SKRIPSI PENGARUH MINUMAN BERENERGI TERHADAP TERJADINYA PENYAKIT GINJAL KRONIS PADA HEWAN COBA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN MARKER IMUNOHISTOKIMIA α-SMOOTH MUSCLE ACTIN

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

SKRIPSI

PENGARUH MINUMAN BERENERGI TERHADAP

TERJADINYA PENYAKIT GINJAL KRONIS PADA HEWAN

COBA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN MARKER

  

IMUNOHISTOKIMIA α-SMOOTH MUSCLE ACTIN

ANGGUN FITRARIA NIRMALASARI PASMA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DEPARTEMEN FARMASI KLINIS

SURABAYA

  

2016 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

SKRIPSI

PENGARUH MINUMAN BERENERGI TERHADAP

TERJADINYA PENYAKIT GINJAL KRONIS PADA HEWAN

COBA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN MARKER

  

IMUNOHISTOKIMIA α -SMOOTH MUSCLE ACTIN

ANGGUN FITRARIA NIRMALASARI PASMA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DEPARTEMEN FARMASI KLINIS

SURABAYA

  

2016 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PENGARUH MINUMAN BERENERGI ... ANGGUN FITRARIA

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PENGARUH MINUMAN BERENERGI ... ANGGUN FITRARIA

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PENGARUH MINUMAN BERENERGI ... ANGGUN FITRARIA ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul PENGARUH MINUMAN BERENERGI TERHADAP TERJADINYA PENYAKIT GINJAL KRONIS PADA HEWAN COBA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN MARKER

  IMUNOHISTOKIMIA ALPHA-SMOOTH MUSCLE ACTIN sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana farmasi (S.Farm.).

  Penulis menyadari bahwa saat disusunnya skripsi ini, tidak lepas dari dukungan dan dorongan dari orang-orang sekitar sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dari itu, disini penulis ingin mengucapkan terima kasih terhadap semua orang yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini, baik dengan dukungan semangat, inspirasi, maupun materil yang penulis sampaikan kepada :

  1. Bapak Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak., CMA. selaku Rektor Universitas Airlangga yang mampu memimpin universitas dengan baik

  2. Ibu Dr. Umi Athiyah, MS., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang selalu memimpin fakultas ini dengan baik dan dapat mengatur regulasi sehingga skripsi penulis dapat berjalan dengan baik

  3. Bapak Mahardian Rahmadi, S.Si., M.Sc., PhD., Apt. dan Ibu Zamrotul Izzah, S.Farm., M.Sc., Apt. sebagai dosen pembimbing yang selalu sabar membimbing penulis dan banyak memberikan inspirasi terhadap penulisan skripsi ini vii

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  4. Samirah, S.Si., Sp.FRS., Apt. dan Dr. Suharjono, Apt, MS. selaku dosen penguji yang memberikan masukan pada skripsi penulis sehingga skripsi ini menjadi lebih baik

  5. Ayah dan Ibu yang tidak kenal lelah menyemangati baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

  6. Kedua kakak, kakak ipar, keponakan, dan keluarga besar penulis yang selalu memberikan penulis semangat dalam kehidupan penulis

  7. Teman-teman terdekat penulis, teman sekelas, dan teman KKN yang selalu memberikan inspirasi agar penulis dapat menjadi manusia yang lebih baik dan selalu ada untuk memberikan semangat

  8. Teman-teman yang mengambil skripsi eksperimental yang selalu ada disaat penulis membutuhkan bantuan, yang selalu memberikan kekuatan dan semangat

  9. Dan pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak lupu dari kesalahan, maka penulis menerima sebanyak-banyaknya masukan dan saran dari pembaca sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk ilmu pengetahuan di masa mendatang, terutama di bidang farmasi.

  Surabaya, Agustus 2016 Penulis viii ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

RINGKASAN

PENGARUH MINUMAN BERENERGI TERHADAP TERJADINYA

PENYAKIT GINJAL KRONIS PADA HEWAN COBA TIKUS PUTIH

(Rattus norvegicus) DENGAN MARKER IMUNOHISTOKIMIA α-

SMOOTH MUSCLE ACTIN

ANGGUN FITRARIA NIRMALASARI PASMA

  Minuman berenergi termasuk salah satu makanan yang terdiri dari komponen multivitamin makronutrien (karbohidrat, protein), taurin, dengan atau tanpa kafein dan biasanya diindikasikan untuk menambah tenaga, kesegaran, stimulasi, metabolisme, memelihara kesehatan dan stamina tubuh, yang diminum pada saat bekerja keras atau setelah berolah raga. Minuman berenergi merupakan faktor risiko yang memberikan kontribusi terhadap berkembangnya penyakit ginjal kronis. Penurunan kesehatan seseorang yang mengonsumsi minuman berenergi biasanya dikaitkan dengan kandungan kafein didalamnya, sehingga pada penelitian ini ditujukan untuk melihat apakah terdapat pengaruh dari kafein dalam minuman berenergi terhadap terjadinya penyakit ginjal kronis pada hewan coba. Penyakit ginjal kronis merupakan sebuah kehilangan fungsi ginjal yang terjadi secara progresif selama beberapa bulan sampai tahunan, yang ciri-cirinya terjadi perubahan secara berangsur-angsur terhadap normal struktur ginjal dengan fibrosis intersisial. Frekuensi konsumsi minuman berenergi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis lebih sering daripada pada pasien non-penyakit ginjal kronis, sehingga penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui efek minuman berenergi tersebut terhadap ginjal.

  Tiga puluh dua ekor hewan coba tikus putih yang dibagi menjadi empat kelompok (masing-masing 8 ekor) ditandai sebagai kelompok kontrol negatif (KN), kelompok kontrol positif (KP), kelompok perlakuan dosis rendah (P1), dan kelompok perlakuan dosis tinggi (P2). KN diberi perlakuan dengan aquadest, KP dengan kafein murni, P1 dengan minuman berenergi dosis 3,853 ml/kg BB, P2 dengan minuman berenergi dosis 7,709 ml/kg BB. Setiap kelompok diberi perlakuan dua kali sehari selama 60 hari. Pengambilan data meliputi urinalisis (kreatinin urin) dan hematologi (kreatinin serum dan BUN) yang dilakukan pada hari ke-0, 40, dan 60. Setelah hari ke-60, hewan diterminasi untuk diambil organ ix ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA ginjalnya untuk dianalisis secara histopatologi dan imunohistokimia menggunakan marker alpha-smooth muscle actin (alpha-SMA).

  Dari serangkaian analisis, didapatkan hasil bahwa minuman berenergi berpengaruh pada penurunan kadar kreatinin urin tiap kelompok percobaan (p<0,001) dan tiap waktu pengambilan data (p<0,01). Minuman berenergi juga berpengaruh pada penurunan volume urin tiap kelompok percobaan (p<0,05), namun tidak bermakna tiap waktu pengambilan data (p=0,447). Selain itu, kreatinin serum juga menurun kadarnya di tiap kelompok percobaan (p<0,001) dan waktu pengambilan data (p<0,001). Terjadi penurunan pada kadar BUN, namun tidak signifikan. Dari hasil pengamatan histopatologi organ ginjal hewan coba, terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif (p<0,001) dan antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan (p<0,001). Dari pengamatan imunohistokimia, α-SMA kelompok kontrol negatif hanya terdapat di sekitar pembuluh darah, namun pada kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan α-SMA ditemukan pada bagian glomerulus, tubulus, dan intersisial ginjal. Kesimpulannya, pada percobaan ini minuman berenergi mempengaruhi terjadinya penurunan fungsi ginjal hewan coba yang mengarah pada penyakit ginjal kronis. x ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ABSTRACT

THE EFFECT OF ENERGY DRINK OCCURING CHRONIC

KIDNEY DISEASE IN RATS (Rattus novergicus) WITH α-SMOOTH

MUSCLE ACTIN AS MARKER OF IMMUNOHISTOCHEMISTRY

ANGGUN FITRARIA NIRMALASARI PASMA

  Energy drink is one of beverages containing macronutrients, multivitamins, taurin, and caffeine to raise or maintain energy and freshness that can be drunk while having tough works or physical exercises. Caffeine is estimated as an inducer of chronic kidney disease thus decreasing kidney function by progessively interstitial fibrosis through months or years.

  This study used 32 rats divided into 4 groups (8 rats each group) as Negative Control (KN), Positive Control (KP), Low Dosage Treatment (P1), and High Dosage Treatment (P2). Aquadest was given to the KN group, KP group received pure caffeine and P1 group consumed energy drink at the dose of 3,853 mL/kg BW while P2 group got 7,709 mL/kg BW. Every group received the same treatment twice per day for 60 days. The urine (urine creatinine) and blood (serum creatinine and BUN) samples

  th th th

  were taken at the 0 ,40 , and 60 day of observation. At the end of treatment period, rat’s kidneys were taken by the surgical operation for histopathology and immunohistochemistry analisis using alpha-smooth muscle actin (alpha-SMA) as a marker.

  The results of this study revealed that energy drink decreased urine creatinine in each group (p<0,001) and time (p<0,01). Energy drink increased serum creatinine significantly in each group (p<0,001) and time (p<0,001). There was a decrease pattern on BUN observed in this study, although it was not significantly. The histopathology pictures showed differences between negative control group and the treatments (p<0,001). Analyzing from the immunohistochemistry α-SMA appeared only arround the blood vessels in the negative control, while the α-SMA spread along kidney’s glomerulus, tubulus and interstitial in positive control and treatment groups. Therefore, consuming energy drink for along period could contribute to the loss of kidney’s function. Keywords : energy drink, caffeine, chronic kidney disease alpha- smooth muscle actin xi

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  DAFTAR ISI

  Halaman DAFTAR ISI........................................................................................... xii DAFTAR TABEL................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xvii xvii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xviii

  BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah........................................... 1 1.1. Rumusan Masalah.................................................... 6

  6 1.2. Tujuan Penelitian..................................................... 6 1.3.

  1.3.1. Tujuan Umum.......................................................... 6

  1.3.2. Tujuan Khusus......................................................... 7 Manfaat Penelitian................................................... 7 1.4.

  BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Minuman Berenergi................................................. 8

  2.1.1 Definisi Minuman Berenergi................................... 8

  2.1.2 Kandungan Minuman Berenergi.............................. 8

  2.1.2.1. Kafein....................................................................... 8

  2.1.2.2. Taurin....................................................................... 13

  2.1.2.3. Ekstrak Gingseng..................................................... 13

  2.1.2.4. Vitamin..................................................................... 13

  2.1.2.4.1.Vitamin B (nicotinamide)...................................... 13

  3

  2.1.2.4.2.Vitamin B (pantotenic acid).................................. 14

  5

  2.1.2.4.3.Vitamin B (Piridoxin HCl).................................... 14

  6

  2.1.2.4.4.Vitamin B (inositol)............................................... 14

  8

  2.1.2.4.5.Vitamin B (cyanocobalamin)............................... 15

  12

  2.1.2.5. Pemanis.................................................................... 15

  xii

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  2.1.2.6. Bikarbonat................................................................ 16

  2.1.3 Keamanan Minuman Berenergi............................... 16

  2.2. Ginjal........................................................................ 17 2.2.1 .Nefron..................................................................... 17

  2.2.1.1. Glomerulus............................................................... 17

  2.2.1.2. Tubulus Proksimal................................................... 18

  2.2.1.3. Loop of Henle........................................................... 18

  2.2.1.4. Aparatus Jukstaglomerular....................................... 18

  2.2.1.5. Tubulus Distal.......................................................... 19

  2.2.2. Sel Intersisial............................................................ 19

  2.2.3. Pembuluh Darah di Ginjal........................................ 20

  2.2.4. Penyakit Ginjal......................................................... 21

  2.2.5. Penyakit Ginjal kronis.............................................. 21

  2.2.5.1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis.......................... 21

  2.2.5.2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronis............................... 22

  2.2.6. Pemeriksaan Terkait Fungsi Ginjal.......................... 23

  2.2.6.1. Pemeriksaan Urinalisis............................................. 23

  2.2.6.2. Pemeriksaan Hematologi......................................... 24

  2.2.6.2.1.Kreatinin Serum...................................................... 24

  2.2.6.2.2.BUN (Blood Urea Nitrogen)................................... 25

  2.2.6.3. Pemeriksaan Histopatologi Ginjal........................... 26

  2.2.6.4. Pemeriksaan Marker alpha-smooth muscle actin.....30 .2.6.4.1. Definisi..................................................................... 30

  2.2.6.4.2.Alpha-SMA pada Ginjal.......................................... 30

  2.2.6.4.3.Ekspresi Alpha-SMA.............................................. 30

  2.3. Lama Pemberian Minuman Berenergi.................... 32

  

xiii

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 3.1. Kerangka Konseptual........................................

  34

  29

  3.2. Skema Kerangka Konseptual................................... 37

  3.3. Hipotesis................................................................... 38

  BAB IV METODE PENELITIAN

  4.1. Jenis Penelitian......................................................... 39

  4.2. Alat-alat Penelitian................................................... 39

  4.3. Bahan Penelitian...................................................... 39

  4.4. Subyek Penelitian..................................................... 39

  4.5. Tempat Penelitian.................................................... 40

  4.6. Protokol Penelitian................................................... 41

  4.6.1. Rancangan Penelitian............................................... 41

  4.6.2. Pengelompokan Hewan Coba.................................. 41

  4.6.3. Kerangka Operasional..............................................41

  4.7. Variabel Penelitian................................................... 43

  4.7.1. Variabel Sebab......................................................... 43

  4.7.2. Variabel tergantung.................................................. 44

  4.8. Definisi Operasional................................................ 44

  4.9. Prosedur Penelitian.................................................. 45

  4.9.1. Penanganan Hewan Coba.........................................45

  4.9.2. Penyiapan Kafein dan Minuman Berenergi............. 45

  4.9.3. Pengujian In-vivo..................................................... 47

  4.9.4. Prosedur Pengumpulan Data.................................... 47

  4.9.5. Prosedur Pengambilan dan Pemeriksaan Sampel Urin.......................................................................... 48

  4.9.6. Prosedur pengambilan dan Pemeriksaan Sampel Darah........................................................................ 49

  xiv

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  4.9.7. Terminasi dan Fiksasi Organ Ginjal Hewan Coba......................................................................... 52

  4.9.7. Histopatologi Ginjal................................................. 53

  4.9.7.1. Preparasi Irisan Histopatologi Ginjal....................... 53

  4.9.7.2. Analisis Histopatologi Ginjal...................................55

  4.9.8. Preparasi Imunohistokimia Ginjal........................... 56

  4.10. Analisis Data............................................................ 57

  BAB V HASIL PENELITIAN

  5.1. Pengaruh Kafein dan Minuman Berenergi terhadap Parameter Fungsi Ginjal.......................................... 59

  5.1.1 Urinalisis.................................................................. 59

  5.1.2 Hematologi............................................................... 62

  5.2. Analisis terhadap Parameter Histopatologi.............. 65

  5.3. Pengamatan Marker Imunohistokimia α-smooth

  muscle actin.............................................................. 67

  BAB VI PEMBAHASAN.............................................................. 69 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN........................................ 78

  7.1. Kesimpulan.............................................................. 78

  7.2. Saran........................................................................ 79 DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 80

  

xv

  

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

  II.1. Nilai GFR pada Setiap Tingkat Penyakit Ginjal Kronis........ 22

  II.2. Nilai Rata-rata Ekskresi Kreatinin pada manusia dan Tikus.. 23

  II.3. Nilai Kreatinin Normal pada Manusia dan Tikus.................. 25

  II.4. Nilai Normal BUN pada Manusia dan Tikus......................... 26

  V.1. Tabel Kadar Rata-rata Kreatinin Urin.................................... 60

  V.2 Tabel Rata-rata Volume Urin................................................. 61

  V.3 Tabel Kadar Kreatinin serum................................................. 62

  V.4 Tabel Kadar Blood Urea Nitrogen (BUN)............................. 64

  V.5 Tabel Perubahan Struktur Ginjal Secara Mikroskopis........... 65 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

xvii

DAFTAR GAMBAR

  4.2. Skema Kerangka Operasional...................................................... 43

  5.5. Gambaran Histopatologi Ginjal Setelah Pemberian Minuman Berenergi Selama 60 Hari........................................... 66

  5.4. Profil Rata-rata Kadar BUN Tikus Setelah Perlakuan................. 64

  5.3. Profil Rata-rata Kadar kreatinin Serum Tikus Setelah Perlakuan...................................................................................... 63

  5.2. Profil Volume Urin Tikus Setelah Perlakuan.............................. 61

  5.1. Profil Kadar Kreatinin dalam Urin Tikus Setelah Perlakuan...... 60

  4.3. Tahapan Perfusi Melalui Jantung................................................. 53

  4.1. Skema Pengelompokan Hewan Coba.......................................... 41

  

Gambar Halaman

  3.1. Skema Kerangka Konseptual....................................................... 37

  2.5. Gambar Imunohistokimia α-Smooth Muscle Actin...................... 32

  2.4. Gambar Histopatologi Ginjal Tikus............................................. 29

  2.3. Pembuluh Darah di Ginjal........................................................... 20

  2.2. Gambaran Umum Ginjal............................................................. 19

  2.1. Metabolisme Kafein.................................................................... 9

  5.6 Hasil Pewarnaan Imunohistokimia α-Smooth Muscle Actin........ 68 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

  1 Tabel Konversi Dosis Hewan Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh......88

  73

  2 Perhitungan Dosis Kontrol Positif dan Minuman Berenergi.................. 89

  3 Hasil Statistik Volume Urin, Kreatinin Urin, Kreatinin Serum, dan BUN................................................................................................. 92

  4 Data Volume Urin, Kreatinin Urin, Kreatinin Serum, dan BUN............ 112

  xviii ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Istilah minuman berenergi (energy drink) merujuk pada minuman yang mengandung kafein dalam kombinasi dengan bahan- bahan lain seperti taurin, guarana, dan vitamin B, yang menyatakan dapat memberikan energi ekstra bagi para penggunanya (Heneman et al,. 2007). Sedangkan menurut BPOM (2006), minuman berenergi termasuk salah satu suplemen makanan yang terdiri dari komponen multivitamin makronutrien (karbohidrat, protein), taurin, dengan atau tanpa kafein dan biasanya ditambahkan herbal seperti gingseng, jahe, dan sebagainya dengan bentuk sediaan Cairan Obat Dalam (COD) atau serbuk tablet yang dilarutkan dalam minuman, serta indikasinya untuk menambah tenaga, kesegaran, stimulasi, metabolisme, memelihara kesehatan dan stamina tubuh, yang diminum pada saat bekerja keras atau setelah berolah raga.

  Minuman berenergi merupakan minuman yang terjual paling cepat di Amerika Serikat, dengan perkiraan nilai penjualan yang meningkat dari $10 milyar menjadi $16 milyar pada tahun 2017. Di Indonesia, pada tahun 2001 ada 19 produsen minuman berenergi yang memproduksi minuman berenergi dengan total kapasitas produksi 5,49 juta kg/tahun (non cair) dan 79,74 juta liter/tahun (cair) (Widyarini, 2014). Menurut data dari Bussiness

  

Monitor International (BMI dalam Widyarini, 2012), di Indonesia pada

  tahun 2009 produksi minuman berenergi bentuk cair sebanyak 1,2 triliun liter dan meningkat menjadi 1,38 triliun liter pada tahun berikutnya. Adapun total penjualan minuman berenergi pada tahun 2009 sebesar Rp 16,9 triliun

  1 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  2 dan meningkat menjadi Rp 20,54 triliun pada tahun berikutnya. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa dapat diduga terjadi peningkatan konsumsi minuman berenergi setiap tahunnya.

  Minuman berenergi merupakan faktor risiko yang memberikan kontribusi terhadap berkembangnya penyakit ginjal kronis (Tanjoyo dan Gunawan, 2012). Frekuensi konsumsi minuman berenergi pada pasien penyakit ginjal kronis lebih sering daripada konsumsi pasien non gagal ginjal, yakni lebih dari 50% penderita gagal ginjal mengonsumsi lebih dari lebih dari 5 kemasan saji tiap minggu. Lalu, dari penelitian yang dilakukan oleh Hidayati, et al. (2008) di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, hubungan antara mengonsumsi minuman berenergi dengan kejadian penyakit ginjal kronis bersifat dose dependence artinya semakin banyak mengonsumsi minuman berenergi meningkatkan risiko mengalami gagal ginjal kronik terminal. Tidak hanya itu, Hidayati, et al. juga mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara lama berhenti mengonsumsi minuman berenergi dapat menurunkan risiko kemungkinan kejadian penyakit ginjal kronis yang artinya bersifat time dependence. Meskipun demikian, dari penelitian yang dilakukan oleh Widyarini (2014), banyak informan penelitiannya yang sudah lama mengonsumsi minuman berenergi, bahkan beberapa diantaranya telah mengonsumsi selama 10 tahun tanpa mengetahui apa saja efek samping minuman berenergi pada fungsi organ-organ tubuhnya terutama ginjal. Maka dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang mengonsumsi minuman berenergi lebih dari 5 sachet per minggu dengan jangka waktu panjang dapat meningkatkan risiko mengalami penyakit ginjal kronis.

  Penurunan kesehatan seseorang yang mengonsumsi minuman berenergi biasanya dikaitkan dengan kandungan kafein didalamnya (Breda,

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  3 et al., 2014). Kafein merupakan senyawa golongan metilxantin yang memiliki efek kuat pada sistem susunan saraf pusat. Pada dosis rendah, kafein dapat menyebabkan peningkatan kesadaran, dengan dosis yang lebih tinggi kafein efektif sebagai bronkodilator akibat kegelisahan dan tremor.

  Pada dosis yang amat tinggi, kafein dapat menyebabkan stimulasi medula dan kejang, dan mungkin dapat berakibat pada kematian. Efek kafein pada kardiovaskular diantaranya adalah takikardi, meningkatnya curah jantung, meningkatnya resistensi perifer yang menyebabkan tingginya tekanan darah (Boushey, 2012). Sedangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Belibi et al, kafein merupakan faktor resiko pembesaran kista pada pasien dengan

  

Autosomal Dominant Polycystic Kidney Disease (ADPKD). Mekanisme

  yang mendasari adalah dengan meningkatkan kadar C-AMP intraselular, yang disebabkan karena proliferasi dan akumulasi cairan dalam sel tubular (Belibi, 2002).

  Konsumsi kronis kafein selama 28 hari dengan dosis 295 mg/hari dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik 12,0 mmHg dan diastolik 2,0 mmHg (Arciero, et al. 1998). Konsumsi kafein (2-10 µg/ml; konsentrasi dalam tubuh manusia setelah meminum kopi jumlah sedang) bersifat antagonis terhadap reseptor adenosin. Fungsi adenosin endogen pada ginjal adalah menghambat pengeluaran renin. Sedangkan bila terjadi penghambatan adenosin, menyebabkan meningkatnya rilis renin basal sebagai respon stimulasi dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Adenosin dan angiotensin II memerankan peranan yang penting pada regulasi arteri afferen dan efferen yang dapat merubah tekanan intraglomerular. Adenosin dosis rendah mengaktivasi reseptor A yang

  1

  sebagian besar bersifat konstriksi terhadap arteriol afferen, sedangkan dengan dosis yang lebih tinggi dapat mengaktivasi reseptor A yang dapat

  2 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  4 mendilatasi arteriol efferen. Kedua efek ini dapat menurunkan tekanan intraglomerular. Sedangkan efek angiotensin II terhadap arteriol efferen adalah sebagai konstriktor sehingga dapat meningkatkan tekanan intraglomerular. Sehingga dengan menghalangi reseptor adenosin, kafein mungkin secara spontan dapat meningkatkan kadar angiotensin II ginjal dan menurunkan efek renovaskular adenosin yang menyebabkan meningkatnya tekanan darah arteri yang dapat bertransmisi ke kapiler glomerular sehingga menyebabkan hipertensi glomerular yang kemudian berefek pada kerusakan ginjal. Selain itu, hipertensi merupakan faktor yang menginisiasi timbulnya penyakit ginjal kronis (Tofovic dan Jackson, 1998; Vallon et al., 2006).

  Menurut Saseen dan Maclaughlin (2008) hipertensi dapat merusak jaringan ginjal (parenkim) atau kerusakan pada arteri ginjal. Pada jurnal Mezzano, et al. (2001) Angiotensin II dapat mengaktivasi sel mesangial dan sel tubular, dan fibroblas intersisial dengan cara meningkatkan ekspresi dan sintesis dari matriks protein ekstraselular, seperti fibronectin, laminin, dan kolagen. Angiotensin II dapat berkontribusi pada terjadinya inflamasi secara terus-menerus, serta memfasilitasi migrasi sel mononuklear ke intersisial dan glomerulus, terjadi pematangan di makrofag, dan akhirnya berpartisipasi pada proses fibrosis. Sel inflamasi ini akan mengaktivasi sel ginjal untuk mengeluarkan sejumlah besar faktor pertumbuhan, termasuk angiotensin II, sehingga dapat menyebabkan kerusakan ginjal ginjal yang berkepanjangan. Angiotensin II juga dapat mendorong perubahan secara fenotif dari fibroblas menjadi myofibroblas sehingga sel α-SMA dapat terdeteksi.

  α-smooth muscle actin (α-SMA) merupakan suatu bentuk aktin

  yang banyak terdapat di sel otot polos pembuluh darah dan memerankan peranan penting pada proses fibrogenesis. Ukuran molekul α-SMA adalah

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  5 42kD. Ekspresi α-SMA ini berhubungan dengan aktivasi myofibroblas. Myofibroblas adalah bentuk dari sel fibroblas yang terdiferensiasi parsial pada fenotif otot polos. Myofibroblas secara metabolik dan morfologis khusus mengekspresikan α-SMA, dan aktivasinya memegang peranan sebagai kunci perkembangan dari respon fibrosis. Pada stadium aktivasi, myofibroblas berhenti berproliferasi dan mulai untuk mensintesis komponen protein ekstraselular dalam jumlah besar (Cherng, et al., 2008).

  Pada ginjal normal, tidak ditemukan ekspresi α-SMA pada glomerulus, tubulus proksimal, sampai duktus kolektivus, namun positif pada sel otot polos pembuluh darah. Peningkatan ekspresi α-SMA menggambarkan terjadinya remodeling glomerulus secara aktif dan menjadi pertanda awal kerusakan sel mesangial. Proliferasi dan diferensiasi dari sel mesangial dan fibroblas menjadi myofibroblas terjadi pada awal perkembangan fibrosis ginjal. Sehingga, ekspresi α-SMA menjadi evaluasi penting pada progresi dari kondisi patologis, termasuk gagal ginjal (Badid, et al., 2001; Yabuki, 2009).

  Penyakit ginjal kronis merupakan kehilangan fungsi ginjal yang terjadi secara progresif selama beberapa bulan sampai tahunan, dengan ciri- ciri terjadi perubahan secara berangsur-angsur terhadap normal struktur ginjal dengan fibrosis intersisial. Menurut NKF (2002), terdapat dua kriteria penyakit ginjal kronis, yaitu kerusakan ginjal selama lebih dari tiga bulan dimana terjadi abnormalitas secara struktural atau fungsional pada ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR. Manifestasi kerusakan tersebut yaitu terjadinya abnormalitas secara patologi atau munculnya marker dari kerusakan ginjal (kidney damage), termasuk abnormalitas terhadap komposisi darah atau urin atau abnormalitas pada imaging test. Selain itu,

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  6 kriteria kedua untuk penyakit ginjal kronis yaitu nilai GFR <60 ml/min.1,73

  2 m selama lebih dari tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

  Penyakit ginjal kronis dapat dideskripsikan sebagai silent epidemic dan merupakan problem kesehatan tingkat dunia. Berdasarkan pada fungsi ginjal (GFR), penyakit ginjal kronis dikategorikan menjadi tingkat 1- 5 dimana peningkatan angka ini mengindikasikan peningkatan keparahan penyakit (Joy, 2008).

  Berdasarkan pemaparan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk melihat efek samping minuman berenergi terhadap terjadinya penyakit ginjal kronis yang dilakukan pada hewan coba tikus putih dengan marker α- SMA.

  1.2 Rumusan Masalah

  1. Apakah pemberian minuman berenergi secara kronis dapat menyebabkan perubahan fungsi ginjal pada hewan coba tikus putih?

  2. Apakah pemberian minuman berenergi secara kronis dapat menyebabkan perubahan pada marker α-SMA pada hewan coba tikus putih?

  1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

  Menganalisis efek pemberian minuman berenergi terhadap terjadinya penyakit ginjal kronis pada hewan coba tikus putih.

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  7

1.3.2 Tujuan Khusus 1. Menganalisis data urinalisis melalui nilai kreatinin urin.

  2. Menganalisis data hematologi melalui nilai kreatinin serum dan BUN (Blood Urea Nitrogen).

  3. Menganalisis irisan histopatologi ginjal dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin.

  4. Menganalisis imunohistokimia ginjal dengan marker α-SMA.

1.4 Manfaat Penelitian

  1. Untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek samping minuman berenergi bila dikonsumsi jangka panjang khususnya pada fungsi dan morfologi ginjal.

  2. Untuk pemerintah, diharapkan dapat memberikan informasi bahwa minuman berenergi tidak seharusnya digunakan setiap hari sehingga regulasinya dapat diatur.

  3. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan penelitian ini bermanfaat sebagai referensi.

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minuman Berenergi

  2.1.1 Definisi Minuman Berenergi

  Istilah minuman berenergi (energy drink) merupakan minuman yang mengandung kafein dalam kombinasi dengan bahan-bahan lain seperti taurin, guarana, dan vitamin B, yang menyatakan dapat memberikan energi ekstra bagi para penggunanya (Heneman et al,. 2007). Sedangkan menurut BPOM tahun 2006, minuman berenergi termasuk salah satu makanan yang terdiri dari komponen multivitamin makronutrien (karbohidrat, protein), taurin, dengan atau tanpa kafein dan biasanya ditambahkan herbal seperti gingseng, jahe, dan sebagainya dengan bentuk sediaan Cairan Obat Dalam (COD) atau serbuk tablet yang dilarutkan dalam minuman, serta indikasinya untuk menambah tenaga, kesegaran, stimulasi, metabolisme, memelihara kesehatan dan stamina tubuh, yang diminum pada saat bekerja keras atau setelah berolah raga.

  2.1.2 Kandungan Minuman Berenergi

2.1.2.1 Kafein

  Kafein atau 1,3,7-trimethylxanthine adalah salah satu bahan aktif yang sering dikonsumsi oleh penduduk dunia yang dapat ditemukan pada berbagai makanan, misalnya kopi, teh, coklat, dan minuman bersoda (Bolignano et al., 2007;). Kafein merupakan zat yang dimetabolisme secara spesifik pada setiap spesies makhluk hidup. Pada manusia, 80% kafein didemetilasi menjadi paraxathine dan 16% nya diubah menjadi

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  9

  

theobromine dan theophylline. Kira-kira 3 % dari kafein dicerna oleh tubuh

  dan lebih dari satu dosen dari metabolitnya dapat ditemukan di urin (Bolignano et al., 2007).

Gambar 2.1. Metabolisme Kafein (Balignano et al., 2007)

  Kafein memiliki efek kuat pada sistem susunan saraf pusat. Pada dosis rendah, kafein dapat menyebabkan peningkatan kesadaran, dengan dosis yang lebih tinggi kafein efektif sebagai bronkodilator akibat kegelisahan dan tremor. Pada dosis yang amat tinggi, kafein dapat menyebabkan stimulasi medula dan kejang dan mungkin dapat berakibat pada kematian. Efek kafein pada kardiovaskular diantaranya adalah takikardi, meningkatnya curah jantung, meningkatnya resistensi perifer yang menyebabkan tingginya tekanan darah (Boushey, 2012).

  Kafein dapat mendatangkan bermacam-macam efek farmakologis seperti meningkatnya kewaspadaan, menurunnya waktu reaksi sistem psikomotor, memperlama waktu terbangun, dan mungkin dapat berpengaruh pada aktivitas intelektual. Selain itu, kafein dapat merelaksasi otot polos, meningkatkan sekresi asam lambung dan rilis dari katekolamin, dan meningkatkan aktivitas metabolik (Varani et al., 2000)

  . ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  10 Mekanisme tepat yang berhubungan dengan aktivitas kafein masih belum diketahui, namun ada hipotesis bahwa terjadi peningkatan rilis kalsium intraselular dan penghambatan pada enzim fosfodiesterase yang menghidrolisis c-AMP, sehingga menghasilkan peningkatan second

  

messenger. Hipotesis lain menyatakan bahwa efek farmakologi dari kafein

  disebabkan karena antagonisme terhadap reseptor adenosin. Beberapa reseptor adenosin yaitu A , A , A , dan A Kafein bersifat antagonis kuat

  1

  2A

  2B 3.

  pada reseptor A , diikuti pada reseptor A kemudian reseptor A , dan

  1

  2A

  2B

  bersifat antagonis lemah pada reseptor A (Balignano et al., 2007; Varani et

  3

  al., 2000) .

  Adenosin berada di sitosol sel tubulus dan di intersisial ginjal dengan kondisi oksigen normal (normoxic kidney). Sedangkan reseptor adenosin menurut penelitian yang dilakukan terhadap tikus berada di:

  : arteriol afferen, glomeruli (termasuk sel

  1. Reseptor adenosin A

  1

  mesangial), sel jukstaglomerular, tubulus proksimal, duktus kolektivus, dan lengkung henle : seluruh bagian ginjal, korteks dan medula,

  2. Reseptor adenosin A

  2A

  gromeruli, dan papila : seluruh bagian ginjal, korteks dan medula,

  3. Reseptor adenosin A

  2B preglomerular microvessel

  : seluruh bagian ginjal

  4. Reseptor adenosin A

  3 (Vallon et al., 2006).

  Adenosin endogen pada ginjal dapat menghambat pengeluaran renin, sedangkan kafein merupakan antagonis reseptor adenosin. Dengan efek penghambatan tersebut menyebabkan meningkatnya rilis renin basal sebagai respon stimulasi dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Adenosin dan angiotensin II memerankan peranan yang penting pada regulasi arteri afferen dan efferen yang dapat merubah tekanan

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  11 intraglomerular. Adenosin dosis rendah mengaktivasi reseptor A yang

  1

  sebagian besar bersifat konstriksi terhadap arteriol afferen, sedangkan dengan dosis yang lebih tinggi dapat mengaktivasi reseptor A yang dapat

  2

  mendilatasi arteriol efferen. Kedua efek ini dapat menurunkan tekanan intraglomerular. Sedangkan efek angiotensin II terhadap arteriol efferen adalah sebagai konstriktor sehingga dapat meningkatkan tekanan intraglomerular. Sehingga dengan menghalangi reseptor adenosin, kafein mungkin secara simultan dapat meningkatkan kadar angiotensin II ginjal dan menurunkan efek renovaskular adenosin yang menyebabkan meningkatnya tekanan darah arteri yang dapat bertransmisi ke kapiler glomerular sehingga menyebabkan hipertensi glomerular yang kemudian berefek pada kerusakan ginjal. Selain itu, hipertensi merupakan faktor yang menginisiasi timbulnya penyakit ginjal kronis (Tofovic et al., 1998; Vallon et al., 2006). Saseen dan Maclaughlin (2008) mengemukakan bahwahipertensi dapat merusak jaringan ginjal (parenkim) atau kerusakan pada arteri ginjal.

  Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAS) telah diketahui sebagai regulator tekanan darah dan faktor yang menentukan target dari kerusakan organ. Angiotensin II, efektor utama RAS, merupakan mediator kunci dari kerusakan ginjal dengan meningkatkan tekanan intraglomerular kapiler dan ultrafiltrasi dari protein plasma, dan mendorong perkembangan sel dan efek fibroproliferatif (Remuzzi, et al., 2008). Angiotensin II mengatur pertumbuhan sel mesangial, termasuk proliferasi atau hipertrofi berdasarkan pada keseimbangan intraselular antara faktor pertumbuhan, dan angiotensin II dapat meningkatkan ekspresi dan sintesis protein matriks ekstraselular seperti fibronektin, laminin, dan kolagen. Peningkatan matriks sel mesangial ini terutama dimediasi oleh TGF- β. Peningkatan TGF- β telah diketahui hampir disetiap tipe dari penyakit ginjal kronis, baik di

  ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  12 model hewan maupun di model manusia. In vitro, TGF- β sebagai faktor tunggal dapat menstimulasi sel mesangial, fibroblas intersisial, dan sel epitel tubular untuk mengalami aktivasi atau transisi myofibroblastik, untuk menjadi matrix-producing fibrogenic cells. Ekspresi dari TGF- β eksogen, menyebabkan fibrosis renal. Sebaliknya, bila TGF- β dihambat dapat menekan lesi fibrotik ginjal dan mencegah keberlanjutan hilangnya fungsi ginjal. Angiotensin II juga dapat menyebabkan perubahan fenotif fibroblas menjadi myofibroblas. Transformasi fibroblas menjadi myofibroblas ini diinduksi oleh TGF- β dan platelet-derived growth factor-BB (PDGF-BB). Fibroblas aktif ini dapat berproliferasi dan menginvasi ruang periglomerular dan peritubular, berkontribusi pada deposisi matriks dalam area tubulointersisial. Myofibroblas ini dapat diidentifikasi dari ekspresi α- smooth muscle actin. Proliferasi myofibroblas dapat dideteksi sebelum adanya fibrosis yang signifikan, sehingga dapat digunakan sebagai marker awal dari penyakit progresif. Selain itu, angiotensin II juga dapat mengaktivasi sel inflamasi, dengan kemotaksis langsung dan produksi mediator proinflamasi seperti MCP-1 dan TGF- β. Pada model penelitian eksperimental ginjal yang rusak, terjadi peningkatan MCP-1 ginjal secara kebetulan diikuti dengan infiltrasi mononuclear cell. Kedua efek ini menurun dengan treatment menggunakan ACE inhibitor. Dari data ini menunjukkan bahwa angiotensin II berkontribusi dalam proses inflamasi, memfasilitasi migrasi mononuclear cell ke bagian intersisial dan glomerulus dimana sel ini matang dalam makrofag dan akhirnya berpartisipasi pada proses fibrosis. Sel inflamasi ini akan mengaktivasi sel ginjal untuk mengeluarkan sejumlah besar faktor pertumbuhan, termasuk angiotensin II, sehingga dapat menyebabkan kerusakan ginjal ginjal yang berkepanjangan. Selain itu, produksi dan/atau deposisi matriks ekstraselular juga dapat dipengaruhi oleh adanya MCP-1, baik secara langsung sebagai fibrogenic ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  13

  

factor maupun secara tidak langsung melalui TGF- β, yang akhirnya dapat

  berkontribusi pada pengembangan fibrosis (Mezzano et al., 2001; Mezzano et al., 2000, Liu, 2006; Strutz dan Zeisberg, 2006).

  2.1.2.2 Taurin

  Taurin merupakan bahan organik yang terlibat dalam regulasi volume sel dan sebagai penyedia substrat untuk formasi garam empedu. Taurin berperan pada modulasi konsentrasi intraselular kalsium bebas dan walaupun zat ini merupakan salah satu dari asam amino yang tidak bersatu dengan protein, zat ini merupakan salah satu asam amino yang berlimpah ruah di otak, retina, jaringan otot, dan organ pada seluruh tubuh (Ripps dan Shen, 2012). Taurin dapat berfungsi sebagai agen proteksi terhadap glomerulonefritis, diabetik nefropati, chronic renal failure, dan acute kidney

  

injury (AKI). Taurin juga memiliki sifat antioksidan terhadap ginjal

(Chesney, et al., 2012).

  2.1.2.3 Ekstrak Gingseng

  Ekstrak gingseng (panax quinquefolium= gingseng amerika utara) efektif untuk mencegah terjadinya diabetes nefropati baik tipe I maupun tipe II karena mekanisme yang disebut antihiperglikemi dan efek antioksidan (Sen et al., 2012).

  2.1.2.4 Vitamin

2.1.2.4.1 Vitamin B (Nicotinamide)