Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks Cinta: antara pengorbanan dan perpisahan (kebertahanan perempuan korban kekerasan dalam perspektif kelekatan bowlby) T2 832013016 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
Pada setiap penelitian, penyusunan latar belakang permasalahan
dari sebuah fenomena yang hendak dikaji merupakan dasar dan langkah
awal dari serangkaian proses penelitian yang dilakukan. Bab I berikut ini
menjelaskan tentang fenomena kebertahanan perempuan korban kekerasan
dalam pacaran yang dikaji dengan teori kelekatan Bowlby untuk melihat
dinamika pola kelekatan yang terjalin diantara korban dan orang tua di
masa lampau dengan korban dan pacar di masa kini yang membuat korban
bertahan dalam lingkaran kekerasan.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Anggapan tradisional tentang ‘perempuan sebagai kaum
subordinat’ yang meletakkan kedudukan perempuan di bawah laki-laki,
dewasa ini semakin diperkuat dengan frekuensi kemunculan kasus
kekerasan terhadap perempuan oleh kaum laki-laki yang meningkat pesat.
Berdasarkan survei menyeluruh yang dilakukan oleh WHO (2013),
kawasan Asia Tenggara menempati persentase tingkat kekerasan terhadap
perempuan (KTP) yang paling tinggi, yakni sebesar 37,7%, disusul oleh
wilayah Mediteranian Timur sebesar 37% dan wilayah Afrika sebesar
36,6%. Data wilayah Asia Tenggara tersebut dikumpulkan
dari Bangladesh, Timor-Leste, India, Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand.
Meskipun Indonesia tidak menjadi sampel dalam proses pengumpulan
data kekerasan wilayah Asia Tenggara yang dilakukan oleh WHO, namun
sebuah survei global yang dilakukan terlebih dahulu oleh Thomson
Reuters Foundation pada tahun 2012 terhadap 63 negara, menunjukkan
bahwa Indonesia merupakan negara terburuk ketiga bagi perempuan
setelah India dan Arab Saudi. Hal tersebut dikarenakan hampir setiap hari
ada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Tindak pemerkosaan
adalah bentuk kasus kekerasan yang paling sering terjadi selain pelecehan
seksual, penyiksaan dan eksploitasi seksual, serta perdagangan seks
(Baldwin, 2012).
Pernyataan bahwa Indonesia dianggap sebagai negara terburuk
ketiga untuk disinggahi perempuan turut didukung oleh data nasional yang
dihimpun oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Komnas
Perempuan mencatat, pada tahun 2011 ada 119.107 kasus KTP (Komnas
Perempuan, 2012). Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2012 menjadi
216.156 kasus (Komnas Perempuan, 2013). Pada 2013, kasus kekerasan
kembali meningkat menjadi 279.688 kasus (Komnas Perempuan, 2014).
Dalam kurun waktu tiga tahun telah terjadi peningkatan tajam pada jumlah
kasus KTP. Kenaikan jumlah kasus ini tidak hanya terjadi pada tiga tahun
terakhir. Sebelumnya, Komnas Perempuan melaporkan kenaikan yang
sama terjadi sejak tahun 2002. Berdasarkan jumlah tersebut, terlihat bahwa
ada peningkatan yang cukup besar pada jumlah kasus KTP. Jumlah kasus
kekerasan yang terjadi pada tahun 2012 meningkat tajam sekitar 80% dari
tahun 2011, pada tahun 2013 meningkat sebesar +30% dari tahun 2012,
dan jika diakumulasi dari tahun 2011-2013 telah terjadi peningkatan
jumlah kasus kekerasan sebesar 135%.
Gambar 1.1 Jumlah kasus KTP tahun 2001-2013 (Komnas Perempuan, 2014)
Hasil laporan dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas
Perempuan (2014) menunjukkan bahwa pada tahun 2013, dari total
279.688 kasus yang terhimpun, sebanyak 263.285 kasus atau 94% data
tersebut bersumber dari data kasus yang ditangani oleh Pengadilan Agama
(PA), dan sisanya sebanyak 16.403 kasus atau 6% data yang lain berasal
dari data kasus yang ditangani oleh lembaga-lembaga mitra pengada
layanan yang merespon dengan mengembalikan formulir pendataan.
Kemudian dari 263.285 data kasus yang diambil dari PA, keseluruhannya
tercatat sebagai kekerasan yang terjadi di ranah personal, sedangkan dari
16.403 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan
yang terjadi di ranah personal tercatat ada 11.719 kasus atau 71%. Kasus
kekerasan dalam ranah personal berarti pelakunya adalah orang yang
memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan,
perkawinan (suami), maupun relasi intim (pacaran) dengan korban
(Komnas Perempuan, 2014).
Diantara berbagai jenis kekerasan yang terjadi dalam ranah
personal, kekerasan dalam relasi pacaran perlu disoroti karena adanya
indikasi kontinuitas tindak kekerasan dari masa pacaran ke ranah domestik
atau rumah tangga. Berdasarkan laporan yang tercatat dalam Komnas
Perempuan (2013), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menduduki
tempat terbanyak sebesar 7.548 kasus dan kekerasan dalam pacaran (KDP)
sebayak 2.507 kasus. Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
terus menjadi sorotan kepedulian masyarakat, namun tidak banyak
masyarakat menyadari bahwa kekerasan domestik yang terjadi dalam
rumah tangga sebetulnya dapat diprediksi melalui tendensi kekerasan yang
muncul pada masa pacaran. Berdasarkan data yang diperoleh dari National
Coalition Against Domestic Violence (2014), sebanyak 1,3 juta perempuan
diperkirakan menjadi korban kekerasan fisik oleh pasangan di masa
pacaran setiap tahunnya dan sebanyak 325.000 perempuan diantaranya
cenderung mengalami kekerasan dalam kehidupan rumah tangga
sepanjang hidupnya. Selain itu, Sri Nurherwati (2013) selaku Ketua SubKomisi Pemulihan dari Komnas Perempuan menyatakan bahwa 75%
kekerasan pada perempuan yang terjadi setelah menikah bisa berawal dari
kekerasan yang diterima pada masa pacaran.
Namun demikian, kasus kekerasan dalam pacaran kurang
mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Menurut laporan yang
diproses di Bagian Pengaduan Masyarakat pada Biro Hukum dan Humas
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2011),
kasus KDRT merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan masyarakat
dengan persentase 31,29%, menyusul kasus seksualitas sebesar 9,54%,
trafficking sebanyak 3,05%, perceraian sebesar 6,87%, kekerasan terhadap
anak 7,63%, kekerasan terhadap TKI sejumlah 6,49%, kekerasan dalam
pekerjaan 3,05%, kasus perebutan hak asuh anak sebesar 1,53%, keberatan
atas hukum sebesar 3,82%, permohonan untuk perlindungan hukum
sebanyak 7,63%, penelantaran ekonomi sejumlah 5,34%, perkara hutangpiutang 1,53%, konflik SDA sebesar 2,29%, kasus kriminalitas 0,76,
sengketa tanah sebesar 1,91%, sedangkan kasus kekerasan dalam pacaran
ialah kasus yang paling sedikit diadukan dengan persentase 0,38%. Data
tersebut menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam pacaran masih
sedikit terjadi di masyarakat.
Jika dicermati, ada kesenjangan yang signifikan antara data yang
muncul melalui jumlah kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan
masyarakat langsung ke Kementrian Pemberdayaan Perempuan (2011)
dengan data yang diperoleh dari hasil survei dalam Catatan Tahunan
Komnas Perempuan (2012; 2013; 2014). Kesenjangan tersebut terlihat
jelas dari angka kekerasan dalam pacaran yang sangat rendah dilaporkan
oleh masyarakat dibandingkan dengan data Komnas Perempuan yang
mencatat angka yang sangat tinggi pada kasus kekerasan dalam pacaran.
Melalui kesenjangan ini, penulis melihat bahwa fenomena kekerasan
dalam pacaran ini seperti gunung es yang hanya muncul sedikit di
permukaan, namun 2/3 bagian gunung tersebut tersembunyi di dalam
lautan sehingga tidak bisa diduga besarnya gunung tersebut. Peneliti
menangkap bahwa ada keengganan dari korban kekerasan dalam pacaran
atau orang di sekitar korban untuk melaporkan kasus tersebut ke lembaga
terkait sehingga angka yang diproses dalam Kementrian Pemberdayaan
Perempuan sangat rendah yakni 0,38% dan berbanding terbalik dengan
hasil survei yang dilakukan oleh lembaga terkait lainnya, yakni mencapai
angka tertinggi sebesar 26%.
Fenomena kekerasan dalam pacaran ialah persoalan yang sangat
serius. Terdapat berbagai konsekuensi negatif yang berkepanjangan dari
fenomena tersebut, seperti terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan
(KTD), tindakan aborsi, atau pernikahan usia dini. Ada pula dampak psikis
dan sosial yang muncul seperti stres, depresi, cemas berlebih, sulit
konsentrasi, sulit tidur, memiliki harga diri yang rendah (Safitri, 2013). Di
Indonesia, diperkirakan ada 1 juta remaja yang mengalami kehamilan di
luar nikah, sedangkan di seluruh dunia diperkirakan 15 juta remaja setiap
tahunnya hamil, 60% di antaranya hamil di luar nikah (Hidayat dalam
Tinceuli, 2010). Laporan dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2011) mengungkapkan bahwa dari 1.189 remaja (berusia 13-19 tahun)
yang belum menikah di daerah Jawa Barat dan 922 remaja di Bali,
ditemukan 7% remaja perempuan di Jawa Barat dan 5% perempuan di
Bali mengakui pernah mengalami kehamilan. Ketua Jaringan Peduli
Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah, Widanti (2011) mengatakan
bahwa jumlah siswi yang hamil akan terus meningkat, tercermin dari
penelitiannya pada sekolah jenjang SMP dan SMA tahun 2010 yang
menunjukkan dalam tiap sekolah rata-rata ditemukan empat hingga tujuh
siswa yang hamil, bahkan pada tahun yang sama kenaikannya mencapai
10% hingga 15%.
Tingkat aborsi yang dilakukan perempuan korban kekerasan
seksual dalam masa pacaran ini juga menunjukkan angka yang
mengkhawatirkan. Parawansa (2000) menyatakan bahwa jumlah aborsi di
Indonesia dilakukan oleh 2 juta orang tiap tahun, dari jumlah itu, 70.000
dilakukan oleh remaja putri yang belum menikah. Aborsi yang biasanya
dilakukan oleh remaja perempuan yang mengalami kehamilan di luar
pernikahan cenderung dilakukan dengan prosedur yang tidak aman dan
dapat menyebabkan pengalaman traumatis dan kematian bagi remaja
tersebut. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun
2007, terdapat 70.000 kematian remaja melakukan aborsi tidak aman
setiap tahun, sementara 4 juta lainnya mengalami kesakitan (Sinaga,
2007). Namun, banyak juga korban yang memutuskan untuk
mempertahankan kehamilannya dan menikah dalam usia yang masih
muda. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2013, persentase
tertinggi perempuan menikah dari usia 15-19 tahun, yaitu 41,9% dari total
jumlah pernikahan di Indonesia disebabkan oleh adanya kehamilan di luar
pernikahan. Pernikahan di usia muda ini juga memiliki konsekuensi yang
panjang, karena pada usia tersebut, kondisi emosional yang dialami remaja
masih meledak-ledak dan dapat berdampak buruk bagi perkembangan
psikis anak (Santrock, 2002). Oleh sebab itu, kasus kekerasan dalam
pacaran ini sangat penting untuk disoroti dan diteliti lebih lanjut agar tidak
menimbulkan konsekuensi negatif yang berkepanjangan bagi kehidupan
korban, keluarga, dan negara.
Penulis telah melakukan wawancara awal pada bulan Februari
hingga Maret 2016 dengan dua orang perempuan korban kekerasan dalam
pacaran di Kota Salatiga, salah satu korban telah hamil di luar nikah.
Korban menjelaskan bahwa dirinya memiliki perasaan cinta dan sayang
terhadap pacar ketika korban melakukan hubungan seksual. Korban
menerangkan bahwa sang pacar berjanji menikahi dirinya suatu saat
setelah mereka melakukan hubungan seksual. Atas dasar ungkapanungkapan korban, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi kekerasan
seksual dalam relasi pacaran tersebut. Sementara itu, penulis juga melihat
adanya indikasi kekerasan fisik dan emosional yang tidak disadari oleh
korban. Sebagian besar korban merasa bahwa kekerasan tersebut adalah
bentuk atau cara mengungkapkan kasih sayang yang berbeda dari orang
lain. Sebaliknya, korban menyalahkan diri mereka yang tidak berhasil
menyenangkan pasangan sehingga kondisi tersebut merupakan hal yang
dianggap wajar jika pasangan menunjukkan kekerasan baik secara fisik
maupun non-fisik. Selain itu, para korban kekerasan menyatakan bahwa
mereka mampu bertahan dalam hubungan tersebut karena anggapan
bahwa dalam mencintai pasangan itu memerlukan suatu pengorbanan.
Berbagai studi terdahulu telah mengaji tentang penyebab
munculnya perilaku kekerasan, diantaranya terkait pembentukan
kepribadian yang berpotensi memicu terjadinya lingkaran kekerasan,
relevansi antara trauma, rasa bersalah, rasa malu dengan potensi
munculnya tindak kekerasan, dan pengaruh mood dalam pembentukan
perilaku kekerasan, hingga keterkaitan antara perilaku kekerasan dengan
pola kelekatan (attachment) dengan orang tua di masa lampau. Mood atau
suasana hati menjadi salah satu kajian yang dikaitkan dengan perilaku
kekerasan. Millon (1981) melihat kedalaman dan keberagaman mood yang
ada dalam diri seorang pelaku kekerasan, yakni: 1) Intense endogenous
moods – kegagalan berulang kali untuk mengelola mood dan kegagalan ini
biasanya ditunjukkan dalam bentuk kemarahan, kecemasan, atau euphoria;
2) Dysregulated activation – energi yang dikeluarkan dalam berbagai
aktivitas tidak stabil dan memiliki pola tidur yang tidak biasa; 3) Selfcondemnatory conscience – adanya pemikiran untuk melukai diri; 4)
Dependency anxiety – menunjukkan keterpisahan yang intens, merasa
ketakutan akan pengasingan dan kehilangan; 5) Cognitive-affective
ambivalence – kesulitan untuk mengekspresikan perasaan seperti rasa
bersalah dan cinta.
Selain mood, ditemukan pula bahwa laki-laki dewasa yang
cenderung melakukan tindak kekerasan pernah menjadi korban kekerasan
pada masa kecil sebagai bentuk ‘trauma’ atas pengalaman tersebut
(Mones, 1991). Melalui penelitian yang dilakukan seorang psikiater, Van
der Kolk (1987) mendeskripsikan reaksi dan pola kekerasan yang dialami
oleh anak yang traumatik. Data yang diperoleh menunjukkan kombinasi
tiga titik trauma yang berpotensi memicu tindak kekerasan, yakni 1) anak
dipermalukan, 2) anak mengalami kekerasan fisik dan emosional dari sang
ayah, 3) adanya pola kelekatan yang tidak aman (insecure) dengan ibu
sebagai sumber dari rasa trauma.
Pada suatu kesempatan, Bowlby (dalam Santrock, 2002)
menjelaskan bahwa konsep kelekatan mengacu pada suatu relasi antara
dua orang, yakni bayi dan orangtua (infant-parent) yang memiliki
perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama
untuk melanjutkan relasi tersebut. Pola kelekatan yang terjalin di masa
kanak-kanak berkembang hingga masa remaja. Bowlby juga menyatakan
bahwa pada masa remaja, kelekatan yang terjalin dalam relasinya dengan
orangtua akan mengaktifkan kembali ingatan remaja pada pola kelekatan
yang terjalin selama masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja
dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam
(Holmes, 1993).
Prinsip pokok dari pola kelekatan yang aman (secure)
direfleksikan dalam perilaku secure-base antara anak dan orangtua
(Bowlby, 1973, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, & Cassidy, 1985).
Bowlby (1982) menyatakan bahwa perilaku secure-base sekaligus
mengindikasikan level keamanan (security) yang dimiliki individu dari
proses kelekatan di sepanjang rentang perkembangannya. Esensi dari
prinsip dasar secure-base ialah peningkatan kemampuan eksplorasi dan
pemenuhan rasa ingin tahu anak tanpa rasa khawatir karena figur lekat
dianggap dapat diakses, melindungi dan menolong saat dibutuhkan. Ketika
bahaya datang mengancam, anak dapat mencari figur lekat dan ketika
ancaman telah terlewati, figur lekat tetap memberinya kesempatan untuk
kembali mengeksplorasi dunianya dan anak yakin bahwa figur lekat tetap
dapat diakses apabila ancaman datang kembali (Ainsworth, 1982).
Pola kelekatan yang terjalin dengan figur lekat di masa lampau
memiliki peran krusial dalam membentuk formasi konsep diri seorang
anak. Tindak kekerasan laki-laki dewasa dilihat sangat berhubungan
dengan tingkat kemarahan yang kronis atas pengalaman di masa lampau
(Mones, 1991). Titik kritis pembentukan konsep diri ini terlihat ketika
seorang anak memasuki masa remaja yang cenderung rentan terhadap
dampak dari disfungsi keluarga. Pertengkaran kedua orang tua, perceraian,
penolakan, dan perlakuan yang memalukan berefek pada konsep diri
negatif pada anak, ketidakmampuan untuk memberikan toleransi yang
termanifestasikan dalam bentuk kemarahan dan kecemasan.
Berbagai studi terkait faktor anteseden dari perilaku kekerasan
telah menyebutkan bahwa salah satu pemicu munculnya kecemasan,
kemarahan, rasa malu, trauma yang dialami seorang anak di masa dewasa
ialah pola kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) antara anak
dan kedua orang tua di masa lampau. Dodge et al (dalam Dutton, 2007)
merumuskan beberapa tendensi perilaku kekerasan individu yang muncul
sebagai akibat dari pola kelekatan yang tidak aman, yakni individu lebih
mudah merasa cemburu terhadap orang lain, memiliki kemarahan yang
meledak-ledak, memusatkan diri pada kemarahan dalam suatu relasi intim
dengan pasangan, memuaskan ego pribadi, cemas akan penolakan, konsep
diri yang terganggu, dan depresi.
Sejalan dengan pernyataan di atas, Bowlby (1973) meyakini bahwa
pola kelekatan antara anak dan orang tua merupakan hal fundamental yang
berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak di sepanjang rentang
kehidupannya. Sementara itu, Hazan dan Shaver (1987) turut menjelaskan
bahwa semenjak masa remaja, figur lekat seorang individu mulai
ditransfer kepada teman maupun pasangan dan pada masa ‘transfer’ ini
akan muncul pola kelekatan yang telah dimilikinya, baik itu kelekatan
secure maupun insecure. Lebih lanjut, Fraley & Shaver (1998)
mendefinisikan gaya kelekatan dengan pacar sebagai pola dari berbagai
harapan, kebutuhan, emosi, dan perilaku sosial yang merupakan hasil dari
pengalaman kelekatan masa lalu yang biasanya diawali dari hubungan
dengan orangtua.
Menurut Wekerle dan Wolfe (1999) kelekatan tidak aman dapat
menjadi risiko terjadinya kekerasan dalam pacaran baik sebagai pelaku
maupun korban. Pada pelaku kekerasan, penelitian yang dilakukan oleh
Miga dan kolega (2010) terhadap 93 remaja, menemukan bahwa kelekatan
tidak aman memprediksi terjadinya kekerasan dalam pacaran. Lebih
spesifik, gaya kelekatan insecure dapat memprediksi seseorang dalam
melakukan kekerasan verbal dan fisik. Hal ini disebabkan oleh
ketidakmampuan dalam meregulasi emosi ketika terjadi ketidaksesuaian
atau konflik dengan pasangan. Kemudian, penelitian yang lain juga
dilakukan oleh Smeltzer (2009) dalam bidang neurobiologi, perilaku
kekerasan dalam suatu hubungan bukanlah perilaku atas dasar kognitif,
melainkan adanya suatu hal tidak sadar (unconscious) yakni manifestasi
dari gaya kelekatan yang tidak aman (insecure attachment).
Berdasarkan teori tersebut, maka penulis berasumsi bahwa
‘pengorbanan’ yang dilakukan korban kekerasan dalam pacaran
sebenarnya adalah bentuk manifestasi dari kelekatan tidak aman (insecure)
individu terhadap dunia di luar dirinya. Oleh karena itu, penulis
melakukan penelitian terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan
dalam pacaran dengan menelusuri pola kelekatan korban dengan
orangtuanya di masa lampau dan pola kelekatan korban dengan pacarnya.
Korban kekerasan yang menjadi subyek dalam penelitian ini ialah
perempuan di Salatiga yang berada di batas peralihan dari remaja akhir ke
masa dewasa awal dan mendapatkan tindak kekerasan dari pacarnya.
Penulis memilih rentang usia tersebut dengan pertimbangan bahwa salah
satu tugas perkembangan individu di masa-masa tersebut ialah memilih
pasangan dan mempersiapkan diri untuk membina keluarga.
Penelitian ini difokuskan peneliti di Kota Salatiga. Pemilihan
lokasi didasarkan pada survei pendahuluan yang telah peneliti lakukan
pada mahasiswi di Kota Salatiga menemukan bahwa fenomena kekerasan
dalam relasi pacaran banyak dialami oleh perempuan di rentang usia
remaja akhir hingga dewasa awal. Beberapa korban tersebut bahkan
masih berstatus pelajar sehingga akan mempengaruhi kelanjutan
pendidikannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan dari fenomena yang dikemukakan, maka
rumusan masalah penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran kekerasan yang dialami perempuan sebagai
korban dalam relasi berpacaran?
2. Bagaimanakah gambaran pola kelekatan perempuan korban kekerasan
dengan orang tua?
3. Bagaimana dinamika pola kelekatan perempuan dengan orang tua
dalam menentukan kebertahanan korban dalam relasi berpacaran?
C. TUJUAN PENELITIAN
Terkait dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Memberikan gambaran tentang kekerasan yang dialami perempuan
sebagai korban dalam relasi berpacaran.
2. Memberikan gambaran tentang pola kelekatan perempuan korban
kekerasan dengan orang tua.
3. Menggambarkan dinamika pola kelekatan perempuan dengan orang tua
dalam menentukan kebertahanan korban dalam relasi berpacaran.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang dinamika
pola kelekatan yang muncul pada perempuan korban kekerasan dan
turut memberi kontribusi positif dalam upaya meminimalisir kekerasan
dalam pacaran yang memiliki konsekuensi panjang bagi korban
maupun keluarga serta lingkungan di sekitar korban.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi Para Perempuan Korban Kekerasan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi para
perempuan korban kekerasan terkait jerat lingkaran kekerasan yang
dialami sehingga menumbuhkan kesadaran untuk keluar dari
lingkaran kekerasan tersebut.
b) Para Orangtua dan Calon Orangtua
Penelitian ini kiranya juga dapat menjadi pemahaman bagi para
orang tua dan calon orang tua agar menjalin dan mengembangkan
pola lekat secure dengan anak.
PENDAHULUAN
Pada setiap penelitian, penyusunan latar belakang permasalahan
dari sebuah fenomena yang hendak dikaji merupakan dasar dan langkah
awal dari serangkaian proses penelitian yang dilakukan. Bab I berikut ini
menjelaskan tentang fenomena kebertahanan perempuan korban kekerasan
dalam pacaran yang dikaji dengan teori kelekatan Bowlby untuk melihat
dinamika pola kelekatan yang terjalin diantara korban dan orang tua di
masa lampau dengan korban dan pacar di masa kini yang membuat korban
bertahan dalam lingkaran kekerasan.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Anggapan tradisional tentang ‘perempuan sebagai kaum
subordinat’ yang meletakkan kedudukan perempuan di bawah laki-laki,
dewasa ini semakin diperkuat dengan frekuensi kemunculan kasus
kekerasan terhadap perempuan oleh kaum laki-laki yang meningkat pesat.
Berdasarkan survei menyeluruh yang dilakukan oleh WHO (2013),
kawasan Asia Tenggara menempati persentase tingkat kekerasan terhadap
perempuan (KTP) yang paling tinggi, yakni sebesar 37,7%, disusul oleh
wilayah Mediteranian Timur sebesar 37% dan wilayah Afrika sebesar
36,6%. Data wilayah Asia Tenggara tersebut dikumpulkan
dari Bangladesh, Timor-Leste, India, Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand.
Meskipun Indonesia tidak menjadi sampel dalam proses pengumpulan
data kekerasan wilayah Asia Tenggara yang dilakukan oleh WHO, namun
sebuah survei global yang dilakukan terlebih dahulu oleh Thomson
Reuters Foundation pada tahun 2012 terhadap 63 negara, menunjukkan
bahwa Indonesia merupakan negara terburuk ketiga bagi perempuan
setelah India dan Arab Saudi. Hal tersebut dikarenakan hampir setiap hari
ada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Tindak pemerkosaan
adalah bentuk kasus kekerasan yang paling sering terjadi selain pelecehan
seksual, penyiksaan dan eksploitasi seksual, serta perdagangan seks
(Baldwin, 2012).
Pernyataan bahwa Indonesia dianggap sebagai negara terburuk
ketiga untuk disinggahi perempuan turut didukung oleh data nasional yang
dihimpun oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Komnas
Perempuan mencatat, pada tahun 2011 ada 119.107 kasus KTP (Komnas
Perempuan, 2012). Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2012 menjadi
216.156 kasus (Komnas Perempuan, 2013). Pada 2013, kasus kekerasan
kembali meningkat menjadi 279.688 kasus (Komnas Perempuan, 2014).
Dalam kurun waktu tiga tahun telah terjadi peningkatan tajam pada jumlah
kasus KTP. Kenaikan jumlah kasus ini tidak hanya terjadi pada tiga tahun
terakhir. Sebelumnya, Komnas Perempuan melaporkan kenaikan yang
sama terjadi sejak tahun 2002. Berdasarkan jumlah tersebut, terlihat bahwa
ada peningkatan yang cukup besar pada jumlah kasus KTP. Jumlah kasus
kekerasan yang terjadi pada tahun 2012 meningkat tajam sekitar 80% dari
tahun 2011, pada tahun 2013 meningkat sebesar +30% dari tahun 2012,
dan jika diakumulasi dari tahun 2011-2013 telah terjadi peningkatan
jumlah kasus kekerasan sebesar 135%.
Gambar 1.1 Jumlah kasus KTP tahun 2001-2013 (Komnas Perempuan, 2014)
Hasil laporan dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas
Perempuan (2014) menunjukkan bahwa pada tahun 2013, dari total
279.688 kasus yang terhimpun, sebanyak 263.285 kasus atau 94% data
tersebut bersumber dari data kasus yang ditangani oleh Pengadilan Agama
(PA), dan sisanya sebanyak 16.403 kasus atau 6% data yang lain berasal
dari data kasus yang ditangani oleh lembaga-lembaga mitra pengada
layanan yang merespon dengan mengembalikan formulir pendataan.
Kemudian dari 263.285 data kasus yang diambil dari PA, keseluruhannya
tercatat sebagai kekerasan yang terjadi di ranah personal, sedangkan dari
16.403 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan
yang terjadi di ranah personal tercatat ada 11.719 kasus atau 71%. Kasus
kekerasan dalam ranah personal berarti pelakunya adalah orang yang
memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan,
perkawinan (suami), maupun relasi intim (pacaran) dengan korban
(Komnas Perempuan, 2014).
Diantara berbagai jenis kekerasan yang terjadi dalam ranah
personal, kekerasan dalam relasi pacaran perlu disoroti karena adanya
indikasi kontinuitas tindak kekerasan dari masa pacaran ke ranah domestik
atau rumah tangga. Berdasarkan laporan yang tercatat dalam Komnas
Perempuan (2013), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menduduki
tempat terbanyak sebesar 7.548 kasus dan kekerasan dalam pacaran (KDP)
sebayak 2.507 kasus. Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
terus menjadi sorotan kepedulian masyarakat, namun tidak banyak
masyarakat menyadari bahwa kekerasan domestik yang terjadi dalam
rumah tangga sebetulnya dapat diprediksi melalui tendensi kekerasan yang
muncul pada masa pacaran. Berdasarkan data yang diperoleh dari National
Coalition Against Domestic Violence (2014), sebanyak 1,3 juta perempuan
diperkirakan menjadi korban kekerasan fisik oleh pasangan di masa
pacaran setiap tahunnya dan sebanyak 325.000 perempuan diantaranya
cenderung mengalami kekerasan dalam kehidupan rumah tangga
sepanjang hidupnya. Selain itu, Sri Nurherwati (2013) selaku Ketua SubKomisi Pemulihan dari Komnas Perempuan menyatakan bahwa 75%
kekerasan pada perempuan yang terjadi setelah menikah bisa berawal dari
kekerasan yang diterima pada masa pacaran.
Namun demikian, kasus kekerasan dalam pacaran kurang
mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Menurut laporan yang
diproses di Bagian Pengaduan Masyarakat pada Biro Hukum dan Humas
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2011),
kasus KDRT merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan masyarakat
dengan persentase 31,29%, menyusul kasus seksualitas sebesar 9,54%,
trafficking sebanyak 3,05%, perceraian sebesar 6,87%, kekerasan terhadap
anak 7,63%, kekerasan terhadap TKI sejumlah 6,49%, kekerasan dalam
pekerjaan 3,05%, kasus perebutan hak asuh anak sebesar 1,53%, keberatan
atas hukum sebesar 3,82%, permohonan untuk perlindungan hukum
sebanyak 7,63%, penelantaran ekonomi sejumlah 5,34%, perkara hutangpiutang 1,53%, konflik SDA sebesar 2,29%, kasus kriminalitas 0,76,
sengketa tanah sebesar 1,91%, sedangkan kasus kekerasan dalam pacaran
ialah kasus yang paling sedikit diadukan dengan persentase 0,38%. Data
tersebut menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam pacaran masih
sedikit terjadi di masyarakat.
Jika dicermati, ada kesenjangan yang signifikan antara data yang
muncul melalui jumlah kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan
masyarakat langsung ke Kementrian Pemberdayaan Perempuan (2011)
dengan data yang diperoleh dari hasil survei dalam Catatan Tahunan
Komnas Perempuan (2012; 2013; 2014). Kesenjangan tersebut terlihat
jelas dari angka kekerasan dalam pacaran yang sangat rendah dilaporkan
oleh masyarakat dibandingkan dengan data Komnas Perempuan yang
mencatat angka yang sangat tinggi pada kasus kekerasan dalam pacaran.
Melalui kesenjangan ini, penulis melihat bahwa fenomena kekerasan
dalam pacaran ini seperti gunung es yang hanya muncul sedikit di
permukaan, namun 2/3 bagian gunung tersebut tersembunyi di dalam
lautan sehingga tidak bisa diduga besarnya gunung tersebut. Peneliti
menangkap bahwa ada keengganan dari korban kekerasan dalam pacaran
atau orang di sekitar korban untuk melaporkan kasus tersebut ke lembaga
terkait sehingga angka yang diproses dalam Kementrian Pemberdayaan
Perempuan sangat rendah yakni 0,38% dan berbanding terbalik dengan
hasil survei yang dilakukan oleh lembaga terkait lainnya, yakni mencapai
angka tertinggi sebesar 26%.
Fenomena kekerasan dalam pacaran ialah persoalan yang sangat
serius. Terdapat berbagai konsekuensi negatif yang berkepanjangan dari
fenomena tersebut, seperti terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan
(KTD), tindakan aborsi, atau pernikahan usia dini. Ada pula dampak psikis
dan sosial yang muncul seperti stres, depresi, cemas berlebih, sulit
konsentrasi, sulit tidur, memiliki harga diri yang rendah (Safitri, 2013). Di
Indonesia, diperkirakan ada 1 juta remaja yang mengalami kehamilan di
luar nikah, sedangkan di seluruh dunia diperkirakan 15 juta remaja setiap
tahunnya hamil, 60% di antaranya hamil di luar nikah (Hidayat dalam
Tinceuli, 2010). Laporan dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(2011) mengungkapkan bahwa dari 1.189 remaja (berusia 13-19 tahun)
yang belum menikah di daerah Jawa Barat dan 922 remaja di Bali,
ditemukan 7% remaja perempuan di Jawa Barat dan 5% perempuan di
Bali mengakui pernah mengalami kehamilan. Ketua Jaringan Peduli
Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah, Widanti (2011) mengatakan
bahwa jumlah siswi yang hamil akan terus meningkat, tercermin dari
penelitiannya pada sekolah jenjang SMP dan SMA tahun 2010 yang
menunjukkan dalam tiap sekolah rata-rata ditemukan empat hingga tujuh
siswa yang hamil, bahkan pada tahun yang sama kenaikannya mencapai
10% hingga 15%.
Tingkat aborsi yang dilakukan perempuan korban kekerasan
seksual dalam masa pacaran ini juga menunjukkan angka yang
mengkhawatirkan. Parawansa (2000) menyatakan bahwa jumlah aborsi di
Indonesia dilakukan oleh 2 juta orang tiap tahun, dari jumlah itu, 70.000
dilakukan oleh remaja putri yang belum menikah. Aborsi yang biasanya
dilakukan oleh remaja perempuan yang mengalami kehamilan di luar
pernikahan cenderung dilakukan dengan prosedur yang tidak aman dan
dapat menyebabkan pengalaman traumatis dan kematian bagi remaja
tersebut. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun
2007, terdapat 70.000 kematian remaja melakukan aborsi tidak aman
setiap tahun, sementara 4 juta lainnya mengalami kesakitan (Sinaga,
2007). Namun, banyak juga korban yang memutuskan untuk
mempertahankan kehamilannya dan menikah dalam usia yang masih
muda. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2013, persentase
tertinggi perempuan menikah dari usia 15-19 tahun, yaitu 41,9% dari total
jumlah pernikahan di Indonesia disebabkan oleh adanya kehamilan di luar
pernikahan. Pernikahan di usia muda ini juga memiliki konsekuensi yang
panjang, karena pada usia tersebut, kondisi emosional yang dialami remaja
masih meledak-ledak dan dapat berdampak buruk bagi perkembangan
psikis anak (Santrock, 2002). Oleh sebab itu, kasus kekerasan dalam
pacaran ini sangat penting untuk disoroti dan diteliti lebih lanjut agar tidak
menimbulkan konsekuensi negatif yang berkepanjangan bagi kehidupan
korban, keluarga, dan negara.
Penulis telah melakukan wawancara awal pada bulan Februari
hingga Maret 2016 dengan dua orang perempuan korban kekerasan dalam
pacaran di Kota Salatiga, salah satu korban telah hamil di luar nikah.
Korban menjelaskan bahwa dirinya memiliki perasaan cinta dan sayang
terhadap pacar ketika korban melakukan hubungan seksual. Korban
menerangkan bahwa sang pacar berjanji menikahi dirinya suatu saat
setelah mereka melakukan hubungan seksual. Atas dasar ungkapanungkapan korban, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi kekerasan
seksual dalam relasi pacaran tersebut. Sementara itu, penulis juga melihat
adanya indikasi kekerasan fisik dan emosional yang tidak disadari oleh
korban. Sebagian besar korban merasa bahwa kekerasan tersebut adalah
bentuk atau cara mengungkapkan kasih sayang yang berbeda dari orang
lain. Sebaliknya, korban menyalahkan diri mereka yang tidak berhasil
menyenangkan pasangan sehingga kondisi tersebut merupakan hal yang
dianggap wajar jika pasangan menunjukkan kekerasan baik secara fisik
maupun non-fisik. Selain itu, para korban kekerasan menyatakan bahwa
mereka mampu bertahan dalam hubungan tersebut karena anggapan
bahwa dalam mencintai pasangan itu memerlukan suatu pengorbanan.
Berbagai studi terdahulu telah mengaji tentang penyebab
munculnya perilaku kekerasan, diantaranya terkait pembentukan
kepribadian yang berpotensi memicu terjadinya lingkaran kekerasan,
relevansi antara trauma, rasa bersalah, rasa malu dengan potensi
munculnya tindak kekerasan, dan pengaruh mood dalam pembentukan
perilaku kekerasan, hingga keterkaitan antara perilaku kekerasan dengan
pola kelekatan (attachment) dengan orang tua di masa lampau. Mood atau
suasana hati menjadi salah satu kajian yang dikaitkan dengan perilaku
kekerasan. Millon (1981) melihat kedalaman dan keberagaman mood yang
ada dalam diri seorang pelaku kekerasan, yakni: 1) Intense endogenous
moods – kegagalan berulang kali untuk mengelola mood dan kegagalan ini
biasanya ditunjukkan dalam bentuk kemarahan, kecemasan, atau euphoria;
2) Dysregulated activation – energi yang dikeluarkan dalam berbagai
aktivitas tidak stabil dan memiliki pola tidur yang tidak biasa; 3) Selfcondemnatory conscience – adanya pemikiran untuk melukai diri; 4)
Dependency anxiety – menunjukkan keterpisahan yang intens, merasa
ketakutan akan pengasingan dan kehilangan; 5) Cognitive-affective
ambivalence – kesulitan untuk mengekspresikan perasaan seperti rasa
bersalah dan cinta.
Selain mood, ditemukan pula bahwa laki-laki dewasa yang
cenderung melakukan tindak kekerasan pernah menjadi korban kekerasan
pada masa kecil sebagai bentuk ‘trauma’ atas pengalaman tersebut
(Mones, 1991). Melalui penelitian yang dilakukan seorang psikiater, Van
der Kolk (1987) mendeskripsikan reaksi dan pola kekerasan yang dialami
oleh anak yang traumatik. Data yang diperoleh menunjukkan kombinasi
tiga titik trauma yang berpotensi memicu tindak kekerasan, yakni 1) anak
dipermalukan, 2) anak mengalami kekerasan fisik dan emosional dari sang
ayah, 3) adanya pola kelekatan yang tidak aman (insecure) dengan ibu
sebagai sumber dari rasa trauma.
Pada suatu kesempatan, Bowlby (dalam Santrock, 2002)
menjelaskan bahwa konsep kelekatan mengacu pada suatu relasi antara
dua orang, yakni bayi dan orangtua (infant-parent) yang memiliki
perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama
untuk melanjutkan relasi tersebut. Pola kelekatan yang terjalin di masa
kanak-kanak berkembang hingga masa remaja. Bowlby juga menyatakan
bahwa pada masa remaja, kelekatan yang terjalin dalam relasinya dengan
orangtua akan mengaktifkan kembali ingatan remaja pada pola kelekatan
yang terjalin selama masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja
dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam
(Holmes, 1993).
Prinsip pokok dari pola kelekatan yang aman (secure)
direfleksikan dalam perilaku secure-base antara anak dan orangtua
(Bowlby, 1973, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, & Cassidy, 1985).
Bowlby (1982) menyatakan bahwa perilaku secure-base sekaligus
mengindikasikan level keamanan (security) yang dimiliki individu dari
proses kelekatan di sepanjang rentang perkembangannya. Esensi dari
prinsip dasar secure-base ialah peningkatan kemampuan eksplorasi dan
pemenuhan rasa ingin tahu anak tanpa rasa khawatir karena figur lekat
dianggap dapat diakses, melindungi dan menolong saat dibutuhkan. Ketika
bahaya datang mengancam, anak dapat mencari figur lekat dan ketika
ancaman telah terlewati, figur lekat tetap memberinya kesempatan untuk
kembali mengeksplorasi dunianya dan anak yakin bahwa figur lekat tetap
dapat diakses apabila ancaman datang kembali (Ainsworth, 1982).
Pola kelekatan yang terjalin dengan figur lekat di masa lampau
memiliki peran krusial dalam membentuk formasi konsep diri seorang
anak. Tindak kekerasan laki-laki dewasa dilihat sangat berhubungan
dengan tingkat kemarahan yang kronis atas pengalaman di masa lampau
(Mones, 1991). Titik kritis pembentukan konsep diri ini terlihat ketika
seorang anak memasuki masa remaja yang cenderung rentan terhadap
dampak dari disfungsi keluarga. Pertengkaran kedua orang tua, perceraian,
penolakan, dan perlakuan yang memalukan berefek pada konsep diri
negatif pada anak, ketidakmampuan untuk memberikan toleransi yang
termanifestasikan dalam bentuk kemarahan dan kecemasan.
Berbagai studi terkait faktor anteseden dari perilaku kekerasan
telah menyebutkan bahwa salah satu pemicu munculnya kecemasan,
kemarahan, rasa malu, trauma yang dialami seorang anak di masa dewasa
ialah pola kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) antara anak
dan kedua orang tua di masa lampau. Dodge et al (dalam Dutton, 2007)
merumuskan beberapa tendensi perilaku kekerasan individu yang muncul
sebagai akibat dari pola kelekatan yang tidak aman, yakni individu lebih
mudah merasa cemburu terhadap orang lain, memiliki kemarahan yang
meledak-ledak, memusatkan diri pada kemarahan dalam suatu relasi intim
dengan pasangan, memuaskan ego pribadi, cemas akan penolakan, konsep
diri yang terganggu, dan depresi.
Sejalan dengan pernyataan di atas, Bowlby (1973) meyakini bahwa
pola kelekatan antara anak dan orang tua merupakan hal fundamental yang
berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak di sepanjang rentang
kehidupannya. Sementara itu, Hazan dan Shaver (1987) turut menjelaskan
bahwa semenjak masa remaja, figur lekat seorang individu mulai
ditransfer kepada teman maupun pasangan dan pada masa ‘transfer’ ini
akan muncul pola kelekatan yang telah dimilikinya, baik itu kelekatan
secure maupun insecure. Lebih lanjut, Fraley & Shaver (1998)
mendefinisikan gaya kelekatan dengan pacar sebagai pola dari berbagai
harapan, kebutuhan, emosi, dan perilaku sosial yang merupakan hasil dari
pengalaman kelekatan masa lalu yang biasanya diawali dari hubungan
dengan orangtua.
Menurut Wekerle dan Wolfe (1999) kelekatan tidak aman dapat
menjadi risiko terjadinya kekerasan dalam pacaran baik sebagai pelaku
maupun korban. Pada pelaku kekerasan, penelitian yang dilakukan oleh
Miga dan kolega (2010) terhadap 93 remaja, menemukan bahwa kelekatan
tidak aman memprediksi terjadinya kekerasan dalam pacaran. Lebih
spesifik, gaya kelekatan insecure dapat memprediksi seseorang dalam
melakukan kekerasan verbal dan fisik. Hal ini disebabkan oleh
ketidakmampuan dalam meregulasi emosi ketika terjadi ketidaksesuaian
atau konflik dengan pasangan. Kemudian, penelitian yang lain juga
dilakukan oleh Smeltzer (2009) dalam bidang neurobiologi, perilaku
kekerasan dalam suatu hubungan bukanlah perilaku atas dasar kognitif,
melainkan adanya suatu hal tidak sadar (unconscious) yakni manifestasi
dari gaya kelekatan yang tidak aman (insecure attachment).
Berdasarkan teori tersebut, maka penulis berasumsi bahwa
‘pengorbanan’ yang dilakukan korban kekerasan dalam pacaran
sebenarnya adalah bentuk manifestasi dari kelekatan tidak aman (insecure)
individu terhadap dunia di luar dirinya. Oleh karena itu, penulis
melakukan penelitian terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan
dalam pacaran dengan menelusuri pola kelekatan korban dengan
orangtuanya di masa lampau dan pola kelekatan korban dengan pacarnya.
Korban kekerasan yang menjadi subyek dalam penelitian ini ialah
perempuan di Salatiga yang berada di batas peralihan dari remaja akhir ke
masa dewasa awal dan mendapatkan tindak kekerasan dari pacarnya.
Penulis memilih rentang usia tersebut dengan pertimbangan bahwa salah
satu tugas perkembangan individu di masa-masa tersebut ialah memilih
pasangan dan mempersiapkan diri untuk membina keluarga.
Penelitian ini difokuskan peneliti di Kota Salatiga. Pemilihan
lokasi didasarkan pada survei pendahuluan yang telah peneliti lakukan
pada mahasiswi di Kota Salatiga menemukan bahwa fenomena kekerasan
dalam relasi pacaran banyak dialami oleh perempuan di rentang usia
remaja akhir hingga dewasa awal. Beberapa korban tersebut bahkan
masih berstatus pelajar sehingga akan mempengaruhi kelanjutan
pendidikannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan dari fenomena yang dikemukakan, maka
rumusan masalah penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran kekerasan yang dialami perempuan sebagai
korban dalam relasi berpacaran?
2. Bagaimanakah gambaran pola kelekatan perempuan korban kekerasan
dengan orang tua?
3. Bagaimana dinamika pola kelekatan perempuan dengan orang tua
dalam menentukan kebertahanan korban dalam relasi berpacaran?
C. TUJUAN PENELITIAN
Terkait dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Memberikan gambaran tentang kekerasan yang dialami perempuan
sebagai korban dalam relasi berpacaran.
2. Memberikan gambaran tentang pola kelekatan perempuan korban
kekerasan dengan orang tua.
3. Menggambarkan dinamika pola kelekatan perempuan dengan orang tua
dalam menentukan kebertahanan korban dalam relasi berpacaran.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang dinamika
pola kelekatan yang muncul pada perempuan korban kekerasan dan
turut memberi kontribusi positif dalam upaya meminimalisir kekerasan
dalam pacaran yang memiliki konsekuensi panjang bagi korban
maupun keluarga serta lingkungan di sekitar korban.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi Para Perempuan Korban Kekerasan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi para
perempuan korban kekerasan terkait jerat lingkaran kekerasan yang
dialami sehingga menumbuhkan kesadaran untuk keluar dari
lingkaran kekerasan tersebut.
b) Para Orangtua dan Calon Orangtua
Penelitian ini kiranya juga dapat menjadi pemahaman bagi para
orang tua dan calon orang tua agar menjalin dan mengembangkan
pola lekat secure dengan anak.