CakrawalaHukumDiskusiUNCITRALElectronicEvidenceEDi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 49 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
CAKRAW ALA HUKUM
Oleh : Tim Direktorat Hukum
DISKUSI DENGAN UNCITRAL DAN “ELECTRONIC EVIDENCE &
E-DISCOVERY FORUM”
PENDAHULUAN
Dalam rangka mendalami substansi materi dan untuk mendapatkan masukan-masukan terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE), telah dilakukan beberapa kegiatan, diantaranya yaitu:
a. melakukan diskusi dengan
UNCITRAL di Austria (Wina);
b. mengikuti pelaksanaan seminar
dalam Electronic Evidence &
E-Discovery Forum di Victoria Park
Plaza Hotel London.
Kegiatan tersebut, disamping untuk penyempurnaan materi terkait pembahasan RUU ITE, juga membahas isu-isu yang terkait dengan penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan data elektronik, baik dari sisi litigasi maupun penyediaan perangkat peraturan perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan bukti elektronik/digital.
Disamping itu, kegiatan tersebut terkait pula dengan pembahasan RUU lain, seperti RUU tentang Transfer Dana, RUU tentang
Perbankan, RUU tentang Perbankan Syariah, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan rencana penyusunan RUU tentang Electronic
M oney.
Pelaksanaan
Diskusi di Wina Austria dilakukan dengan pejabat UNCITRAL pada tanggal 20 Agustus 2007. Sedangkan dalam kegiatan
Electronic Evidence & E-Discovery
Forum yang dilakukan pada tanggal
19-20 September 2007 di London, para pembicara terdiri dari praktisi dan akademisi yang berasal dari berbagai perusahaan dan lembaga, yaitu M errill Lynch & Co., Pfizer, Pw C, Vodafone UK, UBS AG, Aon Risk Consulting, Ovum, Guidance Softw are Inc., Control Risks, Verizon Communications US, Financial Engines US, Cranfield University UK, University of London, dan London School of Economics.
A.
HASIL DISKUSI DENGAN
UNCITRAL
1. UNCITRAL sebagai salah satu
organisasi internasional di baw ah Perserikatan Bangsa-Bangsa
(2)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 50 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
(PBB) mendukung dan
mengembangkan pembahasan mengenai perkembangan teknologi informasi dan dampaknya terhadap perniagaan elektronik. Hasil dari UNCITRAL berupa M odel Law yang bersifat tidak mengikat, namun menjadi acuan atau modal bagi negara-negara untuk mengadopsi atau memberlakukannya dalam hukum nasional masing-masing negara.
(i) UNCITRAL M odel Law on
E-Commerce
a. UNCITRAL telah menyusun
sebuah M odel Law mengenai
E-Commerce yang menjadi dasar
dan kerangka untuk
pembentukan hukum
E-Commerce di banyak negara.
The M odel Law on Electronic
Commerce yang terakhir beserta
pedoman pelaksanaannya, pertama kali dikeluarkan pada
tahun 1995. Satu tahun
kemudian UNCITRAL menyetujui
M odel Law tersebut dengan
Resolusi 51/162 pada tanggal 16 Desember 1996, dan telah diamandemen kembali pada bulan Juni 1998. UNCITRAL
M odel Law merupakan landasan
untuk mengatur otentikasi, perlengkapan, dan dampak pesan elektronik berbasis komputer dalam perdagangan.
M odel Law ini berisi tentang :
- Definisi kontrak elektronik dan pengaturan penerimaan dan kekuatan pembuktian dari bukti elektronik;
-
Pengaturan yang didasarkanpada prinsip non-diskriminasi;
-
Pengaturan e-commercesecara spesifik untuk perundang-undangan
nasional atau undang-undang lain yang dibuat oleh negara/negara bagian;
-
M emberikan aturan yangpasti untuk transaksi yang berbasis elektronik.
b. M odel Law terdiri dari 17 (tujuh
belas) pasal yang dibagi ke dalam dua bagian. Definisi dari “ pesan data elektronik” ialah mengumpulkan, mengirimkan, menerima dan menyimpan informasi dalam bentuk elektronik, optik, atau bentuk
lain seperti electronic data
interchange (EDI), surat
elektronik, telegram, telex atau telecopy.
Dalam Pasal 1 dan Pasal 2, definisi perdagangan dalam arti luas diinterpretasikan sebagai kegiatan bisnis dan meng-investasi-kan modal yang berasal dari berbagai macam hubungan perdagangan.
(3)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 51 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
c. M odel Law menyatakan
interpretasi peraturan ini dengan niat baik dan harus sesuai dengan:
-
prinsip hukum internasional;-
persyaratan khusus unt ukmendorong keseragaman dalam aplikasi (Pasal 3). d. Dalam meratifikasi M odel Law ,
setiap pihak dapat mengubah atau mengadopsinya sesuai dengan kebutuhan.
Sejak M odel Law disetujui oleh M ajelis Umum PBB pada Desember 1996, banyak hal yang berkaitan dengan E-Commerce (Konvensi dan M odel Law ) yang dikembangkan, antara lain mengenai:
-
tanda tangan elektronik;-
transaksi elektronik;-
privasi;-
keamanan informasi yangtermasuk pula keamanan
cyber, cyber crime and Public
Key Infrastructure.
e. Kajian yang hampir diselesaikan
sebagai sebuah M odel Law
adalah mengenai Kontrak Elektronik secara On-line
(On-line Electronic Contracting).
Peraturan ini berdasarkan Konvensi PBB tentang Jual Beli Barang Internasional (United
Nations Sale of Goods
Convention) dan ditujukan untuk
memfasilitasi arbitrase on line dan proses penyelesaian sengketa. Ini juga bertujuan menyelesaikan masalah mengenai penggunaan dokumen kertas yang makin sedikit, khususnya pada industri transportasi.
(ii) UNCITRAL M odel Law on
Electronic Signatures
a. The UNCITRAL M odel Law on
Electronic Signatures of 2001
(the 2001 M odel Law ) diadopsi sebagai implementasi dari
UNCITRAL M odel Law on
Electronic Commerce. M odel Law
2001 ini disusun untuk membantu negara dalam mengharmonisasikan,
memodernisasikan, dan menciptakan secara lebih efektif mengenai tanda tangan elektronik.
b. Salah satu dasar penyusunan adalah Pasal 7 dari UNCITRAL
M odel Law on Electronic
Commerce sebagai pemenuhan
fungsi tanda tangan di dunia elektronik.
c. Tujuan dari M odel Law adalah memberikan dasar hukum untuk menggunakan tanda tangan elektronik dan perlakuan yang sama terhadap dokumentasi tertulis dan informasi elektronik.
(4)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 52 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
d. Berdasarkan prosedur yang
dijelaskan pada M odel Law,
negara yang menggunakan dapat menetapkan suatu ‘lingkungan yang netral secara media’ (media–neutral
environment).
e. M odel Law 2001 ini memperhatikan prinsip bahw a tidak adanya diskriminasi terhadap berbagai teknik yang mungkin dapat dipakai untuk berkomunikasi atau disimpannya
informasi secara elektronik
(technology neutrality).
(iii) UNCITRAL M odel Law On
International Credit
Transfers
a. UNCITRAL M odel Law on
International Credit Transfer
(M LICT) memuat ketentuan-ketentuan mengenai transfer dana yang dilakukan secara lintas batas, yakni transfer dana yang dilakukan oleh bank pengirim (sending bank) dan bank penerima (receiving bank) yang berada di negara yang berbeda. b. M LICT mengartikan “ transfer
dana” secara luas, yakni serangkaian kegiatan yang diaw ali dari perintah pengirim mengenai pembayaran berupa sejumlah dana tertentu kepada penerima.
Kata tersebut juga mencakup setiap perintah pembayaran oleh bank pengirim asal atau setiap bank penerus guna melaksanakan perintah pembayaran dari pengirim asal. Serangkaian kegiatan dalam cakupan transfer dana ini juga tidak terbatas pada kegiatan transfer dana yang dilakukan dari suatu komputer ke komputer lain atau kegiatan transfer yang dilakukan secara elektronik, tetapi termasuk juga serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
perintah pembayaran melalui
pengurusan dokumen-dokumen perintah pembayaran.
c. M LICT bersifat terbuka dan tidak eksklusif, artinya para pihak dapat membuat ketentuan atau persyaratan-persyaratan yang mereka sepakati di samping ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam MLICT. Namun demikian terdapat pula ketentuan yang dimuat dalam M LICT dimana para pihak tidak dapat menyimpanginya.
Hal ini semata-mata karena beberapa aturan atau pasal dalam M LICT yang bersifat memaksa, yakni Pasal 5 ayat (3), 14 ayat (2) dan 17 ayat (7). Para pihak yang tunduk terhadapnya tidak terbatas pada badan hukum atau perusahaan tetapi
(5)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 53 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
juga termasuk orang per
orangan.
d. Perancang M LICT menyadari betul kemungkinan adanya saling keterkaitan (perselisihan) hukum yang lahir dari adanya transfer dana yang bersifat lintas batas negara ini.
Apabila terjadi konflik hukum, terdapat kebebasan para pihak untuk menentukan hukum mana yang berlaku untuk mengatur hak dan kew ajiban mereka. Perancang M LICT dalam Artikel Y
mengenai Conflict of Law s,
dengan tegas menyatakan bahw a ” The rights and
obligation arising out of a payment order shall be governed by the law chosen by the
parties.”
e. Namun apabila para pihak tidak menentukan sendiri hukum apa yang akan berlaku, alternatif kedua yang dapat dilakukan menurut perancang MLICT yang secara tegas mengemukakan hukum yang akan berlaku adalah hukum dari (negara) bank penerima guna mengatur hak dan kew ajiban para pihak sebagai akibat dari adanya transfer dana internasional. Perancang M LICT menyatakan: “ In the absence of agreement,
the law of the State of receiving
bank shall apply”.
f. Dalam artikel Y, Conflict of Law s M LICT juga menegaskan bahw a apabila suatu negara terdiri dari beberapa bagian atau beberapa w ilayah di mana masing-masing memiliki hukum yang berbeda, maka setiap bagian atau setiap w ilayah yang memiliki hukum masing-masing tersebut harus dianggap sebagai bagian terpisah dari negara (induk)-nya (separate state). Hal ini tampaknya semata-mata juga diciptakan agar terjadi kepastian
hukum dalam menerapkan
M LICT ini, yaitu bahw a MLICT ini hanya berlaku untuk transaksi transfer dana yang bersifat “ lintas batas negara” saja.
g. M LICT menegaskan bahw a ketentuan-ketentuannya tidak mengatur kapan pelaksanaan suatu perintah pembayaran terhadap suatu perintah bersyarat yang diterima oleh suatu bank.
M LICT juga tidak berlaku mempengaruhi setiap hak dan kew ajiban dari pengirim suatu instruksi bersyarat yang tergantung pada apakah syarat-syarat tersebut telah terpenuhi.
(iv) UNCITRAL – Draft untuk
Konvensi Pembentukan
Kontrak Elektronik
(6)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 54 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
a. UNCITRAL Working Group
tentang Electronic Commerce telah menyusun draft konvensi mengenai kontrak elektronik. Tujuan dari draft konvensi ini ialah untuk menghapuskan hambatan hukum dalam pembentukan kontrak yang digunakan dalam komunikasi secara elektronik.
b. Draft kontrak ini tidak dimaksudkan untuk mengarah kepada masalah substansi seperti elemen materi tentang penaw aran dan penerimaan, atau hak dan kew ajiban dari para pihak. Draft ini cenderung ditujukan untuk memperjelas atau mengadaptasi peraturan tradisional dalam pembentukan kontrak, untuk mengakomodasi kenyataan dalam kontrak elektronik. Draft konvensi ini mengarah kepada masalah seperti lokasi para pihak, w aktu terjadinya kontrak, perbedaan antara penaw aran dan undangan untuk membuat penaw aran, w aktu dan tempat untuk menaw arkan dan menerima, transaksi otomatis, dan informasi yang harus tersedia bagi para pihak.
c. Konvensi ini dapat menjadi kontribusi bagi kepastian hukum atau dugaan komersial yang dianggap sebagai instrumen
tambahan dari United Nations
Convention on International
Sales of Goods terutama yang
berkaitan dengan segala aspek kontrak elektronik.
2. Dalam pertemuan dengan
pejabat UNCITRAL tersebut,
bahan diskusi yang mengemuka adalah mengenai:
a. pesatnya penggunaan
teknologi informasi dalam kegiatan transaksi elektonik.
b. hambatan-hambatan dalam
penerapan transaksi elektronik yang berupa faktor keamanan penggunaan media elektronik dalam melakukan transaksi elektronik.
c. kejahatan dan kerugian yang dialami para pihak dalam transaksi elektronik.
d. pilihan hukum bagi para
pelaku transaksi elektronik. e. beberapa pengertian terkait
dokumen elektronik, sistem elektronik, informasi elektronik, dan tanda tangan elektronik;
f. harapan dari UNCITRAL
bahw a Indonesia dapat berperan dalam memberikan masukan terkait penyusunan kajian-kajian yang dilakukan oleh UNCITRAL.
(7)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 55 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
M engenai faktor keamanan penggunaan media elektronik dalam transaksi elektronik, pihak UNCITRAL mengemukakan berbagai upaya yang telah dilakukan dalam rangka meminimalisir risiko tersebut, antara lain melalui penggunaan teknologi pengamanan yang memadai, standar-standar pengamanan yang harus dipenuhi, maupun ancaman pidana yang diterapkan oleh beberapa negara terkait dengan jenis kejahatan tersebut.
Karena bersifat lintas negara, UNCITRAL juga mengemukakan kesulitan yang dialami oleh beberapa negara terkait penanganan dan penyelesaian dalam transaksi elektronik.
B.
HAL-HAL PENTING YANG
DIBAHAS DALAM ELECTRONIC
EVIDENCE & E-DISCOVERY
FORUM .
Dalam Electronic Evidence &
e-Discovery Forum yang dilaksanakan
di Victoria Park Plaza Hotel London terdapat beberapa hal yang penting, yaitu:
1. Strategi dan kebijakan dalam
pengelolaan data elektronik;
2. Pendeteksian dan penanganan
krisis;
3. Analisis forensik;
4. Kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan data elektronik;
5. M anajemen dan pencegahan
krisis.
Electronic Evidence & e-Discovery
Forum tersebut diadakan mengingat
banyaknya kasus penting (high
profile cases) yang telah terjadi serta
terkait pula dengan data elektronik di Amerika dan negara-negara di Eropa. Kerugian yang ditimbulkan dan biaya untuk penanganan kasus-kasus tersebut terhitung sangat besar. Disamping itu, dalam proses penanganan kasus-kasus tersebut juga menimbulkan banyak masalah bagi perusahaan atau lembaga terkait lainnya.
Berdasarkan pengalaman tersebut, setiap negara seharusnya memang memiliki kebijakan yang jelas dan peraturan perundang-undangan terkait penyimpanan data elektronik untuk mencegah tindak pidana dan memberikan kepastian hukum dalam proses penanganannya. Terkait dengan kasus-kasus t ersebut di atas, selain dibutuhkan sistem hukum yang baik dan peraturan perundang-undangan yang komprehensif, dibutuhkan pula investigasi forensik terhadap data-data yang mencakup beberapa tahun sebelumnya yang jumlahnya sangat banyak.
(8)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 56 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
Proses investigasi tersebut dapat melibatkan multi jurisdiksi, mengingat komunikasi dan transaksi elektronik dengan melintasi batas banyak negara saat ini sudah sangat umum dilakukan. Oleh karena itu, penanganan kasus terkait data elektronik juga akan melibatkan hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku di masing-masing negara-negara yang terkait. Penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan data elektronik merupakan pekerjaan yang berat dan sulit, karena harus memperhatikan berbagai aspek hukum nasional (misalnya keterkaitan dengan Undang-Undang lain), dan harus memperhatikan aspek hukum internasional pula.
Ketiadaan peraturan perundang-undangan tentang data elektronik pada suatu negara dapat mengakibatkan tidak terlindunginya kepentingan w arga negara dan/atau negara yang bersangkutan.
Keterkaitan Dengan Pembahasan
RUU ITE
Terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan para pembicara dalam
Electronic Evidence & E-Discovery
Forum tersebut, diantaranya:
1. Kebutuhan perangkat hukum
yang komprehensif untuk melindungi data yang disimpan
secara elektronik (Electronically
Stored Information).
Terdapat sistem dan perangkat hukum yang berbeda-beda mengingat setiap negara memiliki spesifikasi hukum masing-masing. Selain itu, setiap negara juga memiliki kebutuhan yang berbeda-beda pula, tergantung pada tingkat kemajuan teknologi dan sistem yang ada di negara yang bersangkutan. Namun demikian, peraturan perundang-undangan dimaksud tetap harus memperhatikan hukum internasional maupun konvensi yang telah diterima secara internasional, mengingat setiap negara pasti memiliki keterkaitan dengan negara lain.
2. Adanya peraturan
perundang-undangan mengenai data elektronik harus dapat memberikan perimbangan antara penggunaan data elektronik dengan perlindungan terhadap data pribadi yang tersimpan secara elektronik, sehingga tujuan dari peraturan dimaksud tidak melanggar kepentingan pribadi w arga negaranya.
3. Bagi suatu lembaga, dibutuhkan beberapa perangkat untuk mendukung perlindungan data elektronik, diantaranya:
(9)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 57 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
b. peraturan internal; c. standar kepatuhan; d. internal law yer.
4. Otoritas harus mengeluarkan
ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap data elektronik di industri yang berada di baw ah pengaw asan otoritas dimaksud.
5. Untuk menjamin perlindungan
data, terdapat 3 (tiga) faktor yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan ketentuan tentang kepatuhan, yaitu:
a. M anajemen informasi, yang
mencakup proses:
?
perolehan data;?
penyimpanan data;?
pencarian informasi(search) dan penarikan informasi (retrieval);
?
penghapusan informasi;?
jalur kerja (w orkf low);b. Analisis informasi, yang
mencakup:
?
proses memperolehinformasi;
?
mengetahui pentingnyasuatu informasi;
?
penafsiran;?
penambahan data.c. Keamanan informasi, yang
mencakup:
?
mencegahpenyalahgunaan informasi;
?
pembatasan danpengaw asan akses
(role-based access control);
?
pemisahan tugas;?
manajemen kebijakan;?
pemeriksaan (audit). 6. Dalam rangka perlindungan dataelektronik, diperlukan data-data yang dapat digunakan sebagai alat bukti terhadap pelanggaran ketentuan. Alat bukti dimaksud diperlukan untuk:
a. memitigasi dan mengontrol
kerugian.
b. kepentingan asuransi. c. menggugat pihak ketiga. d. M engantisipasi adanya klaim
dari pihak ketiga.
e. membantu aparat penegak
hukum.
7. Untuk mencegah risiko yang
dapat timbul dari penyalahgunaan data elektronik, dibutuhkan Forensic Readiness
Plan, antara lain dengan
membuat:
a. Identifikasi ancaman
terhadap organisasi;
b. Evaluasi karyaw an dan
(10)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 58 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
c. Skenario tentang risiko yang mungkin timbul;
d. Crisis M anagement Plan.
Dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan nasional di b id an g cyber, setiap negara harus memperhatikan hukum internasional maupun konvensi yang telah diterima secara internasional. Hal ini terkait dengan transaksi cyber yang bersifat lintas batas (borderless) dan bersifat global. Sedangkan ketiadaan peraturan perundang-undangan bidang cyber pada suatu negara akan mengakibatkan tidak terlindunginya kepentingan w arga negara dan/atau negara yang bersangkutan.
Dalam masalah pembuktian atau data-data yang dapat digunakan sebagai alat bukti, dalam forum ini diingatkan kembali tentang pentingnya pengelolaan data elektronik. Oleh karena itu, pengaturan tentang pengelolaan data elektronik dalam suatu perundang-undangan menjadi hal yang dirasakan penting.
Dalam hal ini RUU ITE telah mengatur mengenai kew ajiban setiap penyelenggara elektronik untuk memenuhi persyaratan minimum dalam pengelolaan data elektroniknya. Sistem elektronik tersebut harus dapat menampilkan kembali informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem
elektronik yang telah berlangsung, dapat melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi elektronik, serta memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggungjaw aban prosedur. Terkait dengan alat bukti, dapat dikemukakan bahw a peranan data-data elektronik tersebut tidak semata-mata hanya sebagai alat bukti di pengadilan yang selalu berkaitan dengan masalah ketentuan hukum/ketentuan perundang-undangan, namun peranan yang tidak kalah penting adalah dalam memitigasi risiko dan mengontrol risiko bisnis suatu perusahaan atau lembaga, yang lebih banyak terkait dengan kepentingan dan strategi bisnis dari masing-masing perusahaan atau lembaga. Dengan demikian sudah tepat bahw a materi RUU ITE yang sedang dibahas saat ini model pengaturannya bersifat komprehensif, yaitu bahw a materi yang diatur mencakup hal yang lebih luas meliputi aspek hukum perdata, hukum pidana, hukum acara dan hukum pembuktian.
(1)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 53 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007 juga termasuk orang per
orangan.
d. Perancang M LICT menyadari betul kemungkinan adanya saling keterkaitan (perselisihan) hukum yang lahir dari adanya transfer dana yang bersifat lintas batas negara ini.
Apabila terjadi konflik hukum, terdapat kebebasan para pihak untuk menentukan hukum mana yang berlaku untuk mengatur hak dan kew ajiban mereka. Perancang M LICT dalam Artikel Y mengenai Conflict of Law s, dengan tegas menyatakan bahw a ” The rights and
obligation arising out of a payment order shall be governed by the law chosen by the parties.”
e. Namun apabila para pihak tidak menentukan sendiri hukum apa yang akan berlaku, alternatif kedua yang dapat dilakukan menurut perancang MLICT yang secara tegas mengemukakan hukum yang akan berlaku adalah hukum dari (negara) bank penerima guna mengatur hak dan kew ajiban para pihak sebagai akibat dari adanya transfer dana internasional. Perancang M LICT menyatakan: “ In the absence of agreement,
the law of the State of receiving bank shall apply”.
f. Dalam artikel Y, Conflict of Law s M LICT juga menegaskan bahw a apabila suatu negara terdiri dari beberapa bagian atau beberapa w ilayah di mana masing-masing memiliki hukum yang berbeda, maka setiap bagian atau setiap w ilayah yang memiliki hukum masing-masing tersebut harus dianggap sebagai bagian terpisah dari negara (induk)-nya (separate state). Hal ini tampaknya semata-mata juga diciptakan agar terjadi kepastian hukum dalam menerapkan M LICT ini, yaitu bahw a MLICT ini hanya berlaku untuk transaksi transfer dana yang bersifat “ lintas batas negara” saja.
g. M LICT menegaskan bahw a ketentuan-ketentuannya tidak mengatur kapan pelaksanaan suatu perintah pembayaran terhadap suatu perintah bersyarat yang diterima oleh suatu bank.
M LICT juga tidak berlaku mempengaruhi setiap hak dan kew ajiban dari pengirim suatu instruksi bersyarat yang tergantung pada apakah syarat-syarat tersebut telah terpenuhi.
(iv) UNCITRAL – Draft untuk
Konvensi Pembentukan
Kontrak Elektronik
(2)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 54 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007 a. UNCITRAL Working Group
tentang Electronic Commerce telah menyusun draft konvensi mengenai kontrak elektronik.
Tujuan dari draft konvensi ini ialah untuk menghapuskan hambatan hukum dalam pembentukan kontrak yang digunakan dalam komunikasi secara elektronik.
b. Draft kontrak ini tidak dimaksudkan untuk mengarah kepada masalah substansi seperti elemen materi tentang penaw aran dan penerimaan, atau hak dan kew ajiban dari para pihak. Draft ini cenderung ditujukan untuk memperjelas atau mengadaptasi peraturan tradisional dalam pembentukan kontrak, untuk mengakomodasi kenyataan dalam kontrak elektronik. Draft konvensi ini mengarah kepada masalah seperti lokasi para pihak, w aktu terjadinya kontrak, perbedaan antara penaw aran dan undangan untuk membuat penaw aran, w aktu dan tempat untuk menaw arkan dan menerima, transaksi otomatis, dan informasi yang harus tersedia bagi para pihak.
c. Konvensi ini dapat menjadi kontribusi bagi kepastian hukum atau dugaan komersial yang dianggap sebagai instrumen
tambahan dari United Nations
Convention on International
Sales of Goods terutama yang
berkaitan dengan segala aspek kontrak elektronik.
2. Dalam pertemuan dengan pejabat UNCITRAL tersebut, bahan diskusi yang mengemuka adalah mengenai:
a. pesatnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan transaksi elektonik.
b. hambatan-hambatan dalam penerapan transaksi elektronik yang berupa faktor keamanan penggunaan media elektronik dalam melakukan transaksi elektronik.
c. kejahatan dan kerugian yang dialami para pihak dalam transaksi elektronik.
d. pilihan hukum bagi para pelaku transaksi elektronik.
e. beberapa pengertian terkait dokumen elektronik, sistem elektronik, informasi elektronik, dan tanda tangan elektronik;
f. harapan dari UNCITRAL bahw a Indonesia dapat berperan dalam memberikan masukan terkait penyusunan kajian-kajian yang dilakukan oleh UNCITRAL.
(3)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 55 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007 M engenai faktor keamanan
penggunaan media elektronik dalam transaksi elektronik, pihak UNCITRAL mengemukakan berbagai upaya yang telah dilakukan dalam rangka meminimalisir risiko tersebut, antara lain melalui penggunaan teknologi pengamanan yang memadai, standar-standar pengamanan yang harus dipenuhi, maupun ancaman pidana yang diterapkan oleh beberapa negara terkait dengan jenis kejahatan tersebut.
Karena bersifat lintas negara, UNCITRAL juga mengemukakan kesulitan yang dialami oleh beberapa negara terkait penanganan dan penyelesaian dalam transaksi elektronik.
B.
HAL-HAL PENTING YANG
DIBAHAS DALAM ELECTRONIC
EVIDENCE & E-DISCOVERY
FORUM .
Dalam Electronic Evidence &
e-Discovery Forum yang dilaksanakan
di Victoria Park Plaza Hotel London terdapat beberapa hal yang penting, yaitu:
1. Strategi dan kebijakan dalam pengelolaan data elektronik;
2. Pendeteksian dan penanganan krisis;
3. Analisis forensik;
4. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan data elektronik;
5. M anajemen dan pencegahan krisis.
Electronic Evidence & e-Discovery
Forum tersebut diadakan mengingat
banyaknya kasus penting (high
profile cases) yang telah terjadi serta terkait pula dengan data elektronik di Amerika dan negara-negara di Eropa. Kerugian yang ditimbulkan dan biaya untuk penanganan kasus-kasus tersebut terhitung sangat besar. Disamping itu, dalam proses penanganan kasus-kasus tersebut juga menimbulkan banyak masalah bagi perusahaan atau lembaga terkait lainnya.
Berdasarkan pengalaman tersebut, setiap negara seharusnya memang memiliki kebijakan yang jelas dan peraturan perundang-undangan terkait penyimpanan data elektronik untuk mencegah tindak pidana dan memberikan kepastian hukum dalam proses penanganannya.
Terkait dengan kasus-kasus t ersebut di atas, selain dibutuhkan sistem hukum yang baik dan peraturan perundang-undangan yang komprehensif, dibutuhkan pula investigasi forensik terhadap data-data yang mencakup beberapa tahun sebelumnya yang jumlahnya sangat banyak.
(4)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 56 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007 Proses investigasi tersebut dapat
melibatkan multi jurisdiksi, mengingat komunikasi dan transaksi elektronik dengan melintasi batas banyak negara saat ini sudah sangat umum dilakukan. Oleh karena itu, penanganan kasus terkait data elektronik juga akan melibatkan hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku di masing-masing negara-negara yang terkait.
Penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan data elektronik merupakan pekerjaan yang berat dan sulit, karena harus memperhatikan berbagai aspek hukum nasional (misalnya keterkaitan dengan Undang-Undang lain), dan harus memperhatikan aspek hukum internasional pula.
Ketiadaan peraturan perundang-undangan tentang data elektronik pada suatu negara dapat mengakibatkan tidak terlindunginya kepentingan w arga negara dan/atau negara yang bersangkutan.
Keterkaitan Dengan Pembahasan
RUU ITE
Terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan para pembicara dalam
Electronic Evidence & E-Discovery
Forum tersebut, diantaranya:
1. Kebutuhan perangkat hukum yang komprehensif untuk melindungi data yang disimpan
secara elektronik (Electronically
Stored Information).
Terdapat sistem dan perangkat hukum yang berbeda-beda mengingat setiap negara memiliki spesifikasi hukum masing-masing. Selain itu, setiap negara juga memiliki kebutuhan yang berbeda-beda pula, tergantung pada tingkat kemajuan teknologi dan sistem yang ada di negara yang bersangkutan. Namun demikian, peraturan perundang-undangan dimaksud tetap harus memperhatikan hukum internasional maupun konvensi yang telah diterima secara internasional, mengingat setiap negara pasti memiliki keterkaitan dengan negara lain.
2. Adanya peraturan perundang-undangan mengenai data elektronik harus dapat memberikan perimbangan antara penggunaan data elektronik dengan perlindungan terhadap data pribadi yang tersimpan secara elektronik, sehingga tujuan dari peraturan dimaksud tidak melanggar kepentingan pribadi w arga negaranya.
3. Bagi suatu lembaga, dibutuhkan beberapa perangkat untuk mendukung perlindungan data elektronik, diantaranya:
(5)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 57 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007 b. peraturan internal;
c. standar kepatuhan;
d. internal law yer.
4. Otoritas harus mengeluarkan ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap data elektronik di industri yang berada di baw ah pengaw asan otoritas dimaksud.
5. Untuk menjamin perlindungan data, terdapat 3 (tiga) faktor yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan ketentuan tentang kepatuhan, yaitu:
a. M anajemen informasi, yang mencakup proses:
?
perolehan data;?
penyimpanan data;?
pencarian informasi (search) dan penarikan informasi (retrieval);?
penghapusan informasi;?
jalur kerja (w orkf low); b. Analisis informasi, yangmencakup:
?
proses memperoleh informasi;?
mengetahui pentingnya suatu informasi;?
penafsiran;?
penambahan data.c. Keamanan informasi, yang mencakup:
?
mencegah penyalahgunaan informasi;?
pembatasan dan pengaw asan akses(role-based access control);
?
pemisahan tugas;?
manajemen kebijakan;?
pemeriksaan (audit). 6. Dalam rangka perlindungan dataelektronik, diperlukan data-data yang dapat digunakan sebagai alat bukti terhadap pelanggaran ketentuan. Alat bukti dimaksud diperlukan untuk:
a. memitigasi dan mengontrol kerugian.
b. kepentingan asuransi.
c. menggugat pihak ketiga.
d. M engantisipasi adanya klaim dari pihak ketiga.
e. membantu aparat penegak hukum.
7. Untuk mencegah risiko yang dapat timbul dari penyalahgunaan data elektronik, dibutuhkan Forensic Readiness
Plan, antara lain dengan membuat:
a. Identifikasi ancaman terhadap organisasi;
b. Evaluasi karyaw an dan kebijakan internal;
(6)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 58 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007 c. Skenario tentang risiko yang
mungkin timbul;
d. Crisis M anagement Plan.
Dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan nasional di b id an g cyber, setiap negara harus memperhatikan hukum internasional maupun konvensi yang telah diterima secara internasional. Hal ini terkait dengan transaksi cyber yang bersifat lintas batas (borderless) dan bersifat global. Sedangkan ketiadaan peraturan perundang-undangan bidang cyber pada suatu negara akan mengakibatkan tidak terlindunginya kepentingan w arga negara dan/atau negara yang bersangkutan.
Dalam masalah pembuktian atau data-data yang dapat digunakan sebagai alat bukti, dalam forum ini diingatkan kembali tentang pentingnya pengelolaan data elektronik. Oleh karena itu, pengaturan tentang pengelolaan data elektronik dalam suatu perundang-undangan menjadi hal yang dirasakan penting.
Dalam hal ini RUU ITE telah mengatur mengenai kew ajiban setiap penyelenggara elektronik untuk memenuhi persyaratan minimum dalam pengelolaan data elektroniknya. Sistem elektronik tersebut harus dapat menampilkan kembali informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem
elektronik yang telah berlangsung, dapat melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi elektronik, serta memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggungjaw aban prosedur.
Terkait dengan alat bukti, dapat dikemukakan bahw a peranan data-data elektronik tersebut tidak semata-mata hanya sebagai alat bukti di pengadilan yang selalu berkaitan dengan masalah ketentuan hukum/ketentuan perundang-undangan, namun peranan yang tidak kalah penting adalah dalam memitigasi risiko dan mengontrol risiko bisnis suatu perusahaan atau lembaga, yang lebih banyak terkait dengan kepentingan dan strategi bisnis dari masing-masing perusahaan atau lembaga. Dengan demikian sudah tepat bahw a materi RUU ITE yang sedang dibahas saat ini model pengaturannya bersifat komprehensif, yaitu bahw a materi yang diatur mencakup hal yang lebih luas meliputi aspek hukum perdata, hukum pidana, hukum acara dan hukum pembuktian.