Konsep Perdagangan Pengaruh Trading in I

1

Konsep Perdagangan Pengaruh (Trading in Influence) di Indonesia
Brigita P. Manohara dan Surastini Fitriasih (Pembimbing)
Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Salemba,
Jakarta Pusat, 10440, Indonesia.
E-mail: brigitamanohara@yahoo.com

Abstrak
Tesis ini membahas tentang konsep trading in influence yang ketentuannya terdapat dalam Pasal
18 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut
menandatangani konvensi ini belum meratifikasi aturan mengenai trading in influence dalam hukum positifnya.
Padahal dalam perkara korupsi di Pengadilan Tipikor beberapa diantaranya teridentifikasi sebagai perbuatan
trading in influence seperti suap impor daging sapi dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fatanah.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan
perundang-undangan dan kepustakaan hukum serta doktrin yang berkaitan dengan konsep trading in influence.
Tesis ini juga membandingkan ketentuan mengenai trading in influence di beberapa negara. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa konsep trading in influence memiliki unsur yang hampir sama dengan suap dan gratifikasi
sehingga aturan mengenai suap dan gratifikasi dapat digunakan untuk menjerat pelaku trading in influence.
Walaupun belum ada delik tersendiri yang mengatur konsep ini, namun pelaku dapat dijerat dengan Pasal 55
KUHP yang dijunctokan dengan pasal mengenai suap atau gratifikasi. Kondisi ini menunjukkan adanya korelasi

antara trading in influence dan penyertaan.

Trading In Influence Concept in Indonesia
Abstract
This thesis discusses the concept of trading in influence that contained in Article 18 United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC) . Indonesia as one of the countries that signed the convention has
not ratified the rules on trading in influence has not ratified the rules on trading in influence in their positive
law. Whereas in the case of corruption in the corruption court, some of which have been identified as the act
of trading in influence such bribes beef import quota by the defendant Luthfi Hasan Ishaaq and Ahmad
Fathanah. The research uses normative research method that is a study of legislation and legal literature and
doctrine relating to the concept of trading in influence. This thesis also compared the provisions on trading in
influence in some countries. The study concluded that the concept of trading in influence has elements similar
to bribery and graft so that the rules regarding bribery and graft can be used against trading in influence.
Consequently, although there is no separate set offence, the offender can be charged with Article 55 of the
Penal Code in conjunction with Article regarding bribes or gratuities. These condition indicate the existence
of the correlation between trading in influence and participation.

Keywords : : Trading In Influence, Corruption, Gratification, Bribery, Participation.

Universitas Indonesia


2

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya,
kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji serta ditelaah oleh banyak ilmuwan dan
filosof1. Mulai Aristoteles hingga Machiavelli merumuskan apa yang dikenal dengan
korupsi moral (moral corruption2)3. Korupsi belakangan merupakan kejahatan yang begitu
menarik perhatian banyak negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Korupsi tidak saja
akan menggerus struktur kenegaraan secara perlahan tetapi juga menghancurkan sendi
penting dalam negara4.
Di Indonesia, korupsi seperti penyakit kanker pada stadium yang tidak bisa
disembuhkan. Kita tinggal menunggu matinya sang penderita yakni Republik Indonesia 5.
Pernyataan ini selaras dengan tulisan Sjahrir6 yang merujuk data dari Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) bahwa pada tahun 2012 silam skor Indonesia adalah
9,92. Nilai ini berarti Indonesia adalah negara paling korup di Asia, karena angka 10 dalam
penilaian ini merupakan nilai tertinggi untuk negara terkorup7.
Norma utama yang dijadikan acuan dan diratifikasi banyak negara di dunia
mengenai korupsi dikeluarkan oleh United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC). Konvensi ini menjelaskan sejumlah bentuk tindakan yang masuk dalam tindak
pidana korupsi. Ke sebelas tindakan yang merupakan korupsi adalah 8 : 1.Bribery;
2.Extortion; 3.Facilitation Payment; 4.Collution; 5.Fraud; 6.Obstruction of Justice;
7.Embezzlement, misappropriation or other diversions of property by a public official;
8.Trading Influence; 9.Abuse of Function; 10.Illicit enrichment; 11.Money Laundering.
Dari sebelas tindakan itu, trading influence menjadi salah satu perbuatan yang kerap
1 Albert Hasibuan, Titik Pandang Untuk Orde Baru, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997), hlm 342347.
2 Moral corruption dijelaskan sebagai korupsi moral. Dalam tulisan Albert Hasibuan dijelaskan sebagai
tindakan pembentukan konstitusi yang sudah melenceng sehingga para penguasa rezim yang termasuk dalam
sistem demokrasi tidak lagi dipimpin oleh hukum tetapi mereka hanya berupaya melayani (berusaha
menguntungkan) dirinya sendiri.
3 Ibid.
4 Ibid hlm 203.
5 Sjahrir, ‘Korupsi di Indonesia Kanker Terminal’ dalam Surga Para Koruptor, Jakarta : Penerbit Buku
Kompas, Desember 2004, hlm. 39.
6 Sjahrir, mengutip Pojok Kompas edisi Selasa 12 Maret 2002.
7 Ibid.
8 Defining Corruption, http://track.unodc.org/IBA, diakses pada Rabu, 16 September 2015 pukul 14.00
wib.
Universitas Indonesia


3

diperdebatkan. Di berbagai literatur terdapat sejumlah pola perbuatan trading in influence,
yakni pola vertikal, pola vertikal dengan perantara dan pola horizontal.
Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani konvensi ini belum
meratifikasi Pasal 18 mengenai trading in influence ke dalam hukum positifnya. Hal ini
menimbulkan perdebatan karena sebagian pihak menilai konsep ini tidak perlu diratifikasi.
Sementara pihak lainnya bersikukuh untuk mengatur perbuatan ini dalam delik tersendiri.
Meski belum ada aturan mengenai trading in influence, namun sejumlah peristiwa
yang dinilai merupakan bentuk perbuatan trading in influence, pelakunya telah dipidana.
Dalam menjerat pelaku, penegak hukum menggunakan Pasal 55 tentang penyertaan yang
diyunctokan dengan pasal pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan mengenai korelasi konsep trading in influence
dengan ajaran penyertaan terutama tentang pasal yang mengatur penyertaan apakah sudah
dapat menjangkau seluruh pelaku perbuatan trading in influence dalam berbagai pola.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang dirumuskan, yaitu:
1. Bagaimana lingkup konsep Trading in Influence ?
2. Bagaimana korelasi antara ajaran penyertaan dengan konsep trading in influence?

3. Apakah peristiwa/fakta beberapa perkara di Pengadilan Tipikor yang menjadi objek
penelitian dapat dikategorikan sebagai trading in influence ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yang disampaikan sebelumnya,
maka penelitian tentang Trading in Influence ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama,
untuk menjelaskan konsep Trading in Influence yang tertuang dalam UNCAC. Selain itu,
penelitian ini juga dilakukan untuk mendeskripsikan konsep Trading in Influence dalam
kaitannya dengan ajaran penyertaan. Hal ini dilatarbelakangi penggunaan ketentuan
mengenai penyertaan untuk menjerat pelaku yang perbuatannya dapat dikategorikan
sebagai perbuatan trading in influence. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mencermati
beberapa kasus tindak pidana korupsi di Indonesia yang terindikasi merupakan trading in
infuence. Telaah mengenai konsep Trading in Influence ini termasuk pendapat para
sarjana, dan pendapat hakim dalam menafsirkan konsep Trading in Influence.
Universitas Indonesia

4

Tinjauan Teoritis
Korupsi masih menjadi permasalahan yang menarik perhatian masyarakat. Hal ini

dikarenakan besarnya dampak yang ditimbulkan serta para pelaku yang merupakan pejabat
dan penyelenggara negara. Pada proses pembentukan dan penegakan hukum, kebijakan
kriminal menjadi faktor penting. Sebagai negara hukum yang berkiblat pada ajaran civil
law maka pada kegiatan penegakan hukum, semuanya didasarkan pada peraturan yang
berlaku. Dalam hal ini, peraturan disusun melalui proses legislasi yang diselenggarakan
oleh legislator (DPR) bekerja sama dengan eksekutif (pemerintah). Dalam salah satu buku
karangan Mardjono Reksodiputro, istilah kebijakan kriminal dan politik kriminal memiliki
pemahaman yang sama. Istilah ini diartikan “the explicit or implicit standing plan than an
organization or government uses as a guide to action” 9. Kata aksi yang dimaksud pada
kalimat tersebut adalah dalam rangka menanggulangi terjadinya kejahatan. Dimana pada
umumnya berbentuk prinsip sebagai tujuan dan memuat program guna mewujudkan tujuan
yang telah ditetapkan10. Lebih lanjut, kebijakan kriminal oleh Prof. Mardjono dijelaskan
sebagai komponen yang diperlukan selain strategi sosial untuk menjaga agar angka
kriminalitas masih berada pada batas toleransi masyarakat. 11 Kebijakan kriminal dapat
didefinisikan dalam arti sempit, lebih luas dan yang paling luas, yakni12 :
1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti lebih luas adaah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakuakan melalui

perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkannorma sentral dari masyarakat.
Marc Ancel merumuskannya sebagai the rational organization of the control of
crime by society13 sedangkan Hoefnagels menjelaskan criminal policy sebagai14 : a) the
science of responses; b) the science of crime prevention, c) a policy of designating human
behaviour as crime; d) a rational total response of crime. Berdasar pendapat Hoefnagels,
9 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Jaminan Konstitusi Tentang Proses Hukum Yang Adil, Bahan
Bacaan Wajib Perkuliahan Manajemen Sekuriti Swakarsa, Jakarta, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian
Universitas Indonesia, 2013, hal 26.
10 Ibid.
11 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007, hal 92
12 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 113-114.
13 Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, ( London : Routledge &
Kogan Paul, 1965), hlm. 209.
14 G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology An Intervention of The Concept of Crime,
(Holland : Kluwer – Deventer, 1963), hlm. 57.
Universitas Indonesia

5


kebijakan kriminal terdiri atas kebijakan penal (kebijakan hukum pidana) dan non penal
(kebijakan tanpa melibatkan hukum pidana) 15. Apabila merujuk pada Kebijakan hukum
pidana

(penal

policy),

jenis

kebijakan

ini

dilaksanakan

melalui

tahap-tahap


konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari 16 : a)
kebijakan

formulatif/legislatif17;

b)

kebijakan

aplikatif/yudikatif18;

c)

kebijakan

administratif/eksekutif19.
Adalah hal yang wajar, ketika tiap pemerintahan memiliki suatu kebijaksanaan
atau policy tersendiri yang menjadi acuan guna merealisasikan program kerjanya. Tentu
dalam hal ini ada kebebasan dari masing-masing era untuk menetapkan arah policy-nya

yang berdampak pada keputusan memidanakan suatu penyimpangan atau kejahatan di
masyarakat. Politik hukum pidana (kebijakan kriminal) memungkinkan negara untuk diberi
kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif
terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana
yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau
kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mana perbuatan itu telah dirumuskan
sebagai tindak pidana. 20
Dalam tindak pidana korupsi, Syeid Hussein Alatas seperti dikutip Surastini
menyatakan, salah satu ciri yang menonjol dari tindak pidana ini adalah bahwa perbuatan
yang terjadi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang 21. Salah satu perbuatan dalam
tindak pidana korupsi yang populer adalah tindak pidana suap. Tindak pidana suap
merupakan delik kualitas yang mensyaratkan adanya kulifikasi khusus terhadap pelakunya.
Selain itu, tindak pidana ini merupakan penyertaan mutlak perlu (noodzakelijke
deelneming).
Trading in influence, sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi merupakan
bagian dari tindak pidana suap apabila merujuk pada pendapat Prof. Indriyanto Seno Adji
15Hadi Syahroni, Kebijakan Kriminal Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia, http://lbhinpartit.org/kebijakan-kriminal-dalam-sistem-negara-hukum-indonesia, diakses pada sabtu 17 Desember 2014
pkl.11.10 wib.
16 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,

2010), hlm. 24.
17 Kebijakan formulatif/legislatif merupakan tahap perumusan/ penyusunan hukum pidana.
18 Kebijakan aplikatif/yudikatif merupakan tahap penerapan hukum pidana.
19 Kebijakan administratif/eksekutif merupakan tahap pelaksanaan hukum pidana.
20 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum, (Jakarta : PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2008), hlm. 58-59.
21 Surastini Fitriasih, Penerapan Ajaran Penyertaan Dalam Peradilan Pidana Indonesia (Studi
terhadap Putusan Pengadilan), (DIsertasi Doktor Universitas Indoensia, Jakarta. 2006), hlm 136-137.
Universitas Indonesia

6

sehingga ketentuan mengenai delik kualitas dan penyertaan mutlak perlu digunakan dalam
perbuatan trading in influence.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan menelaah konsep Trading in Influence dan
penerapannya dalan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sehingga dalam
prosesnya, peneliti akan melakukan kajian tentang peraturan hukum, konsep dasar, dan
putusan pengadilan yang telah menggunakan konsep Trading in Influence dalam menjerat
para terdakwa kasus korupsi. Untuk itulah peneliti akan menggunakan pendekatan
Undang-Undang (Statue Approach) dan melengkapinya dengan hasil wawancara para ahli
hukum guna menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yakni mengenai
Trading in Influence. Guna mendapat jawaban dari pertanyaan penelitian pada penelitian
ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sehingga menghasilkan penelitian dalam
bentuk deskriptif analitis, yaitu metode dalam meneliti keadaan suatu kelompok manusia,
pemikiran dan suatu peristiwa yang terjadi.22 Merujuk pada pendekatan yang akan
digunakan, maka penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian normatif.
Sebagai penelitian normatif, tentu saja akan dilakukan studi dokumen dengan obyek utama
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Guna memperdalam bahasan mengenai trading in influence yang sudah
diterapkan di beberapa negara di dunia, peneliti juga melakukan studi komparatif melalui
bahan-bahan kepustakaan dan literatur mengenai implementasi konsep ini di negara
Perancis, Belgia, Spayol, dan Hungaria. Selain itu, peneliti melakukan studi kasus terhadap
putusan pengadilan yang terindikasi merupakan bentuk trading in influence. Putusan yang
digunakan

dalam

penelitian

ini

adalah

nomor

register

perkara

38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq, nomor
putusan 39/Pid.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Ahmad Fatanah, nomor
putusan

23/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST

atas

nama

terdakwa

Andi

Alfian

Mallarangeng, nomor putusan 112/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Muhtar
Ependy dan nomor putusan 16/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Tubagus Chaeri
Wardana Chasan alias TB. Chaeri Wardhana B. Bus alias Wawan.

22 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali Press, 1995), hlm.
33.
Universitas Indonesia

7

Pembahasan
1.

Konsep trading in influence
Korupsi seperti yang termaktub dalam Lexicon Webster Dictionary dijelaskan

sebagai berikut23:
“The act of corruption, or the state og being corrupt; putrefactive decomposition,
putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or
dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of
a language, a debased from a word.”24
Piers Beirne dan James Messerchmidt25 memandang korupsi sebagai sesuatu yang
erat kaitannya dengan kekuasaan sehingga mereka menjelaskan ada empat tipe korupsi
yakni political bribery, political kickbacks, election fraud, dan corrupt campaign
practices.

Sementara

Benveniste26

menjelaskannya

dalam

berbagai

aspek,

lalu

menggolongkannya atas empat jenis, yakni discretionary corruption, illegal corruption,
mercenery corruption, ideological corruption. Mikhlos Hollan27 dalam salah satu
tulisannya menyatakan bahwa criminalization of corruption offences was traditionally
limited to passive or active form of bribery.
Sebagai perbuatan yang merupakan tindak pidana korupsi, suap atau bribery
dijelaskan sebagai berikut28:
“Bribery is the most familiar among corrupt process: it consist of payments by
individuals of firms to public officials in order to influence administrative
decisions under their responsibility. Bribery covers a wide range of
administrative decisions, determined by the scope of goverment regulations and
activity. If frequently overlaps with the other two corruption categories through
the collution of briber and bribee.29”
23Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi
Revisi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 5.
24 Terjemahan bebasnya : tindakan korupsi atau negara yang korup: dekomposisi yang menyebabkan
pembusukan akibat material yang tidak baik; penyimpangan moral; kebobrokan, penyimpangan interas korup
atau tidak jujur terhadap proses yang ada, suap ; penyimpangan dari keadaan yang semestinya ; penghinaan,
sebagai suatu bahasa dengan ketentuan yang kemudian arinya justru direndahkan.
25 Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana KORupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010),
hlm. 17-18.
26 Ermansjah Djaja , ibid hlm. 18-20.
27 Miklos Hollan, Trading in Influence : Requirements of the Council of Europe Convention and the
Hungarian Criminal Law, Acta Juricica Hungarica Budapest 52 No. 3, 2011, hllm.235.
28 Jose G. Vargas – Hernandes, The Multiple Faces of Corruption : Typology, Forms, and Levels,
http://ameppa.org/upload/typology.pdf, diakses pada Kamis 24 November 2015.
29 Apabila diterjemahkan secara bebas maka berarti “suap adalah yang paling familiar diantara
perbuatan yang merupakan tindak pidana korupsi, perbuatan ini merupakan pemberian oleh individu dari
perusahaan kepada pejabat publik guna mempengaruhi keputusan administratif yang merupakan
kewenangannya. Suap yang dimaksud adalah upaya untuk merubah atau mempertahankan berbagai keputusan
administratif yang ditentukan peraturan dan aktivitas pemerintahan. Sering terjadi tumpang tindih dengan jenis
Universitas Indonesia

8

Tidak jauh berbeda dengan pengertian diatas, Jose menjelaskan suap adalah: 30
“Bribery is committed when a public servant is offered, promised, or granted an
in return for an action already carried out or is to be expected. Bribery can be
initiated by the person soliciting the bribe or the person offering the bribe.31”
Ketentuan mengenai Suap terdapat dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UNCAC. Subjek hukum
dari tindak pidana suap adalah pejabat publik, penyelenggara negara dan penegak hukum.
Guna menjerat pihak ketiga dan orang yang secara aktif maupun pasif ‘memperdagangkan
pengaruhnya’, UNCAC juga menambahkan pasal mengenai trading in influence. Willeke
Singerland merangkum pernyataan sejumlah pakar yang mengulas trading in influence.
Kutipan itu yakni32 :
“By Trading in Influence, or influence peddling referral is being made to : the
situation where a person misuses his influence over the decision-making process for
a third party (person, institution or government) in return for his loyalty, money or
any other material or immaterial undue advantage.”33
Perbuatan trading in influence diatur dalam UNCAC khususnya Article 18 yang
berbunyi:34
“Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as
may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:
1) The promise, offering or giving to a public official or any other person,
directly or indirectly, of an undue advantage in order that the public official or
the person abuse his or her real or supposed influence with a view to obtaining
from an administration or public authority of the State Party an undue.
advantage for the original instigator of the act or for any other person.
2) The solicitation or acceptance by a public official or any other person,directly
or indirectly, of an undue advantage for himself or herself or for another
person in order that the public official or the person abuse his or her real or
supposed influence with a view to obtaining from an administration or public
authority of the State Party an undue advantage.”35
korupsi lainnya, yakni kolusi antara penyuap dan penerima suap.”
30 Jose G. Vargas – Hernandes, ibid.
31 Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut “suap merupakan perbuatan dimana pejabat publik atau
pegawai pemerintah ditawarkan, dijanjikan, atau diberikan imbalan atas tindakan yang sudah dilakukan atau
yang diharapkan untuk dilakukan. Suap dapat diawali dengan permintaan atau penawaran pemberian imbalan. “
32Willeke Slingerland, Trading In Influence : Corruption Revisited, http://www.researchgate.net,
diunggah pada Maret 2011, diakses pada Rabu, 16 September 2015.
33 Apabila diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, maka memiliki pengertian
“perdagangan pengaruh atau menjajakan pengaruh yang tengah dimilikinya : merupakan situasi dimana
seseorang menyalahgunakan pengaruhnya atas proses pengambilan keputusan untuk pihak ketiga (orang,
lembaga, atau pemerintah) dengan imbalan beripa loyalitasnya, uang atau bentuk keuntungan material atau
imaterial yang tidak semestinya didapatkan.”
34 Naskah UNCAC hlm. 18.
35Terjemahannya sebagai berikut :
“setiap negara pihak dapat mempertimbangkan untuk mengambil tindakan legislatif dan tindakan-tindakan
lain, sejauh diperlukan, untuk menetapkan sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan sengaja :
a. Menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik atau orang lain, secara
langsung atau secara tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik itu
Universitas Indonesia

9

Dari pengaturan konsep trading in influence dalam UNCAC dapat ditarik beberapa
elemen yakni36:
1. “Setiap negara pihak dapat mempertimbangkan....” frasa ini menunjukkan
bahwa tindakan yang dikriminalisasi sebagai trading in influence bersifat non
mandatory offences sehingga tidak ada kesepakatan di antara state party untuk
mengkriminalisasi tindakan ini sebagai tindak pidana korupsi karena pilihan
untuk mengadopsi atau tidak diserahkan secara penuh kepada negara yang
meratifikasinya.
2. Pada pasal 18 huruf (a) yang menyatakan “The promise, offering or giving to a
public official or any other person....” menunjukkan pasal ini merupakan bentuk
active trading in influence. Sementara pada pasal 18 huruf (b) terdapat frasa
“The solicitation or acceptance by a public official or any other person,.....”
yang menjadikan pasal ini sebagai aturan untuk passive trading in influence.
3. Pada kedua ayat terdapat frasa “directly or indirectly,...” yang apabila dikaitkan
dengan konsep

trading in influence maka ini merupakan gambaran derajat

kesengajaan dari suatu tindakan.
4. Subjek hukum yang dapat dipidana dari pasal ini tidak hanya pejabat publik,
namun juga mengikat pada setiap orang baik yang mempunyai hubungan dengan
pejabat publik maupun tidak. Hal ini nampak pada frasa “a public official or any
other

person,....”.

pertanggungjawaban

Rumusan
pidana

ini

terhadap

menunjukkan

adanya

pelaku

‘memperdagangkan

yang

perluasan

pengaruh’. Jika merujuk pada frasa ini maka mereka yang dapat dipidana tidak
hanya para pejabat publik37 namun juga orang lain seperti ‘broker’. Frasa ini
menunjukkan digunakannya ajaran penyertaan.

atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakan, dengan maksud
untuk memperoleh dari otoritas administrasi atau otoritas publik dari negara peserta, suatu keuntungan
yang tidak semestinya bagi si penghasut asli tindakan tersebut atau untuk orang lain;
b. Permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak
langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain agar
pejabat publik itu, atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan
dimilikinya, dengan maksud memperoleh dari otoritas administrasi atau otoritas publik dari negara
peserta atau keuntungan yang tidak semestinya.”
36 Donal Fariz, Almas Sjafrina, Era Purnama Sari, Wahyu Handang Herawan, Kajian Implementasi
Trading In Influence Dalam Hukum Nasiona, Jakarta : Indonesia Corruption Watch, 2012, hlm. 18-19.
37 Definisi pengenai public official atau pejabat publik diatur dalam Pasal 2 huruf (a) UNCAC.
Universitas Indonesia

10

5. Frasa “undue advantage...” menjelaskan cakupan yang luas dari insentif yang
dijanjikan atau ditawarkan kepada pejabat publik atau orang lain.38 Cakupan
keuntungan (advantage) dalam frasa ini begitu luas, namun secara umum hal ini
merupakan sesuatu yang dapat dihitung nilainya seperti uang atau objek lainnya.
Sementara standart tidak semestinya (undue) sampai saat ini masih belum dapat
diformulasikan bentuknya karena ini tidak berwujud.
6. Dalam kaitannya dengan mens rea, pelaku tindak pidana ini seharusnya
memiliki keterkaitan antara niat menerima keuntungan dengan upaya untuk
menggunakan wewenangnya secara tidak sah.
Meskipun erat dikaitkan dengan tindak pidana suap, namun penyimpangan yang dilakukan
oleh pemilik kewenangan dalam bentuk trading in influence oleh beberapa ahli dinilai
merupakan perwujudan dari gratifikasi. Padahal ada perbedaan antara trading in influence,
suap dan gratifikasi. Hasil evaluasi GRECO diantaranya menyatakan:39
“The difference...between (trading in influence) and bribery is that the influence
peddleris no required to ‘act or refrain from acting’ as would a public official.
The recipient of the undue advantage assists the person providing the undue
advantage by exerting or proposing to exert an improper influence over the third
person who may perform (or abstain from performing) the requested act.”40
Apabila merujuk pada pengaturan dan subjek hukumnya, maka perbedaan antara trading
in influence, suap dan gratifikasi dapat dijelaskan dalam tabel berikut:

Pengaturan

Trading in influence
Suap
Gratifikasi
Pasal 18 (a) dan (b) Diatur dalam Pasal 5 Diatur dalam Pasal 12
UNCAC
diatur

dan

dalam

belum ayat

(1)

dan

(2), (a)

,

(b)

dan

(c)

hukum Termasuk pasal 6 ayat termasuk

positif di Indonesia.

1 huruf (a) dan (b), tambahannya.

Serta

Pasal 6 ayat (2). Pasal Pasal 13 UU No. 31
38 Julia Phillip, The Criminalisation Trading in Influence in International Anti Corruption Laws,
Disertasi University of the Western Cape, Jakarta, Oktober 2009, hlm. 35.
39Explanatory
Report,
Criminal
Law
Convention
on
Corruption,
http://conventions.coe.int/treaty/en/reports, diunggah pada 1998, diakses pada Rabu 11 November 2015 pkl.
15.00 wib.
40 Terjemahan bebasnya : Perbedaannya ... antara ( perdagangan pengaruh ) dan
penyuapan adalah bahwa perdagangan pengaruh tidak memerlukan unsur 'bertindak
atau menahan diri dari bertindak ' oleh pejabat publik . Penerima manfaat yang tidak
semestinya membantu orang yang memberikan keuntungan yang tidak semestinya
dengan mengerahkan atau mengusulkan untuk memberikan pengaruh yang tidak tepat
atas orang ketiga yang dapat melakukan ( atau menjauhkan diri dari melakukan) tindakan
yang diminta .
Universitas Indonesia

11

11, UU No. 31 Tahun Tahun 1999 jo. UU
1999 jo. UU No. 20 No. 20 Tahun 2001.
Pihak
yang  Dua pelaku dari sisi
terlibat
pengambil kebijakan
termasuk orang yang
menjual
pengaruhnya (tidak
mesti pejabat publik
atau penyelenggara
negara).
 Pemberi
sesuatu
yang menginginkan
keuntungan
dari
pejabat publik atau
penyelenggara
negara.
Subjek
Pelaku dapat berasal
Hukum
dari
bukan
penyelenggara negara,
namun memiliki akses
atau kekuasaan kepada
otoritas publik, hal ini
dapat ditemukan pada
frasa “public official or
any other person”

Tahun 2001.
 Penerima suap harus
penyelenggara
negara
karena
terdapat
unsur
menyalahguakan
kekuasaan
atau
kewenangan dalam
jabatannya.
 Khusus
untuk
memberi suap dapat
berasal
dari
penyelenggara
negara
maupun
pihak swasta.
Penerima pemberian
atau janji merupakan
pegawai
negeri,
penyelenggara negara,
hakim dan advokat.

 Penerima suap harus
penyelenggara
negara
karena
terdapat
unsur
menyalahguakan
kekuasaan
atau
kewenangan dalam
jabatannya.
 Khusus
untuk
memberi suap dapat
berasal
dari
penyelenggara
negara
maupun
pihak swasta.
Penerima pemberian
atau janji merupakan
pegawai
negeri,
penyelenggara negara,
hakim dan advokat.

Di Indonesia, meskipun aturan mengenai trading in influence secara eksplisit
belum diratifikasi tetapi ada beberapa pasal pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang secara implisit mengatur konsep trading in influence. Menurut
Indriyanto Seno Adji, sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH), trading in influence
berkaitan erat dengan bribery sehingga trading in influence sebagai unsur dari perbuatan
(tindak pidana) tidak selalu berdiri sendiri dan tentu berkaitan dengan delik pokoknya
yakni bribery (suap). Suap yang dimaksud tidak hanya kepada pegawai negeri sipil, atau
pejabat publik atau penyelenggara negara saja tetapi juga para penegak hukum karena
pada Pasal 6 disampaikan mengenai upaya untuk mempengaruhi proses penegakan
hukum. Tentunya, tidak menutup kemungkinan pasal mengenai gratifikasi juga dapat
digunakan untuk menjerat pelaku trading in influence.
Sayangnya, baik pasal mengenai suap ataupun gratifikasi hanya dapat menjerat
mereka yang memberikan secara langsung atau tidak langsung janji atau hadiah kepada
pejabat publik, penyelenggara negara, hakim, advokat dan penegak hukum. Hal ini
Universitas Indonesia

12

berdampak pada tidak dapat dijeratnya pihak ketiga yang tidak memiliki kualitas
sebagaimana diatur dalam pasal mengenai suap dan gratifikasi. Kondisi inilah yang
menyebabkan dibutuhkannya ajaran penyertaan untuk dapat digunakan bersama dengan
pasal mengenai suap dan gratifikasi, sehingga pihak ketiga yang bertugas sebagai
perantara atau calo atau trader dapat dimintakan pertanggungjawaban. Namun terdapat
satu persyaratan mutlak yang wajib dipenuhi agar pelaku dapat dijerat dengan pasal
mengenai suap dan gratifikasi. Syarat tersebut adalah keharusan telah terjadinya
‘transaksi’ antara pemberi dan penerima karena apabila hal ini tidak terealisasi maka
jeratan yang dapat dikenakan kepada pelaku hanya sebatas permufakatan jahat.
Keberadaan pasal yang mengatur mengenai perdagangan pengaruh sudah
diupayakan untuk diadopsi dalam RUU- KUHP versi pemerintah. Pada pasal 691 RUU
dapat diklasifikasikan sebagai terjemahan ketentuan yang ada pada UNCAC41. Ketentuan
mengenai trading in influence di RUU PTPK terdapat pada Pasal 3. Namun apabila
merujuk pada pendapat mantan Pemimpin KPK, Muh. Yasin, maka Pasal 10 dan Pasal 11
RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga merupakan ketentuan untuk trading in
influence.
Dari berbagai literatur yang ada, dapat disimpulkan adanya beberapa pola dalam
konsep trading in influence, yaitu : 42
1. Pola Vertikal;
Dapat dijelaskan dengan gambar berikut :
orang berpengaruh
klien/ pihak yang berkepentingan

2. Pola Vertikal dengan broker;
Dapat dijelaskan dengan gambar berikut :
orang berpengaruh
calo/ perantara/ makelar
klien/ pihak berkepentingan

3. Pola Horizontal.
Dapat dijelaskan dengan gambar berikut :

41Shinta Agustina, Trading in Influence: Peluang dan Tantangan Penerapannya di Indonesia, (Jakarta,
2013), hlm. 4.
42 Donal Fariz, Almas Sjafrina, Era Purnama Sari, Wahyu Handang Herawan, Op Cit hlm. 29 – 35.
Universitas Indonesia

13

pihak yang
berpengaruh
(merangkap calo)

otoritas pejabat publik

klien/ pihak yang
berkepentingan

Beberapa negara telah menerapkan aturan mengenai trading in influence dalam
hukum positif mereka, diantaranya Perancis, Belgia, Spanyol dan Hungaria.
a. Perancis
Perancis telah menerapkan konsep ‘trading in influence’ atau memperdagangkan
pengaruh dalam rumusan Undang-Undang. Sejak tahun 1994, negara ini memiliki the
Nouveau Code Penal (NCP) yang mengatur tentang trading in influence aktif dan pasif.
Terdapat Dua bentuk trading in influence berdasarkan lingkup kewenangan pelakunya,
yakni43: pertama, perdagangan pengaruh terjadi di area pemerintahan, kedua adalah
ketika pelaku dan klien-nya merupakan pihak swasta. Dalam perkembangannya, hingga
tahun 2007, otoritas di Perancis masih menganut aturan mengenai subjek yang
memiliki pengaruh dan tidak boleh menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya
secara ilegal adalah mereka yang berada pada lembaga legislatif, administratif
(eksekutif),

dan

judikatif.

Guna

menjerat

mereka

yang

memperdagangkan

pengaruhnya, otoritas Perancis memperkenalkan Article 433-1, 433-2-1, 434-9, 435-4,
435-7, 435-10, 435-11. pasal 435 – 3 dan 435-9 yang merupakan jenis perbuatan
korupsi aktif dan pasal 435-1 serta 435-7yang tergolong dalam jenis perbuatan korupsi
pasif maka dapat dikatakan legislator di Perancis telah memperluas lingkup tindak
pidana memperdagangkan pengaruh terhadap tawaran atau penerimaan untuk
mempengaruhi pejabat publik atau orang yang menjabat di organisasi internasional
seperti Uni Eropa, PBB, NATO, dan lembaga/ organisasi lainnya.
b. Belgia
Di Belgia, terdapat ketentuan anti korupsi yang telah mengalami perubahan
fundamental dan modernisasi yang ditetapkan menjadi Undang-Undang pada tanggal
10 Februari 1999. Penetapan ini dilakukan dalam rangka memenuhi komitmen
internasionalnya yang muncul dari konvensi CoE. Beberapa pasal yang diperkenalkan
sebagai wujud perubahan itu adalah Pasal 247 ayat (4). Pasal ini mengkriminalisasi
pejabat publik yang menerima suap dalam menggunakan pengaruh yang timbul karena
posisinya untuk mendapatkan perilaku tertentu dari otoritas publik. Badan legislatif
43 Julie Phillip, Op Cit hlm. 32.
Universitas Indonesia

14

Belgia memasukkan aturan tentang perdagangan pengaruh sebagai kejahatan jenis baru
melalui pasal di atas. Terlepas dari suap yang melibatkan sah (ayat 1) atau tidak sah
(ayat 2) yang dilakukan pejabat publik44, ayat 4 mengkriminalisasi perdagangan
pengaruh dengan menggunakan pendekatan hukum yang sama dan pada dasarnya
berbagi elemen yang sama seperti penyuapan aktif dan pasif. Meski tidak mengatur
suap dan trading in influence pada sektor privat, namun Belgia memiliki ketentuan
suap bagi pejabat asing dan petinggi organisasi internasional. Ketentuan ini terdapat
pada Pasal 250 yang mengatur tentang arbiter dan juri asing. Selain itu, Belgia juga
membuat aturan mengenai perbuatan suap termasuk trading in influence yang
dilakukan warganya di luar negeri dalam Article 10 quarter of the introductory part of
the Code of criminal Procedure (IP CCP)
c. Spanyol
Pada KUHP Spanyol terdapat tiga versi mengenai perdagangan pengaruh yang
terdapat pada Pasal 428 – 430 Bab ke Enam (6) dengan judul ‘del traficio de
influencias’(on influence peddling)45. Pasal mengenai perdagangan pengaruh ini
mencakup pelanggaran yang sifatnya aktif dan pasif namun hanya berfokus pada
perdagangan pengaruh pasif46. Meski hanya mengatur perdagangan pengaruh pasif
namun terdapat penggolongan terhadap perbuatan ini. Golongan yang pertama yakni
pada Pasal 428 dan Pasal 429 yang mengatur tentang penggunaan pengaruh tidak tepat
oleh pejabat publik dan masing-masing perorangan yang memiliki ‘pengaruh’.
Sementara golongan selanjutnya diatur dalam Pasal 430 yang lebih menekankan pada
situasi dimana manfaat yang diminta atau diterima pejabat publik atau perorangan
dalam rangka untuk memperluas atau mempertahankan pengaruhnya. Tidak seperti
Pasal 428 dan 429, Pasal 430 tidak mengacu pada ‘keuntungan ekonomi’. Sayangnya,
dalam KUHP Spanyol, hanya perdagangan pengaruh pasif-lah yang dapat dihukum.
d. Hungaria
KUHP pertama Hungaria di tahun 1878 sudah mengatur mengenai penyuapan
terhadap pejabat publik merupakan bentuk tindak pidana korupsi. Pada mulanya,
peraturan mengenai suap di negara ini berbeda dengan regulasi trading in influence
yang mulai dikenalkan pada tahun 1942. Barulah di tahun 1971 konsep trading in
44 Pejabat publik yang dimaksud dalam Pasal 247 memiliki pengertian yang luas karena mengacu pada
setiap orang yang melakukan tugas publik terlepas dari status resminya.
45 Julie Phillip, Op Cit hlm. 37.
46 Donal Fariz, Almas Sjafrina, Era Purnama Sari, Wahyu Handang Herawan, Op Cit hlm 26.
Universitas Indonesia

15

influence dituangkan dalam hukum positif Hungaria dengan mulai subyek hukum
adalah organ negara dan perusahaan yang bergerak di bidang ekonomi. Pemidanaan ini
terjadi selama era sosialis. Perkembangan pemerintahan dan ilmu hukum di Hungaria
mencetuskan Hungarian Criminal Code (HCC) tahun 1978. Dalam HCC Title VII
mengenai Crimes Against the Purity of Public Life terdapat sub terma mengenai
bribery. Ketentuan mengenai trading in influence diatur pada Section 256. Menguatnya
dorongan untuk mengatur tentang active trading in influence, maka pemerintah
Hungaria menambahkan ketentuan ini dalam Section 256/A. Regulasi ini menjangkau
trading in influence pada pejabat publik, pengusaha di bidang ekonomi dan lembaga
swadaya masyarakat.
Dalam penerapannya, ketentuan mengenai trading in influence diperngaruhi oleh
kegiatan lobi yang terdapat di negara maju. Di Inggris, ada dua ungkapan yang digunakan
sebagai sinonim dari kegiatan lobi, dua frasa tersebut adalah public affairs dan government
relations. 47 Konsep mengenai lobbying dapat digambarkan dengan diagram dibawah ini:
Konsep Lobbying

Kegiatan lobi kerap diidentikkan dengan perbuatan suap. Padahal kedua tindakan
ini memiliki perbedaan. Sejumlah perbedaan antara bribing dan lobbying, yakni:48
“Bribing and Lobbying differ in important dimensions. First, lobying is a legal
and regulated activity in many countries, while bribing is not. Second, a change
in the rule as a result of lobbying often affects all firms, while the return to
bribing as more firm specific. Third, a government that ponders a change in the
rule might have quite different concerns than a bureaucrat considering bribe.”49

47 Valts Kalnins, Parliamentary Lobbying between Civil Rights and Corruption,
http://www.providus.lv, diakses pada Jumat 20 November 2015 pkl.14.00 wib.
48 Ibid.
49 Apabila diterjemahkan secara bebas menjadi : “suap dan kegiatan lobi berbeda dalam sejumlah aspek.
Pertama, kegiatan lobi merupakan kegiatan legal yang diatur di banyak negara sementara penyuapan bukan
tindakan legal. Kedua, perubahan aturan sebagai akibat lobi sering mempengaruhi semua perusahaan, sementara
penyuapan hanya terbatas pada perusahaan tertentu. Ketiga, pemerintah yang menginginkan adanya perubahan
memiliki pandangan yang berbeda dengan birokrat yang mempertimbangkan suap”.
Universitas Indonesia

16

Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa suap dan kegiatan lobi merupakan dua
kegiatan yang berbeda. Para pelobi sadar bahwa suap merupakan tindakan korup, tetapi
dalam kenyataannya masih ada yang menggunakan teknik ini dalam melobi.
2.

Korelasi Ketentuan Penyertaan dengan Tindak Pidana Korupsi dan Trading In
Indluence
Perlu diingat kembali bahwa tindak pidana korupsi khusunya suap yang

merupakan delik pokok trading in influence dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga
ajaran penyertaan digunakan dalam tindak pidana ini. Bentuk penyertaan dalam KUHP
diatur dalam pasal 5550 dan 56, yakni: 51
1. “menyuruh melakukan”52
2. “turut melakukan”53
3. “menganjurkan untuk melakukan/menggerakkan untuk melakukan”54
50 Pasal 55 KUHP berbunyi :
1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2) Mereka yang dengan memberi dan menjanjikan sesuatu dengan menyelahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (lihat Ishana
Hanifaf, Op Cit hlm. 432)
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta
akibat-akibatnya.
51 Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana (Buku 2), (Jakarta :
Unicersitas Tarumanegara – UPT Penerbitan, 1996), hlm. 60.
52 Merupakan terjemahan dari doen plegen. Dapat dijelaskan sebagai membuat orang laun yang tidak
dapat dipidana mewujudkan delik. Dalam bentuk penyertaan ini terdapat seseorang yang ingin m elakukan suatu
tindak pidana, akan tetapi dia tidak melaksanakannya secara mandiri, melainkan menyuruh orang lain untuk
melaksanakannya. Syarat terpenting dalam bentuk menyuruh melakukan adalah orang yang disuruh adalah orang
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (Lihat Loqman Op Cit hlm. 63). Sehingga orang yang menyuruh
sama sekali tidak melakukan secara langsung tindak pidana yang dikehendaki. Sebaliknya yang melakukan
adalah orang yang disuruhnya padahal otang yang disuruh tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Definisi
yang dibuat MvT memperlihatkan beberapa unsur “menyuruh melakukan”, yakni : (1) ada seseorang atau
sesuatu manusia yang dipakai sebagai alat; (2) orang yang dipakai sebagai alat ini berbuat; (3) orang yang diakai
sebagai alat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana sehingga tidak dapat dihukum (Lihat
Surastini Fitriasih, Op Cit hlm 106 – 107).
53 Turut melakukan merupakan terjemahan dari medeplegen. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
sarjana dalam memberikan pengertian mengenai medeplegen. Pertentangan yang terjadi bisa digambarkan
sebagai berikut, ada pendapat yang menyatakan bahwa suatu medeplegen hanya dapat dianggap ada apabila
tindakan tiap peserta di dalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu daderschap
secara sempurna (Lihat Lamintang, Op Cit hlm. 617). Sementara pendapat lain menyatakan apab ila perbuatan
seorang medepleger ternyata telah memenuhi semua unsur delik, maka dengan sendirinya perbuatan medepleger
akan menghasilkan suatu daderschap sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP (Lihat P.A.F. Lamintang,
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bab XV), (Bandung : Sinar Baru, 1990),hlm. 617). Syarat medepleger
berdasar jurisprudensi Mahkamah Agung adalah ikut serta para peserta tidak harus memenuhi semua unsur
tindak pidana (putusan MA tanggal 26 Juni 1971 Nomor 15/k/Kr/1970). Berdasar Hoge Raad, unsur turut
melakukan adalah : (1) antara peserta ada satu kerjasama yang diinsyafi (bewuste samenwaking); (2) para peserta
bersama telah melaksanakan (gezamenlijke uitvoering).
54 Menggerakkan untuk melakukan merupakan terjemahan dari uitlokken. Dalam ‘menggerakkan’
terdapat setidaknya dua klasifikasi peserta tindak pidana, pertama adanya orang yang mempunyai kehendak
untuk melakukan suatu tindak pidana (intellectueel dader), kedua adalah mereka yang melaksanakan tindak
pidana seperti kehendak yang menggerakkan (de materiele dader). Orang yang digerakkan merupakan subjek
Universitas Indonesia

17

4. “turut membantu/membantu melakukan”55
Bentuk penyertaan yang pada umumnya terjadi pada tindak pidana korupsi adalah turut
dan membantu melakukan tetapi tidak menutup kemungkinan penggerakkan untuk
melakukan juga terjadi.

Dalam hal tindak pidana korupsi, delik ini merupakan delik khusus yang
mensyaratkan unsur tertentu pada pelaku delik. Kualifikasi terhadap pelaku delik inilah
yang disebut dengan delik kualitas56. Namun mengenai kualitas terhadap pelaku – peserta,
Simons dan Von seperti dikutip Andi Hamzah menyatakan:57
“seseorang yang ikut mewujudkan delik tetapi tidak mempunyai kualitas khusus
atau sifat yang harus dimiliki oleh pembuat atau pelaku hanya dapat
dikualifikasikan sebagai pembantu.”
Tindak pidana korupsi merupakan bagian dari delik jabatan, dimana konsep
penyertaan khususnya turut melakukan pada delik jabatan terjadi perbedaan pendapat
diantara para sarjana: 1) pendapat klasik mengatakan orang yang turut serta melakukan
harus memenuhi kualitas yang disyaratkan; 2)pendapat yang lebih modern berpendapat
sebaliknya, yaitu orang yang turut melakukan tidak perlu memiliki, memenuhi kualitas
yang disyaratkan.58 Sementara mengenai penyertaan khususnya menggerakkan, lebih
lanjut dijelaskan syarat penggerakan yang dapat dipidana adalah: a) ada kesengajaan
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan pidananya (lihat Loqman, Op Cit. Hlm 72 ). KUHP menentukan
beberapa cara penggerakan secara limitatif yang dapat dijelaskan sebagai berikut : a) memberikan sesuatu
artinya orang yang digerakkan diberi sesuatu. Sesuatu dapat berupa uang atau benda yang mempunyai nilai
ekonomis; b) memberikan janji artinya memberikan janji-janji berupa uang atau benda maupun kenaikan
pangkat, jabatan ataupun pekerjaan dan sebagainya; c) menyalahgunakan kekuasaan hal ini dimungkinkan terjadi
dalam lingkup hubungan atasan bawahan. Walaupun begitu juga dimungkinkan adanya penyalahgunaan
kekuasaan pada hubungan orang tua dan anak; d) menyalahgunakan martabat, upaya ini juga dikenal dengan
penyalahgunaan pengaruh. Akan tetapu, dengan sistem pemerintahan saat ini adanya penyalahgunaan yang
dilakukan mereka yang punya wewenang tidak termasuk sebagai penyalahgunaan martabat, melainkan
kekuasaan (lihat Loqman Op Cit hlm. 72-73).
55 Membantu melakukan diatur dalam Pasal 56 KUHP, yang mempunyai perbedaan dengan bentuk
penyertaan sebelumnya. Pihak yang dikenakan bentuk penyertaan pasal 56 KUHP digolongkan sebagai
pembantu tindak pidana. Terdapat dua perbedaan antara pembantu dengan pembuat tindak pidana: 1) membantu
hanya dapat dihukum dalam hal kejahatan sedangkan pembuat dapat dihukum dalam hal kejahatan maupun
pelanggaran; 2) mengenai pembantuan, pembantu tidak menpunyai kehendak atau tujuan agar terselesaunya
suatu delik (Lihat E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, cetakan 3, (Surabaya : Pusataka Tirta
Mas, 1986), hlm 78). Apabila dikaitkan dengan ‘turut melakukan’ maka yang membedakan dengan ‘membantu
melakukan’ dalam hal membantu melakukan seorang pembantu tidak harus ada kesadaran untuk bekerja sama.
Membantu melakukan berdasar pasal 56 KUHP dibedakan menjadi: a) membantu ‘melakukan kejahatan’, dan b)
membantu ‘untuk melakukan kejahatan’ (Lihat Surastini Fitriasih, Op Cit hlm 132).
56 Jan Remmelink, Hukum Pidana , (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 72.
57 Ibid.
58 Surastini Fitriasih, Penyertaan (Deelneming), http://slideplayer.info/slide/2324806, diakses pada 16
Desember 2015 pkl. 14.00 wib.
Universitas Indonesia

18

menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana; b) menggerakkan dengan
upaya-upaya yang ada dalam Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 : pemberian, janji,
penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman, tipu daya, memberi
kesempatan, alat, keterangan.59 Vos seperti dikutip Van Bemmelen menyatakan bahwa: 60
“seorang yang bukan pegawai negeri dapat saja dijatuhi pidana sebagai doen
pleger (pembuat pelaku/penyuruh) delik jabatan asalkan pembuat materieelnya
berstatus pegawai negeri.”
Salah satu jenis perbuatan yang awam dikenal dalam tindak pidana korupsi adalah
suap. Perbuatan Suap merupakan salah satu perbuatan yang baru merupakan delik apabila
pelakunya lebih dari satu orang.61 Konsep ini dikenal dengan konsep penyertaan mutlak
perlu (Noodzakelijke Deelneming).62 Penyertaan mutlak perlu adalah :63
“penyertaan ini bukan merupakan penyertaan dalam arti yang telah diatur dalam
Pasal 55 dan PAsal 56 KUHP, melainkan suatu bentuk tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa dimana untuk mewujudkan tindak pidana itu
diperlukan lebih dari 1(satu) pembuat.”
Meskipun yang melakukan tindak pidana adalah pelaku namun dengan adanya
ajaran penyertaan maka pertanggungjawaban pidananya diperluas ke peserta-peserta lain
sehingga setiap perbuatan peserta tetap harus dikaitkan dengan delik pokok yang dilakukan
oleh pelaku. Pernyataan bahwa tindak pidana suap merupakan penyertaan yang perlu
terdapat dalam tulisan A.Z. Abidin dan Andi Hamzah yakni :64
“syarat untuk dipidananya ialah pengetahuan (sengaja dalam tiga corak). Jika
tidak ada kesengajaan salah satu pihak, maka berarti tidak ada pula kesengajaan
bersama dan oleh karena itu tidak terjadi medeplegen (turut melakukan) menurut
pengertian undang-undang. Yang terdapat medewerking atau turut bekerja atau
membantu. Demikian pula halnya delik menurut Pasal-Pasal 238, 149, 209, 401,
397, dan 102 KUHP serta artikel 326 ter Ned. WvS. Yaitu menyogok orang yang
tidak berstatus pegawai negeri.”

59 Ibid.
60 Van Bemmelen, Hukum Pidana I, CEtakan Pertama, (Indonesia : Bina Cipta, Desember 1984) hlm.
175.
61 Surastini Fitriasih, Loc Cit.
62 Ibid.
63 Adami Chawawi, PElajaran Hukum PIdana BAgian I, (Jakarta : Raja Grafindo PErsada, 2002), hlm.
160.
64 A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan dan
Gabungan Delik) dan Hukum Penetensier, (Jakarta : Sumber Ilmu Jaya, Juni 2002), hlm.247.
Universitas Indonesia

19

Namun muncul pertanyaan lanjutan mengenai pelaku yang tidak memiliki kualitas untuk
dapat dijerat dengan delik mengenai suap, pertanyaan ini kemudian dijawan oleh
Hazenwikel – Suringa yang s