pernyataan yang salah, karena
kesegaran jus jeruk yang dihasilkan dari proses pasteurisasi tentu mempunyai kualitas yang
berbeda dengan kesegaran jus jeruk yang dihasilkan dari buah jeruk segar. Hal ini sebagai
dampak dari dilaksanakannya proses pengawetan dengan metode pemanasan hingga
temperatur tertentu.
Dalam praktek di pengadilan Amerika Serikat, bentuk penyesatan informasi iklan juga
dapat terjadi pada iklan-iklan yang sebenarnya memuat informasi yang benar tetapi informasi
tersebut dapat menimbulkan persepsi yang salah atau menyesatkan konsumen (Brian H. Cole,
2000). Dalam kasus Johnson & Johnson “Merck Consumer Pharm. Co. v. Smithkline Beecham
Corp. (960 F.2d 294, 297 (2d Cir. 1992), bermula pada saat Smithkline Beecham Corp. telah
mempromosikan produk “antacid” dengan kelebihannya tidak mengandung alumunium dalam
komposisi produknya, sedangkan produk kompetitor pada umumnya mengandung alumunium.
Walaupun informasi tersebut pada dasarnya benar, tetapi kompetitor mengkhawatirkan dampak

informasi tersebut dapat menimbulkan persepsi yang salah kepada konsumen, di mana
keberadaan alumunium dalam komposisi produk dapat dianggap sebagai bahan berbahaya.
Dalam pengertian luas, konsumen dikatakan tertipu oleh klaim atau kampanye iklan
apabila: (a) Impresi atau kesan yang diberikan dalam klaim atau kampanye iklan tersebut
adalah salah, atau dengan kata lain timbul claim fact discrepancy- ketidaksesuaian antara klaim
dengan fakta; (b) Klaim atau kampanye iklan yang salah tersebut dipercaya oleh konsumen”.
Hal penting yang perlu diingat adalah klaim yang salah tersebut bukan berarti bersifat
menipu dengan sendirinya, tetapi konsumen perlu percaya terlebih dahulu kepada sebuah
klaim, baru kemudian dapat tertipu olehnya. Sebuah klaim yang salah tidak akan
membahayakan konsumen kecuali jika dipercaya, dan sebuah klaim yang benar dapat
membahayakan jika menimbulkan kepercayaan yang salah.
Fakta Material
Selain terdapatnya unsur penyesatan (misleading), untuk menentukan standar
informasi iklan yang menyesatkan juga didasarkan adanya fakta material yang dapat
mempengaruhi konsumen dalam memutuskan untuk melakukan pembelian. Menurut Mary L.
Azcuenaga bahwa “The FTC Act requires not only that advertising claims be truthful, but also
they not mislead reasonable consumers about material and objective aspects of the product or
service to which they relate.”(Azcuenaga, 1995 : 5). Iklan tidak hanya harus memuat informasi
secara jujur, juga harus tidak menyesatkan konsumen rasional mengenai materi dan tujuan
barang dan atau jasa.
Apabila fakta material tersebut dikaitkan dengan informasi yang dibutuhkan oleh
konsumen, maka fakta material tersebut harus memuat keterangan yang dapat mempengaruhi
keputusan konsumen dalam memilih atau membeli suatu produk. Hal ini dapat disimpulkan
dari pengertian fakta material yang dianut oleh Federal Trade Commision di Amerika Serikat
dalam kasus Exposition Press Inc. v. FTC. 293 F.2d 869 (2d Cir. 1961), berpendapat “Material
45

Dedi Harianto: Standar Penentuan Informasi...

here refers to a fact which influences some consumer action or decision usually (but not
necessarily) the purchase decision.”
Pengertian tersebut di atas, dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk menilai apakah
suatu iklan yang ditayangkan pelaku usaha dapat dikategorikan menyesatkan atau tidak,
dengan mengukur materialitas informasi yang terdapat dalam iklan berkenaan dengan
keputusan konsumen dalam melakukan pembelian, dalam hal ini konsumen rasional (Keaty,
Johns, Henkem, 2002).
Sebagai contoh pembuktian fakta material dapat dilihat dalam kasus Nat’l Basketball
Ass’n vs. Motorola. Inc. F.3d 841, 855 (2d Cir. 1997), di mana telah diajukan gugatan oleh the
National Basketball Association
terhadap Motorolla yang telah mempergunakan
pernyataan/klaim berlebihan dalam mengiklankan layanan pager Sportstrax dengan memuat
informasi perkembangan hasil-hasil pertandingan basketball terbaru langsung dari arena
pertandingan, “straight from each arena”. Tetapi kenyataannya informasi yang disampaikan
melalui layanan pager tersebut dikumpulkan dari stasiun-stasiun radio maupun televisi.
Kemudian pengadilan memutuskan bahwa pernyataan/klaim iklan pager Motorolla tidak
bersifat material karena konsumen tidak memperdulikan apakah informasi pertandingan
basketball tersebut diliput secara langsung di arena atau merupakan infomasi yang
dikumpulkan melalui stasiun radio maupun televisi.
Fakta Tersebut Mempengaruhi Konsumen Rasional
Dengan memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan iklan terhadap konsumen,
maka FTC telah melibatkan konsumen sebagai kriteria guna menentukan keberadaan iklan
menyesatkan. FTC akan melihat pengaruh informasi yang terdapat dalam iklan terhadap
interpretasi atau keputusan konsumen rasional dalam memilih dan atau membeli suatu produk
yang diiklankan. Adapun konsumen rasional dapat diartikan sebagai “konsumen yang dalam
memilih atau membeli barang dan/atau jasa yang dibutuhkan, benar-benar didasarkan atas
pertimbangan yang matang berdasarkan informasi yang diterimanya melalui iklan.” (Keaty,.
Johns, Henkem, 2002).
Kriteria ini perlu dipertimbangkan karena iklan dibuat untuk ditujukan kepada
khalayak sasaran tertentu, berdasarkan tingkat pendidikan, kapasitas intelektual, kerangka
pemikiran, dan sebagainya. Misalnya jika sebuah perusahaan memasarkan obat untuk penyakit
mematikan, maka iklan obat tersebut akan dievaluasi dengan melihat bagaimana efeknya
terhadap anggota suatu kelompok tertentu, yang menderita penyakit mematikan tersebut.
Konsumen dengan penyakit tersebut tentunya akan terpengaruh dengan klaim-klaim
penyembuhan yang dibesar-besarkan (Spilsbury, 1998). Demikian pula iklan suatu produk
otomotif yang menawarkan berbagai fitur keselamatan dan keamanan dalam berkendara dari
segala bahaya kecelakaan di jalan raya. Evaluasi akan dilakukan dengan melihat efek iklan
produk otomotif tersebut dengan pilihan konsumen dalam melakukan pembelian produk
otomotif.
Salah satu kasus yang pernah ditangani oleh The Fair Trading Commission guna
melindungi konsumen rasional dari pernyataan atau klaim berlebihan yang memungkinkan
terjadinya penyesatan, adalah the Jay Norris Case, 91 F.T.C.751, n.20 (1978). Dalam kasus ini
The Fair Trading Commission telah menuduh sebuah perusahaan elektronik telah melanggar
ketentuan Section 37 of the Fair Competition Act dengan mempergunakan kalimat “electronic
miracle” untuk mempromosikan antena televisi hasil produksinya. Perusahaan elektronik
tersebut membantah tuduhan itu dengan menyatakan bahwa keterangan yang diberikannya
hanya sedikit berlebihan.
The Fair Trading Commission tidak sependapat dengan argumen yang diajukan oleh
perusahaan elektronik tersebut, dan menyatakan: “the use of electronic miracle in the context
46

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
of (the defendant’s) grossly exaggerated claims would lead consumers to give added credence
to the overall suggestion that this device is superior to other types of antennae.”
Pentingnya kedudukan konsumen rasional sebagai salah satu unsur untuk
membuktikan adanya penyesatan dalam iklan juga dipergunakan oleh Mahkamah Agung
Amerika Serikat dalam kasus FTC v. Colgate-Palmolive Co (380 U.S. 374 (1965), yang
berpendapat “The misrepresentation on any fact so long as it materially induces a purchaser’s
decicion to buy is a deception prohibited.”
Pembenaran terhadap Klaim-Klaim Iklan
Bentuk-bentuk pelanggaran iklan dengan cara menonjolkan klaim-klaim produk tanpa
disertai pembuktian kongkrit, merupakan salah satu bentuk penyesatan informasi yang cukup
banyak ditemukan di berbagai media cetak maupun elektronik. Melalui penonjolan klaimklaim produk tersebut, pelaku usaha berusaha menginformasikan keunggulan, kemanjuran dan
manfaat yang akan diperoleh konsumen serta kadangkala memperbandingkannya dengan
produk lain milik kompetitor. Beberapa klaim produk yang ditemukan cenderung bersifat
subyektif, misalnya “lebih putih, terbaik, menjadikan masakan lebih enak, mencuci lebih
bersih, dan sebagainya”. Klaim–klaim seperti ini cenderung melebih-lebihkan kemampuan
produk (puffery) dari kemampuan sebenarnya.
Apabila melihat dampak dari klaim iklan berlebihan (puffery) tersebut terhadap
konsumen, maka bentuk iklan seperti ini tidak akan berdampak menyesatkan konsumen
rasional, karena unsur klaim berlebihan tersebut nyata terlihat oleh konsumen. Walaupun
demikian, pengadilan di Amerika Serikat tetap melarang tayangan iklan yang mengandung
unsur klaim berlebihan tersebut, seperti dipraktekkan dalam kasus Pizza Hut, Inc. v. Papa
John’s International, Inc.(No.00-10071) di mana pengadilan melarang Papa John’s meneruskan
tayangan iklan pizzanya yang memuat slogan dagang “Better Ingredients, Better Pizza”.
Bentuk pengawasan berkaitan dengan penggunaan klaim-klaim iklan diberikan oleh
pengadilan di Amerika Serikat, yaitu untuk mengukur kebenaran klaim-klaim iklan yang
disampaikan pelaku usaha melalui iklan perbandingan (comparative advertising). Berkaitan
dengan hal itu pengadilan mempergunakan 3 (tiga) kriteria: (a) Serangkaian percobaan yang
dilakukan untuk membuktikan kemampuan produk yang diperbandingkan, harus
memperhatikan kondisi sebenarnya pada saat konsumen mempergunakan produk yang
bersangkutan. (b) Untuk menghindarkan terjadinya bias terhadap hasil percobaan, the Lanham
Act mensyaratkan agar pihak yang melakukan serangkaian percobaan tersebut adalah pihak
yang netral, tidak mempunyai kaitan sama sekali dengan produk yang diuji coba, serta tidak
mengetahui identitas objek percobaan, produsen penghasil produk, bahkan pihak yang menjadi
sponsor percobaan tersebut. (c) Metoda statistik yang dipergunakan harus dapat menunjukkan
perbedaaan aktual dari performa setiap produk yang diuji coba, sehingga dapat terlihat
perbedaannya secara nyata”.
Keterlibatan pengadilan dalam menguji kebenaran klaim-klaim iklan berdasarkan
ketentuan Pasal 43 (a) The Lanham Act, dapat diajukan oleh para kompetitor yang merasa
dirugikan maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan, tetapi tidak dapat diajukan oleh
konsumen, karena bagi konsumen dapat mengajukan gugatan berdasarkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen di masing-masing negara bagian.
Sebagai contoh bagaimana pengadilan di Amerika Serikat berperan dalam mengontrol
kebenaran klaim-klaim iklan, dapat dilihat dalam kasus S.C Johnson & Son, Inc. v. Clorox Co.
(930 F.Supp.753, 904-05 (E.D.N.Y. 1996). Pengadilan di Eastern District of New York telah
menolak argumen pembelaan tergugat berdasarkan ketentuan The Lanham Act, berkenaan
pembuktian klaim tergugat mengenai kemampuan alat perangkap kecoa. Penolakan pengadilan

47

Dedi Harianto: Standar Penentuan Informasi...

sehubungan ketidakmampuan tergugat memberikan pembuktian kebenaran klaim tersebut
dikaitkan dengan kondisi penggunaan produk sebenarnya di masyarakat.
Terdapat setidaknya 3 (tiga) hal yang menunjukkan kegagalan pembelaan tergugat,
yaitu: pertama, pengujian pengendalian serangga dilakukan dengan melibatkan tenaga ahli
untuk menentukan seberapa banyak campuran produk yang diperlukan untuk menangani
kecoak dalam jumlah tertentu, sedangkan realitanya konsumen tidak mempunyai keahlian
tersebut agar dapat diperoleh hasil yang maksimal. Kedua, pengadilan telah menemukan
kelebihan penggunaan produk selama pengujian yang tidak sesuai dengan petunjuk
penggunaan produk sebagaimana tercantum dalam label. Ketiga, selama pengujian tergugat
telah mempergunakan perangkap tambahan, sementara dalam label penggunaan perangkap
tambahan tersebut tidak pernah disarankan kepada konsumen.
KESIMPULAN
Maraknya penayangan informasi iklan menyesatkan tidak dapat dilepaskan dari
semakin ketatnya persaingan di antara para pelaku usaha guna menarik perhatian konsumen,
sehingga informasi yang diberikan melalui media iklan cenderung berlebihan, menyesatkan
dan menipu konsumen. Upaya penyesatan informasi melalui media iklan dapat menyangkut
informasi mengenai harga, kualitas, kegunaan suatu barang, layanan purna jual,
jaminan/garansi suatu barang atau jasa dan sebagainya. Serta dengan memuat informasi secara
keliru, salah, maupun tidak tepat (deceptive) mengenai barang dan/atau jasa, memberikan
gambaran secara tidak lengkap (ommission) mengenai informasi barang dan/atau jasa, atau
dengan memberikan informasi yang berlebihan (puffery)mengenai kualitas, sifat, kegunaan,
kemampuan barang dan/atau jasa.
Terdapat beberapa kriteria yang dapat dipergunakan sebagai standar penentuan
terdapatnya informasi iklan menyesatkan, yaitu adanya Penyesatan Informasi (Misleading),
fakta material, konsumen rasional, dan pembenaran terhadap klaim-klaim iklan. Keseluruhan
kriteria tersebut sangat membantu pemerintah dan lembaga-lembaga terkait dengan dunia
periklanan untuk mengawasi berbagai tayangan iklan yang terdapat di media cetak maupun
media elektronik, sehingga potensi kerugian yang kemungkinan dialami oleh konsumen dapat
dihindarkan.
DAFTAR PUSTAKA
“Advertising Practices, Frequently Asked Question, Answer for Small Business”, Federal
Trade Commission, www.FTC.Gov.
Azcuenaga, Mary L. 1995. Advertising Regulation and The Free Market. Makalah yang
disajikan dalam International Congrees of Advertising and Free Market, “Freedom:
XXI Century; The Century of The Consumer”. di Lima, Peru.
Cole, Brian H. 2000. “Franchisor v. Franchisor and The Lanham Act: False Advertising and
Infringement of Trademarks, Service Marks and Trade Dress”. Kertas kerja yang
disajikan pada The American Bar Association Forum on Franchising Conference. di
New Orleans, Lousiana.
Hamblin, C. and Wright, F.B. 1988. Introduction to Commercial Law. Sweet and Maxwell.
London.
Handler, Milton. 1972, Business Tort, Case and Materials. Foundation Press. New York.
Keaty, Anne, Johns, Roger J, Henke, Lucy L.2002. “Can Internet Service Providers and Other
Secondary Parties be Held Liable for Deceptive Online Advetising”, The Bussines
Lawyer, Vol. 58.
48

JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
Leder, Malcolm, dan Shears, Peter. 1996. Frame Works Consumer Law. Fourth Edition.
Pitman Publishing. London.
Lysonski, Steven, dan Duffy, Michael F. 1992. “The New Zealand Fair Trading Act of 1986:
Deceptive Advertising”, The Journal of Consumer Affair, Vol. 26. Madison.
Miru, Ahmadi, dan Yodo, Sutarman. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja
Grafindo. Jakarta.
Nasution, A.Z. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar). Diadit Media.
Yogyakarta.
Oughton, David, dan Lowry, Jhon. 1997. The Text Book on Consumer Law. Black Stone Press
Limited. London.
Sandage, Barbanand. 1968. Reading in Advertising and Promotion Strategy. Richard D Irwin
Inc. USA.
Sudaryatmo. 1999. Hukum dan Advokasi Konsumen. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Shimp, Terence A. 2003. Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran
Terpadu. Edisi ke 5. Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial, Dyah Anikasi. Erlangga,
Jakarta.
Spilsbury, Sallie. 1998. Guide to Advertising and Sales Promotion Law. Cavendish Publishing
Limited. London.
“Siapa “Raja” Konsumen atau Produsen, Kumpulan Rubrik Advokasi Konsumen Harian
Kompas. 2000. Harian Kompas berkerjasama dengan Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI). Jakarta.
Janizal Dkk. v. PT. Kentanik Super Internasional, Putusan Mahkamah Agung
3138/K/Pdt/1994.

49

No.

Dokumen yang terkait

Iklan Dan Brand Awareness Khalayak (Studi Korelasional Iklan “Mie Gelas“ Versi Luna Maya Di Televisi Terhadap Brand Awareness Khalayak di SMA Negri 13 Medan)

0 35 102

TINJAUAN YURIDIS SENGKETA IKLAN LAYANAN BLACKBERRY YANG MENYESATKAN ANTARA KONSUMEN DAN TELKOMSEL Tinjauan Yuridis Sengketa Iklan Layanan Blackberry Yang Menyesatkan Antara Konsumen Dan Telkomsel (Studi Kasus Putusan BPSK kota Surakarta Nomor: 001-3/I/IX

0 2 19

TINJAUAN YURIDIS SENGKETA IKLAN LAYANAN BLACKBERRY YANG MENYESATKAN ANTARA KONSUMEN DAN TELKOMSEL Tinjauan Yuridis Sengketa Iklan Layanan Blackberry Yang Menyesatkan Antara Konsumen Dan Telkomsel (Studi Kasus Putusan BPSK kota Surakarta Nomor: 001-3/I/IX

0 0 22

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT ADANYA IKLAN OPERATOR TELEPON SELULER YANG MENYESATKAN.

0 0 6

SOSIALISASI PENINGKATAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TENTANG JAMINAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP IKLAN YANG MENYESATKAN.

0 0 6

PELAKSANAAN IKLAN YANG MENYESATKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN.

0 3 6

Fatwa Haram yang Menyesatkan.

0 0 1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN LAYANAN JASA TELEKOMUNIKASI BERGERAK (SELULER) DARI IKLAN YANG MEMUAT INFORMASI MENYESATKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSU.

0 0 1

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN YANG MENYESATKAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

1 1 164

PERANAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA DALAM MEMBANTU MASYARAKAT YANG DIRUGIKAN AKIBAT IKLAN YANG MENYESATKAN

0 0 12