KONSTRUKSI RUANG KOTA POSKOLONIAL DAN RESPONS SPASIAL DALAM NOVEL THE KITE RUNNER KARYA KHALED HOSSEINI | Adzhani | Jurnal POETIKA 10418 19604 1 SM

Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014
KONSTRUKSI RUANG KOTA POSKOLONIAL DAN RESPONS SPASIAL
DALAM NOVEL THE KITE RUNNER KARYA KHALED HOSSEINI

Shabrina An Adzhani
Sastra Inggris, Universitas Brawijaya
Jln. Veteran Malang, Jawa Timur
Abstrak
Migrasi pada masa perang sering kali terjadi dari daerah yang rawan konlik menuju daerah yang
dianggap aman dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik, merujuk ke kota dan daerah-daerah industri.
Namun, keberadaan kota sebagai ruang yang menjanjikan tersebut patut dipertanyakan. Hal ini karena eratnya
kaitan antara ruang kota utopia dan kota kolonial. Pada kenyataannya, terdapat indikasi keberlangsungan
kontrol kolonial melalui industrialisasi, sehingga memunculkan dominasi baik secara ekonomi, kultural,
maupun sosial. Salah satu novel poskolonial karya sastrawan diaspora Amerika-Afganistan, Khaled Hosseini,
mengangkat tema perpindahan dari Afganistan yang rawan konlik ke kota yang lebih maju dan lebih aman
di Amerika, kota Fremont. Pembacaan politik spasial Sara Upstone dalam hal ini digunakan untuk membaca
bagaimana ruang kota Fremont dikonstruksi dan respon spasial yang muncul. Utopia yang digaungkan
untuk menarik migran Afganistan terbentur oleh distopia yang dimunculkan dalam ruang kota sejak awal,
sehingga dapat disimpulkan bahwa Khaled Hosseini mengonstruksi ruang kota yang menolak utopia. Kota
menjadi ruang yang opresif sehingga muncul respon spasial berupa pemindahan dan karnivalisasi dari
subjek teropresi sebagai usaha resistensi mereka.

Kata kunci: Ruang Kota, Poskolonial, Respon Spasial

Abstract
In the time of war, people usually migrate from troubled places to the safe and sound cities, promising a better life.
However, the position of cities as a promising space is questionable. It is due to the close relation between city utopia and
colonial city. In fact, there are indications of colonial continuation through industrialization which ends up to domination in
many aspects; economy, social, and cultural. One of postcolonial novels written by a diaspora writer, Khaled Hosseini, takes
up a theme of migration from a city (Kabul) in a troubled country, Afghanistan, to a city (Fremont) in a more stable country,
America. Sara Upstone’s method of reading on spatial politics in postcolonial novels is used here to read how Fremont is
constructed in the novel and the spatial respond occurred. The analysis showed that Khaled Hosseini’s construction upon
Fremont is that utopia is denied from the beginning of the novel. Fremont becomes oppressive space and yet, it offers possibilities
for spatial responds such as displacement and carnivalisation to occur. These are strategies used by those who are subjected to
oppression in the city space.
Keywords: City space, postcolonial, spatial respond.
Pendahuluan
Salah satu dampak perang, baik perang
saudara maupun perang antarnegara, adalah
meningkatnya angka migrasi. Migrasi yang
dilakukan di era perang terjadi dari daerah yang
rawan konlik ke daerah yang memiliki pertahanan

kuat. Amerika Serikat merupakan salah satu negara
dengan jumlah imigran terbanyak (Huthmacher,
1974: 7). Walaupun sebagian besar penduduknya
berasal dari Inggris dan negara Eropa lainnya,
pendatang dari Asia dan Afrika yang menjadi
minoritas di negara ini pun memiliki harapan
yang besar ketika mereka bermigrasi. Banyak dari
mereka yang menetap dan menjadi warga negara
36

Amerika sebagai seorang diaspora, yakni seseorang
berkewarganegaraan asing yang tinggal di negara
lain.
Khaled Hosseini adalah salah satu
sastrawan diaspora yang kini menetap di New
York. Latar belakangnya sebagai seorang anak
Duta Besar Afganistan pada tahun 70-an dan
harus mencari suaka politik ke Amerika Serikat
saat terjadi pendudukan Rusia atas negara asalnya
merupakan salah satu inspirasi dari cerita-cerita

yang ditulisnya. Novel The Kite Runner adalah karya
pertamanya yang bertemakan diaspora. Novel ini
dikatakan sebagai novel poskolonial karena selain
merupakan karya seorang penulis diaspora dari

Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014
negara yang pernah dijajah, ia dituliskan dalam
bahasa Inggris dengan diaspora sebagai tema besar
dalam cerita itu sendiri.
Meskipun latar belakang penulis dan
cerita novel sangat kental mengindikasikan bahwa
novel tersebut adalah novel poskolonial, tidak ada
penelitian yang membahasnya secara khusus dari
kacamata poskolonial. Beberapa penelitian yang
dilakukan di antaranya melihat novel dari segi
multikulturalisme yang menyoroti suku Pashtun
dan Hazara di Afganistan, serta keberadaan mereka
sebagai salah satu unsur multikulturalisme di
Amerika (Mallik, 2010), serta dari sudut sosial yang
mengaitkan novel dengan tragedi 9/11 (Anker,

2011). Tema poskolonial seakan terlewatkan
karena novel yang dituliskan di Amerika ini
menjadikan Fremont, latar belakang utama novel
pada masa kini novel itu sendiri, sebagai kota yang
memberikan kehidupan baik bagi tokoh-tokoh
utamanya, Amir dan Baba. Pada kenyataannya,
kota tidak sepenuhnya memberikan kehidupan
yang lebih baik bagi para migran. Ayah Hosseini
yang dulunya seorang duta besar harus bekerja
sebagai pegawai toko, demikian juga ibunya,
untuk melanjutkan hidup di Amerika. Degradasi
status sosial sebagai seorang imigran diaspora
juga muncul dalam novelnya, The Kite Runner. Hal
ini menjadi menarik karena tidak ada penelitian
sebelumnya yang menyoroti.
Adapun poskolonial sendiri dalam
kaitannya dengan sastra diartikan sebagai suatu
istilah yang mengacu pada cara pembacaan karya
sastra (McLead, 2000: 33). Sara Upstone (2007)
dalam bukunya Spatial Politics In The Postcolonial

Novel menawarkan sebuah metode kritis dalam
membaca novel poskolonial. Ia membaca adanya
praktik politik tidak hanya di ruang negara yang
menjadikan istilah politik itu sendiri sempit,
melainkan juga di ruang-ruang lain yang bisa jadi
ruang yang lebih luas maupun ruang yang lebih
sempit.
Upstone (2009) mengutip Kate Darian
Smith, Liz Gunner, dan Sarah Nuttall, mengatakan
bahwa “It is place that holds meaning, while space is
simply ... a container”. Mengutip deinisi Bill Ashcroft
mengenai perbedaan tempat dan ruang, Upstone
(2009) menjelaskan bahwa tempat menandakan

kontrol colonial, sementara ruang merujuk pada
hal yang lebih luas dan lentur, bentuk-bentuk
yang ingin dikaburkan oleh kolonial. Ruang adalah
wadah dalam artian yang abstrak di mana konsepkonsep yang hegemonik dapat ditanamkan karena
sifatnya yang lentur.
Ruang dalam wilayah kolonial digunakan

untuk mempertahankan stabilitas kolonialisme.
Ruang-ruang dengan batas-batas yang ditampakkan
sebagai batas natural dikonstruksi oleh orangorang kolonial untuk membedakan mereka
dengan pribumi. Dengan menghidupkan dirinya
(kehidupan kolonial) di ruang pribumi, batas-batas
semakin terlihat dan kekuasaan kolonial tampak
absolut, ixed (Upstone, 2009: 4). Undang-undang,
agama, pendidikan, dan cara orang-orang kolonial
bersosialisasi serta cara hidup mereka terlihat
lebih canggih di mata pribumi, sehingga kaum
kolonial dianggap superior. Konsep ruang dan
batasan-batasan yang ditanamkan oleh kolonial
telah mengaburkan preferensi pribumi terhadap
apa yang telah ada dalam diri mereka, baik itu
identitas maupun praktik-praktik dalam kehidupan
yang telah ada sebelum kolonialisme. Imperialisme
mengukuhkan kekuasaannya terhadap wilayah
teritorial yang kemudian dipetakan sebagai
daerahnya, serta menanamkan superioritasnya
dalam ruang kekuasaan tersebut, sehingga orangorang pribumi menganggapnya sebagai hal yang

wajar (natural).
Teori poskolonial membaca politik
ruang kolonial tersebut dan menguraikan apa
yang telah dikaburkan. Teks-teks poskolonial
mempertanyakan berbagai kemungkinan lain
atas tatanan yang ditanamkan oleh kolonialisme.
Pembacaan ruang dalam konteks poskolonial
memberikan
kemungkinan-kemungkinan
negosiasi identitas dan kemungkinan resistensi
yang ada. Upstone (2009) menawarkan pembacaan
pengalaman-pengalaman poskolonial tersebut
yang dikonstruksi dalam beberapa ruang, di
antaranya ruang negara, ruang perjalanan, ruang
kota, ruang rumah, dan ruang tubuh.
Konstruksi Kota dan Respons Spasial
Kota adalah salah satu ruang alternatif
dari negara dengan skala yang lebih kecil di mana
37


Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014
gerakan-gerakan poskolonial direpresentasikan
(Upstone, 2009: 85). Dalam pembacaan
pascakolonialnya, Upstone menguraikan jejakjejak kompleksitas hubungan antara pengarang
dengan kota dalam hal bagaimana mereka
merepresentasikan kota. Pembacaan tersebut
berdasar pada kecurigaan bahwa terdapat
kesenjangan antara impian akan kota dan realitas
yang ada. Selain itu, terdapat ambiguisitas
dalam kota di mana kota seakan menawarkan
kemungkinan-kemungkinan terrealisasinya utopia,
namun mengingat hubungan kota dan negara
cukup erat dalam hal politik, keberadaan kota
sebagai tempat yang bersahabat dan terbuka
bagi individu poskolonial patut dipertanyakan
(Upstone, 2009: 85).
Kota seringkali dikaitkan dengan wacana
utopia dimana bagi ruang urban kota tidak
digambarkan dalam realitas material melainkan
sebagai mimpi, tempat imajiner di mana segalanya

sempurna. Upstone (2009: 85) melihat kota utopia
sebagai ruang yang memproyeksikan keinginan
dan harapan komunal, mengesampingkan fakta
lain yang juga berkaitan erat dengannya yakni
gambaran akan kengerian industrialisasi. Jika
kolonialisme mengatur ruang dengan cara terusmenerus menulisinya dengan ide-ide yang dibawa
untuk kemudian menghapuskan kekacauan (chaos)
yang ada, ide-ide utopia menjadi bentuk kolonisasi
laten dimana ia tidak dilihat sebagai hal yang tidak
terrealisasi melainkan indikasi adanya keinginankeinginan individu/komunal dan kontrol
selanjutnya melalui industrialisasi dan tatanantatanan penguasa di ruang tersebut.
Upstone (2009: 87) memformulasikan
tiga bentuk kota poskolonial dari pembacaannya
terhadap beberapa novel poskolonial. Pertama,
kota yang dikonstruksi dengan menolak
keistimewaan kota sebagai ruang kota utopia.
Ruang kota ini dikonstruksi dengan menghadirkan
distopia sejak awal sehingga terjadi benturan
terhadap utopia dan membuatnya tidak mungkin
terwujud sepenuhnya. Kedua, kota yang sangat

dekat dengan pengertian utopia, sebuah kota yang
ideal. Kota ini dikonstruksi dengan memberikan
gambaran yang nyata pada pembaca melalui
pengambilan referensi dari tempat-tempat yang
38

nyata namun menghilangkan identitas konkretnya
dengan tidak menyebutkan nama kota tertentu.
Adapun kota yang ketiga tepat mengenai jantung
imajiner poskolonial, kota yang mengindikasikan
adanya pengulangan tindakan kolonialisme serta
perubahan di dalamnya, pengedepanan lapisanlapisan yang chaos yang menjadi dasar yang ingin
dikaburkan oleh tatanan kolonial.
Ketiga konstruksi ruang kota tersebut
memunculkan distopia sebagai bentuk opresi,
namun kemunculannya berbeda-beda. Di kota
yang pertama, distopia muncul sejak awal, di kota
yang ke dua distopia muncul namun tidak disadari
bahkan berusaha untuk disangkal, sementara di
kota yang ke tiga, distopia muncul kemudian,

ketika konlik di kota poskolonial terjadi. Distopia
yang merepresi subjek-subjek kolonial menginisiasi
adanya respon spasial, respon di ruang kota sebagai
usaha resistansi mereka terhadap hal-hal opresif.
Upstone (2009: 103) mengusulkan dua strategi
resistensi dan subversi yang menjadi pokok untuk
meninjau kembali ruang kota, yaitu pemindahan
(displacement) dan karnivalisasi (carnivalisation).
Strategi pertama yang dimaksud oleh
Upstone adalah pemindahan rasa memiliki yang
berusaha ditumbuhkan para etnis minoritas bukan
pada kota secara keseluruhan namun pada bagianbagian yang lebih kecil dalam kota tersebut, seperti
tempat-tempat umum, gedung-gedung dalam kota,
dan ruang terbuka lainnya yang mengonstruksi
kota. Ketika kota menjadi sangat opresif, resistensi
muncul dalam relasi-relasi berupa mikro struktur.
Relasi mikrostruktur ini bisa berupa ekspresi
identitas di ruang publik dan ruang terbuka yang
mengonstruksi kota dan hubungan personal
misalnya hubungan antartokoh, relasi antarpersonal
dalam komunitasnya, bahkan aktivitas individual
yang membuat seseorang merasa nyaman dan
menjadi dirinya sendiri. Adapun karnivalisasi
adalah strategi dimana identitas yang sifatnya tidak
teratur (chaos), hybrid yang berusaha dihomogenkan
oleh tatanan kolonial, dimunculkan dalam ruang
publik (Upstone, 2009: 106).
Masing-masing
strategi
memiliki
kelemahan. Ketika displacement saja yang digunakan,
subjek terkoloni justru sebenarnya menjauhkan
dirinya dari ruang kota dan membuat ruang

Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014
sendiri yang lebih sempit yang akan membatasi
pergerakannya. Ia akan merasa nyaman di
ruang sempit tersebut, namun ruang kota
secara keseluruhan akan tetap represif baginya.
Karnivalisasi sendiri menjadi strategi yang efektif
dalam tataran imajiner, tapi pada kenyataannya ia
tidak dapat menghindarkan ruang kota yang kacau
dari kehancuran sebagaimana kota Jonestown
yang menginspirasi novel Jonestown karya Wilson
Harris (Upstone, 2009: 107). Strategi yang paling
efektif adalah ketika pemindahan dan karnivalisasi
dilakukan bersama.
Fremont sebagai Ruang Kota Poskolonial
Amerika menjadi tujuan bermigrasi
sebagian besar orang-orang Afganistan ketika
terjadi pendudukan oleh Rusia di negara tersebut.
Dalam novel The Kite Runner, diceritakan bahwa
Amir, Baba, dan sebagian besar orang Afganistan
lainnya harus menunggu selama 6 bulan untuk
mendapatkan visa dari INS. Narasi tentang hal
tersebut diselipkan Amir ketika ia menceritakan
masa-masa penantian pembuatan visa di Peshawar,
“We’d spent six months in Peshawar waiting for the
INS to issue our visa. .. He’d invited the entire corridor
of neighbors for dinner, most of them Afghans waiting
for visas”(Hosseini, 2003: 113). Ini menunjukkan
bahwa Amir, Baba, dan sebagian orang Afganistan
lainnya menjadikan Amerika sebagai tujuan akhir
migrasi mereka dengan kota Fremont sebagai kota
yang akhirnya menjadi tempat menetap Amir dan
Baba.
Fremont, salah satu kota di negara bagian
California, Amerika Serikat, mereleksikan ideide utopia Amir dan Baba tentang kota yang
memberikan kehidupan yang lebih baik, yakni
kebebasan dan ide-ide menakjubkan tentang
Amerika semenjak mereka masih berada di
Afganistan. Hal ini dapat dilihat dalam narasi
novel yang dibawakan oleh tokoh “aku”, Amir.
Baba, ketika masih berada di Afganistan,
sering mengeluhkan Jim Carter sebagai orang
yang kurang berani memimpin Amerika, yang
dianalogikannya sebagai Cadillac model terbaru.
Baba memberikan penilaian yang tinggi terhadap
Amerika, yang juga mengimplikasikan bahwa ideide tentang kemegahan, keunggulan, dan berbagai

keistimewaan lain dimiliki oleh Amerika. Ketika
mereka baru pindah ke Fremont pun Baba mengeluelukan Amerika sebagai salah satu negara yang bisa
disebut sebagai pria sejati di seluruh dunia, “There
are only three real men in this world, Amir,… America,
the brash savior, Britain, and Israel.” (Hosseini, 2003:
109). Ide-ide tersebut mengimplikasikan betapa
Baba menganggap Amerika lebih baik bahkan dari
Afganistan sendiri.
Amerika yang menjadi tempat Baba
membawa Amir mencari ketenangan dari
tekanan penjajah Rusia dan ancaman akan
peperangan menyuguhkan tatanan baru yang tidak
membebaskan dan tidak memberikan ketenangan
baginya. Di balik utopia akan Fremont sebagai
representasi dari Amerika yang dapat dilihat dari
bagaimana Baba mengelu-elukan Amerika sebagai
seorang pria sejati, Baba merasa Amerika bukanlah
tempat yang bersahabat.
Setelah dua tahun masa tinggal Amir
dan Baba di Fremont, Baba belum sepenuhnya
menerima kota itu sebagai tempat yang
membebaskan ataupun memberikan ketenangan
sebagaimana impian utopianya akan kota tersebut.
Fremont membebaskannya dari ancaman
kematian yang ditimbulkan oleh penjajah Rusia.
Dengan meninggalkan Afganistan yang pada
saat itu sedang sangat kacau dan tidak aman bagi
Baba yang suka mengkritik tentara Rusia, mereka
menuju Fremont yang melindungi keselamatan
mereka. Di Fremont, Baba bebas mengutarakan
pendapat dan kebenciannya pada Rusia tanpa takut
terancam dibunuh. Di Fremont pula Baba masuk
pada tatanan kota yang opresif bagi jiwanya.
Fremont, Amerika, menjadi tempat di
mana Amir menemukan harapan baru, kehidupan
baru, dan hal-hal baru lainnya yang sama sekali
berbeda dengan masa lalu yang ingin ia lupakan.
Amerika masih ia kagumi setelah dua tahun
kepindahan mereka dan masih membuatnya
takjub akan bentangan kota-kotanya dan alamnya
yang kerap dibandingkan dengan Kabul, kota
kelahirannya yang memberikan kenangan buruk,
bahkan dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang
menghantui, bayangan orang-orang berbibir
sumbing. “Kabul had become a city of ghost for me. A city
of harelipped ghosts. America was different. America was
39

Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014
a river, roaring along, unmindful of the past.”(Hosseini,
2003: 119). Hal ini mengimplikasikan harapan
personal Amir yang muncul akan kota Fremont,
harapan bahwa kota tersebut akan memberinya
kebebasan dari bayang-bayang masa lalu.
Pada kenyataannya, utopia Amir akan kota
Fremont yang akan memberikannya kehidupan
baru, jauh dari bayang-bayang masa lalu, tidak
dapat terwujud. Dalam The Family in America, Hawes
(1994) menjelaskan pada ulasannya mengenai
keluarga imigran, bahwa salah satu kesulitan yang
dihadapi oleh para imigran pada pertengahan abad
dua puluh adalah kenyataan bahwa mereka harus
bekerja dengan jenis pekerjaan yang sangat berbeda
dengan yang mereka miliki sebelumnya. Bagi anakanak imigran tentunya hal ini juga berpengaruh
ketika mereka mendapati ayah mereka harus
melakukan pekerjaan yang dilakukan kalangan
kelas menengah ke bawah padahal sebelumnya
mereka termasuk golongan menengah ke atas.
Bagi Amir yang terbiasa hidup sebagai
kalangan menengah ke atas sejak lahir, kehidupan
barunya di kota Fremont sama sekali berbeda. Ia
kehilangan status sosial yang dimilikinya ketika
di Kabul. Fremont, yang menjadi kota Utopia
bagi Amir, menyuguhkan realitas yang harus ia
hadapi, bahwa ia harus tinggal di apartemen yang
mayoritas penghuninya adalah orang-orang kelas
pekerja di lingkungan menegah ke bawah. Ayahnya
yang dulu saudagar terkaya di Kabul kini bekerja
di pom bensin, dan ia bersekolah di sekolah baru
yang mana ia berada di lingkungan yang sama
sekali berbeda. Amir tidak pernah secara langsung
mengeluhkan penurunan status sosialnya dan
Baba. Fremont baginya selalu menjadi kota yang
ia impikan, jauh dari Kabul, jauh dari masa lalu.
Dari narasinya lah, dan dari cara ia melihat Baba,
cara ia menyayangkan keadaan Baba, dan cara ia
menggambarkan tempat tinggalnya yang ada di
lingkungan pekerja kasar, dapat dilihat bahwa
Amir pun secara psikis merasa tidak nyaman dan
harus beradaptasi dengan Fremont. Fremont
pada kenyataannya tidak menjadi ruang yang
merealisasikan harapan utopianya karena harapan
tersebut berbenturan dengan realitas yang harus ia
hadapi.

40

Respon Spasial dalam Ruang Kota Fremont
Fremont menjadi opresif bagi para migran
Afganistan dan tokoh utama Amir dan Baba
dengan munculnya distopia berupa realitas kota
yang berbenturan dengan ide-ide utopia. Namun
kota ini juga menawarkan celah bagi individuindividu, yang dalam hal ini merujuk pada Amir dan
Baba, serta bagi sekelompok migran Afganistan,
untuk melakukan resistensi. Sebagaimana yang
ditawarkan oleh Upstone dalam pembacaannya
terhadap novel-novel poskolonial, strategi
pemindahan dan karnivalisasi pun muncul dalam
novel ini. Pemindahan dalam novel The Kite Runner
yang hadir dalam bentuk perayaan identitas di
ruang publik dapat dilihat dari beberapa data yang
merujuk pada kumpulan orang-orang Afganistan di
tempat-tempat tertentu yang mengonstruksi ruang
kota. Salah satu perayaan identitas Afganistan di
ruang publik dimunculkan dengan hadirnya pasar
loak yang diikuti oleh orang-orang Afganistan.
“By the summer, Afghan families were working an
entire section of the San Jose lea market. Afghan
music played in the aisles of the Used Goods
section. There was an unspoken code of behavior
among Afghans at the lea market: you greeted the
guy across the aisle, you invited him for a bite of
potato bolani or a little qabuli, and you chatted. You
offered tassali, condolences, for the death of a parent,
congratulated the birth of children, and shook your
head mournfully when the conversation turned to
Afghanistan and the Roussis – which it inevitably
did” (Hosseini, 2003: 120).
Fokus rasa memiliki para migran di sini
dipindahkan, bukan di kota secara keseluruhan
melainkan di pasar loak. Ketika kota menjadi ruang
yang opresif bagi para migran yang ditandai dengan
munculnya distopia seperti perbedaan budaya yang
membatasi ruang gerak mereka, perbedaan bahasa
yang juga membatasi pergaulan mereka, dan
perbedaan tatanan yang ada di kota, pasar loak di
mana orang-orang Afganistan berkumpul menjadi
tempat yang nyaman bagi mereka.
Bagi Baba secara pribadi, pasar loak ini
juga menjadi ruang publik yang membebaskan dan
memberinya titik nyaman ketika ruang kota secara
keseluruhan menjadi ruang yang opresif. Baba
digambarkan sangat menikmati keberadaannya

Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014
di ruang publik tersebut, “Baba sauntered down the
aisles, hands respectfully pressed to his chest, greeting people
he knew from Kabul” (Hosseini, 2003: 120). Di sisi
lain, Baba tidak melakukan strategi karnivalisasi.
Baba tidak bisa menerima perbedaan budaya yang
ditandai oleh penolakannya terhadap dokter yang
berasal dari Rusia, kekacauan yang terjadi karena
ia tersinggung dengan permintaan nyonya Nguyen
di toko kelontong, juga terlihat dari interaksi yang
dilakukan Baba yang sejauh penggambaran Amir
selalu dengan orang Afganistan. Hal ini membuat
Baba semakin jauh dari ruang kota dan strategi
yang dilakukan, yakni pemindahan, tidak dapat
membuatnya resisten terhadap realitas yang ada di
ruang kota secara keseluruhan.
Sementara itu, bagi Amir, berada di antara
orang Afganistan di pasar loak tersebut mengobati
kerinduannya akan masa lalu, tetapi masa lalu yang
tidak mencengkeramnya sebagaimana kenangan
akan Hassan. Tidak seperti Baba, Amir bersikap
lebih cair dan melakukan strategi karnivalisasi
dimana ia menerima perbedaan-perbedaan yang
mendasari ruang-ruang publik yang mengonstruksi
kota. Amir tidak menutup diri pada komunitasnya
saja untuk melakukan strategi resistensi akan
kota yang opresif, namun ia juga menerima
perbedaan, terbuka pada multikulturalisme yang
mendasari kota. Ia melihat wacana lintas budaya
yang ada di kota sebagai sesuatu yang memberi
makna baru pada kota dimana ia tinggal, bahwa
mempertahankan homogenitas justru akan
membuat ruang kota menjadi semakin opresif.
Bentuk penerimaan Amir terhadap
heterogenitas terlihat dalam “carnivalistic contacts and
combinations” (Upstone, 2003: 106), interaksi dan
kombinasi karnivalistik, antara Amir dan beberapa
tokoh yang bukan dari golongan sesamanya,
bukan orang-orang yang berasal dari Afganistan,
seperti dokter kandungan yang berasal dari Eropa
Barat, perwakilan penerbitan dari Amerika Latin,
tuan dan nyonya Nguyen pemilik toko kelontong,
dan dokter Baba yan berasal dari Rusia.
Tindakan Baba dan Amir yang kontras
dalam hal ini merupakan penggambaran yang
jelas bahwa ketika strategi karnivalisasi digunakan,
subjek-subjek poskolonial dalam ruang kota
akan memiliki daya untuk meresistensi opresi di

ruang kota. Ketika hanya menggunakan strategi
pemindahan sebagaimana yang dilakukan Baba,
ruang kota tetap akan menjadi ruang yang opresif
karena strategi ini memindahkan titik nyaman
seseorang di ruang yang lebih sempit, ruang
personal atau ruang publik dimana hanya ada
orang-orang yang berasal sama, dalam hal ini
berasal dari Afganistan. Namun ketika interaksi
Baba dibawa ke ruang terbuka dimana ia bertemu
dengan berbagai orang yang berasal dari kultur dan
tatanan yang berbeda, kota kembali menjadi ruang
yang opresif dan Baba lah yang pada akhirnya
akan tersakiti.
Kesimpulan
Kota kolonial dan utopia kota yang menarik
para migran memiliki hubungan yang erat, dimana
utopia kota merupakan alat yang menarik orangorang untuk dikoloni oleh tatanan baru. Tatanan
baru ini adalah tatanan kolonial di ruang kota,
tatanan yang berusaha menghilangkan identitas
para migran dengan peraturan dan industrialisasi
yang membatasi ruang gerak masyarakat diaspora.
Namun, identitas yang dibawa masyarakat diaspora
dari daerah asalnya tidak dapat hilang begitu saja.
Mereka masih memegang erat identitas dan budaya
yang dibawanya sejak lahir. Hal ini membuat
ruang kota menjadi semakin opresif bagi para
migran karena ruang geraknya yang sempit untuk
mengekspresikan identitas mereka.
Tulisan-tulisan poskolonial menolak
tatanan kota yang menghomogenkan identitas dan
menghilangkan hibriditas yang mendasari ruang
kota tersebut. Dalam novel-novel poskolonial,
salah satunya adalah The Kite Runner, identitas
yang heterogen tidak saja dihadirkan namun juga
menjadi alat resistensi yang kuat dalam ruang kota
yang opresif. Tulisan-tulisan poskolonial menolak
cara-cara kolonial yang menghadirkan wacana
utopia untuk menarik subjek-subjek kolonial.
Sebaliknya, wacana yang dihadirkan adalah
kemunculan distopia yang merupakan lawan dari
utopia, dimana realitas yang ada bertolak belakang
dengan ide-ide utopia, menyuguhkan realitas
yang ada di kota dan konsekuensi-konsekuensi
yang harus diterima para migran di ruang kota.
Konsekuensi tersebut seperti keharusan untuk
41

Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014
bekerja keras, menerima perlakuan yang berbeda,
bahkan penurunan gengsi dan derajat yang
harus diterima di ruang kota kolonial yang tidak
memedulikan identitas masing-masing individu
yang membentuk kota tersebut sebagaimana yang
juga digambarkan dalam novel The Kite Runner
melalui tokoh Baba, Amir, Iqbal Taheri, dan
beberapa tokoh dari Afganistan lainnya.
Tulisan-tulisan poskolonial tidak bersifat
pesimis dalam menghadapi wacana kolonial, namun
justru menghadirkan ruang kota yang menawarkan
makna baru, dimana identitas heterogen
dinegosiasikan melalui ruang-ruang publik yang
mengonstruksi kota serta melalui pemindahan
fokus dari ruang kota secara keseluruhan ke
ruang yang lebih sempit, yakni ruang domestik,
berupa hubungan personal antarindividu yang
memberikan kebebasan dan menjadi strategi
resistensi untuk mempertahankan identitas.
Selain itu, tulisan poskolonial juga menghadirkan
heterogenitas sebagai strategi meresistensi
kolonisasi yang disebut strategi karnivalisasi.
Dengan strategi karnivalisasi, identitas-identitas
yang berbeda dimunculkan dalam satu ruang publik
dan saling berinteraksi. Ini merupakan salah satu
cara untuk meresistensi ruang kota yang berusaha
menghomogenkan identitas melalui tatanannya.
Daftar Pustaka
Anker, Elizabeth S. 2011. Allegories of Falling and the
9/11 Novels. Oxford: Oxford University
Press.
Ashcroft, Bill, dkk. 1995. The Postcolonial Studies
Reader. New York: Routledge.
Hosseini, Khaled. 2011. The Kite Runner. London:
Clays Limited.
Huthmacher, J. Joseph. 1974. A Nation of
Newcomers. New York: Dell Publishing.
Mallik, Mary. 2010. Multicultural Ways of Knowing:
Reading “The Kite Runner” in a Grade 11
Class. Ontario: Lakehead University.
Diakses dari http://www.jstor.com pada
15 November 2013.
McLead, John. 2000. Beginning Postcolonialism.
Manchaster: Manchaster University Press.
Upstone, Sara. 2009. Spatial Politics in the Postcolonial
Novel. Surrey: Ashgate.
42

Dokumen yang terkait

THE AMBIVALENCE OF THE MAIN CHARACTER IN THE KITE RUNNER BY KHALED HOSSEINI

1 7 53

AMIR`S ANXIETY AND MOTIVE IN KHALED HOSSEINI`S `THE KITE RUNNER`.

0 4 16

A UNIT SHIFT ANALYSIS OF ENGLISH INDONESIAN TRANSLATION IN THE NOVEL “KITE RUNNER” BY KHALED HOSSEINI.

1 5 19

HAZARA’S DISCRIMINATION REFLECTED IN KHALED HOSSEINI’S THE KITE RUNNER NOVEL (2003): Hazara’s Discrimination Reflected In Khaled Hosseini’s The Kite Runner Novel (2003): A Sociological Approach.

0 1 18

A TRANSLATION ANALYSIS OF NOUN PHRASE IN KHALED HOSSEINI’S THE KITE RUNNER NOVEL A Translation Analysis Of Noun Phrase In Khaled Hosseini’s The Kite Runner Novel And Its Translation By Berliani Nugraheni.

0 1 15

A TRANSLATION ANALYSIS OF NOUN PHRASE IN KHALED HOSSEINI’S THE KITE RUNNER NOVEL A Translation Analysis Of Noun Phrase In Khaled Hosseini’s The Kite Runner Novel And Its Translation By Berliani Nugraheni.

0 1 20

AMIR’S PERSONALITY DEVELOPMENT IN KHALED HOSSEINI’S THE KITE RUNNER NOVEL (2008): Amir's Personality development In Khaled Hosseini's The Kite Runner Novel (2208) : A Psychosocial Approach.

0 1 14

GAYA BAHASA DALAM NOVEL TERJEMAHAN SANG PENGEJAR LAYANG-LAYANG (THE KITE RUNNER) KARYA KHALED HOSSEINI.

0 0 17

ANALISIS FORMULA TERHADAP POPULARITAS NOVEL THE KITE RUNNER KARYA KHALED HOSSEINI AN ANALYSIS OF FORMULA TOWARDS THE POPULARITY OF THE KITE RUNNER NOVEL BY KHALED HOSSEINI

0 0 13

WAJAH POLITIK AFGHANISTAN ERA 1933 – 2002 DALAM THE KITE RUNNER KARYA KHALED HOSSEINI

1 1 9