Penelitian Pemagangan di Bali Penduduk dan Pajak.

BAB IV
AZAS, HUKUM DAN KETENTUAN PERPAJAKAN
“Terima kasih atas partisipasi Anda dalam menghitung, membayar dan
melaporkan SPT Tahunan. PAJAK untuk pembangunan Bangsa.”
Kutipan diatas tertera pada kertas tanda terima SPT Tahunan setelah kita menyetorkan
bukti SPT Tahunan di Kantor Pajak atau unit lain yang ditunjuk. Makna yang tersirat dalam
kalimat tersebut bahwa warga negara sebenarnya telah diberikan keleluasaan penuh untuk
menghitung, membayar sekaligus melaporkan perkiraan pajak yang dikenakannya secara
mandiri. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah Negara bisa menjamin kejujuran seratus juta
lebih warganya untuk melaporkan pajaknya secara jujur, transparan dan bertanggungjawab?
Apakah warga negara kita benar-benar sudah terbuka kesadarannya bahwa pajak bermakna
penting bagi penyelenggaraan pembangunan? Bagaimana urgensi pemungutan pajak yang
berkeadilan serta bagaimana kemudian menjelaskan munculnya negara yang berada pada posisi
bangkrut seperti Yunani akibat perilaku warga sekaligus birokratnya yang bertindak sewenangwenang atas pajak yang dipungutnya? Akankah suatu saat negara kita bernasib sama dengan
kebangkrutan Yunani yang akhirnya menciderai demokrasi yang telah dibangunnya selama
ribuan tahun ? Pertanyaan pertanyaan diatas akan dijawab dalam pemaparan bab IV ini.
Tuntutan dalam pelaksanaan demokrasi substansial adalah terdapatnya partisipasi yang
terbuka dan transparan dalam proses politik, khususnya dalam pembuatan kebijakan publik.
Proses ini memberikan ruang bagi elemen masyarakat untuk menjalankan peran sesuai kapasitas
guna melakukan pilihan atas hak politiknya untuk penentuan kehidupannya ke depan. Proses
demokrasi yang menyertakan akomodasi atas partisipasi politik secara ideal menjamin

teraktualisasinya kesejahteraan warganya. Studi Kahin dan Catatan Hatta menyatakan bahwa
regulasi yang jelas dan netral akan mewujudkan wealth of nation (kemakmuran negara) dan pada
gilirannya menciptakan social welfare (kesejahteraan sosial). Pada konteks ini, komitmen
negara untuk melaksanakan kesejahteraan searah dengan pemberian rasa aman kepada warganya
untuk bebas dari segala bentuk ancaman termasuk saat menggunakan hak politik serta
kesempatan sama dalam berusaha dengan jaminan hukum yang berjalan konsisten dan tidak pilih
kasih. Setiap warga negara dianggap memiliki hak dan kebebasan yang sama.
Pada situasi ini, Negara tidak sekedar mewujudkan demokrasi pada konteks prosedural
semata, melainkan pada tata kerja demokrasi deliberatif dengan memberikan ruang pemenuhan
hak-hak dasar seluruh warga Negara. Robert Dahl mendefinisikan demokrasi prosedural sebagai
sikap tanggap pemerintah secara konsisten akan mengakomodasi preference (pilihan) serta
keinginan warganya. Imbangan atas demokrasi ini adalah demokrasi deliberatif dimana
keinginan / gagasan warga tersebut terekspresikan pada bentuk keikusertaan warga dalam proses
pengambilan kebijakan politik atas kepentingan mereka. Pada tataran praktis-instrumentatif
proses ini salah satunya teraktualisasikan melalui politik perpajakan.
Studi Irianto (2009) memperkuat alasan bahwa politik perpajakan adalah instrumen
penting dalam memperkuat pondasi demokrasi modern. Pertama, mengacu pada pendapat Herb
yang menegaskan bahwa pajak merupakan elemen bagi berlangsungnya pelembagaan
perwakilan formal. Pada konsep pemerintahan awal mula, pajak berkaitan dengan seberapa besar
kepentingan warga terakomodasikan pada badan-badan perwakilan politik yang dimilikinya.

Pada tataran modern lembaga perwakilan pada berbagai negara lahir dari hasil negosiasi antara
Pemerintah dengan pembayar pajak, yang tak lain adalah warganya sendiri. Pada konteks ini

Pemerintah memberikan ruang keterwakilan bagi pembayar pajak sebagai imbalan atas
pembayaran pajak yang dilakukan warganya. Pajak menjadi instrumen penting untuk
memastikan berjalannya elemen dasar demokrasi modern, seperti hak memilih sekaligus dipilih
sebagai wakil dalam lembaga perwakilan. Kedua, pajak merupakan salah satu instrumen
kebijakan dan bukan sekedar instrumen ekonomi bagi revenue policy atau kebijakan menarik
pendapatan semata (Irianto, 2009:9).
Adanya aktualisasi pajak pada negara modern, dikemukakan pula oleh Tumakaka (dalam
Materi Pemagangan Buku Ajar bagi Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan
Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana, 2015) pada alur historis sebagai berikut :

Modern Taxation

Warga Boston
membuang
kargo berisi
teh kapal
Inggris ke laut


Tahun 1773
Inggris memaksa
Amerika sebagai
koloninya untuk
membeli teh dan
membayar pajak

Pelabuhan
Boston
ditutup,
DPR akan
dipilih oleh
Inggris

Tahun 1776,
13 negara bagian
Amerika
menandatangani
Declaration of

Independence

No Taxation Without
Representation

Sumber : Tumakaka (2015) disampaikan dalam materi Pemagangan Mahasiswa Prodi Ilmu Adminsitrasi
Negara FISIP Unud

Pendapat B. Guy Peters (dalam Irianto, 2009:9) mengungkapkan bahwa pajak merupakan
instrumen bagi pemerintah guna melaksanakan pemenuhan fungsi dasarnya guna mencapai
tujuan substantif dari kebijakan. Pajak menjadi ruang politik bukan disebabkan terjadinya proses
tawar-menawar politik antara negara dengan warganya dalam hal angka saja, melainkan yang
jauh lebih penting adalah adanya kebutuhan negara akan pengakuan politik masyarakat terhadap
berbagai instrumen pajak yang dijalankan negara. Harapan yang diinginkan negara adalah
timbulnya kepatuhan sosial sehingga berbagai tujuan substantif lainnya bisa diraih.
Irianto (2009) lebih lanjut mencatat pula bahwa kebijakan perpajakan bisa menjadi salah
satu cerminan dari demokratis atau tidaknya sebuah Negara. Meskipun bukan satu-satunya faktor
yang menentukan, mekanisme pengelolaan pajak di sebuah Negara memberikan kontribusi yang
berarti bagi terciptanya mekanisme-mekanisme demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Hal ini salah satunya teraktualisasikan pada pengalaman Negara Eropa Barat

dengan jargon No Representation Without Taxation yang sangat mengakar dalam kesadaran

Negara penganut demokrasi liberal dan menunjukkan sedemikian penting peranan pajak dalam
proses kelahiran dan penguatan lembaga-lembaga perwakilan yang tidak lain merupakan pilar
utama dari demokrasi.
4.1. Asas dan Rasio Pajak
4.1.1. Asas Pajak
Pemungutan pajak oleh Negara dalam kerangka penguatan demokrasi harus dilaksanakan
sejalan dengan asas-asas yang disepakati bersama dalam kerangka regulasi negara. Hal ini
mengingat hakikat pemungutan pajak adalah pengaturan kehidupan masyarakat secara adil
termasuk mengakomodasikan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi sehingga setiap
orang mendapat apa yang menjadi haknya masing-masing sebagaimana mestinya. Sutedi
(2013:22) mencatat terdapat beberapa dasar atau asas pemungutan pajak.
1. Asas Sumber;
Pada asas ini tata cara pemungutan pajak bergantung pada sumber penghasilan suatu
negara. Apabila terdapat sumber penghasilan pada negara tertentu, maka Pemerintah
berhak memungut pajak tanpa melihat domisili wajib pajak bersangkutan. Pemerintah
mengenakan pajak pada penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan apabila penghasilan yang dikenakan pajak tersebut diperoleh atau diterima oleh
orang pribadi atau badan bersangkutan dengan sumber-sumber yang berada di Negara

tersebut. Asas ini tidak mempersoalkan siapa dan apa status dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan tersebut, sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
objek pajak yang timbul atau berasal dari Negara itu. Contoh dari asas ini adalah tenaga
kerja asing yang bekerja di Indonesia, maka penghasilan yang didapat di Indonesia akan
dikenakan pajak oleh Pemerintah Indonesia.
2. Asas Domisili;
Pada asas ini Negara mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi
tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di Negara itu atau apabila
badan yang bersangkutan berkedudukan di Negara itu. Untuk itulah asas ini disebut pula
asas kependudukan (domicile/residence principle). Asas ini tidak mempersoalkan dari
mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Negara yang menganut asas ini,
dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya, akan menggabungkan asas
domisili penduduk dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh
di Negara itu, maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income
concept). Intinya, Negara di mana wajib pajak itu bertempat tinggal, maka Negara
tersebut yang berhak mengenakan pajak atas segala penghasilan yang diperoleh dari
manapun sumbernya.
3. Asas Nasional;
Pada asas ini pengenaan pajak didasarkan pada status kewarnegaraan dari orang atau

badan yang memperoleh penghasilan. Asas ini tidak mempersoalkan asal penghasilan dan
seperti asas domisili, sistem pengenaan pajaknya berdasarkan asas nasionalitas ini
dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak
atas world wide income. Berdasarkan hal ini maka asas nasional disebut pula sebagai asas
kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Asas nasional menganut cara
pemungutan pajak yang dihubungkan dengan kebangsaan dari suatu Negara. Terdapat
perbedaan prinsipil antara asas domisili (kependudukan) dengan asas nasionalitas
(kewarganegaraan) di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada

kedua asas tersebut kriteria landasan kewenangan Negara mengenakan pajak adalah
status subjek yang dikenakan pajak. Pada konteks ini apakah subyek bersangkutan
berstatus penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga
Negara (dalam asas nasionalitas). Pada asas ini pula, asal-muasal penghasilan yang
menjadi objek pajak tidak dianggap penting. Sedangkan pada asas sumber, landasan
pemungutannya adalah status objek pajak, apakah objek yang akan dikenakan pajak
bersumber dari Negara bersangkutan atau tidak. Status orang atau badan yang
memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas
tersebut pajak yang akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh dimana saja
(world wide income). Sedangkan pada asas sumber, pungutan dilakukan pada penghasilan
yang diperoleh dari sumber-sumber pada Negara bersangkutan. Biasanya, kebanyakan

Negara tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, melainkan mengadopsi lebih satu
asas atau gabungan diantara ketiganya. Untuk konteks Indonesia, berdasarkan regulasi
perpajakan yang ada, sistem perpajakannya menganut dua asas sekaligus yaitu asas
domisili dan asas sumber. Pada
konteks ini, Indonesia juga menganut asas
kewarganegaraan parsial, khususnya dalam ketentuan yang mengatur pengecualian
subjek pajak untuk orang pribadi.
Pengalaman Negara lain seperti di Jepang, individu yang merupakan penduduk (resident
individual) menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk
Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang
diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sedangkan bagi
bukan penduduk (non resident) Jepang serta badan-badan usaha luar negeri berkewajiban
membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber
di Jepang. Di Australia, semua badan usaha milik Negara maupun swasta yang
berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh dari
seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha luar negeri hanya
dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia (Sutedi, 2013:24).
4. Asas Yuridis
Asas ini mempertegas bahwa pemungutan pajak harus didasarkan pada adanya jaminan
hukum atau undang-undang sehingga keadilan bisa ditegakkan. Asas ini merujuk pada

Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala pajak
untuk kegunaaan kas Negara berdasarkan undang-undang. Pada penjelasan atas ayat ini
ditegaskan mengenai hakikat pajak yang berasal dari uang rakyat sehingga pungutannya
harus dapat dipertanggungjawabkan. “betapa caranya rakyat, sebagai bangsa akan hidup
dan dari mana didapatnya belanja untuk hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri,
dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat. Rakyat menentukan nasibnya sendiri,
karena itu juga cara hidupnya. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk
menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menetapkan beban kepada
rakyat, seperti pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian halnya dengan yang sudah menjadi
kelaziman (karena keharusan) di Negara Hukum”.
Pada konteks ini, Negara dalam merumuskan kebijakan mengenai pajak tidak boleh
melupakan hal-hal umum. Pertama, para perumus kebijakan khususnya pajak, harus bisa
menjamin kelancaran pungutannya. Termasuk antisipasi atas perilaku wajib pajak yang
bertindak legal maupun tidak, seperti perilaku penghindaran atas pengenaan pajak
sehingga sebagai antisipasinya perlu diadakan penyempurnaan atas peraturan undang-

undang, lengkap dengan sanksinya. Kedua, wajib pajak juga harus mendapatkan jaminan
hukum agar ia tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh aparatur pemungutnya.
Pengaturan dalam regulasi tentang pajak tidak hanya penegasan dari sisi kewajiban,

melainkan juga hak wajib pajak, seperti pada tingkat pertama pengajuan keberatan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam upaya penatapan pajaknya, termasuk hak
wajib pajak mengajukan banding ke pengadilan pajak apabila keberatan atas penetapan
pajaknya tertolak.
Ketiga, terdapat jaminan tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri atau perusahaanperusahaan wajib pajak yang disampaikan kepada instansi pemungut pajak dan tidak
boleh disalahgunakan oleh para pejabat pemungutnya. Terjaganya kerahasiaan ini akan
meningkatkan kepercayaan rakyat, terkecuali pemberian informasi tentang data untuk
kepentingan saksi dalam peradilan. Seperti di Australia, pihak yang memiliki wewenang
untuk mengadakan pemeriksaan sampai pada berkas-berkas individual wajib pajak di
kantor-kantor Inspeksi Pajak adalah Auditor General (Badan Pemeriksa Keuangan).
Pada pembuatan regulasi perpajakan harus berdasarkan pada prinsip keadilan. Pada
konteks ini terkadang seringkali terlewatkan hal-hal penting yang akhirnya berujung pada
tindakan yang kurang adil. Misalnya pada ordonansi Pajak Pendapatan tidak diatur
tentang kelonggaran-kelonggaran yang diberikan kepada wajib pajak karena beban-beban
istimewa. Orang yang berpenghasilan bersih sejuta rupiah setahunnya dan karena
menderita suatu penyakit, sehingga setiap bulannya harus mengeluarkan ongkos dokter
dan obat-obatan, tetapi tidak mendapat potongan untuk perhitungan pajaknya (Sutedi,
2013). Hal berbeda berlaku di Nederland, bahwa beban biaya ini terintegrasi dalam
buitengenewone lasten yang tercantum dalam Besluit Inkomstenbelasting 1941 Pasal 51
ayat (1) dan (2) sub 2.

5. Asas Ekonomi;
Pada asas ini ditekankan agar pemungutan pajak jangan sampai menghalangi produksi
dan perekonomian rakyat. Pajak selain mempunyai fungsi budgeter juga pengaturan
politik perekonomian. Pada politik pemungutan pajaknya diusahakan agar jangan sampai
menghambat lancarnya produksi dan perdagangan; serta diusahakan supaya tidak
menghalangi rakyat dalam usahanya menuju kebahagiaan dan tidak merugikan
kepentingan umum.
6. Asas Keuangan;
Asas ini menekankan supaya pengeluaran-pengeluaran untuk memungut pajak harus
lebih rendah dari jumlah pajak yang dipungut. Sesuai dengan fungsi budgeter, maka
biaya pengenaan dan pemungutan pajak harus diusahakan sekecil-kecilnya dibandingkan
dengan pendapatannya, terlebih pada perbandingan pendapatannya. Hasil ini yang
selanjutnya digunakan sebagai sumbangan untuk menutup pengeluaran Negara, termasuk
biaya-biaya dalam upaya pemungutan pajaknya sendiri.
Untuk menghindarkan tertimbunnya tunggakan-tunggakan pajak, harus selalu diteliti,
apakah syarat-syarat penting telah dipenuhi untuk dapat memungut pajak dengan efektif.
Syarat ini antara lain adalah pengenaan pajak harus dilakukan pada saat yang terbaik bagi
yang harus membayarnya, yaitu harus sedekat-dekatnya saat terjadinya perbuatan,
peristiwa ataupun keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak itu, sehingga sangat
mudah dibayar oleh orang-orang bersangkutan.
Sesuai pula dengan asas financial, bahwa bilamana pembuat undang-undang (pajak) ingin
menghapuskan satu macam pajak, ia menilik terlebih dahulu, bagaimana keadaan

keuangan Negara. Bilamana anggaran belanja itu mengizinkan, maka ini akan mendapat
gelar bijaksana jika pajak tadi dipertahankan dulu untuk sementara waktu.
Dalam asas finansial sesuai dengan fungsi budgeter, maka biaya pemungutan pajak harus
seminimal mungkin dan hasil pemungutan pajak hendaknya cukup untuk menutupi
pengeluaran Negara. Harus pula diperhatikan saat pengenaan pajak hendaknya sedekat
mungkin dengan terjadinya perbuatan, peristiwa dan keadaan yang menjadi dasar
pengenaan pajak.

4.1.2. Rasio Pajak
Beberapa asas pemungutan pajak yang terjabarkan di atas tentunya akan memperlihatkan
kemampuan Negara dalam mengupayakan pemungutan pajak. Ukuran untuk menilai kemampuan
pemerintah dalam memungut pajak inilah yang disebut dengan rasio pajak. Pada konteks ini, rasio pajak yang bisa kita cermati adalah
Indonesia. Menurut Studi Welfare Initiative for Better Societes Policy Review (2012) mencatat bahwa pajak merupakan sumber
penerimaan terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2012, misalnya, proyeksi penerimaan pajak
berkontribusi sebesar Rp 1.033 triliun atau hampir empatperlima penerimaan negara. Meski terlihat besar, penerimaan tersebut
sebenarnya masih rendah ditinjau dari nilai rasio pajak terhadap Product Domestic Bruto (PDB).
Pada umumnya, negara yang lebih maju memiliki rasio pajak lebih tinggi. Rasio pajak Indonesia masih berkisar 12% terhadap
PDB. Rasio ini termasuk dalam kategori rendah, apabila dibandingkan dengan negara-negara setara. Indonesia saat ini termasuk dalam
kategori negara pendapatan menengah bawah (lower middle income) dan rata-rata rasio pajak pada negara dalam kategori ini adalah
sebesar 19%. Kapasitas penggalian pajak di Indonesia bahkan masih lebih buruk dibandingkan rata-rata rasio pajak negara miskin (low
income) yang mencapai 14,3%. Hal ini seperti terjabar dalam grafik sebagai berikut :

Sumber : Prakarsa, Policy Review (2012)
Tabel diatas memperlihatkan bahwa sebenarnya rasio penerimaan pajak Indonesia lebih rendah dari rata-rata negara miskin. Hal
ini mengindikasikan adanya persoalan mendasar dalam kapasitas pemungutan pajak. Hanya saja apabila kondisi ini ditinjau dari sudut
pandang positif, ragam persoalan tersebut bisa dibenahi karena potensi penerimaan pajak di Indonesia sangatlah tinggi. Faktanya, dalam
setiap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Indonesia senantiasa kehilangan potensi pajaknya. Pada APBN 2012,
misalnya, penerimaan pajak di Indonesia diproyeksikan mencapai Rp. 1,033 triliun. Berdasarkan kategori negara yang berpendapatan
menengah, jumlah ini mengindikasikan bahwa Indonesia kehilangan potensi pajak sekitar Rp. 512 triliun atau hampir 50%. Perkir aan
konservatif International Monetary Fund (IMF), potensi pajak yang hilang juga lebih dari 40%.

Keliat (2014:110) mencatat bahwa ketidakmampuan negara memungut pajak yang lebih
besar daripada yang seharusnya akhirnya membawa posisi Indonesia untuk memilih jalan utang
sebagai satu-satunya untuk membiayai pembelanjaan negara. Kebijakan utang yang

“ditradisikan” sebagai pilihan akhirnya harus mengalahkan atau meninggalkan pilihan “yang
sebenarnya” harus dijalankan yaitu meningkatkan penerimaan pajak.
Apabila pada satu tahun anggaran jumlah utangnya maka utang tersebut hampir selalu lebih
besar dari cicilan hutang. Pada suatu tahun anggaran misalnya kalkulasi akumulasi utang
mencapai 132,633 miliar dollar AS. Hal ini berarti menyiratkan bahwa setiap penduduk
Indonesia menanggung utang Rp. 10 juta rupiah. Akumulasi utang dan pendapatan rendah akan
membawa Indonesia terjebak dalam perangkap utang atau debt trap (Keliat, 2014:11). Rasio
penerimaan pajak di Indonesia kondisinya bahkan lebih rendah dari rata-rata penerimaan pajak
negara miskin. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa terdapat masalah mendasar dalam
kapasitas pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara.
4.2. Keadilan, Pembukuan dan Cara Pemungutan Pajak
Pada proses pemungutan pajak, Negara mengedepankan asas-asas pemungutan pajak
terutama prinsip keadilan. Prinsip keadilan menjadi sangat penting di saat ketimpangan ekonomi
masih resisten mendominasi kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia.
Mengenai prinsip keadilan ini beberapa ahli mengemukakan beberapa definisi, antara lain
Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations (Sari, 2013). Pada buku ini, Smith
mengemukakan ajarannya yang terkenal The Four Maxims. Terdapat beberapa hal penting dalam
pemungutan pajak.
 Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan) artinya
pada setiap pemungutan pajak negara harus melihat kemampuan dan penghasilan
wajib pajak. Pada konteks ini negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap
wajib pajak;
 Asas Certainty (asas kepastian hukum) artinya pungutan pajak harus berdasarkan
regulasi yang berlaku, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi
hukum;
 Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas
kesenangan artinya pemungutan pajak harus dilakukan pada saat yang tepat / baik
bagi wajib pajak misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau
disaat wajib pajak menerima hadiah.
 Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis) artinya segala bentuk
pembiayaan pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai
terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
Pendapat lain dikemukakan W.J. Langen yang menekankan beberapa asas dalam
pemungutan pajak, seperti :
 Asas daya pikul artinya besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan
besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka
semakin tinggi pajak yang dibebankan;
 Asas manfaat artinya pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
 Asas kesejahteraan artinya pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
 Asas kesamaan artinya dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan
sama);



Asas beban yang sekecil-kecilnya artinya pemungutan pajak diusahakan sekecilkecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak.
Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
Sedangkan tokoh lainnya, Adolf Wagner mengemukakan asas pemungutan pajak antara
lain :


Asas politik finalsial yaitu pajak yang dipungut negara jumlahnya harus memadai
sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara;
 Asas ekonomi yaitu penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya pajak
pendapatan, serta pajak untuk barang-barang mewah;
 Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi,
untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula;
 Asas administrasi yaitu menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan,
dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara
membayarnya) dan besarnya biaya pajak;
 Asas yuridis yaitu pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Jelas kiranya dari definisi yang dikemukakan para ahli sebagian besar menyatakan bahwa
asas pemungutan pajak harus memperhatikan dan menekankan aspek keadilan. Pada konteks ini,
pengenaan pajak harus sebanding dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Equality
pembagian beban pajak di antara masing-masing subjek pajak hendaknya dilakukan seimbang
dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan yang diterima oleh setiap subjek
pajak.
Terdapat kajian kasus menarik mengenai Negara Yunani. Kajian ini memperlihatkan
mengenai pengingkaran atas prinsip-prinsip pemungutan pajak yang disebutkan diatas dimana
berujung pada situasi krisis ekonomi (disarikan dari berbagai sumber www.viva.co.id, Senin, 17
Desember 2012 dan diplomatmudahiuinsyarifhidayatullah.blogspot.com).
Yunani dan Krisis Keuangan
Negara Yunani semenjak awal tahun 2011 mengalami krisis keuangan yang parah. Krisis ini berimbas
pada kondisi ekonomi Yunani yang benar-benar lumpuh. Munculnya berbagai aksi demo dan mogok
massal yang dilakukan ratusan ribu pekerja dan pegawai pemerintah telah mengakibatkan berbagai sektor
di Yunani lumpuh total. Puncaknya aksi demo dan mogok masal ini menelan 3 koban jiwa yang tebunuh
akibat ledakan dan kebakaran yang terjadi di Bank Marfin Athena.

Aksi yang dilakukan masyarakat Yunani ini merupakan bentuk perlawanan terhadap keputusan
pemerintah yang mengeluarkan kebijakan sinering terhadap gaji pegawai negeri, menaikkan beberapa

jenis pajak, menunda dana pensiun, dan memangkas anggaran militer sebagai upaya meningkatkan
cadangan devisa negaranya. Untuk mengurangi dampak krisis ini, Yunani melakukan reformasi
pemungutan pajak dan sekaligus menindak kecurangan pajak. Hal ini mengingat sebelumnya banyak
pajak yang dikemplang oleh oknum pegawai pajak melakukan pemilik usaha. Pendapatan yang hilang
dari sektor pajak bisa mencapai lima persen dari output nasional negara Yunani.
Perekonomian Yunani yang tidak terpantau sistem pajak berjumlah lebih dari seperempat dari output
tahunan pada tahun 2011 dan kondisi ini merupakan level tertinggi di kalangan anggota Uni Eropa.
Di Yunani sudah dianggap lumrah bagi para pelaku usaha kecil melaporkan penjualan yang lebih rendah
dari sebenarnya sehingga membayar pajak pertambahan nilai yang lebih rendah dari seharusnya. Para
wirausaha seperti tukang ledeng dan tukang listrik memilih dibayar secara tunai biasanya tidak disertai
dengan pembuatan tanda terima.
Akibatnya sebesar 53 miliar euro pajak yang jatuh tempo kepada negara Yunani, 15 hingga 20 persen
seharusnya bisa dipungut, namun menjadi nihil ketika perilaku korupsi merajalela.
Pada upaya mereduksi dampak resiko krisis, sistem pajak Yunani akhirnya dirombak dengan peraturan
yang lebih ringkas dan mudah. Peraturan baru mencabut sejumlah pengecualian pajak dan menaikkan
pajak properti, korporat dan rumah tangga yang berpendapatan di atas rata-rata. Pemerintah juga
memungut pajak atas pendapatan modal dari harga saham yang diperdagangan di bursa Athena. Langkahlangkah ini diharapkan bakal menambah pemasukan negara Yunani dari sektor pajak sekitar 2,5 miliar
euro selama 2013-2014. Menggenjot pendapatan dari sektor pajak perlu bagi Yunani untuk mengatasi
krisis utang.

Belajar dari kasus diatas tentunya terdapat tiga penyebab krisis ekonomi di Yunani
(Tumakaka, Disampaikan dalam Materi Pemagangan Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi
Negara dan Program Studi Ilmu Politik FISIP Unud 2015:Mei). Pertama, yaitu korupsi berupa
maraknya fakelaki (amplop kecil) untuk suap. Kedua, naiknya hutang dengan besarnya utang
160% PDB. Ketiga, adanya defisit neraca perdagangan, dimana nilai impor yang melampaui
nilai ekspor. Hal ini mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi di Yunani sempat terpuruk
sebagai berikut :

Sumber : Tumakaka (2015) disampaikan dalam materi Pemagangan Mahasiswa
Prodi Ilmu Adminsitrasi Negara FISIP Unud

Kegagalan sistem perpajakan di Yunani mengakibatkan adanya turunnya Tax Ratio
sebesar 2.8% dari 2001-2009. Kontribusi pajak akhirnya hanya dipikul sebagian kecil
masyarakat. Penyebab lain adalah terdapatnya besaran tax evasion sebesar 30% total

penerimaan. Pada kondisi ini kontribusi pajak turun dan utang terus meningkat. Potensi Pajak
banyak yang hilang sebesar 33% sehingga aktifitas ekonomi lebih banyak dikuasai pedagang
black market yg tidak membayar pajak. Legarde list menyatakan bahwa 2.000 rekening jumbo
terparkir di Bank Swiss. Kondisi terakhir yang terjadi di negara Yunani hingga kini untuk
memulihkan perekonomiannya, negara ini melakukan beberapa langkah. Langkahnya antara lain
pemotongan gaji pegawai dan pensiunan, pengurangan subsidi rakyat, serta langkah lainnya
dalam mengatasi pengangguran.
Refleksi Awal
Lumpuhnya kehidupan ekonomi di Yunani akibat tidak bisa membayar hutang kepada IMF yang
sudah jatuh tempo pada akhirnya menyertakan sedikit imbas bagi Indonesia (Metrotvnews.com 10 Juli
2015). Awalnya tercatat oleh beberapa pengamat, meski Indonesia dan Yunani memiliki kerjasama
namun tidak banyak nilai ekspornya USD200 juta atau Rp. 2,6 triliun dan sebagian besar adalah kelapa
sawit dan pertanian. Begitu pula sekitar 1000 warga negara Indonesia yang sebagian besar bekerja di
sektor informal kehilangan pekerjaannya akibat krisis ini. Negara terdampak justru di negara-negara Uni
Eropa (UE).
Terdapat tawaran dana talangan dari kreditor Internasional pemerintahan zona mata uang euro
yang dipimpin Jerman sebesar US 95 miliar dollar Amerika. Hanya saja tuntutannya Perdana Menteri
Alexis Tsipras harus melakukan paket pengetatan menyeluruh dengan menyerahkan sebagian
kewenangannya kepada pengawasan pihak asing. Kewajiban Tsipiras adalah mengakhiri pengetatan
ekonomi, mengesahkan legislasi terkait pemotongan dana pensiun, penaikan pajak pertambahan nilai dan
kebijakan penjualan aset sektor publik senilai 50 miliar euro dibawah pengawasan kreditur asing
(Bisnis.com, 15 Juli 2015).
Hal inilah yang memaksa PM Yunani mengadakan referendum ke masyarakat. Hasilnya 38,69%
warga menerima bantuan asing dan 61,31% menolak bantuan asing. Hasil referendum ini tentu membuat
kaget seluruh menteri zona euro dan segera menimbang ulang persyaratannya. Di sisi lain para penentang
kebijakan penghematan
yang datang dari petinggi partai politik menyanjung langkah dari hasil
referendum ini sebagai kemajuan demokrasi bagi Yunani (Kompas.com 6 Juli 2015).
Refleksi bagi kita tentunya teladan di balik krisis Yunani ini adalah adanya penghargaan Negara
(baca : pemerintah) atas kedaulatan rakyat. Negara sangat mengakui bahwa rakyat adalah pihak yang tak
boleh diabaikan dalam penentuan kebijakan meski harus langkah cepat dan tepat untuk keluar dari situasi
krisis. Pengalaman rejim Orde Baru maupun pemimpin negara sesudahnya yang terkesan sepihak dalam
menerima bantuan keuangan dari kreditur lembaga (negara) asing / internasional tanpa menimbangkan
secara matang akibat atau konsekuensinya adalah pelajaran berharga betapa kearifan dalam pengambilan
kebijakan terkait penerimaan bantuan asing perlu menjadi perhatian. Akibatnya tercatat banyak kasus
besar ekonomi terjadi di negara kita seperti Krisis Ekonomi Tahun 2007-2008 serta kasus-kasus yang
menyeret oknum mantan menteri kita di meja pengadilan akibat terjerat kasus tindak korupsi di dalamnya.
Pada kasus ini Yunani telah memberikan teladan betapa Pemerintah masih memberikan ruang
bagi warganya untuk menentukan sikapnya secara langsung sebagai imbalan atas kesetiaan warganya
dalam membayar pajak. Warga yang telah membayar pajak tidak sekedar dipandang sebagai obyek atas
instrumen revenue policy atau kebijakan menarik pendapatan semata, melainkan dilibatkan pula dalam
penentuan kebijakan strategis bagi negaranya.

4.3. Pembukuan dan Pencatatan Pajak
Mengaca dari pengalaman negara Yunani diatas maka dalam menjamin berjalannya asas
keadilan dalam pemungutan pajak tentunya sangat dibutuhkan adanya pencatatan atau
pembukuan perpajakan secara benar dan terarah. Pembayaran pajak merupakan kewajiban
masyarakat kepada negara yang harus dipatuhi. Di sisi lain, negara harus memberikan
kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk menghitung sendiri besarnya pajak yang harus

dibayar (Burton, 2014:29). Pemberian kepercayaan ini salah satunya tertuang dalam aktifitas
pembukuan pajak.
Pembukuan pajak digunakan sebagai dasar penghitungan pajak terutang pada suatu tahun
pajak. Pada upaya ini dibutuhkan adanya informasi yang benar dan lengkap mengenai
penghasilan wajib pajak guna pengenaan pajak yang adil dan wajar senilai dengan kemampuan
ekonomi masing-masing wajib pajak. Untuk dapat menyajikan informasi tersebut, maka
diperlukan adanya aktifitas pembukuan pajak yang mana pada proses pembukuan ini wajib pajak
dapat mengetahui sendiri berapa besanya pajak terutang yang harus dilaporkan dan disetorkan.
Secara harafiah, pembukuan memiliki arti proses pencatatan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi tentang keadaan harta, kewajiban atau utang, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba rugi pada setiap
periode tahun pajak tersebut (Sari, 2013:222).
Pencatatan pajak memiliki arti pengumpulan data secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
terutang termasuk penghasilan yang bukan obyek pajak dan atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
Aktifitas pembukuan pajak wajib diselenggarakan oleh wajib pajak (WP) badan serta
Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 setahun. Pada aktifitas pembukuan pajak diawali dengan
pencatatan yaitu pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penerimaan
penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang. Pencatatan dapat
dilakukan oleh WP Orang Pribadi yang diperkenankan norma perhitungan penghasilan neto,
yaitu WP Orang Pribadi yang peredaran brutonya di bawah Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) dalam setahun (Sari, 2013:222).
Terdapat beberapa syarat penyelenggaraan pembukuan (Sari, 2013:223). Pertama,
diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya
dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam
Bahasa Indonesia. Kedua, pencatatan dalam satu tahun harus diselenggarakan secara kronologis.
Ketiga, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik
atau secara progam aplikasi online wajib pajak, harus disimpan selama 10 tahun di tempat
tinggal wajib pajak atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Keempat, pencatatan terdiri
atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau
penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang, termasuk penghasilan
yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final. Kelima, pembukuan
sekurang-kurangnya terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur tentang catatan mengenai
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang. Keenam, bagi wajib pajak yang mempunyai lebih dari
satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas
untuk masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan. Ketujuh, selain
menyelenggarakan pencatatan di atas, Wajib Pajak Orang Pribadi harus menyelenggarakan
pencatatan atas harta dan kewajiban.
Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan
melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat

Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Tujuan penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan
antara lain untuk mempermudah pengisian SPT, perhitungan penghasilan kena pajak,
penghitungan PPN dan PPN, serta mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas. Pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara progam aplikasi online wajib pajak,
harus disimpan selama sepuluh tahun di Indonesia dengan ketentuan wajib pajak adalah orang
pribadi, di tempat kegiatan atau tempat tinggal serta wajib pajak badan dengan tempat
kedudukannya yang jelas (Sari, 2013:224).
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas. Perubahan tahun buku dan perubahan metode pembukuan harus mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Wajib pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah adalah wajib pajak dalam rangka penanaman
modal asing; wajib pajak dalam rangka kontrak karya; wajib pajak dalam rangka kontrak bagi
hasil; bentuk usaha tetap, serta wajib pajak yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar
negeri. Pembukuan yang diselenggarakan oleh wajib pajak bersifat rahasia. Pada saat dilakukan
pemeriksaan oleh pihak pemeriksa pajak, maka kerahasiaan untuk merahasiakan pembukuan itu
ditiadakan atau gugur.
Dalam hal tata cara pemungutan pajak pada warganya, dalam pemungutannya negara
harus berpegang pada beberapa karateristik pemungutan. Beberapa karakteristik tersebut antara
lain (Sari, 2013:76):
1. Stelsel nyata atau riil, yaitu pengenaan pajak didasarkan pada objek penghasilan
nyata sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kelebihan model ini
pajak dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahannya pajak baru dikenakan
pada akhir periode;
2. Stelsel anggapan, yaitu pengenaan pajak didasarkan pada anggapan yang diatur
undang-undang. Kelebihan model ini pajak dibayar selama tahun berjalan, tanpa
harus menunggu sampai akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak
dibayarkan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya;
3. Stelsel campuran yaitu pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan
suatu anggapan,kemudian pada akhir tahun pembayaran didasarkan dan
disesuaikan dengan keadaan sebenarnya.
Negara juga memiliki sistem pemungutan pajak tertentu. Negara pada kondisi ini
menjalankan beragam metoda bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
dapat mengalir ke kas negara (Sari, 2013:78). Pertama, official assesment system yaitu sistem
pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah/fiskus untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh wajib pajak. Cirinya adalah wewenang untuk menentukan besarnya
pajak terutang ada pada pemungut; wajib pajak bersifat pasif; serta utang pajak yang timbul
setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh pemungut. Kedua, self assesment system adalah
sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang pada wajib pajak untuk menentukan
sendiri besaran pajak yang terutang. Cirinya wewenang untuk menentukan besarnya pajak
terutang ada wajib pajak sendiri, dari proses penghitungan, setor dan pelaporan pajak yang
terutang. Pada posisi ini fiskus hanya mengawasi dan tidak campur tangan. Ketiga, with holding
system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga,
bukan foskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan untung menentukan besarnya pajak

terutang oleh wajib pajak. Cirinya wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada
pada pihak ketiga.
4.4. Tarif Pajak
Tarif merupakan area sensitif karena didalam pengenaannya mencerminkan aspek
keadilan. Seseorang akan melaksanakan atau menjalankan kesukarelaan membayar pajak jika
lingkungannya menjamin keadilan. Ukuran keadilan ini menjadi ukuran pribadi sehingga
sifatnya sangat relative atau subyektif (Sari, 2013:46). Mardiasmo (2011:312) mengemukakan
pula bahwa tarif pajak merupakan dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang menjadi
tanggungannya. Tarif pajak biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase (%). Dasar pengenaan
pajak merupakan nilai berupa uang yang dijadikan dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak merupakan
salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak. Penentuan besarnya
suatu tarif adalah hal yang krusial dimana kesalahan persepsi dalam penentuannya dapat
merugikan berbagai pihak termasuk Negara. Terdapat beberapa jenis pemungutan pajak (Sari,
2013:46).
Tarif progresif (progressive tax rate) merupakan tarif pemungutan pajak yang
persentasenya semakin besar atau meningkat apabila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan
pajak juga semakin besar. PEnerapan tariff progresif untuk menghitung pajak terutang dilakukan
dengan menerapkan lapisan pajak. Dasar tariff progresif adalah sewajarnya artinya seseorang
membayar pajak sesuai dengan kemampuannya. Contoh : Kategorisasi Pajak sesuai Pasal 17 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Beberapa kategorinya antara lain :
Pendapatan
Pengenaan Tarif
Rp. 0 – Rp. 50.000.000,Tarif 5 %
Rp. 50.000.000,00 – Rp. 250.000.000,00
Tarif 15%
Rp. 250.000.000,00 – Rp. 500.000.000,00
Tarif 25%
Di atas Rp. 500.000.000,00
Tarif 30%
Tarif degresif (degressive tax rate) merupakan kebalikan dari tarif progresif. Tarif
degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika persentasenya semakin
kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga menjadi kecil. Angka ini bisa menjadi lebih
besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar.
Misalnya, terlihat pada tabel ini dibawah :
Pajak yang Terhutang
Pengenaan Prosentase
Jumlah Terhitung
Rp. 10.000.000,15%
Rp. 1.500.000,Rp. 25.000.000,13%
Rp. 3.250.000,Rp. 50.000.000,11%
Rp. 5.500.000,Rp. 60.000.000,10%
Rp. 6.000.000,Jadi menurut pengenaan tarif degresif besaran jumlah pajak yang terutang adalah sebesar
Rp.16.250.000
Tarif proporsional (proportional tax rate) atau tarif sebanding. Pengenaan tarif tidak lagi
dipengaruhi oleh naik turunnya dasar objek yang dikenakan pajak, karena tarifnya telah berlaku
secara sebanding. Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan
persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin
besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak

terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2000 mengenai Tarif PPN dan PPnBM dengan pengenaan tarif proporsional sebesar 10%.
Misalnya terdapat pajak yang terutang sebagai berikut :
Pajak yang Terhutang
Pengenaan Prosentase
Jumlah Terhitung
Rp.15.000.000,10%
Rp.1.500.000,Rp.25.000.000,10%
Rp.2.500.000,Rp.40.000.000,10%
Rp.4.000.000,Rp.60.000.000,10%
Rp.6.000.000,Tarif tetap (fixed tax rate) adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap
tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Pengenaan atas tarif ini
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dengan
adanya PP No. 24 Tahun 2000, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal
sebesar Rp.3.000,00 dan Rp.6.000,00.
Hal yang digarisbawahi disini adalah bahwa partisipasi perpajakan sangat ditentukan oleh
kepemilikan warga. Tidak semua warga diberi beban berpartisipasi yang sama dalam
pembayaran pajak. Pada konteks ini, pajak dipandang sebagai sarana untuk membatasi yang kuat
dan melindungi yang lemah sekaligus penyeimbang antara kelompok masyarakat kaya dengan
kelompok masyarakat miskin menjadi titik tekan dalam soal partisipasi perpajakan rakyat. Pada
pengertian ini, pajak hanya dibebankan kepada kalangan yang memiliki sumber penghasilan,
sumber kekayaan dan harta benda yang diwajibkan oleh aturan perundang-undangan negara.
Pada penjelasan ini Tumakaka (2015 dalam Materi Pemagangan Mahasiswa Prodi Ilmu
Administrasi Negara dan Program Studi Ilmu Politik FISIP Unud) menggambarkannya sebagai
berikut :

11

Keuangan Negara

APBN/APBD

Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat

Partisipasi
Finansial

Eksekutif
Presiden/Gubernur/Bupati

Partisipasi
Publik

Partisipasi
Publik

Publik

Kebutuhan
Publik

Sumber : Tumakaka (2015) disampaikan dalam materi Pemagangan Mahasiswa Prodi
Ilmu Adminsitrasi Negara dan Program Studi Ilmu Politik FISIP Unud

Partisipasi warga dalam membayar pajak merupakan aktualisasi pengakuan
mereka atas kekuasaan yang terpilih dari proses demokrasi. Pada alur ini, warga
membayar pajak sebagai bentuk partisipasi finansial. Pajak inilah yang kemudian
pengalokasiannya diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) di
level Pemerintah Pusat maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di level
Pemerintah Daerah. Proses penyusunan hingga penetapan APBD ini melibatkan peran
Presiden dan DPR sebagai Pemerintah Pusat; serta Gubernur, Bupati atau Walikota dan
DPRD sebagai Pemerintah Daerah. Alokasi penerimaan APBN atau APBD inilah yang
salah satunya berasal dari pajak warga kemudian diperuntukkan sebagai belanja daerah.
Komponen belanja ini yang kemudian diperuntukkan bagi pendanaan atas programprogram kesejahteraan masyarakat. Aktualisasi atas komponen belanja ini seperti
terjabar dalam program-program populis Kartu Indonesia Sehat atau Kartu Indonesia
Pintar yang digencarkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Segenap
komponen belanja atas pelaksanaan program di bidang pendidikan dan bidang kesehatan
ini bersumber dari pendanaan APBN.
Pada contoh kasus program yang bersumber dari pendanaan APBD, seperti pada
program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), Bedah Rumah, Simantri, dan
program lain yang dijalankan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Pada pelaksanaan
program ini warga sebenarnya tetap bisa memiliki akses partisipasi untuk mengontrol
pelaksanaannya. Tidak hanya memilih wakil-wakilnya sebagai representasi kepentingan
di lembaga dewan, warga juga masih bisa mengontrol pelaksanaan atas program-program
yang dijalankan Pemerintah melalui saluran-saluran publik seperti media massa, media
sosial, hingga penyampaian petisi ke lembaga dewan. Substansi atas akses partisipasi
publik ini merupakan tuntutan warga agar bisa tetap mengontrol pajak yang telah
dibayarkannya terhadap pelaksanaan program-program pembangunan yang dijalankan
oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah agar benar-benar berkomitmen pada
kebutuhan publik.
Refleksi Diri
Pada akhir 2014 negara berhasil mengembalikan uang negara Rp. 2,6 Triliun dari
berbagai kasus penyimpangan pajak di level Pusat maupun Daerah. Pengembalian itu berbentuk
uang tunai maupun sejumlah aset berdasarkan pengusutan kasus yang dilakukan selama tiga
tahun terakhir . Hasil kerja Tim Instruksi Presiden yang dibentuk saat maraknya kasus
penyimpangan pajak, termasuk kasus Gayus Tambunan. Uang ini masih terus nertambah sering
dengan masuk berjalannya banyak proses hukum di sejumlah perkara. Tim ini bekerja dibawah
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengedalian Pembangunan (UKP4). Misalnya,
untuk kasus Gayus Tambunan secara khusus negara berhasil menyita Rp. 74 miliar, 31 batang
logam mulia seberat @100 gram, satu rumah, satu apartemen dan dua mobil.
Mantan Wakil Presiden Budiono saat itu menyatakan atas koordinasi dari berbagai
instansi pada tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah selama kurun tahun 20122014 sebanyak 2.647 pegawai dan staf dari berbagai instansi telah mendapat sanksi dari paling
ringan hingga diproses pidana karena terlibat penyimpangan pajak, baik Pajak Pusat maupun
Pajak Daerah (beritasatu.com tanggal 14 Oktober 2014).
Pada sisi yang sama, untuk mensiasati peningkatan Pajak Daerah yang transparan dan
bebas dari praktek korupsi maupun kolusi, beberapa daerah di Indonesia melakukan terobosan,

salah satunya DKI Jakarta dengan menerapkan sistem Pajak Online. Pajak Online ini diterapkan
pada pajak hiburan, pajak hotel, pajak restoran dan pajak parkir. Untuk mencapai target
pendapatan pajak daerah ini, Gubernur Basuki Tjahaya Purnama menerpakan enam langkah.
Pertama, memberlakukan peraturan tentang standarisasi alat transaksi elektronik. Kedua,
mewajibkan wajib pajak untuk menggunakan alat transaksi elektronik termasuk pelaporannya.
Ketiga, melakukan audit sistem informasi wajib pajak. Keempat, menggunakan fiber optic untuk
mengganti wireless network. Kelima, melakukan standarisasi sistem informasi bagi wajib pajak.
Keenam, melakukan pembangunan sistem aplikasi sesuai spesifikasi mesin cash register. Melalui
langkah ini, Pemerintah DKI Jakarta akan menarrgetkan penerimaan Pajak Daerah sebesar Rp.
45,32 triliun dengan 10.951 wajib pajak dalam setahun (beritasatu.com tanggal 20 Januari 2015).

4.5.Koreksi Pajak
Pengertian koreksi pajak adalah koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh
wajib pajak sebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib
pajak orang pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun biaya
antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak (https://herlinamargareta.wordpress.com).
Perbedaan tersebut dikategorikan menjadi beda tetap, yaitu penghasilan dan biaya yang
diakui dalam penghitungan laba neto untuk akuntansi komersial tetapi tidak diakui dalam
penghitungan akuntansi pajak. Contoh beda tetap adalah penghasilan berupa sumbangan dan
penghasilan bunga deposito. Biaya dalam konteks ini merupakan biaya sumbangan dan biaya
sanksi perpajakan. Sedangkan beda waktu adalah penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat
ini oleh akuntansi komersial atau sebaliknya, tetapi tidak dapat diakui sekaligus oleh akuntansi
pajak, biasanya karena perbedaan metode pengakuan. Contoh beda waktu adalah penghasilan
pendapatan laba selisih kurs. Sedangkan contoh biaya pada beda waktu adalah biaya penyusutan
dan biaya sewa.
Terdapat beberapa jenis koreksi fiskal antara lain koreksi fiskal positif merupakan
koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh terutang. Pada
konteks ini contohnya adalah Biaya PPh. Selain itu terdapat pula koreksi fiskal negatif yang
merupakan koreksi dimana mengakibatkan pengurangan penghasilan kena pajak dan PPh
terutang. Pada konteks ini contohnya adalah penghasilan bunga deposito
Pengertian koreksi fiskal positif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan
penghasilan kena pajak dan PPh terutang. Terdapat tiga jenis koreksi fiskal positif
(www.wibowopajak.com/2012/01/jenis-koreksi-fiskal-positif.html). Pertama, pembag