Kajian Makna Filosofi Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi.

(1)

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

PERNYATAAN... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR BAGAN... xxi

DAFTAR TABEL... xxii

BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG MASALAH... 1

B.PERUMUSAN MASALAH... 7

C.TUJUAN PENELITIAN... 7

D.MANFAAT PENELITIAN... 8

E. TELAAH PUSTAKA... 9

F. KERANGKA TEORITIK... 10

G.METODOLOGI PENELITIAN... 15

1. Sumber Data... 16


(2)

5. Analisis Data... 20

6. Sistematika Penulisan... 23

BAB II HERMENEUTIKA, ESTETIKA PARADOKS, DAN ANTROPOLOGI BUDAYA A.HERMENEUTIKA... 26

1. Definisi Hermeneutika... 26

2. Penerapan Hermeneutika... 27

3. Cara Kerja Hermeneutika... 27

B.ESTETIKA PARADOKS... 29

1. Estetika Pola Dua, Pola Tiga , Pola Empat, dan Pola Lima... 32

2. Seni Ritual... 43

3. Seni Batik... 45

C.ANTROPOLOGI BUDAYA... 52

1. Wujud Kebudayaan... 55

2. Adat Istiadat... 56

3. Unsur-unsur Kebudayaan... 57


(3)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG BATIK DAN BATIK BANYUWANGI

A.BATIK... 62

1. Definisi Batik... 62

2. Sejarah Batik Indonesia... 64

3. Motif Batik... 65

4. Pengelompokan Batik... 68

B.BATIK BANYUWANGI... 89

1. Sejarah Banyuwangi... 89

2. Suku Using Banyuwangi... 91

3. Sejarah Batik Banyuwangi... 100

4. Mitologi Asal Usul Batik Banyuwangi... 102

5. Variasi Motif Batik Banyuwangi... 107

6. Batik Gajah Oling... 124

BAB IV MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI


(4)

1. Batik Gajah Oling Sebagai Fungsi Sakral... 141

2. Batik Gajah Oling Sebagai Fungsi Profan... 163

B.VISUAL MOTIF BATIK GAJAH OLING... 170

1. Bentuk pada Visual Motif Batik Gajah Oling... 170

2. Warna pada Visual Motif Batik Gajah Oling... 177

3. Ukuran pada Visual Motif Batik Gajah Oling... 185

4. Posisi pada Visual Motif Batik Gajah Oling... 186

C.MAKNA FILOSOFI PADA MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI 1. Makna Filosofi dari Bentuk Motif Batik Gajah Oling... 187

2. Makna Filosofi dari Warna Motif Batik Gajah Oling... 202

3. Makna Filosofi dari Ukuran Motif Batik Gajah Oling... 207

4. Makna Filosofi dari Posisi Motif Batik Gajah Oling... 209

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A.SIMPULAN... 223


(5)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

A.GLOSARIUM... 233

B.FOTO PENELITIAN... 241

C.DAFTAR INFORMAN... 245

D.PERSURATAN... 247

E. PEDOMAN WAWANCARA... 252

RIWAYAT HIDUP... 257


(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia terkenal akan seni budaya yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Di antara karya seni tradisi Nusantara salah satunya adalah seni rupa tradisional etnik dengan berbagai macam wujudnya. Sejak masa prasejarah (300 SM) hingga masa peralihan Hindu-Budha (abad ke V) nenek moyang kita telah mencipta karya seni rupa sebagai media pernyataan pemujaan terhadap roh yang diyakini mempunyai kekuatan magis. Karya seni rupa tradisional Indonesia berkembang di suatu daerah dan masing-masing wilayah atau daerah mempunyai kekhasan seni dan budaya yang disebabkan oleh situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda serta tradisi dan potensi alamnya yang didasari oleh keterampilan, keuletan, dan kerja keras selama puluhan abad lamanya. Salah satu hasil kerajinan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia yang sangat tinggi nilainya adalah batik.

Pada kenyataannya hampir seluruh daerah, terutama di Pulau Jawa, terdapat tempat-tempat atau pusat-pusat kerajinan batik. Ditinjau dari segi fungsi batik tidak hanya digunakan dalam memenuhi kebutuhan sakral dan sandang seperti baju, kain panjang, dan sarung saja, tetapi sudah mengarah kepada pemenuhan rasa keindahan. Demikianlah, kawasan ini telah memunculkan kebudayaan yang bersifat dualisme yang dwitunggal, sehingga menjadi pemersatu kawasan berwawasan Nusantara yang bercorak bhinneka tunggal ika.


(7)

Batik yang tersebar di seluruh Indonesia mempunyai keunikan dan ciri masing-masing, baik dalam ragam hias maupun tata warnanya. Namun demikian, dapat dilihat adanya persamaan maupun perbedaan antara batik berbagai daerah tersebut. Sebagai suatu bangsa yang bersatu, walaupun terdiri dari berbagai suku bangsa dan adat yang berbeda, namun Bangsa Indonesia ternyata memiliki selera dan pula citra yang hampir sama. Tentu saja kalau ada perbedaan-perbedaan dalam gaya dan selera, itu disebabkan oleh kepercayaan yang dianutnya, tata kehidupan dan alam sekitar dari daerah yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, Koentjaraningrat menyatakan identitas seni tekstil Indonesia sebagai berikut:

Seni kerajinan terutama seni tenun, seni batik, seni ikat dan seni tekstil Indonesia merupakan cabang kesenian yang sudah berakar dalam kebudayaan Indonesia sejak lama, tinggi mutu keindahannya, bisa menonjolkan sifat khas Indonesia (Koentjaraningrat, 1985: 16).

Sejak jaman penjajahan Belanda pengelompokan batik yang ditinjau dari sudut daerah pembatikan, dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu batik Vorstenlanden (Solo-Jogja) dan batik pesisir (Djoemena, 1990: 7). Daerah pembatikan yang berada pada jalur pesisir utara Jawa dari barat ke timur meliputi: Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Rembang, Lasem, Tuban, Sidoarjo, Madura, termasuk juga Banyuwangi.

Batik pesisiran sendiri adalah istilah yang dikenakan pada produk-produk batik di luar dinding keraton. Pertumbuhannya berangkat dari beberapa faktor, yaitu masyarakat pelaku produksinya, yakni rakyat jelata; sifatnya yang cenderung merupakan komoditas dagang berikut segenap dampak yang ditimbulkan pada teknologi produksinya; dan ikonografi yang sarat dengan pengaruh etnis.


(8)

Demikian juga penduduk Banyuwangi yang mayoritas bekerja sebagai petani dan nelayan, masih mempunyai kesibukan berkesenian seperti: kesenian Seblang, Kebo-keboan, Gandrung, angklung, kerajinan batik, serta karya kerajinan lain. Nama Banyuwangi secara historis merupakan kelanjutan nama Blambangan, sedangkan Banyuwangi secara peta keilmuan merupakan bagian dari Jawa Timur. Kehidupan sosial di Banyuwangi merupakan perpaduan dari tiga unsur budaya, yakni: Jawa, Bali dan Madura yang membentuk kebudayaan suku Using Banyuwangi yang memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri.

Daerah Banyuwangi di utara dan barat dibatasi oleh hutan dan gunung-gunung, sedang di selatan dan timur dibatasi oleh Samudra Indonesia dan Selat Bali. Sebelum dibukanya jalan darat ke Panarukan dan jalan kereta api ke barat (Jember), daerah ini cukup lama tersekat dari daerah-daerah lain karena isolasi alami yang ketat sekali. Keadaan ini menyebabkan rendahnya hubungan antardaerah baik keluar maupun ke dalam, sehingga masyarakat setempat, yang kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat suku Using, tumbuh dan berkembang dengan ciri-cirinya sendiri, dengan kepribadian dan budaya yang berbeda, setidaknya dalam beberapa hal.

Batik pesisiran Banyuwangi mempunyai kekhasan tersendiri dibandingkan dengan batik dari daerah lain. Kekhasan batik Gajah Oling Banyuwangi khususnya terletak pada motif yang banyak mengambil motif flora dan fauna sebagai unsur alam ungkapan simbolis daerah tersebut. Motif flora sebagai refleksi dari kemakmuran masyarakat Banyuwangi yang dikelilingi kesuburan


(9)

tanahnya dan melahirkan suatu motif yang menggambarkan watak yang dingin dan luruh. Berkaitan dengan hal tersebut, Jakob Sumardjo menyatakan bahwa:

Karena benda seni adalah produk sebuah budaya yang menjadi sistem nilai suatu masyarakat, maka pemaknaan dan estetikanya harus berdasarkan konsep budaya masyarakat tersebut. Dan, konsep budaya masyarakat mitis itu dasarnya adalah agama aslinya. Dengan mengetahui sistem kepercayaannya, terbukalah sistem pemaknaan dari semua hasil budayanya, termasuk keseniannya (Sumardjo, 2000: 325).

Pernyataan tentang penciptaan motif batik juga diungkapkan oleh Nian S Djoemena, sebagai berikut:

Para pencipta motif batik pada zaman dahulu tidak sekedar mencipta sesuatu yang hanya indah dipandang mata saja, tetapi mereka juga memberi makna atau arti yang erat hubungannya dengan filsafat hidup yang mereka hayati. Mereka menciptakan sesuatu ragam hias dengan pesan dan harapan yang tulus dan luhur semoga akan membawa kebaikan serta kebahagiaan bagi si pemakai. Ini semua dilukiskan secara simbolik (Djoemena, 1990: 10).

Pada perkembangannya ada beragam motif batik di Banyuwangi, sampai saat ini terdapat 21 motif batik yang banyak digandrungi warga Blambangan, di antaranya ada motif Gajah Oling, Paras Gempal, Kangkung Setingkes, Sembruk Cacing, Gedegan, Ukel, Blarak Semplah, dan Moto Pitik. Namun di antara semua ragam motif hanya motif Gajah Olinglah yang paling awal ditemukan dan menjadi khas daerah setempat. Pada motif-motif yang lain juga terdapat ornamen utama dari motif batik Gajah Oling ini, hanya ornamen pengisinya yang berbeda sehingga menjadi berbeda nama motifnya.

Batik Gajah Oling sebagai trademark pemerintah daerah, dan diproduksi oleh beberapa pebatik dan perajin di Banyuwangi. Nama Gajah Oling mempunyai suatu filosofi tentang kehidupan tradisi, yang merupakan dasar (ground) dari kearifan lokal di daerah tersebut. Batik Gajah Oling mempunyai unsur-unsur


(10)

artistik dan nilai estetik, dan juga mempunyai makna filosofi yang berkaitan dengan pranata kehidupan masyarakat setempat. Atas dasar filosofi tersebut maka batik Gajah Oling dilestarikan oleh masyarakat, dan merupakan penanda khas bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi.

Batik Gajah Oling oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi sudah diakui sebagai batik khas Banyuwangi. Itu terbukti sejak tanggal 4 maret 2009 setiap hari Kamis, Jumat dan Sabtu semua pegawai Pemerintahan Daerah dan Pegawai Negeri Sipil di Banyuwangi wajib memakai seragam batik dengan motif Gajah Oling. Fungsi batik Gajah Oling Banyuwangi juga digunakan untuk busana kesenian khas Banyuwangi yaitu tari Gandrung dan upacara adat Seblang, serta untuk busana khas daerah Banyuwangi yaitu Jebeng dan Thulik (Pada Thulik motif batik Gajah Oling dipakai pada udeng tongkosan dan sembong sedang pada Jebeng motif batik Gajah Oling dipakai untuk kain panjang). Motif batik ini juga digunakan untuk seragam batik sekolah mulai dari tingkat TK (Taman Kanak-kanak) sampai pada tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas).

Batik tulis kian termasyhur seiring berkembangnya kesenian Gandrung. Kain batik yang dikenakan untuk penari Gandrung dipercaya mampu menambah kecantikan seorang penari. Motifnya yang semarak dan lembut diyakini mampu menambah wibawa dan keanggunan penari Gandrung. Setiap tarian Gandrung selalu berpola Jejer, Paju dan Seblang-seblang. Dari pola yang berkembang ini merupakan falsafat hidup tentang manusia. Falsafat yang diekspresikan dalam bentuk tari dan nyanyian, pesan tentang hidup dan kehidupan nampak jelas di dalamnya.


(11)

Kesenian lain yang ada hubungannya dengan batik adalah upacara Seblang, yakni upacara adat yang diselenggarakan dalam bentuk tarian dengan iringan gamelan dan paduan suara. Kegiatan ini bersifat ritual dan dianggap sakral oleh penduduk setempat, karena penari Seblang menari dalam keadaan trance (kesurupan). Upacara tari Seblang diselenggarakan dengan maksud untuk selamatan “Bersih Desa”. Sehingga kain batik yang dipakai dalam upacara Seblang tersebut harus yang berdasar warna putih yang berarti suci yaitu batik Gajah Oling yang berdasar warna putih dan bermotif Gajah Oling warna hitam. Begitu pula dengan pemainnya yang harus wanita yang masih suci (anak perempuan yang belum menstruasi dan wanita tua yang sudah tidak menstruasi/manopause). Wanita yang belum menstruasi dan yang sudah tidak menstruasi di sebut dengan wanita/perempuan paradoks, karena seperti laki-laki yang tidak menstruasi. Jakob Sumardjo dalam buku Estetika Paradoks menyatakan bahwa:

Penari-penari perempuan dalam upacara, harus gadis yang belum mengalami menstruasi, atau justru perempuan tua yang sudah manopause. Ini syarat paradoks dalam seni pra-modern. Gadis yang belum menstruasi adalah perempuan yang belum perempuan, sedang yang manopause adalah perempuan yang sudah “tidak perempuan” lagi (melahirkan) (Sumardjo, 2006: 100).

Alasan peneliti menulis tesis tentang batik Gajah Oling Banyuwangi ini yang utama adalah guna pelestarian salah satu budaya Bangsa Indonesia, yaitu batik. Selama ini buku-buku literatur tentang batik pesisiran sudah banyak di pasaran dengan beberapa daerah yang dibahas tetapi satu pun belum ada di dalamnya yang membahas batik khas daerah Banyuwangi yaitu motif batik Gajah Oling. Selain itu juga belum ada sumber pustaka atau hasil penelitian yang membahas khusus


(12)

tentang makna filosofi motif batik Gajah Oling. Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini dirasa perlu untuk dilaksanakan dengan mengambil judul: “Kajian Makna Filosofi Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi”.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran sebagaimana yang telah dideskripsikan pada latar belakang di atas, pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini mengarahkan kepada tiga pertanyaan yang dijadikan sasaran utama, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan motif batik Gajah Oling di dalam masyarakat Banyuwangi?

2.Bagaimana visual motif batik Gajah Oling Banyuwangi?

3. Bagaimana makna filosofi pada motif batik Gajah Oling Banyuwangi?

C.Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan tentang kajian makna filosofi motif batik Gajah Oling di Banyuwangi. Dalam hal ini kajian tentang makna filosofi batik bersumber pada teori estetika paradoks, antropologi kebudayaan, dan hermeneutika. Selain itu juga sebagai pembanding dengan teori diperlukan pula persepsi para pebatik, penari, dan masyarakat yang kompeten memberi makna terhadap motif batik Gajah Oling.


(13)

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan kedudukan motif batik Gajah Oling di dalam masyarakat Banyuwangi.

2. Mendeskripsikan visual motif batik Gajah Oling Banyuwangi.

3. Mendeskripsikan makna filosofi pada motif batik Gajah Oling Banyuwangi.

D.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan tentang makna filosofi, konsep penciptaan, jenis, dan fungsi batik Gajah Oling dalam masyarakat Banyuwangi. Secara khusus penelitian ini juga akan memberikan sumbangan pengetahuan dan wawasan dalam pengembangan ilmu kesenirupaan dan budaya, terutama batik. Di samping itu dapat memberi masukan bagi berbagai kepentingan, seperti untuk disiplin ilmu-ilmu terkait.

Manfaat lain dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pandangan bagi lembaga dan institusi yang bergerak di bidang usaha pelestarian serta pengembangan khasanah tradisi budaya Indonesia. Dengan demikian dapat memacu tumbuhnya minat untuk melakukan penelitian dan pengkajian lanjutan, sehingga dapat memperkaya pengetahuan keragaman kebudayaan Nusantara masa depan.


(14)

E.Telaah Pustaka

Berbagai cara pendekatan yang ditempuh untuk mencapai tujuan penelitian ini merujuk pada beberapa penelitian bidang seni rupa terutama batik yang telah dilakukan dalam rangka penulisan tesis. Di antara tesis batik terdahulu adalah tentang “Pengaruh Etos Dagang Santri Pada Batik Pesisiran” (Hasanudin, 1997), yang menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam kesimpulannya tesis ini menyatakan bahwa etos dagang santri pada hakikatnya terikat pada tauhid, sebab bagi kaum santri tauhid merupakan landasan umum. Etos dagang santri mempunyai pengaruh pada desain batik pesisiran di antaranya adalah ragam hias batik pesisiran tidak menimbulkan syirik, kecenderungan rinci, mengikuti perkembangan teknologi, memadukan keinginan konsumen dan beragam fungsi. Sejak tahun 2001 tesis ini telah dijadikan buku dan diterbitkan dengan harapan agar khalayak pembaca dan peminat topik ini khususnya dapat mengapresiasinya. Buku dari hasil tesis ini berjudul Batik Pesisiran (Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik).

Kemudian tentang “Estetika Batik Keraton Surakarta” (Pujiyanto, 1997), yang menggunakan pendekatan metode kualitatif interdisipliner. Tesis ini menyimpulkan bahwa batik keraton tercipta dari batik masyarakat yang diperhalus dan ditambah estetiknya. Batik rakyat yang ditingkatkan estetiknya oleh keraton untuk dikembalikan ke rakyat akan mempengaruhi perubahan batik di masyarakat. Dalam perubahannya dipengaruhi oleh orang kepercayaan Keraton/Raja, Abdi Dalem atau masyarakat Magersari, pemerhati batik, perusahaan dan perajin batik dan penerapan terhadap pranata. Tesis ini pada tahun


(15)

2008 telah dijadikan sebuah buku yang diterbitkan oleh Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang dengan judul: Estetika Batik Keraton Surakarta. Di samping itu ada pula hasil penelitian berupa tesis lain yang berjudul “Kajian Bentuk dan Makna Motif Parang Pada Batik Tulis Keraton Surakarta Hadiningrat” (Wahidah, 2008) yang menggunakan pendekatan kebudayaan.

Dari beberapa tesis di atas nampak bahwa belum ada penelitian yang mengambil tema tentang batik Gajah Oling. Oleh karena itu, penulis mengambil tesis tentang Kajian Makna Filosofi Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi ini agar didapatkan kedalaman makna filosofi dari batik tersebut dan guna pelestariannya. Dari beberapa judul di atas dapat dinyatakan pula bahwa tesis yang akan penulis angkat ini merupakan penelitian yang asli tidak ada duplikasi dan bisa dibilang tesis pertama yang mengangkat tema tentang makna filosofi motif batik Gajah Oling Banyuwangi.

F. Kerangka Teoretik

Secara etimologis batik berasal dari kata ambhatik (bahasa Jawa) yang memiliki akar kata “thik” yang mempunyai arti “kecil”. Jadi ambatik dapat diartikan menulis atau menggambar serba rumit karena banyak unsur kecil-kecil yang harus dibuat dan disusun. Unsur yang disusun tersebut pada akhirnya akan menghasilkan sebuah motif batik. Motif batik adalah kerangka gambar yang menunjukkan batik secara keseluruhan. Menurut unsurnya, maka motif batik dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu ornamen motif batik dan isen motif batik.


(16)

Ornamen motif batik dibedakan lagi atas ornamen utama dan ornamen pengisi bidang atau tambahan (Susanto, 1980: 212).

Ditinjau dari sudut daerah pembatikan batik dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu batik Vorstenlanden dan pesisir. Batik Vorstenlanden adalah batik dari daerah Solo dan Yogya. Di jaman penjajahan Belanda kedua daerah ini dinamakan daerah Vorstenlanden. Sementara itu batik pesisir adalah semua batik yang pembuatannya dikerjakan di luar daerah Solo dan Yogya. Pembagian atas batik dalam dua kelompok ini, terutama berdasarkan sifat ragam hias dan warnanya (Djoemena, 1990: 7).

Batik pesisiran merupakan batik yang tidak terikat oleh aturan baku (pakem) seperti halnya batik keraton. Ragam hias batik pesisiran dapat berasal dari mana saja dan dengan pewarnaan apa saja. Batik pesisiran langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Yang secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Cina di Cirebon adalah ragam hiasnya (Hasanudin, 2001: 269).

Ciri kedaerahan berbagai jenis batik pesisiran utara Jawa dapat disimpulkan menjadi beberapa hal. Pertama, ciri kedaerahan dipengaruhi oleh tradisi setempat dalam memilih bahan, komposisi malam, alat yang dipakai, kebiasaan dalam proses pewarnaan (celup) yang mengacu pada warna-warna alam, dan kebiasaan mengenal ragam hias. Kedua, ciri kedaerahan dipengaruhi oleh tuntutan konsumen, yang tercermin pada pasar lokal dan pasar manca. Ketiga, ciri kedaerahan dipengaruhi oleh pengalaman pengusaha atau perajin yang bersangkutan dalam melakukan proses pembabaran dan menetapkan segmen


(17)

pasar. Keempat, ciri kedaerahan dipengaruhi oleh kecenderungan untuk melakukan efisiensi proses pembatikan untuk tujuan ekonomis, sehingga timbul penyederhanan dan percepatan (Hasanudin, 2001: 168).

Batik Gajah Oling adalah motif khas dari daerah Banyuwangi. Batik Gajah Oling Banyuwangi tergolong sebagai motif batik pesisiran karena Banyuwangi berada pada wilayah pesisir utara Pulau Jawa ujung paling timur. Pada batik pesisiran ciri-ciri yang dipunyai pertama ragam hias bersifat naturalistis itu sesuai dengan ragam hias batik Gajah Oling, yaitu motifnya berupa flora dan fauna.

Pola flora dan fauna tetap harus ditemukan pola dasarnya, yakni cara bagaimana kesatuan motif yang diambil dari gambar flora dan fauna itu terbentuk. Semua pola pada dasarnya dimaksudkan untuk menghadirkan entitas paradoks. Paradoks adalah hakikat ada yang sejati. Semua gejala kehidupan bersumber dari entitas paradoks (Sumardjo, 2006: 72).

Diduga keberadaan batik Gajah Oling berkembang sejak abad ke16-17 Masehi. Pada saat itu merupakan masa penaklukan Blambangan oleh Mataram yakni pada masa Sultan Agung Hanyorko Kusumo (1613-1645 M). Pada kekuasaan Mataram inilah banyak kawula Blambangan dibawa ke pusat Pemerintahan Mataran Islam di Pleret Kotagede, sehingga tidak mustahil para kawula Blambangan ini belajar membatik di Keraton Mataram Islam.

Dari beberapa pendapat masyarakat masa kini tentang arti dari Gajah Oling ini adalah oling yang berarti binatang sejenis belut, dan gajah tidak digambarkan sebagaimana bentuk binatang melainkan melambangkan bentuk yang besar,


(18)

sehingga bisa dikatakan Gajah Oling adalah hewan oling yang besar (Baihaqi, 2008: 25). Azhar (2007:57) menyatakan bahwa secara filosofi motif Gajah Oling yang merupakan plesetan dari Gajah Eling yang memiliki arti sosok yang besar Gajah (dalam hal dilambangkan dengan belalai) dan kata Eling yang akhirnya menjadi Oling. Penciptaan pertama Gajah Oling ingin memberi makna filosofi yang berarti bahwa mengingatkan Allah Yang Mahabesar adalah sebuah jalan terbaik dalam menjalani hidup ini.

Batik pesisiran berawal dari batik keraton yang mempunyai banyak makna filosofi di dalamnya. Begitu juga dengan batik Gajah Oling yang juga mempunyai banyak makna filosofi, sehingga penelitian ini difokuskan untuk batik Gajah Oling yang digunakan untuk upacara adat dan untuk penari. Makna tersebut dikaji dalam hal sejarah, kebudayaan, dan estetika paradoks.

Batik adalah produk kebudayaan (artefact). Dari pandangan antropologi, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya untuk belajar (Koentjaraningrat, 2005: 72).


(19)

Bagan 1.1. Skema Kerangka Pemikiran (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2009)

Kerangka pemikiran tersebut digunakan untuk memberikan landasan penjelasan terhadap permasalahan, dan dasar bagi penyusunan metodologi dalam penelitian. Secara deskriptif karangka tersebut dirinci ke dalam bentuk hipotesis kerja. Menurut pengertiannya hipotesis kerja merupakan pedoman utama untuk

LATAR BELAKANG MASYARAKAT

BANYUWANGI (SUKU USING): KONSEP

KESUKUAN, SEJARAH, NILAI-NILAI

TRADISI BUDAYA LOKAL, DAN UNSUR-UNSUR BUDAYA

MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI BATIK PESISIRAN BATIK KERATON RAGAM HIAS INDONESIA

ESTETIKA PARADOKS, ILMU ANTROPOLOGI DAN ILMU HERMENEUTIKA

FUNGSI BATIK GAJAH OLING: FUNGSI SAKRAL

(UPACARA DAN TARIAN) DAN FUNGSI

PROFAN

MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI UNSUR VISUAL BATIK

GAJAH OLING: WARNA, BENTUK,

POSISI, UKURAN.

MAKNA FILOSOFI MOTIF POKOK, MOTIF

PENGISI BIDANG, DAN MOTIF PINGGIRAN BATIK


(20)

melaksanakan seluruh kegiatan penelitian guna memfokuskan perhatian. Di samping itu dimaksudkan sebagai kerangka dan petunjuk dalam memulai proses penelitian, sehingga bisa berkembang, berkurang atau bertambah.

Pembahasan tentang makna filosofi motif batik Gajah Oling terbagi dalam 2 (dua) fokus penelitian, yaitu pada fungsi sakral sebagai busana dan perangkat yang dipakai untuk menari dan busana yang dipakai untuk upacara adat. Dari kedua fokus penelitian ini akan dikaji mengenai makna filosofi dari bentuk motif dalam hal: ornamen pokok, ornamen pengisi bidang dan motif pinggiran. Selain bentuk juga makna filosofi dari warna, ukuran dan posisi motif batik Gajah Oling.

G.Metodologi Penelitian

Penelitian ini berusaha mengetahui kajian makna filosofis pada motif batik Gajah Oling Banyuwangi. Karena itulah penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika yang dianggap paling tepat dalam penelitian ini. Hermeneutika merupakan salah satu teori yang menjadi dasar sangat penting dan juga mewarnai penelitan kualitatif.

Hermeneutika berarti penafsiran atau interpretasi sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu (Sumaryono, 1999: 24). Hermeneutika mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya, kita melakukan interpretasi atas interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri (Sutopo, 2002: 26). Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan etik (rasional filosofinya) dan pendekatan emik digunakan sebagai pembanding dengan tafsiran yang ditemukan.


(21)

Dalam penelitian ini diperlukan data, dan informasi yang diperoleh dari berbagai macam sumber data. Oleh karena itu strategi yang digunakan untuk mengumpulkan data-data tersebut adalah strategi pemahaman. Untuk memahami makna dalam berbagai fenomena dari sumber data, dan informasi dilakukan melalui sumber tertulis, sehingga diperlukan penelusuran kepustakaan. Di samping itu diperoleh dari sumber lisan melalui penelitian lapangan dan sumber lain-lain berupa karya batik Gajah Oling yang diduga mempunyai banyak makna filosofi di dalamnya.

1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian kualitatif dipilih berdasarkan jenis informasi yang diperlukan berdasarkan arahan beragam hal yang terdapat dalam rumusan masalah (Sutopo, 2002: 143). Jadi sumber data dalam penelitian ini adalah beberapa pebatik motif batik Gajah Oling yaitu Ibu Kulsum (70 tahun) dan Ibu Acum (60 tahun); perajin motif batik Gajah Oling yaitu: perajin batik Sayu Wiwit, Ferdes, dan Sri Tanjung; para kolektor batik; dan budayawan di Banyuwangi yaitu budayawan Using Bapak Hasnan Singodimajan (80 tahun); dan Bapak Azhar Prasetyo (58 tahun), pengurus Dewan Kesenian Blambangan dan Dewan Kesenian Jawa Timur. Sumber data dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik Snowball Sampling. Dalam Snowball Sampling peneliti berjalan tanpa rencana, semakin lama semakin mendekati informan yang paling mengetahui informasinya, sehingga ia akan mampu menggali data secara lengkap dan mendalam (Sutopo, 2002: 57).


(22)

2. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah para pebatik dan perajin batik Gajah Oling di Banyuwangi. Pebatik di daerah Banyuwangi ini tepatnya berada di kelurahan Temenggungan yaitu beberapa wanita tua berusia sekitar 60 sampai 80 tahun yang masih eksis membatik. Sasaran lainnya adalah tiga perajin batik Gajah Oling yang sudah sangat besar dan terkenal di Banyuwangi, yaitu Virdes yang terletak di Desa Tampo Kecamatan Cluring, Sayu Wiwit yang terletak di Kelurahan Temenggungan Kecamatan Banyuwangi, dan Sri Tanjung yang berada di Kelurahan Lateng Kecamatan Banyuwangi. Untuk menambah data agar lebih lengkap dan mendalam, sasaran penelitian juga dilakukan pada budayawan serta kolektor batik di Banyuwangi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi.

a. Wawancara

Tujuan umum melakukan wawancara adalah: untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktifitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, dan sebagainya, untuk mengkonstruksi beragam hal seperti itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau, dan memproyeksikan hal-hal itu dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang (Sutopo, 2002: 58).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Teknik wawancara atau interview yaitu untuk memperoleh data dengan cara bertanya langsung kepada nara sumber guna memperoleh informasi


(23)

dan keterangan yang lebih jelas untuk tujuan penelitian ini. Adapun informasi ini diperoleh dari pebatik yaitu Ibu Kulsum (70 tahun) dan Ibu Acum (60 tahun); budayawan Using Bapak Hasnan Singodimajan (80 tahun); dan pada Bapak Azhar Prasetyo (58 tahun), pengurus Dewan Kesenian Blambangan. Wawancara juga pada Drs. Totok Hariyanto Alumni Fakultas Sastra Budaya UNDIP Semarang yang kini menjadi dosen di UNTAG Banyuwangi dan Aguk W Nuryadi Humas Pendidikan Seni Nusantara di Banyuwangi serta pada pemilik batik Sayu Wiwit yaitu Bapak Soenjoyo Julhaji.

b. Observasi

Teknik Observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat, lokasi, dan benda serta rekaman gambar. Observasi penelitian dalam Alwasilah (2002: 211) adalah pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk perolehan data yang dikontrol validitas dan reliabilitasnya. Observasi langsung di lapangan, baik secara formal maupun tidak formal. Tempat kegiatan berada di daerah kota Banyuwangi yaitu sentra batik di Desa Temenggungan, museum, para kolektor, dan budayawan di Banyuwangi. Hal yang diamati mencakup proses pembatikan dan berbagai jenis batik yang meliputi motif, warna, bahan serta fungsinya. Tetapi yang terutama motif batik Gajah Oling yang digunakan untuk penari Gandrung dan busana pada upacara Seblang. Kegiatan penelitian diawali dengan para kolektor batik, kemudian melakukan pengamatan ke sentra batik di desa Temenggungan. Hal tersebut dilakukan terutama untuk mendapatkan data-data berupa karya batik tradisional,


(24)

dan informasi dari nara sumber mengenai hal ikhwal karya-karya batik yang menjadi objek penelitian.

c. Dokumentasi

Dokumen merupakan sumber data yang sering memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif. Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari yang tertulis sederhana sampai yang lebih lengkap, dan bahkan bisa berupa benda-benda lainnya sebagai peninggalan masa lampau. Mencatat dokumen ini oleh Yin (dalam Sutopo: 2002, 64) disebut sebagai content analysis, dan yang dimaksudkan bahwa peneliti bukan sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena itu dalam menghadapi beragam dokumen tertulis sebagai sumber data, peneliti harus bisa bersikap kritis dan teliti. Dalam hal ini terutama data tentang beberapa motif batik Banyuwangi, motif batik Gajah Oling dengan berbagai kombinasi.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik merekam dan teknik catat, artinya merekam dan mencatat langsung dari penuturan sumber. Data tersebut kemudian diklasifikasikan, diolah, serta disusun menjadi laporan.

4. Validitas Data

Ketepatan data tidak hanya tergantung dari ketepatan memilih sumber data dan teknik pengumpulannya, tetapi juga diperlukan teknik pengembangan validitas data. Data yang valid akan memberikan jaminan bagi kemantapan kesimpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian. Teknik validitas data yang dianggap paling cocok digunakan dalam penelitian ini adalah teknik trianggulasi sumber.


(25)

Trianggulasi sumber bisa menggunakan satu jenis sumber data seperti misalnya informan, namun beberapa informan atau narasumber yang digunakan harus merupakan kelompok atau tingkatan yang berbeda-beda,…(Sutopo, 2002: 79). Trianggulasi sumber yang memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk menggali data yang sejenis. Di sini tekanannya pada perbedaan sumber data, bukan pada teknik pengumpulan data atau yang lain (Sutopo, 2002: 79).

5. Analisis Data

Tiga komponen analisis data dalam penelitian kualitatif adalah reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan dengan verifikasi. Model analisis data kualitatif yang dianggap cocok untuk digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif.

Bagan 1.2. Model Analisis Interaktif (Sumber: Sutopo, 2002: 96)

Reduksi dan sajian data ini harus disusun pada waktu peneliti sudah mendapatkan unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila simpulan dirasa kurang

PENGUMPULANDATA

REDUKSI DATA

PENARIKAN SIMPULAN /VERIFIKASI


(26)

mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti wajib kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data. Dalam keadaan ini tampak bahwa penelitian kualitatif prosesnya berlangsung dalam bentuk siklus. Biasanya, sebelum peneliti mengakhiri proses pelaksanaan penelitiannya dan menyusun laporan, kegiatan pendalaman data ke lapangan studinya dilakukan untuk menjamin mantapnya hasil akhir penelitian (Sutopo, 2002: 96).


(27)

Bagan 1.3 Alur Penelitian (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2009)

IDENTIFIKASI MASALAH

RUMUSAN MASALAH TUJUAN PENELITIAN

MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH

OLING

VARIASI MOTIF BATIK GAJAH OLING

FUNGSI BATIK GAJAH OLING DALAM MASYARAKAT

MAKNA FILOSOFI DARI MOTIF DASAR

BATIK GAJAH OLING UNSUR-UNSUR VISUAL: WARNA, BENTUK, UKURAN, POSISI.

MOTIF BATIK YANG DIPAKAI UNTUK: UPACARA

SEBLANG DAN PENARI GANDRUNG DOKUMENTASI WAWANCARA DOKUMENTASI OBSERVASI WAWANCARA OBSERVASI DOKUMENTASI

MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH OLING BANYUWANGI

SIMPULAN DAN SARAN

PROSES PEMBUATANNYA, BAHAN DAN JENIS MOTIF BATIK YANG

DIGUNAKAN

MAKNA FILOSOFI MOTIF POKOK, MOTIF PENDUKUNG, DAN MOTIF PINGGIRAN BATIK

GAJAH OLING DASAR PENCIPTAAN, TUJUAN, MAKNA FILOSOFI MAKNA FILOSOFI DARI BENTUK, WARNA , UKURAN DAN POSISI BATIK


(28)

H.Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan. Pada bab ini penulis menguraikan pokok-pokok penelitian

tentang: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik yang akan mengetengahkan secara singkat tentang tinjauan pustaka apa saja yang digunakan, diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka. Bab II ini, berisikan tentang teori-teori yang digunakan

yaitu teori tentang hermeneutika, estetika paradoks dan antropologi kebudayaan. Bab ini merupakan bab yang berisi mengenai konsep-konsep dan teori yang mendukung penelitian. Penentuan konsep yang digunakan didasari pada latar belakang masalah dan kebutuhan penelitian yang dilakukan.

Bab III Berisi gambaran umum tentang batik yang terdiri dari definisi batik,

sejarah batik Indonesia, motif batik, dan pengelompokan batik ditinjau dari pola dan konteks budayanya. Selanjutnya tentang batik Banyuwangi yang terdiri dari sejarah Banyuwangi, suku Using Banyuwangi, sejarah batik Banyuwangi, mitologi asal usul batik Banyuwangi, variasi motif batik Banyuwangi dan lebih spesifik pada batik Gajah Oling baik dari sisi variasi, fungsi, ukuran, dan proses pembuatannya. Data-data untuk penulisan tesis ini diambil dari dokumentasi berupa tulisan dari buku dan artikel dan hasil fotografi, wawancara dengan responden yang kompeten, serta observasi. Pada bab ini diuraikan mengenai


(29)

data-data penelitian yang didasari oleh filosofi penelitian (bab I) serta identifikasi konsep pada bab II.

Bab IV Adalah bab yang berisi analisis data yang menyajikan pemaknaan dan

penafsiran, berupa cara kerja teori dalam menghadapi data. Isinya tentang kedudukan motif batik Gajah Oling di dalam Masyarakat Banyuwangi, visual motif batik Gajah Oling, serta makna filosofi motif batik Gajah Oling. Bab ini merupakan inti dari kajian penelitian yang didasari oleh filosofi penelitian (bab I) serta uji konsep yang ditemukan pada bab II. Masalah yang dianalisis meliputi data-data dan konsep yang dikemukakan pada bab II dan bab III.

Bab V Berisi kesimpulan dari berbagai hal yang telah dibahas pada bab-bab

sebelumnya. Juga berisi saran dan tanggapan penulis terhadap masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan penelitian.


(30)

Bagan 1.4. Skema Penyajian Penulisan (Sumber: Dokumentasi Penulis, 2009)

LATAR BELAKANG MASALAH

RUMUSAN MASALAH

TUJUAN PENELITIAN MANFAAT PENELITIAN

KERANGKA TEORETIS

• TINJAUAN PUSTAKA

• KERANGKA PEMIKIRAN

METODOLOGI PENELITIAN

• SUMBER DATA,

PENELITIAN, TEKNIK PENGUMPULAN DATA, VALIDITAS DATA, DAN ANALISIS DATA

LANDASAN TEORETIS

• HERMENEUTIKA

• ESTETIKA PARADOKS

• ANTROPOLOGI KEBUDAYAAN

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

• VISUAL MOTIF BATIK GAJAH OLING

• KEDUDUKAN MOTIF BATIK GAJAH OLING DI

DALAM MASYARAKAT BANYUWANGI

• MAKNA FILOSOFI MOTIF BATIK GAJAH

OLING

KESIMPULAN DAN TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN


(31)

223 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.SIMPULAN

1. Kedudukan Motif Batik Gajah Oling di Dalam Masyarakat Banyuwangi

a. Fungsi Sakral

Fungsi sakral pada penggunaan motif batik Gajah Oling difokuskan pada upacara adat Seblang dan tarian Gandrung. Motif ini terdapat pada upacara adat Seblang yang digunakan sebagai kain panjang oleh penari, sinden dan pengrawit; selendang oleh pawang panekep; dan udeng oleh pawang pengundang/dukun. Sedangkan pada Gandrung motif Gajah Oling digunakan pada penari sebagai kain panjang, dan pada omprog serta basahan. Warna yang digunakan untuk Seblang dan Gandrung mayoritas berlatar putih, terutama pada upacara Seblang. Motif Gajah Oling dengan latar putih motif warna hitam merupakan warna yang paling sakral, karena warna ini harus selalu ada pada setiap upacara adat Seblang Bakungan dan Olehsari. Begitu juga pada tarian Gandrung dan pada Jaran Kencak Paju Gandrung.

b. Fungsi Profan

Motif batik Gajah Oling pada masyarakat umum dipakai sebagai seragam untuk sekolah, pegawai Pemerintahan Daerah, dan Pegawai Negeri Sipil. Penggunakan motif ini dengan warna dan logo yang berbeda sesuai instansi masing-masing. Batik yang digunakan lebih berwarna-warni dan dari bentuk aslinya ada yang diubah dan ada yang tidak (tetap motif asli). Motif batik ini digunakan sebagai ciri khas Banyuwangi dan dipakai sebagai pakaian adat oleh


(32)

Jebeng Thulik yang pada awalnya ciri khas ini berasal dari upacara Seblang dan tarian Gandrung. Pada motif batik Gajah Oling kain yang berwarna warni lebih bersifat duniawi, manusia, dan profan.

2. Visual Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi

Dari beberapa variasi motif batik Gajah Oling yang ada di Banyuwangi, maka yang paling banyak teridentifikasi dalam satu ornamen pokok selalu terdapat satu ornamen Gajah Oling, tiga helai daun dilem, tiga helai bunga manggar dan satu bunga melati dengan lima kelopak. Motif yang teridentifikasi terdapat ornamen tersebut merupakan motif batik Gajah Oling yang asli, yang masih sering digunakan dalam upacara Seblang dan dipakai untuk menari Gandrung.

Motif batik Gajah Oling motif pokoknya berasal dari varian dasar huruf S, yang merupakan pola huruf purba yang ada di Indonesia. Motif Gajah Oling bersifat sakral karena sifatnya dwitunggal antagonistik, yang juga terdapat pada bejana kerinci, perisai asmat, dan lain sebagainya. Huruf S ternyata di beberapa tempat ditransformasikan menjadi ½ huruf S, dan dalam perkembangannya menjadi 3 sulur (1=3). Dwitunggal padanannya tritunggal. Gejala tritunggal biasanya terdapat pada masyarakat ladang/primordial yang terdapat di daerah-daerah perbukitan (Pola Tiga). Motif pokok batik Gajah Oling terdapat pula pada motif modang yang berasal dari Solo, pada batik yang ada di Garut dan pada Bindu Matoga dari Batak.

Warna yang digunakan oleh penari Seblang Bakungan dan Gandrung tradisional adalah warna merah, yang dipakai oleh penari Gandrung muda mudi, penari Seblang Olehsari, pawang pengundang, pawang panekep, sinden serta


(33)

pengrawit adalah warna latar putih motif warna hitam, dan kadang juga penari Seblang Olehsari menggunakan batik Gajah Oling latar hijau. Keempat warna yaitu hitam, putih, merah, dan hijau, merupakan warna ritual atau purba. Putih sebagai simbol langit (dunia atas), hitam sebagai simbol bumi (dunia bawah), merah sebagai simbol dunia manusia (dunia tengah) dan hijau merupakan pusat transenden yang ada di tengah-tengah papat kalimo pancer, sebagai kosmik tertinggi karena percampuran dari berbagai warna.

Ukuran kain panjang yang dipakai oleh penari dan yang dipakai oleh orang awam berbeda, yang dipakai penari berukuran 2,5 meter sedangkan yang dipakai orang awam berukuran 2 meter. Perincian 2,5 meter yaitu 1 meter untuk bagian badan depan, 1 meter untuk badan bagian belakang dan 0,5 meter untuk wiron. Wiron sebagai dunia tengah atau medium, sehingga batik merupakan pasangan kembar mandala atau papat kalimo pancer sebagai simbol paradoks.

Bentuk motif yang digunakan oleh penari dan untuk upacara ukurannya lebih besar dari pada motif yang digunakan untuk masyarakat umum. Bentuk yang lebih besar maka lebih bersifat sakral serta lebih besar daya-daya transendennya, dari pada bentuk yang lebih kecil.

3. Makna Filosofi pada Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi

Pada motif batik Gajah Oling terdapat ornamen pokoknya yang terdiri dari ornamen Gajah Oling, daun dilem, bunga melati dan bunga manggar; ornamen pinggiran/pengisi bidang yang terdiri dari ornamen kupu-kupu dan ornamen daun katu; sedangkan pada motif pinggiran terdapat motif pucuk rebung.


(34)

Motif pinggiran yang ada pada motif batik Gajah Oling yaitu motif pucuk rebung yang maknanya sama dengan gunungan wayang dan pohon hayat. Motif pucuk rebung pada pemakaiannya posisi pada bagian bawah terbalik yang disebut dengan waringin sungsang ataiu beringin terbalik.

Pada kain panjang dan selendang motif batik Gajah Oling dari satu kacu terdiri dari 9 Gajah Oling dengan besaran bentuk dan arah hadap yang sama terdapat 1 Gajah Oling di pusat. Pusat itu merupakan peleburan/pengembangan diri dari 8 Gajah Oling di 8 arah mata angin yang disatukan di pusat. 9 Gajah Oling pada 1 kacu menggambarkan tentang papat kalimo pancer ganda, pola tersebut disebut dengan asta brata atau delapan kualitas spiritual.

Pola batik pada kain panjang, udeng dan selendang yang digunakan untuk upacara dan penari mengikuti pola mandala atau papat kalimo pancer, mandala itu ruang suci, mandala membawa simbol paradoks, hadirnya yang transenden (berbentuk lingkaran) di ruang imanen (berbentuk bujur sangkar). Gambar mandala namanya yantra, kata-kata mandala namanya mantra.

Posisi motif batik Gajah Oling pada pemakaian untuk penari Seblang Bakungan, pawang, sinden, penari Gandrung menghadap ke kiri maka gerakannya searah dengan jarum jam berarti naik dan menjemput 7 bidadari. Hal ini berarti dari imanen ke transenden. Posisi pada penari Seblang Olehsari menghadap ke kanan maka gerakannya berlawanan dengan arah jarum jam berarti turun dan di datangi oleh 7 bidadari. Hal ini berarti dari transenden ke imanen.


(35)

B.SARAN

1. Bagi Instansi

Rekomendasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pandangan bagi lembaga dan institusi yang bergerak di bidang usaha pelestarian serta pengembangan khasanah tradisi budaya Indonesia. Dengan demikian dapat memacu tumbuhnya minat untuk melakukan penelitian dan pengkajian lanjutan, sehingga dapat memperkaya pengetahuan keragaman kebudayaan Nusantara masa depan.

Pada instansi Dinas Pendidikan diharapkan sering mengadakan seminar atau workshop tentang batik Banyuwangi kepada para pendidik Seni Budaya agar dapat mentransferkan ilmunya pada siswa didiknya di Banyuwangi. Agar siswa dapat lebih menghargai hasil budaya bangsanya, bukan hanya batik untuk dipakai saja, melainkan untuk dijaga kelestarikan.

2. Bagi Calon Peneliti

Penelitian yang penulis teliti merupakan sebagian kecil dari hasil budaya di Indonesia. Maka dari itu perlu adanya penelitian lanjut tentang budaya di Banyuwangi terutama batik sebagai hasil karya cipta warisan leluhur. Penelitian lanjut tentang batik bisa tentang perkembang visual atau manfaatnya dalam masyarakat. Seni budaya lama yang masih terpendam dan belum terangkat perlu adanya penelitian yang mendalam khususnya para peneliti/akademisi selanjutnya.

Banyak sekali budaya tradisional bangsa di Indonesia yang belum terungkap sampai saat ini. Terungkapnya data tempo dulu akan menambah keilmuan baru


(36)

bagi yang senang penelitian. Bila hal ini tidak diperhatikan nantinya akan kedahuluan bangsa lain untuk meneliti. Kejadian ini akan memalukan kita karena seni budaya yang adiluhung justru ditulis atau didalami orang luar.

3. Bagi Pebatik dan Perajin

Para pebatik dan perajin sebaiknya mengerti dan memahami arti dan falsafah batik yang diproduksinya agar karya batiknya lebih berkualitas dan terjaga keasliannya. Sangat minim dan langkanya para pebatik di Banyuwangi yang berwawasan secara dalam akan menurunkan budaya batik. Agar budaya batik tidak merosot perlu adanya pembinaan terhadap generasi muda yang ditangani secara serius agar batik tetap menjadi kualitas tinggi. Perlu juga pembinaan pada tentang pemakaian batik yang disesuaikan dengan fungsi dan falsafahnya.

4. Bagi Masyarakat Banyuwangi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan tentang makna filosofi, konsep penciptaan, jenis, dan fungsi batik Gajah Oling dalam masyarakat Banyuwangi. Secara khusus akan memberikan sumbangan pengetahuan dan wawasan dalam pengembangan ilmu kesenirupaan dan budaya, terutama batik. Di samping itu dapat memberi masukan bagi berbagai kepentingan, seperti untuk disiplin ilmu-ilmu terkait.


(37)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Pokoknya Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya. Auboyer dkk. (1978). Oriental Art a handbook of Style and Forms.

London-Boston: Faber and Faber.

Dariharto. (2009). Kesenian Gandrung Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Djelantik, A. A. M. (1999). Estetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Djoemena, Nian. (1990). Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan. Hamzuri. (1994). Batik Klasik. Jakarta: Djambatan.

Hartoko, Dick. (1984). Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius. Hasanudin. (2001). Batik Pesisiran. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Hidayah, Julyani. (1997). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Ihromi, TO. (2006). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kartika, Dharsono Sony. (2007). Budaya Nusantara. Bandung: Rekayasa Sains. ____________________. (2007). Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.

Kerlogue, Fiona. (2004). Batik Design, Style & History. Singapore: Thames dan Hudson.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lumbantobing, Andar. (1996). Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Palmer, Richard E. (1969). Hermenautika. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Pepin Van Roojen. (2001). Batik Design. Amsterdarm-Singapura: The Pepin Press.


(38)

Prasetyo, Azhar. (2007). Batik Banyuwangi. Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan.

Prawira, Nanang Ganda. (2000). Sejarah Seni Rupa Modern. Bandung: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat

Jenderal Pendidika Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional

Pujileksono, Sugeng. (2006). Pengantar Antropologi. Malang. UMM PRES. Pujiyanto. (2008). Estetika Batik Keraton Surakarta. Malang: Jurusan seni Dan

Desain-Fakultas Sastra-Universitas Negeri Malang. Riyanto, Didik. (1995). Proses Batik. Yogyakarta: C V Aneka. Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB Bandung.

_____________. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press. _____________. (2009). Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda. Bandung: Kelir. Sumaryono, E. (1999). Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:

Kanisius.

Sutrisno, Mudji. (2005). Teks-teks Kunci Estetika. Yogyakarta: Galang Press Singodimajan, Hasnan. (2009). Ritual Adat Seblang Sebuah Seni Perdamaian

Masyarakat Using Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Smith dan Nephew. Tanpa Tahun. Batik. Australia: Tanpa Penerbit. Soehardjo, A. J. (2004). Pengantar Estetika. Malang. JSD FS UM.

Sony Kartika, Darsono. (2006). Budaya Nusantara. Bandung: Rekayasa Sains. Susanto, Mudji. (2009). Ranah-ranah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Susanto, Sewan. (1980). Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan-Lembaga Penelitian dan Pendidikan Idustri, Departemen Perindustrian RI.

Sutarto, Ayu dan Sudikan, Setya Yuwana. (2008). Pemetaan Kebudayaan di

Propinsi Jawa Timur. Jember: Biru Mental Spiritual Jatim dan

Kompyawisda Jatim.

Sutopo, H. B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.


(39)

Tanpa Nama. (2009). Gendhing-gendhing Mantra Seblang Olehsari. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Periwisata Kabupaten Banyuwangi. Tantular, Mpu. (2009). Kakawin Sutasoma. Jakarta: Komunitas Bambu.

Tarjo, Enday dan Nanang Ganda Prawira. (2009). Konsep dan Strategi Pembelajaran Seni Rupa. Bandung: Bintang Warli Artika dan Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FPBS UPI Bandung

The Liang Gie. (2004). Filasafat Keindahan. Yogyakarta. Pusat Belajar Ilmu Berguna.

Tim Penyusun, (2008). Pedoman Penulisan karya Ilmiah. Bandung. UPI

Yudoseputro, Wiyoso. (2008). Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa indonesia Lama. Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, Fakultas Film dan Televisi IKJ, Fakultas Seni Rupa IKJ, Koperasi Sinematografi IKJ.

Van Der Hoop. (1949). Ragam-ragam Perhiasan Indonesia. Jakarta: Koninklijk Bataviaasch Genootshap Van Kunsten En Wetenschappen.

Van Peursen, C. A. (1974). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Wiryomartomo, Bagoes P. 2001. Pilar-Pilar Penyingkap Rasa, Sebuah Wacana

Seni dan Keindahan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. MAKALAH, MAJALAH DAN KORAN

Aris, Sudibyo dkk. (1994). “Upaya Pelestarian dan Pengembangan Budaya Banyuwangi Ditinjau dari Segi Adat Istiadat dan Bahasa sebagai Alternatif Pendukung Pengembangan Pariwisata”. Makalah Seminar Hari Jadi dan Kebudayaan Banyuwangi Universitas 17 Agustus 1945. Banyuwangi. Armaya. (1994). “Upaya Pelestarian Gandrung Banyuwangi di Era Globalisasi”.

Makalah Seminar Hari Jadi dan Kebudayaan Banyuwangi Universitas 17 Agustus 1945. Banyuwangi.

Avrikartika, Aldila. (2009). “ Menyaksikan Pelestarian Tradisi Jaran Kencak

Paju Gandrung, Bikin Arisan Sekaligus Atraksi Dua Minggu Sekali”. Jawa

Pos (29 Oktober 2009).

Baihaqi, Agus. (2008). “Berkreasi Tanpa Meninggalkan Motif Banyuwangi”. Jawa Pos.

Cokro, Galih. (2009). “Ditiup, Lalu Menari Semalam Suntuk”. Jawa Pos. (8 Desember 2009.

Kushardjanti, Nyi. (2008). “Makna Filosofi Motif dan Pola Batik Klasik Tradisional”. Makalah pada Seminar Nasional Batik, Yogyakarta.


(40)

Prasetyo, Azhar. (2008). “Gajah Oling Lambang Kekuatan”. Jawa Pos.

Sutaryo, Maryana dan Handoyo, Adi. (2009, Februari). “Gunungan”. Versus, 2, 93.

TESIS DAN DESERTASI

Rizali, Nanang. 2000. Perwujudan Tekstil Tradisional di Indonesia. Disertasi pada Program Studi Desain ITB Bandung: Tidak Diterbitkan.

Sudiarti, Tuti. (2008). Kajian Estetika Busana Kebesaran Sultan Kasepuhan Kanoman dan Kacirebonan. Program Studi Desain. Institut Teknologi Bandung: Tidak Diterbitkan.

Wahidah, (2008). Kajian Bentuk dan Makna Motif Parang pada Batik Tulis Keraton Surakarta Hadiningrat. Tesis pada Program Studi Pendidikan Seni UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.


(1)

B.SARAN 1. Bagi Instansi

Rekomendasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pandangan bagi lembaga dan institusi yang bergerak di bidang usaha pelestarian serta pengembangan khasanah tradisi budaya Indonesia. Dengan demikian dapat memacu tumbuhnya minat untuk melakukan penelitian dan pengkajian lanjutan, sehingga dapat memperkaya pengetahuan keragaman kebudayaan Nusantara masa depan.

Pada instansi Dinas Pendidikan diharapkan sering mengadakan seminar atau workshop tentang batik Banyuwangi kepada para pendidik Seni Budaya agar dapat mentransferkan ilmunya pada siswa didiknya di Banyuwangi. Agar siswa dapat lebih menghargai hasil budaya bangsanya, bukan hanya batik untuk dipakai saja, melainkan untuk dijaga kelestarikan.

2. Bagi Calon Peneliti

Penelitian yang penulis teliti merupakan sebagian kecil dari hasil budaya di Indonesia. Maka dari itu perlu adanya penelitian lanjut tentang budaya di Banyuwangi terutama batik sebagai hasil karya cipta warisan leluhur. Penelitian lanjut tentang batik bisa tentang perkembang visual atau manfaatnya dalam masyarakat. Seni budaya lama yang masih terpendam dan belum terangkat perlu adanya penelitian yang mendalam khususnya para peneliti/akademisi selanjutnya.

Banyak sekali budaya tradisional bangsa di Indonesia yang belum terungkap sampai saat ini. Terungkapnya data tempo dulu akan menambah keilmuan baru


(2)

bagi yang senang penelitian. Bila hal ini tidak diperhatikan nantinya akan kedahuluan bangsa lain untuk meneliti. Kejadian ini akan memalukan kita karena seni budaya yang adiluhung justru ditulis atau didalami orang luar.

3. Bagi Pebatik dan Perajin

Para pebatik dan perajin sebaiknya mengerti dan memahami arti dan falsafah batik yang diproduksinya agar karya batiknya lebih berkualitas dan terjaga keasliannya. Sangat minim dan langkanya para pebatik di Banyuwangi yang berwawasan secara dalam akan menurunkan budaya batik. Agar budaya batik tidak merosot perlu adanya pembinaan terhadap generasi muda yang ditangani secara serius agar batik tetap menjadi kualitas tinggi. Perlu juga pembinaan pada tentang pemakaian batik yang disesuaikan dengan fungsi dan falsafahnya.

4. Bagi Masyarakat Banyuwangi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan tentang makna filosofi, konsep penciptaan, jenis, dan fungsi batik Gajah Oling dalam masyarakat Banyuwangi. Secara khusus akan memberikan sumbangan pengetahuan dan wawasan dalam pengembangan ilmu kesenirupaan dan budaya, terutama batik. Di samping itu dapat memberi masukan bagi berbagai kepentingan, seperti untuk disiplin ilmu-ilmu terkait.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Pokoknya Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya. Auboyer dkk. (1978). Oriental Art a handbook of Style and Forms.

London-Boston: Faber and Faber.

Dariharto. (2009). Kesenian Gandrung Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Djelantik, A. A. M. (1999). Estetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Djoemena, Nian. (1990). Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan. Hamzuri. (1994). Batik Klasik. Jakarta: Djambatan.

Hartoko, Dick. (1984). Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius. Hasanudin. (2001). Batik Pesisiran. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Hidayah, Julyani. (1997). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Ihromi, TO. (2006). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kartika, Dharsono Sony. (2007). Budaya Nusantara. Bandung: Rekayasa Sains. ____________________. (2007). Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.

Kerlogue, Fiona. (2004). Batik Design, Style & History. Singapore: Thames dan Hudson.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lumbantobing, Andar. (1996). Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Palmer, Richard E. (1969). Hermenautika. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Pepin Van Roojen. (2001). Batik Design. Amsterdarm-Singapura: The Pepin Press.


(4)

Prasetyo, Azhar. (2007). Batik Banyuwangi. Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan.

Prawira, Nanang Ganda. (2000). Sejarah Seni Rupa Modern. Bandung: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat

Jenderal Pendidika Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional

Pujileksono, Sugeng. (2006). Pengantar Antropologi. Malang. UMM PRES. Pujiyanto. (2008). Estetika Batik Keraton Surakarta. Malang: Jurusan seni Dan

Desain-Fakultas Sastra-Universitas Negeri Malang. Riyanto, Didik. (1995). Proses Batik. Yogyakarta: C V Aneka. Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB Bandung.

_____________. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press. _____________. (2009). Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda. Bandung: Kelir. Sumaryono, E. (1999). Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:

Kanisius.

Sutrisno, Mudji. (2005). Teks-teks Kunci Estetika. Yogyakarta: Galang Press Singodimajan, Hasnan. (2009). Ritual Adat Seblang Sebuah Seni Perdamaian

Masyarakat Using Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Smith dan Nephew. Tanpa Tahun. Batik. Australia: Tanpa Penerbit. Soehardjo, A. J. (2004). Pengantar Estetika. Malang. JSD FS UM.

Sony Kartika, Darsono. (2006). Budaya Nusantara. Bandung: Rekayasa Sains. Susanto, Mudji. (2009). Ranah-ranah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Susanto, Sewan. (1980). Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan-Lembaga Penelitian dan Pendidikan Idustri, Departemen Perindustrian RI.

Sutarto, Ayu dan Sudikan, Setya Yuwana. (2008). Pemetaan Kebudayaan di Propinsi Jawa Timur. Jember: Biru Mental Spiritual Jatim dan Kompyawisda Jatim.

Sutopo, H. B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.


(5)

Tanpa Nama. (2009). Gendhing-gendhing Mantra Seblang Olehsari. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Periwisata Kabupaten Banyuwangi. Tantular, Mpu. (2009). Kakawin Sutasoma. Jakarta: Komunitas Bambu.

Tarjo, Enday dan Nanang Ganda Prawira. (2009). Konsep dan Strategi Pembelajaran Seni Rupa. Bandung: Bintang Warli Artika dan Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FPBS UPI Bandung

The Liang Gie. (2004). Filasafat Keindahan. Yogyakarta. Pusat Belajar Ilmu Berguna.

Tim Penyusun, (2008). Pedoman Penulisan karya Ilmiah. Bandung. UPI

Yudoseputro, Wiyoso. (2008). Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa indonesia Lama. Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, Fakultas Film dan Televisi IKJ, Fakultas Seni Rupa IKJ, Koperasi Sinematografi IKJ.

Van Der Hoop. (1949). Ragam-ragam Perhiasan Indonesia. Jakarta: Koninklijk Bataviaasch Genootshap Van Kunsten En Wetenschappen.

Van Peursen, C. A. (1974). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Wiryomartomo, Bagoes P. 2001. Pilar-Pilar Penyingkap Rasa, Sebuah Wacana

Seni dan Keindahan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. MAKALAH, MAJALAH DAN KORAN

Aris, Sudibyo dkk. (1994). “Upaya Pelestarian dan Pengembangan Budaya Banyuwangi Ditinjau dari Segi Adat Istiadat dan Bahasa sebagai Alternatif Pendukung Pengembangan Pariwisata”. Makalah Seminar Hari Jadi dan Kebudayaan Banyuwangi Universitas 17 Agustus 1945. Banyuwangi. Armaya. (1994). “Upaya Pelestarian Gandrung Banyuwangi di Era Globalisasi”.

Makalah Seminar Hari Jadi dan Kebudayaan Banyuwangi Universitas 17 Agustus 1945. Banyuwangi.

Avrikartika, Aldila. (2009). “ Menyaksikan Pelestarian Tradisi Jaran Kencak Paju Gandrung, Bikin Arisan Sekaligus Atraksi Dua Minggu Sekali”. Jawa Pos (29 Oktober 2009).

Baihaqi, Agus. (2008). “Berkreasi Tanpa Meninggalkan Motif Banyuwangi”. Jawa Pos.

Cokro, Galih. (2009). “Ditiup, Lalu Menari Semalam Suntuk”. Jawa Pos. (8 Desember 2009.

Kushardjanti, Nyi. (2008). “Makna Filosofi Motif dan Pola Batik Klasik Tradisional”. Makalah pada Seminar Nasional Batik, Yogyakarta.


(6)

Prasetyo, Azhar. (2008). “Gajah Oling Lambang Kekuatan”. Jawa Pos.

Sutaryo, Maryana dan Handoyo, Adi. (2009, Februari). “Gunungan”. Versus, 2, 93.

TESIS DAN DESERTASI

Rizali, Nanang. 2000. Perwujudan Tekstil Tradisional di Indonesia. Disertasi pada Program Studi Desain ITB Bandung: Tidak Diterbitkan.

Sudiarti, Tuti. (2008). Kajian Estetika Busana Kebesaran Sultan Kasepuhan Kanoman dan Kacirebonan. Program Studi Desain. Institut Teknologi Bandung: Tidak Diterbitkan.

Wahidah, (2008). Kajian Bentuk dan Makna Motif Parang pada Batik Tulis Keraton Surakarta Hadiningrat. Tesis pada Program Studi Pendidikan Seni UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.