Standar Kelulusan untuk Apa?

------.--

.
17

1

2

Pikiran Rakyat
Senin
3

0

(!)

0

Selasa
5


6

18
19
20
21
~
OJan OPeb o Mar OApr

o Kamis

Rabu

8
23

7

22


.Mei

9

0

24

OJun

Jumat

10

11
25

o Sabtu
12


26

0
28

Minggu
14
15
29
30

OOkt

ONov

13
27

0 ._----_.

Jut 0 Ags OSep

Standar Kelulusan untuk Alail
--

-

-

-

-

- -

ESKI kelulusan
siswa di jenjang
sekolah menengah
atas (SMA), sekolah menengah
kejurnan (SMK) belum diumumkan, pendaftaran ujian

masuk pergurnan tinggi sudah
ramai dibuka.
Bagi sebagian siswa, standar
kelulusan sebesar 5,5 tidak
menjadi soat Tetapi, bagi sebagian siswa lainnya, pengumuman kelulusan menjadi
momen yang mendebarkan.
Berbagai kesulitan saat menghadapi Ujian Nasional (UN)
membuatnya tidak percaya
diri.
"Soalnya susah. Ini juga
masih deg-degan. Tetapi, karena sudah ada pendaftaran kuliah, aku ikut daftar. Jadi, anak
SMA sekarang susah Mbak.
Pusing mikirin UN, habis itu
masih harns pusing lagi su- .
paya diterima di pergurnan
tinggi," kata Leily (18), pelajar
SMA diKota Bandung.
Baginya, proses yang ia lalui
seperti dua kali keJja. UN untuk bisa lulus, lalu Seleksi Nasional Masuk Pergurnan Tinggi Negeri (SNMPTN) untuk
melanjutkan ke PTN yang diinginkan. "Kalau bisa digabung sih lebih enak," katanya.

Wakil Rektor Senior Bidang
Akademik Institut Teknologi
Bandung(ITB)AdangSurahman mengatakan, dua kali
ujian yang dilalui siswa, tidak
bisa digabungkan begitu saja
karena keduanya memiliki tujuan yang berbeda. "UN itu
alat evaluasi sehingga bisa
diketahui apakah pendidikan
yang kemarin dilalui itu
berhasil atau tidak. Sementara,
SNMPTN itu seleksi. Sifatnya
prediktif, untuk melihat cerminan siswa itu cerdas atau
tidak," katanya.
Menurnt Adang, penilaiannyajuga berbeda. KeberhasiIan UN jika jumlah siswa yang
lulus banyak, bahkan akan
lebih baikjika semuanya lulus.
Sementara seleksi tidak bisa
begitu. KapasitasPTN yang
terbatas mengharnskan
adanya seleksi untuk menjaring calon mahasiswa yang terbaik. Kalau seleksi yang lulus

banyak akan merepotkan.
Lul~an S.YAyang diI>E:rki-

M

-

-

-

rakan mencapai dua juta di
seluruh Indonesia, hanya sekitar 80.000 yang diperkirakan
ditampung di PTN. "Makil, kami inginnya mendapat yang
terbaikdari 80.000 itu,"
ujarnya.
Akan teIjadi salah kaprahjika UN yang seyogianya menjadi evaluasi pendidikan dijadikan prediksi ke depan.
Lalu, apa arti standar kelulusan 5,5 bagi pergurnan tinggi ?
"Ya tidak berarti apa-apa, berapa banyak di Indonesia ini
yang nilainya 5,5 ? Tentu tidak

bisa menjadi alat prediksi buat
kami," katanya.
Kondisi sernpa juga teIjadi
_

dijalurpenerimaanmandiri
Universitas Padjadjaran (Unpad). Meski sudah lolos Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran (SMUP), calon mahasiswa akan dinyatakan gugur
seandainya tidak lulus UN.
Koordinator Humas Unpad
Weny Widyowati mengatakan,
Iangkah tersebut memang sudah menjadi pertimbangan
untuk memilih calon mahasiswa terbaik.
Kondisi ini jelas menimbulkan kendala tersendiri.
Menurnt pakar pendidikan Didi_Turmudzi, saat masyarakat
disulitkan dengan biaya pendidikan yang semakin mahal.
"Dalam kondisiekonomi yang
semakin lemah, kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan tinggi semakin ketat
persaingannya," ujarnya.
Kendati demikian, menurnt

Didi, kesulitan yang dihadapi
sebenarnya sudah dimulai
ketika seorang siswa keluar
dari jenjang SMA. "Seorang
siswa tidak akan bisa masuk
pergurnan tinggi jika tidak luIus UN. Dengan standar yang
terns ditingkatkan, jelas kesulitan sudah dimulai di sana.
Oleh karena itu, bukan tidak
mungkin hasil UN juga bisa
dijadikan alat ukur masuk
PTN walaupun sekarang
belum belum bisa diterapkan
dengan berbagai.pertimbangan yang ada," katanya.
Mengenai standar yang
terns meningkat, Didi-mengatakan, arah yang dituju
adalah angka mutu enarn. "Kita tahu bahwa di..:.ti~gkatpen-

K lip i n 9 Hum 0 sUn
- --


pod

- - -

-

-

-

didikan dasar dan menengah,
angka enarn adalah angka mutu cUkup. Penetapan standar
nilai UN i~ealnya juga berada
di angka enarn," katanya.
Kendatidemikian,Didi
mengakui, penerapan sebuah
stimdar yang tinggi tidak bisa
dilakukan sekaligus. Semua
harns bertahap, perlahan tapi
pasti. ''Tahun lalu di bawah

standar kelulusan UN masih di
bawah 5,5, sekarang dinaikkan
menjadi 5,5 dan akan terns
mengejar angka mutu standar
enarn," kata Didi
Didi merasakan tingkat kesulitan yang harus dihadapi
siswa dengan terus
meningkatnya standar kelulusan UN setiap tahun. "Tidak
bi!>adimungkiri bahwa tingkat
kelulusan tahun kemarin saja
memang belum sesuai harapan. Bisa dibayangkan jika
standar tahun ini dinaikkan
dan tahun depan dinaikkan lagi," ungkap Didi.
Kendati demikian, ujar Didi,
standar tersebut tidak akan
terasa berat seandainya diterapkan mulai tingkat SD: "Bila
dimulai dari awal, siswa akan
terbiasa untuk memenuhi
standar seberat apa pun,"
ungkapnya.
Satu hal yang dinilai Didi
kUrang adil adalah penerapan
standar tersebut secara nasional untuk selurnh daerah.
Hal ini terkait dengan kemarnpuan dan daya dukung masing-masing daerah yang
berbeda. ''Tidak bisa diharapkan standar kemarnpuan siswa
di Papua untuk bisa sarna dengan Pulau Jawa. Dengan
penetapan standar nasionaljuga tidakfair dan tidak rasional, bukan tidak mungkin bisa
teIjadi kegagalan dari sistem
yang ada," kata Didi.
Didi cendernng menilai perlunya pemerataan dan penyesuaian standar di daerah masing-masing. "Semua kan
terkait dengan daya dukung
masing-masing daerah, dari
SDM pengajar, infrastruktur,
anggaran daerah, lingkungan
berbeda, dl!. Di daerah tertentu yang infrastrukturnya minim dan SDM pengajarnya kurang, jelas tidak bisa dituntut
berprestasi
seperti, di
~
- daerah--

2009----------------------

.

- - -

ANbRI

GURNITA/"PR'

AKTIVIS Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam berjalan sambil menganfTkat beragam poster di Jln. Ir. H. Djuan{!,amenuju
GedungSate Bandung, Sabtu (2/5). Aksi ini bertujuan untuk menolakpemberlakuan UUBHPyang merupakan upaya kori}f!rsialisasi
pendidikan dan kapitalisasi pendidikan di Indonesia serta menolak UN sebagai standar kelulusan peserta didik. ..
yang infraStrukturnya
memadai dan pengajarnya
cukup baik secara kualitas
maupun kuantitas," ujar Didi
menjelaskan.
Pada kenyataannya, standar
kelulusan UN yang dirasa berat, dlakui Didi bisa memicu
kejadian tidak masuk akal.
Sering kali kita temui, seorang
anak yang prestasi
akademinya sehari~harinya
menonjol tidak lulus dalam
UN. Sebaliknya, seorang siswa
yang dinilai malas dan kurang
berprestasi tanpa disangka
maIah lulus.
Fenomena itu, menurut Didi, bukan salah dari standar
kelulusannya itu sendiri. Hal
itu lebih diakibatkan adanya
kecurangan-kecurangantertentu. "Dengan standar yang
dianggap berat, beberapa
oknum baik pengajar, kepala
sekolah, orangtua siswa,-dan

.. -

-

pihak lain akhirnya mencari
cara agar tingkat kelulusan
siswa sekolah mereka tinggi,"
ungkapnya
Didi mengatakan, pencapaian tingkat kelulusan yang
diharapkan sering kali dilakukan dengan cara yang tidak jujur seperti oknum kepsek atau
guru yang membantu menjawab soal, jual beli lembar
soal, dll. -Bukan tidak mungkin
hal ini dilakukan juga oleh
oknum di instansi lebih tinggi
seperti dinas pendidikan masing-masing daerah yang
menginginkan tingkat kelulusan di sana tinggi. "Perlu ditegaskan bahwa ini hanya dilakukan oleh oknum tidak
bertanggung jawab yang ingin
niemiliki citra baik di luar tapi
buruk di dalam. Padahal, mutu itu seharusnya dicapai oleh
kemampuan individu setiap
siswa," kata Didi.

---

Pelpicu teIjadinya kecurangan dinilai Didi sebagai
masalah mendasar dalam
dunia pendidikan IndoJ;lesia.
"Pendidikan nasional bertujuan mencetak anak didik yang
beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, cerdas, mandiri, dan
bertanggungjawab," kata Didi
Dalam implementasinya, kata Didi, pendidikan tidak sejalan dengan tujuannya itu.
"Kita tidak bisa mengukur
tingkat keimanan dan ketakwaan dengan mata pelajaran
apa pun. ltu harns dibuktikan
oleh sikap yang ditunjukkan
masing-masing pribadi yang
dicetak dunia pendidikan,"
ujar Didi.
Adanya kecurangan jelas
menunjukkan belUill tercapainya hakikat dari tujuan
penyelenggaraan pendidikan
nasional. Artinya, ujar Didi,
ada yang salah dalam sistem

----

pendidikan selama Wi. "Oleh
karena itu, pemerint~ harns
ada keberanian meI).gubah sistern pendidikan yang ada selama ini. Bila tidak, jaI).gan
-harap Indonesia bis'a:bangkit
dan bersaing," ujarnya.
Didi tidak memungkiri, untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional agEirsejalan
dengan tujuannya, perlu waktu puluhan tahun. Nhmun, jika
tidak dimulai dart sa)