09-Demokrasi dan Feminisme 13
DEMOKRASI DAN FEMINISME: REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
DEMOKRASI DAN FEMINISME:
REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
Nur Iman Subono 1
Abstract
Democracy and feminism are two big themes charming enough to develop a
never ending discussion and debates. This paper tries to formulate the relation
between both, how the current democracy is not yet pro-women, seeing from
the representation of women, both formally through organization or parliament
and social one.
Women political representation is required for many reasons, among which
gender equality, voicing of women's need, emancipation, 'difference' and 'role
model' argument. Also described in this paper is the kind of representation
required, and how to build a pro-women democracy system.
Keywords: democracy, feminism, women's representation, women's political
representation, pro-women democracy system
Demokrasi dan feminisme adalah dua
krasi, baik sebagai ide maupun ben-
tema besar yang selalu memiliki peso-
tuk pemerintahan (sistem politik), ta-
nanya sendiri untuk terus dibicarakan
pi rasanya tetap sulit untuk tidak me-
dan diperdebatkan. Di satu sisi, meski
ngakui legitimasi demokrasi saat ini,
ada sekitar 550 tipe demokrasi yang
bahkan untuk mereka yang berusaha
sejauh ini tercatat, dan juga berbagai
menghindarinya (Shapiro 2003). Ka-
kritik dan kecaman terhadap demo-
renanya, di tengah-tengah pengala-
1 Penulis adalah pengajar Jurusan Politik, FISIP UI, dan peneliti Demos, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi.
68
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
man masa lalu rezim fasisme Jerman
sar ini memiliki saling keterkaitan a-
dan Italia, rezim komunisme Uni So-
tau tidak? Apakah mereka bisa berja-
viet dan Eropa Timur, rezim militer di
lan seiring, atau yang satu mendomi-
Amerika Latin, dan rezim Aparheid
nasi atau menafikan yang lain? Se-
Partai Tunggal Afrika Selatan, dan
jauh ini, kita lebih sering membaca
bahkan rezim otoriter Orde Baru di In-
bagaimana demokrasi ternyata tidak
donesia, demokrasij2 sejauh ini bisa di-
ramah terhadap perempuan (women
bilang masih ”the best of the worst”.
unfriendly). Kritik kalangan feminis-
Sementara itu, di sisi yang lain, per-
me selama ini melihat bahwa konsep-
kembangan feminisme, baik sebagai
si individu dalam demokrasi liberal
ideologi maupun gerakan sosial-poli-
yang dilihat secara netral-gender pa-
tik, ternyata juga tidak kalah serunya.
da dasarnya adalah maskulin. Demi-
Meski ada berbagai perspektif femi-
kian juga dengan prinsip-prinsip uni-
nisme yang lahir dan berkembang se-
versal dari liberalisme merujuk kepa-
perti feminisme liberal, feminisme ra-
da individu-individu dengan atribut
dikal, feminisme marxis, feminisme
laki-laki.
sosialis, ekofeminisme, serta feminisme pascakolonial-pascamodern, pada
Tulisan ini sendiri akan membicarakan
dasarnya semua aliran tersebut mem-
bagaimana feminisme memberikan
permasalahkan hal yang sama. Mere-
pemahaman
mengenai
demokrasi,
ka sangat menaruh perhatian pada
khususnya hubungan antara perem-
adanya ketimpangan, ketidakadilan,
puan dan demokrasi, atau lebih per-
dan keyakinan gender dalam stratifi-
sisnya lagi masalah representasi poli-
kasi sosial, ekonomi, dan politik. Se-
tik perempuan dalam demokrasi.
mua aliran tersebut menggambarkan
sebab-sebab dan akibat-akibat penindasan perempuan, dan mereka ma-
Apa Sebetulnya Masalahnya?
sing-masing berupaya membangun
strategi untuk mengatasi dan mengu-
Sejak 1970-an, kebanyakan gerakan
bahnya. Pertanyaan yang menarik ke-
perempuan di Eropa, dan umumnya
mudian adalah: apakah dua tema be-
akhir tahun 1980-an dan awal 1990-
2
Demokrasi yang umumnya dibicarakan saat ini adalah demokrasi liberal yang memiliki ciri-ciri
antara lain: (1) kompetisi politik (persaingan yang terorganisasi melalui pemilu); (2) partisipasi
(hak semua orang dewasa untuk memilih dan memperebutkan jabatan publik); dan (3) tingkat
kebebasan yang substansial (kebebasan berbicara, berorganisasi, dll.) (Robert A. Dahl 1971).
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
69
DEMOKRASI DAN FEMINISME: REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
an juga di Indonesia, mulai menyadari
dap isu-isu perempuan. Kemudian
bahwa demokrasi liberal, atau disebut
muncul istilah ”demokrasi gender”
juga demokrasi perwakilan (repre-
(gender democracy) yang merujuk
sentative democracy), apa pun defini-
kepada adanya defisit demokrasi libe-
sinya, yang sedang berjalan pada da-
ral (demokrasi representatif), dan ka-
sarnya didominasi laki-laki (male do-
renanya dibutuhkan upaya transfor-
minated). Ia lebih tepat disebut seba-
masi demokrasi agar lebih ramah pe-
gai androcracy daripada democracy.
rempuan (women friendly).
Kenyataan sejarahnya adalah bahwa
perempuan telah diingkari sebagai
warga negara politik yang penuh dan
Representasi Politik Perempuan:
mereka secara struktural juga dising-
Sangat Rendah!
kirkan (excluded) dari partisipasi politik. Kita mengetahui bahwa perem-
Salah satu elemen utama dari demo-
puan pada umumnya tidak terepre-
krasi adalah prinsip keterwakilan atau
sentasi sebagai individual dalam poli-
representasi. Mengapa demikian? Re-
tik, tapi sebagai bagian dari unit yang
presentasi politik ini, meski terbatas,
lebih besar yakni keluarga. Laki-laki,
sangat signifikan karena merupakan
sebagai ayah atau suami (pater fami-
cara bagaimana kekuasaan didistri-
lias), merepresentasikan keluarga;
busikan di dalam demokrasi. Pada ti-
dia (baca: laki-laki) merepresentasi-
tik ini kelihatan sekali kalau kalangan
kan perempuan dan kepentingan pe-
feminis tidak puas dengan kinerja dan
rempuan.
jangkauan demokrasi. Bayangkan saja jumlah perempuan di seluruh dunia
Sejarah terus berjalan, dan bahkan
berkisar lebih dari 50% populasi du-
ketika perempuan berhasil memper-
nia, tapi hanya terwakili sekitar 17%
juangkan kesetaraan politik formal
dari semua parlemen di dunia (Inter-
dan warga negara penuh, lembaga-
Parliamentary Union (IPU) 2007). Me-
lembaga demokrasi representasi ter-
mang ada kenaikan jika kita banding-
nyata tidak juga kunjung menjadi in-
kan dengan laporan IPU 1997, yang
klusif atau tanggap terhadap perem-
mencatat bahwa sampai dengan No-
puan. Hak pilih dan warga negara poli-
vember 1997 ada sekitar 12% repre-
tik formal ternyata tidak serta-merta
sentasi politik perempuan di 179 par-
meningkatkan jumlah representasi
lemen nasional seluruh dunia. Bahkan
perempuan atau para pembuat kebi-
saat ini ada beberapa negara yang su-
jakan menjadi lebih responsif terha-
dah melampaui kuota 30% sebagai
70
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
”critical mass” seperti Rwanda dan
ma, yakni (1) faktor budaya dan (2)
Swedia, meski pada saat yang sama
faktor prosedural. Pada faktor yang
ada juga negara yang sama sekali ti-
pertama kita bisa menyebut antara
dak memiliki representasi politik pe-
lain: (a) 'budaya patriarkal' yang se-
rempuan seperti Kyrgyzstan dan Qa-
cara tradisional menyingkirkan pe-
tar (Inter-Parliamentary Union 2007).
rempuan dari posisi-posisi puncak a-
Jika kita melihat Indonesia sebagai
kali melegitimasi pembagian peran
tau strategis; (b) 'agama' yang sering
studi kasus, rasanya gambaran terse-
sosial berbasis gender melalui dok-
but juga tidak jauh berbeda. Di Dewan
trin-doktrin agama, dan juga tindak-
Perwakilan Rakyat (DPR), misalnya,
an-tindakan yang mengekang potensi
sejak diadakannya Pemilu pertama
perempuan; (c) 'negara militer mo-
(1955) di Indonesia hingga Pemilu
dern' yang mengeluarkan perempuan
1999, persentase perempuan yang
(excluded) dari aktivitas publik dalam
terpilih untuk duduk di DPR tidak per-
budaya militer. Sementara itu, jika ki-
nah lebih dari 13% (1987—1992).
ta berbicara tentang faktor yang ke-
Bahkan pada Pemilu 2004, meskipun
dua, maka umumnya berkaitan de-
sudah diberlakukan kuota 30% (mes-
ngan (a) proses nominasi partai yang
ki tidak wajib) dan sistem proporsio-
tidak sensitif gender. Hal ini terlihat
nal setengah-terbuka, hanya meng-
melalui nominasi yang biasanya dila-
hasilkan 62 perempuan di antara 550
kukan secara ”tertutup” (closed), dan
jumlah total anggota DPR (11,3%)
acap kali melalui cara-cara yang men-
(Zein Siregar 2006). Untuk lembaga
diskriminasikan kandidat perempuan;
representasi yang berada di bawah-
(b) sistem Pemilu yang tidak ramah
nya, DPRD I dan II, ternyata repre-
perempuan; dan (c) kampanye pemi-
sentasi politik perempuan juga ren-
lu yang berkaitan dengan pendanaan
dah.
dan organisasi yang dalam banyak hal
memang tidak ramah perempuan.
Memang ada banyak analisis untuk
menerangkan mengapa ini bisa terjadi. Jung-Sook Kim (2006), Presiden
Representasi Politik Perempuan
Center for Asia-Pacific Women in Poli-
dalam Perdebatan
tics, secara ringkas menerangkan mengapa representasi politik perempuan
Sejauh ini kita mungkin sepakat bah-
ini begitu rendah. Ia mengatakan
wa masalah representasi politik pe-
bahwa ada dua faktor penyebab uta-
rempuan adalah persoalan utama jika
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
71
DEMOKRASI DAN FEMINISME: REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
kita bicara demokrasi yang sejati yak-
maksudkan dengan representasi (ke-
ni demokrasi yang ramah terhadap
terwakilan) ini? Itu kira-kira perta-
perempuan (women friendly). Pada
nyaan utamanya. Hanna Pitkin (1967)
1990-an, kalangan perempuan sedu-
yang sering dirujuk ketika bicara soal
nia telah berhasil mempolitisasi 'keti-
representasi berpendapat,
dakhadiran' (absence) mereka di parlemen, dan menantang 'legitimasi'
(legitimacy)
pembuatan
kebijakan
yang didominasi laki-laki (male-dominated). Isu representasi politik perempuan ini telah diambil atau dirujuk
pada setiap tingkatan dari sistem politik yang ada, baik subnasional, nasional, regional, maupun internasional.
Pada rencana tindakan (action plans)
di tingkat internasional, isu ini sudah
menjadi agenda dari badan-badan internasional seperti Inter-Parliamentary Union (IPU) dan United Nations
(UN) Commission on the Status of
Women (Sawer 1999).
Meskipun demikian, persoalannya akan menjadi kompleks jika kita mulai
mempermasalahkan pengertian tentang apa sebetulnya yang kita maksud dengan represepentasi politik perempuan, apa yang direpresentasikan
perempuan, dan bagaimana cara atau
jalan untuk merepresentasikan perempuan. Sampai di sini kita melihat
ada banyak perdebatan untuk menjelaskan seputar pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan tampaknya hingga
saat ini perdebatan tersebut masih
berjalan. Apa sebetulnya yang kita
72
”to represent” adalah aktivitas
yang membuat perspektif, opini, dan suara warganegara ”hadir” (present) dalam proses
pembuatan kebijakan publik.
Representasi politik bisa terjadi
apabila aktor-aktor politik bicara, mengadvokasi, menandakan, dan bertindak atas nama
yang lain (others).
Sudah pasti definisi seperti ini sangat
tidak memadai, apalagi untuk melihat
bahwa perempuan, dengan segala
kepentingan dan kebutuhannya, ada
di dalam proses tersebut. Suzanne
Dovi (2006) menyebutkan representasi politik pada dasarnya akan memperlihatkan 4 komponen sebagai berikut: (a) beberapa pihak yang mewakili (anggota DPR, organisasi, gerakan, atau badan negara, dll.); (b) beberapa pihak yang diwakilinya (konstituen, klien, dll.); (c) sesuatu yang
direpresentasikan (opini, perspektif,
kepentingan, dll.); dan (d) setting di
mana aktivitas representasi terjadi
(konteks politik). Dari sana kita bisa
melihat bagaimana representasi politik perempuan bisa mewujud dalam
empat komponen tersebut.
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
Dalam kesempatan yang lain, kembali
Setiap pandangan representasi ini
mengutip Hanna Pitkin (1967) dalam
menyediakan pandangan alternatif
buku klasiknya, The Concept of Re-
dalam menilai atau mengukur repre-
presentation, ada 4 pandangan me-
sentasi politik perempuan dalam sis-
ngenai representasi yakni sebagai
tem demokrasi. Perempuan dapat
berikut: (a) representasi formalistik
memilih dan mengeluarkan (in and
(formalistic representation) merujuk
out) wakilnya dalam kekuasaan for-
pada
yang
mal (representasi formalistik). Pe-
mendahului dan memprakarsai repre-
rempuan dapat seperti atau berbagi
sentasi. Representasi formal memiliki
pengalaman tertentu dengan wakil-
penataan
institusional
dua dimensi yakni otorisasi (authori-
nya (representasi deskriptif). Perem-
zation) yang menunjuk pada cara-ca-
puan dapat merasa terwakili atau te-
ra di mana wakil (representative)
representasikan (representasi simbo-
mendapatkan posisi, status atau ja-
lik), dan para wakil dapat bertindak a-
batan, dan akuntabilitas (accountabi-
tas nama perempuan, dan memaju-
lity) yakni kemampuan konstituen un-
kan ”kepentingan perempuan” (wo-
tuk 'menghukum” (punish) wakilnya
men's interest) (representasi sub-
yang gagal atau tidak memenuhi
stantif). Secara teoretis, memang
janjinya, atau sebaliknya, ”memberi-
pembagian ini sangat membantu, tapi
kan tanggapan” (responsiveness) wa-
kita pun mengetahui bahwa dalam ke-
kil terhadap konstituennya; (b) repre-
nyataannya 4 pandangan ini bisa saja
sentasi
tumpang tindih atau bahkan saling
simbolik
(symbolic
repre-
sentation) merujuk kepada respons e-
berlawanan. Tapi sejauh ini, panda-
mosional mereka yang diwakili terha-
ngan ini sudah bisa memberikan peta
dap wakilnya. Cara-cara bagaimana
pada kita mengenai representasi poli-
wakil ”stand for” mereka yang diwaki-
tik dan di mana perempuan bisa dire-
linya. Kemudian, (c) representasi des-
presentasikan.
kriptif
(descriptive
representation)
merujuk kepada sejauh mana wakil
”menyerupai”
(resemble)
mereka
yang diwakilinya; dan (d) representa-
Mengapa perlu Representasi Politik Perempuan?
si substantif (substantive representation) yang merujuk kepada aktivitas
Saat ini kita masuk ke pertanyaan
dari para wakil yang bertindak atas
yang sering diangkat banyak pihak
nama kepentingan atau sebagai agen
selama ini, yakni mengapa perlu ada
dari mereka yang diwakilinya.
representasi politik perempuan? Ada
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
73
DEMOKRASI DAN FEMINISME: REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
beberapa alasan utama di balik itu
perubahan (change) dalam proses
(Fuchs dan Hoecker 2004). Pertama,
politik (political process). Karena ma-
kesetaraan (equality) dan keadilan
syarakat patriarkal melahirkan keti-
(justice). Argumennya adalah bahwa
dakseimbangan kekuasaan yang ta-
laki-laki dan perempuan memiliki hak
jam antara laki-laki dan perempuan,
yang sama untuk berpartisipasi dalam
maka struktur tersebut harus dibong-
pembuatan kebijakan politik dan ke-
kar melalui tindakan-tindakan politik
mudian ikut mempengaruhinya. Kare-
dalam rangka mempromosikan ma-
nanya, sangat tidak adil kalau selama
syarakat yang lebih setara dan adil
ini hanya laki-laki yang lebih mendo-
serta juga mandiri. Keempat, argu-
minasi (over-representation) proses
men 'perbedaan' (difference). Mak-
tersebut
perempuan
sudnya perempuan memiliki pengala-
dibandingkan
(under-representation). Apalagi kalau
man dan kualitas tertentu (moral, eti-
kita bicara jumlah populasi dunia,
ka, dan gaya politik baru) yang perlu
jumlah perempuan konon katanya le-
diintegrasikan dalam politik untuk
bih banyak dari laki-laki. Indonesia
mengubah kebijakan dan kelembaga-
sendiri 57% populasinya berjenis ke-
an yang sangat 'male-centered' terse-
lamin perempuan. Jumlah ini lebih da-
but. Hal ini berarti bahwa kita tidak
ri separuh populasi, dan seharusnya
hanya 'add women to democracy', ta-
sudah selayaknya jika kita perlu men-
pi yang lebih substansial 'engendering
jadikan perempuan sebagai stake-
democracy'. Terakhir, argumen 'role
holders yang perlu diperhatikan ke-
model'. Keberadaan perempuan da-
pentingannya, terutama dalam pro-
lam lembaga representatif akan men-
ses pembuatan kebijakan publik yang
dorong perempuan lainnya untuk ikut
implementasinya akan mengenai pe-
terlibat dalam politik (Squires 1999).
rempuan secara umum. Kedua, 'kepentingan perempuan' (women's in-
Atas dasar itu, tidak terlalu salah jika
terest). Mengingat perempuan me-
tahun-tahun belakangan ini kalangan
miliki 'kepentingan' yang berbeda de-
aktivis perempuan di Indonesia bicara
ngan laki-laki maka perempuan harus
dan berjuang untuk meningkatkan re-
dilibatkan dalam proses pembuatan
presentasi perempuan di lembaga-
kebijakan politik untuk memperbaiki
lembaga politik formal, khususnya
kualitas hidup mereka yang tidak bisa
parlemen. Perjuangan kuota 30%
diwakilkan begitu saja kepada laki-la-
adalah salah satu perwujudannya.
ki untuk memperjuangkannya. Keti-
Meskipun memang sangat strategis,
ga, emansipasi (emancipation) dan
kita pun mengetahui bahwa perjua-
74
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
ngan kuota 30% hanyalah salah satu
adanya partisipasi politik perempuan
elemen utama dalam upaya mempro-
di luar institusi formal, dan sekaligus
mosikan representasi politik perem-
membuktikan bahwa perempuan bu-
puan. Di samping itu, kalangan pe-
kannya a-politis (Squires 1999).
rempuan
perlu
juga
memperluas
makna representasi politik perempuan tersebut. Keterlibatan perem-
Apa dan Bagaimana Merepresen-
puan dalam sistem politik untuk tu-
tasikan Perempuan?
juan representasi memang diperlukan
(necessary), tapi sudah pasti tidak
Pada bagian ini kita bertanya apa se-
memadai (sufficient). Karena itu, hal
betulnya yang direpresentasikan pe-
ini harus diimbangi dengan tindakan-
rempuan, dan bagaimana perempuan
tindakan politik dalam kelompok-ke-
direpresentasikan? Pada yang perta-
lompok dan gerakan perempuan (Lis-
ma kita berbicara tentang 'represen-
ter 1997). Artinya, go politics dari ka-
tasi ideologis' (ideological representa-
langan perempuan tidak hanya seba-
tions), yaitu representasi ide-ide, ni-
gai kegiatan untuk memasuki proses,
lai-nilai, dan keyakinan kolektif yang
mekanisme, lembaga, dan sistem po-
menyangkut isu dan persoalan pe-
litik, tetapi memiliki dua dimensi uta-
rempuan melalui partai dan organisa-
ma yakni yang menyangkut upaya un-
si politik. Kalangan perempuan harus
tuk mempengaruhi proses-proses pe-
selalu memonitor dan kritis terhadap
ngambilan keputusan publik dan usa-
apa yang direpresentasikan ini, dan
ha untuk membangun basis sosial re-
sebaliknya mereka yang duduk dalam
presentasi politik perempuan baik
partai dan organisasi politik harus se-
melalui lembaga-lembaga represen-
lalu bertanggung jawab dan transpa-
tasi politik—baik formal maupun in-
ran terhadap konstituennya atas ideo-
formal—dan partisipasi langsung (di-
logi yang mereka promosikan. Kemu-
rect democracy). Ada rekoneksi anta-
dian, 'representasi fungsional' (func-
a gerakan perempuan, yang menjadi
tional representation) yang merupa-
bagian dari gerakan sosial, dengan
kan representasi dari kepentingan-
aksi-aksi politik, yang merupakan ba-
kepentingan. Artinya, mereka yang
gian dari demokrasi representasi. Di
duduk dalam struktur kekuasaan di
sini ada upaya untuk mendefinisikan
berbagai tingkatan bertindak menjadi
kembali (re-definition) apa itu politik.
juru bicara untuk kelompok-kelompok
Politik diperluas maknanya ke perso-
kepentingan, khususnya kelompok
nal dalam rangka memperlihatkan
perempuan (substantive representa-
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
75
DEMOKRASI DAN FEMINISME: REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
tion). Ini memperlihatkan bahwa 'ke-
puan dengan perempuan lainnya di
pentingan perempuan' sendiri tidak
dalam
kelompok-kelompok
dalam
tunggal atau homogen. Karenanya,
masyarakat. Mereka yang duduk da-
kalangan aktivis perempuan harus se-
lam struktur kekuasaan ”standing for”
lalu menyadari heterogenitas kepenti-
kelompok-kelompok elektoral, khu-
ngan di antara mereka yang tidak se-
susnya perempuan. Kedua, konsep
lalu harus diseragamkan, apalagi di-
agen-prinsip. Mereka yang duduk da-
paksakan untuk seragam. Di sini dibu-
lam struktur kekuasaan harus bertin-
tuhkan toleransi, solidaritas, dan ke-
dak atas nama yang diwakilinya. Me-
sadaran di antara mereka sendiri un-
reka bertindak sebagai agen yang
tuk bisa memilih kapan, di mana, dan
bertindak atas nama prinsip-prinsip
dalam isu dan kepentingan apa mere-
yang dipromosikan mewakili kepenti-
ka bergerak bersama-sama, atau se-
ngan-kepentingan yang ada, khusus-
baliknya, mereka bergerak sendiri-
nya perempuan.
sendiri. Terakhir, 'representasi sosial'
(social representation) yang merupa-
Jika kita menggabungkan keduanya
kan representasi identitas. Mereka
(antara 'apa' dan 'bagaimana'), maka
yang duduk dalam struktur kekuasa-
kita bisa membagi dua representasi
an harus merupakan 'cermin' (mirror)
politik perempuan sebagai berikut.
dari komposisi sosial elektoral dalam
Pertama, representasi identitas seba-
arti 'kehadiran' (descriptive repre-
gai representasi deskriptif atau kuan-
sentation). Mereka harus bicara dan
titatif perempuan. Mereka yang duduk
bertindak atas nama kelompok-ke-
dalam struktur kekuasaan ”standing
lompok perempuan yang menjadi ba-
for” perempuan. Sementara itu yang
gian dari mereka, dan juga berbagi ni-
kedua, representasi kepentingan se-
lai-nilai dan pengalaman yang sama
bagai representasi substansif perem-
dengan kalangan perempuan pada u-
puan. Mereka yang berada dalam wi-
mumnya (Squires 1999).
layah kekuasaan ”acting for” perempuan.
Sementara itu, pembicaraan mengenai bagaimana perempuan direpre-
Karena itu, di masa-masa menda-
sentasikan berhubungan dengan dua
tang, kalangan aktivis dan politisi pe-
konsep utama. Pertama, konsep mi-
rempuan sudah harus melangkah sa-
krokosmos (microcosm) yang meru-
tu langkah lagi dengan memperhi-
juk bahwa perempuan berbagi ide, ni-
tungkan representasi lainnya selain
lai, dan keyakinan sebagai perem-
kuota 30%. Pada dasarnya, kalangan
76
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
aktivis dan politisi perempuan mere-
2004): (a) partisipasi aktif warga ne-
presentasikan 3 elemen (triple repre-
gara perempuan; (b) representasi po-
sentatives) yakni mewakili pemilihnya
litik nyata perempuan (secara kuanti-
(fungsional), partai dan organisasi
tas): representasi perbedaan; (c) re-
politiknya (ideologi), dan konstituen
presentasi kebutuhan dan kepenti-
perempuan sebagai identitas (sosial)
ngan perempuan; (d) representasi
(Lovenduski 2000). Bagaimana men-
perbedaan di antara perempuan (in-
sinergikan ketiganya dalam rekonek-
terseksi gender, kelas, dan etnis da-
sitas tindakan-tindakan politik de-
lam proses politik); (e) ruang dan wa-
ngan gerakan sosial perempuan me-
cana publik yang sensitif gender; dan
rupakan tantangan yang harus dija-
(f) responsif dan ”keluaran” (output)
wab kalangan perempuan di tengah-
kebijakan yang ramah perempuan.
tengah kritik, keraguan, dan bahkan
cibiran masyarakat (baca: laki-laki
Jika memang demikian adanya, maka
pada umumnya) atas kemampuan
demokrasi dan feminisme seharusnya
dan keberdayaan mereka.
memang berjalan seiring, dan bahkan
saling menguatkan. Ke arah sana kita
berjuang yakni mempromosikan de-
Penutup: Ke Arah Demokrasi Fe-
mokrasi yang sensitif gender. Demo-
minis?
krasi tanpa melibatkan perempuan di
dalamnya memang bukan demokrasi
Dalam bagian penutup ini ada baiknya
yang sejati (nis).
kita berbicara, minimal secara normatif, seperti apa demokrasi yang ramah
perempuan itu (demokrasi feminis).
Jakarta, 21 Februari 2008,
Secara sederhana kita bisa menampil-
Jam 10.30 malam
kan ciri-cirinya sebagai berikut (Sauer
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
77
DEMOKRASI DAN FEMINISME:
REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
Nur Iman Subono 1
Abstract
Democracy and feminism are two big themes charming enough to develop a
never ending discussion and debates. This paper tries to formulate the relation
between both, how the current democracy is not yet pro-women, seeing from
the representation of women, both formally through organization or parliament
and social one.
Women political representation is required for many reasons, among which
gender equality, voicing of women's need, emancipation, 'difference' and 'role
model' argument. Also described in this paper is the kind of representation
required, and how to build a pro-women democracy system.
Keywords: democracy, feminism, women's representation, women's political
representation, pro-women democracy system
Demokrasi dan feminisme adalah dua
krasi, baik sebagai ide maupun ben-
tema besar yang selalu memiliki peso-
tuk pemerintahan (sistem politik), ta-
nanya sendiri untuk terus dibicarakan
pi rasanya tetap sulit untuk tidak me-
dan diperdebatkan. Di satu sisi, meski
ngakui legitimasi demokrasi saat ini,
ada sekitar 550 tipe demokrasi yang
bahkan untuk mereka yang berusaha
sejauh ini tercatat, dan juga berbagai
menghindarinya (Shapiro 2003). Ka-
kritik dan kecaman terhadap demo-
renanya, di tengah-tengah pengala-
1 Penulis adalah pengajar Jurusan Politik, FISIP UI, dan peneliti Demos, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi.
68
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
man masa lalu rezim fasisme Jerman
sar ini memiliki saling keterkaitan a-
dan Italia, rezim komunisme Uni So-
tau tidak? Apakah mereka bisa berja-
viet dan Eropa Timur, rezim militer di
lan seiring, atau yang satu mendomi-
Amerika Latin, dan rezim Aparheid
nasi atau menafikan yang lain? Se-
Partai Tunggal Afrika Selatan, dan
jauh ini, kita lebih sering membaca
bahkan rezim otoriter Orde Baru di In-
bagaimana demokrasi ternyata tidak
donesia, demokrasij2 sejauh ini bisa di-
ramah terhadap perempuan (women
bilang masih ”the best of the worst”.
unfriendly). Kritik kalangan feminis-
Sementara itu, di sisi yang lain, per-
me selama ini melihat bahwa konsep-
kembangan feminisme, baik sebagai
si individu dalam demokrasi liberal
ideologi maupun gerakan sosial-poli-
yang dilihat secara netral-gender pa-
tik, ternyata juga tidak kalah serunya.
da dasarnya adalah maskulin. Demi-
Meski ada berbagai perspektif femi-
kian juga dengan prinsip-prinsip uni-
nisme yang lahir dan berkembang se-
versal dari liberalisme merujuk kepa-
perti feminisme liberal, feminisme ra-
da individu-individu dengan atribut
dikal, feminisme marxis, feminisme
laki-laki.
sosialis, ekofeminisme, serta feminisme pascakolonial-pascamodern, pada
Tulisan ini sendiri akan membicarakan
dasarnya semua aliran tersebut mem-
bagaimana feminisme memberikan
permasalahkan hal yang sama. Mere-
pemahaman
mengenai
demokrasi,
ka sangat menaruh perhatian pada
khususnya hubungan antara perem-
adanya ketimpangan, ketidakadilan,
puan dan demokrasi, atau lebih per-
dan keyakinan gender dalam stratifi-
sisnya lagi masalah representasi poli-
kasi sosial, ekonomi, dan politik. Se-
tik perempuan dalam demokrasi.
mua aliran tersebut menggambarkan
sebab-sebab dan akibat-akibat penindasan perempuan, dan mereka ma-
Apa Sebetulnya Masalahnya?
sing-masing berupaya membangun
strategi untuk mengatasi dan mengu-
Sejak 1970-an, kebanyakan gerakan
bahnya. Pertanyaan yang menarik ke-
perempuan di Eropa, dan umumnya
mudian adalah: apakah dua tema be-
akhir tahun 1980-an dan awal 1990-
2
Demokrasi yang umumnya dibicarakan saat ini adalah demokrasi liberal yang memiliki ciri-ciri
antara lain: (1) kompetisi politik (persaingan yang terorganisasi melalui pemilu); (2) partisipasi
(hak semua orang dewasa untuk memilih dan memperebutkan jabatan publik); dan (3) tingkat
kebebasan yang substansial (kebebasan berbicara, berorganisasi, dll.) (Robert A. Dahl 1971).
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
69
DEMOKRASI DAN FEMINISME: REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
an juga di Indonesia, mulai menyadari
dap isu-isu perempuan. Kemudian
bahwa demokrasi liberal, atau disebut
muncul istilah ”demokrasi gender”
juga demokrasi perwakilan (repre-
(gender democracy) yang merujuk
sentative democracy), apa pun defini-
kepada adanya defisit demokrasi libe-
sinya, yang sedang berjalan pada da-
ral (demokrasi representatif), dan ka-
sarnya didominasi laki-laki (male do-
renanya dibutuhkan upaya transfor-
minated). Ia lebih tepat disebut seba-
masi demokrasi agar lebih ramah pe-
gai androcracy daripada democracy.
rempuan (women friendly).
Kenyataan sejarahnya adalah bahwa
perempuan telah diingkari sebagai
warga negara politik yang penuh dan
Representasi Politik Perempuan:
mereka secara struktural juga dising-
Sangat Rendah!
kirkan (excluded) dari partisipasi politik. Kita mengetahui bahwa perem-
Salah satu elemen utama dari demo-
puan pada umumnya tidak terepre-
krasi adalah prinsip keterwakilan atau
sentasi sebagai individual dalam poli-
representasi. Mengapa demikian? Re-
tik, tapi sebagai bagian dari unit yang
presentasi politik ini, meski terbatas,
lebih besar yakni keluarga. Laki-laki,
sangat signifikan karena merupakan
sebagai ayah atau suami (pater fami-
cara bagaimana kekuasaan didistri-
lias), merepresentasikan keluarga;
busikan di dalam demokrasi. Pada ti-
dia (baca: laki-laki) merepresentasi-
tik ini kelihatan sekali kalau kalangan
kan perempuan dan kepentingan pe-
feminis tidak puas dengan kinerja dan
rempuan.
jangkauan demokrasi. Bayangkan saja jumlah perempuan di seluruh dunia
Sejarah terus berjalan, dan bahkan
berkisar lebih dari 50% populasi du-
ketika perempuan berhasil memper-
nia, tapi hanya terwakili sekitar 17%
juangkan kesetaraan politik formal
dari semua parlemen di dunia (Inter-
dan warga negara penuh, lembaga-
Parliamentary Union (IPU) 2007). Me-
lembaga demokrasi representasi ter-
mang ada kenaikan jika kita banding-
nyata tidak juga kunjung menjadi in-
kan dengan laporan IPU 1997, yang
klusif atau tanggap terhadap perem-
mencatat bahwa sampai dengan No-
puan. Hak pilih dan warga negara poli-
vember 1997 ada sekitar 12% repre-
tik formal ternyata tidak serta-merta
sentasi politik perempuan di 179 par-
meningkatkan jumlah representasi
lemen nasional seluruh dunia. Bahkan
perempuan atau para pembuat kebi-
saat ini ada beberapa negara yang su-
jakan menjadi lebih responsif terha-
dah melampaui kuota 30% sebagai
70
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
”critical mass” seperti Rwanda dan
ma, yakni (1) faktor budaya dan (2)
Swedia, meski pada saat yang sama
faktor prosedural. Pada faktor yang
ada juga negara yang sama sekali ti-
pertama kita bisa menyebut antara
dak memiliki representasi politik pe-
lain: (a) 'budaya patriarkal' yang se-
rempuan seperti Kyrgyzstan dan Qa-
cara tradisional menyingkirkan pe-
tar (Inter-Parliamentary Union 2007).
rempuan dari posisi-posisi puncak a-
Jika kita melihat Indonesia sebagai
kali melegitimasi pembagian peran
tau strategis; (b) 'agama' yang sering
studi kasus, rasanya gambaran terse-
sosial berbasis gender melalui dok-
but juga tidak jauh berbeda. Di Dewan
trin-doktrin agama, dan juga tindak-
Perwakilan Rakyat (DPR), misalnya,
an-tindakan yang mengekang potensi
sejak diadakannya Pemilu pertama
perempuan; (c) 'negara militer mo-
(1955) di Indonesia hingga Pemilu
dern' yang mengeluarkan perempuan
1999, persentase perempuan yang
(excluded) dari aktivitas publik dalam
terpilih untuk duduk di DPR tidak per-
budaya militer. Sementara itu, jika ki-
nah lebih dari 13% (1987—1992).
ta berbicara tentang faktor yang ke-
Bahkan pada Pemilu 2004, meskipun
dua, maka umumnya berkaitan de-
sudah diberlakukan kuota 30% (mes-
ngan (a) proses nominasi partai yang
ki tidak wajib) dan sistem proporsio-
tidak sensitif gender. Hal ini terlihat
nal setengah-terbuka, hanya meng-
melalui nominasi yang biasanya dila-
hasilkan 62 perempuan di antara 550
kukan secara ”tertutup” (closed), dan
jumlah total anggota DPR (11,3%)
acap kali melalui cara-cara yang men-
(Zein Siregar 2006). Untuk lembaga
diskriminasikan kandidat perempuan;
representasi yang berada di bawah-
(b) sistem Pemilu yang tidak ramah
nya, DPRD I dan II, ternyata repre-
perempuan; dan (c) kampanye pemi-
sentasi politik perempuan juga ren-
lu yang berkaitan dengan pendanaan
dah.
dan organisasi yang dalam banyak hal
memang tidak ramah perempuan.
Memang ada banyak analisis untuk
menerangkan mengapa ini bisa terjadi. Jung-Sook Kim (2006), Presiden
Representasi Politik Perempuan
Center for Asia-Pacific Women in Poli-
dalam Perdebatan
tics, secara ringkas menerangkan mengapa representasi politik perempuan
Sejauh ini kita mungkin sepakat bah-
ini begitu rendah. Ia mengatakan
wa masalah representasi politik pe-
bahwa ada dua faktor penyebab uta-
rempuan adalah persoalan utama jika
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
71
DEMOKRASI DAN FEMINISME: REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
kita bicara demokrasi yang sejati yak-
maksudkan dengan representasi (ke-
ni demokrasi yang ramah terhadap
terwakilan) ini? Itu kira-kira perta-
perempuan (women friendly). Pada
nyaan utamanya. Hanna Pitkin (1967)
1990-an, kalangan perempuan sedu-
yang sering dirujuk ketika bicara soal
nia telah berhasil mempolitisasi 'keti-
representasi berpendapat,
dakhadiran' (absence) mereka di parlemen, dan menantang 'legitimasi'
(legitimacy)
pembuatan
kebijakan
yang didominasi laki-laki (male-dominated). Isu representasi politik perempuan ini telah diambil atau dirujuk
pada setiap tingkatan dari sistem politik yang ada, baik subnasional, nasional, regional, maupun internasional.
Pada rencana tindakan (action plans)
di tingkat internasional, isu ini sudah
menjadi agenda dari badan-badan internasional seperti Inter-Parliamentary Union (IPU) dan United Nations
(UN) Commission on the Status of
Women (Sawer 1999).
Meskipun demikian, persoalannya akan menjadi kompleks jika kita mulai
mempermasalahkan pengertian tentang apa sebetulnya yang kita maksud dengan represepentasi politik perempuan, apa yang direpresentasikan
perempuan, dan bagaimana cara atau
jalan untuk merepresentasikan perempuan. Sampai di sini kita melihat
ada banyak perdebatan untuk menjelaskan seputar pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan tampaknya hingga
saat ini perdebatan tersebut masih
berjalan. Apa sebetulnya yang kita
72
”to represent” adalah aktivitas
yang membuat perspektif, opini, dan suara warganegara ”hadir” (present) dalam proses
pembuatan kebijakan publik.
Representasi politik bisa terjadi
apabila aktor-aktor politik bicara, mengadvokasi, menandakan, dan bertindak atas nama
yang lain (others).
Sudah pasti definisi seperti ini sangat
tidak memadai, apalagi untuk melihat
bahwa perempuan, dengan segala
kepentingan dan kebutuhannya, ada
di dalam proses tersebut. Suzanne
Dovi (2006) menyebutkan representasi politik pada dasarnya akan memperlihatkan 4 komponen sebagai berikut: (a) beberapa pihak yang mewakili (anggota DPR, organisasi, gerakan, atau badan negara, dll.); (b) beberapa pihak yang diwakilinya (konstituen, klien, dll.); (c) sesuatu yang
direpresentasikan (opini, perspektif,
kepentingan, dll.); dan (d) setting di
mana aktivitas representasi terjadi
(konteks politik). Dari sana kita bisa
melihat bagaimana representasi politik perempuan bisa mewujud dalam
empat komponen tersebut.
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
Dalam kesempatan yang lain, kembali
Setiap pandangan representasi ini
mengutip Hanna Pitkin (1967) dalam
menyediakan pandangan alternatif
buku klasiknya, The Concept of Re-
dalam menilai atau mengukur repre-
presentation, ada 4 pandangan me-
sentasi politik perempuan dalam sis-
ngenai representasi yakni sebagai
tem demokrasi. Perempuan dapat
berikut: (a) representasi formalistik
memilih dan mengeluarkan (in and
(formalistic representation) merujuk
out) wakilnya dalam kekuasaan for-
pada
yang
mal (representasi formalistik). Pe-
mendahului dan memprakarsai repre-
rempuan dapat seperti atau berbagi
sentasi. Representasi formal memiliki
pengalaman tertentu dengan wakil-
penataan
institusional
dua dimensi yakni otorisasi (authori-
nya (representasi deskriptif). Perem-
zation) yang menunjuk pada cara-ca-
puan dapat merasa terwakili atau te-
ra di mana wakil (representative)
representasikan (representasi simbo-
mendapatkan posisi, status atau ja-
lik), dan para wakil dapat bertindak a-
batan, dan akuntabilitas (accountabi-
tas nama perempuan, dan memaju-
lity) yakni kemampuan konstituen un-
kan ”kepentingan perempuan” (wo-
tuk 'menghukum” (punish) wakilnya
men's interest) (representasi sub-
yang gagal atau tidak memenuhi
stantif). Secara teoretis, memang
janjinya, atau sebaliknya, ”memberi-
pembagian ini sangat membantu, tapi
kan tanggapan” (responsiveness) wa-
kita pun mengetahui bahwa dalam ke-
kil terhadap konstituennya; (b) repre-
nyataannya 4 pandangan ini bisa saja
sentasi
tumpang tindih atau bahkan saling
simbolik
(symbolic
repre-
sentation) merujuk kepada respons e-
berlawanan. Tapi sejauh ini, panda-
mosional mereka yang diwakili terha-
ngan ini sudah bisa memberikan peta
dap wakilnya. Cara-cara bagaimana
pada kita mengenai representasi poli-
wakil ”stand for” mereka yang diwaki-
tik dan di mana perempuan bisa dire-
linya. Kemudian, (c) representasi des-
presentasikan.
kriptif
(descriptive
representation)
merujuk kepada sejauh mana wakil
”menyerupai”
(resemble)
mereka
yang diwakilinya; dan (d) representa-
Mengapa perlu Representasi Politik Perempuan?
si substantif (substantive representation) yang merujuk kepada aktivitas
Saat ini kita masuk ke pertanyaan
dari para wakil yang bertindak atas
yang sering diangkat banyak pihak
nama kepentingan atau sebagai agen
selama ini, yakni mengapa perlu ada
dari mereka yang diwakilinya.
representasi politik perempuan? Ada
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
73
DEMOKRASI DAN FEMINISME: REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
beberapa alasan utama di balik itu
perubahan (change) dalam proses
(Fuchs dan Hoecker 2004). Pertama,
politik (political process). Karena ma-
kesetaraan (equality) dan keadilan
syarakat patriarkal melahirkan keti-
(justice). Argumennya adalah bahwa
dakseimbangan kekuasaan yang ta-
laki-laki dan perempuan memiliki hak
jam antara laki-laki dan perempuan,
yang sama untuk berpartisipasi dalam
maka struktur tersebut harus dibong-
pembuatan kebijakan politik dan ke-
kar melalui tindakan-tindakan politik
mudian ikut mempengaruhinya. Kare-
dalam rangka mempromosikan ma-
nanya, sangat tidak adil kalau selama
syarakat yang lebih setara dan adil
ini hanya laki-laki yang lebih mendo-
serta juga mandiri. Keempat, argu-
minasi (over-representation) proses
men 'perbedaan' (difference). Mak-
tersebut
perempuan
sudnya perempuan memiliki pengala-
dibandingkan
(under-representation). Apalagi kalau
man dan kualitas tertentu (moral, eti-
kita bicara jumlah populasi dunia,
ka, dan gaya politik baru) yang perlu
jumlah perempuan konon katanya le-
diintegrasikan dalam politik untuk
bih banyak dari laki-laki. Indonesia
mengubah kebijakan dan kelembaga-
sendiri 57% populasinya berjenis ke-
an yang sangat 'male-centered' terse-
lamin perempuan. Jumlah ini lebih da-
but. Hal ini berarti bahwa kita tidak
ri separuh populasi, dan seharusnya
hanya 'add women to democracy', ta-
sudah selayaknya jika kita perlu men-
pi yang lebih substansial 'engendering
jadikan perempuan sebagai stake-
democracy'. Terakhir, argumen 'role
holders yang perlu diperhatikan ke-
model'. Keberadaan perempuan da-
pentingannya, terutama dalam pro-
lam lembaga representatif akan men-
ses pembuatan kebijakan publik yang
dorong perempuan lainnya untuk ikut
implementasinya akan mengenai pe-
terlibat dalam politik (Squires 1999).
rempuan secara umum. Kedua, 'kepentingan perempuan' (women's in-
Atas dasar itu, tidak terlalu salah jika
terest). Mengingat perempuan me-
tahun-tahun belakangan ini kalangan
miliki 'kepentingan' yang berbeda de-
aktivis perempuan di Indonesia bicara
ngan laki-laki maka perempuan harus
dan berjuang untuk meningkatkan re-
dilibatkan dalam proses pembuatan
presentasi perempuan di lembaga-
kebijakan politik untuk memperbaiki
lembaga politik formal, khususnya
kualitas hidup mereka yang tidak bisa
parlemen. Perjuangan kuota 30%
diwakilkan begitu saja kepada laki-la-
adalah salah satu perwujudannya.
ki untuk memperjuangkannya. Keti-
Meskipun memang sangat strategis,
ga, emansipasi (emancipation) dan
kita pun mengetahui bahwa perjua-
74
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
ngan kuota 30% hanyalah salah satu
adanya partisipasi politik perempuan
elemen utama dalam upaya mempro-
di luar institusi formal, dan sekaligus
mosikan representasi politik perem-
membuktikan bahwa perempuan bu-
puan. Di samping itu, kalangan pe-
kannya a-politis (Squires 1999).
rempuan
perlu
juga
memperluas
makna representasi politik perempuan tersebut. Keterlibatan perem-
Apa dan Bagaimana Merepresen-
puan dalam sistem politik untuk tu-
tasikan Perempuan?
juan representasi memang diperlukan
(necessary), tapi sudah pasti tidak
Pada bagian ini kita bertanya apa se-
memadai (sufficient). Karena itu, hal
betulnya yang direpresentasikan pe-
ini harus diimbangi dengan tindakan-
rempuan, dan bagaimana perempuan
tindakan politik dalam kelompok-ke-
direpresentasikan? Pada yang perta-
lompok dan gerakan perempuan (Lis-
ma kita berbicara tentang 'represen-
ter 1997). Artinya, go politics dari ka-
tasi ideologis' (ideological representa-
langan perempuan tidak hanya seba-
tions), yaitu representasi ide-ide, ni-
gai kegiatan untuk memasuki proses,
lai-nilai, dan keyakinan kolektif yang
mekanisme, lembaga, dan sistem po-
menyangkut isu dan persoalan pe-
litik, tetapi memiliki dua dimensi uta-
rempuan melalui partai dan organisa-
ma yakni yang menyangkut upaya un-
si politik. Kalangan perempuan harus
tuk mempengaruhi proses-proses pe-
selalu memonitor dan kritis terhadap
ngambilan keputusan publik dan usa-
apa yang direpresentasikan ini, dan
ha untuk membangun basis sosial re-
sebaliknya mereka yang duduk dalam
presentasi politik perempuan baik
partai dan organisasi politik harus se-
melalui lembaga-lembaga represen-
lalu bertanggung jawab dan transpa-
tasi politik—baik formal maupun in-
ran terhadap konstituennya atas ideo-
formal—dan partisipasi langsung (di-
logi yang mereka promosikan. Kemu-
rect democracy). Ada rekoneksi anta-
dian, 'representasi fungsional' (func-
a gerakan perempuan, yang menjadi
tional representation) yang merupa-
bagian dari gerakan sosial, dengan
kan representasi dari kepentingan-
aksi-aksi politik, yang merupakan ba-
kepentingan. Artinya, mereka yang
gian dari demokrasi representasi. Di
duduk dalam struktur kekuasaan di
sini ada upaya untuk mendefinisikan
berbagai tingkatan bertindak menjadi
kembali (re-definition) apa itu politik.
juru bicara untuk kelompok-kelompok
Politik diperluas maknanya ke perso-
kepentingan, khususnya kelompok
nal dalam rangka memperlihatkan
perempuan (substantive representa-
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
75
DEMOKRASI DAN FEMINISME: REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
tion). Ini memperlihatkan bahwa 'ke-
puan dengan perempuan lainnya di
pentingan perempuan' sendiri tidak
dalam
kelompok-kelompok
dalam
tunggal atau homogen. Karenanya,
masyarakat. Mereka yang duduk da-
kalangan aktivis perempuan harus se-
lam struktur kekuasaan ”standing for”
lalu menyadari heterogenitas kepenti-
kelompok-kelompok elektoral, khu-
ngan di antara mereka yang tidak se-
susnya perempuan. Kedua, konsep
lalu harus diseragamkan, apalagi di-
agen-prinsip. Mereka yang duduk da-
paksakan untuk seragam. Di sini dibu-
lam struktur kekuasaan harus bertin-
tuhkan toleransi, solidaritas, dan ke-
dak atas nama yang diwakilinya. Me-
sadaran di antara mereka sendiri un-
reka bertindak sebagai agen yang
tuk bisa memilih kapan, di mana, dan
bertindak atas nama prinsip-prinsip
dalam isu dan kepentingan apa mere-
yang dipromosikan mewakili kepenti-
ka bergerak bersama-sama, atau se-
ngan-kepentingan yang ada, khusus-
baliknya, mereka bergerak sendiri-
nya perempuan.
sendiri. Terakhir, 'representasi sosial'
(social representation) yang merupa-
Jika kita menggabungkan keduanya
kan representasi identitas. Mereka
(antara 'apa' dan 'bagaimana'), maka
yang duduk dalam struktur kekuasa-
kita bisa membagi dua representasi
an harus merupakan 'cermin' (mirror)
politik perempuan sebagai berikut.
dari komposisi sosial elektoral dalam
Pertama, representasi identitas seba-
arti 'kehadiran' (descriptive repre-
gai representasi deskriptif atau kuan-
sentation). Mereka harus bicara dan
titatif perempuan. Mereka yang duduk
bertindak atas nama kelompok-ke-
dalam struktur kekuasaan ”standing
lompok perempuan yang menjadi ba-
for” perempuan. Sementara itu yang
gian dari mereka, dan juga berbagi ni-
kedua, representasi kepentingan se-
lai-nilai dan pengalaman yang sama
bagai representasi substansif perem-
dengan kalangan perempuan pada u-
puan. Mereka yang berada dalam wi-
mumnya (Squires 1999).
layah kekuasaan ”acting for” perempuan.
Sementara itu, pembicaraan mengenai bagaimana perempuan direpre-
Karena itu, di masa-masa menda-
sentasikan berhubungan dengan dua
tang, kalangan aktivis dan politisi pe-
konsep utama. Pertama, konsep mi-
rempuan sudah harus melangkah sa-
krokosmos (microcosm) yang meru-
tu langkah lagi dengan memperhi-
juk bahwa perempuan berbagi ide, ni-
tungkan representasi lainnya selain
lai, dan keyakinan sebagai perem-
kuota 30%. Pada dasarnya, kalangan
76
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
BAHASAN UTAMA
aktivis dan politisi perempuan mere-
2004): (a) partisipasi aktif warga ne-
presentasikan 3 elemen (triple repre-
gara perempuan; (b) representasi po-
sentatives) yakni mewakili pemilihnya
litik nyata perempuan (secara kuanti-
(fungsional), partai dan organisasi
tas): representasi perbedaan; (c) re-
politiknya (ideologi), dan konstituen
presentasi kebutuhan dan kepenti-
perempuan sebagai identitas (sosial)
ngan perempuan; (d) representasi
(Lovenduski 2000). Bagaimana men-
perbedaan di antara perempuan (in-
sinergikan ketiganya dalam rekonek-
terseksi gender, kelas, dan etnis da-
sitas tindakan-tindakan politik de-
lam proses politik); (e) ruang dan wa-
ngan gerakan sosial perempuan me-
cana publik yang sensitif gender; dan
rupakan tantangan yang harus dija-
(f) responsif dan ”keluaran” (output)
wab kalangan perempuan di tengah-
kebijakan yang ramah perempuan.
tengah kritik, keraguan, dan bahkan
cibiran masyarakat (baca: laki-laki
Jika memang demikian adanya, maka
pada umumnya) atas kemampuan
demokrasi dan feminisme seharusnya
dan keberdayaan mereka.
memang berjalan seiring, dan bahkan
saling menguatkan. Ke arah sana kita
berjuang yakni mempromosikan de-
Penutup: Ke Arah Demokrasi Fe-
mokrasi yang sensitif gender. Demo-
minis?
krasi tanpa melibatkan perempuan di
dalamnya memang bukan demokrasi
Dalam bagian penutup ini ada baiknya
yang sejati (nis).
kita berbicara, minimal secara normatif, seperti apa demokrasi yang ramah
perempuan itu (demokrasi feminis).
Jakarta, 21 Februari 2008,
Secara sederhana kita bisa menampil-
Jam 10.30 malam
kan ciri-cirinya sebagai berikut (Sauer
JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 13 NO. 1 JUNI 2008
77