EVALUASI PENYIMPANGAN DAN PERBAIKAN MUTU TEMPE SESUAI SNI 3144:2015 DI UMKM

EVALUASI PENYIMPANGAN DAN PERBAIKAN MUTU TEMPE SESUAI SNI 3144:2015 DI UMKM

Evaluation of Deviation and Improvement of Tempe Quality Based on SNI 3144:2015 in SME

Tegar Ega Pragita, Mulyorini Rahayuningsih dan Muslich

Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Gedung Fateta lt.2, Kampus IPB, Dramaga, Babakan, Bogor, Jawa Barat 16680, Indonesia e-mail: tegarephe@gmail.com

Diterima: 18 Juli 2017, Direvisi: 12 Desember 2017, Disetujui: 13 Desember 2017

ABSTRAK

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan kepada pelaku usaha, khusunya UMKM dalam hal penerapan standar. Salah satu industri pangan yang banyak terdapat di Indonesia adalah industri tempe kedelai, namun masih banyak produsen tempe yang belum dapat menerapkan SNI 3144:2015. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi penyimpangan mutu yang terjadi terhadap pemenuhan mutu tempe sesuai SNI 3144:2015 pada UMKM tempe, mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya penyimpangan mutu tersebut dan upaya perbaikan yang perlu dilakukan agar tempe hasil produksi mampu memenuhi seluruh parameter SNI 3144:2015. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan identifikasi proses produksi untuk melihat variasi pembuatan tempe, melakukan pengujian mutu tempe sesuai SNI 3144:2015, melakukan evaluasi faktor penyebab penyimpangan mutu dan memberikan rekomendasi perbaikannya. Hasil penelitian memperlihatkan adanya variasi pembuatan tempe yang berpengaruh terhadap pemenuhan mutu tempe yakni kadar air, kadar serat kasar, cemaran logam cadmium dan cemaran coliform. Upaya yang dapat dilakukan untuk perbaikan mutu tempe adalah perlunya memperhatikan penggunaan bahan baku ragi, jenis peralatan yang digunakan, metode inokulasi dan lama fermentasi, kemasan serta kondisi hygiene proses produksi.

Kata kunci: UMKM tempe, penerapan standar, SNI 3144:2015.

Abstract

In accordance with the mandate of Law no. 20 of 2014 on Standardization and Conformity Assessment, the government is obliged to conduct guidance to business actors, especially UMKM in terms of standard implementation. One of the many food industries in Indonesia is the soybean tempe industry, but there are still many tempe producers who have not been able to apply SNI 3144: 2015. The purpose of this study is to evaluate the quality deviation that occurs on the fulfillment of tempe quality in accordance with SNI 3144: 2015 on tempe SMEs, identify factors causing the occurrence of quality deviation and improvement efforts that need to be done so that production tempe can meet all parameters SNI 3144: 2015. This research is done by identifying production process to see the variation of tempe making, to test tempe quality according to SNI 3144: 2015, to evaluate factors causing quality deviation and give recommendation for improvement. The result of the research shows that there are variations of tempe making that influence the fulfillment of tempe quality that is water content, crude fiber content, cadmium metal contamination and coliform contamination. Efforts that can be done to improve the quality of tempe is the need to consider the use of yeast raw materials, the type of equipment used, inoculation methods and fermentation time, packaging and hygiene conditions of the production process.

Keywords: SME’s tempe, implementation of standards, SNI 3144:2015.

1. PENDAHULUAN

terhadap 33% PDB (Anam, 2012), disamping itu peran UMKM berbasis pangan sangat penting dalam mewujudkan kondisi ketersediaan pangan

Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang cukup bagi masyarakat. Berdasarkan data (UMKM)

perekonomian nasional dan merupakan sektor dari Kementerian Koperasi dan UKM (2015) yang telah terbukti mampu bertahan bahkan

jumlah UMKM di Indonesia mencapai lebih dari

55 juta, dan 30% dari total UMKM tersebut disaat krisis ekonomi. UMKM mempunyai peran berasal dari sektor pangan. Perkembangan sangat besar terlihat dari kontribusinya terhadap UMKM di Indonesia masih dihadapkan pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang

terus meningkat setiap tahunnya. Hasil penelitian berbagai persoalan sehingga menyebabkan menyebutkan bahwa UMKM berkontribusi

lemahnya daya saing terhadap produk impor.

Jurnal Standardisasi Volume 19 Nomor 2, Juli 2017: Hal 113 - 126 Persoalan utama yang dihadapi UMKM, antara

tersebut dan upaya perbaikan yang perlu lain keterbatasan infrastruktur dan pemenuhan

dilakukan agar tempe hasil produksi mampu terhadap standar (Sudaryanto, 2011a).

memenuhi seluruh parameter SNI 3144:2015. Sesuai dengan amanat Undang-undang

No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan

2. TINJAUAN PUSTAKA

Penilaian Kesesuaian, pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan kepada pelaku usaha,

khusunya UMKM dalam hal penerapan standar.

2.1 Tempe

Salah satu industri pangan yang banyak terdapat Tempe berdasarkan SNI 3144:2015 didefinisikan di Indonesia adalah industri tempe kedelai.

sebagai produk yang diperoleh dari fermentasi Indonesia

biji kedelai dengan menggunakan kapang sekaligus negara pengonsumsi tempe terbesar di

Rhizopus sp ., berbentuk padatan kompak, dunia dengan 81.000 usaha pembuatan tempe,

berwarna putih sedikit keabu-abuan dan berbau dan konsumsi 2,4 juta ton tempe per tahunnya

khas tempe. Tempe yang dibuat dari kedelai (Setiadi, 2012). Sebanyak 50% dari konsumsi

merupakan tempe yang paling dikenal luas dan kedelai Indonesia dilakukan untuk memproduksi

paling banyak dimanfaatkan orang untuk lauk tempe, 40% tahu, dan 10% untuk produk lain

makanan. Tempe sangat digemari karena (seperti tauco, kecap, dan lain-lain) (BSN, 2011).

rasanya yang enak, tidak berbau langu, dan Sementara itu, industri kecil dan rumah tangga

memiliki cita rasa dan aromanya yang khas dan seperti usaha tempe kedelai, mempunyai

pengolahannya yang relatif sederhana. Tempe masalah mutu, karena tiadanya investasi di

merupakan makanan tradisional Indonesia yang bidang modal fisik dan pendidikan.

dikonsumsi oleh hampir semua lapisan Penelitian yang dilakukan BSN (2012)

masyarakat, dengan konsumsi rata-rata per menyebutkan masih banyak produsen tempe

tahun 5,2 kg/kapita (Subagyo dkk, 2002). yang belum dapat menerapkan SNI 3144:2015

Kedelai merupakan bahan baku tempe dan hanya 5,4% sampel tempe dari 55 UMKM

kedelai. Jenis kedelai yang umum digunakan yang mewakili daerah DKI Jakarta, Jawa Barat,

untuk membuat tempe adalah kedelai kuning Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur

atau kedelai impor dari Amerika. Sering kali yang memenuhi SNI 3144:2015.

dalam praktik, bahan baku ini disepelekan atau Begitu pun yang dilakukan oleh BPOM

dianggap gampang, sehingga produk tempe yang melakukan survei terkait cemaran logam

yang dihasilkan tidak bagus. Maka perlu berat pada tempe yang menyebutkan bahwa

disediakan kedelai yang berkualitas prima. 23% sampel tempe mengandung logam Cd

Menurut Astuti dkk (2000), ada empat tahapan diatas standar, sedangkan logam Pb 28 % dari

dalam proses pembuatan tempe, yaitu sampel (Sparingga & Puspitasari, 2015). Lebih

perendaman, perebusan, inokulasi dengan lanjut Khaq & Dewi (2016) menyebutkan bahwa

mikroba dan inkubasi pada suhu ruang. Belum di Salatiga 83% sampel tempe belum memenuhi

adanya standar proses untuk membuat tempe, SNI 3144:2015 untuk cemaran mikroba.

menjadi alasan banyaknya variasi proses pembuatan tempe dari satu wilayah dan dari satu

Penelitian mengenai tempe selama ini produsen dengan produsen lainnya. baru memfokuskan pada aspek sosio-ekonomi

(2009), menjelaskan dan aspek karakteristik tempe yang meliputi sifat

Babu

dkk

pembuatan tempe kedelai, diawali dengan kimia, fisik, mikrobiologi dan kandungan gizi.

perendaman kedelai selama semalam atau 30 Penelitian yang dilakukan Suhartono dkk (2008)

menit pada suhu air 25ºC. Penambahan asam menyebutkan bahwa aspek penerapan prinsip

laktat dapat dilakukan untuk menurunkan pH mutu khususnya sanitasi dan hygiene proses

campuran menjadi 5 atau kurang agar produksi tempe mampu membuat produk tempe

menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang memenuhi

tidak diinginkan. Selanjutnya kedelai dipisahkan organoleptiknya. Namun, kajian yang dilakukan

dari kulitnya agar nantinya pertumbuhan jamur belum secara menyeluruh yang juga dapat

lebih baik. Kedelai yang telah dikuliti kemudian mengendalikan mutu tempe sesuai SNI

direbus dalam air selama 90 menit pada suhu 3144:2015 untuk parameter lainnya.

100ºC.

Tujuan dari penelitian ini adalah Kedelai yang telah ditiriskan hingga suhu mengevaluasi penyimpangan mutu yang terjadi

kedelai 37⁰C-38ºC, dicampur dengan kultur terhadap pemenuhan mutu tempe sesuai SNI

Rhizopus dalam jumlah cukup untuk memulai 3144:2015 pada UMKM tempe dengan berbagai

inokulasi. Inokulum yang ditambahkan sebanyak variasi proses produksi, mengidentifikasi faktor

1 gram per kg kedelai yang telah dimasak. penyebab terjadinya penyimpangan mutu

Kedelai yang telah diinokulasi kemudian

Evaluasi Penyimpangan dan Perbaikan Mutu Tempe sesuai SNI 3144 : 2015 di UMKM (Tegar Ega Pragita, Mulyorini Rahayuningsih dan Muslich)

dibungkus dengan wadah tertutup yang pencucian. Air yang digunakan hendaknya yang dilubangi, dengan lapisan tidak melebihi 2 inchi

memenuhi persyaratan air untuk industri pangan sehingga oksigen cukup tersedia untuk

atau untuk air minum (Lisyanti dkk, 2009). pertumbuhan jamur. Pada suhu di atas 25ºC dan

Fermentasi adalah suatu proses di bawah 41,5ºC merupakan suhu yang cukup

metabolisme yang menghasilkan produk-produk untuk pertumbuhan jamur yang memuaskan.

pecahan baru dan substrat organik karena Pada suhu 25ºC, fermentasi berlangsung selama

adanya aktivitas atau kegiatan mikroba. Hasil

5 hari, yaitu 5 kali lebih lama dibandingkan fermentasi tergantung pada fungsi bahan dengan fermentasi pada suhu 37ºC.

pangan atau substrat mikroba dan kondisi Tabel 1 Syarat mutu tempe kedelai berdasarkan

yang mempengaruhi SNI 3144:2015.

sekelilingnya

pertumbuhannya. Dengan adanya fermentasi dapat menyebabkan beberapa perubahan sifat

No Kriteria uji

kedelai tersebut. Tempe yang baik harus 1. Keadaan

Satuan Persyaratan

memenuhi syarat mutu secara fisik dan kimiawi. 1.1. Bau

Badan Satndardisasi Nasional telah menetapkan 1.2. Warna

normal, khas

standar teknis mutu tempe yakni SNI 3144:2009 1.3. Rasa

normal

dan berlaku sejak 9 Oktober 2009 yang 2. Air (b/b)

normal

kemudian direvisi menjadi SNI 3144:2015. 3. Kadar lemak (b/b)

maks 65

min 10

2.2 UMKM Tempe

4. Protein (Nx5,71) %

min 15

(b/b) UMKM adalah jenis usaha yang paling banyak 5. Kadar serat kasar %

jumlahnya di Indonesia, tetapi sampai saat ini (b/b)

batasan mengenai usaha kecil di Indonesia 6. Cemaran logam

maks 2,5

masih beragam. Pengertian kecil didalam usaha kecil bersifat relatif, sehingga perlu ada

batasannya, yang dapat menimbulkan definisi- 7.2. Timbal (Pb)

7.1. Kadmium (Cd)

mg/kg

maks 0,2

definisi usaha kecil dari beberapa segi. 7.3. Timah (Sn)

mg/kg

maks 0,25

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 7.4. Merkuri (Hg)

mg/kg

maks 40

tentang UKM itu sendiri menyebutkan bahwa 7. Cemaran Arsen

mg/kg

maks 0.03

UMKM merupakan usaha ekonomi produktif 8. Cemaran mikroba

mg/kg

maks 0,25

yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang 9.1. Bakteri APM/g

perorangan atau badan usaha yang memiliki coliform - kriteria: memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp negatif/25gram

maks 10

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai 9.2. Salmonella dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima sumber: BSN, 2015. ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan

Faktor lain yang harus diperhatikan selain bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil bahan baku berupa kedelai, yaitu inokulum dan

penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 air yang digunakan. Ragi tempe atau laru tempe

(tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling atau inokulum tempe adalah suatu sediaan yang

banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima mengandung mikroorganisme yang berperan

ratus juta rupiah).

dalam pembuatan tempe. Tempe di Indonesia Data dari Kementerian Koperasi dan difermentasi dengan Rhizopus sp, terutama

UKM (2012) jumlah UMKM di Indonesia Rhizopus oligosporus, R. oryzae, R. arhizus, R.

stolonifer, mencapai lebih dari 55 juta, dan 30% dari total

dan R. microspores (Astuti dkk., UMKM tersebut berasal dari sektor pangan. 2000). Indonesia merupakan negara produsen tempe

Laru atau inokulum adalah mikroba yang terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai tergolong makhluk hidup, artinya pertumbuhan

terbesar di Asia dengan jumlah pengrajin dan perkembangbiakan sangat dipengaruhi oleh

mencapai 64.000 dan produksi lebih dari 1 Milyar kondisi dan lingkungan tempat hidupnya,

ton per tahun (Gakoptindo, 2013). Sebanyak sehingga faktor-faktor seperti kemurnian ragi,

50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan keaktifan ragi, penaburan ragi, kondisi medium

untuk memproduksi tempe, 40% tahu, dan 10% ragi seperti pH, suhu bahan sangat perlu

untuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain- diperhatikan. Air merupakan kebutuhan yang

lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per sangat penting dalam industri tempe (rata-rata

tahun di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar kebutuhan antara kedelai : air = 1: 12), yang

6,45 kg (BSN, 2012).

berguna untuk perendaman, perebusan, dan

Jurnal Standardisasi Volume 19 Nomor 2, Juli 2017: Hal 113 - 126 UMKM dalam memproduksi tempe

tempe (Kusuma & Dewi, 2016). Standar tempe kedelai masih dengan peralatan yang sederhana

yang baik harus memiliki karakteristik yang baik dan cara pengolahan yang beragam. Hal ini

dengan SNI 3144:2015. menyebabkan keragaman pula pada produk

yakni

sesuai

Pemenuhan mutu tempe tidak bisa lepas dari tempe kedelai yang dihasilkan, dari segi bentuk,

faktor mutu bahan baku yang digunakan rasa, kemasan, dan harga. Selain itu seringkali

(kedelai, ragi dan air), sarana dan prasarana didapati tempe kedelai yang di dalamnya ada

yang digunakan, lingkungan produksi termasuk bahan atau benda lain, seperti biji jagung,

didalamnya higienitas tempat produksi dan ranting, serpihan batu kecil, dan lain sebagainya

proses pengolahan.

yang dapat menurunkan kualitas tempe kedelai itu sendiri.

3. METODE PENELITIAN

Sementara itu, seiring perkembangan zaman, tuntutan terhadap jaminan mutu produk

3.1 Tahapan Penelitian

pangan semakin berkembang atau terus meningkat bersamaan dengan dilaksanakannya

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa perdagangan

a. Pemetaan proses produksi tempe di UMKM. memerlukan perbaikan dalam pelaksanaan

produksi pangan, antara lain dengan penerapan Proses produksi tempe di beberapa sentra sistem penjaminan mutu. Sistem penjaminan

UMKM di Kabupaten Bogor dan Kota mutu khususnya yang diterapkan untuk UMKM

Tangerang Selatan dipetakan secara belum banyak ditemui di Indonesia.

deskriptif, dengan cara menggambarkan aliran produksi tempe mulai dari bahan baku

hingga pengemasan, baik proses produksi, penjaminan mutu yang digunakan sebagai dasar

Belum adanya

dokumen-dokumen

lingkungan dan sarana prasarana proses penerapan penjaminan kualitas, berpotensi

produksi

menyebabkan ketidakkonsistenan

b. Penilaian mutu tempe hasil produksi produk yang dihasilkan. Hal tersebut berdampak

kualitas

Penilaian mutu tempe hasil produksi pada ketidakmampuan untuk bersaing di pasar

bebas. Permasalahan mutu produk pengolahan dilakukan berdasarkan SNI 3144:2015, yang juga dapat terjadi pada setiap tahapan kegiatan

mencakup karakteristik organoleptik, kimia, pengolahan, hal tersebut dikarenakan tingkat

cemaran logam dan cemaran mikrobiologi pengetahuan dan kesadaran terhadap mutu,

c. Pemilahan data dan identifikasi masalah serta faktor-faktor yang mempengaruhi mutu

keamanan produk, dan manajemen yang rendah. Tempe sesuai SNI 3144:2015

d. Penyusunan usulan rekomendasi dan

perbaikan serta mencari akar masalah untuk Mutu adalah derajat yang menyatakan bahwa

2.3 Penyimpangan Mutu Tempe

tindakan perbaikan

seperangkat karakteristik

inheren

telah

memenuhi persyaratan, dimana totalitas

3.2 Metode Analisa Data

karakteristik dari produk yang mendukung kemampuanya untuk memuaskan kebutuhan

Metode analisa data yang digunakan adalah yang telah di tetapkan (SNI ISO 9000:2008).

metode analisa deskriptif, yaitu analisa yang Mutu tempe ditentukan oleh beberapa faktor

bertujuan untuk memberikan atau menjabarkan diantaranya, mutu bahan baku (kedelai, air dan

suatu keadaan atau fenomena yang terjadi saat ragi), teknik pengolahan, sarana dan prasarana

ini dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk serta pengalaman pengrajin (skill) tempe itu

menjawab masalah secara aktual (Sugiyono, sendiri. Penggunaan bahan baku yang tidak

2011). Dalam penelitian ini, komponen yang bermutu, teknik pengolahan yang kurang

mempengaruhi

produksi tempe diidentifikasi melalui pengamatan langsung di

mutu

terstandar, serta kurang higienisnya tempat produksi tempe telah memperburuk mutu dan

sentra produksi tempe.

mengakibatkan tempe sebagai produk bahan Pengumpulan data dilakukan dengan pangan yang cukup rawan terhadap kesehatan. menggunakan metode survei melalui wawancara Penyimpangan mutu tempe, antara lain

terbuka kepada 30 responden. Responden penelitian dipilih dengan menggunakan metode

adalah kadar air, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat kasar melebihi kadar yang ditetapkan purposive sampling dan snowball sampling. SNI (Kristiningrum & Susanto, 2015), adanya

Prinsip dasar jumlah pengrajin yang digunakan cemaran kandungan logam Cd dan Pb (Sparinga

sebagai responden dalam penelitian ini adalah & Puspitasari, 2015) serta tingginya kandungan

saturasi data, yaitu pada suatu titik kejenuhan dimana tidak ada data baru yang didapatkan dari

bakteri Coliform dan Salmonella Sp. dalam

Evaluasi Penyimpangan dan Perbaikan Mutu Tempe sesuai SNI 3144 : 2015 di UMKM (Tegar Ega Pragita, Mulyorini Rahayuningsih dan Muslich)

partisipan, sehingga

pengumpulan

data

dihentikan setelah saturasi tercapai (Fusch & Ness, 2015).

Data yang dianalisa adalah data hasil pengujian sampel tempe kedelai dari berbagai macam UMKM yang mewakili seluruh faktor yang mempengaruhi mutu (bahan baku, peralatan yang digunakan, lingkungan dan proses produksi) untuk selanjutnya digunakan sebagai indikator untuk melihat penerapan SNI tempe kedelai dan upaya perbaikan jika mengalami penyimpangan mutu.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. Kegiatan pengumpulan data dan informasi dilakukan di beberapa sentra UMKM Tempe di Kabupaten Bogor yakni di Cilendek, Ciluer, Cimanggu dan Parung, dan Kota Tangerang Selatan yakni di Ciputat dan Serpong.

Data primer meliputi hasil observasi lapangan di UMKM tempe, wawancara bersama pakar dan praktisi yang terlibat langsung dalam produksi tempe. Data sekunder diperoleh dari kajian pustaka serta dari instansi terkait seperti Kementerian KUKM, Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI), BPOM dan BSN.

3.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup UMKM tempe yang berada di Kabupaten Bogor dan Kota Tangerang Selatan, dan identifikasi faktor- faktor yang berpengaruh dalam penyimpangan mutu yang meliputi bahan baku, proses pengolahan, sarana dan prasarana yang dilakukan oleh UMKM tempe dengan tidak mempertimbangkan kondisi eksternal dari UMKM.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Proses Produksi Tempe di UMKM

Industri tempe umumnya merupakan sektor informal yang jumlahnya sulit diketahui secara pasti. Hanya sedikit industri tempe yang mendaftarkan usahanya ke Dinas Perindustrian ataupun Dinas UKM. Akan tetapi kebanyakan industri tempe tercatat dalam keanggotaan KOPTI (Koperasi Tahu Tempe Indonesia), walau hasil survei tidak semua usaha tempe menjadi anggota KOPTI. Berdasarkan data yang diperoleh dari KOPTI, sampai saat ini di

Kabupaten Bogor terdapat 1040 pengrajin tempe. Sedangkan data pengrajin tempe di Tangerang Selatan meliputi 2 (dua) sentra utama yakni di Serpong dan Ciputat yang mencapai sekitar 200 pengrajin tempe

Sistem produksi tempe di beberapa sentra UMKM produksi tempe dipetakan secara deskriptif, dengan cara menggambarkan aliran produksi tempe mulai dari bahan baku hingga pengemasan. Pemetaan ini meliputi berbagai macam UMKM yang mewakili seluruh faktor yang mempengaruhi mutu seperti perbedaan bahan baku, peralatan yang digunakan, lingkungan dan proses produksi. Berdasarkan hasil pengamatan, dipilih 4 (empat) daerah di Kabupaten Bogor yaitu, Ciluer, Cimanggu, Cilendek dan Parung mewakili daerah pelayanan KOPTI Bogor yang memiliki jumlah pengrajin besar. Sedangkan di Kota Tangerang Selatan dipilih dua tempat yakni Serpong dan Ciputat yang juga merupakan sentra pengrajin tempe di Tangerang Selatan.

Secara umum proses pembuatan tempe terdiri dari tahapan perebusan, pengupasan kulit, perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi, pembungkusan, dan fermentasi. Namun, dibeberapa daerah atau bahkan beberapa pengrajin yang menjadi objek penelitian mempunyai variasi dalam proses produksinya, variasi tersebut tidak terbatas pada proses produksi, tetapi juga perbedaan bahan baku, peralatan yang digunakan dan lingkungan produksi yang semuanya turut mempengaruhi mutu dari tempe yang dihasilkan. Dari hasil identifikasi di enam tempat sentra industri tempe dapat dikelompokan setidaknya ada 7 (tujuh) variasi dalam produksi tempe, seperti terlihat dalam Tabel 2.

a. Bahan baku

Karakteristik bahan baku sangat mempengaruhi proses pengolahan dan mutu produk akhir yang dihasilkan. Produk akhir dengan mutu baik dihasilkan dari bahan baku yang bermutu baik. Kedelai merupakan bahan baku utama tempe kedelai. Jenis kedelai yang umum digunakan untuk membuat tempe adalah kedelai kuning atau kedelai impor dari Amerika.

Seringkali dalam praktik, bahan baku ini disepelekan atau dianggap gampang, sehingga produk tempe yang dihasilkan tidak bagus. Maka perlu disediakan kedelai yang berkualitas prima. Hasil identifikasi UMKM tempe memperlihatkan bahwa para pengrajin sebagian besar menggunakan kedelai kualitas satu dan sebagian juga menggunakan kedelai kelas utama. Menurut Krisdiana (2005), sekitar 93% pengrajin tempe di Jawa Timur menyukai kedelai

Jurnal Standardisasi Volume 19 Nomor 2, Juli 2017: Hal 113 - 126 yang berkulit kuning dan berbiji besar (82%)

ketersediaan di pasaran yang menjadi pilihan karena menghasilkan tempe yang warnanya

utama para pengrajin.

cerah dan volumenya besar. Perbedaan jenis kedelai merupakan Jenis tersebut banyak tersedia di

salah satu faktor penentu dari kualitas tempe pasaran, yakni kedelai impor. Penggunaan

yang akan dihasilkan, s enada dengan Antarlina kedelai yang dilakukan oleh hampir semua

dkk (2002) yang melaporkan ukuran biji kedelai pengarjin UMKM baik menggunakan kualitas

merupakan faktor penentu kualitas tempe karena utama maupun satu memperlihatkan ukuran

berkorelasi positif dengan bobot, volume tempe yang besar, yakni memiliki bobot per 100 biji

dan sifat sensoris. Begitu pun Khasanah (2010) berkisar antara 18-19gr, ukuran biji kedelai

yang menyebutkan ukuran biji yang semakin tergolong besar bila > 13g/100 biji. Pemilihan

besar mempunyai kandungan selulosa yang jenis kedelai ini lebih kepada keseragaman

sedikit sehingga berpengaruh terhadap kadar tingkat kematangan dan ukuran, namun faktor

serat.

Tabel 2 Variasi dalam Pembuatan Tempe.

Proses

UKM Kedelai

Lingkungan Kemasan

Utama Kw 1 LIPI Campuran

Belum Padat Kurang 1 v

Faktor lain yang harus diperhatikan berpengaruh terhadap kadar serat dari tempe selain bahan baku berupa kedelai, yaitu

yang dihasilkan.

inokulum (ragi) yang digunakan. Ragi tempe atau Air juga merupakan bahan penolong laru tempe atau inokulum tempe adalah suatu

yang penting dan berpengaruh dalam sediaan yang mengandung mikroorganisme

pembuatan tempe, hampir semua tahapan yang berperan dalam pembuatan tempe. Ragi

pembuatan tempe menggunakan air. Air yang tempe dapat dijumpai dalam bentuk tepung dan

digunakan harus bebas dari semua jenis coliform diproduksi oleh LIPI atau banyak ditemui di

karena semakin tinggi tingkat kontaminasi pasaran. Pada pembuatan tempe dikenal

coliform , maka semakin tinggi pula risiko beberapa macam ragi atau laru tempe digunakan

kehadiran bakteri-bakteri patogen lain yang biasa dalam proses fermentasi yang menghasilkan

hidup dalam kotoran manusia atau hewan dan tempe dengan kualitas tinggi.

bahan lainnya Secara tradisional para pengrajin

dapat

mengkontaminasi

(Bambang dkk, 2014). Coliform dan Salmonella membuat laru tempe dengan menggunakan

sp . sering dijadikan standar utama kebersihan tempe yang sudah jadi. Tempe tersebut di iris-iris

pangan, karena mengindikasikan adanya tipis, dikeringkan, digiling menjadi bubuk halus

kontaminasi bakteri lain yang berpotensi dan hasilnya di gunakan sebagai bahan

menyebabkan penyakit (Odonkor & Joseph, inokulum dalam proses fermentasi. Hasil

identifiaksi UMKM tempe dalam penggunaan ragi Coliform dan Salmonella sp. dalam oleh para pengrajin dapat dikategorikan menjadi

jumlah berlebih dapat menurunkan kualitas dua macam yakni yang menggunakan ragi

produk tempe dan membahayakan konsumen produksi LIPI dengan ragi campuran produksi

karena dapat menimbulkan infeksi akibat toksin sendiri yakni campuran ragi LIPI dengan onggok

yang dihasilkan. Toleransi jumlah cemaran (ampas tepung tapioka). Penggunaan ragi

coliform dalam SNI 3144:2015 mempersyaratkan campuran ini juga mempengaruhi terhadap mutu

maksimal 10 APM/g dan Salmonella sp. tempe yang dihasilkan, onggok mempunyai

negatif/25g.

kadar serat tempe sekitar 10-15% (Suhartono, 2001), bahkan dapat mencapai 19,3% (S.O Aro, dkk, 2010) hal ini dapat mengakibatkan

Evaluasi Penyimpangan dan Perbaikan Mutu Tempe sesuai SNI 3144 : 2015 di UMKM (Tegar Ega Pragita, Mulyorini Rahayuningsih dan Muslich)

terkena polusi air buangan mengandung Dalam memproduksi tempe dibutuhkan peralatan

b. Peralatan

Salmonella atau dapat juga terjadi secara tidak yang cukup banyak. Penggunaan peralatan ini

langsung, yaitu melalui tangan manusia atau akan mempengaruhi terhadap mutu dari tempe

alat-alat yang digunakan (Hatta dkk, 2012). Hasil yang dihasilkan. Pada dasarnya alat yang

identifikasi lingkungan produksi sampel UMKM di digunakan

lokasi penelitian menunjukan bahwa pada menggunakan bahan stainless steel, namun

harus

food grade seperti

umumnya pengendalian sanitasi lingkungan hasil pemetaan UMKM di lokasi penelitian

hanya 28,5% yang dapat dikategorikan baik. sebagian besar pengrajin menggunakan drum

d. Proses Produksi

(besi) dan alumunium pada sebagian besar proses produksinya dan hanya sebagian kecil

Pada proses pengolahan, pembuatan tempe yang menggunakan stainless steel.

kedelai diawali dengan pensortiran kedelai, lalu kedelai dimasak dan direndam selama semalam.

Kemudian kedelai dicuci, dihilangkan kulit mengakibatkan

tipisnya, ditiriskan dan diberikan ragi tempe dilaporkan Sparinga & Puspitasari (2015) bahwa

dengan perbandingan tertentu, dikemas dalam 23% hasil tempe pengrajin mengandung

pembungkus plastik atau daun pisang, serta cemaran Cd, hal ini dikarenakan terjadinya

inkubasi.

korosi dalam penggunaan drum, terutama saat perebusan dengan suhu tinggi meningkatkan

Secara umum proses produksi tempe di proses korosi, dimana kenaikan temperatur

lokasi penelitian tidak berbeda, namun ada berbanding lurus dengan kenaikan konstanta laju

perbedaan yang mendasar terkait pemberian reaksi korosi.

ragi atau yang disebut dengan inokulasi. Metode penggunaan inokulum tempe yang baik sangat

Pada suhu kamar konstanta laju reaksi penting dan berpengaruh untuk menghasilkan naik 2-50 kali pada setiap kenaikan suhu 10⁰C

produk tempe yang bermutu baik. Hasil (Khairat & Herman, 2004). Drum sering dilapisi

identifikasi di lokasi penelitian UMKM tempe lapisan seng dan Cd untuk menahan laju korosi,

menggunakan cara yang berbeda dalam namun penggunaan yang terlalu lama, dengan

inokulasi, yaitu metode inokulasi tanpa dicampur suhu tinggi dan lingkungan kondisi asam dapat

air dan dengan dicampur air atau dikenal dengan menjadikan lapisan Cd menjadi terkelupas dan

inokulasi basah dan kering. Perbedaan ini terbawa dalam proses produksi tempe.

mempunyai pengaruh terhadap kandungan

c. Lingkungan Produksi

mikroba pada tempe akibat masih tingginya kadar air (Winanti dkk, 2014).

Lingkungan produksi merupakan tempat pelaksanaan proses produksi yang harus dalam

Perbedaan juga terlihat dari lama waktu kondisi bersih dan terjaga dari berbagai macam

fermentasi dan perendaman, lama fermentasi jenis pencemaran. Karena pencemaran bisa

berpengaruh terhadap kandungan serat kasar mengkontaminasi produk tempe sehingga dapat

tempe yang dihasilkan (Widoyo, 2010). Hasil membahayakan

lokasi penelitian juga mengkonsumsi produk tersebut. Lingkungan

memperlihatkan penggunaan kemasan dalam produksi tidak terbatas hanya meliputi tempat

proses pengemasan tempe juga terdapat produksi, kebersihan peralatan dan pekerja juga

perbedaan, yakni dalam penggunaan plastik dan berpengaruh terhadap kualitas tempe yang

daun serta kepadatan pengemas yang dilakukan. dihasilkan.

Tempe merupakan produk yang ideal bagi

4.2 Penilaian mutu tempe hasil produksi

pertumbuhan mikroba karena mangandung Penilaian mutu tempe hasil produksi dilakukan berbagai nutrisi. Selain itu, rendahnya kualitas

berdasarkan pedoman SNI 3144:2015 mengenai sumber daya pekerja, menyebabkan tempe

penilaian mutu tempe kedelai yang mencakup berisiko terkontaminasi mikroba patogen

Karateristik organoleptik, yang meliputi bau, (Mujianto, 2013). Cemaran mikroba pada tempe

warna dan tekstur, karakteristik kimia, yang dapat berasal dari bahan baku, pekerja,

meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak peralatan pengolahan, dan lingkungan produksi.

dan serat kasar, cemaran logam timbal (Pb), Tempe berkualitas baik dengan ketahanan

cadmium (Cd), timah (Sn), raksa (Hg) dan arsen produk cukup lama memerlukan perhatian dalam

(As) serta cemaran mikrobiologi Coliform dan kebersihan proses dan bahan yang digunakan

Salmonella sp . Hasil penilaian mutu tempe di (Sukardi dkk, 2008). Salmonella sp. dan Coliform

lokasi penelitian seperti pada Tabel 3. dapat ditemui dalam pangan karena adanya

Hasil pengujian terhadap sampel UMKM kontaminasi yang dapat bersumber dari air yang

tempe didapatkan bahwa 6 dari 7 sampel belum

Jurnal Standardisasi Volume 19 Nomor 2, Juli 2017: Hal 113 - 126 memenuhi semua parameter yang terdapat

4.3 Evaluasi penyimpangan mutu tempe

dalam SNI 3144:2015, khususnya parameter Evaluasi terhadap penyimpangan mutu pada kadar air, serat kasar, cemaran logam Cd dan

tempe perlu diketahui untuk selanjutnya dapat Cemaran Mikroba Coliform.

diberikan tindakan perbaikan agar tempe memenuhi terhadap persyaratan SNI 3144:2015.

Tabel 3 Hasil Pengujian Tempe.

UMKM 1 2 3 4 5 6 7 SNI 3144:2015

Parameter Satuan

Normal Normal Warna

Normal Normal Tekstur

Normal Normal Air

Maks. 65 Protein (N x 5,71)

21,97 Min. 15 Lemak

9,13 Min. 7 Serat Kasar

2,18 Maks. 2,5 Timbal (Pb)

<0,03 Maks. 0,25 Cadmium (Cd)

Mg/kg

Maks. 0,2 Timah (Sn)

Mg/kg

<0,005 Maks. 40 Raksa (Hg)

Mg/kg

<0,001 Maks. 0,03 Arsen (As)

Mg/kg

Mg/kg

2x10 4 Negatif Maks. 10 Salmonella sp.

2 Coliform 2 APM/gr 3,6 2x10 3x10 3x10 2 Negatif

Negatif Negatif

UMKM yang dikelompokan sebagai berikut:

Identifikasi faktor yang berpengaruh dapat

menggunakan metode inokulasi basah tidak

a. Kadar Air

memenuhi persayaratan kadar air, sedangkan sampel yang menggunakan metode kering,

Faktor pengolahan, khususnya inokulasi semua sampel memenuhi persyaratan. berpengaruh terhadap pemenuhan kadar air

Tabel 4 Pemenuhan Kadar Air Tempe.

Kadar Air

1 V V Memenuhi 2 V V Memenuhi 3 V V Memenuhi 4 V V Memenuhi 5 V V Memenuhi 6 V V Tidak 7 V V Tidak

Dengan metode basah, proses penirisan dalam kedelai sudah banyak yang hilang, yang dilakukan para pengrajin belum tuntas, hal

sehingga menyebabkan kadar air semakin ini menyebabkan kadar air menjadi tinggi,

rendah. Sama halnya dengan pengaruh sedangkan melalui inokulasi kering kadar air

inokulasi, cara pengemasan yang kurang tepat,

Evaluasi Penyimpangan dan Perbaikan Mutu Tempe sesuai SNI 3144 : 2015 di UMKM (Tegar Ega Pragita, Mulyorini Rahayuningsih dan Muslich)

diantaranya kurang padatnya tempe yang Hal ini dikarenakan proses efisiensi yang dikemas membuat kandungan kadar air dalam

dilakukan, akibatnya kualitas tempe yang kedelai masih tinggi. Secara empiris juga dapat

dihasilkan kurang begitu bagus, berbeda dengan ditelusuri bahwa pengarajin yang melakukan

pengrajin yang melakukan proses inokulasi inokulasi basah biasanya akan mengemas

kering, umumnya akan lebih padat dalam tempenya dengan kurang padat.

mengemas tempe nya dikarenakan kandungan air yang ada dalam kedelai sudah lebih banyak berkurang.

b. Kadar Serat Kasar

Tabel 5 Pemenuhan Kadar Serat Kasar Tempe.

Faktor

Pemenuhan UKM

Kedelai Kedelai

Fermentasi Kadar Serat Utama

Fermentasi Biasa

(40-42 jam)

lebih lama Kasar

Onggok

(> 42 jam) 1 V V V V Memenuhi 2 V V V V Tidak 3 V V V V Tidak 4 V V V V Tidak 5 V V V V Tidak 6 V V V V Tidak

7 V V V V Memenuhi

Penggunaan ragi sebagian besar tidak juga berpengaruh, sampel dengan waktu memenuhi terhadap kadar serat, penggunaan

fermentasi lebih lama mempunyai kadar serat ragi campuran onggok merupakan salah satu

yang lebih tinggi dan tidak memenuhi faktor yang menyebabkan tingginya kadar serat

persyaratan mutu, hal ini disebabkan semakin akibat dari terikutnya onggok kedalam

lama fermentasi semakin banyak miselia yang pembuatan tempe, dimana onggok mengandung

terbentuk dari hifa maka semakin banyak pula kadar serat yang cukup tinggi yakni 10-15%

jumlah selulosa sehingga semakin tinggi kadar (Suhartono, 2001) bahkan mencapai 19,3%

serat kasarnya (Widoyo, 2010). (S.O. Aro, 2010). Penggunaan ragi LIPI juga terdapat sampel yang tidak memenuhi

c. Kadar Cemaran Logam Cadmium (Cd)

persyaratan, hal ini disebabkan jumlah ragi yang Penggunaan drum (besi) dalam proses digunakan

pembuatan tempe, terlebih pada saat perebusan menggunakan konsentrasi ragi antara 0,24 –

berpengaruh terhadap kandungan cemaran 0,5%.

logam terutama cadmium (Cd). Menurut Khasanah (2010) bahwa

semakin tinggi konsentrasi inokulum semakin Tabel 6 Pemenuhan kadar cemaran logam tinggi pula kadar serat kasarnya, hal ini

cadmium (Cd).

dikarenakan semakin tinggi konsentrasi inokulum

maka semakin banyak jumlah kapangnya Pemenuhan sehingga kadar serat kasar semakin tinggi. Kandungan

Alumunium Logam Cd

Disamping itu penyertaan kulit kedelai dalam

1 V proses pembuatan tempe juga turut menambah Memenuhi tingginya kadar serat tempe, kulit kedelai sendiri

2 V Memenuhi

mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi

3 V yakni mencapai 24,84% (Nelwida, 2011). Tidak

4 V Memenuhi Metode peragian atau inokulasi juga berpengaruh terhadap pemenuhan kadar serat

5 V Memenuhi

kasar, umumnya pengrajin yang menggunakan

6 V Tidak

metode inokulasi

basah

langsung

mencampurkan ragi nya dalam air yang

7 V Tidak

mengakibatkan kandungan campuran ragi Cadmium sering digunakan dalam tersebut ikut masuk kedalam campuran kedelai

campuran cat yang terkadang digunakan untuk yang akan di fermentasi. Waktu lama fermentasi

melapisi drum agar tidak mudah berkarat dan

Jurnal Standardisasi Volume 19 Nomor 2, Juli 2017: Hal 113 - 126 memperindah tampilan drum (Lala, 2011),

menggunakan alas kaki. Ada pula pekerja yang namun perebusan kedelai dengan suhu tinggi

bekerja sambil merokok.

dapat mempercepat laju korosi besi sehingga partikel cadmium dalam cat ikut terkelupas dan

Peralatan untuk produksi juga menjadi masuk kedalam proses pengolahan kedelai

salah satu faktor kontaminasi coliform. Peralatan menjadi tempe.

produksi hanya disiram dengan air tanpa sabun setelah digunakan dan terkadang ditumpuk atau

Semua sampel UMKM pengrajin tempe dibiarkan terbuka pada tempat kurang bersih yang menggunakan drum (besi) tidak memenuhi

ketika tidak digunakan. Tempat penginkubasian kandungan cemaran logam Cd, sedangkan

hampir semua sampel menggunakan alas kayu penggunaan stainless dan alumunium memenuhi

yang terkadang jarang diganti atau dibersihkan. persyaratan, walau ada sampel yang tidak

Menurut Alli (2004), tidak dilakukannya memenuhi, hal ini disebabkan karena adanya

penggantian atau pembersihan secara berkala cemaran Cd yang dihasilkan dari asap rokok

membuat alas semakin kotor dan mempertinggi pekerja. Asap rokok mengandung beberapa

kontaminasi coliform.

unsur logam beracun, diantaranya Cadmium yang berkisar antara 0,4 – 0,8 ppm (Guntarti,

Pada beberapa pengrajin, lokasi atau tempat produksi tempe dekat dengan toilet yang

memungkinkan

bertambahnya jumlah

kontaminasi coliform. Seharusnya area produksi Kondisi hygine yang diamati di UMKM pengrajin

d. Kadar Cemaran Mikroba Coliform

dengan toilet diberi jarak cukup jauh untuk tempe meliputi hygine pekerja, peralatan dan

mencegah perpindahan bakteri yang dapat tempat produksi. Hasil uji memperlihatkan

mempengaruhi tempe hasil produksi (Ismail, kondisi hygine kurang baik tidak memenuhi

2012). Air juga memegang peranan utama dalam persyaratan kadar cemaran mikroba coliform.

pencemaran coliform, air yang tercemar dapat Cemaran mikroba sebagian besar berasal dari

mempengaruhi kualitas dari produk yang kondisi sanitasi pekerja, peralatan dan tempat

dihasilkan.

produksi yang kurang, disamping pengaruh air Air untuk produksi semua sampel yang memang tercemar oleh mikroba (Kusuma &

menggunakan air tanah, dimana air tanah rentan Dewi, 2016).

tercemar dengan mikroba jika letaknya dekat dengan septictank. Menurut Alli (2004), air untuk

Tabel 7 Pemenuhan Kadar Cemaran Mikroba produksi makanan harus dapat diminum dan Coliform

tidak mengandung kontaminasi mikroorganisme Tempe. patogen, kimia, dan fisik. Semua sampel air dari

Faktor

Pemenuhan

pengrajin tempe memenuhi batas maksimal dari

Hygine

Cemaran

cemaran coliform yang dipersyaratkan untuk kualitas air minum, namun tidak menutup

UKM bersih Hygine kurang

Coliform

1 V Memenuhi

kemungkinan cemaran coliform dalam air dapat

2 V Tidak

meningkat karena tidak adanya pemeriksaan

secara berkala.

3 V Tidak

4 V Tidak

4.4 Rekomendasi Perbaikan Mutu

5 V Memenuhi

Permasalahan

pada

faktor-faktor yang

6 V Tidak

mempengaruhi penyimpangan mutu pada tempe

perlu diatasi untuk meningkatkan nilai mutu sehingga dapat memenuhi kriteria sesuai SNI

7 V Memenuhi

3144:2015. Penyimpangan yang sering terjadi Salah satu sumber kontaminasi antara

pada produk tempe UMKM yakni kadar air, kadar bakteri dengan produk adalah pekerja.

serat kasar, cemaran logam Cd dan Cemaran Kontaminasi terjadi ketika sebelum atau selama

coliform .

pengolahan dan setelah pengolahan. Pekerja Perbedaan variasi dalam pembuatan dari hampir semua sampel pengrajin UMKM tempe seperti perbedaan jenis kedelai tidak tempe kurang memperhatikan santasi, seperti

terhadap parameter hanya mencuci tangan dan kaki dengan air tanpa

begitu

berpengaruh

penyimpangan mutu, hanya saja untuk kualitas sabun. Selama proses pengolahan tempe,

kedelai satu perlu sortasi lebih lama untuk kontak fisik tangan pekerja sangat dominan menghilangkan kotoran yang ada. Penggunaan terutama saat pengupasan kulit dan pencucian ragi berpengaruh terhadap penyimpangan mutu kedelai. Selain itu, pekerja seringkali tidak

kadar serat dikarenakan penggunaan ragi yang memakai

pakaian

lengkap

dan

tidak

Evaluasi Penyimpangan dan Perbaikan Mutu Tempe sesuai SNI 3144 : 2015 di UMKM (Tegar Ega Pragita, Mulyorini Rahayuningsih dan Muslich)

dicampur onggok, namun ragi campuran onggok peralatan menjadi kurang, tidak berbeda jauh tetap dapat digunakan hanya saja dengan

dengan proses hygine pekerja, sanitasi peralatan proporsi yang sesuai, dari hasil penelitian

juga merupakan pembiasaan yang mesti proporsi kandungan onggok yang digunakan

dilakukan untuk dapat memperbaiki mutu tempe tidak lebih dari 1 bagian ragi untuk 3 bagian

yang dihasilkan, terutama pemenuhan cemaran onggok yang dicampurkan (1:3).

mikroba coliform. Tempat produksi merupakan Penggunaan ragi LIPI pun bukan berarti

hal yang sangat penting, yang hamper sebagian lebih baik, pengaruh jumlah takaran ragi juga

besar UMKM tempe belum bisa terpenuhi, berpengaruh terhadap penyimpangan mutu

mengingat pengrajin tempe merupakan sektor kadar

usaha mikro kecil. Namun, beberapa hal yang memperlihatkan bahwa takaran atau konsentrasi

serat kasar.

Hasil

penelitian

minimal dapat dilakukan oleh pengrajin ragi LIPI yang ditambahkan tidak lebih dari 0,2%

diantaranya perlunya langit-langit di atas untuk per berat kedelai pada kondisi normal.

mencegah kontaminasi dari atap, lantai dan dinding sebaiknya diplester, adanya ventilasi

Penggunaan peralatan drum (besi) yang cukup dan dapat mencegah masuknya terutama dalam perebusan berpengaruh hewan-hewan kecil yang dapat menjadi terhadap cemaran logam Cd, hal ini dikarenakan

terjadinya korosi sehingga partikel-partikel logam

kontaminan.

Tabel 8 Hasil uji tempe UMKM setelah menggunakan drum yang berbahan alumunium

ikut terkelupas, sehingga

atau stainless steel, namun jika penggunaan drum berbahan besi masih digunakan harus

UMKM 1 2 3144:2015 SNI

dipastikan kebersihan korosi dari alat dan rutin untuk dilakukan penggantian. Disamping itu

Parameter

Satuan

perlunya kedisiplinan pekerja untuk tidak

merokok perlu dibiasakan. Normal Normal Normal Proses produksi tempe, terutama

Bau

Warna

Normal Normal Normal

metode pemberian ragi atau inokulasi tempe

mempunyai pengaruh terhadap pemenuhan Normal Normal Normal kadar serat dan kadar air tempe yang dihasilkan.

Pemberian ragi sebaiknya menggunakan metode

inokulasi kering, namun jika tetap menggunakan Min. 15 metode inokulasi basah dikarenakan faktor

Protein (N x 5,71)

keterbatasan tempat dan efisiensi, proses produksi harus dapat dipastikan penirisan

Serat Kasar

2,37 1,94 Maks. 2,5

kedelai setelah diragikan dan sebelum dikemas,

Timbal (Pb)

Mg/kg

<0,03 <0,03 Maks. 0,25

serta menggunakan

penyaring

untuk

memastikan ragi kasar tidak ikut terbawa. Begitu

Cadmium (Cd)

Mg/kg

<0,005 <0,005 Maks. 0,2

pula pengemasan, sebaiknya melakukan pengemasan menggunakan plastik dan padat.

Timah (Sn)

Mg/kg

<0,05 <0,05 Maks. 40

Lama fermentasi juga perlu diperhatikan, agar

<0,001 <0,001 Maks. 0,03

tidak terlalu lama, sehingga mempengaruhi kadar serat kasar yang dihasilkan.

Raksa (Hg)

Mg/kg

Arsen (As)

Mg/kg

<0,002 <0,002 Maks. 0,25

Cemaran mikroba coliform erat kaitanya dengan kondisi hygine dari UMKM tempe, baik

Coliform

APM/g Negatif Negatif Maks. 10

meliputi pekerja, sarana peralatan maupun

Salmonella sp.

/25 g

Negatif Negatif Negatif

tempat produksi. Pada dasarnya pekerja sudah mengetahui pentingya sanitasi dan hygine

personal seperti cuci tangan baik sebelum, saat Rekomendasi yang diusulkan dan proses produksi maupun setelah produksi, tidak

dilakukan dalam proses produksi tempe tersebut boleh merokok di area produksi, penggunaan

di implementasikan. Untuk itu dilakukan alat kebersihan diri, dan lain sebagainya, hanya

perbaikan dan uji coba produksi di UMKM. saja tidak adanya pembiasaan dan budaya repot

Implementasi dilakukan melalui tahapan dari pekerja yang membuat mereka malas untuk

pengujian laboratorium untuk produk tempe dan melakukanya, hal ini yang seharusnya dapat

terhadap pemenuhan diperbaiki.

ceklist audit

SNICAC/RCP1:2011 untuk aspek pemenuhan Sarana peralatan yang terkadang dicuci

hygiene nya. Pemilihan UMKM untuk uji coba dan diletakan seadanya membuat kebersihan

didasarkan pada sedikitnya gap analisis dan

Jurnal Standardisasi Volume 19 Nomor 2, Juli 2017: Hal 113 - 126 kemauan dari UMKM untuk memperbaiki

soybean varieties for food processing. p. beragam penyebab masalah yang terdapat pada

58−68. Proceedings of RILET- JIRCAS faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan

Workshop on Soybean Research. mutu pada produk tempe. Hasil produk tempe

Malang.

dari penerapan proses perbaikan yang dilakukan Astuti M, Meliala A, Dalais FS, Wahlqvist ML. kemudian dilakukan uji laboratorium dengan

2000. Tempe, a Nutritious and Healthy hasil seperti pada Tabel 8.

Food from Indonesia. Asia Pacific J. Clin. Nutr.

9 (4): 322-325

5. KESIMPULAN

Babu PD, Bhakyaraj R, Vidhyalakshmi R. 2009.

A Low Cost Nutritious Food “Tempeh” – Kesimpulan penelitian ini memperlihatkan bahwa

A Review. World Journal of Dairy and terdapat beberapa variasi dalam proses produksi

4 (1): 22-27, 2009. tempe di UMKM yang sangat mempengaruhi

Food Sciences

Bambang, Andrian G., Fatimawali, Novel, S. kualitas tempe sesuai SNI 3144:2015 yakni

Kojong. 2014. Analisis Cemaran Bakteri kadar air, kadar serat kasar, cemaran logam Cd

Coliform dan Identifikasi Escherichia coli dan cemaran mikroba coliform.

Pada Air Isi Ulang Dari Depot Di Kota Faktor penyebab penyimpangan mutu,

Jurnal Ilmiah Farmasi diantaranya penggunaan jenis dan jumlah ragi

Manado.

UNSRAT. Volume (3) (3): 325-334. yang ditambahkan, jenis peralatan yang

[BSN] Badan Standardisasi Nasional, 2008. digunakan, metode inokulasi dan lama

Sistem manajemen mutu - Dasar-dasar fermentasi, kondisi kemasan serta kondisi hygine

dan kosa kata. SNI ISO 9000:2008. proses produksi.

Badan Standardisasi Nasional (ID). Upaya yang dapat dilakukan untuk

Jakarta

memperbaiki penyimpangan mutu diantaranya [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. penggunaan metode inokulasi kering atau basah

Standar Tempe Usulan Indonesia dengan memperhatikan tingkat ketirisanya,

Dierima Sidang CODEX sebagai New kondisi kemasan dipadatkan, penggunaan ragi

Work Item untuk Standar Regional, LIPI dengan konsentrasi tidak lebih dari 0,2%

available online at: http://www.bsn.go.id

atau ragi campuran dengan perbandingan 1:3, [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2012. lama fermentasi tidak lebih dari 44 jam,

Kajian Pemenuhan Persyaratan Standar penggunaan peralatan stainless steel atau

Tempe untuk Perdagangan. Laporan alumunium dalam proses perebusan, perbaikan

Penelitian. Jakarta

lingkungan tempat produksi dan sanitasi pekerja serta alat yang digunakan.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2015. Tempe Kedelai. SNI 3144:2015. Badan Standardisasi Nasional (ID). Jakarta.

Fusch PI, Ness LR. 2015. Are we there yet? Penulis mengucapkan terimakasih kepada

UCAPAN TERIMAKASIH

Data saturation in qualitative research. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut The Qualitative Report . 20 (9): 1408-

Pertanian Bogor atas terlaksananya penelitian ini.

Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo). 2013. Potret Industri

DAFTAR PUSTAKA

Tempe di Indonesia. Jakarta Guntarti, A. 2015. Bahaya Kadmium dalam Asap

Rokok. Harian Tribun Jogja Minggu 25 Alli, Inteaz. 2004. Food Quality Assurance:

Januari 2015.

Principles and Practices . CRC Press LLC, Florida.