informasi astronomis hilal awal dzulqo'dah 1431h

INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI
SAAT MATAHARI TERBENAM
TANGGAL 8 OKTOBER 2010
PENENTU AWAL BULAN DZULQO’DAH 1431 H

Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam
mengelilingi Matahari memungkinkan manusia untuk mengetahui penentuan waktu. Salah
satunya adalah penentuan awal bulan qomariah, yang didasarkan pada peredaran Bulan
mengelilingi Bumi. Penentuan awal bulan qomariah ini sangat penting bagi umat Islam,
misalnya dalam penentuan awal dan akhir shaum Ramadhan, hari raya Idul Fitri, hari raya Idul
Adha, dan awal tahun baru Hijriah.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai institusi pemerintah
yang salah satu tupoksinya dalam penentuan tanda waktu sangat berkepentingan dalam
penentuan awal bulan qomariah ini. Untuk itu, BMKG menyampaikan Informasi Astronomis
Hilal dan Matahari saat Matahari Terbenam Tanggal 8 Oktober 2010: Penentu Awal Bulan
Dzulqo’dah 1431 H sebagai berikut.

1. Waktu Konjungsi (Ijtima’) dan Terbenam Matahari
Konjungsi geosentrik atau konjungsi atau ijtima’ adalah peristiwa ketika bujur Ekliptika
Bulan sama dengan bujur Ekliptika Matahari dengan pengamat diandaikan berada di pusat
Bumi. Kejadian ini akan kembali terjadi pada Kamis, 7 Oktober 2010, pukul 18 : 44 UT atau

Jumat, 8 Oktober 2010, pukul 01 : 44 WIB atau 02 : 44 WITA atau 03 : 44 WIT, yaitu ketika
nilai bujur Ekliptika Matahari dan Bulan sama-sama 194,395o. Pada saat konjungsi, jarak sudut
Matahari dan Bulan (elongasi) adalah 4,671o. Elongasi ini lebih besar daripada jumlah semi
diameter Bulan dan Matahari pada saat tersebut, yaitu 0,543o, sehingga pada saat konjungsi
tidak akan terjadi Gerhana Matahari. Dengan demikian, peristiwa konjungsi ini tidak akan
teramati secara visual. Periode sinodis Bulan sendiri terhitung sejak konjungsi sebelumnya
hingga konjungsi yang akan datang ini adalah 29 hari 8 jam 15 menit.
Waktu terbenam Matahari dinyatakan ketika bagian atas piringan Matahari tepat di horison
teramati. Hal ini bergantung pada berbagai hal, yang di antaranya adalah semi diameter
Matahari, efek hamburan/refraksi atmosfer Bumi, dan elevasi lokasi pengamat di atas
permukaan laut (dpl). Dalam perhitungan standar1), semi diameter Matahari dianggap 16’, efek
1

refraksi dianggap 34’. Di sini, elevasi pengamat dianggap 0 meter dpl. Berdasarkan hal tersebut,
Matahari terbenam di wilayah Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2010 paling awal terjadi pada
pukul 17 : 30 WIT di Jayapura dan paling akhir pada pukul 18 : 27 WIB di Sabang.
Dengan memperhatikan waktu konjungsi dan Matahari terbenam, dapat dikatakan bahwa
konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010 di wilayah Indonesia.
Dengan demikian, secara astronomis waktu pelaksanaan rukyat Hilal bagi yang menerapkan
rukyat dalam penentuan awal bulan qomariah adalah setelah Matahari terbenam tanggal 8

Oktober 2010. Sementara itu bagi yang menerapkan hisab dalam penentuan awal bulan
qomariah, perlu diperhitungkan kriteria-kriteria hisab saat Matahari terbenam tanggal 8 Oktober
2010 tersebut.

2. Data Astronomis Hilal dan Matahari untuk Beberapa Kota di Indonesia
Pada Lampiran tentang “Data Astronomis Hilal dan Matahari saat Matahari Terbenam
Penentu Awal Bulan Dzulqo’dah 1431 H, Jumat, 8 Oktober 2010 M” ditampilkan informasi
astronomis Hilal dan Matahari untuk beberapa kota di Indonesia saat Matahari terbenam tanggal
8 Oktober 2010. Informasi ini adalah informasi dasar penentu awal bulan Dzulqo’dah 1431 H.
Pada tabel tersebut, ketinggian Hilal dinyatakan sebagai ketinggian pusat piringan Bulan dari
horison dengan ketinggian pengamat dianggap 0 meter dpl dan efek refraksi atmosfer Bumi
belum diikutsertakan dalam perhitungan.
Dalam kenyataannya, efek refraksi atmosfer Bumi, tinggi lokasi pengamat di atas
permukaan laut dan semi diameter Bulan akan berpengaruh terhadap tinggi Hilal. Nantinya,
tinggi Hilal dinyatakan sebagai ketinggian titik di piringan Bulan yang jarak sudutnya paling
dekat dengan pusat Matahari dari horison teramati. Untuk memperoleh tinggi Hilal dari horison
teramati, dapat digunakan persamaan (1) berikut,
a = a0 + R + d − s ,

(1)


dengan a adalah tinggi Hilal dari horison teramati dan ao adalah tinggi Hilal dari horison.
Adapun R adalah efek refraksi atmosfer dalam satuan derajat. Untuk Hilal dengan tinggi dari

(

)
)

horison kurang dari 15o, nilai R-nya dapat dinyatakan oleh1)
R=

P 0,1594 + 0,0196a0 + 0,00002a02
,
(273 + T ) 1 + 0,505a0 + 0,0845a02

(

(2)


dengan T adalah temperatur lokasi pengamatan dalam satuan oC dan P adalah tekanan
barometrik dalam satuan milibars. Pada persamaan (1) di atas, d adalah kerendahan horison
(dip) dalam satuan menit busur yang dinyatakan oleh2)
2

d = 1,93 h ,

(3)

dengan h adalah tinggi lokasi pengamat di atas permukaan laut dalam satuan meter. Adapun s
adalah


⎛ DAz ⎞ ⎞
⎟⎟ ,
s = SD cos⎜ Arc tan ⎜⎜
⎟⎟

Da


⎠⎠


(4)

dengan SD adalah semi diameter Bulan, |DAz| adalah nilai mutlak selisih Azimuth Bulan dan
Matahari dan Da adalah selisih tinggi antara Bulan dan Matahari. Rata-rata, nilai semi diameter
Bulan saat Matahari terbenam di wilayah Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2010 masingmasing adalah 16’ 30,26”. Pada tabel di atas, nilai selisih tinggi antara Bulan dan Matahari dapat
diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut
Da = Elongasi 2 − DAz 2 .

(5)

Jika tulisan di samping nilai Elongasi adalah “atas Matahari” maka nilai Da positif dan jika
tulisan di samping nilai Elongasi adalah “bawah Matahari” maka nilai Da negatif.
Sebagai contoh untuk perhitungan di atas adalah ketinggian Hilal tanggal 8 Oktober 2010
untuk pengamat di Pelabuhan Ratu dengan tinggi 50 meter dpl dan kondisi refraksi atmosfer
standar1,2) (Temperatur lokasi pengamatan 10o C dan tekanan barometrik 1010 milibars).
Berdasarkan persamaan (2) di atas, nilai R adalah 0,1433o. Berdasarkan persamaan (3) di atas,
nilai d adalah 0,2275o. Berdasarkan persamaan (4) dan (5) di atas, nilai s adalah 0,1880o. Jika

hasil-hasil ini diterapkan pada persamaan (1) di atas, maka akan diperoleh

a = 5,8487o + 0,1433o + 0,2275o − 0,1880o
= 6,0314o

.

(6)

Dengan demikian, tinggi Hilal dari horison teramati di Pelabuhan Ratu saat Matahari terbenam
tanggal 8 Oktober 2010 adalah 6o 1,88’. Prosedur yang sama dapat dilakukan untuk lokasi
lainnya.

3. Peta Ketinggian Hilal
Pada Gambar 1 ditampilkan peta ketinggian Hilal di seluruh dunia saat Matahari terbenam di
masing-masing lokasi pengamat di permukaan Bumi pada tanggal 8 Oktober 2010. Di sini
hanya ditampilkan ketinggian Hilal untuk pengamat di antara 60o LU sampai dengan 60o LS.
Pada Gambar 1 tersebut ditampilkan pula ketinggian Hilal untuk pengamat yang berada di
Indonesia. Hal ini lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2. Pada kedua gambar tersebut,
ketinggian Hilal dinyatakan sebagai ketinggian pusat piringan Bulan dari horison dengan


3

ketinggian pengamat dianggap 0 meter dpl dan efek refraksi atmosfer Bumi belum
diikutsertakan dalam perhitungan.

Gambar 1. Peta ketinggian Hilal tanggal 8 Oktober 2010 untuk pengamat antara 60o LU s.d. 60o LS.

Sebagaimana terlihat pada Gambar 1, ketinggian Hilal 0o melewati daerah Samudra Pasifik,
Asia Timur, Danau Laut Kaspia, Eropa bagian Selatan, Samudra Atlantik dan Amerika Utara.
Secara sederhana, garis ketinggian Hilal 0o dapat dianggap sebagai garis batas tanggal qomariah.
Daerah yang berada di sebelah Barat Daya garis ketinggian Hilal 0o dimungkinkan untuk
memulai awal Dzulqo’dah 1431 H pada tanggal 9 Oktober 2010 mengingat Hilal masih berada
di atas Horison saat Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010. Adapun daerah di sebelah
Timur Lautnya belum akan memulai awal Dzulqo’dah 1431 H pada tanggal 9 Oktober 2010. Ini
karena Hilal saat Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010, Hilal sudah di bawah Horison.
Namun demikian, dalam praktiknya penentuan awal Dzulqo’dah 1431 H bergantung kepada
kebijakan masing-masing negara.
Pada Gambar 2 terlihat ketinggian Hilal di Indonesia saat Matahari terbenam pada 8 Oktober
2010 berkisar antara 3,50o sampai dengan 5,90o.


4

Gambar 2. Peta ketinggian Hilal tanggal 8 Oktober 2010 untuk pengamat di Indonesia

Setelah efek refraksi standar1,2) dan semi diameter Bulan diikutsertakan dalam perhitungan,
akan diperoleh peta ketinggian Hilal sebagaimana ditampilkan Gambar 3. Pada gambar tersebut,
ketinggian Hilal dinyatakan sebagai ketinggian titik di piringan Bulan yang jarak sudutnya
paling dekat dengan pusat Matahari dari horison teramati dengan pengamat dianggap berada di
permukaan laut. Sebagaimana terlihat pada Gambar 3, ketinggian Hilal dari horison teramati di
Indonesia saat Matahari terbenam pada 8 Oktober 2010 antara 3,55o sampai dengan 5,85o.

Gambar 3. Peta ketinggian Hilal dari horison teramati tanggal 8 Oktober 2010 di Indonesia

5

4. Peta Elongasi
Elongasi adalah jarak sudut antara pusat piringan Bulan dan pusat piringan Matahari untuk
pengamat di permukaan Bumi. Pada Gambar 4 ditampilkan peta elongasi untuk pengamat di
Indonesia saat matahari terbenam pada tanggal 8 Oktober 2010. Elevasi pengamat dianggap 0

meter dpl dan efek refraksi tidak diikutseratakan dalam perhitungan. Sebagaimana terlihat pada
Gambar 4, elongasi saat Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010 di Indonesia berkisar antara
8,65o sampai dengan 10,30o.

Gambar 4. Peta Elongasi tanggal 8 Oktober 2010 untuk pengamat di Indonesia

5. Peta Umur Bulan
Umur Bulan didefinisikan sebagai selisih waktu antara terbenam Matahari dengan waktu
terjadinya konjungsi dengan ketinggian pengamat dianggap 0 meter dpl. Pada Gambar 5
ditampilkan peta umur Bulan saat Matahari terbenam pada tanggal 8 Oktober 2010.
Sebagaimana terlihat pada Gambar 5, umur Bulan di Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2010
berkisar antara 13,65 jam sampai dengan 16,90 jam.

6

Gambar 5. Peta Umur Bulan tanggal 8 Oktober 2010 untuk pengamat di Indonesia

6. Peta Lag
Lag adalah selisih waktu terbenam Bulan dengan Matahari. Waktu terbenam Bulan
dinyatakan saat bagian atas piringan Bulan tepat di horison teramati. Dalam perhitungan

standar1), efek refraksi dianggap 34’ dan elevasi pengamat 0 meter dpl. Pada Gambar 6
ditampilkan peta Lag untuk pengamat di Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2010. Sebagaimana
terlihat pada gambar tersebut, Lag di Indonesia tanggal 8 Oktober 2010 berkisar antara 18,5
menit sampai dengan 29,0 menit.

Gambar 10. Peta Lag tanggal 8 Oktober 2010 untuk pengamat di Indonesia

7

7. Objek Astronomis Lainnya yang Berpotensi Mengacaukan Rukyat Hilal
Dalam perencanaan pengamatan Hilal, perlu diperhitungkan juga objek-objek astronomis
selain Hilal yang posisinya berdekatan dengan Bulan dan kecerlangannya tidak berbeda jauh
dengan Hilal atau bahkan lebih lebih cerlang daripada Hilal. Objek astronomis ini bisa berupa
planet, misalnya planet Venus atau Merkurius, atau juga berupa bintang yang cerlang, seperti
Sirius. Adanya objek astronomis lainnya ini berpotensi memungkinkan pengamat untuk
menganggapnya sebagai Hilal.
Saat Matahari terbenam tanggal 8 Oktober 2010, ada bintang Spica (Alpha Virgo) yang jarak
sudutnya dari Bulan tidak lebih 4o dengan posisi terlihat di sebelah Utara-atas Bulan.

Referensi

1)

Seidelmann P.K. (1992), Explanatory Supplement to the Astronomical Almanac,
University Science Books, Mill Valley, CA.

2)

Badan Hisab & Rukyat Departemen Agama (1981), Almanak Hisab Rukyat, Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta.

8