Analisis ketersediaan beras nasional den

Prosiding Multifungsi Pertanian, 2005

ANALISIS KETERSEDIAAN BERAS NASIONAL:
SUATU KAJIAN SIMULASI PENDEKATAN
SISTEM DINAMIS
National rice availability analysis
A simulation study of dynamic system approach
Irawan
Balai Penelitian Tanah
Jl. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
e-mail: soil-ri@indo.net.id

ABSTRAK
Sektor pertanian masih mempunyai peranan penting dalam pembangunan
ekonomi. Selain menyerap tenaga kerja paling besar, lahan sawah berperan sebagai
penyedia beras nasional utama. Beras adalah komoditas strategis karena komoditas
ini merupakan komponen bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk.
Tingkat konsumsi beras secara nasional meningkat dari tahun ke tahun sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk. Dengan demikian, pemerintah harus
menyediakan beras dalam jumlah yang cukup. Saat ini, ketersediaan beras nasional
masih tergantung pada pasokan impor. Laju konversi lahan sawah yang tidak

terkendali dan hambatan dalam peningkatan produktivitas padi (leveling off)
merupakan faktor utama yang melemahkan program ketahanan pangan. Makalah ini
menganalisis ketersediaan beras nasional melalui pendekatan simulasi sistem
dinamis. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak
akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan
tahun 1992-2002 (0,77% tahun-1) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah
tidak beranjak dari keadaan tahun 1990-2000. Swasembada beras akan tercapai
apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing
sampai nol persen dan 0,72% tahun-1 mulai tahun 2010. Pada saat yang sama upaya
peningkatan produktivitas padi sebesar 2,0 - 2,5% tahun-1 sebagaimana prestasi yang
pernah dicapai pada saat swasembada beras (1983-1985) diperlukan. Kebijakan
perluasan areal lahan sawah di luar Jawa sebanyak satu juta hektar selama lima
tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun
ke depan selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak
berubah.

ISBN: 979-9474-42-6

111


Irawan

ABSTRACT
Agriculture still plays an important role in Indonesian economy. Besides
employing the huge work force that the country possesses, rice field becomes
prominent supplier of rice for national food. For Indonesia, rice is a strategic
commodity since it is the staple food for the majority of population. The national
rice consumption increases every year with the growing number of population. As
such, the government has to provide the availability rice sufficiently and efficiently.
The recent availability of national rice system still relied on imported rice. The
uncontrolled rate of rice field conversion and the leveling-off of rice productivity
were considered as the major factors weakening the rice self-sufficiency program.
This paper analyzes the national rice availability using simulation of dynamic
system approach. The simulation results showed that the national rice selfsufficiency program will not be acquired if the rate of rice field conversion is as high
as 0.72%/yearly and rice productivity level is stagnant at the level of 1990 – 2000’s
performance. Rice self-sufficiency will be achieved if rice field coversion in Java
and outer Java can be controlled at zero and 0.77% year-1 respectively starting in
2010. At the same time the effort to increase rice productivity as high as 2.0 - 2.5%
year-1 as achieved in 1983-1985 is needed. The extensification program by
establishing one million hectare of new rice field in outer Java within 5 years will be

not enough to achieve rice self-sufficiency as long as the current rate of rice field
conversion and rice productivity remain unchanged.
PENDAHULUAN
Struktur perekonomian Indonesia sudah bergeser dari sektor pertanian ke
sektor industri. Meskipun demikian, sektor pertanian masih mempunyai peranan
penting dalam pembangunan ekonomi. Dilihat dari kontribusinya dalam
pembentukan produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2002, sektor pertanian
menyumbang sekitar 17,3% dan menempati posisi kedua sesudah sektor industri
pengolahan. Sektor pertanian juga mempunyai peranan yang sangat strategis dalam
penyerapan tenaga kerja, yakni dari 90,8 juta angkatan kerja, sekitar 44,3% bekerja
di sektor pertanian (BPS, 2004). Sektor pertanian juga berperan penting dalam
penyediaan bahan baku bagi keperluan industri dan selain itu peran utama sektor
pertanian adalah menyediakan beras bagi kebutuhan konsumsi nasional, khususnya
dari lahan sawah.
Bagi Indonesia, beras masih merupakan komoditas strategis. Hal ini karena
beras merupakan komponen pangan (bahan makanan) terbesar bagi penduduk yang
selain jumlahnya banyak juga laju pertumbuhannya relatif masih tinggi. Selain itu,
permintaan atau konsumsi beras per kapita cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Kegagalan pemerintah dalam menyediakan komoditas ini dapat dipastikan
akan memicu kerusuhan sosial.

108

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

Produksi beras pada tahun 2000 sebesar 32,63 juta ton bersumber dari areal
lahan sawah di Jawa dan Bali (54,2%), sawah di luar Jawa, dan Bali (40,7%) dan
lahan kering atau padi ladang (5,1%). Sementara itu kebutuhan beras mencapai
36,01 juta ton yang dialokasikan untuk konsumsi segera (83,5%) dan cadangan atau
carry over (16,5%). Oleh karena itu pada tahun tersebut terdapat defisit ketersediaan
beras sekitar 3,38 juta ton. Salah satu upaya mengurangi defisit, pemerintah
mengimpor beras sebanyak 2,0 juta ton. Jumlah impor beras tahun 2000 ini relatif
lebih kecil dibanding tahun 1998 (5,9 juta ton) atau tahun 1999 (4,2 juta ton).
Jumlah impor beras tahun 1998 dan 1999 setara dengan 10 - 29,5% dari volume
perdagangan beras internasional dan menghabiskan devisa negara sekitar Rp 10,35
trilyun tahun-1. Kondisi ini perlu dikhawatirkan karena tanpa upaya yang memadai,
ketersediaan beras nasional suatu saat akan sangat tergantung pada pasokan beras
impor melalui perdagangan internasional yang jumlahnya terbatas. Salah satu faktor
penyebab defisit ketersediaan beras nasional adalah laju konversi lahan sawah yang
tidak terkendali, khususnya di Pulau Jawa.
Berdasarkan pernyataan Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, pada

seminar "Alih Fungsi dan Konversi Lahan" pada 23 Desember 2003 di Jakarta,
konversi lahan sawah pada periode tahun 1997 - 2003 mencapai 47.000 ha tahun-1,
91% diantaranya terjadi di Pulau Jawa (Anonim, 2003). Konversi lahan sawah
tersebut diperkirakan akan meningkat dalam 5 tahun mendatang sebagai akibat
pembangunan infrastruktur jalan tol sepanjang 1.500 km di Pulau Jawa dan Bali.
Dampak negatif konversi lahan sawah tersebut terhadap penurunan produksi beras
secara nasional sulit untuk diimbangi oleh upaya peningkatan perluasan areal sawah
di luar Jawa. Hal tersebut karena pencetakan sawah baru memerlukan investasi yang
cukup tinggi, sekitar Rp 25.000.000 ha-1 (Sumaryanto, 2001). Sementara itu masih
ada dua faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan beras, yakni laju
pertambahan jumlah penduduk yang masih cukup tinggi dan tingkat konsumsi beras
per kapita yang meningkat dari tahun ke tahun.
Makalah ini mengkaji ketersediaan beras nasional di masa mendatang
berdasarkan pendekatan sistem dinamik (Djojomartono, 2000) dengan metode
simulasi Integrasi Euler yang tersedia dalam program Powersim 2.5 (Muhammadi,
et al., 2001). Selain relatif mudah dioperasikan program ini sangat cocok untuk
mengkaji model-model pertumbuhan dinamis non-linear. Variabel-variabel yang
dipertimbangkan dalam simulasi ini antara lain luas baku lahan sawah dan
kecenderungan laju konversi lahan sawah, indeks pertanaman (IP) dan produktivitas
(P) padi, pertambahan jumlah penduduk dan konsumsi beras per kapita. Informasi

hasil kajian ini dapat digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan
persediaan beras nasional di masa mendatang.
109

Irawan

MODEL KETERSEDIAAN BERAS BERDASARKAN PENDEKATAN
SISTEM DINAMIS
Penanganan masalah perberasan nasional memerlukan kebijakan publik
yang merupakan bagian dari kebijakan pembangunan pertanian (Gardner, 1987).
Kebijakan publik adalah keputusan pemerintah yang berpengaruh terhadap
kepentingan hidup orang banyak atau publik (Tim Badan Litbang Pertanian, 2001).
Keputusan pemerintah dalam hal penentuan harga dasar gabah, tarif impor beras,
pemberian atau pencabutan subsidi pupuk, dan pemberian izin konversi lahan sawah
merupakan bentuk kebijakan publik yang terkait dengan masalah perberasan
nasional.
Kebijakan publik seringkali kontroversial karena dampaknya terhadap
publik selalu pro-kontra atau positif-negatif secara bersamaan. Pada umumnya
sebelum langkah kebijakan diambil selalu ada analisis kebijakan yang bertujuan
untuk mensintesis informasi untuk menghasilkan rekomendasi alternatif rancangan

kebijakan. Mengingat kebijakan perberasan nasional bersifat lintas sektoral dan
dinamis, maka pendekatan dan simulasi sistem dinamik diperlukan agar diperoleh
informasi awal mengenai berbagai kemungkinan sebelum kebijakan tersebut
diberlakukan.
Sistem perberasan nasional terdiri atas beberapa sub-sistem, antara lain subsistem produksi atau pasokan, distribusi, konsumsi atau permintaan, tata niaga dan
harga. Masing-masing sub-sistem terdiri atas elemen atau unsur-unsur yang lebih
spesifik dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan waktu, sehingga sistem
perberasan nasional bersifat dinamis. Sistem perberasan nasional juga bersifat lintas
sektoral karena meliputi berbagai institusi yang terkait, seperti sub-sistem
permintaan beras terkait dengan masalah kependudukan dan tingkat pendapatan
masyarakat, sedangkan sub-sistem produksi terkait dengan masalah luas lahan dan
budi daya pertanian.
Pendekatan sistem juga mengharuskan adanya pengetahuan mengenai
hubungan timbal balik atau sebab akibat antar sub-sistem di dalam sistem atau antarunsur di dalam sub-sistem serta sifat hubungan sebab akibat tersebut, yakni positif
atau negatif. Secara umum diagram sebab akibat sistem penyediaan beras nasional
berdasarkan pendekatan sistem disajikan pada Gambar 1.
Diagram sebab-akibat pada Gambar 1 tidak mencakup sub-sistem distribusi
dan tata niaga dengan maksud untuk menyederhanakan kajian. Diagram tersebut
juga mengabaikan pengaruh harga gabah/beras terhadap tingkat penawaran atau
produksi. Hal ini karena elastisitas harga beras terhadap jumlah penawaran tidak

nyata (Irawan, 2001). Selama ini adanya peningkatan harga beras atau gabah tidak
110

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

berpengaruh nyata terhadap upaya petani untuk meningkatkan produksi padi.
Penyebabnya karena luas lahan sawah garapan petani relatif sempit dan usaha tani
padi bersifat musiman.
Teknologi
(Produktivitas
dan IP)

Konversi lahan
sawah
+

+

Luas areal
padi


#3(-)

+

+
Produksi
padi

-

-

Anomali iklim

#1 (+)

+ Permintaan
beras


Jumlah
penduduk

+

+

+
+

Ketersediaan
beras

+

#2 (+)

+
+


Pertambahan
jumlah
penduduk

Rendeman
Cadangan

Konsumsi
per kapita
Impor beras

Gambar 1. Diagram sebab akibat pendekatan sistem penyediaan beras nasional
Produksi padi dipengaruhi secara positif oleh luas areal padi, baik sawah
maupun tegalan dan teknologi usaha tani, termasuk pascapanen. Indikator teknologi
usaha tani tersebut berupa produktivitas dan IP padi. Semakin luas lahan sawah dan
semakin tinggi produktivitas serta IP padi maka produksi padi akan semakin
meningkat (+). Sebaliknya, anomali iklim berpengaruh negatif terhadap jumlah
produksi, yakni semakin sering frekuensi anomali iklim, baik itu La Nina, El Nino,
maupun serangan hama penyakit akan mengurangi tingkat produksi padi (-).
Ketersediaan beras nasional dipengaruhi secara positif oleh tingkat produksi
padi, rendemen beras, dan impor beras. Sebaliknya cadangan beras akan mengurangi
111

Irawan

tingkat ketersediaan beras karena cadangan tersebut merupakan penyisihan dari
produksi saat ini untuk keperluan konsumsi tahun berikutnya. Selanjutnya
ketersediaan beras tersebut mempunyai hubungan sebab akibat positif terhadap
permintaan beras. Semakin tinggi ketersediaan beras, permintaan beras oleh
masyarakat akan semakin tinggi. Kondisi tersebut mencerminkan elastisitas
pendapatan terhadap permintaan bersifat positif, artinya secara rata-rata jika terjadi
peningkatan pendapatan pada masyarakat maka akan berakibat pada peningkatan
konsumsi beras oleh masyarakat. Pada model kajian ini indikator tersebut
dicerminkan oleh tingkat konsumsi beras per kapita yang meningkat setiap tahun.
Selain itu, secara otomatis tingkat permintaan beras nasional juga akan meningkat
dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Hubungan sebab akibat antara produksi padi, ketersediaan beras dan
permintaan beras pada Gambar 1 dinyatakan dengan lingkaran pertama (#1) yang
bersifat positif (+). Demikian pula hubungan sebab akibat antara jumlah penduduk
dan laju pertumbuhan penduduk dinyatakan dengan lingkaran dua (#2) yang bersifat
positif (+). Bentuk hubungan sebab akibat yang bersifat positif tersebut dapat saja
berupa hubungan linear atau eksponensial. Sebaliknya hubungan sebab akibat antara
luas lahan sawah dan laju konversi lahan sawah bersifat negatif. Semakin tinggi laju
konversi lahan sawah akan semakin berkurang luas lahan sawah (-), sedangkan jika
luas lahan sawah semakin tinggi maka laju konversi lahanpun akan semakin tinggi
(+). Dengan demikian sejalan dengan perkembangan waktu dan konstanta laju
konversi lahan yang terjadi, luas lahan sawah akan menurun, mungkin linear atau
eksponensial.
PERFORMA NERACA KETERSEDIAAN BERAS NASIONAL MASA LALU
Neraca ketersediaan beras nasional dipengaruhi oleh tiga faktor utama,
yakni produksi, konsumsi, dan cadangan (carry over). Hubungan antara ketiga
faktor tersebut akan menentukan kondisi neraca ketersediaan beras: surplus atau
defisit. Neraca ketersediaan beras dikatakan surplus apabila jumlah produksi beras
pada tahun berjalan lebih besar daripada kebutuhan beras untuk konsumsi segera dan
cadangan konsumsi tahun berikutnya, sedangkan defisit adalah kondisi sebaliknya.
Cadangan konsumsi beras merupakan stok beras berupa penyisihan produksi dan
penyimpanan beras yang berfungsi sebagai buffer untuk keperluan konsumsi sekitar
3 bulan dengan persediaan konsumsi per kapita 10 kg bulan-1. Fungsi cadangan
beras tersebut adalah untuk mengantisipasi gagal panen, bencana alam, gangguan
keamanan nasional atau regional dan lainnya.

112

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

Sebagai ilustrasi hubungan antara produksi, konsumsi, dan cadangan beras
tahun 2000 disajikan pada Tabel 1. Pada tahun tersebut produksi beras 32,63 juta
ton, sedangkan kebutuhan mencapai 36,01 juta ton, yakni untuk konsumsi segera
dan cadangan atau carry over. Dengan demikian terdapat defisit neraca ketersediaan
beras sebesar 3,38 juta ton yang antara lain ditanggulangi dengan impor beras
sebanyak 2 juta ton.
Tabel 1. Neraca ketersediaan beras nasional tahun 2000
Wilayah sumber produksi beras

Produksi

Alokasi
kebutuhan beras

juta ton

Jumlah
juta ton

Lahan sawah Jawa dan Bali

17,69

Konsumsi
segera

30,61

Lahan sawah luar Jawa

13,29

Cadangan/carry

5,40

over
Lahan kering
Total

1,65
32,63

Surplus/(Defisit)

(3,38)

Total

32,63

Sumber: Hasil olahan data BPS (2001, 2002)

Cadangan beras pada dasarnya menjadi beban pemerintah karena
menyangkut biaya pengadaan, penyimpanan, penyusutan, dan distribusi (Bulog,
2004). Walaupun secara teoritis cadangan beras tidak harus sepenuhnya berada di
tangan pemerintah (Bulog), tetapi mengingat sistem lumbung beras sudah sangat
jarang ditemui di masyarakat, maka sebagian besar cadangan beras tersebut harus
berada pada pengendalian pemerintah. Pada periode tahun 1997-2001 volume
cadangan beras nasional berkisar antara 4,7 – 6,4 juta ton tahun-1 atau setara dengan
15 - 21% dari total produksi dalam negeri. Mengingat pada periode tahun tersebut
produksi beras tidak mencukupi kebutuhan konsumsi dan cadangannya, pemerintah
mengimpor beras antara 1,0 - 5,9 juta ton tahun-1. Fakta tersebut menunjukkan
bahwa performa perberasan nasional pada periode tersebut cukup rentan terhadap
ketergantungan impor beras.

113

Irawan

KONVERSI LAHAN SAWAH
Konversi lahan sawah yang terjadi selama ini diyakini sebagai salah satu
faktor yang mengurangi atau memperlambat peningkatan kapasitas produksi beras
nasional, sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan beras dalam negeri yang
terus meningkat sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan
konsumsi beras per kapita. Proses konversi lahan sawah bersifat dinamis; selain
besarannya fluktuatif antar waktu, juga ketepatan pencatatannya oleh instansi yang
berwenang memerlukan tenggang waktu yang tidak dapat ditentukan. Konversi
lahan sawah yang terjadi di beberapa tempat dalam waktu yang bersamaan belum
tentu dicatat dalam waktu yang sama oleh instansi yang berwenang.
Data BPS 1981-1999, Irawan et al. (2001) menyimpulkan bahwa neraca
lahan sawah nasional pada periode tersebut mengalami peningkatan seluas 1,6 juta
ha, yakni berupa neto penambahan luas sawah di luar Jawa (2,1 juta ha) dan
pengurangan luas sawah di Jawa (0,5 juta ha). Sekalipun ada peningkatan lahan
sawah di luar Jawa yang cukup luas, kapasitas produksi beras nasional pada periode
tersebut masih lebih kecil daripada kebutuhan beras dalam negeri, sehingga
pemerintah harus mengimpor beras sekitar 1,7 juta t tahun-1 (1990 - 1999). Hal itu
menunjukkan bahwa dari segi produktivitas, konversi satu hektar lahan sawah di
Jawa tidak dapat digantikan oleh empat hektar lahan sawah di luar Jawa.
Neraca lahan sawah pada periode tahun 1992 - 2002 menunjukkan penciutan
lahan sawah secara nasional, yakni 64.444 ha tahun-1 atau 0,77% tahun-1 (Tabel 2).
Hal yang menarik ternyata pada periode tersebut konversi lahan sawah di Jawa, Bali,
dan Nusa Tenggaran Barat (NTB) relatif lebih kecil dibandingkan di luar Jawa.
Konversi lahan sawah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi >1% tahun-1,
sedangkan di Jawa, Bali dan NTB hanya 0,26% tahun-1 dari masing-masing luas
baku lahan sawah. Hal tersebut sangat berbeda dengan neraca lahan sawah sebelum
tahun 2002 dimana penciutan lahan sawah di Jawa masih diimbangi dengan adanya
perluasan sawah di luar Jawa.
Konversi lahan sawah yang terjadi pada periode 1999-2002 secara umum
adalah berupa alih-guna menjadi lahan pertanian non-sawah atau lahan kering
(41,1%), perumahan (28,9%), kawasan industri (4,9%), perkantoran (8,3%), dan
penggunaan lainnya (16,8%). Konversi lahan sawah di Sumatera dan pulau lainnya
sebagian besar (50,6%) berupa alih guna menjadi lahan pertanian non-sawah,
sedangkan di Jawa sebagian besar (58,3%) adalah berupa alih guna menjadi
kawasan permukiman (BPS, 2003 dalam Sutomo, 2004). Tanpa ada upaya untuk
mengurangi laju konversi lahan sawah, potensi kehilangan produksi beras nasional
diperkirakan mencapai 231.000 - 270.000 t tahun-1.
114

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

Tabel 2. Perkembangan luas lahan sawah di Indonesia tahun 1992 - 2002
Pulau/zona

Luas lahan sawah
1992

2002
ha

Sumatera
Jawa, Bali,
NTB
Pulau
lainnya
Indonesia *

Perubahan per 10 tahun

Perubahan per tahun

2.353.109

2.104.462

ha
-248.647

%
-10,57

ha
-24.865

%
-1,06

3.715.502

3.617.311

-98.191

-2,64

-9.819

-0,26

2.324.679

2.027.075

-297.604

-12,80

-29.760

-1,28

8.393.290

7.748.848

-644.442

-7,68

-64.444

-0,77

Catatan : * Belum termasuk Maluku dan Papua
Sumber: Sutomo (2004) diolah kembali.

DATA INPUT DAN DIAGRAM ALIR MODEL SIMULASI
Data yang digunakan untuk simulasi sistem dinamis berupa data sekunder,
yakni berkaitan dengan aspek produksi padi, teknologi budi daya padi, konsumsi
beras, kependudukan, dan data terkait lainnya. Sumber data utama adalah Statistik
Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka, masing-masing terbitan dari Biro/
Badan Pusat Statistik (BPS, 1980; BPS, 1990; BPS, 2000, BPS, 2001 dan BPS,
2002) dan Departemen Pertanian (Deptan, 1999), termasuk situs (website) kedua
institusi tersebut.
Peubah yang digunakan
Peubah yang digunakan dalam simulasi adalah sebagai berikut:
Luas lahan padi (ha): terdiri atas lahan sawah dan lahan kering. Lahan sawah
dibedakan atas tiga zona luas baku sawah, yaitu: (1) zona Jawa, Bali, dan NTB
(Jawaplus); (2) zona Sumatera, dan (3) zona lainnya (Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggaran Timur (NTT), Maluku dan Papua). Pengelompokan tersebut
atas dasar laju konversi lahan sawah, produktivitas, dan IP padi. Lahan kering
adalah luas padi lahan kering/ladang di seluruh Indonesia.
2. Produksi padi (t tahun-1) adalah total produksi padi berdasarkan luas baku sawah
dan luas padi ladang pada tingkat teknologi tertentu. Indikator teknologi adalah
produktivitas padi (t ha-1) dan IP padi (% tahun-1).
3. Ketersediaan beras (t tahun-1) adalah total produksi padi dengan rendemen beras
tertentu atau produksi beras dikurangi dengan cadangan beras/carry over (t
tahun-1).

1.

115

Irawan

Kebutuhan beras (t tahun-1) adalah jumlah beras yang dibutuhkan untuk
konsumsi berdasarkan jumlah penduduk (orang) dan konsumsi per kapita (kg
orang-1 tahun-1).
5. Surplus/defisit (t tahun-1) adalah selisih antara ketersediaan beras dengan
kebutuhan beras. Nilai selisih positif berarti surplus dan negatif berarti defisit.
6. Pertambahan jumlah penduduk adalah laju pertumbuhan penduduk bersih.
4.

Kuantifikasi peubah dan asumsi
Nilai awal (initial value) data empirik untuk berbagai peubah yang
digunakan adalah kondisi tahun 2002 atau sebelumnya sesuai dengan ketersediaan
data.
1. Luas baku:
a. Luas baku sawah zona Jawaplus = 3,617 juta ha.
b. Luas baku sawah zona Sumatera = 2,104 juta ha.
c. Luas baku sawah zona lainnya = 2,027 juta ha.
d. Luas padi ladang = 1,165 juta ha.
1. Konversi lahan :
a. Neto laju konversi lahan sawah di zona Jawaplus sebesar 0,26% tahun-1.
b. Neto laju konversi lahan sawah di zona Sumatera sebesar 1,06% tahun-1.
c. Neto laju konversi lahan sawah di zona lainnya sebesar 1,28% tahun-1.
d. Neto laju pengurangan areal tanam padi ladang 0,32% tahun-1.
e. Laju konversi lahan sawah tersebut didasarkan pada perkembangan luas
lahan sawah tahun 1992 - 2002, dengan koreksi sebagai berikut: (1) laju
konversi sawah di zona Jawaplus tahun 2005 dan 2006 sebesar 0,41%
tahun-1 sebagai dampak pembuatan jalan tol sepanjang 1.500 km dan (2) laju
konversi sawah di zona Sumatera tahun 2005 dan 2006 sebesar 1,09% tahun-1
sebagai dampak bencana alam Tsunami.
2. Teknologi usaha tani padi
a. Padi sawah
a.1. Pada zona Jawaplus: Produktivitas dan IP padi: 4,975 t ha-1 dan 160%
tahun-1.
a.2. Pada zona Sumatera: Produktivitas dan IP padi: 3,870 t ha-1 dan 130%
tahun-1.
a.3. Pada zona lainnya: Produktivitas dan IP padi: 3,330 t ha-1 dan 110%
tahun-1.
a.4. Peningkatan Produktivitas dan IP padi masing-masing 0,40% tahun-1
dan 0,95% tahun-1, didasarkan pada performa penerapan teknologi
usahatani padi periode tahun 1990-2002.
116

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

b. Padi ladang (lahan kering)
b.1. Produktivitas padi ladang 2,43 ton ha-1
b.2. Peningkatan produktivitas 4,58% per 5 tahun atau 0,92% tahun-1
(kondisi tahun 1995-2000)
b.3. Indeks pertanaman 100% tahun-1 (konstan, tidak ada peningkatan IP).
c. Rata-rata rendemen beras 62%.
3. Pertumbuhan penduduk
a. Jumlah penduduk 208,987 juta orang (tahun 2002)
b. Laju pertumbuhan penduduk berdasarkan trend data tahun 1970 - 2000
dengan persamaan Y = 2,75 - 0,41X (R2=98,7%), dimana Y = laju
pertumbuhan penduduk (%), X adalah periode 10 tahunan (1, 2, dan 3).
Berdasarkan persamaan tersebut laju pertumbuhan penduduk tahun 2002
adalah 1,438% dan kondisi "zero growth" akan terjadi sekitar 67 tahun
kemudian.
4. Konsumsi beras
a. Konsumsi beras per kapita 129 kg orang-1 tahun-1, didasarkan pada rasio
jumlah beras tersedia termasuk beras impor dengan jumlah penduduk
periode tahun 1990 - 2001.
b. Peningkatan konsumsi beras per kapita 1,2% tahun-1, didasarkan pada hasil
penelitian bahwa elastisitas pendapatan masyarakat terhadap konsumsi beras
masih positif (Irawan, 2001).
c. Jumlah cadangan beras (carry over) adalah 7,5 kg orang-1 bulan-1 untuk
konsumsi selama 3 bulan tahun-1.
5. Bencana alam berupa kejadian anomali iklim El Nino dan/atau La Nina
dibangkitkan berdasarkan bilangan acak (0,1) dengan peluang < 33,3% dan
dampaknya (jika terjadi) berupa gagal panen terhadap 1,06% luas sawah.
Dampak anomali iklim tersebut diasumsikan sama pada ketiga zona lahan sawah,
sedangkan padi lahan kering tidak terpengaruh oleh kejadian El Nino/La Nina.
6. Harga gabah diasumsikan tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Hal
tersebut sesuai dengan hasil penelitian bahwa kenaikan harga dasar gabah tidak
diikuti dengan upaya peningkatan produksi oleh petani karena berbagai alasan,
antara lain: (1) usaha tani padi bersifat musiman dan (2) luas garapan usaha tani
padi per petani relatif kecil (Irawan, 2001).

117

Irawan

DIAGRAM ALIR MODEL SIMULASI
Diagram alir simulasi ketersediaan beras nasional disajikan pada Gambar 2.
Diagram alir tersebut merupakan terjemahan diagram sebab akibat yang dapat
disimulasikan dengan perangkat lunak Powersim berdasarkan kuantifikasi data dan
asumsi di atas.
Diagram alir simulasi terdiri atas tiga bagian, yakni bagian yang terkait
dengan aspek produksi beras (bagian A), aspek kebutuhan dan ketersediaan beras
(bagian B), dan aspek pertumbuhan dan jumlah penduduk (bagian C). Sumber
produksi beras terdiri atas empat sumber, yakni produksi beras dari lahan sawah
zona Jawaplus (prod_brs_1), zona Sumatera (prod_brs_2), zona lainnya
(prod_brs_3), dan produksi beras dari lahan kering (prod_brs_4). Tingkat produksi
beras dari lahan sawah dipengaruhi oleh luas baku sawah, Produktivitas, IP,
rendemen beras, dan bencana alam anomali iklim. Produksi beras dari lahan kering
dipengaruhi oleh luas areal tanam, produktivitas, indeks pertanaman, dan rendemen
beras.
Aspek kebutuhan dan ketersediaan beras serta jumlah dan pertambahan
penduduk adalah sebagaimana diuraikan pada bagian kuantifikasi peubah dan
asumsi di atas. Simulasi dilakukan dalam periode waktu 15 tahun ke depan dimulai
dari tahun 2002 sebagai tahun awal.

118

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

Gambar 2. Diagram alir simulasi sistem ketersediaan beras nasional

119

Irawan

HASIL SIMULASI
Validasi model simulasi
Uji coba simulasi dilakukan guna mengetahui akurasi dan validitas model
dengan cara memasukkan data-data periode tahun 1980 - 1995 untuk memprediksi
keadaan tahun 1998 - 2000. Hasil uji coba simulasi disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil validasi model simulasi
Peubah

Hasil
simulasi

Data
sebenarnya

Deviasi

Keterangan

%
Produksi gabah (juta
ton)

Produksi beras (juta ton)

Defisit/impor beras
(juta ton)
Cadangan beras
(juta ton)
Jumlah penduduk
(juta jiwa)

50,17

49,24

1,89

Tahun 1998

50,39

50,87

-0,94

Tahun 1999

50,61

51,18

-1,11

Tahun 2000

31,11

30,50

2,00

Tahun 1998

31,24

31,60

-1,14

Tahun 1999

32,40

32,63

-0,75

Tahun 2000

2,94

2,00

47,00

Tahun 2000

6,10

5,40

12,70

Tahun 2000

176,69

179,38

-1,50

Tahun 1990

204,30

206,27

-0,95

Tahun 2000

Berdasarkan hasil uji coba ternyata deviasi hasil simulasi dengan data
sebenarnya relatif kecil dan umumnya < 2,5%, kecuali untuk peubah cadangan beras
(12,7%) dan impor beras (47%). Tingginya deviasi kedua peubah tersebut bisa
disebabkan oleh sifat peubah cadangan dan impor beras yang tidak selalu matematis.
Secara matematis dan kebijakan penyediaan beras, jumlah cadangan beras
ditetapkan sebesar 10 kg kapita-1 bulan-1 untuk konsumsi selama tiga bulan, tetapi
dalam pelaksanaannya jumlah cadangan beras sangat terkait dengan kemampuan
pemerintah untuk membeli dan memproses gabah, menyimpan dan menanggung
biaya penyusutan dan distribusi beras. Selain itu, jika diyakini bahwa masyarakat
sendiri melakukan penyimpanan beras untuk keperluan cadangan, maka tidak perlu
seluruh cadangan konsumsi beras dikendalikan oleh pemerintah (Bulog). Tingginya
selisih impor beras antara hasil simulasi dengan kenyataan dapat disebabkan oleh
120

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

beberapa hal, dua diantaranya terkait dengan keamanan cadangan beras dan adanya
impor beras ilegal. Berdasarkan konsep neraca ketersediaan beras (Tabel 1), total
produksi beras dalam negeri tanpa dikurangi cadangan sudah memenuhi kebutuhan
beras nasional untuk konsumsi segera. Oleh karena itu, jika cadangan beras dalam
keadaan aman atau tidak terpakai, pemerintah dapat memutuskan untuk tidak
mengimpor beras.
Perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan beras nasional
Berdasarkan hasil simulasi jumlah penduduk yang semula 208,99 juta jiwa
pada tahun 2002 akan meningkat menjadi 218,01 juta jiwa pada tahun 2005, 232,15
juta jiwa tahun 2010, dan 244,83 juta jiwa tahun 2015 (Gambar 3). Hasil simulasi
juga menunjukkan bahwa pada saat sensus penduduk tahun 2020, jumlah penduduk
saat itu diperkirakan sekitar 255,59 juta jiwa. Sejalan dengan itu, kebutuhan beras
untuk konsumsi segera dan cadangan yang semula 31,5 juta ton pada tahun 2002
akan meningkat menjadi 33,5 juta ton (2005), 36,8 juta ton (2010) dan 40,0 juta ton
(2015). Selama periode tersebut jumlah cadangan beras yang perlu disiapkan oleh
pemerintah untuk mengantisipasi masalah pangan nasional selama 2-3 bulan adalah
sekitar 4,7 - 5,6 juta ton tahun-1.

260

Juta jiwa

250
240
230
220
210
200
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15

Tahun (0=2002)

Gambar 3. Perkembangan jumlah penduduk (hasil simulasi)

121

Irawan

Perkembangan jumlah produksi beras nasional
Hasil simulasi menunjukkan bahwa sumber produksi beras nasional masih
tetap didominasi oleh Jawa, Bali, dan NTB (58-62%), dan sisanya dari luar Jawa.
Dibandingkan dengan luar Jawa, keunggulan tingkat P dan IP padi sawah di Jawa
akan tetap dominan dalam beberapa tahun ke depan. Lahan sawah menyumbang
94,4% dari total produksi beras nasional dan sisanya (5,6%) dari lahan kering/
ladang. Perkembangan produksi beras nasional yang bersumber dari lahan sawah
(zona Jawaplus, Sumatera, dan pulau lainnya) dan lahan kering berdasarkan
kemajuan usaha tani padi tahun 1990 - 2000 dan proses konversi lahan sawah tahun
1992 - 2002 (Tabel 2) disajikan pada Gambar 4. Tanpa ada upaya yang memadai,
produksi beras nasional dalam 15 tahun ke depan hanya akan meningkat sekitar 0,49
- 0,94% tahun-1, jauh lebih rendah daripada laju pertumbuhan penduduk dan
peningkatan konsumsi beras per kapita. Di sisi lain laju konversi lahan sawah yang
cukup tinggi (1,2% tahun-1) mengakibatkan peran lahan sawah di luar Jawa tidak
meningkat, bahkan semakin berkurang dalam memasok beras nasional. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa arah kebijakan pertanian periode tahun 1992 - 2002,
khususnya mengenai upaya peningkatan produksi beras nasional tidak jelas.
Konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa berlanjut tanpa kompensasi yang
memadai baik dari segi peningkatan P dan IP padi, maupun dari perluasan areal atau
pencetakan sawah baru.
25
20
Juta
ton 15

Sawah Jawa,Bali,NTB
Sawah Luar Jawa

10

Padi Ladang

5
0
2002

2005

2010

2015

2020

Gambar 4. Produksi beras nasional dari lahan sawah dan lahan kering

122

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

Mengacu pada laju konversi lahan sawah tahun 1992-2002, serta tak ada
kebijakan yang dapat mengendalikannya atau tidak ada usaha perluasan areal sawah
yang memadai, maka luas baku lahan sawah secara nasional akan berkurang dengan
percepatan rata-rata 0,77% tahun-1. Luas baku lahan sawah di Jawa, Bali dan NTB
yang semula 3,62 juta ha (2002) akan berkurang berturut-turut menjadi 3,59 juta ha
(2005), 3,53 juta ha (2010), dan 3,49 juta ha (2015). Luas baku lahan sawah di luar
Jawa yang semula 4,13 juta ha (2002) akan berkurang berturut-turut menjadi 3,99
juta ha (2005), 3,76 juta ha (2010), dan 3,54 juta ha (2015). Demikian pula halnya
dengan luas tanam padi ladang yang akan menurun dari 1,17 juta ha (2002) menjadi
1,15 juta ha (2005) dan 1,12 juta ha (2010).
Hasil simulasi mengenai neraca ketersediaan beras nasional disajikan pada
Lampiran 1, sedangkan perbandingan jumlah produksi dengan total kebutuhan beras
nasional disajikan pada Gambar 5. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
perkembangan tingkat produksi beras masih lebih kecil daripada total kebutuhan
beras untuk konsumsi dan cadangan dimana kesenjangannya semakin tinggi,
terutama setelah tahun 2005. Pada tahun 2005 jumlah produksi beras diperkirakan
mencapai 31,86 juta ton, sementara total kebutuhan beras 33,46 juta ton yang terdiri
atas kebutuhan konsumsi segera 28,55 juta ton (85,32%) dan cadangan 4,91 juta ton
(14,68%). Apabila pemerintah akan mempertahankan tingkat cadangan beras
sebesar itu, perlu pengadaan beras impor sebesar 1,6 juta ton. Mengingat kejadian
bencana alam Tsunami dan banjir di beberapa tempat pada akhir tahun 2004 dan
awal tahun 2005, justifikasi untuk mengimpor beras sangat kuat. Secara teoritis
berdasarkan hasil simulasi, impor beras sebanyak 1,6 - 2,1 juta ton merupakan
jumlah maksimum yang diperlukan untuk tahun 2005 dan 2006.
45
40
Juta
ton

35

Produksi beras

30

Kebutuhan beras

25
20
2002 2005

2010

2015 2020

Gambar 5. Perkembangan produksi dan kebutuhan beras nasional
123

Irawan

Neraca ketersediaan beras nasional pada lima tahun berikutnya (2010) akan
semakin tergantung pada beras impor. Tingkat produksi beras saat itu diperkirakan
32,65 juta ton, sementara total kebutuhan beras nasional 36,77 juta ton, termasuk
untuk cadangan sebesar 5,22 juta ton. Dengan demikian potensi pengadaan beras
impor pada tahun 2010 adalah 4,12 juta ton. Apabila kondisi perberasan tidak
berubah secara nyata, jumlah beras impor yang diperlukan pada tahun berikutnya
akan semakin tinggi (Gambar 6).

8
7
6
5
Juta4
ton

Cadangan beras
Impor beras

3
2
1
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Tahun (0=2002)

Gambar 6. Perkembangan jumlah cadangan dan impor beras yang diperlukan dalam
15 tahun ke depan (hasil simulasi)
Upaya ke arah swasembada beras
Suatu hal yang sangat realistik apabila upaya pengadaan beras nasional yang
bertumpu pada kemampuan produksi dalam negeri mendapat prioritas dari segenap
unsur masyarakat. Berbagai upaya yang dapat ditempuh perlu dikaji secara seksama,
misalnya dari sisi produksi berupa kebijakan penetapan sawah abadi, peningkatan P
dan IP padi, efisiensi pengelolaan pascapanen usaha tani padi, perluasan areal lahan
sawah, dan peningkatan mitigasi bencana dan hama penyakit tanaman padi. Dari sisi
konsumsi, kebijakan diversifikasi sumber bahan makanan, peningkatan pendapatan
masyarakat, dan pelaksanaan program keluarga berencana perlu diupayakan secara
terus-menerus.
Sehubungan dengan upaya ke arah swasembada beras, simulasi ketersediaan
beras nasional dilakukan dengan mengacu pada kebijakan penetapan lahan sawah

124

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

abadi, peningkatan produktivitas padi dan perluasan areal lahan sawah, dengan
kriteria sebagai berikut:
Model 1: Kebijakan penetapan lahan sawah abadi dan peningkatan
produktivitas padi
1. Laju konversi lahan sawah di Jawa, Bali, dan NTB ditekan sampai nol persen
mulai tahun 2010
2. Laju konversi lahan sawah di luar Jawa dan daerah lainnya 0,77% tahun-1 mulai
tahun 2010. Besaran tersebut mengacu pada rata-rata laju konversi lahan sawah
nasional periode 1992 - 2002 dan mengindikasikan adanya keberhasilan
kebijakan penetapan lahan sawah abadi di luar Jawa setelah mulai tahun 2010.
3. Produktivitas padi meningkat 2,5% tahun-1 yang mengindikasikan keberhasilan
program intensifikasi (PMI, Primatani, dan program lainnya) dimana tingkat
pertumbuhan produktivitas padi tersebut pernah dicapai pada periode 1983-1985
(saat swasembada beras).
4. Pengaruh hal-hal lain dianggap konstan.

1.
2.
3.
4.
5.

Model 2: Kebijakan perluasan areal lahan sawah di luar Jawa
Laju konversi lahan sawah sebagaimana kondisi tahun 1992-2002.
Laju peningkatan produktivitas dan IP padi mengacu pada keadaan tahun 19902000.
Pencetakan lahan sawah baru di luar Jawa sebanyak 1.000.000 ha selama lima
tahun, mulai 2007.
Pengaruh hal-hal lain dianggap konstan.
Diagram alir simulasi disajikan pada Lampiran 2.

Hasil simulasi kedua model tersebut termasuk kondisi awal (statusquo)
disajikan pada Tabel 4. Kondisi statusquo menunjukkan bahwa tanpa upaya yang
memadai dan kemajuan usaha tani padi yang lebih baik dari keadaan tahun 19902000, neraca ketersediaan beras nasional di masa mendatang akan semakin
tergantung pada beras impor. Pada kondisi tersebut potensi impor beras berkisar
antara 1,6 – 7,5 juta ton tahun-1. Kondisi Model 1 menunjukkan bahwa swasembada
beras dapat dicapai apabila kebijakan penetapan lahan sawah abadi dilaksanakan
secara ketat, baik di Jawa maupun di luar Jawa yang disertai dengan berbagai upaya
untuk meningkatkan produktivitas padi sebagaimana prestasi yang dicapai saat
swasembada beras (1983-1985) sekitar 2,0 - 2,5% tahun-1. Pada kondisi tersebut
sudah tercapai surplus produksi beras menjelang tahun 2010. Kondisi Model 2
menunjukkan bahwa kebijakan perluasan areal lahan sawah di luar Jawa sebanyak
satu juta hektar selama lima tahun dengan tetap membiarkan laju konversi lahan
125

Irawan

sawah sebagaimana terjadi saat ini sulit untuk mencapai swasembada beras.
Kebijakan perluasan areal lahan sawah melalui pencetakan sawah baru seluas satu
juta hektar memerlukan biaya investasi sekitar Rp 25 trilyun atau Rp 5 trilyun tahun1
jika perluasan areal lahan sawah tersebut didistribusikan dalam program lima
tahunan.
Berdasarkan hasil simulasi, kebijakan penetapan lahan sawah abadi dan
peningkatan produktivitas padi merupakan alternatif kebijakan yang paling
memungkinkan untuk mencapai swasembada beras. Wacana dan rumusan teknis
penetapan lahan sawah abadi sudah cukup banyak dibahas dalam berbagai seminar
dan media publikasi lainnya. Demikian pula peningkatan produktivitas padi melalui
introduksi varietas padi baru sangat memungkinkan. Misalnya padi Cilosari
merupakan salah satu varietas padi yang dikembangkan oleh BATAN mempunyai
potensi produksi yang tinggi. Kisaran dan rata-rata produktivitas padi varietas
Cilosari mencapai 7,4 -9,3 dan 8,3 ton ha-1. Tingkat produktivitas padi tersebut,
yakni 63,2% lebih tinggi daripada rata-rata produktivitas padi lahan sawah di Jawa
saat ini. Padi Cilosari juga mempunyai rendemen beras yang cukup tinggi, yakni
70% atau 12,9% lebih tinggi daripada rendemen beras padi lainnya.
Tabel 4. Hasil simulasi prediksi neraca ketersediaan beras nasional (juta ton)
berdasarkan kondisi tahun 1990-2002 (statusquo), diterapkannya kebijakan
lahan sawah abadi (model 1) dan perluasan areal lahan sawah (model 2)
Kondisi dan indikator
Statusquo:
Total produksi
Total kebutuhan
-Cadangan (%)
-Konsumsi segera (%)
Surplus
Model 1:
Total produksi
Total kebutuhan
Surplus
Model 2:
Total produksi
Total kebutuhan
Surplus

2005

2010

2015

2020

31,87
33,46
14,7
85,3
-1,59

32,65
36,77
14,2
85,8
-4,12

34,19
39,99
13,8
86,2
-5,80

34,48
41,97
13,7
86,3
-7,49

33,06
33,46
-0,40

37,40
36,77
0,63

43,95
39,99
3,96

50,36
41,97
8,39

31,87
33,46
-1,59

34,42
36,77
-2,35

39,13
39,99
-0,86

43,38
41,97
1,41

Catatan: Surplus bernilai negatif artinya defisit (potensial impor)

126

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

KESIMPULAN DAN SARAN
Sistem perberasan nasional menghadapi kendala berupa konversi lahan
sawah pada tingkat yang cukup tinggi dan sulit dikendalikan, pertambahan jumlah
penduduk yang masih tinggi, dan konsumsi beras per kapita yang terus meningkat.
Neraca ketersediaan beras nasional di masa mendatang akan semakin
tergantung pada beras impor. Ketahanan pangan, khususnya beras secara mandiri
tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah di Jawa dan daerah sentra
produksi beras lainnya melebihi 0,77% tahun-1 dan penerapan teknologi budi daya
padi sawah tidak lebih baik daripada keadaan tahun 1990-2000.
Kebijakan perluasan areal lahan sawah baru di luar Jawa dengan tetap tidak
mengendalikan laju konversi lahan sawah yang terjadi seperti saat ini tidak efektif
untuk mencapai swasembada beras.
Keadaan swasembada beras dapat dicapai melalui kebijakan penetapan
lahan sawah abadi dan peningkatan produktivitas padi sebagaimana prestasi yang
pernah dicapai pada saat swasembada beras tahun 1983-1985.
Pemerintah perlu segera menindaklanjuti upaya-upaya ke arah
pemberlakuan kebijakan penetapan lahan sawah abadi dan memasyarakatkan
berbagai varietas padi baru yang berpotensi tinggi, baik produktivitas maupun
rendemen berasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Annonim. 2003. Deptan Menahan Laju Konversi Lahan Pertanian. HTTP:
//WWW.Tempointeraktif.com
Biro Pusat Statistik. 1980, 1990. Statistik Indonesia. C.V. Nasional Jakarta.
Badan Pusat Statitsik. 2000, 2001, 2002, 2004. Statistik Indonesia. C.V. Nasional.
Jakarta dan situs BPS pada HTTP://WWW.BPS.GO.ID (Nopember 2004).
Badan

Urusan
Logistik
(Bulog).
HTTP://WWW.BULOG.GO.ID.

2004.

Kebijakan

Pangan.

Departemen Pertanian. 1999. Profil Pertanian Dalam Angka. Publikasi Deptan, 327
hlm. Dan situs Deptan pada HTTP://WWW.DEPTAN.GO.ID (Nopember
2004).
Gardner, B. 1987. The Economics of Agricultural Policies. Macmillan Publishing
Company. New York. USA.
Djojomartono, M. 1993. Pengantar Umum Analisis Sistem. Bahan Pelatihan
Analisis Sistem dan Informasi Pertanian. Kampus IPB Darmaga. Bogor
(Tidak dipublikasikan).

127

Irawan

Djojomartono, M. 2000. Dasar-dasar Analisis Sistem Dinamik. Bahan Perkuliahan
Analisis Sistem. Kampus IPB Darmaga. Bogor (Tidak dipublikasikan).
Irawan, A. 2001. Perilaku Suplai Padi Ladang dan Sawah di Indonesia dan
Kebijakan Peningkatan Produksi Padi. HTTP://WWW.HAYATI-IPB.COM
(Nopember 2004).
Irawan, B., S. Friyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kitom, B. Rachman, dan
B. Wiryono. 2001. Perumusan Model Kelembagaan Konservasi Lahan
Pertanian. Pusat Penelitian Sosial-Ekonomi. Bogor (Tidak dipublikasikan).
Muhammadi, E. Aminullah dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis:
Lingkungan hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.
Sawit, M. H. 2002. Situasi Beras 2002 : Banjir dan Risiko El-Nino. HTTP:
//WWW.KOMPAS.COM.
Sumaryanto. 2001. Konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dan dampak
negatifnya. hlm 1-18 Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan
Sawah, Bogor 1 Mei 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Sutomo, S. 2004. Analisa Data Konversi dan Prediksi Kebutuhan Lahan. Makalah
Pertemuan Round Table II Pengendalian Konversi dan Pengembangan
Lahan Pertanian. Jakarta, 14 Desember 2004. 14 hlm.
Tim Badan Litbang Pertanian. 2001. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam
dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Kertas Kerja). Jakarta.

128

Analisis Ketersediaan Beras Nasional

Lampiran 1. Neraca ketersediaan beras nasional 15 tahun ke depan apabila tidak
ada terobosan kebijakan pertanian dalam usaha tani padi
Tahun

Produksi
beras

Cadangan
beras

Ketersediaan
beras

Kebutuhan
beras

Surplus/defisit

26,75
27.34
27.95
28.55
29.15
29.75
30.35
30.95
31.55
32.14
32.74
33.32
33.91
34.48
35.05
35.62

-0,15
-0.63
-1.12
-1.59
-2.11
-2.72
-2.86
-3.33
-4.12
-4.27
-4.52
-4.95
-5.39
-5.80
-6.20
-6.94

juta ton
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

31,30
31,48
31,67
31,86
32,02
32,06
32,58
32,78
32,65
33,16
33,56
33,77
33,97
34,20
34,42
34,29

4,70
4,77
4,84
4,91
4,97
5,03
5,10
5,16
5,22
5,28
5,34
5,40
5,45
5,51
5,56
5,61

26,60
26,71
26.83
26.96
27.05
27.02
27.48
27.62
27.43
27.88
28.22
28.37
28.52
28.69
28.86
28.68

Catatan: tahun 0 = tahun 2002

129

Irawan

Lampiran 2. Diagram alir simulasi sistem ketersediaan beras nasional dengan
adanya kebijakan pencetakan sawah baru di luar Jawa

130

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63