PEDOMAN PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 148 TAHUN 2004
TENTANG
PEDOMAN PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah diperlukan perangkat
kelembagaan, yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan hidup:
b. bahwa sebagai dasar pembentukan perangkat kelembagaan telah ditetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah;
c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a dan b di atas, dipandang
perlu untuk menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Pembentukan Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah;
Mengingat

: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tertang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4262);
5. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
6. Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 01/SKB/M.PAN/2003 dan Nomor: 17 Tahun 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;
2975

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : MENTERI NEGARA L1NGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN
KELEMBAGAAN L1NGKUNGAN HIDUP DAERAH.
Pasal 1

(1) Dalam melaksanakan kewenangan di bidang lingkungan hidup daerah diperlukan Lembaga
Lingkungan Hidup yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan daerah.
(2) Lembaga Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di setiap Daerah Provinsi,
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
(3) Lembaga lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), berbentuk Dinas atau
Badan.
(4) Lembaga lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dibentuk berdasarkan
pertimbangan dan Kriteria Faktor Teknis sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran
II Keputusan ini.
Pasal 2
Lembaga lingkungan hidup Daerah Provinsi mempunyai tugas merumuskan kebijakan teknis dan
koordinasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan hidup
yang bersifat lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Lembaga Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi menyelenggarakan fungsi pokok :
a.

perumusan kebijakan teknis pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan

hidup;

b.

pengkoordinasian dalam penyusunan program, pengawasan, pemantauan dan evaluasi di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan hidup lintas Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota;

c.

pengkoordinasian dalam penyusunan program, pengawasan, pemantauan dan evaluasi di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan hidup lintas sektor;

d.

fasilitasi Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan hidup;

e.


fasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan hidup;

f.

peningkatan kesadaran masyarakat di bidang lingkungan hidup;

g.

pengembangan sistem informasi lingkungan hidup;

h. pelaksanaan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 4
Lembaga Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mempunyai tugas merumuskan
kebijakan teknis dan koordinasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan hidup Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

2976

Pasal 5
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Lembaga Lingkungan Hidup Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota menyelenggarakan fungsi pokok :
a.

perumusan kebijakan teknis pengelolaan lingkungan rudup dan pengendalian dampak lingkungan
hidup;

b.

pengkoordinasian dalam penyusunan program, pengawasan, pemantauan dan evaluasi di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan hidup lintas sektor;

c.

penyelenggaraan perizinan di bidang lingkungan hidup yang meliputi: izin pembuangan air limbah
ke sumber air, izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada tanah;

d.

fasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan hidup;


e.

peningkatan kesadaran masyarakat di bidang lingkungan hidup;

f.

pengembangan sistem informasi lingkungan hidup;

g.

pelaksanaan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 6

Untuk harmonisasi, integrasi dan sinkronisasi antar unit kerja maupun antar instansi dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya, Lembaga Lingkungan Hidup Daerah perlu menyusun mekanisme hubungan kerja
antar unit kerja maupun mekanisme hubunqan kerja antar instansi dalam pengelolaan lingkungan
hidup dan pengendalian dampak lingkungan hidup di daerah.
Pasal 7
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta

pada tanggal : 6 September 2004.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
NABIEL MAKARIM, MPA, MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH
Bidang Kebijakan dan Kelembagaan
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.

2977

Lampiran I : Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor
: 148 Tahun 2004
Tentang
: Pedoman Pembentukan

Kelembagaan Lingkungan
Hidup Daerah.
Tanggal
: 6 September 2004
PERTIMBANGAN PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
A. Dasar Pertimbangan.
1. Pemanfaatan sumber daya alam harus dijamin keberlanjutannya tidak hanya untuk kebutuhan
generasi saat ini tetapi juga generasi yang akan datang dengan menggunakan pendekatan
prinsip kehati-hatian ( Pre-cautionary principles ) karena mencegah lebih mudah apabila
dibandingkan dengan menanggulangi. Untuk itu dalam pemanfaatan sumber daya alam harus
dilaksanakan secara serasi dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup yang akan memberikan
daya dukung dan daya tampung bagi keberlanjutan pembangunan sebagaimana hasil KTT
Johannesburg, dimana Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk secara aktif
menjalankan pembangunan disertai kepedulian yang tinggi terhadap pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Dengan demikian secara kelembagaan, Indonesia juga harus memiliki lembaga
yang memadai untuk mewadahi kepentingan pencapaian komitmen tersebut baik di tingkat
nasional maupun lokal.
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah meletakkan kerangka
landasan bagi bidanglingkungan hidup merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh daerah, baik Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten dan Daerah Kota

dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Peletakan
otonomi daerah di bidang lingkungan hidup tersebut perlu dicermati sebagai peluang untuk
mempertegas komitmen Pemerintah Daerah dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup di
daerahnya. Konsekuensi dari komitmen tersebut adalah dalam pemanfaatan sumber daya alam
yang harus diarahkan guna memberikan manfaat yang sebesar-besamya bagi kepentingan/
kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestariannya. Dengan
demikian otonomi daerah di bidang lingkungan hidup memberikan konsekuensi berupa kewajiban
dan tanggung jawab bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kewenangan bidang
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pelaksanaan mandat peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang
menyatakan antara lain bahwa Komisi AMDAL dan UKL/UPL, pejabat pengawas lingkungan
hidup daerah, penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup daerah, perizinan pembuangan
air limbah ke sumber air, pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada tanah, dan lernbaga
penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan berkedudukan di
instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan atau pengendalian
dampak lingkungan hidup daerah.
4. Pelaksanan Peraturan Pernerintah Nornor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah jo Surat Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri
Dalam Negeri Nornor:0l/SKB/M.PAN/4/2003 dan Nomor:17 Tahun 2003 tanggal 24 April 2003
2978


masih menimbulkan berbagai interpretasi, sehingga penataan kelembagaan lingkungan hidup
di daerah menghasilkan bentuk yang beraneka ragam, antara lain Badan, Dinas, Kantor dan
sebagainya, bahkan ada diantaranya yang digabung dengan bidang lain sehingga kurang
kondusif untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam pengelolaan lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan hidup di daerah.
5. Pembentukan lembaga lingkungan hidup daerah sebaiknya tidak semata-rnata hanya didasarkan
pada hasil penilaian sesuai kriteria faktor teknis lampiran XIV PP. Nomor 8 Tahun 2003, melainkan
perlu dipertimbangkan berbagai aspek yang telah dikemukakan di atas, disamping melakukan
kajian secara mendalam dan pertim ban gan sec ara kom prehen sif den gan tetap
mempertimbangkan pelestarian fungsi lingkungan hidup di daerah. Hal ini sangat diperlukan
karena pembentukan lembaga lingkungan daerah yang hanya didasarkan pada hasil penilaian
sesuai kriteria faktor teknis tersebut dapat diasumsikan bahwa keberadaannya baru diperlukan
jika kondisi lingkungan hidup di daerah telah mengalami pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup. Hal ini bertentangan dengan penggunaan prinsip kehati-hatian (Pre-cautionary
Principle) dalam pengelolaan lingkungan hidup.
6. Berdasarkan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, maka sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah
dalam membentuk atau menata kembali kelembagaan lingkungan hidup daerah, Menteri Negara
Lingkungan Hidup berwenang menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkung Hidup tentang
Pedoman Pembentukan Kelembagaan Lingkungan Hidup Daerah,


B.

Bentuk Kelembagaan.
Dalam membentuk kelembagaan yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup daerah,
perlu dilakukan pengkajian dan pertimbangan secara komperhensif. Hal ini penting karena
keberadaannya akan menjadi penyeimbang dalam mendorong peningkatan ekonomi disatu pihak
dan ketersediaan sumber daya alam di lain pihak. Kegiatan pembangunan tidak dapat berkelanjutan
tanpa didukung oleh ketersediaan sumber daya alam dan keberlangsungan fungsi lingkungan
hidup guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Mengingat penting dan strategisnya keberadaan lembaga lingkungan hidup daerah, maka di setiap
Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib untuk dibentuk lembaga yang
bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup. Bentuk lembaga tersebut hendaknya dapat
mengintegrasikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan (sosial, ekonomi dan lingkungan) sebagai
satu pendekatan pembangunan yang tidak terpisah-pisah, mampu mewadahi partisipasi dan aspirasi
pemangku kepentingan serta mampu melaksanakan peran penegakan hukum secara efektif.
Disamping itu, lembaga lingkungan hidup daerah harus efektif dan mampu bertindak efisien serta
memiliki kredibilitas di mata publik, sehingga dalam pembinaan personel lembaga ini dituntut
untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi. Oleh karena
itu, elemen-elemen tata pemerintahan yang baik seperti transparansi, partisipasi dan akuntabilitas
perlu menjadi dasar bagi pengembangan kelembagaan lingkungan hidup daerah.
Mengingat permasalahan lingkungan hidup bersifat multi dimensi maka diperlukan bentuk lembaga
yang mampu mengkoordinasikan dan mensinergiskan pelaku pembangunan (pemerintah, dunia
usaha dan masyarakat). Bentuk lembaga yang sesuai dengan tuntutan tersebut adalah Badan
atau Dinas yang tidak digabungkan dengan bidang lain seperti pemanfaat sumber daya alam.

2979

Perlu dihindari adanya benturan tugas pokok dan fungsi antara bidang lingkungan hidup dengan
bidang lain untuk mencegah konflik kepentingan yang dapat berakibat pada dikesampingkannya
pertimbangan bidang lingkungan hidup. Sebagai contoh Dinas Lingkungan Hidup digabung dengan
Dinas Pertambangan menjadi Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan.
C. Nomenklatur Kelembagaan.
Nomenklatur lembaga yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup Daerah Propinsi, Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota saat ini pada umumnya “…………Pengendalian Dampak Lingkungan”
yang terkandung di dalamnya unsur pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kualitas
lingkungan. Nomenklatur tersebut sejalan dengan Kriteria Faktor Teknis lampiran XIV PP. Nomor 8
Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yaitu “ Bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan”. Nomenklatur seperti itu tidak menjamin dilaksanakannya tugas dan fungsi di luar
pengendalian dampak lingkungan, seperti penataan ruang dan pelestarianj konservasi.
Kriteria Faktor Teknis lampiran XIV PP. Nomor 8 Tahun 2003 pada dasarnya hanya merupakan
salah satu upaya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota antara lain “ bidang lingkungan hidup”, Dalam UU. Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa: “lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain”
Untuk menyelenggarakan kewenangan bidang lingkungan hidup tersebut, Pemerintah Daerah
wajib melakukan “pengelolaan lingkungan hidup yaitu upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup” (Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun
1997). Dalam definisi tersebut mengandung 2 (dua) esensial yaitu pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan hidup.
Mengingat PP. Nomor 8 Tahun 2003 dari segi tata urutan peraturan perundang-undangan
tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, maka harus dipahami
bahwa pengendalian dampak lingkungan hidup merupakan salah satu upaya untuk melaksanakan
kewenangan bidang lingkungan hidup. Oleh karena itu, meskipun lembaga lingkungan hidup daerah
nomenklaturnya menggunakan “Pengendalian Dampak lingkungan Hidup” atau “lingkungan Hidup”
atau “Pengelolaan lingkungan Hidup” atau “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian
Dampak lingkungan Hidup” tetapi yang terpenting dalam uraian tugas dan fungsinya harus
mencakup pengelolaan lingkungan hidup secara keseluruhan yang di dalamnya meliputi
“pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan hidup”.
Disamping itu, nomenklatur struktur organisasi pada setiap jenjang jabatan struktural harus
didasarkan pada karakteristik (tipologi) dan permasalahan lingkungan hidup daerah. Misalnya
suatu daerah dengan karakteristik pesisir dan laut, maka dalam nomenklatur struktur organisasi
harus terdapat unit “Pengendalian Pencemaran dan atau Kerusakan Pesisir Laut”. Untuk itu,
identifikasi masalah lingkungan hidup di daerah sangat diperlukan, disamping untuk menentukan
bentuk organisasi, juga dapat digunakan sebagai bahan penyusunan nomenklatur pada struktur
organisasi setiap jenjang jabatan struktural dan penyusunan program pengelolaan lingkung m
hidup dan pengendalian dampak lingkungan hidup daerah.
2980

D. Kualifikasi Pirnpinan,
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga lingkungan hidup daerah,
keberadaan sumber daya manusia lingkungan hidup menjadi pentiing. Dalam merencanakan dan
menentukan pimpinan pada lembaga lingkungan hidup daerah, Pemerintah Daerah perlu
mempertimbangkan persyaratan teknis yang memadai agar yang bersangkutan dapat menjalankan
tugas dan fungsinya secara optimal dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan hidup di daerah . Untuk itu, perlu diperhatikan jenis, sifat dan beban pekerjaan serta
perlu dipertimbangkan kesesuaian antara dasar pengetahuan dan pendidikan yang bersangkutan
dengan rencana pelaksanaan tugas dan beban kerja.
Dalam pengisian formasi pada lembaga lingkungan hidup daerah, persyaratan utama yang perlu
menjadi dasar untuk dapat menempatkan scseorang pada level pimpinan harus dipertimbangkan
persyaratan administratif dan kualifikasi teknis akademis.
Persyaratan administratif untuk pengangkatan pimpinan lembaga lingkungan hidup daerah mengikuti
peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian yang berlaku. Sedangkan kualifikasi teknis
akademis untuk pimpinan lembaga lingkungan hidup Daerah Provinsi ditetapkan sebagai berikut:,
a. Berpendidikan minamal Sarjana dengan latar belakang pendidikan lingkungan atau;
b. Berpendidikan minimal Sarjana dan mempunyai sertifikat pendidikan dan pelatihan pengelolaan
lingkungan hidup terpadu yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan.yang
telah mendapat rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup;
c. Kualifikasi teknis lainnya sesuai dengan karakteristik dan kondisi pemasalahan lingkungan hidup
di Daerah Provinsi.
Kualifikasi teknis akademis untuk pimpinan lembaga lingkungan hidup Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
a. Berpendidikan minimal Diploma III atau sederajad dengan latar belakang pendidikan lingkungan;
atau
b. Berpendidikan minimal Diploma III atau sederajad dan mempunyai sertifikat pendidikan dan
pelatihan pengelolaan lingkungan hidup terpadu yang diselenggarakan oleh lernbaga pendidikan
dan pelatihan yang telah mendapat rekomendasi dari Kernenterian Lingkungan Hidup;
c. Kualifikasi teknis lainnya sesuai dengan karakteristik dan kondisi permasalahan lingkungan
hidup di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Di samping kualifikasi teknis akademis, pimpinan lembaga lingkungan hidup Daerah Provinsi,
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota harus memenuhi kualifikasi karakteristik yang meliputi:
kepemimpinan, motivasi, dan integritas.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH
Bidang Kebijakan dan Kelembagaan
Lingkungan Hidup,

Nabiel Makarim,MPA,MSM.

ttd
Hoetomo, MPA
2981

Lampiran II : Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor
: 148 Tahun 2004
Tentang
: Pedoman Pembentukan
Kelembagaan Lingkungan
Hidup Daerah.
Tanggal
: 6 September 2004
KRITERIA FAKTOR TEKNIS BIDANG PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
No.

INDIKATOR

1.

Jumlah sarana
pengolahan
limbah.
6

Skala
Nilai

Bobot

Skor

PENJELASAN

a. Limbah merupakan sisa suatu usaha dan
dan atau kegiatan;

400
700
1000

10

40 Skor
70 Skor
100 Skor

b. Jenis limbah dapat berbentuk cair
(contoh:air limbah pabrik, air limbah
rumah sakit, air limbah rumah tangga, dll),
gas (contoh: emisi dari cerobong pabrik,
dll) dan limbah padat (contoh: sampah,
sludge, dll);
c. Sarana pengolahan limbah merupakan
tempat/instalasi/ sekumpulan peralatan yg
berfungsi sebagai perubah Karakteristik/
sifat limbah menjadi karakteristik/ sifat
limbah yg aman terhadap manusia dan
makluk hidup lain serta lingkungan, yang
dapat berupa antara lain :
• lnstalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
industri atau Unit Pengolahan Limbah
(UPL);
• Tempat Pengolahan Akhir (TPA
Sampah);
• lnsinerator;
• Instalasi pengolahan lumpur tinja
(IPLT);
• Sarana pengolahan Limbah B3;
• Sarana pengolahan limbah cair domestik
perkotaan dan tinja secara terpadu;
• Unit komposter;
• Unit pendaur-ulang limbah.
d. Sarana pengolahan limbah dapat
merupakan milik Pemerintah Daerah
swasta, atau setiap usaha dan atau
kegiatan (badan usaha atau individu).

2982

No.
2.

INDIKATOR

Skala
Nilai

Bobot

Jumlah
perusahaan
yang
memerlukan
AMDAL
10

400
700
1000

Skor

PENJELASAN

a. Jumlah perusahaaan dimaksud merupakan
jumlah usaha dan yang atau kegiatan yg
telah ada memerlukan maupun sedang
direncanakan yang wajib dilengkapi dengan
AMDAL sesuai dengan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun
40 Skor
2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan
70 Skor
Atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi
100 Skor
Dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup, atau yang ditetapkan
lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah
berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001;
b. Lokasi usaha dan atau kegiatan berada di
Kabupaten/Kota atau Propinsi yang
bersangkutan.

3.

Jumlah
Laboratorium
Lingjungan
3

4.

400
700
1000

10

a. Sumber air yang dipakai untuk Pencemaran
mengukur tingkat pencemaran air antara
lain sungai, danau, air tanah, rawa.

Tingkat
Pencemaran
Air (%)
Rendah (20)

a. Laboratorium lingkungan yang Laboratorium
mempunyai kemampuan dan Lingkungan
kewenangan untuk menguji parameter
lingkungan kimia, fisika, biologi sesuai per40 Skor
aturan perundang-undangan yang berlaku;
70 Skor
100 Skor b. Laboratorium di daerah yang mempunyai
kemampuan untuk menganalisa beberapa
parameter lingkungan.

400
700
1000

10

40 Skor
70 Skor b. Dalam menghitung tingkat pencemaran air
100 Skor
maka dilakukan perhitungan dengan
membandingkan antara kualitas hulu
dengan kualitas hilir pada sumber air di
dalam batas wilayah administrasi.
c. Pengertian 20% dari tingkat pencemaran air
adalah terjadinya penurunan kualitas air
pada sumber air akibat kenaikan salah satu
parameter pencemar (misalnya: BOD, COD,
E-coli, dsb.) sebesar 20 % pada hilir
dibandingkan dengan kualitas pada hulu.
Contoh: BOD pada hulu 100 ppm dan BOD
pada hilir 125 ppm maxa tingkat
pencemaran air tinggi.

2983

No.

INDIKATOR

Skala
Nilai

Bobot

Skor

PENJELASAN
d. Jumlah titik sampling yang dapat digunakan
sebagai dasar dalam menentukan tingkat
pencemaran air minimal dilakukan terhadap
2 (dua) titik sampling hulu dan hilir pada
wilayah administrasi.
e. Tingkat pencemaran air dilakukan untuk
setiap sumber-sumber air, sehingga dapat
diketahui kualitas air rata-rata di daerah
secara keseluruhan (total).

5.

Tingkat
Pencemaran
Udara (%).
Rendah(20)

a. Pencemaran udara dimaksud ditujukan pada
kualitas udara ambien.

400
700
1000

10

40 Skor
70 Skor
100 Skor

b. Untuk mengetahui tingkat pencemaran
udara harus dilakukan uji terhadap kualitas
udara ambien di lokasi yang padat aktifitas
(permukiman, jalan raya dan industri)
dengan membandingkan lampiran Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara dan atau
pengukuran parameter terbatas (CO/ 03/
502/ N02 dan PM-10 yang dinyatakan dalam
ISPU terdapat dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 45/
MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar
Pencemaran Udara atau Keputusan
Gubernur.
c. Hasil pengukuran ISPU sebagaimana
dimaksud pada Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 45/MENLH/10/
1997 dikelompokkan sebagai berikut :
1. Baik ( 0-50 ) dinyatakan tercemar
ringan=( 100, ) dinyatakan tercemar
berat = ( > 20 )
d. Tingkat pencemaran udara dimaksud
merupakan hasil pengukuran minimal di
satu titik sampling kualitas udara ambien
dari lokasi padat aktifitas di Daerah.

2984

No.

INDIKATOR

6.

Tingkat
Pencemaran
dan Kerusakan
Laut/
Pantai(%)
Rendah (20)

Skala
Nilai

Bobot

Skor

PENJELASAN
a. Kerusakan laut/pantai meliputi kerusakan
terumbu karang, mangrove, padang lamun,
dan berkurangnya sempadan pantai (abrasi
pantai);

400
700
1000

10

40 Skor
70 Skor
100 Skor

b. Untuk mengetahui tingkat Pencemaran
pantai/laut harus dilakukan pengukuran
minimal satu titik sampling dengan
membandingkan Baku Mutu Air Laut dalam
Keputusan Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun
1988 tentang Pedoman Penetapan Baku
Mutu Lingkungan;
c. Untuk mengetahui tingkat kerusakan
terumbu karang harus dilakukan
pengukuran, minimal satu titik sampling
dengan membandingkan yang ditetapkan
dalam lampiran Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 04/MENLH/02/
2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan
Terumbu Karang;
d. Tingkat kerusakan hutan bakau (mangrove)
disempadan pantai sesuai Keppres Nomor
32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung;
e. Tingkat pencemaran dan kerusakan laut/
pantai adalah hasil evaluasi dari presentase
tingkat pencemaran dan kerusakan yang
ada dari titik sampling yang mewakili
(representatif ).

7.

a. Pencemaran tanah yang berlangsung secara
terus menerus akan mengakibatkan
kerusakan tanah;

Tingkat
Pencemaran
Tanah (%).
Rendah (20)

400
700
1000

10

40 Skor b. Kerusakan tanah meliputi lahan kering
akibat air, lahan basah dan lahan kering
70 Skor
(sesuai lampiran Peraturan Pemerintah
100 Skor
Nomor 150 Tahun 2000 tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah untuk
Produksi Biomassa) Pencemaran tanah di
lahan pertanian akibat dari pemanfaatan
limbah (land aplication) atau penggunaan
pupuk pestisida;

2985

No.

INDIKATOR

Skala
Nilai

Bobot

Skor

PENJELASAN
c. Pencemaran tanah disekitar lokasi usaha
dan atau kegiatan berasal dari kegiatan
penghasil, pengumpul, penimbun,
pemanfaat, dan pengolah Limbah B3 yang
tidak memenuhi persyaratan teknis;
d. Untuk mengetahui tingkat pencemaran
tanah yang dapat menimbulkan kerusakan
tanah, perlu dilakukan uji kualitas tanah
minimal satu titik sampling yang mewakili
lokasi usaha dan atau kegiatan yang
berpotensi menyebabkan pencemaran
tanah;
e. Tingkat kerusakan tanah dimaksud
merupakan hasil rata, rata dari uji kualitas
tanah sesuai lampiran Peraturan Pemerintah
Nomor 150 Tahun 2000.

8.

Produksi
Limbah B3/
tahun (ton).
>1
1- 5
>5

400
700
1000

10

Besaran Limbah B3 yang dihasilkan dari
seluruh aktifitas yang menghasilkan limbah B3
setiap tahunnya sesuai Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
40 Skor Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
70 Skor
100 Skor

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
NABIEL MAKARIM, MPA, MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH
Bidang Kebijakan dan Kelembagaan
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.

2986