PENDAHULUAN Efektifitas Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Minat Memanfaatkan Layanan Konseling (Penelitian Pada Kelas XI SMA Negeri 3 Sukoharjo).

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bimbingan dan konseling di sekolah menjadi bagian integral (menyatu)
dari program pendidikan sekolah. Secara kuantitas, bimbingan dan konseling telah
mencapai kemajuan kemajuan yang pesat. Berbagai bentuk kemajuan yang
bersifat kuantitas itu antara lain adalah telah adanya layanan bimbingan dan
konseling di hampir semua sekolah, bertambahnya jumlah pembimbing (konselor)
dengan kualifikasi S1 bimbingan dan konseling, dan adanya berbagai produk
hukum dan peraturan pemerintah yang menegaskan keberadaan bimbingan dan
konseling di sekolah dan yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum guna
pemeliharaan dan pengembangan profesi bimbingan dan konseling di Indonesia.
Terakhir, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen dan yang kemudian diikuti oleh program sertifikasi jabatan tenaga
kependidikan yang di dalamnya termasuk jabatan konselor (pembimbing) sekolah,
semakin memantapkan keberadaan bimbingan dan konseling sekolah. Secara
kualitas, masih banyak hal yang harus dilakukan guna membuat bimbingan dan
konseling sekolah bisa benar-benar menjadi bagian integral dari sistem
pendidikan sekolah.
Menyatunya bimbingan dan konseling sekolah dapat dilihat dari beberapa
tolok ukur, seperti besarnya tingkat dukungan yang diberikan oleh pimpinan

sekolah terhadap program bimbingan dan konseling, tingginya tingkat keterlibatan

1

2

atau partisipasi guru dan orang tua siswa dalam setiap program kegiatan
bimbingan dan konseling, dan tingginya tingkat pemanfaatan layanan bimbingan
dan konseling oleh siswa. Salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai
tolok ukur untuk melihat apakah bimbingan dan konseling di sekolah telah
menyatu dengan kehidupan sekolah adalah animo siswa yang memanfaatkan
program-program layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Winkel dan
Hastuti (2004) menjelaskan layanan bimbingan dan konseling berhasil jika siswa
bersedia terlibat/berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan program bimbingan dan
konseling di sekolah.
Setiap tahun ajaran baru konselor diasumsikan melakukan sosialisasi
tentang keberadaan, fungsi dan peranan bimbingan dan konseling di sekolah
beserta dengan program-programnya. Demikian pula siswa telah memperoleh
pengetahuan awal tentang bimbingan dan konseling khususnya siswa di tingkat
pendidikan lanjut (SMA dan SMK). Oleh karena itu sangat beralasan jika

digunakan asumsi bahwa semua siswa SMA/SMK telah memiliki pengetahuan
yang memadai tentang bimbingan dan konseling di sekolah.
Dengan pengetahuan itu idealnya lebih banyak siswa yang memanfaatkan
layanan bimbingan dan konseling di sekolah khususnya layanan konseling karena
mengemban nilai terapiutik untuk membantu setiap siswa mengatasi berbagai
bentuk kesulitan, misal kesulitan belajar, hubungan dengan teman, penyesuaian
diri, masalah dengan keluarga, masalah karir dan sebagainya. Namun kenyatannya
sangat sedikit siswa yang berminat menemui konselor pada saat mengalami
kesulitan. Siswa yang punya masalah dan mendapat layanan konseling pada

3

umumnya karena dirujuk oleh pihak ke tiga yaitu guru atau kepala sekolah
(informasi dari guru BK/konselor SMAN 3 Sukoharjo, 9 mei 2011). Walaupun
tidak ada batasan/ target berapa jumlah peserta didik setiap semester yang
mendatangi konselor, namun diharapkan ada peserta didik yang datang secara
sukarela ke ruang konseling untuk membicarakan segala hal yang dapat
menyebabkan timbulnya masalah sehingga dapat mengganggu proses dan hasil
belajarnya. Menurut Darminto (2007), layanan konseling bisa bersifat preventif
(pencegahan) dan kuratif (pengentasan/ pemecahan masalah).

Selanjutnya untuk melengkapi informasi tersebut, penulis memberikan
angket kepada 50 peserta didik secara random di SMAN 3 Sukoharjo untuk
mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi minat siswa memanfaatkan
layanan konseling. Hasilnya, 30 siswa menyatakan belum pernah ke ruang
konseling untuk menemui konselor, karena menganggap layanan konseling hanya
menangani masalah-masalah yang sifatnya pribadi, menangani pelanggaran tata
tertib, dan menghukum siswa yang tidak patuh atau melanggarnya, memanggil
siswa yang bermasalah sehingga memberi label konselor sebagai polisi sekolah.
Dari hasil angket tersebut diperoleh gambaran minat siswa memanfaatkan layanan
konseling berhubungan dengan pemahaman/pengetahuan yang akan membentuk
persepsinya terhadap layanan konseling. Miller dan Goodale (dalam Jalaludin
,1995) menjelaskan pengetahuan dan pengalaman membantu pembentukan
persepsi dan persepsi dapat membimbing mengendalikan kita untuk berbuat.
Persepsi atau kesan siswa terhadap layanan konseling tentu akan mempengaruhi
minat siswa untuk memanfaatkannya. Hurlock (1990) menyatakan bahwa minat

4

memainkan peran yang penting dalam kehidupan seseorang dan mempunyai
dampak yang besar atas perilaku. Salahudin (2010) menjelaskan masalah utama

untuk mengoptimalkan layanan BK adalah timbulnya persepsi keliru dari siswa
tentang arti dan hakekat bimbingan dan konseling terutama ketidakpahaman yang
mendalam tentang konseling. Persepsi yang salah tersebut adalah konselor
dianggap sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata
tertib, disiplin, dan keamanan sekolah, tidak jarang pula konselor diserahi tugas
mengusut perkelahian atau pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang
bersalah dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa tersebut.
Berdasarkan pandangan di atas wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor
karena menganggap bahwa kedatangannya ke konselor menunjukkan aib bahwa ia
telah berbuat salah atau predikat-predikat negatif lainnya.
Atas dasar uraian tersebut dapat dikembangkan pemikiran bahwa untuk
meningkatkan minat siswa untuk memanfaatkan layanan konseling perlu
meningkatkan/ meluruskan pengetahuan tentang aspek-aspek dan aktivitas dalam
layanan konseling agar siswa mempersepsi positif terhadap layanan konseling
agar timbul minat memanfaatkan layanan konseling apabalila mengalami
kesulitan atau masalah. Hal ini juga didukung oleh penelitian Muhammadi (2004)
yang menyatakan sumbangan efektif variabel persepsi terhadap layanan BK
dengan minat berkonsultasi sebaesar 24,018%.
Dalam psikologi, peningkatan suatu aspek perilaku dapat dilakukan
dengan memberikan intervensi tertentu. Intervensi ini dimaksudkan untuk

mengubah perilaku yang tak adaptif (perilaku yang tak diharapkan, tak sesuai

5

dengan norma perkembangan atau norma sosial) menjadi adaptif (perilaku yang
diharapkan, sesuai dengan norma perkembangan, atau norma masyarakat).
Intervensi dapat diberikan pada tataran individu, kelompok, atau sosial. Di
sekolah, setidaknya yang berlaku saat ini, intervensi psikologis diberikan oleh
konselor melalui pendekatan layanan bimbingan dan konseling. berkaitan dengan
ini, pertanyaan yang dapat diajukan adalah, “Pendekatan layanan bimbingan
seperti apa yang dapat meningkatkan minat siswa untuk memanfaatkan layanan
konseling”. Dalam bidang klinis, yang dijadikan sasaran intervensi adalah faktorfaktor yang mempengaruhi (meningkatkan atau menghambat perilaku). Dengan
kata lain, upaya intervensi adalah memodifikasi atau mengubah faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku. Modifikasi dapat dilakukan dengan mendorong atau
meningkatkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku adaptif-konstruktif atau
dengan mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan
terbentuknya perilaku tak adaptif-destruktif (Lerner & Hultz, 1984; Papalia &
Olds, 1995). Berdasarkan hal tersebut maka intervensi yang dimaksudkan untuk
meningkatkan minat memanfaatkan layanan konseling dapat dilakukan dengan
cara meningkatkan faktor-faktor yang mempengaruhi minat yaitu pemahaman/

pengetahuan dan persepsi siswa tentang layanan BK khususnya layanan
konseling.
Banyak literatur dan ahli psikologi telah menegaskan bahwa minat
individu terhadap sesuatu atau untuk melakukan suatu aktivitas tertentu
dipengaruhi oleh pengetahuan atau pemahamannya terhadap sesuatu atau aktivitas
yang akan dilakukan. Pengetahuan ini bisa berkaitan dengan substansi dari

6

sesuatu itu dan/atau manfaat atau nilai guna dari sesuatu atau aktivitas yang akan
dilakukan. Pemahaman yang berisi pengetahuan tentang Bimbingan dan
Konseling dan pengalaman setelah berinteraksi dengan konselor akan membentuk
persepsi siswa terhadap layanan konseling. Hurlock (1990) mengatakan bahwa
semua minat mempunyai dua aspek yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek
kognitif berdasarkan konsep yang dikembangkan anak mengenai bidang yang
berkaitan dengan minat, dan konsep ini di bangun didasarkan atas pemahaman
dan pengalaman pribadi atas apa yang dipelajari di rumah, di sekolah, dan di
dalam masyarakat serta dari berbagai media massa sehingga rasa ingin tahu
mereka terpenuhi. Sedangkan aspek afektif dinyatakan dalam sikap terhadap
kegiatan yang ditimbulkan oleh minat. Aspek afektif berkembang dari

pengalaman pribadi, sikap orang yang berpengaruh seperti orang tua, guru,
konselor dan teman sebaya terhadap kegiatan yang berkaitan dengan minat.
Contoh siswa yang mempunyai hubungan yang menyenangkan dengan konselor,
biasanya mengembangkan sikap yang positif terhadap layanan konseling, karena
pengalaman berinteraksi dengan konselor yang menyenangkan sehingga bila ada
masalah, muncul minat mereka untuk menemui konselor/ memanfaatkan layanan
konseling. Atas dasar hal itu maka minat siswa untuk memanfaatkan layanan
konseling akan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap isi dan nilai guna dari
layanan konseling. Dalam hal ini dapat dikembangkan hipotesis berikut: “Jika
siswa memiliki pemahaman dan persepsi yang benar tentang layanan konseling,
maka minatnya untuk memanfaatkan layanan konseling cenderung akan
meningkat.” Pemikiran ini selanjutnya memunculkan pertanyaan berikut:

7

“Bagaimana meningkatkan pemahaman dan persepsi siswa terhadap layanan
konseling?”
Dalam konteks ini pelatihan yang dipandang relevan untuk membangun
pengetahuan atau pemahaman siswa yang akhirnya akan membentuk persepsi
yang positif (Sobur,2003; Kimberley,2005), yakni bimbingan kelompok, suatu

kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang (idealnya 6-15 orang) dengan
memanfaatkan dinamika kelompok. Artinya, semua peserta dalam kegiatan
kelompok saling berinteraksi, bebas mengeluarkan pendapat, menanggapi,
memberi saran dalam membahas topik permasalahan, untuk memperoleh
informasi mendalam tentang tingkatan persepsi, sikap dan pengalaman yang
dimiliki individu. Bimbingan kelompok merupakan salah satu layanan dalam
bimbingan konseling, untuk meningkatkan pengetahuan dan persepsi siswa
tentang aspek-aspek dan aktivitas layanan konseling. Atas dasar penegetahuan dan
persepsi tersebut diharapkan siswa membentuk minat yang kuat untuk
memanfaatkan layanan konseling.
B. Rumusan Masalah
“Apakah Bimbingan Kelompok efektif untuk meningkatkan minat
memanfaatkan layanan konseling?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian.
Untuk mengetahui efektifitas bimbingan kelompok dalam meningkatkan
minat memanfaatkan layanan konseling.

8


2. Manfaat Penelitian.
a. Akademik, diharapkan penelitian ini menjadi bagian dari upaya
pengembangan ilmu pengatahuan, khususnya bidang kajian psikologi
pendidikan.
b. Praktis, secara khusus penelitian ini diharapkan dapat mengatasi
permasalahan rendahnya minat siswa memanfaatkan layanan konseling
dengan menggunakan bimbingan kelompok.