MAKALAH EKONOMI SUMBERDAYA PERTANIAN (1)

MAKALAH EKONOMI SUMBERDAYA PERTANIAN
PERALIHAN HAK KEPEMILIKAN DAN SEWA ATAS TANAH

Oleh

:

Kelompok 2
Yoseph Kurniawan

(522012027)

Jon Situnas Mekar

(522013068)

Ermelinda Bola

(522014008)

Pebriana Dwi Ariyani


(522014031)

Juniandri Masri

(522014047)

Albert Melkisedek

(522014054)

Agnes Chaprilla

(522014061)

FAKULTAS PERTANIAN DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016


I.

LATAR BELAKANG
Masalah tanah merupakan persolan yang rumit. Tanah adalah harta yang sangat penting

kedudukannya bagi setiap orang. Apalagi bagi petani, karena hidup matinya tergantung pada
tanah yang merupakan tempat mencari nafkah. Juga sumber kehidupan yang sudah turun –
temurun dimiliki sejak nenek moyang. Hubungan manusia dengan tanah sejak dulu memiliki
keterkaitan yang erat. Persoalan tentang tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang
sangat penting oleh karena sebagian besar daripada kehidupan manusia adalah sangat tergantung
pada tanah. Tanah dapat dilihat sebagai suatu yang mempunyai sifat permanen dan dapat
dicadangkan untuk kehidupan masa yang akan datang.
Dengan pertambahan penduduk yang cepat sedangkan jumlah tanah yang tersedia relatif
tetap, maka pemilikan tanah semakin tidak merata. Pemilikan tanah yang tidak merata dapat
mempertajam jurang semakin tajam diantara penduduk. Pemilikan tanah terlalu kecil bagi usaha
pertanian, sekitar 0,5 Ha, tidak menjamin pendapatannya. Dari produksinya yang kecil
menyebabkan perolehan pendapatan juga kecil.
Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat adat disebut
sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya diwilayah pedesaan diluar Jawa, tanah ini
diakui oleh hukum adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah.

Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik bersama
masyarakat adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang
bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal didalam sistem pemilikan
komunal. Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan kesultanan sejak abad ke
lima dan berkembang seiring kedatangan colonial Belanda pada abad ke tujuh belas yang
membawa konsep hukum pertanahan mereka. Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah
secara perorangan menyebabkan dualisme hukum pertanahan, yaitu tanah-tanah dibawah hukum
Adat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan colonial,
tanah bersama milik adat dan tanah milik adat perorangan adalah tanah dibawah penguasaan
Negara. Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas kepada yang
tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atas tanah-tanah diperkotaan dan
tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh
melalui penguasaan. Persoalan sengketa tanah mengenai hak Milik tak pernah reda. Masalah
tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam

penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga tempat
bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia berkubur. Sebagaimana
diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat
hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah
adat dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan berlakunya

hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan
hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA.
Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi.
Setelah adanya UUPA masih saja ada masalah yang lingkupnya pada hak atas tanah, seharusnya
ada suatu peraturan yang menjelaskan lebih jelas dan mengikat mengenai hak atas tanah.
Undang-undang pertanahan tersebut diharapkan secepatnya dibuat dan diundangkan agar dapat
memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum kepemilikan dan penguasaan
hak atas tanah. Selain peralihan hak – hak kepemilikan, yang sering menjadi masalah juga adalah
sewa/kontrak atas tanah. Sewa tanah merupakan konsep penting dalam teori ekonomi
sumberdaya tanah. Timbulnya rencana sewa/kontrak terhadap tanah, dikarenkan semakin
mendesaknya kebutuhan akan tanah dari waktu ke waktu. Sementara itu adanya pemilikan tanah
dalam skala besaroleh orang – orang tertentu, akan mendorong orang – orang yang tidak
mempunyai tanah untuk mengadakan sewa/kontrak untuk berbagai keperluannya. Sehingga
dengan bertambahya jumlah penduduk dari tahun ke tahun mengakibatkan permintaan terhadap
tanah semakin meningkat pula. Dilain pihak banyak pemilik – pemilik tanah yang tidak mau
melepaskan tananhya tetapi mereka berusaha mendapatkan pendapatan dari tanahnya tanpa harus
menjualnya, melainkan lewat sewa/kontrak yang dilakukannya.
II.

TUJUAN


Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana hak atas tanah dapat dialihkan dan jenis tanah apa saja yang dapat
dialihkan.
2. Mengetahui latar belakang diterapkannya sewa tanah serta pelaksanaannya dan
keuntungannya.

III.

TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan Ensiklopedi Indonesia, Tanah adalah campuran bagian-bagian batuan dengan

material serta bahan organik yang merupakan sisa kehidupan yang timbul pada permukaan bumi
akibat erosi dan pelapukan karena proses waktu.
Menurut Darmawijaya (1990), Tanah sebagai akumulasi tubuh alam bebas, menduduki
sebagain besar permukaan planet bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman, dan memiliki sifat
sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam
keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula.
Menurut Soil Survey Staff (1999), Tanah merupakan suatu benda alam yang tersusun dari
padatan (bahan mineral dan bahan organik), cairan dan gas, yang menempati permukaan daratan,

menempati ruang, dan dicirikan oleh salah satu atau kedua berikut: horison-horison, atau lapisanlapisan, yang dapat dibedakan dari bahan asalnya sebagai hasil dari suatu proses penambahan,
kehilangan, pemindahan dan transformasi energi dan materi, atau berkemampuan mendukung
tanaman berakar di dalam suatu lingkungan alam.
Menurut Jooffe dan Marbut (1949), dua orang ahli Ilmu Tanah dari Amerika Serikat
menjelaskan bahwa tanah adalah tubuh alam yang terbentuk dan berkembang sebagai akibat
bekerjanya gaya-gaya alam terhadap bahan-bahan alam dipermukaan bumi. Tubuh alam ini dapat
berdiferensiasi membentuk horizon-horizon mieneral maupun organik yang kedalamannya
beragam dan berbeda-beda sifat-sifatnya dengan bahan induk yang terletak dibawahnya dalam
hal morfologi, komposisi kimia, sifat-sifat fisik maupun kehidupan biologinya. Tanah adalah
tubuh alamiah yang terdiri dari lapisan (horison tanah) dari unsur mineral ketebalan variabel,
yang berbeda dari bahan induk dalam morfologi, fisik, kimia, dan karakteristik mineralogi.
Tanah terdiri dari partikel pecahan batuan yang telah diubah oleh proses kimia dan lingkungan
yang meliputi pelapukan dan erosi. Tanah berbeda dari batuan induknya karena interaksi antara,
hidrosfer atmosfer litosfer, dan biosfer . Ini adalah campuran dari konstituen mineral dan organik
yang dalam keadaan padat, gas dan air. Pengertian tanah yang dikemukakan di atas adalah secara
umum bukan berdasarkan pandangan hukum Dalam pandangan hukum (UUPA) tanah menurut
Budi Harsono, sebagai berikut: “ Adapun permukaan bumi itu disebut tanah. Dalam
penggunaannya tanah meliputi juga tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya
sekedar hal itu diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan


tanah tersebut (Pasal 4 ayat 2). Dengan demikian, maka pengertian tanah dalam penggunaannya
berarti ruang ”
Tanah sama dengan permukaan bumi (Pasal 1 ayat 2 Jo Pasal 4 ayat 1 UUPA), diartikan
sama dengan ruang pada saat menggunakannya karena termasuk juga tubuh bumi dan air di
bawahnya dan ruang angkasa di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Hak atas tanah telah diatur dalam Bab II UUPA. Dimana hak atas tanah adalah hak yang
memeberi wewenang kepada yang empunya hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat
dari tanah yang dihakinya.
Hak-hak atas tanah menurut pasal 16 j0 53 UUPA ialah : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Adapun pengelompokkan hak-hak atas tanah yaitu sebagai berikut:
a. Hak atas tanah yang bersifat tetap:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa Tanah Bangunan

6. Hak Pengelolaan.
b. Hak atas tanah yang bersifat sementara:
1. Hak Gadai
2. Hak Usaha Bagi Hasil
3. Hak Menumpang
4. Hak Sewa Tanah Pertanian
Adapun konsep pendaftaran tanah yaitu berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan
terhadap obyek pendaftaran tanah yang elum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini (Pasal 1 Angka 9 PP No.
24 Tahun 1997).
Dalam hal sistem pendaftaran tanah, maka dikenal dua sistem kegiatan pendafataran tanah, yaitu:
1. Pendaftaran tanah secara sistematik

Berdasarkan Pasal 1 Angka 10 PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah secara sistematik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang
meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah suatu
desa/kelurahan.
2. Pendaftaran tanah secara sporadik
Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 PP No. 24 tahun 1997, pendaftaran tanah secara sporadik adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran
tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau missal.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tetap dipertahankan tujuan
diselenggarakannya pendaftaran tanah yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Pasal 19
UUPA yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum
di bidang pertanahan. Secara rinci tujuan dari pendaftaran tanah di jelaskan dalam Pasal 3 dan 4
PP Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 3 tertulis bahwa :
“Pendaftaran tanah bertujuan :
a.

Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas

suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah
terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Lebih lanjut dalam Pasal 4 ditulis bahwa :
a.

Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal

3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.
b. Untuk melaksanakan fungsi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, data
fisik dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka
untuk umum.

c.

Untuk mencapai tertib administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c setiap

bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas

bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar.
Kepastian hukum yang dimaksud dari Pasal 3 dan 4 tersebut meliputi 2 hal, yaitu:
a.

Kepastian hukum mengenai objek (data fisik), yaitu keterangan mengenai letak, batas dan

luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya
bangunan atau bagian bangunan di atasnya.
b. Kepastian hukum mengenai subjek (data yuridis), yaitu keterangan mengenai status hukum
bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta
beban-beban lain yang membebaninya.
Dilaksanakannya pendaftaran tanah juga bertujuan untuk menyediakan informasi kepada
para pihak yang berkepentingan. Dengan tersedianya informasi ini, maka akan memudahkan
berbagai pihak yang ingin mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang-bidang
tanah atau satuan rumah susun yang sudah terdaftar tanpa harus mengecek langsung ke lokasi di
mana bidang tanah yang dimaksud berada.
Penyajian data tersebut dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/ Kota
khususnya Seksi Tata Usaha Pendaftaran Tanah. Informasi yang dimaksud adalah keterangan
atau dokumen yang terdapat dalam daftar umum. Disebut sebagai daftar umum karena daftar dan
peta-peta di dalamnya terbuka untuk umum. Oleh karena itu para pihak berhak untuk mengetahui
data yang tersimpan di dalamnya sebelum melakukan perbuatan hukum mengenai suatu bidang
tanah atau satuan rumah susun.
Daftar umum tersebut terdiri atas :
a.

Peta pendaftaran, yaitu peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk

keperluan pembukuan tanah.
b. Daftar tanah, yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah
dengan suatu sistem penomoran.
c. Surat ukur, yaitu dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan
uraian yang diambil datanya dari peta pendaftaran.
d. Buku tanah, yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik
suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya.
e. Daftar nama, yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang memuat keterangan mengenai
penguasaan tanah dengan suatu hak atas tanah, atau hak pengelolaan dan mengenai pemilikan
hak milik atas satuan rumah susun oleh orang perseorangan atau badan hukum tertentu.

Data yang tercantum dalam daftar nama tidak terbuka untuk umum. Hanya diperuntukkan
bagi instansi pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. Dalam penjelasan Pasal
34 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 dipaparkan bahwa daftar nama sebenarnya tidak memuat
keterangan mengenai tanah, melainkan hanya memuat keterangan mengenai orang perseorangan
atau badan hukum dalam hubungannya dengan tanah yang dimilikinya.
Dalam Pasal 30 dan 31 PP Nomor 24 Tahun 1997 diuraikan bahwa tujuan pendaftaran
tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang
tanah dipertegas dengan dimungkinkannya pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik dan/
atau data yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan, walaupun untuk tanah-tanah
demikian belum dikeluarkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
Sertifikat tanah adalah produk final dari manajemen pertanahan yang berfungsi sebagai
alat bukti pemilikan sekaligus sebagai sarana pengendali bidang tanah menuju tanah untuk
kemakmuran dan keadilan serta menjamin kelangsungan pembangunan berkelanjutan bagi
seluruh rakyat NKRI. Oleh karenanya maka penerbitan sertifikat tanah hanya dapat dikelola
dalam satu sistem terpusat.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 20 PP No. 24 Tahun 1997, sertifikat adalah surat tanda bukti
hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak
pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masingmasing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Lalu, dalam Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 menjelaskan
bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data
yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
Selanjutnya dalam hal sewa tanah, menurut Cahyono (1983) sewa tanah dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
1. Contract rent (sewa tanah) sbg pembayaran dari penyewa ke pemilik di mana pemilik
melakukan kontrak sewa dlm jangka waktu ttt
2. Economic rent atau land rent (keuntungan usaha) yg merupakan surplus pendapatan di
atas biaya produksi atau harga input tanah yg memungkinkan faktor produksi tanah dapat
dimanfaatkan dalam proses produksi.

Dalam hal perbedaan sewa tanah, menurut David Ricardo terjadi karena adanya perbedaan
kesuburan tanah. Tanah yang subur akan menerima sewa tanah yang lebih tinggi disbanding
tanah yang tidak subur. Mengapa demikian? Karena tanah yang subur mampu memberikan hasil
yang lebih banyak dibanding tanah yang tidak subur. Dengan demikian, tinggi rendahnya sewa
tanah bergantung pada tingkat kesuburan tanahnya. Sewa tanah yang berbeda disebut dengan
istilah “differential rent” (yang berasal dari kata rent = sewa dan di fferential = berbeda).
Sehingga, teori David Ricardo disebut juga dengan istilah “Teori Sewa Tanah Diferensial. Pada
umumnya petani akan mengolah terlebih dahulu tanah yang subur karena memberikan hasil yang
memuaskan. Tetapi sekarang ini tanah yang tidak subur dan gersang juga sudah diolah. Jumlah
penduduk yang semakin bertambah (mencapai 6 miliar) dan kemajuan teknologi telah
mendorong manusia untuk mengolah tanah yang tidak subur dan gersang. Dewasa ini, di negaranegara Timur Tengah pun dengan menggunakan teknologi pertanian yang modern telah mampu
mengolah tanah yang gersang menjadi lahan pertanian yang subur, menghijau dan menghasilkan
aneka sayursayuran dan buah-buahan.Teori David Ricardo hanya memperhitungkan tinggi
rendahnya sewa tanah berdasarkan tingkat kesuburan tanah dan belum memperhitungkan letak
tanah yang ternyata juga mampu memengaruhi tinggi rendahnya sewa tanah.
Lalu Von Thunen mengembangkan Teori David Ricardo dengan menambahkan “letak
tanah” sebagai faktor yang mampu memengaruhi tinggi rendahnya sewa tanah. Beberapa bidang
tanah yang memiliki tingkat kesuburan yang sama tetapi letaknya berbeda-beda (ada yang dekat
pasar, dekat jalan raya, dekat pabrik atau jauh di pedalaman) tentu memiliki sewa tanah yang
berbeda-beda. Menurut Von Thunen, tanah yang subur dan letaknya strategis (mudah dijangkau
atau dekat kota) memiliki sewa tanah yang mahal, karena letak yang strategis memudahkan hasil
pertanian cepat diangkut ke tempat-tempat penjualan dengan biaya murah. Dalam kenyataan
sehari-hari, ada bermacam-macam kegiatan ekonomi seperti kegiatan di terminal, pasar, pusatpusat perbelanjaan, perusahaan, dan pusat perkantoran yang memerlukan tempat-tempat strategis
dan tidak terlalu mengutamakan unsur kesuburan tanah. Dalam kasus demikian, factor utama
yang menentukan tinggi rendahnya sewa tanah adalah “letak tanah”. Semakin strategis letak
tanah semakin mahal pula sewa tanah.
IV.

PEMBAHASAN

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan
hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak atas
tanah dalam dua bentuk:
1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki
atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan
dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak
Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah
pertanian.Salah satu hak kebendaan atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA adalah
hak milik atas tanah yang paling kuat dan terpenuh. Terkuat menunjukkan bahwa jangka waktu
hak milik tidak terbatas serta hak milik juga terdaftar dengan adanya “tanda bukti hak sehingga
memiliki kekuatan. Terpenuh maksudnya hak milik memberi wewenang kepada empunya
dalam hal peruntukannya yang tidak terbatas. Semua hak atas tanah itu mempunyai sifat-sifat
kebendaan (zakelijk karakter), yaitu: (1) dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, (2) dapat
dijadikan jaminan suatu hutang, dan (3) dapat dibebani hak tanggungan. Dalam pasal 20 ayat (2)
UUPA ditentukan bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan. Beralih maksudnya terjadi bukan
karena suatu perbuatan hukum (kesengajaan)

melainkan karena peristiwa hukum (bukan

kesengajaan), misalnya diwariskan. Sedangkan dialihkan menunjukkan adanya kesengajaan
sehingga terdapat suatu perbuatan hukum terhadap hak milik tersebut. Peralihan hak atas tanah
menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain. Jadi, peralihan adalah
perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dari yang
mengalihkan kepada yang menerima pengalihan.

Adapun yang menjadi peraturan perundang-undangan mengenai peralihan hak atas tanah
yaitu:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan BadanBadan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha
(“HGU”), Hak Guna Bangunan (“HGB”) Dan Hak Pakai Atas Tanah Negara (“HP“);
- Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No.40/1997“);
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal atau Hunian Orang Asing (“PP No.41/1996“); dan
- Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999
Tentang Percepatan Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah (“InMenAg No.2 Tahun
1999″).
Dengan konsep peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap peralihan hak milik atas
tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan
PPAT. Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan
hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum
tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau
dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan
selesainya perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang
dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat
dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hak
milik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas
bidang tanah tersebut.
Dengan demikian berarti, agar peralihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas
tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat
peralihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik)
tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan
mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut.
a. Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah

Dalam UUPA diatur dasar hukum peralihan hak atas tanah, yaitu dalam pasal 20, 28, 35 dan
43.
- Pasal 20 ayat (2):
Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
- Pasal 28 ayat (3):
Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
- Pasal 35 ayat (3):
Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Mengenai hak pakai ada pembatasan seperti diatur dalam pasal 43:
(1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang
(2) Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang betsangkutan.
b. Peralihan Hak Atas Tanah karena Pewarisan.
Hak-hak atas tanah mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia ini,
karena semakin maju masyarakat, semakin padat penduduknya, maka akan menambah lagi
pentingnya kedudukan hak-hak atas tanah. Di dalam UUPA telah ditentukan bahwa tanah-tanah
di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia harus didaftarkan, hal ini sesuai dengan Pasal 19
ayat (1) UUPA yang berbunyi:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadkan Pendaftaran Tanah, yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah”
Selain itu juga diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUPA yang berbunyi sebagai
berikut:
“Hak milik, demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain
harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksudnya dalam Pasal 19”
Sedangkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dala Pasal 19 ayat (1) UUPA
adalah Peraturan Pemerintah Noor 10 Tahun 1961 yang sekarang telah disempurnakan dengn
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut Pasal 29
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan:
(1)

Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun

diadftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan adat fiisk
bidang tanah yang bersangkutan , dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur
tersebut.

(2)

Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya dalam surat ukur sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang
haknya dan boidang tananhya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar
menurut Peraturan Pemerintah ini.
(3)

Pembukuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan alat bukti

yang dimaksud dalam Pasal 23 dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28”
Dengan sistem buku tanah berarti bahwa setiap hak atas tanah yang wajib didaftarkan
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dibuat salinan dari buku tanah untuk
diterbitkannya sertifikat.
Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka memberikan
perindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah,
agar data yang tersimpan dan disajikan selalu menunjukkan keadaan yang mutakhir. Proses
pewarisan itu terjadi disebabkan oleh meninggalnya seseorang dengan meninggalnya sejumlah
harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil dengan tidak dibedakan antara barang
bergerak dan barang tidak bergerak.
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya yang
dinamakan pewarisan terjadi hanya karena kematian, oleh karena itu pewarisan baru akan terjadi
jika terpenuhi tiga persayaratan yaitu:
1.

Ada seseorang yang meninggal dunia

2.

Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat

pewaris meninggal dunia;
3.

Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Jika di antara harta peninggalan itu terdapat tanah hak milik maka hak atas tanah itupun

beralih kepada apara ahli waris tersebut. Peralihan hak tidak lagi dibuat di hadapan Kepala Desa
atau secara di bawah tangan, tetapi harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
diangkat oleh Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraris, satu orang untuk tiap satu
atau lebih daerah Kecamatan. Sedangkan untuk suatu daerah Kecamatan yang belum diangkat
seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka Camat yang mengepalaia Kecamatan tersebut untuk
sementara ditunjuk karena jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Untuk setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah harus dibuatkan
suatu akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pebuat Akta Tanah. Menuruut
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan
Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan
Peerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.
Sebelum Pejabat membuat akta peralihan hak atas tanah harus diperlihatkan lebih dahuku
sertifikat tanah yang bersangkutan, bila tanah itu telah didaftarkan atau dibukukan dalam bentuk
tanah pada Kantor Agraria Seksis Pendaftaran Tanah. Bila tanah itu belum didaftarkan atau
dibukukan dalam buku tanah maka sebagai pengganti sertifikat tanah harus diserahkan surat
keterangan pendaftaran tanah dari Kantor Agraria Seksi Pendaftaran Tanah setempat, bahwa
tanah itu belum mempunyai sertifikat atau sertifikat sementara.
Menurut ketentuan, akta harus ditandatangani oleh semua pihak, oleh PPAT dan para
saksi. Dan pada umumnya dibuat dalam rangkap empat, yaitu:
1. Satu helai (yang asli) bermaterai Rp. 6.000,- untuk disimpan dalam protokol pejabat.
2. Satu helai bermaterai Rp. 6000.,- untuk keperluan Kantor Pertanahan.
3. Satu helai untuk keperluan lampiran permohonan izin (apabila diperlukan izin)
4. Satu helai untuk yang berkepentingan
Untuk semua akta peralihan hak, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Agraria Nomor 11 Tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus
1977 Nomor SK.104/DJA/1977 harus dipergunakan formulir-formulir yang tercetak di kantor
Pos.
Menurut UUPA tidak cukup dibuatkan akta saja tetapi harus melakukan proses balik
nama untuk membuat sertifikat, untuk balik nama atau perubahan nama dari pemilik lama
kepada rekomendasi dari Pejabat Pebuat Akta Tanah. Tetapi dengan adanya akta sudah cukup
untuk memperoleh hak milik, karena haknya sudah beralih, hanya saja belum memiliki kepastian
hukum di kemudian hari. Karena untuk menjamin kepastian hukum harus dibuktikan dengan
sertifikat bukan oleh akta. Akta hanya berfungsi sebagai tanda bukti hak. Adapun syarat balik
nama adalah:
1. Ada akta pejabat (akta peralihan hak)
2. Bukti pelunasan yang menjadi kewajiban untuk peralihan hak tersebut.

3. Rekomendasi atau surat pengantar balik nama dari PPAT.
Pasal 11 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur kegiatan pelaksanaan Pendaftaran Tanah,
bahwa “Pelaksanaan Pendaftaran Tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
dan pemeliharaan data pendaftaran tanah”.
Selanjutnya untuk pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan yang
wajib dilakukan oleh pihak yang memperoleh tanah hak milik sebagai warisan diatur dalam
Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah
didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya
dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris”.
Dari ketentuan di atas, apabila seseorang pemilik tanah meninggal dunia, maka orang
yang menerima warisan itu dalam waktu 6 (enam) bulan harus mendaftarkan tanah warisannya
tersebut ke Badan Pertanahan Nasional, waktu 6 (enam) bulan itu dapat diperpanjang oleh Badan
Pertanahan Nasional.
Menurut ketentuan pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 :
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan
sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran”.
Sesuai dengan pasal tersebut di atas, bahwa penerima warisan (ahli waris) harus
mendaftarakan tanahnya ke Kantor Pertanahan. Tetapi harus diperhatikan terlebih dahulu apakah
tanahnya tersebut sudah dibukukan atau belum. Apabila tanahnya belum dibukukan sesuai
dengan ketentuan Pasal 42 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
“jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga dokumendokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) huruf b”
Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang mewariskan diperlukan
setelah pendaftaran untuk pertama kali hak yang bersangkutan atas nama yang mewariskan. Hal
tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997.
Dari ketentuan Psal 42 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 di atas maka:
1. Ahli waris harus memperlihatkan surat bukti hak berupa bukti-bukti tertulis, keterngan saksi
dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebanarannya oleh panitia Ajudikasi atau

Kepala kantor Pertanahan dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak
pihak lain yang membebaninya.
2.

Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum

bersertifikat dari kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari
kedudukan kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh
Kepala Desa/Kelurahan.
3. Berdasarkan data butir 1 dan 2 di atas kemudian dibuatkan akta waris oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
Kemudian pemohon (ahli waris) mendaftarkan ke kantor Badan Pertanahan Nasional
dengan persyaratan yang ada.
c. Peralihan hak atas tanah karena jual-beli
Di dalam UUPA tidak terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan
pengertian jual beli itu. Menurut hukum barat yang pengaturannya terdapat dalam pasal 1457
KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (penjual)
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak miliknya) suatu benda dan pihak yang lain
(pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Menurut pasal 1458 jual beli itu

dianggap telah mencapai kata sepakat mengenai benda yang diperjualbelikan itu seta harganya,
biarpun benda tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Tetapi dengan adanya jual beli saja, hak milik atas benda yang diperjual belikan,
belumlah beralih kepada pembeli, walaupun harganya sudah dibayar, sebab hak milik atas tanah
tersebut baru beralih kepada pemiliknya apabila telah dilakukan apa yang disebut penyerahan
yuridis ( juridische levering), yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta tanah dimuka
dan oleh Kepala Kantor Pendaftaran tanah selaku overschrijvings ambtenaar menurut
Overschrijvings Ordonnanties 1934 No. 27 dan pasal 1459 KUHPerdata.
Beralihnya hak milik atas tanah hanya dapat di buktikan dengan akta. Perbuatan hukum
itu lazim disebut ( overschrijying ) aktanya disebut “akta balik nama ”, sedang pejabatnya
disebut “ Pejabat balik nama” ;

Sebelum dilakukan penyerahan yuridis, melainkan penjual

yang masih merupakan pemilik atas tanah yang bersangkutan biarpun tanah yang diperjual
belikan tersebut sudah di kuasai oleh pembeli.
Menurut hukum adat, jual beli tanah bukan merupakan perjanjian seperti pasal 1457

KUHPerdata, tetapi suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan
oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat yang mana pihak pembeli
menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan dilakukan jual beli tersebut, maka hak milik
atas tanah itu beralih kepada pembeli. Walaupun misalnya baru dianggap telah dibayar penuh.
Jual beli tanah menurut hukum adat bersifat contant atau tunai. Dengan dilakukannya jual beli
itu dihadapan Kepala Desa/Adat, maka jual beli itu menjadi “terang”, dan bukan merupakan
perbuatan hukum yang gelap. Jadi, walaupun tanpa sertifikat kepemilikan, asal dilakukan di
hadapan Kepala Desa/Adat, maka tanah tersebut dapat beralih kepemilikannya. Oleh karena itu
pembeli mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai pemilik yang baru dan akan mendapat
perlindungan hukum apabila di kemudian hari ada gugatan terhadapnya.
Selanjutnya, dalam hal sewa atas tanah dengan teori sewa tanah mahzab Physiokratik
menyatakan bahwa sewa tanah (land rent) sebenarnya telah mulai pada zaman praklasik, yaitu
pada mazhab physiokratik yang merupakan tahap pendahulu bagi mazhab klasik. Terutama
perkembangan pemikiran ekonomi yang telah dikemukakan oleh Francois Quesnay (1694-1774)
dan Baron Jaques Turgot (1721-1781) yang dapat dianggap sebagai proses transisi ke arah
pemikiran para pakar ekonomi pada mazhab klasik.
Kaum physiokrat kembali pada ajaran tradisional bahwa semua kekayaan berasal dari
tanah, hanya tanah yang dapat memberikan hasil melalui apa yang ditanam ke dalamnya. Jadi,
surplus satu-satunya itu berasal dari tanah. Tokoh penganut ajaran physiokrat Francois Quesnay
berkebangsaan Perancis menganggap tanah sebagai satu-satunya sumber pendapatan dan
kekayaan. Hanya sektor pertanianlah yang dapat dianggap produktif karena hanya sektor tersebut
yang menghasilkan sisa produk bersih (product net), dalam artian adanya selisih (surplus) antara
hasil produksi dengan konsumsi.
Tanah merupakan sumber daya produksi yang mengandung kemampuan untuk
menghasilkan produksi dalam jumlah dan mutu yang melebihi atau meciptakan suatu surplus
bahan mentah yang digunakan dalam proses produksi. Dengan demikian, kegiatan di bidang
pertanian menghasilkan produk bersih atau surplus bagi masyarakat secara menyeluruh. Dalam
karyanya, yaitu Analyse du Tableau Economique (1758), Quesnay menjelaskan bahwa produk
netto atau produk bersih bersumber semata-mata pada sektor pertanian. Produk bersih yang
dimaksud semuanya diperuntukkan kepada pemilik tanah sebagai sewa tanah dan pemilik tanah

menerima sewa sebagai suatu imbalan jasa atas penggunaan tanahnya. Tokoh Physiokrat lainnya
Baron Jaques Turgot, ia mempunyai pemikiran tentang masalah ekonomi masyarakat yang
sehaluan dan sejalan dengan pola dan garis pemikiran yang dikemukakan oleh Quesnay.
Sebagaimana juga tercermin pada karyanya yang berjudul Reflexions Sur La Formation et la
Distribution Des Richesses (1766), Turgot berpendapat bahwa produk bersih yang diciptakan
oleh penggarap tanah menjadi sumber satu-satunya yang dapat memelihara kehidupan golongan
masyarakat lainnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya sebagian besar surplus itu jatuh
(dinikmati) oleh pemilik tanah sebagai sewa tanah yang akhirnya bertumbuh menjadi akumulasi
modal.
Turgot juga mengungkapkan bahwa besar kecilnya imbalan jasa bagi penggunaan tanah,
yaitu tingkat sewa tanah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mutu lahan yang digunakan pada
kegiatan produksi yang bersangkutan. Turgot untuk pertama kalinya merumuskan suatu
kecenderungan dalam produksi pertanian yang kemudian dikenal dalam teori ekonomi sebagai
Law Diminishing Returns (LDR). Menurut Turgot, pertambahan modal secara berlipat ganda
dalam produksi pertanian tidak membawa pelipatan hasil produksinya dengan tingkat yang
sepadan dengan tingkat pelipatgandaan modal. Secara absolut hasil produksi itu memang
bertambah tetapi secara nisbi pertambahan itu semakin menurun dalam perimbangannya
terhadap jumlah modal yang digunakan.
Tersedianya luas tanah dengan mutu lahan yang baik selalu terbatas terutama untuk
produksi pertanian. Dalam proses peningkatan produksi yang memerlukan tanah yang makin
meluas, harus digunakan bidang tanah yang mutu lahannya makin rendah. Hasil pertanian
memang bertambah tetapi tingkat pertambahannya semakin berkurang. Mengenai hukum itu
akan diterapkan pada teori sewa tanah oleh David Ricardo atau dengan kata lain teori sewa tanah
merupakan penerapan LDR. Jadi, pengamatan Turgot mengenai kecenderungan berlakunya LDR
mendasari besar kecilnya imbalan jasa berupa sewa tanah bagi penggunaan tanah yang sesuai
dengan mutu lahan yang terlibat dalam produksi pertanian merupakan pangkal tolak dari
pemikiran Ricardo mengenai teori sewa tanah yang menjadi terkenal dalam teori ekonomi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam kerangka pemikiran physiokrat telah
terkandung benih utama bagi teori ekonomi yang salah satunya menyangkut teori persewaan
tanah oleh David Ricardo pada mazhab Klasik.

Lalu teori sewa tanah dengan mazhab kalsik menyatakan bahwa para pemikir ekonomi
pada mazhab klasik, diantaranya Adam Smith (1723-1790), David Ricardo (1772-1823), dan
Thomas Robert Malthus (1766-1834) telah meletakkan landasan yang kuat bagi perkembanan
ilmu ekonomi. Di dalamnya juga terdapat teori tentang sewa tanah yang satu sama lainnya
mengandalkan beberapa pengertian dasar yang telah dipaparkan oleh para tokoh mazhab
phsyokrat. Menurut Adam Smith yang terkenal dengan karyanya Wealth oh Nations pembayaran
uang terbesar untuk membiayai produksi dan distribusi adalah upah, sewa, dan laba.
Mengenai sewa, Smith berpendapat bahwa sewa pada hakekatnya merupakan suatu harga
monopoli. Luas tanah yang subur yang dibutuhkan itu terbatas jumlahnya, orang yang
memilikinya dapat menarik bayaran tertentu pada para pemakai. Sewa itu bukan merupakan
upah tenaga kerja maupun balas jasa bagi para pemilik modal atau investor. Sewa yang tinggi
sematamata akibat kekayaan nasional yang melimpah atau tingkat upah yang tinggi. Dalam
analisisnya tentang sewa, Adam Smith telah merintis teori terkenal tentang Uneraned Increment
(penghasilan bukan balas karya).
Selanjutnya, dalam beberapa pemikiran yang terkandung dalam gagasan, Adam Smith
telah mengungkapkan bahwa imbalan jasa untuk penggunaan tanah tidak dianggap sebagai factor
yang menentukan harga, melainkan sewa tanah merupakan residu, unsur residual (sisa hasil) dari
harga barang tersebut. Bagian residu itu jatuh pada dan dinikmati oleh pemilik atau penguasa
tanah. Menurutnya, sewa tanah bukan merupakan komponen dalam biaya produksi yang
menentukan harga barang, melainkan tinggi rendahnya upah (beserta bunga dan laba) yang
menjadi faktor yang menentukan tinggi rendahya harga barang. Sebaliknya, tinggi rendahnya
sewa tanah merupakan sisa hasil dari harga barang itu (setelah dikurangi dengan biaya produksi).
Dalam hubungan itu, oleh Adam Smith dengan mengandalkan pemikiran yang telah diungkapkan
oleh Turgot sebelumnya yang juga ditunjukkan dengan perbedaan mutu lahan diantara berbagai
bidang tanah yang digunakan dalam proses produksi. Menurut Smith, tingkat sewa tanah
ditentukan oleh tanah yang subur.
David Ricardo telah mengembangkan pemikiran Adam Smith secara lebih terjabar dan
juga lebih sistematis. Kerangka garis pemikiran Ricardo perihal teorinya tentang nilai dan harga
serta teorinya tentang upah juga konsekuen diterapkan dalam teorinya tentang sewa tanah. Hal
itu masih dilengkapi dengan ikut memperhatikan berlakunya LDR yang dahulu diungkapkan

oleh Turgot pada mazhab physiokrasi sebagai kecenderungan dalam produksi pertanian. Ricardo
menyatakan bahwa meningkatnya sewa tanah adalah sebagai akibat kesulitan untuk
menyediakan tanah dan pangan bagi penduduk yang bertambah. Kini terlihat bahwa LDR yang
berawal dari pemikiran Turgot menjadi dasar dan pangkal tolak bagi teori sewa tanah oleh David
Ricardo.
Setelah mengalami perkembangan hingga sekarang ini dan pada akhirnya telah ada
definisi yang jelas mengenai hal tersebut. Sumber daya tanah merupakan sumber daya alam yang
umumnya terbatas persediannya dibandingkan dengan permintaannya sehingga bersifat langka
dan

mempunyai

nilai

(Delianov,1995). Tanah mempunyai

Opportunity Cost

dalam

pemanfaatannya. Penguasaan tanah dapat menunjukkan status sosial, ekonomi atau politik
seseorang. Selain itu, tanah dapat juga berfungsi sebagai faktor produksi (input fakor) pada
berbagai aktifitas ekonomi seperti pertanian, pemukiman, kegiatan industri, dan lain-lain.
Sumber daya tanah digunakan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan. Penggunaan tanah
pada umumnya sangat tergantung pada kemampuan atau kesuburan dan lokasinyta. Hubungan
sewa tanah dan lokasi, pertama kali dibahas oleh seorang ekonomi Jerman Heindrich Von
Thunen. Lokasi tanah terhadap pusat kegiatan ekonomi dinyatakan dengan jarak lokasi tanah
tersebut dengan pusat kegiatan ekonomi tempat produk atau hasil dari tanah tersebut dijual. Von
Thunen menyatakan bahwa ”Economic Rent” sebidang tanah akan semakin kecil denan semakin
jauhnya jarak lokasi tanah tersebut ke pasar (pusat kegiatan ekonomi).
Sewa tanah merupakan konsep penting dalam ekonomi sumber daya tanah. Pada
umumnya, orang berpikir bahwa sewa adalah imbalan atau pembayaran yang dibutuhkan untuk
penerimaan sebidang lahan atau bangunan pada pemilikinya. Istilah sewa dapat mempunyai arti
berikut.
1. Contract Rent; sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik tanah dan pemilik
tanah melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu.
2. Economic Rent atau Land Rent yang merupakan surplus usaha.
Sewa Tanah secara sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi yaitukelebihan
nilai produksi total diatas biaya total.

Penggunaan dari nilai produk dan kurva biaya untuk ilustrasi konsep “Land Rent” yang
merupakan surplus ekonomi setelah pembayaran biaya produksi.
Sewa tanah didefinisikan sebagai kelebihan penerimaan dari hasil pemanfaatan tanah
yang bersangkutan dengan biaya yang dikeluarkan selain tanah., misalnya tenaga kerja, modal,
bahan baku, dan energi yang dipakai untuk mengubah sumber daya alam menjadi barang atau
produk. Konsep rent dapat didekati dengan pendekatan Average Value (per Ha, per m2 ) yang
merupakan selisih antara harga produk yang dihasilkan dari pemanfaatan tanah tersebut dengan
biaya rata-rata (tidak termasuk biaya untuk tanah) yang dikeluarkan untuk membeli input yang
digunakan dalam menghasilkan produk tersebut. Selain pendekatan Average Value, konsep rent
dapat didekati dengan pendekatan Marginal Value yang merupakan selisih antara harga produk
terakhir dan biaya per unit input (tidak ternasuk tanah) terakhir yang dipakai untuk menghasilkan
tambahan produk terakhir tersebut. Dalam kasus menganggap harga produk konstan dan input
tersedia dengan penawaran yang elastis sempurna, pendekatan Average Value akan menjadi
serupa dengan pendekatan Marginal Value.
Sewa tanah sebagai surplus ekonomi dapat terjadi karena kesuburannya dan lokasinya.
Pada dasarnya, sewa tanah tersebut merupakan balas jasa untuk pemanfaatan tanah yang dipakai
dalam suatu aktifitas.
Land Rent

= penerimaan – biaya produksi (selain biaya untuk tanah)

= (produksi x harga/unit produk) - biaya produksi (selain biaya untuk tanah)
Besarnya Economic Rebt atau land rent akan sangat bergantung pada hal berikut.
1.
2.
3.
4.

Jenis penggunaan tanah (hotel, kebun, dan lain-lainnya).
Dalam hal-hal tertentu (pertanian) tergantung pada kesuburan tanah tersebut.
Teknologi yang dipakai dalam pemanfaatan tanah tersebut.
Aksessibiltasnya (terkait dengan jarak tanah ke lokasi pelemparan hasil).

Ditinjau dari aspek ekonomi, pemanfaatan tanah dikatakan makin efisien kalau tanah
tersebut mengahasilkan rent yang semakin tinggi. Besarnya sewa tanah yang mencerminkan pula
land value besarnya tergantung pada kesuburannya dan lokasi tanah tersebut terhadap pusat
kegiatan ekonomi dan produk tanah tersebut dipasarkan. Jarak lokasi tanah dari pusat kegiatan
ekonomi terkait erat dengan biaya transportasi. Dengan jarak yang semakin jauh akan
menyebabkab biaya transportasi makin besar maka hubungan antara economic rent dan jarak
bersifat negatif. Artinya, semakin jauh jarak lokasi tanah tersebut dari pusat kegiatan ekonomi
tersebut akan semakin kecil economic rentnya.

V.

PENUTUP
6.1.
Kesimpulan
1. Peralihan hak atas tanah karena adanya pewarisan pada dasarnya memerlukan
sertifikat sebagai bukti kepemilikan. Namun, peralihan hak atas tanah ini, sekalipun
belum ada sertifikat tetap dapat terjadi, dengan syarat ahli waris sebagai pemohon harus
menyerahkan surat keterangan pendaftaran tanah dari Kantor Agraria Seksi Pendaftaran
Tanah setempat, bahwa tanah itu belum mempunyai sertifikat atau sertifikat sementara.
Hal ini dilakukan sebagai pengganti sertifikat bila tanah itu belum didaftarkan atau
dibukukan dalam buku tanah. Peralihan hak atas tanah karena jual beli hanya dapat
terjadi bila dibuktikan dengan akta kepemilikan (sertifikat). Namun menurut hukum
adat, peralihan hak atas tanah ini tetap dapat terjadi sekalipun tidak ada sertifikat, asal
dilakukan di hadapan Kepala Desa/Adat, maka tanah tersebut dapat beralih
kepemilikannya.

2.

Timbulnya

rencana

sewa/kontrak

terhadap

tanah,

dikarenkan

semakin

mendesaknya kebutuhan akan tanah dari waktu ke waktu. Sementara itu adanya
pemilikan tanah dalam skala besaroleh orang – orang tertentu, akan mendorong orang –
orang yang tidak mempunyai tanah untuk mengadakan sewa/kontrak untuk berbagai
keperluannya. Sehingga dengan bertambahya jumlah penduduk dari tahun ke tahun
mengakibatkan permintaan terhadap tanah semakin meningkat pula. Dilain pihak banyak
pemilik – pemilik tanah yang tidak mau melepaskan tananhya tetapi mereka berusaha
mendapatkan pendapatan dari tanahnya tanpa harus menjualnya, melainkan lewat
sewa/kontrak yang dilakukan.Keuntungan dari sewa tanah yaitu : adanya pendapatan dari
tanah yang disewakan dan adanya hak milik tanah yang masih di punyai untuk
selamanya, selama tanahnya belum dijual. Hal ini menyebabkan bahwa sewa hanya
merupakan pemindahan hak milik tanah kepada orang yang menyewa dalam jangka
waktu tertentu. Setelah melewati jangka waktu yang telah ditentukan, maka hak milik
tanah harus diserahkan kembali oleh penyewa kepada pemilik tanah (orang yang
menyewakan).

6.2. Saran
Semog