Pengaruh Jalur Pelaporan dan Tingkat Religiusitas terhadap Niat Seseorang Melakukan Whistleblowing | Putri | Jurnal Akuntansi dan Investasi 1364 3736 1 SM
Pengaruh Jalur Pelaporan dan Tingkat Religiusitas terhadap
Niat Seseorang Melakukan Whistleblowing
Riwayat Artikel: Diterima 12 Sept 2015 Direvisi 22 Nov 2015 Disetujui 20 Des 2015
CAESAR MARGA PUTRI*
Program Studi Akuntansi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, D.I. Yogyakarta, 55183, Telp
+274 387656, Indonesia.
*Corresponding Author, E_mail address: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine empirically the effect of reporting channel (anonymous and non anonymous) in the structural model and
the effect of religiousity level on individual intention to report wrongdoing act. The design used in this experiment is 2x2 between subjects, with
graduate level student as participant. The result shows that anonymous reporting channel in the structural model is more effective than nonanonymous reporting channel. The result that religiousity level will affect the individual intention to report wrongdoing is unpredicted. This research
shows that religiousity level is not effect individual intention to report wrongdoing.
Keywords: Anonymous;Non-anonymous;Structural Model;Religious Level
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris pengaruh saluran (anonim dan non anonim) dalam model struktural dan pengaruh
tingkat religiusitas pada niat individu untuk melaporkan kesalahan tindakan pelaporan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2x2
antara subjek, dengan tingkat pascasarjana siswa sebagai peserta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saluran pelaporan anonim dalam model
struktural lebih efektif daripada saluran pelaporan non-anonim. Hasil tingkat religiusitas akan mempengaruhi niat individu untuk melaporkan kesalahan
adalah tidak diperkirakan. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat religiusitas tidak berpengaruh niat individu untuk melaporkan kesalahan.
Kata Kunci:Anonim; Non-anonim;Model struktural; Tingkat agama
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENDAHULUAN
Pentingnya whistleblowing untuk mendeteksi dan
mengungkap wrongdoing yang terjadi di dalam
sebuah organisasi telah diakui oleh banyak regulator yang ada diseluruh dunia. Whistleblowing adalah
usaha untuk mencapai sebuah tujuan ekonomik
dan sosial, sehingga pelakunya mengharapkan
dukungan oleh berbagai pihak agar tujuan tersebut
tercapai. Namun kenyataan yang sering terjadi
adalah mereka akan mendapat banyak ancaman
(retaliasi). Elliston (1982) menyatakan bahwa
sebagai karyawan mereka memiliki sedikit hak dan
akan ditolak oleh lebih banyak karyawan lain.
Retaliasi merupakan salah satu akibat buruk dari
whistleblowing. Penelitian terkait retaliasi yang akan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
diterima oleh karyawan yang melakukan
whistleblowing telah banyak dilakukan seperti
Elliston dan Coulson (1982), Arnold and Ponemon
(1991) dan Liyanarachichi dan Newdick (2009).
Akibatnya orang akan ragu untuk melakukannya
diarea publik dan sebaliknya mereka akan
melakukannya dibalik selubung kerahasiaan
(Elliston, 1982).
Melihat pentingnya whistleblowing tersebut maka
diperlukan cara untuk mendorong keefektifannya
untuk me-ngungkap wrongdoing yang terjadi dalam
organisasi. Sarbanes-Oxley Act 2002, Section 301 dan
806, dirancang secara khusus untuk mendorong
whistleblowing dan menyediakan perlindungan dari
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
○
43
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
retaliasi bagi karyawan yang mengungkapkan halhal yang tidak jelas atas masalah akuntansi dan
audit. Section 301 dan 806 meminta komite audit
dari direksi perusahaan yang telah go public untuk
memasang jalur pelaporan anonymous untuk
menolak dan mendeteksi kecurangan akuntansi
dan kelemahan pengendalian. Keberadaan jalur
pelaporan anonymous tersebutakan mengurangi kos
pelaporan (Near dan Miceli, 1995; Near et al.,
2004; Ayers dan Kaplan, 2005; Kaplan dan Sclutz,
2007). Regulasi ini sangat diperlukan karena
kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kasuskasus kecurangan besar diungkap oleh karyawan
ataupun media, bukan oleh auditor sebagai pihak
yang memiliki wewenang untuk mengungkap
kecurangan-kecurangan. Hal ini dibuktikan oleh
penelitin Dyck et al. (2007) yang menunjukkan
bukti bahwa media (termasuk publikasi akademik)
menyumbang 23,5% dan karyawan 16,8%.
Beberapa penelitian terkait faktor-faktor yang
mempengaruhi whistleblowing banyak dilakukan di
dalam konteks audit (Mismer-Magnus dan
Viswesvaran, 2005; Seifert, 2006; Brennan dan
Kelly, 2007; Xu dan Ziegenfuss, 2008; Taylor dan
Curtis, 2009; Taylor dan Curtis, 2010) dan masih
sedikit penelitian whistleblowing di bidang akuntansi
manajemen (Loeb dan Cory, 1989; Kaplan et al.,
2009; Seifert et al., 2010). Padahal whistleblowing
bisa dipandang dari dua sisi, dari sisi auditor dan
dari sisi akuntan atau akuntan manajemen. Auditor internal memiliki peran pekerjaan sebagai pihak
yang mencari dan mengungkap ketidakberesan
pelaporan keuangan. Sedangkan akuntan dan
akuntan manajemen sebagai pihak yang memiliki
posisi untuk mengobservasi, berpartisipasi atau
memiliki pengetahuan dalam kecurangan laporan
keuangan (Seifert et al., 2010).
Para akuntan manajemen memiliki kewajiban
pada organisasi yang mereka layani, profesi mereka,
publik dan diri mereka sendiri (Chiasson et al.,
1995). Institute of Management Accountants (IMA),
dalam standar kode etikanya bagi para akuntan
manajemen, menyatakan bahwa: akuntan
manajemen memiliki tanggung jawab untuk
menahan diri dari pengungkapan informasi rahasia,
mengkonfirmasi informasi yang tidak baik, dan
mengungkap seluruh informasi yang relevan.
Karena itu, bila seorang akuntan manajemen
dihadapkan pada penyimpangan, aturan kode etik
IMA menyatakan bahwa akuntan manajemen
tersebut memiliki tanggung jawab untuk
mengomunikasikan informasi penyimpangan
tersebut. Tanggung jawab mengomuni-kasikan
informasi yang tidak baik ini bisa dipahami sebagai
tanggung jawab akuntan manajemen untuk
berperilaku sebagai seorang whistleblower (Chiasson
et al., 1995).
Selain struktur dan jalur pelaporan yang ada
untuk mendorong seseorang melakukan
whistleblowing ternyata niat bisa dipengaruhi oleh
faktor religiusitas. Hal ini dikarenakan religiusitas
dianggap memiliki hubungan dengan perbaikan
moral etis seseorang (Burks dan Sellani, 2005).
Berdasarkan pemahaman tersebut maka bisa
diasumsikan secara logis bahwa pendidikan etis
akan meningkatkan prilaku moral (Burks dan
Sellani, 2005). Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa ada korelasi antara intervensi
etis dengan pengembangan moral (lihat: Rest,
1986; Hiltebeitel dan Jones, 1991, 1992; Glenn,
1992; Armstrong, 1993; Green dan Weber, 1997;
Eynon, Hill, dan Stevens, 1997; and Bonawitz,
2002). Namun tak sedikit pula penelitian yang
menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara
intervensi etis dengan prilaku moral individu (lihat:
Fulmer dan Cargile, 1987; St. Pierre, Nelson, dan
Gabbin, 1990; Shaub, 1994; Ponemon, 1993;
McCarthy, 1997; Porco, 2003; Loescher, 2004).
Dalam area religiusitas, hubungan yang terikait
dengan peningkatan moral menjadi perdebatan
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
44
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
antar ahli agama. Sementara orang melihat bahwa
perbaikan moral dan religiusitas sebagai hubungan
yang terikat, namun ada beberapa yang menyatakan
bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang
terpisah. Mereka manganggap bahwa etika itu
terpisah dari konsep religiusitas (Burks dan Sellani,
2005). Dari berbagai penelitian tersebut kita akan
membuktikan kembali apakah tingkat religiusitas
berpengaruh terhadap niat seseorang melakukan
wrongdoing.
Penelitian ini ingin menguji jalur pelaporan dan
tingkat religiusitas terhadap niat seseorang
melaporkan organisasi yang tepat yang dianggap
lebih efektif untuk mendorong karyawan
melakukan whistle-blowing di konteks akuntansi
manajemen. Hasil penelitian ini diharapkan
mampu membuktikan secara empiris faktor-faktor
yang dapat mendorong seseorang melaporkan
wrongdoing.
TINJAUAN LITERATUR DAN PERUMUSAN
HIPOTESIS
mempertimbangkan audience, tujuan, bahasa dan
tone dari wrongdoing (King, 1999). Menurut Miceli
dan Near (1985) whistleblowing bisa dilakukan secara
internal dan eksternal. Dari dua sumber pelaporan
internal dan ekternal tersebut,ada beberapa
keuntungan yang didapatkan bila whistleblowing
dilakukan secara internal. Masalah dalam organisasi
tersebutmasih bisa diselesaikan secara internal
sebelum skandal secara penuh diungkap diluar.
Selain itu pengungkapan internal akan
menciptakan atmosfer etis dalam organisasi dimana
karyawan didorong untuk melaporkan perilaku
yang tidak etis (Barnnet et al., 1993).
Whistleblowing adalah usaha untuk mencapai
sebuah tujuan ekonomik dan sosial, sehingga
pelakunya mengharapkan dukungan oleh berbagai
pihak agar tujuan tersebut tercapai. Namun
kenyataan yang sering terjadi adalah mereka akan
mendapat banyak ancaman seperti retaliasi
(Coulson, 1982); Arnold and Ponemon, 1991;
Liyanarachichi dan Newdick, 2009).
WHISTLEBLOWING
WHITLEBLOWING DAN ANONYMITY
Near dan Miceli (1985) mendefinisikan
Whistleblowing sebagai berikut:
The disclosure by organization members (former or
current) of illegal, immoral or illegitimate practices
under the control of their employers, to persons or
organiz-ations that may be able to effect action.
Sarbanes-Oxley Act 2002 meminta komite audit
dari direksi perusahaan yang telah go public untuk
memasang jalur pelaporan anonymous untuk
menolak dan mendeteksi kecurangan akuntansi
dan kelemahan pengendalian. Persyaratan SarbanesOxley Act 2002 atas sebuah jalur pelaporan anonymous untuk melaporkan ketidakjelasan masalah
akuntansi telah konsisten dengan temuan
penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Schultz et al. (1993) dan Schultz dan Hook (1998).
Keberadaan jalur pelaporan anonymous ini akan
mengurangi kos pelaporan (Near dan Miceli, 1995;
Near et al., 2004; Ayers dan Kaplan, 2005; Kaplan
dan Sclutz, 2007) Hal ini dikarenakan kerahasiaan
identitas pelapor akan mengurangi tingkat retaliasi
yang akan diterima.
Seifert (2006) memperjelas definisi diatas
dengan mendefinisikan illegal act sebagai suatu
kejahatan yang bisa dihukum menurut undangundang, immoral act sebagai sesuatu tindakan yang
menurut whistleblower dipersepsikan salah/
menyalahi aturan dan illegitimate practice sebagai
tindakan yang diinterpretasikan oleh whistleblower
diluar otoritas organisasi.
Whistlebowing akan sukses bila didukung oleh
sarana komunikasi yang mampu
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
45
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
ANONYMITY DAN STRUCTURAL MODEL
Moberly (2006) menyatakan bahwa structural
model didasarkan atas asumsi bahwa perusahaan
membangun jalur internal yang visibel, bersungguhsungguh dan formal dalam mengungkap wrongdoing.
Structural model menyediakan jalur pelaporan yang
langsung dan terlegitimasi dari karyawan kepada
dewan direksi. Jalur langsung ke dewan direksi akan
mendorong whistleblowing yang efektif karena
menghindari adanya pemblokiran dan penyaringan
informasi oleh eksekutif perusahaan (Moberly,
2006).
Menurut path-goal theory, tugas pimpinan adalah
membantu pengikutnya mencapai tujuan dan
mengarahkan atau memberikan dukungan sesuai
kebutuhan untuk memastikan bahwa tujuan
mereka sejalan dengan tujuan kelompok atau
organisasi. Istilah jalur dalam teori ini berasal dari
keyakinan bahwa pemimpin yang efektif akan
menjelaskan sebuah jalur (path) untuk membantu
pengikutnya melangkah dari posisi mereka
sekarang menuju pada tujuan kerja yang ingin
mereka capai dan membuat perjalanan sepanjang
jalur tersebut lebih mudah dengan berkurangnya
hambatan-hambatan yang ada.
Namun pada kenyataannya structural model ini
tidak efektif untuk mendorong whitleblowing karena
individu akan takut dengan adanya retaliasi yang
mungkin akan diterima bila melaporkan wrongdoing.
Menurut teori motivasi Maslow’s hierarchy of need
theory, salah satu kebutuhan manusia adalah
kebutuhan keamanan (safety needs). Safety needs
mengacu pada kebutuhan seseorang akan
keamanan dan perlindungan dari kejahatan fisik
dan emosional, serta jaminan bahwa kebutuhan
fisik harus terpenuhi. Oleh karena itu, adanya jalur
pelaporan anonymous akan memenuhi salah satu
kebutuhan individu akan rasa aman.Olehkarena itu
perlu diciptakan jalur pelaporan dimana karyawan
dapat melaporkan wrongdoing tanpa rasa takut.
Sarbanes-Oxley mesyaratkan penyediaan jalur
pelaporan anonymous yang akan mendorong
karyawan memberikan informasi tanpa ada rasa
takut. Dengan adanya jalur pelaporan secara anonymous maka individu akan lebih nyaman dan aman
karena identitas mereka terlindungi.
Menurut Kaplan et al. (2009) keefektifan jalur
pelaporan secara anonymous tergantung pada (1)
tingkat dimana karyawan menemukan kecurangan
atau petunjuk-petunjuk kecurangan (2) keinginan
karyawan untuk melaporkan temuanya ke penerima
yang tepat. Menurut mereka jalur pelaporan secara
anonymous mungkin akan menjadi sebuah
mekanisme yang paling efektif untuk mendeteksi
lebih dini kecurangan dibanding yang lainya dan
mungkin secara potensial membantu untuk
mencegah atau membatasi kecurangan dimasa yang
akan datang. Dalam penelitian Kaplan et al. (2009)
tersebut, structural model yang diajukan untuk
melaporkan dibagi menjadi dua pelaporan, melalui
hotline yang disediakan secara internal perusahaan
dengan tingkat kemanan procedural yang lemah
dan jalur eksternal, melalui pihak ketiga di luar
perusahaan dengan kemanan prosedural yang kuat.
Kedua jalur yang disediakan tersebut bersifat
anonymous. Sampel yang digunakan dalam studi
eksperimen penelitian tersebut adalah mahasiswa
pascasarjana. Hasilnya menunjukkan bahwa niat
responden untuk melaporkan tindakan kecurangan
lebih besar melalui jalur pelaporan yang disediakan
secara internal.
Seifert et al. (2010) juga menguji keefektifan jalur
pelaporan anonymous dalam kondisi structural model.
Fokus penelitian mereka terletak pada kebijakan
perusahaan dan perilaku manajemen yang
mungkin akan mempengaruhi keputusan karyawan
untuk mengungkap kecurangan laporan keuangan.
Penelitian yang mereka lakukan memasukkan teori
keadilan prosedural untuk mendesain kebijakan
dan prosedur whistle-blowing.
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
46
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
H1: Dibawah structural model, individu akan
cenderung menggunakan jalur pelaporan anonymous
dibanding non-anonumous dalam melaporkan tindakan wrongdoing.
WHISTLEBLOWING DAN RELIGIUSITAS
Intervensi etis mengacu pada pendidikan dan
pelatihan pada mahasiswa dalam area etika (Burks
dan Sellani, 2005). Berdasarkan pemahaman
tersebut maka bisa diasumsikan secara logis bahwa
pendididkan etis akan meningkatkan prilaku
moral. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa ada korelasi antara intervensi etis dengan
pengembangan moral Rest, 1986; Hiltebeitel dan
Jones, 1991, 1992; Glenn, 1992; Armstrong, 1993;
Green dan Weber, 1997; Eynon et al., 1997;
Bonawitz, 2002). Namun, tidak sedikit pula
penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada
korelasi antara intervensi etis dengan prilaku moral
individu (e.g., Fulmer and Cargile, 1987; St. Pierre,
Nelson, dan Gabbin, 1990; Shaub, 1994; Ponemon,
1993; McCarthy, 1997; Porco, 2003; Loescher,
2004;).
Dalam area religiusitas, hubungan yang terikait
dengan peningkatan moral menjadi perdebatan
antar ahli agama. Sementara orang melihat bahwa
perbaikan moral dan religiusitas sebagai hubungan
yang terikat, namun ada beberapa yang menyatakan
bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang
terpisah. Mereka manganggap bahwa etika itu
terpisah dari konsep religiusitas (Burks dan Sellani,
2005).
Bruks dan Sellani (2005) menyatakan bahwa
religiusitas dapat dipisahkan menjadi dua kategori:
religious affiliation dan religious commitement. Religious
affiliation mengacu pada konsep bahwa orang-orang
itu merupakah anggota dari sebuah lembaga atau
afiliasi sebuah kelompok agama tertentu. Religious
affiliation bisa berupa tempat ibadah, universitas
atau lembaga-lembaga lain. Sedangkan religious
commitment mengacu pada usaha untuk mengukur
tingkat religiousitas dari komitmen individu
terhadap kepercayaan religi atau gaya hidup
religinya.h pada organisasi religius dan dapat
diukur dalam hal kedatangan ke gereja/masjid,
amal (zakat) yang diberikan, serta ketelibatanya
dalam aktiitas keagamaan.
Penelitian hubungan religious affiliation dengan
perbaikan moral yang berupa universitas telah
dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu.
Hasilnyapun menunjukkan keanekaragaman,
penelitian Pascarella dan Terenzini (1991),
Wimalasiri et al. (1996) dan Porco (2003)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara religiousitas affiliation yang berupa
universitas dengan perbaikan moral mahasiswa.
Sedangkan tidak adanya hubungan antara universitas yang merupakan religious affiliation dengan
perbaikan moral mahasiswanya dibuktikan oleh
Kennedy dan Lawton (1998), Koeplin (1998), dan
Conroy dan Emerson (2004). Rashid dan Ibrahim
(2008) juga menyatakan bahwa dimensi
keprilakuan diketahui sebagai sebuah ketaatan yang
dapat diiterpretasikan sebagai prilaku yang dapat
dilihat terhadap organisasi religius dan dapat
diukur terkait dengan kedatangan ke masjid/gereja
atau kuil, uang yang disedekahkan, dan
keterlibatan dalam aktivitas.
Dalam penelitiaan ini akan menguji kembali
apakah partisipan dari sebuah universitas berafiliasi
agama dengan partisipan dari universitas nonagama memiliki perbedaan niat melaporkan
tindakan wrongdoing yang terjadi dalam sebuah
perusahaan.
H2: Niat individu untuk melaporkan tindakan
wrongdoing baik melalui jalur anonymous maupun
non-anonymous akan berbeda antara universitas yang
berafiliasi dengan agama dengan univeritas yang nonagama.
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
47
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
METODE PENELITIAN
nama orang dalam kasus dengan nama orang
Indonesia, penu-lisan dan layout.
DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan eksperimen 2x2
between subjects. Eksperimen dirancang
menggunakan dua perlakuan yaitu: kondisi structural model melalui jalur anonymous dan non-anonymous (lihat desain eksperimen pada Tabel 1).
Digunakannya metode eksperimen dikarenakan
tingkat validitas internal yang tinggi pada metode
ini. Pemilihan desain between subjects ditujukan
untuk menghindari risiko adanya efek latihan dan
efek carryover dalam eksperimen. Hal ini
dikarenakan dalam desain between subjects tiap
subjek hanya akan mendapatkan satu manipulasi
saja (Harsha dan Knapp, 1990).
PARTISIPAN
Partisipan adalah mahasiswa akuntansi dari
sebuah universitas negeri dan sebuah universitas
swasta yang berafiliasi dengan agama yang ada di
Yogyakarta. Mahasiswa yang digunakan adalah
mereka yang sudah atau sedang mengambil
matakuliah akuntansi manajemen adalah mereka
lebih memahami perananya dalam posisi
mengobservasi, berpartisipasi atau memiliki
pengetahuan tentang kecurangan dalam laporan
keuangan serta mengalami ethical conflict situation
(Loeb dan Cory, 1989; Seifert et al., 2010). Dalam
eksperimen tersebut, partisipan akan berperan
sebagai akuntan senior dalam perusahaan. Sebagai
akuntan senior suatu perusahaan, apakah
partisipan akan melaporkan tindak kecuangan yang
dilakukan oleh CFO perusahaan. Kecurangan yang
dilakukan CFO ditujukan untuk mencapai earning
forcast pada kuartal tersebut.
Pilot test dilakukan pada 37 mahasiswa
pascasarjana sebuah universitas negeri di
Yogyakarta secara serentak di dalam dua kelas. Dari
hasil pilot test beberapa masukan diperoleh peneliti.
Seperti cara pelaksanaan eksperimen, penggantian
TABEL 1.DESAIN EKSPERIMEN
Eksperimen dalam penelitian ini dilaksa-nakan
dua kali yaitu pertama dilakukan di universitas nonaffiliation dan yang ke dua di universitas religiousaffiliation.
UKURAN OPERASIONAL VARIABEL
Whistleblowing intention
Whistleblowing dalam penelitian ini mengacu
pada niat individu sebagai karyawan organisasi
untuk melaporkan wrongdoing yang diakukan oleh
individual atau korporasi ke sumber internal
organisasi.
Niat (INT) individu untuk melaporkan tindakan
kecurangan berfungsi sebagai variabel dependen.
Variabel dependen dalam penelitian ini diukur
dengan menggunakan self assessment. Partisipan
diminta untuk menilai niat mereka melaporkan
tindak kecurangan yang dilakukan oleh CFO pada
nine-point likert scale.Instrumen yang digunakan
adalah instrumen yang sudah pernah digunakan
oleh Seifert (2006) dan Seifert et al. (2010).
Anonymous dan Non-anonymous
Jalur pelaporan anonymous adalah jalur
pelaporan dimana identitas pelapor
wrongdoingakandirahasiakan. Sedangakan jalur
pelaporan non-anonymous adalah jalur pelaporan
yang memungkinkan diketahuinya identitas
pelapor wrongdoing.
Jalur pelaporan anonymous (ANONYM) dan non
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
48
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
anonymous (NON-ANONYM) dimanipulasi dengan
mencantumkan pernyataan terkait jalur
pelaporanya. Manipulasi ini diadopsi dari
penelitian Ayers dan Kaplan (2005), Kaplan et al.
(2009) dan Seifert et al. (2010).
pendistribusian kasus eksperimen dan pengawasan
pelaksanaan agar partisipan tidak bekerjasama.
Kemudian partisipan diminta untuk mengisi
lembar persetujuan partisipan dan daftar presensi.
Langkah kedua, kasus eksperimen yang berada
dalam amplop tertutup dibagikan untuk tiap-tiap
Structural model
group oleh masing-masing instruktur. Setelah
Structural model (STRM) adalah suatu mekanisme amplop terdistribusi seluruhnya, maka langkah
yang menyediakan jalur pelaporan yang sah dari
ketiga adalah mengerjakan kasus eksperimem.
karyawan langsung ke dewan direksi. Structural
Dalam kasus tersebut, partisipan berperan
model didasarkan atas asumsi bahwa perusahaan
sebagai akuntan senior yang bekerja di perusahaan
membangun jalur internal yang visibel, bersungguh- yang telah go public yang bergerak dibidang
sungguh dan formal dalam mengungkap wrongdoing. pengembangan, perizinan, dan pengiklanan onJalur langsung ke dewan direksi akan mendorong
screen television guide technology. Melalui teknologi ini
whistle-blowing yang efektif karena menghindari
pelanggan bisa memilih berbagai macam program
adanya pemblokiran dan penyaringan informasi
televisi.Perusahaan memperoleh pendapatan dari
oleh eksekutif perusahaan.
lisensi atas teknologi tersebut yang diberikan
kepada pihak ketiga dan penjualan iklan yang
Religiusitas
ditampilkan di layar panduan.Industri media
Religiusitas dalam penelitian ini mengacu pada
berkembang dengan pesat dan keuangan
religious affiliation, yaitu bahwa orang-orang tersebut perusahaan sangat baik. Pendapatan kotor rata-rata
merupakan anggota dari suatu lembaga atau
per kuartal yang diperoleh perusahaan sebesar Rp
kelompok agama tertentu (Bruks dan Sellani,
2.000.000.000. Sigit adalah akuntan senior yang
2005). Dimensi keprilakuan dianggap sebagai
bertanggung jawab terhadap manajer akuntansi dan
ketaatan terhadap organisasi religius yang dapat
manajer akuntansi bertanggung jawab terhadap
diukur dengan keterlibatannya dalam aktivitas
CFO. Pekerjaan Sigit termasuk mencatat
dalam suatu lembaga berafiliasi dengan agama.
pendapatan yang diperoleh dari kontrak lisensi
tesebut.
Prosedur Penugasan
Niat melakukan whistleblowing diukur dengan
menggunakan sebuah kasus yang telah banyak
dipakai oleh peneliti terdahulu seperti Seifert
(2006), Kaplan (2009) dan Seifert et al. (2010).
Proses eksperimen dimulai dengan membacakan
instruksi eksperimen terkait dengan ketentuanketentuan pelaksanaan eksperimen. Langkah
pertama partisipan dibagi menjadi group-group,
masing-masing group terdiri dari 10 partisipan dan
diawasi oleh 1 orang instruktur eksperiman. Group
ini dibuat bertujuan untuk memudahkan
PENGUJIAN HIPOTESIS
Penelitian ini menggunakan alat ujiAnalysis of
Variance (ANOVA). ANOVA adalah prosedur
pengolahan data yang dilakukan untuk menguji
perbedaan nilai rata-rata beberapa group (lebih dari
dua). Dalam penelitian ini ANOVA akan
digunakatabeln untuk membandingkan
kecenderungan individu untuk melakukan
whistleblowing bila kasus wrongdoing material atau
immaterial, melalui jalur anonymous apabila berada
dalam kondisi structural model dan kecenderungan
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
49
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
menggunakan jalur non-anonymous bila berada
dalam kondisi reward model.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KARAKTERISTIK PARTISISPAN
Jumlah partisipan yang lolos manipulation check
sebanyak 29 orang dari 87 partisipan. Untuk
melihat apakah ada pengaruh antara variabel
demografi terhadap variabel dependen, maka data
demografi dari partisipan yang lolos tersebut
kemudian diuji terlebih dulu. Sedangkan tabel 2
menunjukkan karakteristik partisipan yang lolos
dalam penelitian ini.
UNIV= NON-AFF) dan group 2 (CHANNEL=
NON-ANONYM, UNIV= NON-AFF) signifikan.
Artinya bahwa ada perbedaan niat individu untuk
melaporkan kasus kecurangan melalui jalur
pelaporan non-anonymous. Individu lebih cenderung
menggunakan jalur anonymous.
TABEL 2. HASIL UJI ANOVA
HASIL DAN INTERPRETASI MAIN EFFECT
Pengaruh utama dari variabel channel (CHANNEL) terhadap niat (INT) melakukan whistleblowing
signifikan, dengan nilai F=10,089 dan probabilitas
sebesar 0,004 yaitu bawah tingkat signifikansi 0,05
(Tabel 3). Sedangkan apabila dilihat dari rataratanya, anonymous channel memiliki rata-rata
sebesar 8,143 dan non-anonymous channel sebesar
6,800. Rata-rata keduanya memiliki perbedaan yang
signifikan dengan tingkat signifikansi 0,004.
Pengaruh utama dari variabel university (UNIV)
terhadap niat (INT) melakukan whistleblowing tidak
signifikan, dengan nilai F=0,050 dan probabilitas
sebesar 0,824 yaitu diatas tingkat signifikansi 0,05
(Tabel 3).
TABEL 3. HASIL UJI ANOVA, MEANS (SD) DAN PERBANDINGAN ANTAR SEL
HASIL DAN INTERPRETASI UJI INTERAKSI
Dalam sub bab ini akan disajikan hasil uji
hubungan interaksi antar variabel dalam desain
eksperimen 2x2 between subject seperti yang telah
didesain pada Tabel 1. Hasil analisis untuk melihat
interaksi antar variabel dapat dilihat pada panel A
dan B Panel C di Tabel 3. Uji Post Hoc yang
dilakukan hasilnya diringkas pada Tabel 3 Panel C.
Hasil Pos Hoc tersebut menunjukkan bahwa Mean
difference antara group 1 (CHANNEL= ANONYM,
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
50
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
Dari poin a ditunjukkan bahwa hipotesis
pertama diterima, yaitu dalam kondisi structural
model jalur pelaporan anonymous lebih efektif
dibanding jalur non-anonymous. Namun apabila
dilihat dari poin b organisasi yang berafiliasi
dengan agama, tidak ada perbedaan niat individu
melaporkan tindakan wrongdoing hal dalam
menggunakan jalur pelaporan. Yang artinya bahwa
jalur pelaporan tidak mempengaruhi niat mereka
melaporkan tindakan wrongdoing.
Mean difference antara group 1 (CHANNEL=
ANONYM, UNIV= NON-AFF) dan goup 3
(CHANNEL= ANONYM, UNIV= RELIGIOUS
AFF) tidak signifikan. Artinya bahwa bahwa niat
individu melaporkan kecurangan melalui jalur
anonymous tidak berbeda antara mereka yang berada
di lembaga yang berafiliasi agama dan non agama.
Mean difference antara goup 2 (CHANNEL= NONANONYM, UNIV= NON-AFF) dan goup 4
(CHANNEL= NON-ANONYM, UNIV= RELIGIOUS AFF) tidak signifikan. Artinya bahwa niat
individu melaporkan kecurangan melalui jalur nonanonymous tidak berbeda antara mereka yang berada
di lembaga yang berafiliasi agama dan non agama.
Dari poin c dan d bisa disimpulkan bahwa tidak
ada perbedaan niat melaporkan tindakan wrongdoing antara individu yang berada dalam lembaga
berafiliasi agama dengan individu yang berada di
lembaga yang non-afiliasi. Namun, apabila dilihat
dari mean antara group 2 dan 4 ternyata group 4
rata-ratanya lebih besar dibanding group 2. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalam kondisi non-anonymous, partisipan dari universitas religious affiliation
lebih besar kecenderungan melaporkan dibanding
universitas non-afiliasi. Walaupun secara statistik
perbedaanya tidak signifikan.
SIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
pengaruh religiusitas dan jalur pelaporan untuk
mendorong individu melaprkan wrongdoing. Dari
hasil penelitian menunjukkan bukti bahwa
keefektifan jalur pelaporan anonymous untuk
melaporkan wrongdoing di bawah kondisi structural
model ternyata terbukti. Walaupun hasil
menunjukkan bahwa hanya universitas yang nonaffiliasi dengan agama yang bisa membuktikan
hipotesis ini. Tingkat religiusitas dalam penelitian
ini tidak berpengaruh terhadap niat individu
melaporkan wrongdoing. Semua partisipan baik yang
berasal dari universitas non-afiliasi maupun afiliasai
dengan agama memiliki kecenderungan yang sama
untuk melaporkan tindakan wrongdoing.
Analisis tambahan menunjukkan bahwa adanya
jalur pelaporan anonymous maupun non-anonymous,
tidak membedakan niat individu yang berada
dalam organisasi yang berafiliasi dengan agama
untuk melaporkan tindakan wrongdoing. Hasil
penelitian di atas yang tidak mengkonfirmasi
penelitian terdahulu kemungkinan disebabkan oleh
faktor bahwa partisipan yang masih mahasiswa
merasa bahwa wrongdoing merupakan suatu
tindakan yang tidak etis walaupun angkanya tidak
material dan harus dilaporkan. Seperti temuan
Finn dan Lampe (1992) yang menyatakan bahwa
mahasiswa akuntansi sangat mendukung
whistleblowing sebagai perilaku tidak etis dibanding
partisipan yang berprofesi sebagai auditor. Temuan
mereka sejalan dengan Elias (2008) yang
menyatakan bahwa mahasiswa secara umum merasa
bahwa whistleblowing penting untuk dilakukan
karena berhubungan dengan kecurangan.
Implikasi penelitian ini adalah saran bagi
manajemen puncak dalam sebuah organisasi ketika
akan menentukan kebijakan untuk mendorong
karyawanya mengungkap wrongdoing dari sebuah
laporan keuangan. Sebagai bahan perbaikan atas
keterbatasan dalam penelitian ini, berikut beberapa
saran yang dapat dilakukan dalam penelitian
selanjutnya.
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
51
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
Penelitian selanjutnya sebaiknya menguji
pengaruh materialitas dari besarnya reward yang
akan diberikan oleh perusahaan apabila individu
melakukan whistleblowing. Apakah dengan tingkat
materialitas yang berbeda, niat individu melakukan
whistle-blowing juga berbeda. Xu dan Ziegenfuss
(2008) dalam future research mengajukan pertanyaan
mengenai insentif apa yang paling efektif untuk
mendorong individu melakukan whistleblowing dan
sebesar apa insentif itu seharusnya. Selain itu,
penelitian selanjutnya bisa dikaji lebih jauh apakah
ada pengaruh religiusitas terhadap niat seseorang
melakukan whistleblowing. Penelitian ini telah
menggunakan sampel dari universitas swasta yang
berbasis agama dan universitas negeri non-agama.
Oleh karena itu penelitian selanjutnya sebaiknya
yang diteliti bukan religiusitas dari organisasi
tempat dimana individu berada tetapi religiusitas
dari individu (religious commitment) dengan
menggunakan instrumen yang terkait dengan
religiusitas.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, R.N., and Govindarajan, V. 2003. Management Control
System, 11th edition. Boston: McGraw Hill.
Arnold, D., dan Ponemon, L. (1991). Internal auditors perceptions of
whistle-blowingand the influence of moral reasoning: An
experiment.Auditing: A Journal of Practice and Theory, 10, 1-15.
Ayers, S., dan Kaplan, S.E. 2005. Wrongdoing by consultants: An
examination of employees’ reporting intentions. Journal of
Business Ethics, 57 (2), 121-137.
Brennan, N., dan Kelly, J. 2007. A Study Of Whistleblowing Among
Trainee Auditors. The British Accounting Review, 39, 61-87.
Bromley, D.G. 1998. Linking Social Structure and the Exit Process
in Religious Organizations: Defectors, Whistle-blowers, and
Apostates. Journal for the Scientific Study of Religion, 37 (1), 145160.
Chiasson, M., Johnson, G.H., dan Byington, J,R. 1995. Blowing The
Whistle: Accountans in Industry. The CPA Journal, 65 (2), 24.
Daft, R. L. 1998. Organizational Theory and Design.6th edition.SouthWestern Publishing, Cincinnati.
Dworkin, T. 2007. SOX and whistleblowing. Michigan Law Review,
1757–1780.
Dyck, A., Morse, A., dan Zingales, L. 2007. Who blows the whistle
oncorporate fraud? CEPR discussion paper no. DP6126, SSRN.
.
Elias, R. 2008. Auditing Students’ Professional Commitment and
Anticipatory Socialization and Their Relationship to Whistleblowing.
Managerial Auditing Journal, 23 (3), 283-294.
Elliston, F.A. 1982. Anonymity and Whistleblowing. Journal of Business
Ethics, 1 (3), 167-177.
Elliston, F.A. dan Coulson, R. 1982. Anonymous Whistleblowing: An
Ethical Analysis. Business and Professional Ethics Journal, 1 (2),
39-60.
Eynon, G., Hill, N. dan Stevens, K. (1997). Factors that Influence the
Moral Reasoning Abilities of Accountants: Implications for
Universities and the Profession. Journal of Business Ethics, 16 (12/
13), 1297-1309.
Farrell, D. dan J. C. Petersen: 1982, ‘Patterns of Political Behavior in
Organiza-tions’, Academy of Management Review,7, 402-412.
Financial Accounting Standard Board. 1981. Qualitative Characteristics
of accounting information (Statement of Financial Accounting
Concepts No.2.
Finn, D. W. and J. C. Lampe. 1992. A study of whistleblowing among
auditors. Professional Ethics, 1, 137-168.
Glenn, J. (1992). Can a Business and Society Course Affect the Ethical
Judgment of Future Managers?. Journal of Business Ethics, 11 (3),
217-223
Harsha, P. D. dan M. C. Knapp. (1990). The Use of Within and Between
Subjects Experimental Designs in Behavioral Accounting Research: A Methodo-logical Note. Behavioral Research in Accounting, 2, 50-62.
Hick, E.L. (1964).Materiality.Journal Of Accounting Research. 2 (2),
158-171.
Hooks, K. L., Kaplan, S.E., dan J. J. Schultz, Jr. 1994. Enhancing
communication to assist in fraudprevention and detection.Auditing:
A Journal of Practice dan Theory, 13 (Fall), 86-117.
Hoque, Z. 2003. Strategic Management Accounting: Concept, Process
and Issues. Prentice Hall.
Hiltebeitel, K. dan Jones, S. (1991). Initial Evidence on the Impact of
Integrating Ethics into Accounting Education. Issues in Accounting
Education, 6 (2), 262-275.
Kaplan, S., dan J. J. Schultz. 2007. Intentions To Report Questionable
Acts: An Examination of the Influenceof Anonymous Reporting
Channel, Internal Audit Quality, And Setting. Journal of Business
Ethic, l71 (2), 109-124.
Kaplan, S., Pany, K., Samuels, J., dan Zhang, J. 2009. An examination
of theeffects of procedural safeguards on intentions to anonymously reportfraud.Auditing: A Journal of Practice and Theory, 28.,
273-288.
Kaplan, S., Pany, K., Samuels, J., dan Zhang, J. 2008. An Examination
of the AssociationBetween Gender and Reporting Intentionsfor
Fraudulent Financial Reporting. Journal of Business Ethics, 87, 1530.
King, G. 1999. The Implications of anOrganization’s Structureon
Whistle-blowing. Journal of Business Ethics, 20, 315-326.
Liyanarachchi, C. danNewdick, C. 2009.The Impact of Moral
Reasoningand Retaliation on Whistle-Blowing:New Zealand
Evidence. Journal of Business Ethics, 89, 37–57.
Loeb. S.E dan Cory S.N. (1989). Whistle Blowing and Management
Accoun-ting: An Approach. Journal of Business Ethics, 8 (1), 903916.
Mismer-Magnus, F.R., dan Viswesvaran, C. 2005. Whisleblowing in
Organi-zation: An Examination of Correlates of Whistleblowing
Intention, Action, and Retaliation. Jounal of Business Ethics, 62,
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
52
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
277-297.
Moberly, R. 2006. Sarbanes-Oxley’s Structural Model To Encourage
Corporate Whistleblowers. Brigham Young University Law Review,
1107, 1180.
Near, J. P., dan M. P. Miceli. 1985. Organizational Dissidence: The Case
of Whistle-Blowing. Journal of Business Ethics, 4 (1), 1-6.
Near, J. P., dan M. P. Miceli. 1995. Effective Whistleblowing. Academy of
Mana-gement Review, 20 (3), 679-708.
Ponemon, L. 1994. A Comment On ‘‘Whistle-Blowing’’ As An Internal
Control Mechanism: IndividualAnd Organizational Considerations.
Audi-ting: A Journal of Practice and Theory (Fall), 118-130.
Schultz, J., Jr., Johnson, D. A., Morris, D., dan Dyrnes, S. 1993.
Aninvestigation Of The Reporting Of Questionable Acts In
Aninternational Setting. Journal of Accounting Research, 31, 75103.
Schultz, J.J dan K. L. Hooks. 1998. The Effect Of Relationship And
Reward On Reports Of Wrongdoing. Auditing: A Journal of Practice
and Theory, 177. (2), 15-35.
Seifert, D.L,Sweeney, J. T., Joireman, J, dan Thornton, J,M. 2010. The
influence of organizational justice on accoun-tant whistleblowing.
Accounting, Organization, and Society, 35, 707-717.
Seifert, D.L. 2006.The Influence Of Organizational Justice On The
PerceivedLikelihood Of Whistle-Blowing. Dissertation.Washington
State University.
Shawver, Tara (2008). What Accounting Student Think about
Whistleblowing. Management Accounting Quarterly, 9 (4), 117-133.
Taylor, E.Z., dan Curtis, M.B. 2009. An Examination of the Layersof
Workplace Influences in Ethical Judgments: Whistleblowing Likelihood and Perseverance in Public Accounting.Journal of Business
Ethics, 93, 21-37.
Xu, Y., dan Ziegenfuss, D. 2008. Reward Systems, Moral Reasoning,
Andinternal Auditors’ Reporting Wrongdoing. Journal of Business
Psychology, 22, 323–331.
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
Niat Seseorang Melakukan Whistleblowing
Riwayat Artikel: Diterima 12 Sept 2015 Direvisi 22 Nov 2015 Disetujui 20 Des 2015
CAESAR MARGA PUTRI*
Program Studi Akuntansi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, D.I. Yogyakarta, 55183, Telp
+274 387656, Indonesia.
*Corresponding Author, E_mail address: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine empirically the effect of reporting channel (anonymous and non anonymous) in the structural model and
the effect of religiousity level on individual intention to report wrongdoing act. The design used in this experiment is 2x2 between subjects, with
graduate level student as participant. The result shows that anonymous reporting channel in the structural model is more effective than nonanonymous reporting channel. The result that religiousity level will affect the individual intention to report wrongdoing is unpredicted. This research
shows that religiousity level is not effect individual intention to report wrongdoing.
Keywords: Anonymous;Non-anonymous;Structural Model;Religious Level
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris pengaruh saluran (anonim dan non anonim) dalam model struktural dan pengaruh
tingkat religiusitas pada niat individu untuk melaporkan kesalahan tindakan pelaporan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2x2
antara subjek, dengan tingkat pascasarjana siswa sebagai peserta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saluran pelaporan anonim dalam model
struktural lebih efektif daripada saluran pelaporan non-anonim. Hasil tingkat religiusitas akan mempengaruhi niat individu untuk melaporkan kesalahan
adalah tidak diperkirakan. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat religiusitas tidak berpengaruh niat individu untuk melaporkan kesalahan.
Kata Kunci:Anonim; Non-anonim;Model struktural; Tingkat agama
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
PENDAHULUAN
Pentingnya whistleblowing untuk mendeteksi dan
mengungkap wrongdoing yang terjadi di dalam
sebuah organisasi telah diakui oleh banyak regulator yang ada diseluruh dunia. Whistleblowing adalah
usaha untuk mencapai sebuah tujuan ekonomik
dan sosial, sehingga pelakunya mengharapkan
dukungan oleh berbagai pihak agar tujuan tersebut
tercapai. Namun kenyataan yang sering terjadi
adalah mereka akan mendapat banyak ancaman
(retaliasi). Elliston (1982) menyatakan bahwa
sebagai karyawan mereka memiliki sedikit hak dan
akan ditolak oleh lebih banyak karyawan lain.
Retaliasi merupakan salah satu akibat buruk dari
whistleblowing. Penelitian terkait retaliasi yang akan
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
diterima oleh karyawan yang melakukan
whistleblowing telah banyak dilakukan seperti
Elliston dan Coulson (1982), Arnold and Ponemon
(1991) dan Liyanarachichi dan Newdick (2009).
Akibatnya orang akan ragu untuk melakukannya
diarea publik dan sebaliknya mereka akan
melakukannya dibalik selubung kerahasiaan
(Elliston, 1982).
Melihat pentingnya whistleblowing tersebut maka
diperlukan cara untuk mendorong keefektifannya
untuk me-ngungkap wrongdoing yang terjadi dalam
organisasi. Sarbanes-Oxley Act 2002, Section 301 dan
806, dirancang secara khusus untuk mendorong
whistleblowing dan menyediakan perlindungan dari
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
○
43
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
retaliasi bagi karyawan yang mengungkapkan halhal yang tidak jelas atas masalah akuntansi dan
audit. Section 301 dan 806 meminta komite audit
dari direksi perusahaan yang telah go public untuk
memasang jalur pelaporan anonymous untuk
menolak dan mendeteksi kecurangan akuntansi
dan kelemahan pengendalian. Keberadaan jalur
pelaporan anonymous tersebutakan mengurangi kos
pelaporan (Near dan Miceli, 1995; Near et al.,
2004; Ayers dan Kaplan, 2005; Kaplan dan Sclutz,
2007). Regulasi ini sangat diperlukan karena
kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kasuskasus kecurangan besar diungkap oleh karyawan
ataupun media, bukan oleh auditor sebagai pihak
yang memiliki wewenang untuk mengungkap
kecurangan-kecurangan. Hal ini dibuktikan oleh
penelitin Dyck et al. (2007) yang menunjukkan
bukti bahwa media (termasuk publikasi akademik)
menyumbang 23,5% dan karyawan 16,8%.
Beberapa penelitian terkait faktor-faktor yang
mempengaruhi whistleblowing banyak dilakukan di
dalam konteks audit (Mismer-Magnus dan
Viswesvaran, 2005; Seifert, 2006; Brennan dan
Kelly, 2007; Xu dan Ziegenfuss, 2008; Taylor dan
Curtis, 2009; Taylor dan Curtis, 2010) dan masih
sedikit penelitian whistleblowing di bidang akuntansi
manajemen (Loeb dan Cory, 1989; Kaplan et al.,
2009; Seifert et al., 2010). Padahal whistleblowing
bisa dipandang dari dua sisi, dari sisi auditor dan
dari sisi akuntan atau akuntan manajemen. Auditor internal memiliki peran pekerjaan sebagai pihak
yang mencari dan mengungkap ketidakberesan
pelaporan keuangan. Sedangkan akuntan dan
akuntan manajemen sebagai pihak yang memiliki
posisi untuk mengobservasi, berpartisipasi atau
memiliki pengetahuan dalam kecurangan laporan
keuangan (Seifert et al., 2010).
Para akuntan manajemen memiliki kewajiban
pada organisasi yang mereka layani, profesi mereka,
publik dan diri mereka sendiri (Chiasson et al.,
1995). Institute of Management Accountants (IMA),
dalam standar kode etikanya bagi para akuntan
manajemen, menyatakan bahwa: akuntan
manajemen memiliki tanggung jawab untuk
menahan diri dari pengungkapan informasi rahasia,
mengkonfirmasi informasi yang tidak baik, dan
mengungkap seluruh informasi yang relevan.
Karena itu, bila seorang akuntan manajemen
dihadapkan pada penyimpangan, aturan kode etik
IMA menyatakan bahwa akuntan manajemen
tersebut memiliki tanggung jawab untuk
mengomunikasikan informasi penyimpangan
tersebut. Tanggung jawab mengomuni-kasikan
informasi yang tidak baik ini bisa dipahami sebagai
tanggung jawab akuntan manajemen untuk
berperilaku sebagai seorang whistleblower (Chiasson
et al., 1995).
Selain struktur dan jalur pelaporan yang ada
untuk mendorong seseorang melakukan
whistleblowing ternyata niat bisa dipengaruhi oleh
faktor religiusitas. Hal ini dikarenakan religiusitas
dianggap memiliki hubungan dengan perbaikan
moral etis seseorang (Burks dan Sellani, 2005).
Berdasarkan pemahaman tersebut maka bisa
diasumsikan secara logis bahwa pendidikan etis
akan meningkatkan prilaku moral (Burks dan
Sellani, 2005). Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa ada korelasi antara intervensi
etis dengan pengembangan moral (lihat: Rest,
1986; Hiltebeitel dan Jones, 1991, 1992; Glenn,
1992; Armstrong, 1993; Green dan Weber, 1997;
Eynon, Hill, dan Stevens, 1997; and Bonawitz,
2002). Namun tak sedikit pula penelitian yang
menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara
intervensi etis dengan prilaku moral individu (lihat:
Fulmer dan Cargile, 1987; St. Pierre, Nelson, dan
Gabbin, 1990; Shaub, 1994; Ponemon, 1993;
McCarthy, 1997; Porco, 2003; Loescher, 2004).
Dalam area religiusitas, hubungan yang terikait
dengan peningkatan moral menjadi perdebatan
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
44
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
antar ahli agama. Sementara orang melihat bahwa
perbaikan moral dan religiusitas sebagai hubungan
yang terikat, namun ada beberapa yang menyatakan
bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang
terpisah. Mereka manganggap bahwa etika itu
terpisah dari konsep religiusitas (Burks dan Sellani,
2005). Dari berbagai penelitian tersebut kita akan
membuktikan kembali apakah tingkat religiusitas
berpengaruh terhadap niat seseorang melakukan
wrongdoing.
Penelitian ini ingin menguji jalur pelaporan dan
tingkat religiusitas terhadap niat seseorang
melaporkan organisasi yang tepat yang dianggap
lebih efektif untuk mendorong karyawan
melakukan whistle-blowing di konteks akuntansi
manajemen. Hasil penelitian ini diharapkan
mampu membuktikan secara empiris faktor-faktor
yang dapat mendorong seseorang melaporkan
wrongdoing.
TINJAUAN LITERATUR DAN PERUMUSAN
HIPOTESIS
mempertimbangkan audience, tujuan, bahasa dan
tone dari wrongdoing (King, 1999). Menurut Miceli
dan Near (1985) whistleblowing bisa dilakukan secara
internal dan eksternal. Dari dua sumber pelaporan
internal dan ekternal tersebut,ada beberapa
keuntungan yang didapatkan bila whistleblowing
dilakukan secara internal. Masalah dalam organisasi
tersebutmasih bisa diselesaikan secara internal
sebelum skandal secara penuh diungkap diluar.
Selain itu pengungkapan internal akan
menciptakan atmosfer etis dalam organisasi dimana
karyawan didorong untuk melaporkan perilaku
yang tidak etis (Barnnet et al., 1993).
Whistleblowing adalah usaha untuk mencapai
sebuah tujuan ekonomik dan sosial, sehingga
pelakunya mengharapkan dukungan oleh berbagai
pihak agar tujuan tersebut tercapai. Namun
kenyataan yang sering terjadi adalah mereka akan
mendapat banyak ancaman seperti retaliasi
(Coulson, 1982); Arnold and Ponemon, 1991;
Liyanarachichi dan Newdick, 2009).
WHISTLEBLOWING
WHITLEBLOWING DAN ANONYMITY
Near dan Miceli (1985) mendefinisikan
Whistleblowing sebagai berikut:
The disclosure by organization members (former or
current) of illegal, immoral or illegitimate practices
under the control of their employers, to persons or
organiz-ations that may be able to effect action.
Sarbanes-Oxley Act 2002 meminta komite audit
dari direksi perusahaan yang telah go public untuk
memasang jalur pelaporan anonymous untuk
menolak dan mendeteksi kecurangan akuntansi
dan kelemahan pengendalian. Persyaratan SarbanesOxley Act 2002 atas sebuah jalur pelaporan anonymous untuk melaporkan ketidakjelasan masalah
akuntansi telah konsisten dengan temuan
penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Schultz et al. (1993) dan Schultz dan Hook (1998).
Keberadaan jalur pelaporan anonymous ini akan
mengurangi kos pelaporan (Near dan Miceli, 1995;
Near et al., 2004; Ayers dan Kaplan, 2005; Kaplan
dan Sclutz, 2007) Hal ini dikarenakan kerahasiaan
identitas pelapor akan mengurangi tingkat retaliasi
yang akan diterima.
Seifert (2006) memperjelas definisi diatas
dengan mendefinisikan illegal act sebagai suatu
kejahatan yang bisa dihukum menurut undangundang, immoral act sebagai sesuatu tindakan yang
menurut whistleblower dipersepsikan salah/
menyalahi aturan dan illegitimate practice sebagai
tindakan yang diinterpretasikan oleh whistleblower
diluar otoritas organisasi.
Whistlebowing akan sukses bila didukung oleh
sarana komunikasi yang mampu
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
45
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
ANONYMITY DAN STRUCTURAL MODEL
Moberly (2006) menyatakan bahwa structural
model didasarkan atas asumsi bahwa perusahaan
membangun jalur internal yang visibel, bersungguhsungguh dan formal dalam mengungkap wrongdoing.
Structural model menyediakan jalur pelaporan yang
langsung dan terlegitimasi dari karyawan kepada
dewan direksi. Jalur langsung ke dewan direksi akan
mendorong whistleblowing yang efektif karena
menghindari adanya pemblokiran dan penyaringan
informasi oleh eksekutif perusahaan (Moberly,
2006).
Menurut path-goal theory, tugas pimpinan adalah
membantu pengikutnya mencapai tujuan dan
mengarahkan atau memberikan dukungan sesuai
kebutuhan untuk memastikan bahwa tujuan
mereka sejalan dengan tujuan kelompok atau
organisasi. Istilah jalur dalam teori ini berasal dari
keyakinan bahwa pemimpin yang efektif akan
menjelaskan sebuah jalur (path) untuk membantu
pengikutnya melangkah dari posisi mereka
sekarang menuju pada tujuan kerja yang ingin
mereka capai dan membuat perjalanan sepanjang
jalur tersebut lebih mudah dengan berkurangnya
hambatan-hambatan yang ada.
Namun pada kenyataannya structural model ini
tidak efektif untuk mendorong whitleblowing karena
individu akan takut dengan adanya retaliasi yang
mungkin akan diterima bila melaporkan wrongdoing.
Menurut teori motivasi Maslow’s hierarchy of need
theory, salah satu kebutuhan manusia adalah
kebutuhan keamanan (safety needs). Safety needs
mengacu pada kebutuhan seseorang akan
keamanan dan perlindungan dari kejahatan fisik
dan emosional, serta jaminan bahwa kebutuhan
fisik harus terpenuhi. Oleh karena itu, adanya jalur
pelaporan anonymous akan memenuhi salah satu
kebutuhan individu akan rasa aman.Olehkarena itu
perlu diciptakan jalur pelaporan dimana karyawan
dapat melaporkan wrongdoing tanpa rasa takut.
Sarbanes-Oxley mesyaratkan penyediaan jalur
pelaporan anonymous yang akan mendorong
karyawan memberikan informasi tanpa ada rasa
takut. Dengan adanya jalur pelaporan secara anonymous maka individu akan lebih nyaman dan aman
karena identitas mereka terlindungi.
Menurut Kaplan et al. (2009) keefektifan jalur
pelaporan secara anonymous tergantung pada (1)
tingkat dimana karyawan menemukan kecurangan
atau petunjuk-petunjuk kecurangan (2) keinginan
karyawan untuk melaporkan temuanya ke penerima
yang tepat. Menurut mereka jalur pelaporan secara
anonymous mungkin akan menjadi sebuah
mekanisme yang paling efektif untuk mendeteksi
lebih dini kecurangan dibanding yang lainya dan
mungkin secara potensial membantu untuk
mencegah atau membatasi kecurangan dimasa yang
akan datang. Dalam penelitian Kaplan et al. (2009)
tersebut, structural model yang diajukan untuk
melaporkan dibagi menjadi dua pelaporan, melalui
hotline yang disediakan secara internal perusahaan
dengan tingkat kemanan procedural yang lemah
dan jalur eksternal, melalui pihak ketiga di luar
perusahaan dengan kemanan prosedural yang kuat.
Kedua jalur yang disediakan tersebut bersifat
anonymous. Sampel yang digunakan dalam studi
eksperimen penelitian tersebut adalah mahasiswa
pascasarjana. Hasilnya menunjukkan bahwa niat
responden untuk melaporkan tindakan kecurangan
lebih besar melalui jalur pelaporan yang disediakan
secara internal.
Seifert et al. (2010) juga menguji keefektifan jalur
pelaporan anonymous dalam kondisi structural model.
Fokus penelitian mereka terletak pada kebijakan
perusahaan dan perilaku manajemen yang
mungkin akan mempengaruhi keputusan karyawan
untuk mengungkap kecurangan laporan keuangan.
Penelitian yang mereka lakukan memasukkan teori
keadilan prosedural untuk mendesain kebijakan
dan prosedur whistle-blowing.
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
46
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
H1: Dibawah structural model, individu akan
cenderung menggunakan jalur pelaporan anonymous
dibanding non-anonumous dalam melaporkan tindakan wrongdoing.
WHISTLEBLOWING DAN RELIGIUSITAS
Intervensi etis mengacu pada pendidikan dan
pelatihan pada mahasiswa dalam area etika (Burks
dan Sellani, 2005). Berdasarkan pemahaman
tersebut maka bisa diasumsikan secara logis bahwa
pendididkan etis akan meningkatkan prilaku
moral. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa ada korelasi antara intervensi etis dengan
pengembangan moral Rest, 1986; Hiltebeitel dan
Jones, 1991, 1992; Glenn, 1992; Armstrong, 1993;
Green dan Weber, 1997; Eynon et al., 1997;
Bonawitz, 2002). Namun, tidak sedikit pula
penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada
korelasi antara intervensi etis dengan prilaku moral
individu (e.g., Fulmer and Cargile, 1987; St. Pierre,
Nelson, dan Gabbin, 1990; Shaub, 1994; Ponemon,
1993; McCarthy, 1997; Porco, 2003; Loescher,
2004;).
Dalam area religiusitas, hubungan yang terikait
dengan peningkatan moral menjadi perdebatan
antar ahli agama. Sementara orang melihat bahwa
perbaikan moral dan religiusitas sebagai hubungan
yang terikat, namun ada beberapa yang menyatakan
bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang
terpisah. Mereka manganggap bahwa etika itu
terpisah dari konsep religiusitas (Burks dan Sellani,
2005).
Bruks dan Sellani (2005) menyatakan bahwa
religiusitas dapat dipisahkan menjadi dua kategori:
religious affiliation dan religious commitement. Religious
affiliation mengacu pada konsep bahwa orang-orang
itu merupakah anggota dari sebuah lembaga atau
afiliasi sebuah kelompok agama tertentu. Religious
affiliation bisa berupa tempat ibadah, universitas
atau lembaga-lembaga lain. Sedangkan religious
commitment mengacu pada usaha untuk mengukur
tingkat religiousitas dari komitmen individu
terhadap kepercayaan religi atau gaya hidup
religinya.h pada organisasi religius dan dapat
diukur dalam hal kedatangan ke gereja/masjid,
amal (zakat) yang diberikan, serta ketelibatanya
dalam aktiitas keagamaan.
Penelitian hubungan religious affiliation dengan
perbaikan moral yang berupa universitas telah
dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu.
Hasilnyapun menunjukkan keanekaragaman,
penelitian Pascarella dan Terenzini (1991),
Wimalasiri et al. (1996) dan Porco (2003)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara religiousitas affiliation yang berupa
universitas dengan perbaikan moral mahasiswa.
Sedangkan tidak adanya hubungan antara universitas yang merupakan religious affiliation dengan
perbaikan moral mahasiswanya dibuktikan oleh
Kennedy dan Lawton (1998), Koeplin (1998), dan
Conroy dan Emerson (2004). Rashid dan Ibrahim
(2008) juga menyatakan bahwa dimensi
keprilakuan diketahui sebagai sebuah ketaatan yang
dapat diiterpretasikan sebagai prilaku yang dapat
dilihat terhadap organisasi religius dan dapat
diukur terkait dengan kedatangan ke masjid/gereja
atau kuil, uang yang disedekahkan, dan
keterlibatan dalam aktivitas.
Dalam penelitiaan ini akan menguji kembali
apakah partisipan dari sebuah universitas berafiliasi
agama dengan partisipan dari universitas nonagama memiliki perbedaan niat melaporkan
tindakan wrongdoing yang terjadi dalam sebuah
perusahaan.
H2: Niat individu untuk melaporkan tindakan
wrongdoing baik melalui jalur anonymous maupun
non-anonymous akan berbeda antara universitas yang
berafiliasi dengan agama dengan univeritas yang nonagama.
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
47
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
METODE PENELITIAN
nama orang dalam kasus dengan nama orang
Indonesia, penu-lisan dan layout.
DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan eksperimen 2x2
between subjects. Eksperimen dirancang
menggunakan dua perlakuan yaitu: kondisi structural model melalui jalur anonymous dan non-anonymous (lihat desain eksperimen pada Tabel 1).
Digunakannya metode eksperimen dikarenakan
tingkat validitas internal yang tinggi pada metode
ini. Pemilihan desain between subjects ditujukan
untuk menghindari risiko adanya efek latihan dan
efek carryover dalam eksperimen. Hal ini
dikarenakan dalam desain between subjects tiap
subjek hanya akan mendapatkan satu manipulasi
saja (Harsha dan Knapp, 1990).
PARTISIPAN
Partisipan adalah mahasiswa akuntansi dari
sebuah universitas negeri dan sebuah universitas
swasta yang berafiliasi dengan agama yang ada di
Yogyakarta. Mahasiswa yang digunakan adalah
mereka yang sudah atau sedang mengambil
matakuliah akuntansi manajemen adalah mereka
lebih memahami perananya dalam posisi
mengobservasi, berpartisipasi atau memiliki
pengetahuan tentang kecurangan dalam laporan
keuangan serta mengalami ethical conflict situation
(Loeb dan Cory, 1989; Seifert et al., 2010). Dalam
eksperimen tersebut, partisipan akan berperan
sebagai akuntan senior dalam perusahaan. Sebagai
akuntan senior suatu perusahaan, apakah
partisipan akan melaporkan tindak kecuangan yang
dilakukan oleh CFO perusahaan. Kecurangan yang
dilakukan CFO ditujukan untuk mencapai earning
forcast pada kuartal tersebut.
Pilot test dilakukan pada 37 mahasiswa
pascasarjana sebuah universitas negeri di
Yogyakarta secara serentak di dalam dua kelas. Dari
hasil pilot test beberapa masukan diperoleh peneliti.
Seperti cara pelaksanaan eksperimen, penggantian
TABEL 1.DESAIN EKSPERIMEN
Eksperimen dalam penelitian ini dilaksa-nakan
dua kali yaitu pertama dilakukan di universitas nonaffiliation dan yang ke dua di universitas religiousaffiliation.
UKURAN OPERASIONAL VARIABEL
Whistleblowing intention
Whistleblowing dalam penelitian ini mengacu
pada niat individu sebagai karyawan organisasi
untuk melaporkan wrongdoing yang diakukan oleh
individual atau korporasi ke sumber internal
organisasi.
Niat (INT) individu untuk melaporkan tindakan
kecurangan berfungsi sebagai variabel dependen.
Variabel dependen dalam penelitian ini diukur
dengan menggunakan self assessment. Partisipan
diminta untuk menilai niat mereka melaporkan
tindak kecurangan yang dilakukan oleh CFO pada
nine-point likert scale.Instrumen yang digunakan
adalah instrumen yang sudah pernah digunakan
oleh Seifert (2006) dan Seifert et al. (2010).
Anonymous dan Non-anonymous
Jalur pelaporan anonymous adalah jalur
pelaporan dimana identitas pelapor
wrongdoingakandirahasiakan. Sedangakan jalur
pelaporan non-anonymous adalah jalur pelaporan
yang memungkinkan diketahuinya identitas
pelapor wrongdoing.
Jalur pelaporan anonymous (ANONYM) dan non
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
48
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
anonymous (NON-ANONYM) dimanipulasi dengan
mencantumkan pernyataan terkait jalur
pelaporanya. Manipulasi ini diadopsi dari
penelitian Ayers dan Kaplan (2005), Kaplan et al.
(2009) dan Seifert et al. (2010).
pendistribusian kasus eksperimen dan pengawasan
pelaksanaan agar partisipan tidak bekerjasama.
Kemudian partisipan diminta untuk mengisi
lembar persetujuan partisipan dan daftar presensi.
Langkah kedua, kasus eksperimen yang berada
dalam amplop tertutup dibagikan untuk tiap-tiap
Structural model
group oleh masing-masing instruktur. Setelah
Structural model (STRM) adalah suatu mekanisme amplop terdistribusi seluruhnya, maka langkah
yang menyediakan jalur pelaporan yang sah dari
ketiga adalah mengerjakan kasus eksperimem.
karyawan langsung ke dewan direksi. Structural
Dalam kasus tersebut, partisipan berperan
model didasarkan atas asumsi bahwa perusahaan
sebagai akuntan senior yang bekerja di perusahaan
membangun jalur internal yang visibel, bersungguh- yang telah go public yang bergerak dibidang
sungguh dan formal dalam mengungkap wrongdoing. pengembangan, perizinan, dan pengiklanan onJalur langsung ke dewan direksi akan mendorong
screen television guide technology. Melalui teknologi ini
whistle-blowing yang efektif karena menghindari
pelanggan bisa memilih berbagai macam program
adanya pemblokiran dan penyaringan informasi
televisi.Perusahaan memperoleh pendapatan dari
oleh eksekutif perusahaan.
lisensi atas teknologi tersebut yang diberikan
kepada pihak ketiga dan penjualan iklan yang
Religiusitas
ditampilkan di layar panduan.Industri media
Religiusitas dalam penelitian ini mengacu pada
berkembang dengan pesat dan keuangan
religious affiliation, yaitu bahwa orang-orang tersebut perusahaan sangat baik. Pendapatan kotor rata-rata
merupakan anggota dari suatu lembaga atau
per kuartal yang diperoleh perusahaan sebesar Rp
kelompok agama tertentu (Bruks dan Sellani,
2.000.000.000. Sigit adalah akuntan senior yang
2005). Dimensi keprilakuan dianggap sebagai
bertanggung jawab terhadap manajer akuntansi dan
ketaatan terhadap organisasi religius yang dapat
manajer akuntansi bertanggung jawab terhadap
diukur dengan keterlibatannya dalam aktivitas
CFO. Pekerjaan Sigit termasuk mencatat
dalam suatu lembaga berafiliasi dengan agama.
pendapatan yang diperoleh dari kontrak lisensi
tesebut.
Prosedur Penugasan
Niat melakukan whistleblowing diukur dengan
menggunakan sebuah kasus yang telah banyak
dipakai oleh peneliti terdahulu seperti Seifert
(2006), Kaplan (2009) dan Seifert et al. (2010).
Proses eksperimen dimulai dengan membacakan
instruksi eksperimen terkait dengan ketentuanketentuan pelaksanaan eksperimen. Langkah
pertama partisipan dibagi menjadi group-group,
masing-masing group terdiri dari 10 partisipan dan
diawasi oleh 1 orang instruktur eksperiman. Group
ini dibuat bertujuan untuk memudahkan
PENGUJIAN HIPOTESIS
Penelitian ini menggunakan alat ujiAnalysis of
Variance (ANOVA). ANOVA adalah prosedur
pengolahan data yang dilakukan untuk menguji
perbedaan nilai rata-rata beberapa group (lebih dari
dua). Dalam penelitian ini ANOVA akan
digunakatabeln untuk membandingkan
kecenderungan individu untuk melakukan
whistleblowing bila kasus wrongdoing material atau
immaterial, melalui jalur anonymous apabila berada
dalam kondisi structural model dan kecenderungan
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
49
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
menggunakan jalur non-anonymous bila berada
dalam kondisi reward model.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KARAKTERISTIK PARTISISPAN
Jumlah partisipan yang lolos manipulation check
sebanyak 29 orang dari 87 partisipan. Untuk
melihat apakah ada pengaruh antara variabel
demografi terhadap variabel dependen, maka data
demografi dari partisipan yang lolos tersebut
kemudian diuji terlebih dulu. Sedangkan tabel 2
menunjukkan karakteristik partisipan yang lolos
dalam penelitian ini.
UNIV= NON-AFF) dan group 2 (CHANNEL=
NON-ANONYM, UNIV= NON-AFF) signifikan.
Artinya bahwa ada perbedaan niat individu untuk
melaporkan kasus kecurangan melalui jalur
pelaporan non-anonymous. Individu lebih cenderung
menggunakan jalur anonymous.
TABEL 2. HASIL UJI ANOVA
HASIL DAN INTERPRETASI MAIN EFFECT
Pengaruh utama dari variabel channel (CHANNEL) terhadap niat (INT) melakukan whistleblowing
signifikan, dengan nilai F=10,089 dan probabilitas
sebesar 0,004 yaitu bawah tingkat signifikansi 0,05
(Tabel 3). Sedangkan apabila dilihat dari rataratanya, anonymous channel memiliki rata-rata
sebesar 8,143 dan non-anonymous channel sebesar
6,800. Rata-rata keduanya memiliki perbedaan yang
signifikan dengan tingkat signifikansi 0,004.
Pengaruh utama dari variabel university (UNIV)
terhadap niat (INT) melakukan whistleblowing tidak
signifikan, dengan nilai F=0,050 dan probabilitas
sebesar 0,824 yaitu diatas tingkat signifikansi 0,05
(Tabel 3).
TABEL 3. HASIL UJI ANOVA, MEANS (SD) DAN PERBANDINGAN ANTAR SEL
HASIL DAN INTERPRETASI UJI INTERAKSI
Dalam sub bab ini akan disajikan hasil uji
hubungan interaksi antar variabel dalam desain
eksperimen 2x2 between subject seperti yang telah
didesain pada Tabel 1. Hasil analisis untuk melihat
interaksi antar variabel dapat dilihat pada panel A
dan B Panel C di Tabel 3. Uji Post Hoc yang
dilakukan hasilnya diringkas pada Tabel 3 Panel C.
Hasil Pos Hoc tersebut menunjukkan bahwa Mean
difference antara group 1 (CHANNEL= ANONYM,
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
50
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
Dari poin a ditunjukkan bahwa hipotesis
pertama diterima, yaitu dalam kondisi structural
model jalur pelaporan anonymous lebih efektif
dibanding jalur non-anonymous. Namun apabila
dilihat dari poin b organisasi yang berafiliasi
dengan agama, tidak ada perbedaan niat individu
melaporkan tindakan wrongdoing hal dalam
menggunakan jalur pelaporan. Yang artinya bahwa
jalur pelaporan tidak mempengaruhi niat mereka
melaporkan tindakan wrongdoing.
Mean difference antara group 1 (CHANNEL=
ANONYM, UNIV= NON-AFF) dan goup 3
(CHANNEL= ANONYM, UNIV= RELIGIOUS
AFF) tidak signifikan. Artinya bahwa bahwa niat
individu melaporkan kecurangan melalui jalur
anonymous tidak berbeda antara mereka yang berada
di lembaga yang berafiliasi agama dan non agama.
Mean difference antara goup 2 (CHANNEL= NONANONYM, UNIV= NON-AFF) dan goup 4
(CHANNEL= NON-ANONYM, UNIV= RELIGIOUS AFF) tidak signifikan. Artinya bahwa niat
individu melaporkan kecurangan melalui jalur nonanonymous tidak berbeda antara mereka yang berada
di lembaga yang berafiliasi agama dan non agama.
Dari poin c dan d bisa disimpulkan bahwa tidak
ada perbedaan niat melaporkan tindakan wrongdoing antara individu yang berada dalam lembaga
berafiliasi agama dengan individu yang berada di
lembaga yang non-afiliasi. Namun, apabila dilihat
dari mean antara group 2 dan 4 ternyata group 4
rata-ratanya lebih besar dibanding group 2. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalam kondisi non-anonymous, partisipan dari universitas religious affiliation
lebih besar kecenderungan melaporkan dibanding
universitas non-afiliasi. Walaupun secara statistik
perbedaanya tidak signifikan.
SIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
pengaruh religiusitas dan jalur pelaporan untuk
mendorong individu melaprkan wrongdoing. Dari
hasil penelitian menunjukkan bukti bahwa
keefektifan jalur pelaporan anonymous untuk
melaporkan wrongdoing di bawah kondisi structural
model ternyata terbukti. Walaupun hasil
menunjukkan bahwa hanya universitas yang nonaffiliasi dengan agama yang bisa membuktikan
hipotesis ini. Tingkat religiusitas dalam penelitian
ini tidak berpengaruh terhadap niat individu
melaporkan wrongdoing. Semua partisipan baik yang
berasal dari universitas non-afiliasi maupun afiliasai
dengan agama memiliki kecenderungan yang sama
untuk melaporkan tindakan wrongdoing.
Analisis tambahan menunjukkan bahwa adanya
jalur pelaporan anonymous maupun non-anonymous,
tidak membedakan niat individu yang berada
dalam organisasi yang berafiliasi dengan agama
untuk melaporkan tindakan wrongdoing. Hasil
penelitian di atas yang tidak mengkonfirmasi
penelitian terdahulu kemungkinan disebabkan oleh
faktor bahwa partisipan yang masih mahasiswa
merasa bahwa wrongdoing merupakan suatu
tindakan yang tidak etis walaupun angkanya tidak
material dan harus dilaporkan. Seperti temuan
Finn dan Lampe (1992) yang menyatakan bahwa
mahasiswa akuntansi sangat mendukung
whistleblowing sebagai perilaku tidak etis dibanding
partisipan yang berprofesi sebagai auditor. Temuan
mereka sejalan dengan Elias (2008) yang
menyatakan bahwa mahasiswa secara umum merasa
bahwa whistleblowing penting untuk dilakukan
karena berhubungan dengan kecurangan.
Implikasi penelitian ini adalah saran bagi
manajemen puncak dalam sebuah organisasi ketika
akan menentukan kebijakan untuk mendorong
karyawanya mengungkap wrongdoing dari sebuah
laporan keuangan. Sebagai bahan perbaikan atas
keterbatasan dalam penelitian ini, berikut beberapa
saran yang dapat dilakukan dalam penelitian
selanjutnya.
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
51
VOL. 17 NO.1 JANUARI 2016
Penelitian selanjutnya sebaiknya menguji
pengaruh materialitas dari besarnya reward yang
akan diberikan oleh perusahaan apabila individu
melakukan whistleblowing. Apakah dengan tingkat
materialitas yang berbeda, niat individu melakukan
whistle-blowing juga berbeda. Xu dan Ziegenfuss
(2008) dalam future research mengajukan pertanyaan
mengenai insentif apa yang paling efektif untuk
mendorong individu melakukan whistleblowing dan
sebesar apa insentif itu seharusnya. Selain itu,
penelitian selanjutnya bisa dikaji lebih jauh apakah
ada pengaruh religiusitas terhadap niat seseorang
melakukan whistleblowing. Penelitian ini telah
menggunakan sampel dari universitas swasta yang
berbasis agama dan universitas negeri non-agama.
Oleh karena itu penelitian selanjutnya sebaiknya
yang diteliti bukan religiusitas dari organisasi
tempat dimana individu berada tetapi religiusitas
dari individu (religious commitment) dengan
menggunakan instrumen yang terkait dengan
religiusitas.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, R.N., and Govindarajan, V. 2003. Management Control
System, 11th edition. Boston: McGraw Hill.
Arnold, D., dan Ponemon, L. (1991). Internal auditors perceptions of
whistle-blowingand the influence of moral reasoning: An
experiment.Auditing: A Journal of Practice and Theory, 10, 1-15.
Ayers, S., dan Kaplan, S.E. 2005. Wrongdoing by consultants: An
examination of employees’ reporting intentions. Journal of
Business Ethics, 57 (2), 121-137.
Brennan, N., dan Kelly, J. 2007. A Study Of Whistleblowing Among
Trainee Auditors. The British Accounting Review, 39, 61-87.
Bromley, D.G. 1998. Linking Social Structure and the Exit Process
in Religious Organizations: Defectors, Whistle-blowers, and
Apostates. Journal for the Scientific Study of Religion, 37 (1), 145160.
Chiasson, M., Johnson, G.H., dan Byington, J,R. 1995. Blowing The
Whistle: Accountans in Industry. The CPA Journal, 65 (2), 24.
Daft, R. L. 1998. Organizational Theory and Design.6th edition.SouthWestern Publishing, Cincinnati.
Dworkin, T. 2007. SOX and whistleblowing. Michigan Law Review,
1757–1780.
Dyck, A., Morse, A., dan Zingales, L. 2007. Who blows the whistle
oncorporate fraud? CEPR discussion paper no. DP6126, SSRN.
.
Elias, R. 2008. Auditing Students’ Professional Commitment and
Anticipatory Socialization and Their Relationship to Whistleblowing.
Managerial Auditing Journal, 23 (3), 283-294.
Elliston, F.A. 1982. Anonymity and Whistleblowing. Journal of Business
Ethics, 1 (3), 167-177.
Elliston, F.A. dan Coulson, R. 1982. Anonymous Whistleblowing: An
Ethical Analysis. Business and Professional Ethics Journal, 1 (2),
39-60.
Eynon, G., Hill, N. dan Stevens, K. (1997). Factors that Influence the
Moral Reasoning Abilities of Accountants: Implications for
Universities and the Profession. Journal of Business Ethics, 16 (12/
13), 1297-1309.
Farrell, D. dan J. C. Petersen: 1982, ‘Patterns of Political Behavior in
Organiza-tions’, Academy of Management Review,7, 402-412.
Financial Accounting Standard Board. 1981. Qualitative Characteristics
of accounting information (Statement of Financial Accounting
Concepts No.2.
Finn, D. W. and J. C. Lampe. 1992. A study of whistleblowing among
auditors. Professional Ethics, 1, 137-168.
Glenn, J. (1992). Can a Business and Society Course Affect the Ethical
Judgment of Future Managers?. Journal of Business Ethics, 11 (3),
217-223
Harsha, P. D. dan M. C. Knapp. (1990). The Use of Within and Between
Subjects Experimental Designs in Behavioral Accounting Research: A Methodo-logical Note. Behavioral Research in Accounting, 2, 50-62.
Hick, E.L. (1964).Materiality.Journal Of Accounting Research. 2 (2),
158-171.
Hooks, K. L., Kaplan, S.E., dan J. J. Schultz, Jr. 1994. Enhancing
communication to assist in fraudprevention and detection.Auditing:
A Journal of Practice dan Theory, 13 (Fall), 86-117.
Hoque, Z. 2003. Strategic Management Accounting: Concept, Process
and Issues. Prentice Hall.
Hiltebeitel, K. dan Jones, S. (1991). Initial Evidence on the Impact of
Integrating Ethics into Accounting Education. Issues in Accounting
Education, 6 (2), 262-275.
Kaplan, S., dan J. J. Schultz. 2007. Intentions To Report Questionable
Acts: An Examination of the Influenceof Anonymous Reporting
Channel, Internal Audit Quality, And Setting. Journal of Business
Ethic, l71 (2), 109-124.
Kaplan, S., Pany, K., Samuels, J., dan Zhang, J. 2009. An examination
of theeffects of procedural safeguards on intentions to anonymously reportfraud.Auditing: A Journal of Practice and Theory, 28.,
273-288.
Kaplan, S., Pany, K., Samuels, J., dan Zhang, J. 2008. An Examination
of the AssociationBetween Gender and Reporting Intentionsfor
Fraudulent Financial Reporting. Journal of Business Ethics, 87, 1530.
King, G. 1999. The Implications of anOrganization’s Structureon
Whistle-blowing. Journal of Business Ethics, 20, 315-326.
Liyanarachchi, C. danNewdick, C. 2009.The Impact of Moral
Reasoningand Retaliation on Whistle-Blowing:New Zealand
Evidence. Journal of Business Ethics, 89, 37–57.
Loeb. S.E dan Cory S.N. (1989). Whistle Blowing and Management
Accoun-ting: An Approach. Journal of Business Ethics, 8 (1), 903916.
Mismer-Magnus, F.R., dan Viswesvaran, C. 2005. Whisleblowing in
Organi-zation: An Examination of Correlates of Whistleblowing
Intention, Action, and Retaliation. Jounal of Business Ethics, 62,
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52
52
JURNAL AKUNTANSI & INVESTASI
277-297.
Moberly, R. 2006. Sarbanes-Oxley’s Structural Model To Encourage
Corporate Whistleblowers. Brigham Young University Law Review,
1107, 1180.
Near, J. P., dan M. P. Miceli. 1985. Organizational Dissidence: The Case
of Whistle-Blowing. Journal of Business Ethics, 4 (1), 1-6.
Near, J. P., dan M. P. Miceli. 1995. Effective Whistleblowing. Academy of
Mana-gement Review, 20 (3), 679-708.
Ponemon, L. 1994. A Comment On ‘‘Whistle-Blowing’’ As An Internal
Control Mechanism: IndividualAnd Organizational Considerations.
Audi-ting: A Journal of Practice and Theory (Fall), 118-130.
Schultz, J., Jr., Johnson, D. A., Morris, D., dan Dyrnes, S. 1993.
Aninvestigation Of The Reporting Of Questionable Acts In
Aninternational Setting. Journal of Accounting Research, 31, 75103.
Schultz, J.J dan K. L. Hooks. 1998. The Effect Of Relationship And
Reward On Reports Of Wrongdoing. Auditing: A Journal of Practice
and Theory, 177. (2), 15-35.
Seifert, D.L,Sweeney, J. T., Joireman, J, dan Thornton, J,M. 2010. The
influence of organizational justice on accoun-tant whistleblowing.
Accounting, Organization, and Society, 35, 707-717.
Seifert, D.L. 2006.The Influence Of Organizational Justice On The
PerceivedLikelihood Of Whistle-Blowing. Dissertation.Washington
State University.
Shawver, Tara (2008). What Accounting Student Think about
Whistleblowing. Management Accounting Quarterly, 9 (4), 117-133.
Taylor, E.Z., dan Curtis, M.B. 2009. An Examination of the Layersof
Workplace Influences in Ethical Judgments: Whistleblowing Likelihood and Perseverance in Public Accounting.Journal of Business
Ethics, 93, 21-37.
Xu, Y., dan Ziegenfuss, D. 2008. Reward Systems, Moral Reasoning,
Andinternal Auditors’ Reporting Wrongdoing. Journal of Business
Psychology, 22, 323–331.
DOI: 10.18196/jai.2016.0043. 22 - 52