KETIDAKSETARAAN GENDER DALAM AGAMA SEBAGAI KEKERASAN SIMBOLIK PADA “PENGAKUAN EKS PARASIT LAJANG” | Aswidaningrum | JURNAL PENELITIAN 2102 7883 1 PB

Jurnal Penelitian,Vol. 11, No. 1, Februari 2017

KETIDAKSETARAAN GENDER
DALAM AGAMA SEBAGAI KEKERASAN
SIMBOLIK PADA “PENGAKUAN EKS
PARASIT LAJANG”

Rusi Aswidaningrum
Universita Airlangga Surabaya, Indonesia
rusiaswidaningrum@gmail.com

Abstract
This study aims to reveal the forms of symbolic violence that indicates
gender inequality between men and women in the religion in “Pengakuan
eks Parasit Lajang”. In analysing it, the researcher irstly inds out the
external conlicts experienced by the main character. The external
conlicts with her aunt, father, and Nik will be explored to ind out
the doxa which oppresses the women. The researcher applies the concept
of symbolic violence to show the forms of inequality between men and
women implied in the religion. Traditional Gender Roles of Feminism
theory is used to prove the inequality experienced by the women. Then,

the researcher can determine how men and women’s roles are constructed.
Finally, the researcher concludes that there is symbolic violence in placing
women as subordinate due to the patriarchal values that support the
197

Rusi Aswidaningrum

foundations of religions. So, we can understand that traditional gender
roles underlyies the practices of religions which oppress the women.

Keywords: Doxa, Symbolic Violence, Gender Inequality.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguak bentuk-bentuk kekerasan
simbolik yang menunjukkan adanya ketidakadilan gender antara
pria dan wanita dalam agama pada novel “Pengakuan eks Parasit
Lajang”. Dalam menguaknya, peneliti pertama-tama memeriksa
konlik eksternal yang dialami oleh tokoh utama A dalam novel.
Konlik eksternal A dengan kedua bibinya, ayahnya, dan Nik akan
dikuak untuk menemukan adanya doksa dalam ketidakadilan yang

mengopresi perempuan. Peneliti mengaplikasikan konsep kekerasan
simbolik untuk memahami bagaimana bentuk-bentuk ketidakadilan
antara laki-laki dan perempuan dalam agama. Kemudian,
ketidakadilan terhadap perempuan tersebut dikaji peneliti dengan
konsep peran gender tradisional milik teori Feminisme. Dengan konsep
ini, peneliti dapat mengetahui bagaimana laki-laki dan perempuan
dikonstruksi. Kemudian, peneliti menemukan adanya kekerasan
simbolik dalam penempatan perempuan pada posisi subordinat yang
disebabkan karena adanya nilai-nilai patriarkal yang menopang
dasar-dasar agama. Sehingga, adanya peran gender tradisional yang
melatarbelakangi praktik-praktik agama sehingga mengopresi posisi
perempuan.

Kata Kunci: Doksa, Kekerasan Simbolik, Ketidaksetaraan

Gender.

A. Pendahuluan

Pada saat ini telah diketahui bersama bahwa eksistensi

perempuan dalam segala bidang telah diakui dan hak antara
perempuan dan laki-laki telah disejajarkan. Namun dalam
penerapan pengakuan hak perempuan dan laki-laki tersebut
sering kali tidak adil. Misalnya saja, di dalam struktur rumah
tangga yang mana suami dan istrinya bekerja dan memiliki karir
198

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Ketidaksetaraan Gender dalam Agama....

masing-masing, namun sang istri tetaplah dianggap seorang
perempuan yang memiliki kewajiban untuk memasak, mengurus
pekerjaan rumah, merawat suami dan anak. Dapat dikatakan
tidak adil karena pekerjaan rumah seharusnya juga dikerjakan
oleh suami untuk membantu meringankan beban istri karena si
istri juga bekerja.
Dalam hal ini, agama memungkinkan dijadikan senjata
ampuh yang mendasari ketidakadilan tersebut. Masyarakat
percaya bahwa perempuan atau istri yang baik ialah yang terampil

dalam melakukan pekerjaan domestik meskipun memiliki
karir. Hal ini didasarkan pada ajaran agama bahwa seorang istri
hendaknya melayani suaminya. Namun sesungguhnya hal ini
dapat dikatakan tidak adil karena pekerjaan rumah akan lebih
adil jika dikerjakan secara bersama-sama karena baik suami dan
istri memiliki karirnya masing-masing. Dalam konteks ini, agama
dijadikan tameng untuk mendominasi peremuan atas laki-laki.
Oleh karena memiliki kekuatan bagi yang menafsirkannya, agama
tidak jarang dijadikan alat untuk mendominasi1. Sehingga, agama
sebenarnya bersifat politis yang dapat digunakan untuk memihak
kepentingan kelompok tertentu.
Hal demikian digambarkan pada novel “Pengakuan Eks
Parasit Lajang” karya Ayu Utami. Novel ini menceritakan tokoh
perempuan A yang menata ulang sistem nilai yang dianutnya
karena ia merasakan adanya ketidakadilan dalam sistem nilai yang
dilanggengkan agama dan sosial dimana ia tinggal. Sebenarnya ia
lahir dalam keluarga yang taat agama, namun kemudian ia mulai
mengkritisi nilai-nilai dalam agamanya ketika ia menghadapi
konlik eksternal dengan ayahnya, bibinya, dan Nik. Konlik yang
ia alami tersebut semakin memantapkannya untuk menjaga jarak

dengan agama karena ia merasa kontra dengan beberapa nilainilai agama yang ia anut. Dalam agamanya, pemimpin doa dan
Nur Khalik, Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama
Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan, (Yogyakarta: Arrus Book Gallery, 2003),
hlm. 28
1

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

199

Rusi Aswidaningrum

agama hanyalah laki-laki. Dalam sebuah keluarga, yang menjadi
kepala keluarga juga laki-laki. Padahal dalam keluarganya,
ayahnya pindah agama karena mengikuti ibunya yang Katolik
dan ia merasa aneh karena bukan ibunya yang menjadi imam
namun tetap ayahnya yang baru mempelajari agama. A merasa
adanya ketidakadilan yang diciptakan agama dalam memposisikan
laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, peneliti ingin
mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang

melatarbelakangi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan
dalam nilai agama sehingga kemudian ideologi yang tersembunyi
didalamnya juga dapat terkuak sebagai hasil interpretasi dalam
penelitian ini.
Novel “Pengakuan Eks Parasit Lajang” merupakan trilogi
dari “Si Parasit Lajang” dan“Cerita cinta Enrico”. Akan tetapi,
peneliti lebih memilih untuk menganalisa “Pengakuan Eks Parasit
Lajang” karena novel ini merupakan penutup dari “Si Parasit
Lajang” dan “Cerita cinta Enrico” sehingga kesimpulan dari trilogi
tersebut berakar pada novel ini. Novel“Pengakuan Eks Parasit
Lajang” yang diterbitkan pertama kali oleh Gagas Media pada
tahun 2003 dan kemudian diterbitkan ulang oleh Gramedia pada
tahun 2013 ini sangat menarik untuk dikaji karena menyuguhkan
bagaimana tokoh A dalam melawan nilai adat dan agama dengan
menghancurkan konsep keperawanan. Keperawanan dianggap
memberikan ketidakadilan bagi perempuan karena kehormatan
perempuan seakan-akan terletak pada keperawanan. Agama juga
dijadikan tameng dalam membentuk ketidakadilan ini. Sehingga,
novel ini sangat layak dikaji untuk mengetahui modus apa yang
beroperasi dalam novel tersebut.

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kekritisan
perempuan terhadap perannya sebagai seorang istri agar tidak
mengalami kekerasan simbolik. Dengan menunjukkan masih
adanya praktik opresi terhadap perempuan, penelitian ini ingin
membangun kesadaran terhadap baik perempuan dan laki-laki
bahwa agama tidak netral karena sekelompok masyrakat yang
200

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Ketidaksetaraan Gender dalam Agama....

menafsirkannya pasti memiliki kepentingan kelompok. Agama
lahir pada masyarakat dengan budaya patriarkal sehingga agama
tidak bersifat netral dan memihak laki-laki. Sehingga, penelitian ini
dapat meningkatkan kesadaran akan segala macam bentuk opresi
terhadap perempuan dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Dalam menguak isu tersebut, peneliti menggunakan
konsep peran gender tradisional dari teori Feminisme. Feminisme
menunjukkan adanya opresi yang dialami perempuan yang

disebabkan oleh peran gender tradisional yang beroperasi
dalam sistem nilai suatu masyarakat. Peran gender tradisional ini
menempatkan laki-laki pada posisi superior sehingga perempuan
yang inferior memerlukan laki-laki sebagai pemimpinnya2.
Sehingga, terlihat bahwa adanya ketidaksepadanan dalam
mendeinisikan antara laki-laki dan perempuan. Dengan
konsep peran gender tradisional, peneliti ingin menunjukkan
bagaimana laki-laki menempati posisi superior atas perempuan
di dalam ajaran agama. Lalu, konsep kekerasan simbolik dari
teori Habitus dan Ranah oleh Pierre Bordieu diaplikasikan
untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk ketidakadilan
antara laki-laki dan perempuan. Peneliti juga menguak adanya
doksa yang melatarbelakangi adanya kekerasan simbolik dalam
ketidaksetaraan gender tersebut. Sehingga, bentuk-bentuk
kekerasan simbolik yang mengindikasikan ketidakadilan antara
laki-laki dan perempuan dapat diketahui didalamnya mengandung
nilai-nilai patriarki yang menopang agama.
Kekerasan simbolik merupakan salah satu konsep dari
teori Habitus dan Ranah oleh Pierre Bourdieu. Kekerasan
simbolik merupakan kekerasan yang tidak disadari oleh

penerimanya karena sangat halus sehingga menimbulkan
konformitas daripada resistensi.3 Dalam hal ini, penerima dengan
Lois, Tyson, Critical Theory Today: A User-Friendly Guide, (United States:
Routledgem, 2006), hlm.85
3
Wilkes, etc. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif
kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. (Maizier, penerjemah), (Yogyakarta: Jalasutra, 2009),
hlm. 120
2

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

201

Rusi Aswidaningrum

suka rela menerimanya sebagai sesuatu yang wajar karena telah
terbiasa dengan hal tersebut. Bagaimana kita menerima suatu
hal mempengaruhi cara pandang kita terhadap dunia. Sehingga,
doksa ini mempengaruhi bagaimana kita menerima kekerasan

simbolik tanpa sadardengan suka rela karena menganggapnya
sebagai sesuatu yang telah umum. Di sinilah permainan bahasa
digunakan untuk mengkonstruksi realitas sehingga kekerasan
simbolik dapat diterima4. Untuk itu, peneliti menggunakan
konsep kekerasan simbolik yang tersembunyi dalam ajaran
agama untuk menemukan bagaimana bentuk ketidakadilan yang
diterima perempuan secara konformativ. Dalam mengungkapnya,
peneliti membedah konlik eksternal yang dialami tokoh A.
Konlik eksternal merupakan konlik atau masalah yang dialami
tokoh dengan tokoh lain5. Konlik eksternal dibedah terlebih
dahulu karena dengan konlik yang ia alami membangunkan
kesadarannya dalam mengkritisi agama.
Setelah menemukan bentuk-bentuk ketidakadilan pada
perempuan yang memihak laki-laki dalam ajaran agama, peneliti
mengaitkannya dengan konsep peran gender tradisional dari teori
Feminisme. Feminisme menunjukkan adanya opresi yang dialami
perempuan yang disebabkan oleh peran gender tradisional yang
beroperasi dalam sistem nilai suatu masyarakat. Peran gender
tradisional ini menempatkan laki-laki pada posisi superior
sehingga perempuan yang inferior memerlukan laki-laki sebagai

pemimpinnya6. Sehingga, terlihat bahwa adanya ketidaksepadanan
dalam mendeinisikan antara laki-laki dan perempuan. Dengan
konsep peran gender tradisional, peneliti ingin menunjukkan
bagaimana laki-laki menempati posisi superior atas perempuan di
dalam ajaran agama. Sehingga, ketidakadilan antara laki-laki dan
Pierre, Bourdieu, Language and Symbolic Power. (Gino Raymond & Matthew
Adamson, penerjemah), (Cambridge: Polity Press, 1995), hlm. 166
5
Kelley, Grifith, Writing Essays about Literature A Guide and Style Sheet. 5th ed.
(Universityof North Carolina: Hartcourt Brace College Publishers, 1982), hlm. 85
6
Lois, Tyson, Critical Theory Today: A User-Friendly Guide…,hlm. 85
4

202

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Ketidaksetaraan Gender dalam Agama....

perempuan dapat diketahui dan adanya nilai-nilai patriarki yang
menopang agama.
Agar menjadi penelitian yang sempurna, peneliti
menggunakan beberapa penelitian relevan terdahulu untuk
memandu penelitian ini. Penelitian pertama berjudul “Karya
Sastra Perempuan: Analisis Awal Tentang Perang Gender” oleh
Teguh Prakoso dan Venus Khasanah yang membahas bagaimana
perempuan penulis mendekonstruksi konstruksi tubuh
perempuan yang selama ini dianggap sebagai objek pemuas hasrat
laki-laki karena ditulis oleh laki-laki penulis. Namun, sayangnya,
penelitian ini hanya sebatas mendeskripsikan bagaimana
perempuan penulis seperti generasi Ayu Utami, Djenar Maessa
Ayu, dkk. Menyuguhkan cerita vulgar yang mana perempuan
tidak menjadi objek seksual seperti umumnya namun menjadi
subjek dari kegiatan seksualnya7. Penelitian ini tidak membahas
bagaimana dominasi laki-laki atas perempuan bisa terjadi dan
tidak menjelaskan kelanjutan interpretasi ats penelitiannya. Oleh
karena itu, peneliti ingin menyempurnakan dengan membahas
adanya agama sebagai fondasi utama yang melatarbelakangi
praktik dominasi laki-laki atas perempuan beserta implikasinya
dalam penelitian “Ketidaksetaraan Gender Dalam Agama Sebagai
Kekerasan Simbolik Pada Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang
Karya Ayu Utami” ini.
Penelitian relevan kedua adalah artikel berjudul “Citraan
Perlawanan Simbolis Terhadap Hegemoni Patriarki Melalui
Pendidikan dan Peran Perempuan Di Arena Publik dalam
Novel-novel Indonesia” oleh Wiyatmi. Penelitian ini membahas
mengenai bentuk perlawanan simbolis terhadap patriarki8.
Namun, sesungguhnya penelitian ini kurang meyakinkan dan
Teguh Prakoso dan Venus Khasanah, Karya Sastra Perempuan: Analisis Awal
Tentang Perang Gender, (Atavisme: Jurnal Ilmiah Kajian Sastra, 12 (1), 1982), hlm.81
8
Wiyatmi, Citraan Perlawanan Simbolis Terhadap Hegemoni Patriarki Melalui Pe didikan dan Peran Perempuan Di Arena Publik dalam Novel- Novel Indonesia, (Atavisme: Jurnal
Ilmiah Kajian Sastra, 13 (2), 2010), hlm. 247-254
7

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

203

Rusi Aswidaningrum

bisa dibantah karena meskipun perempuan saat ini mengenyam
pendidikan tinggi dan masuk ke ranah publik, tetapi di dalam
rumah perempuan tetaplah perempuan yang harus mengerjakan
pekerjaan domestik. Berbeda dengan laki-laki yang meskipun
bekerja namun tidak harus mengerjakan pekerjaan domestik.
Perempuan hanya perlu diakui di ranah publik akan eksistensinya
namun tidak boleh melupakan perannya sebagai makhluk
domestik. Dengan kelemahan penelitian tersebut, maka penelitian
“Ketidaksetaraan Gender dalam Agama Sebagai Kekerasan
Simbolik pada Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya
Ayu Utami” ingin melengkapinya dengan membuktikan adanya
keberpihakan agama terhadap laki-laki sehingga meskipun
eksistensi perempuan saat ini telah diakui di ranah publik namun
perannya di area domestik harus tetap berlangsung.
Penelitian terakhir yakni berjudul “Perspektif Gender
Dalam Novel Kapak Karya Dewi Linggarsari” oleh Fitria yang
mendeskripsikan bentuk-bentuk kesetaraan dan ketidaksetaraan
gender yang dialami perempuan suku Asmat. Oleh karena hanya
mendeskripsikan bentuk-bentuk kesetaraan dan ketidaksetaraan
gender secara deskriptif, penelitian ini belum memasuki tahap
interpretatif yakni makna dari adanya ketidaksetaraan dan
kesetaraan gender tersebut beserta implikasinya. Sehingga,
penelitian “Ketidaksetaraan Gender Dalam Agama Sebagai
Kekerasan Simbolik Pada Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang
Karya Ayu Utami” ingin menambahkan bahwa tidak hanya
adat saja tetapi agama juga berpihak kepada laki-laki dan juga
memberikan interpretasi lebih dalam.
B. Pembahasan
1. Konlik Eksternal Tokoh A yang Membangun Kesadaran
tentang Doksa Akan Marginalisasi Posisi Perempuan.

Konlik eksternal pertama yang ia hadapi adalah dengan
kakak dan adik ayahnya yakni Bibi Gemuk dan Bibi Kurus. Ketika
A kecil, kedua bibinya tersebut memitnah ibu A berselingkuh
204

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Ketidaksetaraan Gender dalam Agama....

dengan laki-laki lain pada saat ayah A sedang bertugas di luar
Jawa9. A tidak menyangka sebagai saudara ipar, kedua bibinya tega
memitnah adik iparnya sendiri. Namun ternyata, motivasi kedua
bibinya memitnah ibunya adalah karena kedengkian mereka
terhadap ibunya yang berhasil dalam pernikahan sementara itu
kedua bibi A tetap melajang sampai tua. Dalam hal ini, keirian
kedua bibinya akan pernikahan bisa muncul karena adanya doksa
bahwa pernikahan telah diwajibkan dalam ajaran agama sebagai
penyempurna iman.
Dalam hal ini, perempuan menerima bentuk-bentuk
ketidakadilan ini secara sadar dan menyetujui akan perannya
sebagai wanita yang nantinya akan menjadi istri dan ibu. Sehingga,
hal ini memicu perempuan berlomba-lomba untuk menyandang
gelar nyonya akibat tuntutan agama dan masyarakat. Agama
mewajibkan pernikahan untuk penyempurna iman membuat
masing-masing perempuan bertujuan untuk menikah. Dalam hal
ini, pernikahan dilakukan karena kewajiban dari perintah agama
bukan dari keinginan sendiri dari perempuan. Sehingga, doksa
dalam hal ini membuat perempuan menganggap wajar untuk
mereka berperan sebagai istri dan ibu.
Pernikahan juga dapat disebut sebagai tuntutan
masyarakat karena masyarakat akan mencibir para wanita
masih lajang yang telah melewati usia pernikahan. Perempuan
mendapatkan kekerasan simbolik seolah-olah dibentuk untuk
membutuhkan laki-laki sebagai penopang hidupnya. Perempuan
rela menikah hanya agar tidak mendapatkan label perawan tua
yang mengharuskan dirinya untuk membutuhkan laki-laki. Jika
perempuan belum menikah pada usia yang cukup matang maka
label perawan tua akan menghinggapinya sebagai sangsi sosial.
Meskipun juga ada label untuk perjaka tua, akan tetapi perawan
tua mendapatkan stigma yang lebih negatif. Lagi-lagi doksa
menuntun perempuan untuk membutuhkan laki-laki. Padahal
9

Ayu, Utami, Pengakuan Eks Parasit Lajang, (Jakarta: Gramedia, 2013),

hlm. 111
Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

205

Rusi Aswidaningrum

dalam novel, kedua bibinya sebenarnya mandiri tanpa laki-laki
mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri. Namun, karena
tuntutan agama dan masyarakat yang melabelkan mereka perawan
tua membuat mereka iri akan sebuah pernikahan. Konlik dengan
bibinya tersebut menyadarkan A bahwa perempuan dituntut oleh
agama dan masyarakat untuk membutuhkan laki-laki.
Konlik eksternal berikutnya yang ia alami adalah dengan
ayahnya yang berwatak sangat keras dan diktator. Ia dan kakakkakaknya tidak begitu dekat dengan ayahnya karena sifatnya yang
seperti monster. Sifat ayah A sangat kontras dengan ibunya yang
sangat lembut, baik, dan penyayang. Meskipun ayahnya sering
keras terhadap ibunya, ibunya tetap lembut dan melayani ayah
A dengan kasih sayang. Hal ini membuat A bingung kenapa
kepala keluarga harus ayah padahal ibu A dirasanya lebih baik jika
memimpin keluarga. Sifat ibu yang baik, sabar, dan penyayang
terlebih dekat dengan semua anaknya ia yakini dapat memimpin
keluarga. Namun, menurut ajaran agamanya, pemimpin keluarga
haruslah laki-laki. Ini tidak adil baginya karena ayahnya dulunya
adalah seorang muslim yang pindah katolik mengikuti ibunya10.
Tentu saja, dalam urusan agama pula ibunyalah yang lebih
paham mengenai ajaran agama dan lebih pantas menjadi imam
dalam keluarga. Namun, agama tidak mengajarkan perempuan
menjadi imam.
Dalam hal ini, doksa menunjukkan laki-laki menempati
posisi sentral dan perempuan pada posisi marginal dalam struktur
keluarga dan kepemimpinan agama. Perempuan dianggap tidak
mampu menjadi kepala keluarga bahkan ketika kemampuannya
melibihi suaminya dalam menjalankan roda kepemimpinan rumah
tangga. Namun perempuan dengan sukarela menjalankan posisi
marginalnya yang dikepalai oleh laki-laki dalam rumah tangganya
karena menganggap kepala rumah tangga sewajarnya memang
laki-laki. Perempuan tidak bisa menjadi imam dalam keluarga
meskipun pengetahuan ajaran agamanya lebih luas daripada sang
10

206

Ibid., hlm. 30
Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Ketidaksetaraan Gender dalam Agama....

suami. Akan tetapi, perempuan juga tetap menghormati suaminya
yang menjadi imam keluarga tanpa memaksa ingin menggantikan
posisi suami sebagai kepala keluarga. Dalam hal keagamaan pun
demikian, perempuan tidak banyak mempermasalahkan tokoh
pemimpin agama kebanyakan adalah laki-laki. Hal ini dikarenakan
perempuan telah sukarela menerima dirinya diposisikan marginal
atas laki-laki dan menganggapnya sebuah kewajaran yang tidak
perlu diubah atau dikritisi.
Konlik yang dialami A dengan bibi-bibinya dan
ayahnya membuat A semakin meragukan agamanya. Berbagai
doksa diatas membuatnya merasa agama memposisikan lakilaki menjadi ordinat sementara itu perempuan menempati
subordinat dan membutuhkan laki-laki sebagai pengaturnya.
Hal ini mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya tidak lagi
mempertimbangkan ajaran agama sebagai ajaran yang relevan.
Perempuan dan laki-laki terlahir tanpa adanya hirarki yang
membedakan mereka, namun kemudian agama membubuhi
mereka dengan posisi masing-masing yakni laki-laki sebagai
superior dan perempuan sebagai inferior. Hal demikian membuat
A menjaga jarak pada agama. Meskipun sistem nilai yang ia anut
kontra dengan agama, ia tetap menghormati ajaran agama yang
demikian. Sehingga, ia memutuskan untuk tidak beragama agar
terlepas dari doksa yang menyudutkan posisi perempuan. Ia tidak
ingin terjajah oleh bentuk-bentuk doksa yang menempatkan
posisi perempuan dibawah laki-laki.
Konlik dengan Nik yang merupakan kekasihnya juga
menciptakan kesadaran pada A bahwa terdapat ketidakadilan pada
posisi perempuan. Dengan Nik, untuk pertama kali, A melepas
keperawanannya. Ia ingin melawan konsep keperawanan sebagai
hal yang sakral. Sebenarnya, agama hanya melarang perzinaan jadi
ia merasa agama tidak mengharuskan perempuan perawan sampai
pernikahannya tiba11. Aspek perempuan sebagian besar dinilai
dari segel darah di vaginanya untuk pantas tidaknya dinikahi dan
11

Ibid., hlm. 35

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

207

Rusi Aswidaningrum

ini sangat tidak adil karena laki-laki tidak memiliki segel tersebut.
Jika laki-laki pernah berhubungan seksual maka tidak nampak
bekasnya dan berbeda dengan perempuan. Ketidakadilan ini
ingin dibasmi oleh tokoh A bahwa penilaian terhadap perempuan
tidak terletak di segel vaginanya saja namun pada kemampuan
dan keterampilannya sama seperti laki-laki.
Dalam hal ini, doksa membuat perempuan percaya akan
konsep keperawanan sebagai mahkota perempuan. Keperawanan
dianggap sesuatu yang sakral yang diberikan kepada perempuan
dan wajib dijaga sampai tiba hari pernikahannya sebagai hadiah
hanya untuk suaminya. Dalam hal ini, perempuan menerimanya
sebagai kesucian yang merepresentasikan dirinya. Perempuan
yang sudah tidak memiliki selaput dara sebelum pernikahan
dianggap memiliki kehormatan lagi sebagai seorang perempuan.
Kepribadian, kemampuan, dan pengetahuan seorang perempuan
seolah-olah tidak menjadi ukuran dari kehormatan perempuan
dalam suatu pernikahan. Ironisnya, perempuan menerima doksa
yang dilakukan kepada mereka dengan sukarela karena menyetujui
konsep keperawanan tersebut dengan cara menjaganya sampai
malam pertama pernikahan.
Begitu pula setelah berhubungan intim dengan Nik, A
mulai merasa kontra dengan nilai-nilai yang dianut Nik yang
dianggap sangat merendahkan perempuan. Nik ingin segera
menikahi A karena ia tidak ingin lama-lama berzina. Nik ingin
bertanggungjawab atas perbuatannya telah memperawani A dan
menjadi imamnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan
Prakoso dan Venus dalam penelitian mereka bahwa masyarakat
menganggap keperawanan perempuan sebagai porselen yang
tidak boleh pecah sementara keperjakaan laki-laki bukanlah
hal yang patut untuk dipermasalahkan12. Sebagai calon kepala
rumah tangga, Nik ingin A masuk Islam mengikutinya.
Sebaliknya, A merasa bahwa A tidak ingin menikah karena dia
lah yang bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Doksa yang
12

208

Teguh Prakoso dan Venus Khasanah. Karya Sastra Perempuan:…, hlm. 80
Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Ketidaksetaraan Gender dalam Agama....

terjadi dalam halam hal ini munjukkan bahwa perempuan
perlu pertanggungjawaban laki-laki atas perbuatan yang telah
mereka lakukan. Laki-laki yang telah mengambil kehormatan
perempuan dianggap harus bertanggungjawab untuk menikahi
perempuan tersebut karena tidak akan ada laki-laki lain yang ingin
menikahi perempuan tidak perawan. Hal ini sangat tidak adil
sesungguhnya bagi perempuan karena perempuan dianggap tidak
bisa bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri dan dianggap
tidak terhormat karena telah hilang selaput daranya. Namun,
perempuan menerimanya dengan penuh persetujuan.
Nik yang taat agama dipandang A sangat munaik terhadap
ajaran yang dianutnya karena Islam melarang zina tapi Nik tetap
sembahyang dan berzina. Nik dianggap tidak menghormati
ajaran agama yang dianutnya sendiri karena ia sembahyang
sebelum bercinta. A semakin mengkritisi ajaran agama ketika Nik
memintanya berpindah ke agama Nik. Oleh karena Nik yang
akan menjadi imam, maka A harus mengikutinya sebagai muslim.
Dalam hal ini, terjadi ketidakadilan yang selalu memarginalkan
posisi perempuan. Jikalau A memang berpindah agama seperti
Nik kenapa harus Nik yang menjadi kepala keluarga. Padahal,
ayah A yang berpindah agama seperti ibunya pun tetap ayahnya
yang menjadi kepala keluarga. Doksa tersebut menunjukkan
adanya ketidakadilan kepada perempuan dalam ajaran agama.
2. Bentuk Kekerasan Simbolik dalam Ketidakadilan Agama
pada Perempuan.

Konlik-konlik yang dialami A dengan kedua bibinya,
ayahnya, dan Nik menciptakan suatu kesadaran adanya
ketidakberesan agama dalam memandang posisi perempuan.
Hal tersebut menunjukkan adanya peran gender tradisional yang
menempatkan laki-laki pada posisi ordinat yang kuat, mampu
melindungi, dan pengatur. Sementara itu, perempuan sebaliknya,
berada di posisi subordinat yang lemah, cenderung melayani,

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

209

Rusi Aswidaningrum

dan penurut13. Dalam hal ini, perempuan mengalami kekerasan
simbolik yang mana Wilkes dkk mendeinisikannya sebagai
kekerasan yang tidak disadari oleh penerimanya karena sangat halus
sehingga menimbulkan konformitas daripada resistensi14. Dalam
hal ini, penerima dengan suka rela menerimanya sebagai sesuatu
yang wajar karena telah terbiasa dengan hal tersebut. Proses ini
disebut habitus yang merupakan ketidaksadaran kultural dalam
mempersepsi realitas sosial15. Sehingga, perempuan menerima
stereotipe perempuan sebagai inferior dan laki-laki menempati
tempat superior sebagai hal yang wajar dan sudah biasa. Berikut
adalah beberapa bentuk kekerasan simbolik yang menunjukkan
adanya ketidakadilan agama dalam memposisikan perempuan.
Dengan melihat kejanggalan dalam rumah tangga orang
tuanya yakni ayah A menjadi imam dirumahnya padahal dalam
urusan agama ibunyalah yang lebih paham mengenai ajaran
agama katolik karena ayahnya yang baru pindah agama, A
menyimpulkan agama tidak membolehkan perempuan menjadi
imam. Hal ini digambarkan pada pernyataan:
“Melarang perempuan jadi imam. Menjadikan lelaki
pemimpin atas perempuan. Agama membesarkan dirinya di atas
ketakutan umat.”16
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa agama memang
dijadikan alat untuk melanggengkan praktik dominasi atas
perempuan. Oleh karena umat penganutnya takut akan dosa jika
tidak mentaati apa yang dieperintahkan oleh agama, maka dalam
hal ini agama dijadikan alat semena-mena untuk mengoperasikan
budaya patriarki. Sehingga, perempuan secara tidak sadar akan
tetap melaksanakan tunduk kepada suaminya sebagai bentuk
Lois, Tyson, Critical Theory Today: A User-Friendly Guide. (United States: Rou ledge. 2006), hlm. 85
14
Wilkes, etc. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehe sif…, hlm. 120
15
Bagus, Takwin, Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato
hingga
Bourdieu”, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), hlm. 114
16
Ayu, Utami, Pengakuan Eks Parasit Lajang…, hlm. 36
13

210

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Ketidaksetaraan Gender dalam Agama....

ibadah karena takut akan dosa. Dengan mengatasnamakan ajaran
agama, hal demikian tidak terlihat sebagai penindasan perempuan
melainkan pengabdian istri kepada suaminya sebagai bentuk
ibadah. Sehingga, perempuan tidak sadar mengalami kekerasan
simbolik berupa keharusan patuh dan setuju terhadap suaminya
karena dalam agama memang diperintahkan demikian.
Selain mengucilkan perempuan sebagai kepala rumah
tangga, agama juga masih tetap menempatkan laki-laki sebagai
pemimpin doa. Hal ini menunjukkan adanya kekerasan simbolik
terhadap perempuan karena perempuan tidak pernah dilibatkan
dalam hal kepemimpinan rumah tangga dan keagamaan. Namun,
perempuan menerimanya sebagai hal yang lumrah karena telah
turun temurun kepala keluarga adalah seorang ayah dan pemimpin
agama biasanya memanglah laki-laki. Hal ini mengacu pada agama
Islam, Buddha dan Katolik seperti yang disiratkan dalam:
“Istana Patriarki dibagi menjadi dua kastil. Kastil pertama
dipimpin oleh Sri Paus, atau sejenis Paus. Yaitu, pemimpin
spiritual yang selibat (tidak menikah). Macam Dalai Lama, para
pastor, para biksu. Kastil kedua dikepalai oleh pemimpin yang
boleh beristri banyak. Seperti Raja Daud, Raja Salomo, dan lainlain. . .”17
Hal diatas mengindikasikan bahwa agama Katolik dan
Buddha memiliki pemimpin agama seorang laki-laki yang tidak
menikah. Dalam hal ini, perempuan tentu saja sangat dijauhkan
dari kepemimpinan. Agama Islam juga menjadikan laki-laki
sebagai pemimpin doa dan boleh beristri banyak. Perempuan
dalam hal ini dijadikan submisiv karena laki-laki boleh beristri
banyak sementara perempuan tidak boleh bersuami banyak.
Perempuan juga tidak dilibatkan dalam kepemimpinan agama.
Sehingga, hal tersebut membuktikan bahwa pada ajaran agama
Islam, Buddha, dan Katolik menyingkirkan perempuan dari
kepemimpinan.
17

Ibid., hlm. 219

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

211

Rusi Aswidaningrum

Dalam novel, kekerasan simbolik yang menunjukkan
adanya tidakadilan agama pada perempuan sebenarnya telah
dimulai sejak penciptaan Hawa. Hawa diciptakan dari rusuk Adam
yang sesungguhnya merupakan cerita pada kitab Kejadian milik
agama Katolik. Hawa disalahkan oleh Adam karena buah Pohon
Pengetahuan yang dimakannya18. Hal ini menunjukkan perempuan
sebagai pemicu birahi laki-laki karena Adam dan Hawa tidak akan
dibuang di bumi jika Hawa tidak memulainya. Padahal, Hawa juga
tidak mengetahui jika yang dilakukannya akan berimbas demikian
kepada mereka. Adam pun juga menikmati apa yang dilakukannya
bersama Hawa. Perempuan dianggap sebagai perangsang birahi
laki-laki sehingga perempuan harus diluruskan dan dilindungi
oleh laki-laki. Ini sangat tidak adil karena sesungguhnya lakilakilah yang sangat buruk dalam mengontrol birahi mereka
sehingga mereka menyalahkan perempuan agar keburukannya
tidak terlihat. Birahi laki-laki bahkan dikonstruksikan sebagai
keagresifan yang identik dengan maskulinitas.
Agama juga menganggap perempuan tidak bisa
bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Sehingga, laki-lakilah yang
akan membimbing mereka menuju kebaikan dan menanggung
dosa-dosanya seperti pada pernyataan berikut:
“. . .lagi pula, dosa istri akan ditanggung oleh suaminya.
Jadi, aku yang akan tanggung dosa-dosa kamu.”19
Kekerasan simbolik dalam hal ini menunjukkan bahwa
perempuan yang dianggap tidak bisa bertanggungjawab atas
perbuatannya dan dosa-dosanya sangat merendahkan perempuan.
Jika dosa-dosa ditanggung oleh suami, maka perempuan sebaiknya
menurut pada suami agar tidak menambah beban dosa suami. Hal
ini sebenarnya menunjukkan agama dijadikan sebagai alat untuk
mendominasi para perempuan. Dengan mengatasnamakan dosa,
maka perempuan akan kasihan kepada suaminya jika berdosa
atas apa yang ia perbuat. Padahal, jika dosa ditanggung oleh
18
19

212

Ayu, Utami, Pengakuan Eks Parasit Lajang..., hlm. 42
Ibid., hlm. 41
Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Ketidaksetaraan Gender dalam Agama....

perempuan sendiri, tidak akan ia berkasih-kasihan pada dirinya
sendiri. Sehingga, dalam hal ini, praktik agama lagi-lagi dijadikan
alat untuk menguasai perempuan.
Dalam prosesi akad nikah juga dianggap memberikan
kedudukan yang tinggi pada laki-laki karena janji hanya diucapkan
oleh mempelai pria saja. Yang mana, ini menunjukkan adanya
kekerasan simbolik bahwa perempuan sama sekali tidak memiliki
kuasa dalam pernikahannya. Bahkan untuk dirinya sendiri pun ia
tidak memilik kuasa. Pernikahan terlihat memberikan kuasa atas
hidup dan tubuh perempuan pada laki-laki.
Bentuk kekerasan simbolik lainnya adalah agama dianggap
tidak menghargai perempuan ketika menstruasi agama melarang
perempuan untuk beribadah. Menstruasi disebut dengan darah
kotor dan perempuan menganggap istilah tersebut secara taken
for granted. Perempuan yang sedang menstruasi dianggap
kotor sehingga tidak diperbolehkan menjalankan ibadah20. Hal
ini sesungguhnya menyindir Islam yang menyebut menstruasi
sebagai darah kotor karena tidak ada agama lain yang melarang
perempuan haid untuk tidak beribadah. Ini merupakan kritik
atas pelarangan perempuan haid beribadah karena dianggap
kotor. Padahal, perempuan haid mengeluarkan sel telur yang
tidak dibuahi sehingga luruh menjadi darah. Ini merupakan
perjuangan perempuan sebelum sel telur dibuahi dan hamil.
Namun perjuangan ini dilecehkan sebagai darah kotor dan
melarang perempuan untuk beribadah. Seharusnya, perempuan
menempati tempat sejajar dengan laki-laki karena perempuan
memiliki kemampuan untuk melahirkan dan laki-laki tidak.
Namun, tetap saja kespesialan perempuan yang sangat terlihat ini
lagi-lagi tidak dianggap dan malah mencari-cari keunggulan lakilaki yang sebenarnya tidak nampak mata.
Dari bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang
menunjukkan adanya ketidakadilan agama pada perempuan
20

Ibid., hlm. 150

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

213

Rusi Aswidaningrum

seperti dijelaskan diatas, menunjukkan adanya praktik dominasi
terhadap perempuan. Oleh karena ajaran agama ditafsirkan oleh
sekelompok masyarakat, maka agama tidak bersifat netral dan
tentu adanya keberpihakan21. Dalam novel ini, terlihat bagaimana
agama memposisikan laki-laki sebagai imam keagamaan, kepala
keluarga, penyandang dosa atas wanita, dan perempuan hanyalah
perangsang birahi mereka yang menujukan mereka pada dosa.
Tyson menyebutnya sebagai peran gender tradisional yang
menempatkan laki-laki dominan atas perempuan22. Peran gender
tradisional ini menunjukkan adanya penindasan kepada perempuan
atas laki-laki. Dengan agama sebagai alatnya, perempuan tidak
merasa bahwa sesungguhnya mereka didominasi oleh laki-laki.
Ibadah sebagai bentuk pengabdian perempuan untuk menurut
dan tunduk kepada laki-laki karena dosanya akan ditanggung oleh
suaminya sesungguhnya menjadikan alat untuk mendominasi
perempuan. Dalam hal ini, agama tidak netral melainkan berpihak
untuk melanggengkan praktik dominasi kelompoknya.
Keberlangsungan praktik doksa dan kekerasan simbolik
diatas tidak lepas dari habitus yakni kebiasaan yang ditanamkan
sejak dini sehingga dalam kesehariannya manusia akan dengan
spontan memposisikan dirinya23. Habitus ini mempengaruhi
bagaimana seseorang mempersepsikan dunia. Melalui keluarga,
sekolah, dan lingkungan masyarakat, habitus ini membentuk cara
pandang seseorang. Tokoh A melalui konlik eksternalnya bersama
bibi-bibi, ayah, dan Nik mampu melihat adanya ketidaksetaraan
hak antara laki-laki dan perempuan dalam agama. Dengan konlik
yang ia alami sejak kecil dalam lingkungan keluarga, sekolah,
dan masyarakat, ia melihat adanya kekerasan simbolik pada
wanita. Hal ini mempengaruhi A dalam melepaskan agamanya
karena menganggap agama memarginalkan posisi perempuan.
Keputusan awalnya untuk tidak menikah juga karena ia melihat
Nur Khalik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama:.., hlm. 28
Lois, Tyson, Critical Theory Today:…hlm. 87
23
Nur Khalik, Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama:…, hlm. 14

21

22

214

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Ketidaksetaraan Gender dalam Agama....

adanya ketidakadilan peran dalam rumah tangga yang mengopresi
perempuan. Sehingga, melalui habitus berada di lingkungan
patriarkal, A membuat sebuah resistensi terhadap agama dan
pernikahan karena tidak ingin mengalami kekerasan simbolik
yang mengopresi dirinya sebagai perempuan.
C. Simpulan

Konlik eksternal yang dialami A dengan Bibi Gemuk,
Bibi Kurus, ayahnya, dan Nik menunjukkan adanya ketidakadilan
dalam nilai-nilai agama terhadap perempuan yang dianggap
sebagai doksa sehingga perempuan menerimanya sebagai
sesuatu yang telah biasa dan wajar. Dengan sikap menjaga jarak
pada agama, membuat A semakin kritis atas bentuk-bentuk
kekerasan simbolik terhadap perempuan seperti laki-laki yang
dijadikan imam doa dan keluarga, laki-laki sebagai penopang dosa
perempuang, dan sebaliknya, perempuan dimarginalkan posisinya
dalam keagamaan. Dengan adanya konsep doksa dan kekerasan
simbolik tersebut menunjukkan adanya keberpihakan agama pada
laki-laki. Oleh karena agama ditafsirkan oleh suatu kelompok,
maka penafsiran tersebut bersifat subjektif dan tidak netral.
Sehingga, dalam hal ini adanya peran gender tradisional yang
melatarbelakangi praktik-praktik agama sehingga mengopresi
posisi perempuan. Namun karena beratasnamakan agama, maka
perempuan menganggapnya sebagai ibadah bukan sebuah opresi
atau marginalisasi posisi mereka atas laki-laki.

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

215

Rusi Aswidaningrum

Daftar Pustaka

Ningsih, Ekawati Rahayu, “Analisis Penerimaan Kualitas Alumni
Program Studi Ekonomi STAIN Kudus Di Tinjau Dari
Perspektif Stakeholder”, Jurnal Penelitian Volume 9, Nomor
1, Februari 2015.
Bourdieu, Pierre. Language and Symbolic Power. (Gino Raymond &
Matthew
Adamson, penerjemah). Cambridge: Polity
Press, 1995.
Grifith, Kelley. Writing Essays about Literature A Guide and Style
Sheet. 5th ed. University of North Carolina: Hartcourt
Brace College Publishers, 1982.
Prakoso, Teguh dan Venus Khasanah. Karya Sastra Perempuan:
Analisis Awal Tentang Perang Gender. Atavisme: Jurnal Ilmiah
Kajian Sastra, 12 (1), 1982.
Ridwan, Nur Khalik. Detik-Detik Pembongkaran Agama:
Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas PluralismePembebasan. Yogyakarta: Arrus Book Gallery, 2003.
Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi
dari Plato hingga
Bourdieu”. Yogyakarta: Jalasutra,
2003.
Tyson, Lois. (2006) Critical Theory Today: A User-Friendly Guide.
United States: Routledge.
Utami, Ayu. Pengakuan Eks Parasit Lajang. Jakarta: Gramedia,
2013.
Wilkes, etc. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. (Maizier,
penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra. 2009.
Wiyatmi. Citraan Perlawanan Simbolis Terhadap Hegemoni Patriarki
Melalui Pendidikan dan Peran Perempuan Di Arena Publik
dalam Novel- Novel Indonesia. Atavisme: Jurnal Ilmiah Kajian
Sastra, 13 (2), 2010.
216

Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 1, Februari 2017

Dokumen yang terkait

Analisis Feminisme Tokoh Utama Dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami

16 172 53

Artikel Publikasi Pandangan Ayu Utami Tentang Virginitas Dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang: Tinjauan Strukturalisme Genetik Dan Implementasi Sebagai Bahan Ajar Sastra Di Sma.

0 4 22

PANDANGAN AYU UTAMI TENTANG VIRGINITAS DALAM NOVEL PENGAKUAN EKS PARASIT LAJANG: TINJA Pandangan Ayu Utami Tentang Virginitas Dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang: Tinjauan Strukturalisme Genetik Dan Implementasi Sebagai Bahan Ajar Sastra Di Sma.

0 3 11

PENDAHULUAN Pandangan Ayu Utami Tentang Virginitas Dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang: Tinjauan Strukturalisme Genetik Dan Implementasi Sebagai Bahan Ajar Sastra Di Sma.

0 3 7

CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL PENGAKUAN EKS PARASIT Citra Perempuan Dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami: Tinjauan Kritik Sastra Feminis Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

1 3 12

METODE PENELITIAN Citra Perempuan Dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami: Tinjauan Kritik Sastra Feminis Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 1 8

CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL PENGAKUAN EKS PARASIT LAJANG KARYA AYU UTAMI: TINJAUAN KRITIK SASTRA FEMINIS DAN Citra Perempuan Dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami: Tinjauan Kritik Sastra Feminis Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar S

0 1 20

Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran alur dan pengaluran Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami untuk siswa SMA kelas XI semester 1.

0 0 123

KEBEBASAN PEREMPUAN DALAM NOVEL PENGAKUAN EKS PARASIT LAJANG KARYA AYU UTAMI

0 0 13

Kebebasan perempuan dalam novel pengakuan eks parasit lajang karya Ayu Utami - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 32